• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.2. Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk melepaskan P yang terakumulasi dalam bentuk sukar ataupun tidak tersedia menjadi bentuk yang

36 tersedia bagi tanaman, baik pada tanah sawah maupun tanah pertanian lahan kering di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.

37 DAFTAR PUSTAKA

Abdulrachman A, dan S Sutono. 2005. Teknologi pengendalian erosi lahan berlereng dalam Teknologi Pengelolaan Lahan Kering: Menuju pertanian produktif dan ramah lingkungan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor.

Adiningsih S. 2004. Dinamika hara dalam tanah dan mekanisme serapan hara dalam kaitannya dengan sifat-sifat tanah dan aplikasi pupuk. LPI dan APPI, Jakarta.

Adiningsih JS. 1992. Peranan efisiensi penggunaan pupuk untuk melestarikan swasembada pangan. Orasi Pengukuhan Ahli Peneliti Utama Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat Bogor (Tidak dipublikasikan).

Adiningsih JS, Moersidi, M Sudjadi, dan AM Fagi. 1989. Evaluasi keperluan fosfat pada lahan sawah intensifikasi di Jawa. Hal. 63-89 dalam Prosiding Lokakarya Nasional Efesiensi Penggunaan Pupuk. Cipayung, 21 November 1988.

Ardjasa WS, et al. 2000. Peranan mikroba penambat N dan pelarut P dari pupuk hayati E-2001 dalam meningkatkan efektivitas pupuk dan produktivitas padi sawah sistem Tabela dan TOT pada sawah irigasi. Makalah Seminar Nasional Pemanfaatan Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Ekoregional Sumatera-Jawa. Bandar Lampung, 22-23 Maret 2000.

Balai Penelitian Tanah. 2009. Analisis Kimia Tanah, Tanaman, Air, dan Pupuk. Bogor: Balai Penelitian Tanah.

Black CA. 1976. Soil Plant Relationships. John Wiley and Sons., Inc., New York.

Biro Pusat Statistik. 2006. Statistik Indonesia. Biro Pusat Statistik, Jakarta.

Biro Pusat Statistik. 2010. Statistik Indonesia. Biro Pusat Statistik, Jakarta.

Buckman HO, and NC Brady. 1964. The Nature and Properties of Soils. The Macmillan Company. New York.

De Datta SK. 1981. Principles and Practices of Rice Production. A Wiley-Interscience Publication. Jhon Willey & Sons. New York. 618 hlm.

Dobermann A, and T Fairhust. 2000. Rice; Nutrient Disorders and Nutrient Management. IRRI. Makati City, The Fhilipines. P 191.

Dudal R. 1965. The Problem on The Genesis and Classification of Rice (Paddy) Soils.

38 [FAO]. 1998. Word reference base for soil resourch. World Soil Resources

Report 84. Rome: FAO.

Hardjowigeno S. 2007. Ilmu Tanah. CV Akademika Pressindo, Jakarta.

Hardjowigeno S, H Subagyo, ML Rayes. 2004. Morfologi dan klasiikasi tanah sawah. Bogor: Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat.

Hartono A. 2008b. The Effect of Calcium Silicate on The Phosphorus Sorption Characteristics of Andisols Lembang: Jurnal Tanah dan Lingkungan, 10: 14-19.

Hartono A. 2007. The Effect of Calcium Silicate on The Selected Chemical Properties and Transformation of Inorganic and Organic Phosphorus in Andisols Lembang. Gakuryo., 13: 87-94.

Hartono A, S Funakawa, dan T Kosaki. 2006. Transformation of Added Phosphorus to Acid Upland Soil with Different Soil Properties in Indonesia. Soil Sci. Plant Nutr., 52: 734-744.

Hartono A, S Funakawa, dan T Kosaki. 2005. Phosphorus Sorption-desorption Characteristics of Selected Acid Soils in Indonesia. Soil Sci. plant Nutr., 51: 787-799.

Havlin JL, JD Beaton, SL Tisdale, and WL Nelson. 2005. Soil and Fertilizers. An Introduction to Nutrient Management. Seventh Edition. Pearson Education Inc. Upper Saddle River, New Jersey. P 499.

Hidayat dan Mulyani. 2002. Lahan Kering untuk pertanian dalam Teknologi Pengelolaan Lahan Kering. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta.

Kanno I. 1978. Genesis of Rice Soils with Special Reference to Profil Development. in: Soils and Rice. The International Rice Resarch Institute. Los Banos, Laguna, Philippines. P.237-254.

Las I, AK Makarim, A Hidayat, AK Karam, dan I Marwan. 1991. Peta agroekologi utama tanaman pangan di Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor.

Leiwakabessy FM, UM Wahjudin, Suwarno. 2003. Kesuburan Tanah. Bogor: Departemen Ilmu Tanah Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Leiwakabessy FM, dan Atang S. 2004. Pupuk dan Pemupukan. Diktat Kuliah Jurusan Tanah. Fakultas Pertanian Bogor. Institut Pertanian Bogor.

Lindsay WL. 1971. Chemical Equilibria in Soils. John Wiley and Sons, New York.

39 [LPT] Lembaga Penelitian Tanah. 1997. Peta status kadar K tanah sawah Jawa

Madura Skala 1 : 1.000.000. Soil Sci 149: 44-51.

Manuwoto. 1991. Peranan Pertanian Lahan Kering di dalam Pembangunan Daerah. Simposium Nasional Penelitian dan Pengembangan Sistem Usahatani Lahan Kering yang Berkelanjutan. Malang 29-31 Agustus 1991.

Moersidi S, D Santoso, M Soepartini, M Al-Jabri, JS Adiningsih, dan M Sudjadi. 1989. Peta keperluan fosfat tanah sawah Jawa dan Madura. Pemberitaan Penelitian Tanah dan Pupuk 6: 24-25.

Mulyani A. 2006. Perkembangan potensi lahan kering masam. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Sinar Tani Edisi 24-30 Mei 2006.

Notohadiparwiro T. 1989. Pertanian Lahan Kering di Indonesia: Potensi, Prospek, Kendala dan Pengembangannya. Lokakarya Evaluasi Pelaksanaan Proyek Pengembangan Palawija. USAID. Bogor.

Nurjaya, D Nursyamsi, dan A Kasno. 1995. Status hara fosfor dan kalium tanah sawah di Sumatera Selatan dan Sumatera Barat. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.

Nursyamsi D, dan Heryadi. 1994. Penggunaan kapur dan pupuk P untuk memperbaiki sifat-sifat tanah Podsolik (Ultisols) pada lahan alang-alang (imperata cylindrica). Makalah dipresentasikan pada Forum Komunikasi Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor, 25 November 1994.

Nurwadjedi. 2011. Indeks keberlanjutan lahan sawah untuk mendukung penataan ruang: studi kasus di Pulau Jawa [disertasi]. Bogor; Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Oldeman LR, I Las, and Muladi. 1980. The agroclimatic maps of Kalimantan, Maluku, Irian Jaya and Bali, West and East Nusa Tenggara. Contributions No 60, Central Research Institute for Agriculture, Bogor, 32 p.

Olsen SR, and M Fried. 1957. Soil Phosphorus and Fertility, p. 94-100. In Alfred Stefferud (ed) Soil. The Yearbook of Agriculture. USDA.

Purnomo J, Mulyadi, IGP Wigena. 1994. Pengaruh residu pupuk sumber P dan pengelolaan banah orgnik terhadap sifat kimia tanah serta hasil padi dan jagung. Makalah dipresentasikan pada Forum Komunikasi Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor, 25 Juni 1994.

Pusat Penelitian Tanah. 1983. Klasifikasi kesesuaian lahan.

Rachim AD, dan Suwardi. 1999. Morfologi dan klasifikasi tanah. Bogor: Jurusan Tanah Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

40 Radjagukguk B. 1983. Masalah Pengapuran Tanah Masam di Indonesia dalam Prosiding Seminar Alternatif-alternatif Pelaksanaan Program Pengapuran Tanah-Tanah Mineral Masam di Indonesia. Fakultas Pertanian UGM. Yogyakarta. Bull. 18: 15-43.

.

Rochayati S, JS Adiningsih. 2002. Pembinaan dan pengembangan program uji tanah untuk hara P dan K pada lahan sawah. Hlm. 15 dalam Pengelolaan Hara P dan K pada Padi Sawah. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat.

Rochayati S, Mulyadi, dan JS Adiningsih. 1990. Penelitian efisiensi penggunaan pupuk di lahan sawah. Hal. 107-143 dalam Prosiding Lokakarya Nasional Efisiensi Penggunaan Pupuk V. Cisarua, 12-13 November 1990.

Rukmana R. 1995. Teknik pengelolaan lahan berbukit dan kritis. kanisius. Jakarta.

Sanchez PA. 1992. Sifat dan Pengelolaan Tanah Tropika. Jilid 1. ITB. Bandung.

Satari G, Sadjad S, dan Sastrosoedardjo. 1977. Pendayagunaan tanah kering untuk budidaya tanaman pangan menjawab tantangan tahun 2000. Kongres Agronomi, Perhimpunan Agronomi Indonesia. Jakarta.

Satari G. 1987. Peranan fosfor dalam pembangunan pertanian di Indonesia. Hal. 13-20 dalam Prosiding Lokakarya Nasional Penggunaan Pupuk Fosfat. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat.

Situmorang R dan U Sudadi. 2001. Bahan Kuliah Tanah Sawah. Bogor: Departemen Ilmu Tanah Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Soepardi G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Bogor: Departemen Ilmu Tanah Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Tan KH. 1968. The genesis and characteristics of paddy soil in Indonesia. Soil sci. plant Nutr. 14(3): 117-121.

Tisdale SL, JL Havlin, JD Beaton, and WL Nelson. 1999. Soil Fertility and Fertilizer 6th Ed. Prentice Hall, Inc. New Jersey.

Tisdale SL, and WL Nelson. 1975. Soil Fertility and Fertilizers. Collier Mc Millan Publ. London.

Utomo M. 2002. Pengelolaan Lahan Kering untuk Pertanian Berkelanjutan. Makalah utama pada Seminar Nasional IV pengembangan wilayah lahan kering dan pertemuan ilmiah tahunan himpunan ilmu tanah Indonesia di Mataram, 27-28 Mei 2002.

[USDA] United States Departement of Agriculture. 2010. Keys to Soil Taxonomy. 10th ed. Natural Resources Conservation Service.

41

42 Tabel Lampiran 1. Kriteria Penilaian Sifat Kimia Tanah Berdasarkan Balai

Penelitian Tanah (2009)

Parameter Tanah

Nilai sangat

rendah rendah sedang tinggi

sangat tinggi C-total (%) < 1 1-2 2-3 3-5 > 5 N-total (%) < 0,1 0,1-0,2 0,21-0,5 0,51-0,75 >0,75 Nisbah CN < 5 5-10 11-15 16-25 > 25 KTK (me/100g) < 5 5-16 17-24 25-40 > 40 Cadd (cmol kg-1) < 2 2-5 6-10 11-20 > 20 Mgdd (cmol kg-1) < 0,4 0,4-1 1,1-2,0 2,1-8,0 > 8 Nadd (cmol kg-1) < 0,1 0,1-0,3 0,4-0,7 0,8-1,0 > 1,0 KB (%) < 20 20-40 41-60 61-80 > 80 sangat masam masam agak masam netral agak alkalin Alkalin pH (H2O) < 4,5 4,5-5,5 5,5-6,5 6,5-7,5 7,6-8,5 > 8,5

43 Tabel Lampiran 2. Titik koordinat Lokasi Pengambilan Contoh Tanah Sawah di

Pulau Jawa

Nama Lokasi Lokasi Elevasi

(m) S E Karawang 06°16' 25.0" 107°17' 08.7" 31 Jatisari 06°21' 26.4" 107°32' 36.9" 45 Pamanukan 06°16' 43.4" 107°50' 39.2" 22 Indramayu 06°24' 57.7" 108°16' 33.2" 23 Palimanan 06°40' 52.3" 108°25' 32.6" 28 Cicalengka 07°06' 07.3" 108°06' 09.6" 785 Cikarawang 06°33' 05.1" 106°44' 22.4" 195 Brebes 06°52' 32.5" 109°03' 46.6" 19 Suradadi 06°52' 24.2" 109°15' 02.0" 23 Batang 06°58' 39.3" 109°53' 39.1" 178 Kendal 06°56' 29.5" 110°14' 36.1" 19 Demak 06°55' 46.7" 110°32' 38.7" 16 Jekulo 06°48' 07.8" 110°56' 02.7" 29 Jogjakarta 07°49' 49.3" 110°27' 21.4" 103 Borobudur 07°34' 39.0" 110°15' 01.8" 318 Kutoarjo 07°43' 26.4" 109°52' 20.5" 23 Karanganyar 07°37' 36.1" 109°33' 55.4" 22 Buntu 07°35' 24.2" 109°15' 07.3" 18 Bojonegoro 07°08' 14.3" 111°48' 47.9" 40 Tambak Rejo 07°15' 54.7" 111°35' 10.9" 79 Nganjuk 07°33' 56.7" 111°50' 34.3" 74 Jombang 07°31' 48.1" 112°15' 24.8" 39 Ponorogo 07°51' 53.2" 111°27' 17.3" 112

44 Tabel Lampiran 3. Titik koordinat Lokasi Pengambilan Contoh Tanah Pertanian

Lahan Kering di Pulau Jawa

Nama Lokasi Lokasi Elevasi

S E (m) Ciamis 07°18' 44.2" 108°17' 01.9" 326 Malangbong 07°07' 00.3" 108°07' 18.9" 662 Lembang 06°48' 11.5" 107°38' 53.5" 1239 Lembang 06°48' 20.0" 107°39' 22.4" 1214 Segalaherang 06°40' 34.2" 107°40' 39.2" 577 Darangdan 06°40' 22.4" 107°25' 31.7" 502 Bantar Kambing 06°30' 52.6" 106°41' 50.0" 140 Batang 06°56' 51.2" 109°47' 11.7" 91 Kudus 06°43' 17.5" 110°52' 36.7" 213 Wonogiri 07°49' 48.3" 111°05' 14.8" 351 Wonosari 07°55' 32.9" 110°33' 50.2" 217 Borobudur 07°34' 48.5" 110°14' 52.2" 301 Lumbir 07°28' 25.9" 108°58' 58.5" 67 Bancar 06°46' 24.6" 111°44' 08.1" 19 Tuban 06°54' 24.4" 112°12' 14.0" 40 Paciran 06°52' 39.7" 112°24' 47.7" 28 Tambak Rejo 07°15' 54.7" 111°35' 10.9" 79

Brawijaya Farm - Batu 07°44' 24.7" 112°32' 15.0" 1664

Ngantang 07°53' 18.8" 112°21' 41.0" 693

45 Gambar Lampiran 1. Peta Tanah Pulau Jawa Skala 1:1.000.000 (Sumber: BSDLP, Departemen Pertanian, Indonesia)

Gambar Lampiran 2. Sebaran Status Hara P-tersedia pada Tanah Sawah di Pulau Jawa (PPT 1983) Gambar Lampiran 3. Sebaran Status Hara P-potensial pada Tanah Sawah di Pulau Jawa (PPT 1983) Gambar Lampiran 4. Sebaran Status Hara P-tersedia pada Pertanian Lahan Kering di Pulau Jawa (PPT 1983) Gambar Lampiran 5. Sebaran Status Hara P-potensial pada Pertanian Lahan Kering di Pulau Jawa (PPT 1983)

46 Gambar Lampiran 2. Sebaran Status Hara P-tersedia pada Tanah Sawah di Pulau Jawa (PPT 1983)

47 Gambar Lampiran 3. Sebaran Status Hara P-potensial pada Tanah Sawah di Pulau Jawa (PPT 1983)

rendah

tinggi

rendah

48 Gambar Lampiran 4. Sebaran Status Hara P-tersedia pada Pertanian Lahan Kering di Pulau Jawa (PPT 1983)

49 Gambar Lampiran 5. Sebaran Status Hara P-potensial pada Pertanian Lahan Kering di Pulau Jawa (PPT 1983)

tinggi tinggi

1

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia adalah negara agraris yang memiliki jumlah penduduk terbanyak nomor empat di dunia sebesar 237.556.363 jiwa dengan laju pertumbuhan 1,49% (BPS 2010). Tetapi jumlah dan laju pertumbuhan penduduk yang terus meningkat di Indonesia tidak diikuti oleh pertumbuhan luas lahan petanian. Luas lahan pertanian secara keseluruhan termasuk non-padi pada 2010 diperkirakan berjumlah 19,8 juta ha, menyusut 13% dibanding tahun 2009 yang mencapai 19,9 juta ha (BPS 2010). Hal ini menjadi salah satu faktor yang menyebabkan Indonesia kesulitan dalam memenuhi kebutuhan pangannya serta mengharuskan melakukan impor untuk beberapa bahan pangan.

Salah satu usaha yang dilakukan oleh pemerintah untuk memenuhi kebutuhan pangan di Indonesia adalah dengan melakukan program intensifikasi. Selain menggunakan varietas unggul, pemupukan menjadi kegiatan yang paling menentukan dalam keberhasilan program ini. Hal ini terbukti dengan penggunaan pupuk yang meningkat pesat setelah perencanaan program intensifikasi yang dimulai tahun 1969 (Adiningsih et al. 1989; Moersidi et al. 1991), sedangkan menurut Leiwakabessy et al. (2003), diduga bahwa di Indonesia pupuk P menjadi yang paling banyak dibutuhkan setelah pupuk N terutama pada lahan kering.

Fosfor dalam tanah menjadi sangat penting ketersediaannya bagi tanaman karena peranannya yang cukup penting, diantaranya seperti penyusun metabolit dan senyawa kompleks, mengatur banyak proses enzimatik, fosforilisasi adenosindifosfat (ADP) menjadi adenosintrifosfat (ATP), pembentukan sel, albumin dan lemak (Soepardi 1983). Namun di dalam tanah selain jumlahnya yang lebih rendah dibanding N, K, dan Ca (Leiwakabessy et al. 2003), fosfor juga mengalami pengikatan (fiksasi) oleh Al pada tanah masam atau oleh Ca pada tanah alkalis (Hardjowigeno 2007), sehingga menyebabkan tingginya akumulasi P ke dalam bentuk yang tidak tersedia bagi tanaman. Menurut Tisdale et al. (1975); Lindsay (1971); Black (1976), bahwa ketersediaan P di dalam tanah dipengaruhi oleh banyak faktor seperti: pH, jumlah ion, senyawa Al, Fe, Mn, Ca, kadar bahan organik, Cu, Zn, suhu dan kelembaban.

2 Melihat sifatnya yang mudah terfiksasi dan keberadaan fosfor di dalam tanah yang sedikit namun dibutuhkan dalam jumlah yang banyak, maka peranan dari pemupukan P sangatlah penting dalam menjaga ketersediaan fosfor bagi pertumbuhan tanaman. Namun demikian, pemupukan P secara terus-menerus selain dapat menimbulkan ketidakseimbangan hara seperti menekan hara mikro Cu dan Zn, juga dapat menimbulkan gejala leveling off atau pelandaian produktivitas yang menyebabkan laju peningkatan produktivitas tanah tidak selaras dengan laju penggunaan pupuk yang diberikan. Hal ini mendorong untuk perlu dilakukannya evaluasi status hara P terkini khususnya pada tanah-tanah pertanian di Pulau Jawa baik P dalam bentuk tersedia maupun potensial, sehingga nantinya pengelolaan hara P pada tanah dapat dilakukan dengan lebih tepat sasaran.

1.2. Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi status hara P tanah-tanah pertanian di Pulau Jawa dan keterkaitannya dengan sifat kimia tanah lainnya.

3 II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Fosfor dalam Tanah

Secara umum fosfor di dalam tanah digolongkan dalam dua bentuk, yaitu: bentuk organik dan anorganik (Black 1976). Sebagian besar senyawa fosfor inorganik adalah senyawa kalsium, senyawa besi, dan alumunium, sementara kelompok senyawa organik ialah fitin dan derivatnya, asam nukleat dan fosfolipida (Soepardi 1983). Bentuk fosfor organik ini dapat meliputi 3% hingga 75% dari total fofor tanah (Olsen dan Fried, 1957). Jumlah kedua bentuk ini disebut dengan P-total. Bentuk yang tersedia bagi tanaman dalam jumlah yang dapat diambil oleh tanaman hanya merupakan sebagian kecil dari jumlah yang ada dalam tanah (Leiwakabessy et al. 2003).

Fosfor dalam tanah tidak mobil karena tingkat ketersediaannya dalam tanah dipengaruhi oleh: reaksi tanah (pH), kadar Al dan Fe hidrous oksida, kadar Ca, kadar bahan organik, tekstur dan pengelolaan lahan (Hartono et al. 2005; Havlin et al. 2005). Fosfat tanah dapat dalam bentuk P larutan, P labil, P difiksasi oleh Al, Fe atau Ca, dan P organik. Fosfat dalam larutan dapat berbentuk H2PO -atau HPO42- tergantung dari kemasaman larutan (pH). Kadar P di dalam tanah umumnya rendah dan berbeda-beda. Tanah-tanah muda dan perawan biasanya lebih tinggi daripada tanah yang tua, begitu juga penyebarannya di dalam profil tanah berbeda. Jumlah fosfat yang tersedia di tanah-tanah pertanian biasanya lebih tinggi dibandingkan dengan kadarnya pada tanah-tanah yang tidak diusahakan. Hal ini diduga karena unsur ini tidak tercuci (residunya tinggi), sedangkan yang hilang melalui produksi tanaman sangat kecil (Leiwakabessy et al. 2003), pada tanah kering dan masam ketersediaan P juga rendah. Hal ini disebabkan oleh tingginya Al terlarut pada pH tanah < 5 (Sanchez 1992). Menurut Havlin et al. (2005), kandungan P pada tanah bervariasi dari 0,005% sampai 0,15%, sedangkan konsentrasi P relatif dalam tanaman sekitar 0,2%.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan ketersediaan P dalam tanah sangat rendah yaitu akibat mobilitas ion-ion fosfat dalam tanah sangat rendah karena retensinya dalam tanah sangat tinggi (Leiwakabessy dan Sutandi, 2004), jumlah total dalam tanah kecil, tidak tersedianya fosfor asli dan terjadi fiksasi

4 fosfor dalam tanah dari sumber pupuk yang diberikan (Buckman dan Brady, 1964). Sebagian besar fosfor dalam tanah umumnya tidak tersedia bagi tanaman meskipun keadaan lapangan paling ideal, sehingga masalah utama pada tanah-tanah masam adalah kekahatan fosfor (P), fiksasi P yang tinggi dan keracunan Al, Mn dan kadang-kadang Fe. Kekahatan P pada umumnya parah disebabkan terikatnya unsur-unsur tersebut secara kuat pada tanah seperti mineral liat tipe 1 : 1 dan oksida-oksida Al dan Fe, maupun reaksi antara P dengan Al, sehingga unsur P tidak tersedia untuk tanaman (Radjagukguk 1983).

2.2. Fosfor pada Tanaman

Fosfor merupakan satu dari enam belas hara esensial bagi tanaman (Tisdale dan Nelson, 1975; Buckman dan Brady, 1964), sehingga keberadaannya bagi tanaman dibutuhkan dalam jumlah yang relatif banyak dan tidak dapat digantikan oleh unsur lain. Hal ini terjadi karena peranan fosfor bagi tanaman sangatlah penting, seperti: merangsang pertumbuhan anakan, perkembangan akar, meningkatkan jumlah gabah tiap malai, mempercepat pertumbuhan bibit, dan pembungaan serta mendorong serapan N pada awal pertumbuhan (De Datta 1981), sedangkan menurut Dobermann dan Fairhust (2000), pada tanaman padi P berperan pada perkembangan akar, perbanyakan rumpun, percepatan pembungaan, dan pemasakan buah.

Tanaman biasanya mengabsorpsi P dalam bentuk ion orthofosfat primer (H2PO4-) dan sebagian kecil dalam bentuk sekunder (HPO42-). Absorpsi kedua ion itu oleh tanaman dipengaruhi oleh pH tanah sekitar akar, pada pH tanah yang

rendah, absorpsi bentuk H2PO4- akan meningkat (Leiwakabessy et al. 2003). Hal ini didukung oleh Havlin et al. (2005), yang menyatakan bahwa ketersediaan

P tertinggi diketahui berada pada pH sekitar 6,5 dan pada pH 7,2 jumlah ion H2PO4- ≈ HPO42-, jika pH turun maka jumlah H2PO4- > HPO42- demikian pula sebaliknya, sedangkan berdasarkan laju penyerapan maka H2PO4- lebih cepat diserap daripada HPO42-. Walaupun fosfor merupakan unsur makro yang sangat penting bagi pertumbuhan tanaman, tetapi kadarnya di dalam tanaman lebih rendah dari N dan Ca (Leiwakabessy et al. 2003).

5 Unsur ini termasuk hara yang mobil di dalam tanaman, hal ini disebabkan ketika terjadi kekurangan tanaman akan menunjukkan gejala di dalam jaringan yang tua terlebih dahulu baru diangkut ke bagian-bagian meristem atau jaringan yang lebih muda (Tisdale et al. 1999). Gejala defesiensi P pada tanaman dapat dilihat seperti pertumbuhan terhambat (kerdil) karena pembelahan sel yang terganggu, daun-daun menjadi ungu atau coklat mulai dari ujung daun, serta dapat terlihat jelas pada tanaman yang masih muda (Hardjowigeno 2007).

2.3. Tanah Sawah

Tanah sawah adalah tanah yang digunakan untuk bertanam padi sawah, baik terus-menerus sepanjang tahun maupun bergiliran dengan tanaman palawija. Istilah tanah sawah bukan merupakan istilah taksonomi tetapi merupakan istilah umum seperti halnya tanah hutan, tanah perkebunan, tanah pertanian dan sebagainya. Segala macam jenis tanah dapat disawahkan asalkan air cukup tersedia (Hardjowigeno et al. 2004). Beberapa ahli lain membatasi tanah sawah untuk tanah-tanah dengan horizon akumulasi besi-mangan (Tan 1968). Ada juga yang menyatakan sebagai tanah yang telah mengalami perubahan akibat penggenangan oleh air irigasi (Dudal 1965), atau tanah yang mengalami proses hidromorfik, baik secara buatan maupun alami (Kanno 1978). Tanah sawah (soil rice, paddy soil, lowland paddy soil, artificial hydromorphic soils, great-group anthraquic, sub-group anthropic, aquorizem, sub-group hydraquic) dalam klasifikasi FAO (World Reference Base for Soil Resources) termasuk ke dalam Anthrosols (FAO 1998).

Pengaruh penggenangan dan pengolahan tanah sawah dalam keadaan tergenang dapat menyebabkan perubahan sifat tanah (morfologi, fisik, kimia, dan biologis), sehingga berbeda dengan sifat asalnya terutama pada tanah kering yang disawahkan. Akibatnya dari berbagai jenis tanah yang disawahkan akan dapat menyebabkan produksi padi yang dihasilkan bervariasi (Situmorang dan Sudadi, 2001). Menurut Soepardi (1983), sawah yang termasuk dalam golongan sebagai lahan basah yang berarti lahan yang untuk sebagian besar dari musim tanam digenangi atau dijenuhi air memiliki tiga jenis yaitu:

6 1. Sawah beririgasi atau sawah tadah hujan merupakan pengusahaan

tanah yang menerapkan kaidah konservasi lahan. Erosi yang terjadi sangat minimum. Tanaman yang di tumbuhkan terbatas pada yang tahan genangan seperti padi dan di musim tidak tergenang ditanami palawija.

2. Sawah lebak adalah suatu bentuk pengusahaan tanah yang mengandalkan airnya dari banjir. Air sungai yang meluap menggenangi hamparan lahan yang ada di kiri kanan sungai.

3. Sawah pasang surut hampir serupa dengan sawah lebak, hanya berbeda dalam irama naik turunnya permukaan air, pada sawah pasang surut permukaan air berubah tiap hari, sedangkan pada sawah lebak adalah musiman.

Proses-proses yang terjadi pada tanah sawah adalah gleisasi, eluviasi, iluviasi besi dan mangan, grayasi, pembentukan tapak bajak, pembentukan kutan (pemupukan suatu bahan pada permukaan tertentu yang membentuk selaput), akumulasi (atau dekomposisi), alterasi bahan organik, dan proses-proses lain yang menyebabkan difrensiasi profil tanah sawah (Situmorang dan Sudadi, 2001).

2.4. Lahan Kering (Up Land)

Istilah lahan kering yang digunakan masyarakat umum banyak mengarah kepada lahan kering dengan kebutuhan air tanaman tergantung sepenuhnya pada air hujan dan tidak pernah tergenang air secara tetap (Notohadiprawiro 1989). Lahan kering selalu dikaitkan dengan pengertian bentuk-bentuk usaha tani bukan sawah yang dilakukan oleh masyarakat di bagian hulu suatu daerah aliran sungai (DAS) sebagai lahan atas (upland) atau lahan yang terdapat di wilayah kering (kekurangan air) yang tergantung pada air hujan sebagai sumber air (Manuwoto, 1991; Satari et al. 1977). Menurut Rukmana (1995), lahan kering adalah sebidang tanah yang dapat digunakan untuk usaha pertanian dengan menggunakan atau memanfaatkan air secara terbatas dan biasanya bergantung dari air hujan, sedangkan definisi dari konvensi internasional PBB mengenai lahan kering adalah lahan yang menerima curah hujan tahunan kurang dari duapertiga dari evaporasi potensial, dimana produksi tanamannya dibatasi oleh ketersediaan air. Kategori

7 lahan kering ini termasuk lahan budidaya, semak belukar, padang rumput, dan padang pasir.

Menurut penggunaannya BPS (2006), mengelompokkan lahan kering ke dalam sembilan jenis penggunaan, meliputi usaha tani lahan kering (tegalan/kebun, padang rumput, tanah tidak diusahakan, tanah hutan rakyat dan perkebunan), dan usaha tani lainnya (pekarangan/bangunan, tanah rawa, tambak, dan kolam/empang). Secara umum, lahan kering daerah tropika basah dan setengah kering didominasi oleh jenis tanah yang termasuk dalam golongan/ordo Alfisol, Ultisol, dan Oksisol. Golongan/ordo Oksisol meliputi 35% luasan, diikuti oleh Ultisol 28%, dan sisanya Alfisol 4% (NAP, 1982; cit Syekhfani, 1991).

Utomo (2002), melaporkan bahwa lahan kering di Indonesia cukup luas dengan taksiran sekitar 60,7 juta ha atau 88,6% dari luas lahan, sedangkan luas lahan sawah hanya 7,8 juta ha atau 11,4% dari luas lahan. Sebagian besar banyak tersebar pada dataran rendah yakni hamparan lahan yang berada pada ketinggian 0 – 700 m dpl (60,65%) dan dataran tinggi yang terletak pada ketinggian > 700 m dpl (39,35%) dari total luasan lahan kering di Indonesia (Hidayat dan Mulyani,

2002). Data terbaru menyebutkan bahwa Indonesia memiliki lahan kering sekitar 148 juta ha (78%) dan lahan basah (wet lands) seluas 40,20 juta ha (22%) dari

188,20 juta ha total luas daratan (Abdulrachman dan Sutono, 2005).

Lahan kering masam umumnya dicirikan oleh sifat reaksi tanah masam (pH rendah 5,5) yang berkaitan dengan kadar alumunium tinggi, fiksasi P tinggi, kandungan basa-basa dapat ditukar dan KTK rendah, kandungan besi dan mangan yang mendekati batas meracuni, peka erosi, miskin elemen biotik, dan kendala teknis pada ketersediaan air terutama di musim kemarau, sehingga indeks pertanaman di lahan kering relatif masih rendah dibandingkan di lahan sawah

Dokumen terkait