• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

B. Saran

c. Keterangan, yaitu menyampaikan ucapan-ucapan dalam susunan kalimat yang dimengerti orang lain, berupa nasehat atau petunjuk untuk mempermudah seseorang melakukan kejahatan.

Dengan demikian jika bantuan yang diberikan sebelum kejahatan dilakukan itu selain dari 3 (tiga) jenis tersebut, maka tidak dapat dipidana. Sedangkan pembantuan pada saat kejahatan dilakukan, tidak dibatasi jenis bantuannya.

Menurut Simons agar seorang medeplichtige itu dapat dihukum, maka perbuatan medeplichtige tersebut harus memenuhi 2 (dua) macam unsur, yaitu: 147

1. Unsur obyektif

Perbuatan seorang medeplichtige itu dapat disebut telah memenuhi unsur yang bersifat obyektif, jika perbuatannya itu telah dilakukan dengan maksud untuk mempermudah atau mendukung dilakukannya suatu kejahatan. Ini berarti bahwa apabila alat-alat yang oleh seorang

medeplichtige telah diserahkan kepada seorang pelaku itu ternyata tidak

dipergunakan oleh pelakunya untuk melakukan kejahatannya, maka

medeplichtige tersebut juga tidak dapat dihukum.

2. Unsur subyektif

Perbuatan seorang medeplichtige itu dapat disebut telah memenuhi unsur yang bersifat subyektif, jika perbuatan yang telah dilakukan oleh

medeplichtige tersebut benar-benar telah dilakukan dengan sengaja, dalam

arti bahwa medeplichtige tersebut memang mengetahui bahwa perbuatannya itu dapat mempermudah atau mendukung dilakukannya suatu kejahatan oleh orang lain, dan perbuatan mempermudah atau mendukung itu dilakukannya suatu kejahatan oleh orang lain itu memang ia kehendaki.

146 Adami Chazawi, Buku II, Op.Cit., hal. 142. 147 P.A.F. Lamintang, Op.Cit., hal. 620.

Berdasarkan uraian pasal-pasal tersebut diatas, maka notaris tidak dapat dikenakan Pasal 266 ayat (1) KUHP. Hal ini dikarenakan dalam pembuatan akta otentik notaris hanya merupakan media (alat) untuk lahirnya suatu akta otentik sehingga dalam hal ini notaris merupakan pihak yang disuruh bukan merupakan pihak yang menyuruh. Namun, apabila seorang notaris telah dengan sengaja dan diinsyafi bekerja sama dengan penghadap, maka notaris dapat dikenakan Pasal 263 ayat (1) KUHP yang dikaitkan dengan Pasal 55 (1) KUHP, yaitu turut serta melakukan tindak pidana.

Berbicara mengenai penegakan hukum (Law enforcement) tentunya berbicara mengenai aparat penegak hukum, yang dalam hal ini adalah Polisi. Polisi sebagai ujung tombak penegakan hukum dalam masyarakat tentunya diharapkan dapat mengetahui serta sekaligus memahami semua hukum positif, khususnya mengenai profesi notaris.

Pada implementasinya, polisi sering menjerat notaris dengan beberapa Pasal dalam KUHP. Namun, secara moral polisi menyadari bahwa Pasal yang paling tepat untuk menjerat notaris hanya Pasal 263 KUHP.148 Senada dengan hal yang demikian, MY menyebutkan, hal tersebut dikarenakan pada Pasal 266 KUHP terdapat unsur

“menyuruh”. Sehingga, apabila dihubungkan dengan profesi notaris sebagai pembuat

148 Hasil wawancara dengan MT, selaku anggota penyidik pada Direktorat Reserse Kriminal

akta otentik, maka dengan demikian notaris bukanlah orang yang menyuruh, melainkan orang yang disuruh untuk membuat akta otentik tersebut.149

Selanjutnya, MNL juga menyebutkan, walaupun polisi secara moral menyadari bahwa pasal yang paling tepat dikenakan terhadap notaris adalah Pasal 263 KUHP. Akan tetapi, polisi tetap saja menjerat notaris dengan beberapa pasal.150 Polisi melakukan hal yang demikian, ditujukan agar notaris dapat dijerat dengan salah satu Pasal, sehingga dapat menutup kemungkinan terjadinya penghentian penyidikan.151 Selain itu, polisi juga menyatakan bahwa penjeratan yang dilakukan dengan pasal berlapis adalah hal yang wajar, karena pada akhirnya pemeriksaan perkara di tahap pengadilanlah yang menentukan seorang notaris terbukti bersalah atau tidak.152

Berdasarkan kondisi faktual yang demikian, maka dapat dilihat bahwa sebahagian besar polisi menyadari pasal dalam KUHP yang dapat menjerat notaris dalam kaitannya dengan menjalankan profesinya hanya Pasal 263 ayat (1) KUHP. Namun, polisi tetap saja menjerat seorang notaris dengan pasal berlapis, yaitu Pasal 263 ayat (1) KUHP dan juga Pasal 266 ayat (1) KUHP dan kemudian dihubungkan dengan Pasal 55 dan 56 KUHP. Hal ini disebabkan oleh tindakan polisi itu sendiri

149 Hasil wawancara dengan MY, selaku anggota penyidik pada Direktorat Reserse Kriminal

POLDASU, pada tanggal 9 Juni 2010.

150 Hasil wawancara dengan MNL, selaku anggota penyidik pada Direktorat Reserse Kriminal

POLDASU, pada tanggal 10 Juni 2010.

151

Hasil wawancara dengan MS, selaku anggota penyidik pada Direktorat Reserse Kriminal POLDASU, pada tanggal 14 Juni 2010.

152 Hasil wawancara dengan B, selaku anggota penyidik pada Direktorat Reserse Kriminal

yang menunjukkan sikap yang cenderung menghindari tanggung jawab, dimana polisi hanya menempuh tindakan yang aman baginya, dengan dalih polisi hanya sebagai ujung tombak dan yang menjadi corongnya adalah hakim. Selain itu, hal ini juga dikarenakan oleh ketakutan polisi, yaitu apabila terhadap satu pasal dalam KUHP tidak terbukti, maka selanjutnya akan menjadi bumerang bagi polisi itu sendiri.

C. Perlindungan Hukum Bagi Notaris

Jabatan notaris dalam proses pembangunan sangat dibutuhkan oleh masyarakat, karena itu jasa notaris perlu diatur agar memperoleh perlindungan demi tercapainya kepastian hukum. Hal ini sesuai dengan apa yang disebutkan dalam butir konsideran menimbang huruf c UUJN yang menyatakan bahwa notaris merupakan jabatan tertentu yang menjalankan profesi dalam pelayanan hukum kepada masyarakat perlu mendapatkan perlindungan dan jaminan, demi tercapainya kepastian hukum.

Sebagaimana diketahui bahwa terhadap para notaris diadakan pengawasan yang dilakukan oleh Majelis Pengawas Notaris. Peran Majelis Pengawas Daerah sangat penting bagi terlaksananya pengawasan yang berkualitas dan proporsional yang menjamin kepastian hukum, perlindungan hukum dan ketertiban hukum bagi notaris maupun masyarakat pada umumnya. Fungsi pengawasan dalam hal ini harus disertai dengan fungsi pembinaan dan perlindungan, karena tanpa pembinaan dan perlindungan, maka pengawasan akan tidak berarti bagi notaris.

Fungsi pembinaan yang dilakukan oleh Majelis Pengawas Daerah dapat dilihat dalam Pasal 70 UUJN yang mana diharapkan akan memperkecil bahkan menghilangkan kesalahan dalam perilaku dan pelaksanaan jabatan notaris. Sedangkan, mengenai fungsi perlindungan lebih dikaitkan dengan azas praduga tidak bersalah (Presumption of innocence).

Majelis Pengawas Daerah dalam memberikan perlindungan hukum terhadap Notaris, melakukan tugasnya dengan selalu memperhatikan dan melihat relevansi serta urgensi seorang Notaris dipanggil sebagai saksi maupun sebagai tersangka dengan pengambilan minuta atau fotocopynya maupun surat-surat yang dilekatkan pada minuta tersebut untuk proses peradilan, penyidikan atau penuntutan.

Perlindungan hukum tersebut di atas dituangkan dalam Pasal 66 UUJN yang menetapkan, bahwa untuk proses peradilan, penyidik, penuntut umum atau hakim dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah berwenang mengambil fotokopi minuta akta dan atau surat-surat yang dilekatkan pada minuta akta atau protokol notaris dalam penyimpanan notaris dan memanggil notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau protokol notaris yang berada dalam penyimpanannya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kata “persetujuan”

tersebut mempunyai arti bahwa dengan tidak adanya persetujuan maka hal tersebut tidak dapat dilakukan.

Ketentuan Pasal 66 UUJN ini bersifat imperatif atau keharusan, yang dalam pelaksanaannya dilakukan oleh Majelis Pengawas Daerah. Apabila Majelis Pengawas Daerah berdasarkan hasil pemeriksaannya memutuskan, Notaris yang bersangkutan

tidak diizinkan untuk memenuhi panggilan polisi, maka Notaris yang bersangkutan harus mematuhinya. Tapi jika ternyata Majelis Pengawas Daerah tidak mengizinkannya dan Notaris yang bersangkutan tetap ingin memenuhi panggilan tersebut, maka segala akibat hukumnya menjadi tanggung jawab Notaris yang bersangkutan. Sebaliknya jika Majelis Pengawas Daerah memutuskan mengizinkan, maka notaris yang bersangkutan harus memenuhi panggilan polisi.153

Notaris dalam memberikan pelayanannya hanyalah merupakan pihak yang menuangkan keinginan para pihak yang menghadap kepadanya, bukan kehendak dirinya sendiri dan bersikap netral atau tidak berpihak kepada salah satu penghadap. Jadi, seharusnya para penyidik sebaiknya mengejar para pihak yang terlibat pembuatan akta tersebut bukannya bersikeras mengejar notaris, karena meskipun notaris diwajibkan bersikap hati-hati dan memeriksa keabsahan dokumen, notaris hanya mampu menyentuh kebenaran formal saja. Kebenaran material berada pada para pihak dan berkas-berkas yang dibawa kepada notaris. Sehingga jika terjadi masalah mengenai aspek material seharusnya para penyidik terlebih dahulu mengejar para penghadap yang secara sengaja menyodorkan dokumen palsu kepada notaris.

Kewenangan yang diberikan UUJN kepada Majelis Pengawas Daerah untuk memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan kepada Penyidik, Penuntut Umum atau Hakim dalam pelaksanaan ketentuan Pasal 66 UUJN, tidak ada kriteria pengaturannya secara normatif dan hanya diatur dalam Peraturan Menteri

153 Habib Adjie, Kesaksian Notaris Pemegang Protokol, http://groups.yahoo.com/

Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia nomor M.03.HT.10 Tahun 2007 tentang Pengambilan Minuta Akta dan Pemanggilan Notaris, dimana diatur Kriteria umum yaitu:154

1. Syarat Pemanggilan Notaris guna pemeriksaan sebagai Saksi atau Tersangka yaitu:

a. Adanya dugaan tindak pidana berkaitan dengan Minuta Akta dan/atau surat- surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris atau;

b. Belum gugur hak menuntut berdasarkan ketentuan tentang daluwarsa dalam peraturan perundang-undangan di bidang pidana.

2. Syarat pengambilan copy minuta akta dan atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam Penyimpanan Notaris yaitu:

a. Adanya dugaan tindak pidana berkaitan dengan Minuta Akta dan/atau surat- surat yang dilekatkan pada minuta akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris atau;

b. Belum gugur hak menuntut berdasarkan ketentuan tentang daluwarsa dalam peraturan perundang-undangan dibidang pidana.

3. Syarat pengambilan minuta akta atau surat-surat yang dilekatkan pada minuta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris yaitu:

c. Adanya dugaan tindak pidana berkaitan dengan Minuta Akta dan/atau surat yang dilekatkan pada minuta akta atau Protokol Notaris dalam Penyimpanan Notaris atau;

d. Belum gugur hak menuntut berdasarkan ketentuan tentang daluwarsa dalam peraturan perundang-undangan di bidang pidana;

e. Ada penyangkalan keabsahan tanda tangan dari para pihak; f. Ada dugaan pengurangan atau penambahan dari Minuta akta atau; g. Ada dugaan Notaris melakukan pemunduran tanggal akta (antidatum).

Sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya, bahwa pada saat seorang notaris akan memenuhi panggilan polisi, maka seharusnya pihak kepolisian haruslah terlebih dahulu menyampaikan panggilan tersebut kepada Majelis Pengawas Daerah.

154 Pieter Latumeten, Perlindungan Jaminan Hukum Bagi Profesi Notaris,

http://www.firstadvice-online.com/main.php?page=kategoridet&id=61, diakses pada tanggal 20 Mei 2010.

Pada tahap ini yang menentukan dapat tidaknya seorang notaris memenuhi panggilan tersebut adalah Majelis Pengawas Daerah, dengan landasan bahwa Majelis Pengawas Daerah akan memeriksa terlebih dahulu keterlibatan seorang notaris terhadap permasalahan hukum yang terkait dengan panggilan tersebut.155

Apabila Majelis Pengawas Daerah memutuskan mengizinkan Notaris yang bersangkutan harus memenuhi panggilan polisi, Notaris yang bersangkutan dapat menolaknya yaitu dengan cara menggugat Majelis Pengawas Daerah tersebut ke Pengadilan Tata Usaha Negara, dengan alasan bahwa pengawasan Notaris berada pada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, yang notabene sebagai pemerintah atau eksekutif - pejabat atau badan tata usaha negara, kemudian pengawasan tersebut didelegasikan (bukan mandat) kepada Majelis Pengawas Notaris, maka dengan Majelis Pengawas Notaris sebagai delegataris dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia berkedudukan pula sebagai Pejabat atau Badan Tata Usaha Negara, dimana surat keputusan yang dikeluarkan oleh Majelis Pengawas Notaris tersebut merupakan objek gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara. Hal ini dapat dilakukan sebagai upaya perlindungan hukum untuk para notaris.156

Demi memperkuat aturan pemanggilan notaris dalam Pasal 66 UUJN tersebut di atas, maka dalam pelaksanaan pemanggilan dan pemeriksaan notaris telah dibuat suatu kesepakatan antara Polri dengan Ikatan Notaris Indonesia (INI) yang tertuang

155 Hasil wawancara dengan Syafruddin Kalo, anggota Majelis Pengawas Daerah Notaris di

Medan, pada tanggal 7 Juni 2010.

156 Habib Adjie, Kesaksian Notaris Pemegang Protokol, http://groups.yahoo.com/

dalam nota kesepahaman antara kepolisian dengan Ikatan Notaris Indonesia No.Pol:B/1056/V/2006 dan Nomor: 01/MoU/PP-INI/V/2006 tgl 6 Mei 2006.

Nota kesepahaman tersebut menyebutkan tindakan pemanggilan terhadap notaris harus dilakukan secara tertulis dan ditandatangani oleh penyidik. Namun pemanggilan itu, dilakukan setelah penyidik memperoleh persetujuan dari Majelis Pengawas Daerah yang merupakan suatu badan yang mempunyai kewenangan dan kewajiban untuk melaksanakan pembinaan dan pengawasan. Lebih lanjut isi kesepahaman itu mengatur notaris yang akan diperiksa atau dimintai keterangan harus jelas kedudukan dan perannya, apakah sebagai saksi atau tersangka terhadap akta-akta yang dibuatnya dan atau selaku pemegang protokol.

Penyitaan yang dilakukan terhadap akta notaris dan atau protokol yang ada dalam penyimpanan notaris, guna membuktikan perkara pidananya dan/atau keterlibatan notaris sebagai tersangka, maka penyidik mengajukan permohonan kepada Majelis Pengawas Daerah di tempat kedudukan notaris yang bersangkutan berada.

Pada hakekatnya, notaris harus hadir memenuhi panggilan yang sah. Tetapi boleh saja berhalangan. Kalau demikian halnya, polisi bisa datang ke kantor notaris bersangkutan. Dalam nota kesepahaman itu, notaris juga meminta agar mereka hanya bisa diperiksa oleh penyidik, bukan penyidik pembantu. Kalaupun kelak akan diperiksa penyidik pembantu, alasannya harus patut dan wajar. Diatur pula klausul tentang notaris yang disangka melakukan tindak pidana berkenaan dengan akta yang dibuatnya, sesuai Pasal 54 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP),

dimana notaris berhak mendapatkan bantuan hukum. Notaris yang menjadi tersangka berhak untuk didampingi oleh pengurus INI saat diperiksa polisi. Kalau dalam pemeriksaan tidak terbukti adanya unsur pidana, maka penyidik wajib menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dalam waktu secepatnya.

Selain itu, berdasarkan uraian mengenai unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 266 KUHP yang telah disebutkan di atas, maka Pasal 266 KUHP dapat digunakan sebagai imunitas notaris dalam menjalankan tugas jabatannya yaitu ayat yang pertama. Hal ini dikarenakan notaris baru dapat membuat suatu akta apabila ada para pihak yang datang ke hadapannya untuk meminta dibuatkan suatu akta mengenai hubungan hukum yang ada di antara para pihak tersebut. Dengan kata lain, notaris hanyalah pihak yang membuat akta otentik berdasarkan permintaan para pihak, sehingga yang memasukkan keterangan palsu bukanlah notaris melainkan para pihak tersebut.

Sehubungan dengan hal tersebut, Mahmud Mulyadi mengatakan sebagai berikut :157

Seorang Notaris tidak bisa diminta pertanggung jawaban pidana atas akta yang dibuatnya bila ia telah melakukan tugasnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan tugasnya selaku notaris. Hal ini dilegitimasi dalam Pasal 266 KUHP. Seorang notaris tidak bisa dihukum pidana atas Pasal 266 KUHP ini karena ia telah menjalankan tugasnya dengan benar. Posisi seorang Notaris pada Pasal 266 KUHP adalah orang yang

disuruh (manus ministra)” dan dalam hukum pidana orang yang disuruh tidak bisa diminta pertanggungjawaban pidana atas perbuatannya. Sedangkan Seorang Notaris dapat diminta pertanggung jawaban pidana atas akta yang

157 Hasil wawancara dengan Mahmud Mulyadi selaku ahli hukum di bidang hukum pidana

dibuatnya berdasarkan Pasal 263 dan 264 KUHP jika :

a. Notaris mengetahui bahwa pada saat orang yang menghadap kepadanya untuk membuat akta otentik, baik berupa perikatan untuk jual beli atau perikatan lainnya, orang tersebut tidak bisa memenuhi syarat-syarat sahnya suatu perikatan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun Notaris tidak mengindahkan syarat-syarat sahnya perikatan tersebut dan tetap membuat akta sesuai yang diminta oleh para penghadap;

b. Notaris mengetahui bahwa pada saat orang yang menghadap kepadanya untuk membuat akta otentik, orang tersebut telah memberikan keterangan- keterangan tidak benar untuk dicantumkan di dalam akta tersebut. Notaris tidak mengindahkannya dan tetap saja membuat Akta otentik tersebut Dalam hal ini notaris dan para penghadap telah melakukan penyertaan dalam melakukan tindak pidana yang diatur dalam Pasal 55 KUHP dan sama-sama bisa diminta pertanggungjawaban pidana sebagai pelaku kejahatan.

Selain dari pada itu pula, seorang notaris yang menjalankan profesinya sesuai pada jalurnya dan tidak melenceng dari apa yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan, maka seorang notaris tersebut tidak dapat dikenakan sanksi pidana. Hal ini menjadi alasan pembenar bagi notaris dalam menjalankan profesinya, sehingga seorang notaris tidaklah dapat dimintai pertanggungjawaban pidana, sebagaimana Pasal 50 KUHP. Di dalam Pasal 50 KUHP dirumuskan bahwa “Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak dipidana”.

Apabila diperhatikan secara seksama, di dalam Pasal tersebut di atas secara jelas terlihat bahwa pasal tersebut meletakkan suatu prinsip, yaitu apa yang telah diharuskan atau diperintahkan oleh suatu undang-undang, tidak mungkin untuk diancam hukuman dengan undang-undang yang lain. Pengertian undang-undang

dalam pasal ini adalah semua peraturan yang dibuat oleh suatu badan pemerintahan yang diberi kekuasaan untuk membuat undang-undang, jadi termasuk pula misalnya peraturan pemerintah dan peraturan-peraturan pemerintah daerah seperti propinsi, kabupaten dan kotapraja.158

Menjalankan undang-undang artinya tidak hanya terbatas pada melakukan perbuatan yang diperintahkan oleh undang-undang, akan tetapi lebih luas lagi ialah meliputi pula perbuatan-perbuatan yang dilakukan atas wewenang yang diberikan oleh suatu undang-undang.159 Sehubungan dengan hal tersebut, dimana notaris yang notabene dalam menjalankan profesinya telah diatur oleh UUJN, maka Pasal 50 KUHP ini dapat menjadi imunitas bagi notaris dalam menjalankan tugas jabatannya.

Sehubungan dengan hal tersebut, Syafnil Gani berpendapat sebagai berikut :160

Bahwa jika seorang notaris dalam menjalankan tugas jabatannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan terutama mengenai kewajibannya yang diatur dalam Pasal 16 ayat (1) huruf a yang menyebutkan bahwa dalam menjalankan jabatannya seorang notaris berkewajiban untuk bertindak jujur, saksama, mandiri tidak berpihak dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum, maka niscaya notaris tersebut tidak akan bersinggungan dengan ranah hukum pidana.

Hal-hal yang telah diuraikan tersebut di atas meskipun merupakan bentuk perlindungan hukum terhadap Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya, tapi

158 R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia, Bogor, 1991, hal. 66.

159 Ibid.

160 Hasil wawancara dengan Syafnil Gani selaku praktisi notaris yang juga mantan anggota

bukan berarti Notaris kebal hukum. Notaris dapat saja dihukum, jika disadari, diinsyafi dan disengaja dan bersama-sama (konspirasi) dengan para penghadap membuat akta untuk melakukan suatu tindakan hukum yang dapat merugikan orang lain.

Berdasarkan uraian pasal-pasal sebagaimana yang telah diuraikan dalam sub bab sebelumnya, kemudian dihubungkan pula dengan hasil wawancara di atas, maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa seorang notaris tidak dapat dikenakan Pasal 266 ayat (1) KUHP. Hal ini dikarenakan dalam Pasal 266 ayat (1) tersebut, terdapat unsur menyuruh. Notaris dalam pembuatan akta otentik hanya merupakan media (alat) untuk lahirnya suatu akta otentik, sedangkan inisiatif timbul dari para penghadap, sehingga dalam hal ini notaris merupakan pihak yang disuruh bukan merupakan pihak yang menyuruh. Namun, apabila seorang notaris telah dengan sengaja dan diinsyafi bekerja sama dengan penghadap, maka notaris dapat dikenakan Pasal 263 ayat (1) KUHP yang dikaitkan dengan Pasal 55 (1) KUHP, yaitu turut serta melakukan tindak pidana. Selain itu, karena produk yang dihasilkan oleh notaris adalah berupa akta otentik, maka notaris dikenakan pemberatan yaitu sebagaimana yang diatur dalam Pasal 264 ayat (1) huruf a KUHP Jo. Pasal 55 ayat (1) KUHP.

BAB IV

AKIBAT HUKUM BAGI NOTARIS

YANG DITETAPKAN SEBAGAI TERSANGKA

A. Analisis Kasus Notaris yang Terkait Tindak Pidana 1. Kasus I : Notaris Sebagai Tersangka

a. Kasus Posisi :

Bermula ketika DM melakukan kesepakatan dalam hal berjanji dan mengikat diri akan menjual dan memindahkan serta menyerahkan 17 (tujuh belas) kavling tanah yang terletak di Komplek Bukit Hijau Regency yang terdiri dari 21 (dua puluh satu) sertifikat Hak Guna Bangunan yang terdaftar pada Kantor Pertanahan Kota Medan atas nama PT. IWU serta sebidang tanah seluas 4.269,66 M2 berdasarkan sertifikat Hak Guna Bangunan yang terdaftar pada Kantor Pertanahan Kota Medan atas nama PT. IWU dengan A, kemudian A bersedia membeli dan menerima serta penyerahan dari pihak DP ;

Selanjutnya DP bersama A membuat Akta Perjanjian Pendahuluan Untuk Jual Beli nomor 138 pada tanggal 29 Mei 2008 dihadapan Notaris R dan disepakati juga batas tanah yang akan dijual, uang panjar (uang muka), harga tanah dan hak-hak serta kewajiban penjual dan pembeli serta dilampirkan gambar

site plan yang distabilo (ditandai) sebagai penunjuk (PETA) agar tidak keliru

dengan batas-batas yang akan dialihkan oleh DP kepada A selaku penerima atau pembeli ;

Bahwa site plan yang telah disepakati merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Akta Perjanjian Pendahuluan Untuk Jual Beli nomor 138 pada tanggal 29 Mei 2008 dan disepakati juga untuk harga 17 (tujuh belas) kavling tanah seluas 19,210 M2 dengan harga sebesar Rp. 1.562.175,-/meter persegi dengan jumlah harga keseluruhan sebesar Rp. 29.989.073.475,- sedangkan harga sebidang tanah dengan luas 4.269,66 M2 dengan harga Rp. 750.000,-/meter persegi dengan jumlah harga keseluruhan sebesar Rp. 3.202.245.000,- sehingga total harga adalah sebesar Rp. 33.191.318.475,- dan dengan ditandatanganinya Akta Perjanjian Pendahuluan Untuk Jual Beli nomor 138 pada tanggal 29 Mei 2008, maka pihak DP menerima uang muka sebesar Rp. 2.000.000.000,- ;

Pada tanggal 27 Juni 2008 sekitar pukul 17.00 WIB TW menghubungi DP agar datang ke kantor Notaris SS untuk menindaklanjuti Akta Perjanjian Pendahuluan Untuk Jual Beli nomor 138 pada tanggal 29 Mei 2008, antara DP dengan A,

Dokumen terkait