• Tidak ada hasil yang ditemukan

Saran

Dalam dokumen UNIVERSITAS INDONESIA (Halaman 65-136)

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

5.2 Saran

a. Melakukan peningkatan fasilitas fisik seperti bangunan, toilet, penggunaan air conditioner, etalase agar terlihat lebih menarik bagi calon pelanggan apotek. b. Obat-obat lebih disusun semenarik mungkin berdasarkan efek farmakologi

agar pelanggan lebih mudah memilih obat.

c. Melakukan pencatatan pengeluaran dan pemasukan barang yang pada kartu stok obat di Apotek Safa agar persediaan obat dapat lebih diawasi serta menghindari terjadinya kekosongan barang.

d. Menggunakan software penjualan dengan sistem komputerisasi agar lebih efisien sehingga stok obat dan total pendapatan dapat diketahui secara langsung.

e. Penerapan fungsi APA yang tetap berada di apotek untuk meningkatkan pelayanan kefarmasian di apotek sesuai Undang-Undang dan peraturan yang berlaku

f. Melakukan evaluasi terhadap pelayanan di Apotek Safa untuk mengetahui tingkat kepuasan pelanggan.

Anif, M. (2001). Manajemen Farmasi Cetakan Ketiga. Yogyakarta: UGM Press Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (1980). Peraturan Pemerintah No. 25

Tahun 1980 Tentang Apotek. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (1981). Keputusan Menteri Kesehatan No. 28 Tahun 1981 Tentang Penyimpanan dan Pemusnahan Resep. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (1990). Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 347/Menkes/SK/VII/1990 Tentang Obat Wajib Apotek. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (1993). Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 918/Menkes/Per/X/1993 Tentang Pedagang Besar Farmasi (PBF). Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (1993). Peraturan Menteri Kesehatan No. 919/Menkes/Per/X/1993 Tentang Kriteria Obat yang Dapat Diserahkan Tanpa Resep. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (1993). Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 922/Menkes/PER/X/1993 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (1993). Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 924/Menkes/PER/IX/1993 Tentang Daftar Obat Wajib Apotek No. 2. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (1999). Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1176/Menkes/SK/X/1999 tentang Daftar Obat Wajib Apotek No. 3. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2002). Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1332/Menkes/SK/X/2002 Tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 992/Menkes/PER/X/1993 Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2004). Keputusan Menteri Kesehatan RI No.1027 Tahun 2004 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2009). Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Umar, Muhammad. (2009). Manajemen Apotek Praktis cetakan ketiga. Jakarta: Wira Putra Kencana.

Undang-Undang Republik Indonesia No. 35 tahun 2009 Tentang Narkotika. Jakarta.

Undang-Undang Republik Indonesia No. 5 tahun 1997 Tentang Psikotropika. Jakarta.

Undang-Undang Republik Indonesia No. 36 tahun 2009 Tentang Kesehatan. Jakarta.

Universitas Indonesia Lampiran 1. Struktur Organisasi Apotek Safa

Pemilik Sarana Apotek (PSA) Apotek er Pengelola Apotek (APA) Asisten Apoteker

(AA) Juru Resep

Tenaga Administrasi

Tenaga Kebersihan

Lampiran 2. Peta Lokasi Apotek Safa

Keterangan :

Universitas Indonesia Lampiran 3. Denah Interior Apotek Safa

Keterangan: A. Pintu masuk B. Ruang tunggu C. Ruang peracikan D. Gudang penyimpanan resep E. Musholla F. Toilet G. Ruang praktek dr. Sofyan, dr. Dilla H. Ruang konsultasi psikolog dr. Nurul I. Ruang praktek dr. Ludin J. Ruang penyimpanan laundry

Lampiran 4. Tata Letak Apotek Safa.

Keterangan :

1. Lemari alat kesehatan 2. Lemari es

3. Box es krim 4. Etalase obat bebas 5. Kasir

6. Tempat penerimaan resep

7. Tempat penyerahan obat 8. Kursi tunggu

9. Display brosur dan majalah kesehatan 10. Televisi

11. Lemari etalase obat bebas 12. Rak sediaan padat generik 13. Rak sediaan padat paten

(abjad D-F)

14. a.Rak sediaan cair generik b.Rak sediaan cair paten c.Rak sediaan padat paten (abjad A-C)

15. Meja racik

16. Rak sediaan padat paten (abjad G-O)

17. Rak sediaan padat paten (abjad P-Z)

18. Alat timbang dan perlengkapan apotek 19. a. Rak sediaan semi padat

b. Rak sediaan tetes mata dan telinga

20. Rak penyimpanan resep 21. Rak bahan baku farmasi 22. Lemari pendingin 23. Wastafel

Universitas Indonesia Lampiran 5. Papan Nama Apotek Safa.

Lampiran 7. Desain Interior Bagian Depan Apotek

Universitas Indonesia Lampiran 9. Rak Penyimpanan Obat Generik dan Obat Nama Dagang

Universitas Indonesia Lampiran 11. Lemari Penyimpanan Narkotika

Universitas Indonesia Lampiran 13. Lembar Salinan Resep.

Lampiran 14. Lembar Kuitansi.

Universitas Indonesia Lampiran 16. Surat Pesanan Non Narkotika.

Universitas Indonesia Lampiran 18. Surat Pesanan Psikotropika

Universitas Indonesia

Lanjutan

LAPORAN PENGGUNAAN NARKOTIKA

Apotik : SAFA

APA : Dra. Adriani Y Lutan

Alamat : Jl. Bukit Duri Tanjakan No. 68 Tebet Jakarta selatan

JULI 2010 No. Nama Obat Sediaan Stok Tgl/bln/thn Jumlah Tgl/bln/thn Jumlah Sisa

Jakarta, 01 AGUSTUS 2010 Apoteker Pengelola Apotek

Dra. Adriani Y Lutan SIK : 5862 / B

Lampiran 20. Laporan Psikotropika

LAPORAN PENGGUNAAN PSIKOTROPIKA

Apotik : SAFA

APA : Dra. Adriani Y Lutan

Alamat : Jl. Bukit Duri Tanjakan No. 68 Tebet Jakarta selatan

JULI 2010 No. Nama Sediaan Satuan Stok

Awal

Penerimaaan Pengeluaran Stok Akhir Dari Jumlah Untuk Jumlah

Jakarta, 01 AGUSTUS 2010 Apoteker Pengelola Apotek

Dra. Adriani Y Lutan SIK : 5862 / B

Universitas Indonesia Lampiran 21. Berita Acara Pemusnahan

UNIVERSITAS INDONESIA

PENATALAKSANAAN PENYAKIT DEMAM TIFOID

TUGAS KHUSUS PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER

WULAN PERMATA SARI, S.Far.

1106047461

ANGKATAN LXXIV

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

PROGRAM PROFESI APOTEKER – DEPARTEMEN FARMASI

DEPOK

JUNI 2012

i Universitas Indonesia DAFTAR ISI ... i DAFTAR LAMPIRAN ... ii BAB 1 PENDAHULUAN ... 1 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Tujuan ... 2

BAB 2 TINJAUAN UMUM ... 3

2.1 Pengertian Demam Tifoid ... 3 2.2 Epidemiologi ... 3 2.3 Distribusi ... 4 2.4 Etiologi ... 4 2.5 Patogenesis dan Patofisiologi ... 4 2.6 Manifestasi Klinis ... 5 2.7 Pemeriksaan laboratorium ... 6 2.8 Diagnosis ... 9 2.9 Komplikasi ... 9 2.10 Penatalaksanaan ... 10 2.11 Demam Tifoid pada Wanita Hamil ... 13 2.12 Prognosis ... 13 2.13 Obat Yang Biasa Digunakan ... 13

BAB 3 METODE PENELITIAN ... 26

BAB 4 KAJIAN RESEP ... 27

BAB 5 PEMBAHASAN ... 31

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 40

6.1 Kesimpulan ... 40 6.2 Saran ... 41

Lampiran 1. Contoh Resep Yang dikeluarkan oleh Dokter ...43 Lampiran 2. Contoh Brosur untuk edukasi pasien ...44

1 Universitas Indonesia PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Demam tifoid merupakan permasalahan kesehatan penting di banyak negara berkembang. Secara global, diperkirakan 17 juta orang mengidap penyakit ini tiap tahunnya. Kebanyakan penyakit ini terjadi pada penduduk negara dengan pendapatan yang rendah, terutama pada daerah Asia Tenggara, Afrika, dan Amerika Latin.

Di Indonesia, demam typhoid merupakan salah satu dari penyakit infeksi terpenting. Demam typhoid merupakan penyakit endemik, terutama di kota-kota besar yang padat penduduknya. Hal ini berhubungan erat dengan keadaan sanitasi, kebiasaan higiene yang tidak memuaskan dan tingkat pendidikan yang rendah (Rampenan, 1995). Demam tifoid merupakan penyakit infeksi akut pada usus halus yang disebabkan oleh kuman Salmonella typhi (Aru, 2006)

Penyakit ini banyak menimbulkan masalah pada kelompok umur dewasa muda, karena tidak jarang disertai perdarahan dan perforasi usus yang sering menyebabkan kematian penderita. Selain itu penyakit ini memerlukan hari perawatan dan masa pemulihan sehabis perawatan yang cukup lama.

Demam typhoid ini termasuk penyakit menular yang tercantum dalam Undang-undang No. 6 Tahun 1962 tentang wabah, dengan pola penularan yang bersifat sporadik. Kelompok penyakit menular ini merupakan penyakit-penyakit yang mudah menular dan dapat menyerang banyak orang, sehingga dapat menimbulkan wabah. Dua sumber penularan demam tifoid adalah pasien dengan demam tifoid dan yang terbanyak adalah carrier dimana 109 sampai 1011 kuman per gram tinja dikeluarkan oleh mereka. Media penularan adalah melalui air dan makanan yang tercemar oleh kuman S.typhi (Aru, 2006)

Gejala klinis yang khas dapat menjadi dasar untuk pemberian terapi empirik sebelum pemeriksaan penunjang lainnya dilakukan, guna mencegah perburukan atau komplikasi lebih lanjut dari penyakit tersebut. Diagnosis klinis terutama ditandai oleh adanya panas badan, gangguan saluran pencernaan, gangguan pola buang air besar, hepatomegali/spleenomegali, serta beberapa kelainan klinis yang lain (Aru, 2006). Seringkali terjadi kesalahan dalam

melakukan diagnosa demam tifoid, karena demam tifoid memiliki gejala yang hampir mirip dengan gejala demam berdarah begitupun sebaliknya. Hal tersebut dapat menyebabkan terjadinya kesalahan dalam pengobatan dan terlambatnya penanganan penyakit yang akan memperburuk kondisi pasien.

Agar penyakit demam tifoid tidak menjadi lebih berat dan tidak terjadinya kesalahan dalam penanganan maka diperlukan seorang tenaga kesehatan yaitu apoteker untuk membantu dalam melakukan pencegahan dan penanggulangan terhadap penyakit tersebut dengan cara berpartisipasi aktif dalam melakukan edukasi dan memberikan informasi kepada pasien. Pasien harus diberi akses secara langsung dan mudah oleh apoteker untuk memperoleh informasi dan konseling mengenai penyakit demam tifoid. Memberikan informasi dan edukasi kepada pasien merupakan salah satu bentuk dari pelayanan kefarmasian yang

bertujuan untuk meningkatkan pemahaman pasien mengenai suatu penyakit sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat (Depkes, 2006)

Dalam melakukan edukasi dan memberikan informasi kepada pasien, apoteker dituntut untuk meningkatkan pengetahuan (farmakologi, farmakoterapi, farmakokinetika, penafsiran hasil pemeriksaan fisik dan laboratorium), meningkatkan ketrampilan (dapat berkomunikasi dengan baik) dan menjaga perilaku agar dapat melaksanakan interaksi langsung dengan pasien. Selain itu, Apoteker harus mampu berkomunikasi dengan tenaga kesehatan lainnya dalam menetapkan terapi untuk mendukung penggunaan obat yang rasional (Depkes, 2006).

1.2 Tujuan

a. Meningkatkan pengetahuan mengenai penyakit Demam Tifoid.

b. Membantu pasien dalam memberikan informasi mengenai penanggulangan dan pencegahan penyakit tersebut sehingga dapat meningkatkan pemahaman pasien mengenai penyakit ini.

c. Mengetahui perbedaan antara Demam Tifoid dengan demam berdarah

d. Mengetahui jenis obat-obatan dan pemilihan obat yang sesuai untuk penyakit Demam Tifoid.

3 Universitas Indonesia TINJAUAN UMUM

2.1 Pengertian Demam Tifoid

Demam tifoid dan paratifoid merupakan penyakit infeksi akut usus halus. Sinonim dari demam tifoid dan paratifoid adalah typhoid dan paratyphoid fever, enteric fever, tifus, dan paratifus abdominalis. Demam paratifoid menunjukkan manifestasi yang sama dengan tifoid, namun biasanya lebih ringan (Aru, 2006).

2.2 Epidemiologi

Demam tifoid dan demam paratifoid endemic di Indonesia. Penyakit ini termasuk penyakit menular yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 6 tahun 1962 tentang wabah. Kelompok penyakit menular ini merupakan penyakit-penyakit yang mudah menular dan merupakan dan dapat menyerang banyak orang, sehingga dapat menimbulkan wabah. Walaupun demam tifoid tercantum dalam Undang-undang wabah dan wajib dilaporkan, namun data yang lengkap belum ada, sehingga gambaran epidemiologisnya belum diketahui secara pasti. Di Indonesia demam tifoid jarang dijumpai secara epidemik, tetapi lebih sering bersifat sporadis, terpencar-pencar di suatu daerah, dan jarang menimbulkan lebih dari satu kasus pada orang-orang serumah. Sumber penularan biasanya tidak dapat ditemukan.

Ada dua sumber penularan S.typhi : pasien dengan demam tifoid dan yang lebih sering carrier. Orang-orang tersebut mengekskresi 109 sampai 1011 kuman per gram tinja. Di daerah endemik transmisi terjadi melalui air yang tercemar. Makanan yang tercemar oleh carrier merupakan sumber penularan yang paling sering di daerah nonendemik. Carrier adalah orang yang sembuh dari demam tifoid dan masih terus mengekskresi S.typhi dalam tinja dan air kemih selama lebih dari satu tahun. Disfungsi kandung empedu merupakan predisposisi untuk terjadinya carrier. Kuman-kuman S.typhi berada di dalam batu empedu atau dalam dinding kandung empedu yang mengandung jaringan ikat, akibat radang menahun (Aru, 2006).

2.3 Distribusi 2.3.1 Geografi

Demam tifoid terdapat di seluruh dunia dan penyebarannya tidak bergantung pada keadaan iklim, tetapi lebih banyak dijumpai dinegara-negara sedang berkembang di daerah tropis. Hal ini disebabkan karena penyediaan air bersih, sanitasi lingkungan dan kebersihan individu kurang baik.

2.3.2 Musim

Di Indonesia demam tifoid dapat ditemukan sepanjang tahun. Tidak ada kesesuaian faham mengenai hubungan antara musim dan peningkatan jumlah kasus demam tifoid. Ada penelitian yang mendapatkan peningkatan jumlah kasus pada musim hujan, ada yang mendapatkan peningkatan pada musim kemarau dan ada pula yang mendapatkan peningkatan pada peralihan antara musim kemarau dan musim hujan.

2.3.3 Jenis Kelamin

Tidak ada perbedaan yang nyata antara insidensi demam tifoid pada pria dan wanita.

2.3.4 Umur

Di daerah endemic demam tifoid, insidensi tertinggi didapatkan pada anak-anak. Orang dewasa sering mengalami infeksi ringan yang sembuh sendiri dan menjadi kebal. Insidensi pada pasien yang berumur 12 tahun ke atas adalah, 70-80% pasien berumur antara 12 dan 30 tahun, 10-20% antara 30 dan 40 tahun dan hanya 5-10% di atas 40 tahun.

2.4 Etiologi

Etiologi demam tifoid dan demam paratifoid adalah S.typhi, S.paratyhi A, S.paratyphi B dan S.paratyphi C.

2.5 Patogenesis dan Patofisiologi

Kuman S.typhi masuk tubuh manusia melalui mulut dengan makanan dan air yang tercemar. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung. Sebagian lagi masuk ke usus halus dan mencapai jaringan limfoid plaque Peyeri di ileum terminalis yang mengalami hipertrofi. Di tempat ini komplikasi perdarahan dan

Universitas Indonesia

perforasi intestinal dapat terjadi. Kuman S.typhi kemudian menembus ke lamina propia, masuk aliran limfe dan mencapai kelenjar limfe mesenterial, yang juga mengalami hipertrofi. Setelah melewati kelenjar-kelenjar limfe ini S.typhi masuk aliran darah melalui ductus thoracicus. Kuman-kuman S.typhi lain mencapai hati melalui sirkulasi portal dari usus. S.typhi bersarang di plaque Peyeri, limpa, hati dan bagian-bagian lain sistem retikuloendotelial. Semula disangka demam dan gejala–gejala toksemia pada demam tifoid disebabkan oleh endotoksemia. Tapi kemudian berdasarkan penelitian eksperimental disimpulkan bahwa endotoksemia bukan merupakan penyebab utama demam dan gejala-gejala toksemia pada demam tifoid. Endotoksin S.typhi berperan pada patogenesis demam tifoid, karena membantu terjadinya proses inflamasi lokal pada jaringan tempat S.typhi berkembang biak. Demam pada tifoid disebabkan karena S.typhi dan endotoksinnya merangsang sintesis dan penglepasan zat pirogen oleh leukosit pada jaringan yang meradang (Aru, 2006).

2.6 Manifestasi Klinis

Masa tunas demam tifoid berlangsung 10 sampai 14 hari. Gejala-gejala yang timbul amat bervariasi. Perbedaan ini tidak saja antara berbagai bagian dunia, tetapi juga di daerah yang sama dari waktu ke waktu. Selain itu, gambaran penyakit bervariasi dari penyakit ringan yang tidak terdiagnosis, sampai gambaran penyakit yang khas dengan komplikasi dan kematian. Hal ini menyebabkan bahwa seorang ahli yang sudah sangat berpengalaman pun dapat mengalami kesulitan untuk membuat diagnosis klinis demam tifoid.

Dalam minggu pertama penyakit, keluhan dan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya, yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk dan epistaksis. Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan meningkat. Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardia relatif, lidah yang khas (kotor di tengah, tepian ujung merah dan tremor), hepatomegali, splenomegali, meteroismus, gangguan mental berupa somnolen, stupor, koma, delirium, atau psikosis, roseolae jarang ditemukan pada orang Indonesia (Aru, 2006).

2.7 Pemeriksaan laboratorium 2.7.1 Pemeriksaan Leukosit

Walaupun menurut buku-buku disebutkan bahwa pada demam tifoid terdapat leukopenia dan limfositosis relatif, tetapi kenyataannya leucopenia tidaklah sering dijumpai, Pada kebanyakan kasus demam tifoid, jumlah leukosit pada sediaan darah tepi berada dalam batas-batas normal, malahan kadang-kadang terdapat leukositosis, walaupun tidak ada komplikasi atau infeksi sekunder. Oleh karena itu pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk diagnosis demam tifoid.

2.7.2 Pemeriksaan SGOT dan SGPT

SGOT dan SGPT seringkali meningkat, tetapi kembali ke normal setelah sembuhnya demam tifoid. Kenaikan SGOT dan SGPT ini tidak memerlukan pembatasan pengobatan.

2.7.3 Biakan Darah

Biakan darah positif memastikan demam tifoid, tetapi biakan darah negatif tidak menyingkirkan demam tifoid. Hal ini disebabkan karena hasil biakan darah bergantung pada beberapa factor, antara lain:

a. Teknik pemeriksaan laboratorium

Hasil pemeriksaan satu laboratorium berbeda dengan yang lain, malahan hasil satu laboratorium bisa berbeda dari waktu ke waktu. Hal ini disebabkan oleh perbedaan teknik dan media biakan yang digunakan. Karena jumlah kuman yang berada dalam darah hanya sedikit, yaitu kurang dari 10 kuman/ml darah, maka untuk keperluan pembiakan, pada pasien dewasa diambil 5-10 ml darah dan anak-anak 2-5 ml. Bila darah yang dibiak terlalu sedikit hasil biakan bisa negatif, terutama pada orang yang sudah mendapat pengobatan spesifik. Selain itu, darah tersebut harus langsung ditanam pada media biakan sewaktu berada di sisi pasien dan langsung dikirim ke laboratorium. Waktu pengambilan darah paling baik adalah saat demam tinggi pada waktu bakteremia berlangsung.

b. Saat pemeriksaan selama perjalanan penyakit

Pada demam tifoid biakan darah terhadap S.typhi terutama positif pada minggu pertama penyakit dan berkurang pada minggu-minggu berikutnya. Pada waktu kambuh biakan bisa positif lagi.

Universitas Indonesia c. Vaksinasi dimasa lampau

Vaksinasi terhadap demam tifoid di masa lampau menimbulkan antibodi dalam darah pasien. Antibodi ini dapat menekan bakteremia, hingga biakan darah mungkin negatif.

d. Pengobatan dengan obat antimikroba

Bila pasien sebelum pembiakan darah sudah mendapat obat antimikroba pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan hasil biakan mungkin negatif.

2.7.4 Uji Widal

Uji widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin). Aglutinin yang spesifik terhadap Salmonella terdapat dalam serum pasien demam tifoid, juga pada seseorang yang pernah tertular salmonella dan pada orang yang pernah divaksinasi terhadap demam tifoid.

Antigen yang digunakan pada uji widal adalah suspense salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum pasien yang disangka menderita demam tifoid.

Akibat infeksi oleh S.typhi, pasien membuat antibodi (aglutinin), yaitu :

a. Aglutinin O, yang dibuat karena rangsangan antigen O (berasal dari tubuh kuman).

b. Aglutinin H, karena rangsangan antigen H (berasal dari flagela kuman). c. Aglutinin Vi, karena rangsangan antigen Vi (berasal dari simpai kuman).

Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang ditentukan titernya untuk diagnosis. Makin tinggi titernya, makin besar kemungkinan pasien menderita demam tifoid. Pada infeksi yang aktif, titer uji widal akan meningkat pada pemeriksaan ulang yang dilakukan selang paling sedikit 5 hari.

2.7.4.1 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Uji Widal Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Pasien

a. Keadaan umum.

b. Saat pemeriksaan selama perjalanan penyakit.

Aglutinin baru dijumpai dalam darah setelah pasien sakit satu minggu dan mencapai puncaknya pada minggu kelima atau keenam penyakit.

c. Pengobatan dini dengan antibiotik.

Beberapa peneliti berpendapat bahwa pengobatan dini dengan obat antimikroba menghambat pembentukan antibodi, tetapi peneliti-peneliti lain menentang pendapat ini.

d. Penyakit-penyakit tertentu

Pada beberapa penyakit yang menyertai demam tifoid tidak terjadi pembentukan antibodi, misalnya pada agamaglobulinemia, leukemia dan karsinoma lanjut.

e. Obat-obat imunosupresif atau kortikosteroid.

Obat-obat ini menghambat pembentukan antibodi karena supresi sistem retikuloendotelial.

f. Vaksinasi dengan kotipa atau tipa.

Pada seorang yang divaksinasi, titer aglutinin O dan H meningkat. Aglutinin O biasanya menghilang setelah 6 bulan sampai 1 tahun, sedangkan titer aglutinin H menurun perlahan-lahan selama 1 atau 2 tahun. Oleh karena itu titer aglutinin H pada seorang yang pernah divaksinasi kurang kurang mempunyai nilai diagnostik.

g. Infeksi klinis atau subklinis oleh salmonella sebelumnya

Keadaan ini dapat menyebabkan uji Widal positif, walaupun dengan titer rendah. Di daerah endemik tifoid dapat dijumpai aglutinin pada orang-orang sehat.

h. Reaksi anamnestik.

Reaksi anamnestik adalah keadaan dimana terjadi peningkatan titer aglutinin terhadap S.typhi karena penyakit infeksi dengan demam yang bukan demam tifoid pada seseorang yang pernah divaksinasi atau ketularan salmonella di masa lalu.

Universitas Indonesia Faktor-faktor teknis

a. Aglutinasi silang.

Karena beberapa spesies salmonella dapat mengandung antigen O dan H yang sama, maka reaksi aglutinasi pada satu spesies dapat juga menimbulkan reaksi aglutinasi pada spesies lain. Oleh karena itu spesies salmonella penyebab infeksi tidak dapat ditentukan denga uji Widal.

b. Konsentrasi suspensi antigen.

Konsentrasi suspensi antigen yang digunakan pada uji Widal akan mempengaruhi hasilnya.

c. Strain salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen.

Ada peneliti yang berpendapat bahwa daya aglutinasi suspense antigen dari strain salmonella setempat lebih baik daripada suspensi antigen dari strain lain.

2.8 Diagnosis

Biakan darah positif memastikan demam tifoid, tetapi biakan darah negatif tidak menyingkirkan demam tifoid. Biakan tinja positif menyokong diagnosis klinis demam tifoid. Peningkatan titer uji Widal empat kali lipat selama 2 sampai 3 minggu memastikan diagnosis demam tifoid. Reaksi Widal tunggal dengan titer antibodi O 1:320 atau titer antibodi H 1:640 menyokong diagnosis demam tifoid pada pasien dengan gambaran klinis yang khas. Pada beberapa pasien uji Widal tetap negatif pada pemeriksaan ulang, walaupun biakan darah positif (Aru, 2006).

2.9 Komplikasi

Komplikasi demam tifoid dapat dibagi dalam:

2.9.1 Komplikasi intestinal

1) Perdarahan usus 2) Perforasi usus 3) Ileus paralitik

2.9.2 Komplikasi ekstraintestinal

a. Komplikasi kardiovaskular; kegagalan sirkulasi perifer (renjatan,sepsis), miokarditis, thrombosis, dan tromboflebitis.

b. Komplikasi darah: anemia hemolitik, trombositopenia dan/atau koagulasi intravaskuler diseminata, dan sindrom uremia hemolitik.

c. Komplkasi paru: pneumonia, empiema, dan pleuritis.

d. Komplikasi hepar dan kandung kemih: hepatitis dan kolesistisis e. Komplikasi ginjal: glomerulonefritis, pielonefritis, dan perinefritis f. Komplikasi tulang: osteomielitis, periostitis, spondilitis, dan artritis

g. Komplikasi neuropsikiatrik: delirium, meningismus, meningitis, polyneuritis perifer, psikosis, sindrom Guillain-Barre, dan sindrom katatonia.

Pada anak-anak dengan demam paratifoid, komplikasi lebih jarang terjadi, Komplikasi lebih sering terjadi pada keadaan toksemia beratdan kelemahan umum, bila perawatan pasien kurang sempurna.

Dalam dokumen UNIVERSITAS INDONESIA (Halaman 65-136)

Dokumen terkait