BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
B. Saran
perbekalan farmasi yang harus menyebarkan obat yang diperlukan
masyarakat secara meluas dan merata (Anonim,1980)
B. Apoteker
Menurut PP No. 51 tahun 2009 Pekerjaan Kefarmasian adalah pembuatan
termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan,
penyimpanan dan pendistribusian atau penyaluran obat, pengelolaan obat,
pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan
obat, bahan obat dan obat tradisional (Anonim, 2009a).
Definisi Apoteker tertuang dalam PP No. 51 tahun 2009 Tenaga
Kefarmasian adalah tenaga yang melakukan pekerjaan kefarmasian yang terdiri
atas Apoteker dan tenaga teknis kefarmasian. Apoteker adalah sarjana farmasi
yang telah lulus sebagai Apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan
Apoteker, sedangkan tenaga teknis kefarmasian adalah tenaga yang membantu
Apoteker dalam menjalani pekerjaan kefarmasian, yang terdiri atas sarjana
Farmasi, Ahli Madya Farmasi, Analis Farmasi, dan Tenaga Menengah Farmasi /
Asisten Apoteker (Anonim, 2009). Apoteker pendamping adalah apoteker yang
telah diberikan surat izin apotik (SIA). Apoteker pendamping adalah apoteker
yang bekerja di apotik di samping apoteker pengelola apotik dan atau
menggantikannya dalam jam-jam tertentu pada hari buka apotik. Apoteker
pengganti adalah apoteker yang menggantikan apoteker pengelola apotik selama
apoteker pengelola apotik tersebut tidak berada di tempat lebih dari 3 (tiga) bulan
secara terus menerus, telah memiliki surat izin kerja dan tidak bertindak sebagai
apoteker pengelola apotik di apotik lain (Anonim, 2002).
Apoteker berurusan dengan terapi, dengan menyediakan produk obat yang
perlu untuk pengobatan kondisi yang didiagnosis oleh dokter, dan memastikan
penggunaan obat yang tepat. Farmasi adalah profesi yang harus selalu berinteraksi
dengan profesional kesehatan lainnya, dan penderita untuk pemberian konsultasi
serta informasi, disamping mengendalikan mutu penggunaan terapi obat dalam
bentuk pengecekan atau interpretasi pada resep atau order dokter (Siregar dan
Amalia, 2004).
C. Manajemen Persediaan
Manajemen adalah suatu ilmu yang mempelajari cara untuk mencapai suatu
tujuan dengan efktif dan efisien dengan menggunakan bantuan atau melalui orang
lain. Manajemen dibutuhkan oleh semua organisasi karena tanpa manajemen
semua usaha akan sia-sia dan pencapaian tujuan akan lebih sulit. Ada 3 (tiga)
alasan utama diperlukannya manajemen yaitu untuk mencapai tujuan, menjaga
keseimbangan di antara tujuan-tujuan yang saling bertentangan dan mencapai
efisiensi serta efektivitas. Efisiensi adalah kemampuan untuk menyelesaikan suatu
pekerjaan yang benar, dikatakan efisien jika dapat memaksimalkan keluaran
dengan masukan yang terbatas. Sedangkan efektivitas adalah kemampuan untuk
memilih tujuan yang tepat atau peralatan yang tepat untuk dapat mencapai tujuan
yang telah ditetapkan, atau kemampuan untuk dapat memilih metode yang terbaik
dalam mencapai tujuan (Handoko, 1992).
Manajemen persediaan merupakan hal yang mendasar dalam penetapan
keunggulan kompetatif jangka panjang. Mutu, rekayasa, produk, harga, lembur,
kapasitas berlebih, kemampuan merespon pelanggan akibat kinerja kurang baik,
waktu tenggang (lead time) dan profitabilitas keseluruhan adalah hal-hal yang
dipengaruhi oleh tingkat persediaan (Erlina, 2002).
Manajemen persediaan (inventory control) atau disebut juga inventory
management atau pengendalian tingkat persediaan adalah kegiatan yang
berhubungan dengan perencanaan, pelaksanaan,dan pengawasan penentuan
kebutuhan material sedemikian rupa sehingga di satu pihak kebutuhan operasional
dapat dipenuhi pada waktunya dan dilain pihak kebutuhan investasi persediaan
barang dapat ditekan secara optimal. Pengendalian tingkat persediaan bertujuan
mencapai efisiensi dan efektivitas optimal dalam penyediaan barang. Usaha yang
perlu dilakukan dalam manajemen persediaan secara garis besar dapat dirinci
sebagai berikut :
1.Menjamin terpenuhinya kebutuhan
2.Membatasi nilai seluruh investasi
3.Membatasi jenis dan jumlah barang
4.Memanfaatkan seoptimal mungkin barang yang ada (Ucu, 2009).
Manajemen persediaan berdampak pada semua fungsi bisnis, operasi secara
umum, pemasaran dan keuangan. Persediaan memberikan layanan pada
pelanggan, yang mempunyai peran sangat vital dalam pemasaran. Keuangan
berhubungan. Persediaan memberikan layanan pada pelanggan, yang mempunyai
peran sangat vital dalam pemasaran. Persediaan merupakan salah satu aset
terpenting dalam banyak perusahaan karena nilai persediaan mencapai 40% dari
seluruh investasi modal. Di satu sisi, perusahaan (Apotik) selalu berusaha
mengurangi biaya dengan mengurangi tingkat persediaan di tangan (on-hand),
sementara itu di sisi lain pelanggan menjadi sangat tidak puas ketika jumlah
persediaan mengalami kehabisan (stockout). Oleh karena itu perusahaan (Apotik)
harus mengusahakan terjadinya keseimbangan antara investasi persediaan dan
tingkat pelanggan dan minimisasi biaya merupakan faktor penting dalam
membuat keseimbangan ini (Zulfikarijah, 2005).
Istilah persediaan (inventory) adalah suatu istilah umum yang menunjukkan
segala sesuatu atau sumber daya organisasi yang disimpan dalam antisipasinya
terhadap pemenuhan permintaan (Handoko, 1993). Tujuan manajemen persediaan
adalah untuk menyediakan jumlah material yang tepat, lead time yang tepat dan
biaya rendah (Yamit, 2005).
Persediaan timbul disebabakan oleh tidak sinkronnya permintaan dengan
penyediaan dan waktu yang digunakan untuk memproses bahan baku. Untuk
menjaga keseimbangan permintaan dengan penyediaan bahan baku dan waktu
proses diperlukan persediaan. Oleh karena itu, terdapat empat faktor yang
dijadikan sebagai fungsi perlunya persediaan, yaitu :
1. Faktor waktu, menyangkut lamanya proses produksi dan distribusi sebelum
barang jadi sampai kepada konsumen. Persediaan dilakukan untuk
memenuhi kebutuhan selama waktu tunggu (lead time)
2. Faktor ketidakpastian waktu datang dari suplier menyebabkan perusahaan
memerlukan persediaan, agar tidak menghambat proses produksi maupun
keterlambatan pengiriman kepada konsumen
3. Faktor ketidakpastian penggunaan dari dalam perusahaan disebabkan oleh
kesalahan dalam peramalan permintaan, kerusakan mesin, keterlambatan
operasi, bahan cacat, dan berbagai kondisi lainnya. Persediaan dilakukan
untuk mengantisipasi ketidaktepatan peramalan maupun akibat lainnya
tersebut.
4. Faktor ekonomis, adalah adanya keinginan perusahaan untuk mendapatkan
alternatif biaya rendah dalam memproduksi atau membeli item dengan
menentukan jumlah yang paling ekonomis (Yamit, 2005).
Persediaan obat merupakan harta paling besar dari sebuah apotek. Karena
begitu besar jumlah yang diinvestasikan dalam persediaan, pengendalian
persediaan obat yang tepat memiliki pengaruh yang kuat dan langsung terhadap
perolehan kembali atas investasi apotek (Seto, 2004).
Hal-hal yang perlu diperhatikan di dalam fungsi pengadaan adalah pengadaan
tersebut harus memenuhi syarat yaitu :
1. Doelmatig, artinya sesuai tujuan/ sesuai rencana
Haruslah sesuai kebutuhan yang sudah direncanakan sebelumnya
2. Rechmatig, artinya sesuai hak / sesuai kemampuan
Biasanya anggaran yang dialoksikan oleh rumah sakit umum yang dikelola
oleh pemerintah (pusat maupun daerah) tidak sesuai dengan kebutuhan
sesungguhnya (kebutuhan > anggaran tersedia). Untuk itu perlu disusun
skala prioritas atas dasar manfaat. Untuk pengadaan obat, WHO
memperkenalkan system VEN (Vital, Esensial, Non-esensial), dengan
mengatur pengadaan dari hanya item-item “V”, kemudian item-item “E” ,
yang apabila diperlukan, tentukan dengan tepat prioritas diantara item-item
tersebut dan akhirnya apabila dana tidak dialokasikan tersisa/tersedia, diatur
untuk pengadaan item-item “N”.
3. Wetmatig, artinya system/cara pengadaannya haruslah sesuai dengan
ketentuan-ketentuan yang berlaku.
Jadi dalam pengadaan perlu diperhatikan mengenai kebutuhan kemampuan
dan ketentuan (3K) (Seto, 2004)
D. Perencanaan Obat
Siklus manajemen menurut Quick et al. (1997), meliputi empat tahap yaitu
seleksi (selection), perencanaan dan pengadaan (procurement), distribusi
(distribution) dan penggunaan (use). Adapun sistem yang mendukung manajemen
tersebut adalah organisasi, keuangan, informasi manajemen dan sumber daya
manusia.
Perencanaan merupakan dasar tindakan manajer untuk dapat menyelesaikan
tugas pekerjaannya dengan baik. Fungsi perencanaan mencakup cakupan kegiatan
dalam menetapkan sasaran-sasaran, pedoman-pedoman, garis-garis besar apa yang
akan dituju dan pengukuran penyelenggaran bidang logistik. Penentuan kebutuhan
merupakan perincian dari fungsi perencanaan, bilamana perlu semua fator yang
memepengaruhi penentuan kebutuhan harus diperhitungkan terutama menyangkut
keterbatasan organisasi. Penentuan kebutuhan menyangkut proses memilih jenis
dan menetapkan dengan prediksi jumlah kebutuhan persediaan barang / obat
perjenis di apotek ataupun rumah sakit. Penentuan kebutuhan dapat dikatakan
adalah merupakan perincian yang kongkrit dan detail dari perencanaan logistik
(Seto, 2004)
Perencanaan obat adalah proses sejak dari pemilihan jenis obat, jumlah obat
sampai membuat daftar kebutuhan. Dalam perencanaan perlu diperhatikan
kebutuhan dari pemakaian riil masing-masing barang (Quick, Hume,Rankin,
O’Connor, 1997).
Tujuan perencanaan obat adalah untuk mendapatkan :
1. Jenis dan jumlah obat yang tepat sesuai kebutuhan
2. Menghindari kekosongan obat
3. Meningkatkan penggunaan obat secara rasional
4. Meningkatkan efisiensi penggunaan obat (Quick et al., 1997).
Sedangkan kegiatan pokok dalam perencanaan obat adalah
b.Seleksi/perkiraan kebutuhan (memilih obat yg akan diadakan)
c.Menyesuaikan jumlah kebutuhan obat dengan alokasi anggaran (Quick et
al., 1997).
Pengadaan adalah proses memperoleh persediaan, baik dengan cara
membeli, hasil donasi, atau memproduksi sendiri. Proses pengadaan yang baik
dan efektif akan menjamin ketersediaan obat dalam jumlah yang tepat, dengan
harga obat yang rasional, dan standar kualitas yang terjamin. Siklus pengadaan
meliputi hal-hal berikut :
1. Evaluasi pilihan obat dan menentukan jumlah kebutuhan
2. Menyeimbangkan kebutuhan dana
3. Memilih metode pengadaan
4. Memilih pemasok dan menentukan batas kontrak
5. Monitoring status pesanan
6. Menerima dan memeriksa obat
7. Melakukan pembayaran
8. Distribusi obat
9. Mengumpulkan informasi konsumsi (Quick et al., 1997).
Fungsi pengadaan adalah merupakan usaha-usaha dan kegiatan-kegiatan
untuk memenuhi kebutuhan operasional yang telah ditetapkan di dalam fungsi
perencanaan, penentuan kebutuhan (dengan peramalan yang baik), maupun
penganggaran. Di dalam pengadaan dilakukan proses pelaksanaan rencana
pengadaan dari fungsi perencanaan dan penentuan kebutuhan, serta rencana
pembiayaan dari fungsi penganggaran. Pelaksanaan dari fungsi pengadaan dapat
dilakukan dengan pembelian, pembuatan, penukaran, ataupun penerimaan
sumbangan (hibah, missal untuk rumah sakit umum) (Seto, 2004).
Sistem pengelolaan obat mempunyai empat fungsi dasar yaitu untuk
meningkatkan secara rasional dan efisien dari (1) Seleksi dan perencanaan
kebutuhan obat; (2) Pengadaan obat yang ekonomis; (3) Distribusi obat yang
efisien; (4) Penggunaan obat yang rasional (Quick et al., 1997).
Sistem pengelolaan obat dikatakan efektif apabila dapat menyediakan
pelayanan obat secara optimal kepada unit-unit pelayanan kesehatan yang menjadi
cakupannya. Salah satu tolok ukur dari efektifitas adalah kecukupan jumlah obat
di suatu unit pelayanan kesehatan dalam kurun waktu tertentu. Berarti bahwa obat
yang disediakan secara kuantitatif maupun kualitatif dapat memenuhi kebutuhan
dari sebagian besar populasi yang dilayani di unit pelayanan kesehatan terkait.
Sebaliknya, sistem pengelolaan dikatakan tidak efektif apabila sering mengalami
stockout obat. Makin sering dan makin lama suatu unit pelayanan mengalami
stockout, maka semakin tidak efektif pengelolaannya (Khotimah, 2009)
Berbeda halnya dengan efektifitas, efesiensi digunakan untuk menyatakan
bahwa suatu sistem pengelolaan obat di samping efektif juga diselenggarakan
dengan biaya yang dapat ditekan. Dengan kata lain sistem pengelolaan obat
dikatakan efisien jika efektif dan murah. Pengukuran efisiensi secara kuantitatif
memang sulit dilakukan, oleh Karena tidak saja melibatkan segi kecukupan obat,
tetapi juga mencakup komponen biaya yang murah untuk pengadaan hingga
penggunaannya (Khotimah, 2009).
E.Obat
Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang
digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik promotif,
preventif, kuratif maupun rehabilitative yang dilakukan oleh peemrintah,
pemerintah daerah, dan / atau masyarakat (Anonim, 2009b) Obat adalah senyawa
kimia unik yang dapat berinteraksi secara selektif dengan sistem biologi (Ikawati,
2008). Obat dapat memicu suatu sistem dan menghasilkan efek, dapat menekan
suatu sistem, atau tidak berinterkasi secara langsung dengan suatu sistem tetapi
dapat memodulasi efek dari obat lain (Ikawati, 2008).
Obat merupakan unsur yang sangat penting dalam upaya penyelenggaraan
kesehatan. Sebagian besar investasi medik menggunakan obat, oleh karena itu
obat tersedia pada saat diperlukan dalam jenis dan jumlah yang cukup, berkhasiat
nyata dan berkualitas baik (BPOM, 2002).
Obat merupakan salah satu unsur terpenting dalam pelayanan kesehatan
kepada masyarakat. Di antara berbagai alternatif teknlogi medis yang ada,
intervensi dengan obat merupakan intervensi yang paling banyak digunakan
(Sirait, 2001). Obat dapat digolongkan menjadi 5 yaitu obat bebas, obat bebas
terbatas, obat keras, psikotropika dan narkotika (Anonim, 2010b).
F. Obat Generik
Dalam Permenkes No.HK.02.02/Menkes/068/2010 menyebutkan bahwa
obat Generik adalah obat dengan nama resmi International Non Propietary Names
(INN) yang ditetapkan dalam Farmakope Indonesia atau buku standar lainnya
untuk zat berkhasiat yang dikandungnya (Anonim, 2010a).
Obat dibuat dari bahan-bahan tertentu, yang setelah diteliti sekian lama,
ditemukan "zat inti berkhasiat terapetik". Zat ini yang secara umum disebut
"generik". Setelah disetujui oleh otoritas kesehatan, dari bahan generik ini, bisa
dibuat "obat generik" (Ardyanto, 2006b). Produksi generik merupakan tanggung
jawab pemerintah, melalui BUMN. Obat generik dapat dipasarkan dalam bentuk
tanpa bungkus/kemasan/logo, seperti beberapa yang dilihat di RS/puskesmas.
Ataupun juga dalam kemasan dari BUMN (perusahaan ini juga bisa memproduksi
merk dagang) (Ardyanto, 2006b).
Obat Generik ditargetkan sebagai program pemerintah untuk meningkatkan
keterjangkauan pelayanan kesehatan bagi masyarakat luas khususnya dalam hal
daya beli obat. Oleh karena pemasaran obat generik tidak memerlukan biaya
promosi (iklan, seminar, perlombaan) maka harga dapat ditekan sehingga
produsen (pabrik obat) tetap mendapat keuntungan, begitu pula konsumen mampu
membeli dengan harga terjangkau (Anonim, 2010b).
Obat Generik dibagi lagi menjadi 2 yaitu Generik berlogo dan Generik
bermerk ( branded generic ) : Obat generik berlogo yang lebih umum disebut obat
generik saja adalah obat yang menggunakan nama zat berkhasiatnya dan
mencantumkan logo perusahaan farmasi yang memproduksinya pada kemasan
obat. Sedangkan Obat Generik bermerek yang lebih umum disebut obat bermerek
adalah obat yang diberi merek dagang oleh perusahaan farmasi yang
memproduksinya (Anonim, 2010b).
Harga jual obat generik yang ditetapkan dalam Kepmenkes No.
1239/Menkes/SK/XI/2004 menyatakan bahwa harga jual apotek adalah harga jual
persatuan kemasan termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10 %
(Anonim, 2004). Harga obat generik berkisar antara 24-67 % lebih rendah dari
obat paten (Brahim, 2002). Data Kementerian Kesehatan menunjukkan, dalam
lima tahun terakhir pasar obat generik turun dari Rp 2,525 triliun (10% dari pasar
obat nasional) menjadi Rp 2,372 triliun (7,2% dari pasar obat nasional). Padahal
pasar obat nasional meningkat dari Rp 23,590 triliun pada 2005 menjadi Rp
32,938 triliun tahun 2009. Ketersediaan obat esensial generik di sarana pelayanan
kesehatan juga baru mencapai 69,74% dari target 95%. Meski tingkat peresepan
obat generik di Puskesmas sudah mencapai 90%, namun tingkat peresepan obat
generik di rumah sakit umum masih 66% sementara di rumah sakit swasta dan
apotek hanya 49% (Mufid, 2010c).
G. Analisis ABC
Analisis ABC adalah metode yang sangat berguna untuk melakukan
pemilihan, penyediaan, manajemen distribusi, dan promosi penggunaan obat yang
rasional. Terkait dengan pemilihan obat, evaluasi obat kelompok A menjelaskan
tentang item obat yang paling banyak digunakan (Quick et al., 1997).
Klasifikasi ABC adalah metode pembuatan grup atau penggolongan
berdasarkan peringkat nilai dari nilai tertinggi hingga terendah, dan dibagi
menjadi 3 kelompok besar yang disebut kelompok A, B dan C (Anonim, 2006)
.
Prinsip ABC ini bisa digunakan dalam pengelolaan pembelian, inventori,
penjualan, dan sebagainya. Prinsip ini juga dikenal dengan nama Analisa ABC
(ABC analysis), dan dibuat berdasarkan sebuah konsep yang dikenal dengan nama
Hukum Pareto (Pareto’s Law), dari nama ekonom Itali, Vilfredo Pareto. Hukum
Pareto menyatakan bahwa sebuah grup selalu memiliki persentase terkecil (20%)
yang bernilai atau memiliki dampak terbesar (80%). Sebagai contoh, 20% dari
total barang biasanya bernilai 80% dari total nilai inventori (Anonim, 2006).
Selain itu analisis ABC juga membantu untuk mengidentifikasi biaya
yang dihabiskan untuk setiap item obat yang tidak terdapat dalam daftar obat
esensial atau jarang digunakan. Terkait dengan pendapatan dari penyediaan obat,
analisis dapat ABC digunakan untuk :
1. Menentukan frekuensi permintaan item obat
Memesan item obat kelompok A lebih sering dan dalam jumlah yang lebih
kecil akan mengurangi biaya inventoris
2. Mencari sumber item kelompok A dengan harga yang lebih murah
Dilakukan dengan mencari item kelompok A dalam bentuk sediaan yang
paling murah atau supplier yang paling murah
3. Memonitor status permintaan item
Hal ini untuk mencegah terjadinya kekurangan item yang mendadak dan
keharusan untuk melakukan pembayaran darurat yang biasanya mahal
4. Memonitor prioritas penyediaan
Pola penyediaan disesuaikan dengan prioritas sistem kesehatan yang
menunjukkan jumlah obat jenis apa saja yang sering digunakan
5. Membandingkan biaya aktual dan terencana
Membandingkan biaya aktual dan terencana dengan sistem penyediaan obat di
sektor publik negara yang bersangkutan (Quick et al., 1997).
Sedangkan terkait dengan manajemen distribusi dan inventoris, analisis
ABC bisa digunakan untuk :
1. Memonitor waktu paruh dengan menitik beratkan pada kelas A untuk
meminimalisasi jumlah obat yang dibuang.
2. Menjadwal pengiriman
3. Menghitung jumlah stok secara berkala, terutama untuk penghitungan item
kelompok A
4. Memonitor penyimpanan (Quick et al., 1997).
Terkait dengan segi manfaat, analisis ABC digunakan untuk mengevaluasi
item dengan tingkat penggunaan terbanyak bersama-sama pejabat kesehatan,
dokter, dan tenaga medis lain untuk memberikan gambaran mengenai obat yang
jarang dan sering digunakan (Quick et al., 1997).
Analisis ABC dapat diterapkan pada suatu periode tahunan atau periode
yang lebih singkat. Langkah-langkah analisis ABC yaitu :
1. Mendata semua item yang dibeli atau dikonsumsi dan memasukkannya
kedalam unit biaya
2. Memasukkan kuantitas konsumsi selama suatu periode
3. Menghitung nilai konsumsi
4. Menghitung persentase nilai total setiap item
6. Menghitung persentase kumulatif nilai total untuk setiap item
7. Memilih poin cut-off atau batasan (range persentase) untuk obat kelompok
A,B,dan C
8. Menyajikan data dalam bentuk grafik (Quick et al., 1997).
Menurut Handoko (1999) Hukum Pareto berguna dalam pengalokasian
sumber daya – sumber daya pengawasan, dan telah dioperasionalisasikan sebagai
cara mengklasifikasikan persediaan menjadi kelompok A, B, dan C. Pengendalian
dari masing-masing kelompok secara ringkas adalah
Tabel I. Pengendalian persediaan masing-masing kelas dalam analisis ABC
(Handoko, 1999)
Kelompok A Kelompok B Kelompok C
Pengendalian ketat Pengendalian moderat Pengendalian longgar
Penyimpanan secara
baik
laporan-laporan penerimaan
dan pengunaan
barang
Penyimpanan secara baik
laporan-laporan
penerimaan dan
penggunaan barang
Bila suplai mencapai titik
pemesanan kembali,
pesanan segera dilakukan
Berdasarkan pada
perhitungan
kebutuhan
Berdasarkan perhitungan
pemakaian di waktu yang
lalu atau daftar permintaan
Pengecekan sedikit
dilakukan, dengan
membandingkan terhadap
kebutuhan
Pengecekan secara
ketat revisi skedul
Serangkaian pengecekan
perubahan-perubahan
kebutuhan
Monitoring tidak perlu
atau sedikit dilakukan
Monitoring terus
menerus
Monitoring untuk
kemungkinan kekurangan
persediaan
Persediaan pengaman
jumlah besar (2-6 bulan
atau lebih)
H. Keterangan Empiris
Penelitian ini dapat menggambarkan perencanaan obat generik di apotek
Kota Yogyakarta berdasarkan analisis ABC Indeks Kritis pada tahun 2009 dan
merekomendasikan obat generik yang pengadaannya dapat dilakukan secara
bersama di Apotek Kota Yogyakarta.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Rancangan Penelitian
Penelitian tentang Analisis Perencanaan Obat generik Berdasarkan Metode
ABC Indeks Kritis di apotek Kota Yogyakarta Pada Tahun 2009 merupakan jenis
penelitian non eksperimental dengan rancangan penelitian bersifat retrospektif.
B. Definisi Operasional
1. Analisis perencanaan berdasarkan penggunaan obat generik selama 1 tahun
yaitu tahun 2009 di apotek Kota Yogyakarta.
2. Apotek Kota Yogyakarta adalah apotek yang berada atau terletak di Kota
Yogyakarta. Apotek tersebut merupakan apotek yang masuk dalam kriteria
inklusi. Berikut merupakan nama apotek-apotek yang dilakukan penelitian
yaitu Apotek Afina, Demangan, Garsen, Dharma Husada, Ratna, Satriya, Sutji,
UAD, UGM dan Wipa.
3. Obat generik yang dilakukan dalam penelitian ini adalah obat generik yang
berlogo.
4. Metode ABC Indeks Kritis adalah metode yang menggabungkan nilai pakai
dan nilai investasi dengan menggunakan sistem skoring.
5. Harga obat generik yang digunakan dalam penelitian ini adalah harga obat
generik yang tercantum dalam daftar harga obat generik berdasarkan
KepMenKes No. HK.03.01/Menkes/146/I/2010 tentang Harga Obat Generik.
6. Harga obat generik yang digunakan adalah harga pokok obat generik (harga
pembelian suatu apotek dari distributor) + PPN di luar diskon yang diberikan
distributor tersebut pada tahun 2009 tersebut.
7. Nilai pakai merupakan nilai jumlah penggunaan obat generik dalam waktu
satu tahun (2009).
8. Nilai investasi merupakan jumlah pemakaian obat generik selama tahun 2009
dikalikan dengan harga satuan obat generik + PPN.
9. Nilai indeks kritis merupakan penggabungan antara hasil analisis nilai pakai
dan analisis nilai investasi pada tahun 2009
C. Subyek Penelitian
Subyek yang dipakai dalam penelitian ini adalah apotek yang
direkomendasikan oleh IAI. Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah apotek
yang dimiliki dan atau dikelola penuh oleh Apoteker Pengelola Apotek (APA
bertanggung jawab penuh), Apoteker Pengelola Apotek bersedia untuk
berpartisipasi dalam penelitian ini, apotek yang berada di Kota Yogyakarta,
apotek yang mencatat dan menyimpan data penggunaan obat generik (baik
penggunaan dengan resep maupun non resep) selama tahun 2009 dengan
ditunjukkan adanya kartu stelling atau dengan adanya data penjualan/
pengeluaran obat generik yang tersimpan di komputer apotek tersebut.
Kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah apotek yang pemilik saham
apotek (PSA) ikut campur dalam melakukan pengelolaan obat generik, apotek
yang hanya mencatat atau mendokumentasikan penggunaan obat generik dengan
resep. Dari 26 apotek yang dikelola penuh oleh Apoteker Pengelola Apotek yang
terekomendasikan oleh IAI dilakukan observasi awal kemudian didapatkan 10
apotek di Kota Yogyakarta yang masuk dalam kriteria inklusi.
D. Materi Penelitian
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Data pemakaian obat generik di apotek Kota Yogyakarta tahun 2009
2. Daftar Harga Obat generik berdasarkan KepMenKes No.
HK.03.01/Menkes/146/I/2010 tentang Harga Obat Generik.
E. Alat Penelitian
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Kartu stok (baik secara manual atau komputerisasi)
2. Buku untuk mencatat langsung
3. Kalkulator untuk menghitung
4. Komputer dengan program Microsoft Office Excel 2007
F. Tempat Penelitian
Penelitian tentang analisis perencanaan obat generik berdasarkan Metode
ABC Indeks Kritis di apotek Kota Yogyakarta pada tahun 2009 dilakukan di
apotek Kota Yogyakarta, yaitu Apotek Afina, Demangan, Garsen, Dharma
Husada, Ratna, Satriya, Sutji, UAD, UGM dan Wipa.
G. Jalan Penelitian
Penentuan lokasi penelitian
Perumusan masalah
Penelusuran literatur
Observasi awal (sesuai
dengan kriteria inklusi)
Hasil dan Pembahasan
Kesimpulan dan saran
Pengelolaan dan analisis data
Pengumpulan data dengan
melihat kartu stok baik secara
manual maupun
Dalam dokumen
ANALISIS PERENCANAAN OBAT GENERIK BERDASARKAN METODE ABC INDEKS KRITIS DI APOTEK KOTA YOGYAKARTA PADA TAHUN 2009 SKRIPSI
(Halaman 28-200)