• Tidak ada hasil yang ditemukan

UNIVERSITAS INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "UNIVERSITAS INDONESIA"

Copied!
136
0
0

Teks penuh

(1)

UNIVERSITAS INDONESIA

LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER

DI APOTEK SAFA, JL. BUKIT DURI TANJAKAN NO. 68

TEBET JAKARTA SELATAN

PERIODE 16 JANUARI - 25 FEBRUARI 2012

LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER

WULAN PERMATA SARI, S.Far.

1106047461

ANGKATAN LXXIV

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

PROGRAM PROFESI APOTEKER – DEPARTEMEN FARMASI

DEPOK

JUNI 2012

(2)

UNIVERSITAS INDONESIA

LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER

DI APOTEK SAFA, JL. BUKIT DURI TANJAKAN NO. 68

TEBET JAKARTA SELATAN

PERIODE 16 JANUARI - 25 FEBRUARI 2012

LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Apoteker

WULAN PERMATA SARI, S.Far.

1106047461

ANGKATAN LXXIV

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

PROGRAM PROFESI APOTEKER – DEPARTEMEN FARMASI

DEPOK

JUNI 2012

(3)
(4)

Puji syukur kehadirat Allah SWT Yang Maha Kuasa, karena atas segala limpahan rahmat-Nya, akhirnya penulis dapat menyelesaikan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di Apotek Safa Periode 16 Januari – 25 Februari 2012 sekaligus dapat menyelesaikan laporan PKPA ini. Laporan ini disusun sebagai salah satu persyaratan untuk menyelesaikan Program Profesi Apoteker di Departemen Farmasi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia (FMIPA UI).

Penulis menyadari laporan ini tidak dapat diselesaikan tanpa bantuan dan kerja sama dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

a. Ibu Dra. Hastuti Assauri, S.E, Apt. sebagai pembimbing Praktek Kerja Profesi Apoteker serta pemilik Apotek Safa, yang telah memberikan kesempatan, bimbingan, pengarahan serta nasehat pada penulis selama PKPA di Apotek Safa.

b. Bapak Drs. Jahja Atmadja, Apt. sebagai pembimbing Praktek Kerja Profesi Apoteker Departemen Farmasi UI.

c. Ibu Prof. Dr. Yahdiana Harahap, M.Si sebagai Ketua Departemen Farmasi FMIPA UI.

d. Bapak Dr. Harmita, Apt. sebagai Ketua Program Profesi Apoteker Departemen Farmasi FMIPA UI.

e. Seluruh staf pengajar khususnya Program Profesi Apoteker Departemen Farmasi UI.

f. Seluruh staf Apotek Safa: Mba Fitri, Mba Chusnul, Pak Agus, Pak Midi,dan Ibu Sar yang telah banyak membantu.

g. Seluruh keluarga penulis yang telah memberikan dukungan, semangat,dan kasih sayang tiada hentinya.

h. Seluruh teman Apoteker UI angkatan LXXIV yang telah banyak membantu atas terwujudnya laporan ini, khususnya teman-teman sekelompok PKPA terimakasih atas kerja samanya dalam pelaksanaan PKPA

(5)

iv

i. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu yang telah banyak membantu hingga terselesaikannya laporan PKPA ini.

Penulis menyadari bahwa laporan ini masih belum sempurna, namun penulis berharap semoga laporan ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

Depok, Juni 2012

(6)

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 3

BAB 2 TINJAUAN UMUM ... 3

2.1 Definisi Apotek ... 3

2.2 Landasan Hukum Apotek ... 3

2.3 Tugas dan Fungsi Apotek ... 4

2.4 Tata Cara Pendirian Apotek ... 4

2.5 Tenaga Kerja Apotek ... 7

2.6 Tata Cara Perizinan Apotek ... 8

2.7 Pengelolaan Apotek ... 9

2.8 Pelayanan Apotek ... 14

2.9 Pencabutan Surat Izin Apotek ... 19

2.10 Penggolongan Obat ... 21

2.11 Pengelolaan Obat Non Narkotika-Psikotropika ... 26

2.12 Pengelolaan Obat Narkotika ... 26

2.13 Pengelolaan Obat Psikotropika ... 29

2.14 Pelanggaran Apotek ... 30

BAB 3 TINJAUAN KHUSUS APOTEK SAFA ... 32

3.1 Sejarah Apotek Safa ... 32

3.2 Pengelolaan Organisasi dan Sumber Daya Manusia ... 32

3.3 Fasilitas dan Kegiatan Apotek ... 32

3.4 Pengelolaan Perbekalan Farmasi ... 33

3.5 Pelayanan Apotek ... 36

3.6 Kegiatan Non Teknis Farmasi ... 39

3.7 Pengelolaan Narkotika ... 42

3.8 Pengelolaan Psikotropika ... 43

3.9 Strategi Pengembangan Apotek ... 43

BAB 4 PEMBAHASAN ... 45

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ... 57

5.1 Kesimpulan ... 57

5.2 Saran ... 57

(7)

vi

Gambar 2.1 Penandaan Obat Bebas ... 21

Gambar 2.2 Penandaan Obat Bebas Terbatas ... 22

Gambar 2.3 Tanda Peringatan pada Obat Bebas Terbatas ... 23

Gambar 2.4 Penandaan Obat Keras ... 24

(8)

Lampiran 1. Struktur Organisasi Apotek Safa ... 60

Lampiran 2. Peta Lokasi Apotek Safa ... 61

Lampiran 3. Denah Interior Apotek Safa ... 62

Lampiran 4. Tata Letak Apotek Safa ... 63

Lampiran 5. Papan Nama Apotek Safa ... 64

Lampiran 6. Halaman Parkir Apotek Safa ... 64

Lampiran 7. Desain Interior Apotek Bagian Depan ... 65

Lampiran 8. Desain Interior Apotek Bagian Dalam ... 65

Lampiran 9. Rak Penyimpanan Obat Generik dan Obat Nama Dagang ... 66

Lampiran 10. Rak Penyimpanan Obat Psikotropik ... 67

Lampiran 11. Lemari Penyimpanan Narkotika ... 68

Lampiran 12. Blanko Kartu Stok ... 69

Lampiran 13. Lembar Salinan Resep ... 70

Lampiran 14. Lembar Kwitansi ... 71

Lampiran 15. Etiket Apotek ... 71

Lampiran 16. Surat Pesanan Non Narkotika ... 72

Lampiran 17. Surat Pesanan Narkotika ... 73

Lampiran 18. Surat Pesanan Psikotropika ... 74

Lampiran 19. Laporan Narkotika ... 75

Lampiran 20. Laporan Psikotropika ... 77

(9)

1 Universitas Indonesia PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tingkat kesehatan di Indonesia saat ini memang sudah cukup baik dibandingakan dengan tahun-tahun sebelumnya. Namun, masih ada juga beberapa masyarakat yang belum paham dan masih mengabaikan akan pentingnya kesehatan bagi dirinya sendiri, terutama masyarakat kelas bawah. Pentingnya pengetahuan mengenai penyakit dan pengobatan sangat membantu para masyarakat untuk dapat meningkatkan kualitas hidup mereka. Maka, untuk mewujudkan tercapainya derajat kesehatan yang optimal di Indonesia, pelayanan kesehatan juga perlu ditingkatkan dengan melakukan berbagai upaya kesehatan.

Salah satu sarana pelayanan kesehatan yaitu Apotek. Apotek merupakan tempat dilakukannya pekerjaan kefarmasian, penyaluran sediaan farmasi, dan penyaluran perbekalan kesehatan lainnya kepada masyarakat (Permenkes No. 1332/Menkes/SK/X/2002). Pekerjaan kefarmasian tersebut meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan pengadaan, penyimpanan dan distribusi obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional (Undang-undang No.23/1992). Yang termasuk sediaan farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional asli Indonesia, alat kesehatan dan kosmetika (Permenkes No. 1332/Menkes/ SK/X/2002).

Upaya pelayanan kesehatan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat yaitu berkewajiban menyediakan sumber informasi mengenai perbekalan farmasi bagi pasien, tenaga kesehatan lain dan masyarakat pada umumnya. Pelaksanaan pelayanan kesehatan tersebut dilakukan oleh seorang apoteker (APA) yang bertanggung jawab dalam menjalankan tugasnya di apotek. Seorang apoteker dituntut profesionalismenya untuk memiliki pengetahuan yang luas, ketrampilan kefarmasian yang memadai, pemahaman manajerial yang cukup, kemampuan berkomunikasi yang baik dan sikap kemauan untuk membangun sesama, sehingga dapat mengelola apotek sebagai sarana pelayanan kesehatan yang baik.

(10)

Namun demikian, seorang APA dalam menjalankan profesi apotekernya di apotek tidak hanya pandai sebagai penanggung jawab teknis kefarmasian saja, melainkan juga dapat mengelola apotek sesuai dengan prinsip-prinsip bisnis yang dapat memberikan keuntungan kepada pihak-pihak yang memiliki kepentingan (stake holder) tanpa harus menghilangkan fungsi sosialnya di masyarakat.

Mengingat hal di atas apoteker memerlukan bekal pendidikan, pengetahuan dan pengalaman praktis dalam hal pengelolaan apotek agar dapat melaksanakan tugasnya secara professional. Untuk mendapatkan pengalaman praktik tersebut, maka Program Profesi Apoteker Universitas Indonesia menyelenggarakan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) yang dilaksanakan di Apotek Safa yang bertempat di Jl. Bukit Duri Tanjakan No. 68, Jakarta Selatan. PKPA tersebut dilaksanakan selama 6 minggu sejak tanggal 16 Januari 2012 – 25 Februari 2012.

1.2 Tujuan

Pelaksanaan Praktek Kerja Profesi Apoteker di Apotek Safa bagi para calon apoteker bertujuan untuk:

a. Memahami peran dan tanggung jawab seorang Apoteker Pengelola Apotek (APA).

b. Memahami kegiatan rutin organisasi, manajerial, serta dapat melihat secara langsung bagaimana kegiatan pelayanan kefarmasian di apotek.

(11)

3 Universitas Indonesia TINJAUAN UMUM

2.1 Definisi Apotek

Menurut Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2009 yang merupakan pembaruan dari PP No.25 Tahun`1980, apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek kefarmasian oleh Apoteker. Pekerjaan Kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian atau penyaluran obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional. Sediaan farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional dan kosmetika (Peraturan Pemerintah No. 51 Tentang Pekerjaan Kefarmasian, 2009).

Apotek sebagai salah satu sarana pelayanan kesehatan perlu mengutamakan kepentingan masyarakat dan berkewajiban menyediakan, menyimpan dan menyerahkan perbekalan farmasi yang bermutu baik dan keabsahannya terjamin. Apotek dapat diusahakan oleh instansi pemerintah dengan tugas pelayanan kesehatan di pusat dan daerah, perusahaan milik negara yang ditunjuk oleh pemerintah dan apoteker yang telah mengucapkan sumpah serta memperoleh izin dari Dinas Kesehatan setempat.

2.2 Landasan Hukum Apotek

Apotek merupakan salah satu sarana pelayanan kesehatan masyarakat yang diatur dalam:

a. Undang-undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan.

b. Peraturan Pemerintah No. 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian. c. Undang-undang No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika.

d. Undang-undang No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika.

e. Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 1980 tentang Perubahan Atas PP No. 26 Tahun 1965 mengenai Apotek.

f. Peraturan Pemerintah No. 41 tahun 1990 tentang Masa Bakti Apoteker, yang disempurnakan dengan Peraturan Menteri Kesehatan No. 149/Menkes/Per/II/1998.

(12)

g. Peraturan Menkes RI No. 922/Menkes/Per/X/1993 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek.

h. Keputusan Menkes RI No. 1332/Menkes/SK/X/2002 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 922/Menkes/Per/X/1993 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek.

i. Keputusan Menkes RI No. 1027/Menkes/SIK/X/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di apotek.

2.3 Tugas dan Fungsi Apotek

Tugas dan fungsi apotek adalah sebagai berikut (Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 1980 Tentang Apotek, 1980):

a. Tempat pengabdian profesi seorang apoteker yang telah mengucapkan sumpah.

b. Sarana farmasi yang melakukan pengubahan bentuk dan penyerahan obat atau bahan obat.

c. Sarana penyalur perbekalan farmasi yang harus menyebarkan obat yang diperlukan masyarakat secara meluas dan merata.

2.4 Tata Cara Pendirian Apotek

Suatu apotek dapat beroperasi setelah mendapat Surat Izin Apotek (SIA). Pengertian SIA adalah surat yang diberikan Menteri Kesehatan Republik Indonesia kepada apoteker atau apoteker yang bekerja sama dengan Pemilik Sarana Apotek (PSA) untuk menyelenggarakan pelayanan apotek di suatu tempat tertentu. Apoteker adalah tenaga profesi yang memiliki dasar pendidikan serta keterampilan di bidang farmasi dan diberi wewenang serta tanggung jawab untuk melaksanakan pekerjaan kefarmasian, meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui upaya kesehatan dengan melakukan tindakan komunikasi, informasi, dan edukasi secara tepat. Tempat pengabdian seorang apoteker salah satunya adalah

apotek, di mana praktek kefarmasian dilaksanakan sesuai dengan standar dan etika kefarmasian.

Untuk mengajukan permohonan izin pendirian apotek perlu dipenuhi dua macam persyaratan, yaitu persyaratan APA dan persyaratan apotek. Persyaratan

(13)

Universitas Indonesia

APA (Peraturan Menteri Kesehatan No. 922 Tahun 1993 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin, 1993):

a. Ijazahnya telah terdaftar pada Departemen Kesehatan.

b. Telah mengucapkan sumpah atau janji sebagai seorang apoteker. c. Memiliki Surat Izin Kerja (SIK) dari Menteri Kesehatan.

d. Memenuhi syarat-syarat kesehatan fisik dan mental untuk melaksanakan e. tugasnya sebagai seorang apoteker.

f. Tidak bekerja di suatu perusahaan farmasi secara penuh dan tidak menjadi APA di apotek lain.

Apabila APA berhalangan melakukan tugasnya pada jam buka apotek, maka ia dapat menunjuk Apoteker Pendamping, dan apabila APA dan Apoteker Pendamping berhalangan melakukan tugasnya, APA dapat menunjuk Apoteker Pengganti. Penunjukkan tersebut harus dilaporkan kepada Suku Dinas Kesehatan Kota setempat dengan tembusan kepada Kepala Dinas Kesehatan Provinsi setempat. Apabila APA berhalangan melakukan tugasnya lebih dari dua tahun secara terus-menerus, SIA atas nama apoteker yang bersangkutan dapat dicabut. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 922/Menkes/SK/X/1993, disebutkan bahwa persyaratan-persyaratan apotek adalah sebagai berikut (Peraturan Menteri Kesehatan No. 922 Tahun 1993 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin, 1993):

a. Untuk mendapatkan izin apotek, apoteker atau apoteker yang bekerja sama dengan pemilik sarana yang telah memenuhi persyaratan harus siap dengan tempat, perlengkapan termasuk sediaan farmasi dan perbekalan farmasi yang lain yang merupakan milik sendiri atau milik pihak lain.

b. Sarana apotek dapat didirikan pada lokasi yang sama dengan pelayanan komoditi yang lain di luar sediaan farmasi.

c. Apotek dapat melakukan kegiatan pelayanan komoditi yang lain di luar sediaan farmasi.

Beberapa persyaratan yang harus diperhatikan dalam pendirian sebuah apotek adalah:

(14)

2.4.1 Lokasi dan Tempat

Faktor yang digunakan sebagai dasar pertimbangan untuk menentukan lokasi usaha apotek pada umumnya adalah mudah diakses oleh masyarakat, keamanan lingkungan, ada atau tidaknya apotek lain, letak apotek yang didirikan mudah atau tidaknya pasien untuk memarkir kendaraan, jumlah penduduk, jumlah praktek dokter, serta keadaan sosial ekonomi masyarakat setempat (Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1027 Tahun 2004 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, 2004).

2.4.2 Bangunan

Apotek harus mempunyai luas bangunan yang cukup dan memenuhi persyaratan teknis, sehingga dapat menjamin kelancaran pelaksanaan tugas dan fungsinya. Bangunan apotek sebaiknya terdiri dari ruang tunggu yang nyaman, ruang peracikan dan penyerahan obat, ruang administrasi, ruang penyimpanan obat, tempat untuk memajang informasi bagi pasien termasuk penempatan brosur atau materi informasi, ruangan tertutup untuk konseling bagi pasien yang dilengkapi dengan meja dan kursi serta lemari untuk menyimpan catatan medikasi pasien, ruang kerja apoteker, serta ruang tempat pencucian alat dan toilet. Bangunan apotek harus dilengkapi dengan sumber air yang memenuhi syarat kesehatan, penerangan yang memadai, alat pemadam kebakaran, ventilasi dan sanitasi yang baik.

2.4.3 Perlengkapan Apotek

Perlengkapan yang harus tersedia di apotek adalah: a. Alat peracikan, seperti timbangan, mortir, dan gelas ukur.

b. Perlengkapan dan alat penyimpanan perbekalan farmasi seperti lemari obat dan lemari pendingin.

c. Wadah pengemas dan pembungkus seperti etiket dan plastik pengemas. d. Tempat penyimpanan khusus narkotika, psikotropika dan bahan beracun. e. Alat administrasi seperti blanko pesanan obat, faktur, kuitansi, dan salinan

resep.

f. Kumpulan peraturan dan perundang-undangan yang berhubungan dengan apotek.

(15)

Universitas Indonesia 2.5 Tenaga Kerja Apotek

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI No.1332/Menkes/SK/2002 terdapat beberapa definisi personil apotek yaitu:

1. APA adalah apoteker yang telah memiliki Surat Izin Apotek.

2. Apoteker Pendamping adalah apoteker yang bekerja di apotek di samping APA dan atau menggantikan pada jam-jam tertentu pada hari buka apotek. 3. Apoteker Pengganti adalah apoteker yang menggantikan APA selama APA

tersebut tidak berada di tempat lebih dari 3 (tiga bulan) secara terus menerus, telah memiliki Surat Izin Kerja dan tidak bertindak sebagai APA di apotek lain.

4. Asisten Apoteker adalah mereka yang berdasarkan peraturan perundang-undangan berhak melakukan pekerjaan kefarmasian sebagai asisten apoteker.

Dalam pengelolaan apotek, apoteker harus memiliki kemampuan menyediakan dan memberikan pelayanan yang baik, mengambil keputusan yang tepat, kemampuan berkomunikasi antar profesi, menempatkan diri sebagai pimpinan, kemampuan mengelola sumber daya manusia secara efektif, selalu belajar sepanjang karier dan membantu memberi pendidikan dan peluang untuk meningkatkan pengetahuan.

Agar dapat mengelola apotek dengan baik dan benar, seorang APA dituntut untuk memiliki pengetahuan dan keterampilan memadai yang tidak hanya dalam bidang farmasi tetapi juga dalam bidang lain seperti manajemen.

Prinsip dasar manajemen dalam mengelola suatu usaha adalah (Robbins,1999):

a. Perencanaan, yaitu pemilihan dan penghubungan fakta serta penggunaan asumsi untuk masa yang akan datang dengan jalan menggambarkan dan merumuskan kegiatan yang diperlukan untuk mencapai hasil yang diinginkan. b. Pengorganisasian, yaitu menyusun atau mengatur bagian-bagian yang

berhubungan satu dengan lainnya, dimana tiap bagian mempunyai suatu tugas khusus dan berhubungan secara keseluruhan.

c. Kepemimpinan, yaitu kegiatan untuk mempengaruhi dan memotivasi pegawainya agar berusaha untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

(16)

d. Pengawasan, yaitu tindakan untuk mengetahui hasil pelaksanaan untuk kemudian dilakukan perbaikan dalam pelaksanaan kerja agar segala kegiatan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan sehingga tujuan yang diinginkan dapat tercapai.

Tenaga lainnya yang diperlukan untuk mendukung kegiatan di apotek terdiri dari:

1. Juru resep adalah petugas yang membantu pekerjaan asisten apoteker.

2. Kasir adalah orang yang bertugas menerima uang, mencatat penerimaan, dan pengeluaran uang.

3. Pegawai tata usaha adalah petugas yang melaksanakan administrasi apotek dan membuat laporan pembelian, penjualan, penyimpanan, dan keuangan apotek.

2.6 Tata Cara Perizinan Apotek

Sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1332/Menkes/SK/X/2002 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 922/Menkes/Per/X/1993 Apotek tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek adalah sebagai berikut:

1. Permohonan izin apotek diajukan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dengan menggunakan contoh formulir APT-1.

2. Dengan menggunakan formulir APT-2 Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota selambat-lambatnya 6 (enam) hari kerja setelah menerima permohonan dapat meminta bantuan teknis kepada Kepala Balai POM untuk melakukan pemeriksaan terhadap kesiapan apoteker melakukan kegiatan. Tim Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota atau Kepala Balai POM selambat-lambatnya 6 (enam) hari kerja setelah permintaan bantuan teknis dari kepala

3. Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota melaporkan hasil pemeriksaan setempat dengan menggunakan formulir APT-3.

4. Dalam hal pemeriksaan sebagaimana dimaksud di dalam butir (b) dan (c), jika tidak dilaksanakan maka apoteker pemohon dapat membuat surat pernyataan siap melakukan kegiatan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota

(17)

Universitas Indonesia

setempat dengan tembusan kepada Kepala Dinas Provinsi dengan menggunakan formulir APT-4.

5. Dalam jangka waktu 12 (dua belas) hari kerja setelah diterima laporan

pemeriksaan sebagaimana di maksud butir (c) atau pernyataan butir (d) Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat mengeluarkan Surat Izin Apotek dengan menggunakan formulir APT-5.

6. Dalam hal hasil pemeriksaan tim Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota atau Kepala Balai POM sebagaimana dimaksud pada butir (c) jika masih belum memenuhi syarat, maka Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dalam waktu 12 (dua belas) hari kerja mengeluarkan surat penundaan dengan menggunakan formulir APT-6.

7. Terhadap surat penundaan sebagaimana dimaksud dalam butir (f), apoteker diberi kesempatan untuk melengkapi persyaratan yang belum dipenuhi selambat-lambatnya dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal surat penundaan.

8. Apabila apoteker menggunakan sarana pihak lain, maka penggunaan sarana dimaksud wajib didasarkan atas perjanjian kerjasama antara apoteker dan pemilik sarana.

9. Pemilik sarana yang dimaksud tersebut harus memenuhi persyaratan tidak pernah terlibat dalam pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang obat sebagaimana dinyatakan dalam surat pernyataan yang bersangkutan. 10. Terhadap permohonan izin apotek dan APA atau lokasi tidak sesuai dengan

pemohon, maka Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dalam jangka waktu selambat-lambatnya 12 hari kerja wajib mengeluarkan surat penolakan disertai dengan alasannya dengan menggunakan formulir APT-7.

2.7 Pengelolaan Apotek

Pengelolaan apotek adalah seluruh upaya dan kegiatan apoteker untuk melaksanakan tugas dan fungsi pelayanan apotek. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1332/Menkes/SK/2002 pengelolaan apotek dapat dibagi menjadi dua, yaitu: (Keputusan Menteri Kesehatan No. 1322/Menkes/SK/X/2002, 2002).

(18)

a. Pengelolaan teknis kefarmasian meliputi pembuatan, pengelolaan, peracikan, pengubahan bentuk, pencampuran, penyimpanan, penyerahan obat atau bahan obat, pengadaan, penyimpanan, penyaluran dan penyerahan perbekalan farmasi lainnya. Pelayanan informasi mengenai perbekalan farmasi yang meliputi pelayanan informasi mengenai perbekalan farmasi lainnya yang diberikan baik kepada dokter, tenaga kesehatan lain, maupun kepada masyarakat, pengamatan dan pelaporan mengenai khasiat, keamanan, bahaya dan atau mutu obat serta perbekalan farmasi lainnya.

b. Pengelolaan non teknis kefarmasian meliputi semua kegiatan administrasi, keuangan, personalia, pelayanan komoditas selain perbekalan farmasi dan bidang lainnya yang berhubungan dengan fungsi apotek. Secara garis besar pengelolaan apotek dapat dijabarkan sebagai berikut:

2.7.1 Pengelolaan Perbekalan Farmasi 2.7.1.1 Perencanaan

Perencanaan merupakan kegiatan dalam pemilihan jenis, jumlah, dan harga dalam rangka pengadaan dengan tujuan mendapatkan jenis dan jumlah yang sesuai dengan kebutuhan dan anggaran, serta menghindari kekosongan obat. Dalam perencanaan pengadaan sediaan farmasi seperti obat-obatan dan alat kesehatan, maka perlu dilakukan pengumpulan data obat-obatan yang akan dipesan. Data obat-obatan tersebut biasanya ditulis dalam buku defekta, yaitu jika barang habis atau persediaan menipis berdasarkan jumlah barang yang tersedia pada bulan-bulan sebelumnya. Beberapa pertimbangan yang harus dilakukan APA di dalam melaksanakan perencanaan pemesanan barang, yaitu memilih Pedagang Besar Farmasi (PBF) yang memberikan keuntungan dari segala segi, misalnya harga yang ditawarkan sesuai (murah), ketepatan waktu pengiriman, diskon dan

bonus yang diberikan sesuai (besar), jangka waktu kredit yang cukup, serta kemudahan dalam pengembalian obat-obatan yang hampir kadaluwarsa.

Sesuai Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1027/Menkes/SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, maka dalam membuat perencanaan pengadaan sediaan farmasi perlu memperhatikan:

(19)

Universitas Indonesia

a. Pola penyakit, maksudnya adalah perlu memperhatikan dan mencermati pola penyakit yang timbul di sekitar masyarakat sehingga apotek dapat memenuhi kebutuhan masyarakat tentang obat-obat untuk penyakit tersebut.

b. Tingkat perekonomian masyarakat di sekitar apotek juga akan mempengaruhi daya beli terhadap obat-obatan.

c. Budaya masyarakat dimana pandangan masyarakat terhadap obat, pabrik obat, bahkan iklan obat dapat mempengaruhi dalam hal pemilihan obat-obatan khususnya obat-obatan tanpa resep. Demikian juga dengan budaya masyarakat yang lebih senang berobat ke dokter, maka apotek perlu memperhatikan obat-obat yang sering diresepkan oleh dokter tersebut.

2.7.1.2 Pengadaan

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 918/Menkes/Per/X/1993 tentang PBF, menyebutkan bahwa pabrik dapat menyalurkan produksinya langsung ke PBF, apotek, toko obat, apotek rumah sakit, dan sarana kesehatan lain (Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 918/Menkes/per/X/1993, 1993). Pengadaan barang di apotek meliputi pemesanan dan pembelian. Pembelian barang dapat dilakukan secara langsung ke produsen atau melalui PBF. Proses pengadaan barang dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu:

a. Tahap persiapan, dilakukan dengan cara mengumpulkan data barang-barang yang akan dipesan dari buku defekta, termasuk obat baru yang ditawarkan pemasok.

b. Pemesanan dilakukan dengan menggunakan Surat Pesanan (SP). SP minimal dibuat 2 lembar (untuk pemasok dan arsip apotek) dan ditandatangani oleh APA dengan mencantumkan nomor SIK.

Pengadaan atau pembelian barang di apotek dapat dilakukan dengan cara antara lain (Anif, 2001):

a. Pembelian dalam jumlah terbatas yaitu pembelian dilakukan sesuai dengan kebutuhan dalam waktu pendek, misalnya satu minggu. Pembelian ini dilakukan bila modal terbatas dan PBF berada dalam jarak tidak jauh dari apotek, misalnya satu kota dan selalu siap untuk segera mengirimkan obat yang dipesan.

(20)

b. Pembelian berencana dimana metode ini erat hubungannya dengan pengendalian persediaan barang. Pengawasan stok obat atau barang dagangan penting sekali, untuk mengetahui obat yang fast moving atau slow moving, hal ini dapat dilihat pada kartu stok. Selanjutnya dilakukan perencanaan pembelian sesuai dengan kebutuhan.

c. Pembelian secara spekulasi merupakan pembelian dilakukan dalam jumlah yang lebih besar dari kebutuhan, dengan harapan akan ada kenaikan harga dalam waktu dekat atau karena ada diskon atau bonus. Pola ini dilakukan pada waktu-waktu tertentu jika diperkirakan akan terjadi peningkatan permintaan. Meskipun apabila spekulasinya benar akan mendapat keuntungan besar, tetapi cara ini mengandung resiko obat akan rusak atau kadaluarsa.

2.7.1.3 Penyimpanan

Penyimpanan obat sebaiknya digolongkan berdasarkan bentuk sediaan, seperti sediaan padat dipisahkan dari sediaan cair atau setengah padat. Hal tersebut dilakukan untuk menghindari zat-zat yang bersifat higroskopis. Serum, vaksin, dan obat-obat yang mudah rusak atau meleleh pada suhu kamar disimpan dalam lemari pendingin. Penyusunan obat dapat dilakukan secara alfabetis untuk mempermudah dan mempercepat pengambilan obat saat diperlukan. Pengeluaran barang di apotek sebaiknya menggunakan sistem FIFO (First In First Out) dan FEFO (First Expire First Out), sehingga obat-obat yang mempunyai waktu kadaluarsa lebih singkat disimpan paling depan dan memungkinkan diambil terlebih dahulu.

2.7.2 Pengelolaan Keuangan

Laporan keuangan yang biasa dibuat di apotek adalah:

2.7.2.1 Laporan Rugi-Laba

Laporan rugi-laba adalah laporan yang menyajikan informasi tentang pendapatan, biaya, laba atau rugi yang diperoleh perusahaan selama periode tertentu. Laporan rugi-laba biasanya berisi hasil penjualan, HPP (persediaan awal + pembelian - persediaan akhir), laba kotor, biaya operasional, laba bersih usaha,

(21)

Universitas Indonesia

laba bersih sebelum pajak, laba bersih setelah pajak, pendapatan non usaha, dan pajak.

2.7.2.2 Neraca

Neraca adalah laporan yang menunjukkan keadaan keuangan suatu unit usaha pada waktu tertentu. Keadaan keuangan ini ditunjukkan dengan jumlah harta yang dimiliki yang disebut aktiva dan jumlah kewajiban yang disebut pasiva, atau dengan kata lain aktiva adalah investasi di dalam perusahaan dan pasiva merupakan sumber-sumber yang digunakan untuk investasi tersebut. Oleh karena itu, dapat dilihat dalam neraca bahwa jumlah aktiva akan sama besar dengan pasiva. Aktiva dikelompokkan dalam aktiva lancar dan aktiva tetap. Aktiva lancar berisi kas, surat-surat berharga, piutang, dan persediaan. Aktiva tetap dapat berupa gedung atau tanah, sedangkan pasiva dapat berupa hutang dan modal.

2.7.2.3 Laporan Hutang-Piutang

Laporan hutang adalah laporan yang berisi hutang yang dimiliki apotek pada periode tertentu dalam satu tahun, sedangkan laporan piutang berisikan piutang yang ditimbulkan karena transaksi yang belum lunas dari pihak lain kepada pihak apotek.

2.7.3 Administrasi

Administrasi yang biasa dilakukan apotek meliputi antara lain (Anif, 2001):

a. Administrasi umum, kegiatannya meliputi, membuat agenda atau mengarsipkan surat masuk dan surat keluar, pembuatan laporan-laporan seperti, laporan narkotika dan psikotropika, pelayanan resep dengan harganya, pendapatan, alat dan obat KB, obat generik, dan lain-lain.

b. Pembukuan meliputi pencatatan keluar dan masuknya uang disertai bukti-bukti pengeluaran dan pemasukan.

c. Administrasi penjualan meliputi pencatatan pelayanan obat resep, obat bebas, dan pembayaran secara tunai atau kredit.

(22)

d. Administrasi pergudangan meliputi, pencatatan penerimaan barang, masing-masing barang diberi kartu stok, dan membuat defekta.

e. Administrasi pembelian meliputi pencatatan pembelian harian secara tunai atau kredit dan asal pembelian, mengumpulkan faktur secara teratur. Selain itu dicatat kepada siapa berhutang dan masing-masing dihitung besarnya hutang apotek.

f. Administrasi piutang, meliputi pencatatan penjualan kredit, pelunasan piutang, dan penagihan sisa piutang.

g. Administrasi kepegawaian dilakukan dengan mengadakan absensi karyawan, mencatat kepangkatan, gaji, dan pendapatan lainnya dari karyawan.

2.8 Pelayanan Apotek

Menurut Permenkes No. 922/ Menkes/ Per/ X/1993, pelayanan apotek meliputi:

a. Apotek wajib melayani resep dokter, dokter spesialis, dokter gigi, dan dokter hewan. Pelayanan resep ini sepenuhnya atas dasar tanggung jawab APA, sesuai dengan keahlian profesinya yang dilandasi pada kepentingan masyarakat.

b. Apotek wajib menyediakan, menyimpan, dan menyerahkan perbekalan farmasi yang bermutu baik dan absah.

c. Apotek tidak diizinkan mengganti obat generik yang ditulis dalam resep dengan obat bermerek dagang. Namun resep dengan obat bermerek dagang atau obat paten boleh diganti dengan obat generik.

d. Apotek wajib memusnahkan perbekalan farmasi yang tidak memenuhi syarat mengikuti ketentuan yang berlaku, dengan membuat berita acara. Pemusnahan ini dilakukan dengan cara dibakar atau dengan ditanam atau dengan cara lain yang ditetapkan oleh Badan POM.

e. Dalam hal pasien tidak mampu menebus obat yang diresepkan, apoteker wajib berkonsultasi dengan dokter penulis resep untuk pemilihan obat yang lebih tepat.

f. Apoteker wajib memberikan informasi yang berkaitan dengan penggunaan obat secara tepat, aman, dan rasional atas permintaan masyarakat.

(23)

Universitas Indonesia

g. Apabila apoteker menganggap bahwa dalam resep terdapat kekeliruan atau penulisan resep yang tidak tepat, apoteker harus memberitahukan kepada dokter penulis resep. Apabila atas pertimbangan tertentu dokter penulis resep tetap pada pendiriannya, dokter wajib melaksanakan secara tertulis atau membubuhkan tanda tangan yang lazim di atas resep.

h. Salinan resep harus ditandatangani oleh apoteker.

i. Resep harus dirahasiakan dan disimpan di apotek dengan baik dalam jangka waktu 3 tahun.

j. Resep dan salinan resep hanya boleh diperlihatkan kepada dokter penulis resep atau yang merawat penderita, penderita yang bersangkutan, petugas kesehatan, atau petugas lain yang berwenang menurut perundang-undangan yang berlaku.

k. Apoteker diizinkan menjual obat keras tanpa resep yang dinyatakan sebagai Daftar Obat Wajib Apotek (DOWA) tanpa resep.

2.8.1 Pelayanan Resep 2.8.1.1 Skrining Resep

Apoteker melakukan kegiatan skrining resep yang meliputi:

a. Memeriksa kelengkapan persyaratan administrasi: nama dokter, nomor SIP, alamat dokter, tanggal penulisan resep, tanda tangan atau paraf dokter penulis resep, nama pasien, alamat pasien, umur pasien, jenis kelamin pasien, dan berat badan pasien, nama obat, potensi, dosis, jumlah yang diminta, cara pemakaian yang jelas dan informasi lainnya.

b. Memeriksa kesesuaian farmasetik seperti bentuk sediaan, dosis, inkompatibilitas, stabilitas, cara dan lama pemberian.

c. Melakukan pertimbangan klinis seperti adanya alergi, efek samping, interaksi, kesesuaian (dosis, durasi, jumlah obat dan lain-lain). Jika ada keraguan terhadap resep hendaknya dikonsultasikan kepada dokter penulis resep dengan memberikan pertimbangan dan alternatif seperlunya bila perlu menggunakan persetujuan setelah pemberitahuan.

(24)

2.8.1.2 Penyiapan Obat

Peracikan merupakan kegiatan menyiapkan, menimbang, mencampur, mengemas, dan memberikan etiket pada wadah. Suatu prosedur tetap harus dibuat untuk melaksanakan peracikan obat, dengan memperhatikan dosis, jenis, dan jumlah obat serta penulisan etiket yang benar. Etiket harus jelas dan dapat dibaca.

Obat hendaknya dikemas dengan rapi dalam kemasan yang cocok sehingga terjaga kualitasnya. Pemeriksaan akhir terhadap kesesuaian antara obat dengan resep harus dilakukan sebelum obat diserahkan kepada pasien. Penyerahan obat dilakukan oleh apoteker disertai pemberian informasi obat dan konseling kepada pasien.

2.8.1.3 Informasi Obat

Apoteker harus memberikan informasi yang benar, jelas dan mudah dimengerti, akurat, tidak bias, etis, bijaksana dan terkini, informasi obat pada pasien sekurang-kurangnya meliputi cara pemakaian obat, jangka waktu pengobatan, cara penyimpanan obat, aktivitas serta makanan dan minuman yang harus dihindari selama terapi.

2.8.1.4 Konseling

Apoteker harus memberikan konseling, mengenai sediaan farmasi, pengobatan dan perbekalan kesehatan lainnya sehingga dapat memperbaiki kualitas hidup pasien atau yang bersangkutan terhindar dari bahaya penyalahgunaan atau penggunaan obat yang salah. Untuk penderita penyakit

seperti kardiovaskular, diabetes, TBC, asma, dan penyakit kronis lainnya, apoteker harus memberikan konseling secara berkelanjutan.

2.8.1.5 Monitoring Penggunaan Obat

Setelah penyerahan obat kepada pasien, apoteker harus melaksanakan pemantauan penggunaan obat terutama untuk pasien tertentu seperti kardiovaskular, diabetes, TBC, asma dan penyakit kronis lainnya.

(25)

Universitas Indonesia

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan No. 28 tahun 1981 tentang penyimpanan dan pemusnahan resep menyebutkan bahwa:

a. APA mengatur resep yang telah dikerjakan menurut urutan tanggal dan nomor urut penerimaan resep dan harus disimpan sekurang-kurangnya selama tiga tahun.

b. Resep yang mengandung narkotika harus dipisahkan dari resep lainnya.

c. Resep yang telah disimpan melebihi jangka waktu penyimpanan, dapat dimusnahkan.

d. Pemusnahan resep dilakukan dengan cara dibakar atau dengan cara lain yang memadai oleh APA bersama-sama dengan sekurang-kurangnya seorang petugas apotek.

e. Pada pemusnahan resep, harus dibuat berita acara pemusnahan sesuai dengan bentuk yang telah ditentukan dan dibuat rangkap empat serta ditandatangani oleh APA dan petugas apotek.

2.8.2 Pelayanan Swamedikasi

Pengobatan sendiri (swamedikasi) adalah tindakan mengobati diri sendiri dengan obat tanpa resep (golongan obat bebas dan bebas terbatas) yang dilakukan secara tepat guna dan bertanggung jawab. Hal ini mengandung makna bahwa walaupun oleh dan untuk diri sendiri, pengobatan sendiri harus dilakukan secara rasional. Ini berarti bahwa tindakan pemilihan dan penggunaan produk bersangkutan sepenuhnya merupakan tanggung jawab bagi para penggunanya.

Pemerintah juga turut berperan serta dalam meningkatkan upaya pengobatan sendiri dengan mengeluarkan Keputusan Menteri Kesehatan No. 347/Menkes/SK/VII/ 1990 tentang Obat Wajib Apotek. Obat Wajib Apotek (OWA) adalah obat keras yang dapat diserahkan tanpa resep dokter oleh apoteker di apotek (Keputusan Menteri Kesehatan Kesehatan No. 347 tahun 1990, 1990). Menurut Peraturan Menteri Kesehatan No. 919/Menkes/PER/X/1993 tentang kriteria obat yang diserahkan tanpa resep dokter, harus memenuhi kriteria sebagai berikut:

a. Tidak dikontraindikasikan pada wanita hamil, anak dibawah usia 2 tahun dan orang tua diatas 65 tahun.

(26)

b. Pengobatan sendiri dengan obat dimaksud tidak memberikan resiko akan kelanjutan penyakit.

c. Penggunaan tidak memerlukan cara dan alat khusus yang harus dilakukan oleh tenaga kesehatan.

d. Penggunaannya diperlukan untuk penyakit yang prevalensinya tinggi di Indonesia.

e. Obat dimaksud memiliki rasio khasiat keamanan yang dapat dipertanggungjawabkan untuk pengobatan sendiri.

Penggunaan OWA perlu dicatat tetapi tidak perlu dilaporkan. Beberapa kewajiban apoteker dalam penyerahan obat wajib apotek yaitu:

a. Memenuhi ketentuan dan batasan yang tercakup dalam tiap-tiap jenis obat wajib apotek tersebut.

b. Membuat catatan pasien dan obat yang telah diserahkan.

c. Memberikan informasi tentang obat, meliputi dosis, aturan pakai, efek samping dan informasi lain yang dianggap perlu.

Obat wajib apotek didasarkan pada tiga surat keputusan menteri kesehatan yaitu:

a. Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 347/Menkes/SK/VII/1990 tentang Obat Wajib Apotek No. 1 yang terdiri dari 7 kelas terapi yaitu, oral kontrasepsi, obat saluran cerna, obat mulut dan tenggorokan, obat saluran napas, obat yang mempengaruhi sistem neuromuskular, antiparasit, dan obat topikal (Keputusan Menteri Kesehatan Kesehatan No. 347 tahun 1990, 1990).

b. Keputusan Menkes RI No. 924/Menkes/PER/IX/1993 tentang Daftar Obat Wajib Apotek No.2 yang terdiri dari 34 jenis obat generik sebagai tambahan lampiran Keputusan Menkes RI No. 347/MENKES/SK/VII/1990 tentang Obat Wajib Apotek No 1. Daftar obat wajib apotek No. 2 tersebut terdiri dari, albendazol, basitrasin, karbinoksamin, klindamisin, deksametason, dekspantenol, diklofenak, diponium, fenoterol, flumetason, hidrokortison butirat, ibuprofen, isokonazol, ketokonazol, levamizol, metilprednisolon, niklosamid, noretisteron, omeprazol, oksikonazol, pipazetat, piratiasin kloroteofilin, pirenzepin, piroksikam, polimiksin B sulfat, prednisolon,

(27)

Universitas Indonesia

skopolamin, silver sulfadiazin, sukralfat, sulfasalazin, tiokonazol, dan urea (Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 924/Menkes/PER/IX/1993, 1993). c. Keputusan Menkes RI No. 1176/Menkes/SK/X/1999 tentang Daftar Obat

Wajib Apotek No. 3 yang terdiri dari 6 kelas terapi yaitu, saluran pencernaan dan metabolisme, obat kulit, antiinfeksi umum, sistem muskuloskeletal, sistem saluran pernafasan, dan organ-organ sensorik.

2.8.3 Promosi dan Edukasi

Apoteker harus memberikan edukasi dalam rangka pemberdayaan masyarakat, apabila masyarakat ingin mengobati diri sendiri (swamedikasi) untuk penyakit ringan, dengan memilihkan obat yang sesuai. Apoteker juga harus berpartisipasi secara aktif dalam promosi dan edukasi. Apoteker ikut membantu diseminasi informasi antara lain dengan penyebaran leaflet atau brosur, poster, penyuluhan dan lain-lain.

2.8.4 Pelayanan Residensial (Home Care)

Apoteker sebagai pemberi pelayanan (care giver) diharapkan juga dapat melakukan pelayanan kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah, khususnya untuk kelompok lanjut usia (lansia) dan pasien dengan pengobatan penyakit kronis lainnya. Untuk aktivitas ini apoteker harus membuat catatan berupa catatan pengobatan (medication record).

2.9 Pencabutan Surat Izin Apotek

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1332/Menkes/SK/2002, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat dapat mencabut Surat Izin Apotek, apabila:

a. Apoteker sudah tidak lagi memenuhi syarat sebagai APA.

b. Apoteker tidak memenuhi kewajiban dalam pelayanan kefarmasian.

c. APA berhalangan melakukan tugasnya lebih dari 2 tahun secara terus menerus.

d. Terjadi pelanggaran terhadap Undang-Undang No. 22 tahun 1997 tentang Narkotika dan Undang-Undang No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika,

(28)

Undang-Undang No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan dan ketentuan perundang-undangan lainnya.

e. Surat Izin Kerja (SIK) APA tersebut dicabut.

f. Pemilik sarana apotek tersebut terbukti terlibat dalam pelanggaran perundangundangan

di bidang obat.

g. Apotek tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai apotek.

Namun sebelum pencabutan izin apotek dilakukan, terlebih dahulu Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat mengeluarkan (Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1332/Menkes/SK/X/2002, 2002) :

a. Peringatan secara tertulis kepada APA sebanyak tiga kali berturut-turut dengan waktu masing-masing dua bulan dengan menggunakan contoh formulir model APT-12.

b. Pembekuan izin apotek untuk jangka waktu selama-lamanya enam bulan sejak dikeluarkannya penetapan pembekuan kegiatan di apotek dengan menggunakan contoh formulir model APT-13.

Pencabutan Surat Izin Apotek dilakukan oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat dengan mengeluarkan surat keputusan yang ditujukan kepada APA, menggunakan contoh formulir model APT-15, dengan tembusan yang disampaikan kepada Menteri Kesehatan dan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi serta Kepala Balai POM setempat (Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1332/Menkes/SK/X/2002, 2002).

Apabila surat izin apotek dicabut, APA atau Apoteker Pengganti wajib mengamankan perbekalan farmasi, yaitu dengan cara sebagai berikut (Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1332/Menkes/SK/X/2002, 2002):

a. Dilakukan inventarisasi terhadap seluruh persediaan narkotika, obat keras tertentu dan obat lainnya serta seluruh resep yang tersedia di apotek.

b. Narkotika, psikotropika, dan resep harus dimasukkan dalam tempat yang tertutup dan terkunci.

c. APA wajib melapor secara tertulis kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat atau petugas yang diberi wewenang tentang penghentian kegiatan disertai laporan inventarisasi yang dimaksud di atas.

(29)

Universitas Indonesia

Pembekuan izin apotek dapat dicairkan kembali apabila apotek tersebut telah memenuhi seluruh persyaratan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dengan menggunakan contoh formulir APT-14. Pencairan izin apotek dilakukan setelah menerima laporan pemeriksaan dari tim pemeriksaan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat.

2.10 Penggolongan Obat

Pemerintah menetapkan beberapa peraturan mengenai “Tanda” untuk membedakan jenis-jenis obat yang beredar di wilayah Republik Indonesia agar pengelolaan obat menjadi mudah. Beberapa peraturan tersebut antara lain yaitu: a. UU RI No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika.

b. Kepmenkes RI No. 2380/A/SK/VI/83 tentang Tanda Khusus Obat Bebas dan Obat Bebas Terbatas.

c. Kepmenkes RI No. 2396/A/SK/VIII/86 tentang Tanda Khusus Obat Keras Daftar G.

d. Kepmenkes RI No. 347/Menkes/SK/VIII/90 tentang Obat Wajib Apotek. e. Permenkes RI No. 688/Menkes/Per/VII/1997 tentang Peredaran Psikotropika.

Berdasarkan ketentuan peraturan tersebut, maka obat dapat dibagi menjadi beberapa golongan yaitu (Umar, 2007; Departemen Kesehatan RI, 1997):

2.10.1 Obat Bebas

Obat bebas adalah obat tanpa peringatan, yang dapat diperoleh tanpa resep dokter. Tandanya berupa lingkaran bulat berwarna hijau dengan garis tepi hitam.

(30)

2.10.2 Obat Bebas Terbatas

Obat bebas terbatas adalah obat dengan peringatan, yang dapat diperoleh tanpa resep dokter. Tandanya berupa lingkaran bulat berwarna biru dengan garis tepi hitam.

Gambar 2.2 Penandaan Obat Bebas Terbatas

Contoh dari obat bebas terbatas yaitu, obat batuk, obat influenza, obat penghilang rasa sakit dan penurun panas, obat-obat antiseptik, dan obat tetes mata untuk iritasi ringan. Obat golongan ini termasuk obat keras tapi dapat dibeli tanpa resep dokter.

Komposisi obat bebas terbatas merupakan obat keras sehingga dalam wadah atau kemasan perlu dicantumkan tanda peringatan (P1-P6). Tanda peringatan tersebut berwarna hitam dengan ukuran panjang 5 cm dan lebar 2 cm (disesuaikan dengan warna kemasannya) dan diberi tulisan peringatan penggunaannya dengan huruf berwarna putih.

Tanda-tanda peringatan ini sesuai dengan golongan obatnya yaitu: a. P No 1 : Awas! Obat keras. Baca aturan pakai. Contoh: Decolgen®.

b. P No 2 : Awas! Obat keras. Hanya untuk dikumur, jangan ditelan. Contoh: Gargarisma Khan.

c. P No 3 : Awas! Obat keras. Hanya untuk bagian luar dari badan. Contoh: Tingtur lodii.

d. P No 4 : Awas! Obat keras. Hanya untuk dibakar. Contoh: Sigaret Asma. e. P No 5 : Awas! Obat keras. Tidak boleh ditelan. Contoh: Sulfanilamid Steril. f. P No 6 : Awas! Obat keras. Obat wasir, jangan ditelan. Contoh: Anusol

(31)

Universitas Indonesia

'

Gambar 2.3 Tanda Peringatan pada Obat Bebas Terbatas

Perbedaan obat antara daftar obat B dan daftar obat G adalah obat pada daftar obat B dapat diperoleh tanpa resep dokter asal memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut:

a. Obat-obat dengan daftar obat B hanya boleh dijual dalam kemasan asli pabrik pembuatnya.

b. Waktu penyerahan obat-obat tersebut pada wadahnya harus ada tanda peringatan berupa etiket khusus yang tercetak sesuai dengan ketentuan kementerian kesehatan seperti yang diuraikan diatas.

2.10.3 Obat Keras Daftar G

Obat keras adalah obat-obatan yang mempunyai khasiat mengobati, menguatkan, mendesinfeksi, dan lain-lain, pada tubuh manusia, baik dalam bungkusan atau tidak yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan. Tanda khusus obat keras yaitu lingkaran merah dengan garis tepi hitam dan huruf K di dalamnya yang ditulis pada etiket dan bungkus luar.

(32)

Gambar 2.4 Penandaan Obat Keras

Psikotropik termasuk dalam golongan obat keras. Obat keras merupakan obat yang hanya bisa didapatkan dengan resep dokter dan dapat diulang tanpa resep baru bila dokter menyatakan pada resepnya “boleh diulang“. Obat-obat golongan ini antara lain obat jantung, obat diabetes, hormon, antibiotika, beberapa obat ulkus lambung, dan semua obat suntik.

2.10.4 Psikotropika

Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. Penggolongan dari psikotropika adalah (Undang-Undang No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika, 1997):

a. Psikotropika golongan I adalah Psikotropika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi amat kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh: etisiklidina, tenosiklidina, metilendioksi metilamfetamin (MDMA). b. Psikotropika golongan II adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan

dapat digunakan dalam terapi dan/ atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh: amfetamin, deksamfetamin, metamfetamin, fensiklidin.

c. Psikotropika golongan III adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/ atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi sedang mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh: amobarbital, pentabarbital, siklobarbital.

(33)

Universitas Indonesia

d. Psikotropika golongan IV adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan sangat luas digunakan dalam terapi dan/ atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh: diazepam, estazolam, etilamfetamin, alprazolam.

2.10.5 Narkotika

Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan (Undang-Undang No. 35 tahun 2009 Tentang Narkotika).

Gambar 2.5 Penandaan Obat Narkotika

Narkotika dibagi menjadi 3 golongan, yaitu (Undang-Undang No. 35 tahun 2009 Tentang Narkotika, 1997; Redaksi Sinar Grafika, 2002):

a. Narkotika Golongan I adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan. Contoh: kokain, opium, heroin, ganja.

b. Narkotika Golongan II adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan,digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan. Contoh: morfin, petidin, normetadona, metadona.

(34)

c. Narkotika Golongan III adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan. Contoh: kodein, norkodeina, etilmorfina.

2.11 Pengelolaan Obat Non Narkotika-Psikotropika (Umar, 2007)

2.11.1 Pemesanan Obat Non Narkotika-Psikotropika

Petugas pembelian menyiapkan surat pesanan berdasarkan daftar permintaan barang apotek. Petugas memilih supplier yang dapat memberikan harga relatif lebih murah dibandingkan dengan supplier lainnya. Petugas mengirimkan SP yang telah disetujui oleh APA ke supplier melalui telpon, fax, atau diambil sendiri oleh salesman supplier.

2.11.2 Penyimpanan Obat Non Narkotika-Psikotropika

Berbeda dengan obat narkotika dan psikotropika, penyimpanan obat ini tidak memliki peraturan yang baku. Cara menyimpan obat ini dapat disesuaikan berdasarkan bentuk sediaan, suhu / kestabilan zat, kelembaban dan bahan wadah. Selain hal tersebut, penyimpanan dapat diefisienkan dengan menggunakan lemari yang dibuat seperti sarang tawon dan memperhatikan estetika.

2.12 Pengelolaan Obat Narkotika

Narkotika merupakan bahan yang bermanfaat di bidang pengobatan dan pengembangan ilmu pengetahuan, namun menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila dipergunakan tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat dan seksama. Pengendalian dan pengawasan narkotika, di Indonesia merupakan wewenang Badan POM. Untuk mempermudah pengendalian dan pengawasan narkotika maka pemerintah Indonesia hanya memberikan izin kepada PT. Kimia Farma (Persero) Tbk. untuk mengimpor bahan baku, memproduksi sediaan dan mendistribusikan narkotika di seluruh Indonesia. Hal tersebut dilakukan mengingat narkotika adalah bahan berbahaya yang penggunaannya dapat disalahgunakan. Secara garis besar pengelolaan narkotika meliputi pemesanan, penyimpanan, pelayanan, pelaporan dan pemusnahan (Umar, 2007).

(35)

Universitas Indonesia

2.12.1 Pemesanan Narkotika

Untuk memudahkan pengawasan maka apotek hanya dapat memesan narkotika ke PBF PT. Kimia Farma dengan menggunakan Surat Pesanan (SP), yang ditandatangani oleh APA, dilengkapi dengan nama jelas, stempel apotek, nomor SIK dan SIA. Surat pesanan dibuat rangkap 4 serta satu SP hanya untuk satu jenis obat narkotik (Umar, 2007).

2.12.2 Penyimpanan Narkotika

Apotek harus mempunyai tempat khusus untuk menyimpan narkotika dan harus dikunci dengan baik. Tempat penyimpanan narkotika di apotek harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut (Departemen Kesehatan RI, 1978):

a. Harus dibuat seluruhnya dari kayu atau bahan lain yang kuat. b. Harus mempunyai kunci yang kuat.

c. Dibagi dua, masing-masing dengan kunci yang berlainan. Bagian pertama dipergunakan untuk menyimpan morfin, petidin dan garam-garamnya serta persediaan narkotika sedangkan bagian kedua dipergunakan untuk menyimpan narkotika yang dipakai sehari-hari.

d. Apabila tempat khusus tersebut berupa lemari berukuran kurang dari 40 X 80 X 100 cm, maka lemari tersebut harus dibuat melekat pada tembok atau lantai. e. Lemari khusus tidak boleh digunakan untuk menyimpan barang lain selain

narkotika, kecuali ditentukan oleh Menteri Kesehatan.

f. Anak kunci lemari khusus harus dipegang oleh pegawai yang dikuasakan. g. Lemari khusus harus ditempatkan di tempat yang aman dan tidak terlihat oleh

umum.

2.12.3 Pelayanan Resep yang Mengandung Narkotika

Hal yang harus diperhatikan dalam pelayanan resep yang mengandung narkotika antara lain (Departemen Kesehatan RI (b), 1997; Direktorat Jenderal POM, 1997):

a. Narkotika hanya digunakan untuk kepentingan pengobatan atau ilmu pengetahuan.

(36)

b. Narkotika hanya dapat diserahkan kepada pasien untuk pengobatan penyakit berdasarkan resep dokter.

c. Apotek dilarang mengulangi menyerahkan narkotika atas dasar salinan resep dokter.

d. Apotek dilarang melayani salinan resep yang mengandung narkotika, walaupun resep tersebut baru dilayani sebagian atau belum dilayani sama sekali.

e. Untuk resep narkotika yang baru dilayani sebagian atau belum sama sekali, apotek boleh membuat salinan resep tetapi salinan resep tersebut hanya boleh dilayani oleh apotek yang menyimpan resep asli.

f. Salinan resep dari resep narkotika dengan tulisan iter tidak boleh dilayani sama sekali. Dengan demikian dokter tidak boleh menambah tulisan iter pada resep-resep yang mengandung narkotika.

2.12.4 Pelaporan Narkotika

Apotek berkewajiban membuat dan mengirimkan laporan mutasi narkotika berdasarkan penerimaan dan pengeluarannya sebelum tanggal 10 setiap bulan. Laporan narkotika ditandatangani oleh APA, ditujukan kepada Dinas Kesehatan Kota/Kabupaten dengan tembusan kepada kepala Balai Besar POM, Dinas Kesehatan Propinsi, dan 1 salinan untuk arsip.

2.12.5 Pemusnahan Narkotika

APA dapat memusnahkan narkotika yang rusak, kadaluarsa atau tidak memenuhi syarat lagi untuk digunakan dalam pelayanan kesehatan. Apoteker Pengelola Apotek dan dokter yang memusnahkan narkotika harus membuat Berita Acara Pemusnahan Narkotika yang sekurang-kurangnya memuat:

a. Nama, jenis, sifat, dan jumlah narkotik yang dimusnahkan.

b. Keterangan tempat, jam, hari, tanggal, bulan dan tahun dilakukan pemusnahan.

c. Tanda tangan dan identitas lengkap pelaksana dan pejabat yang menyaksikan pemusnahan.

(37)

Universitas Indonesia

d. Cara pemusnahan dibuat berita Acara Pemusnahan Narkotika dikirim kepada Dinas Kesehatan Kota/Kabupaten, Dinas Kesehatan Propinsi dengan tembusan kepada Balai Besar POM.

Pelanggaran terhadap ketentuan mengenai penyimpanan dan pelaporan narkotika dapat dikenai sanksi administratif oleh Menteri Kesehatan yang berupa: teguran, peringatan, denda administratif, penghentian sementara kegiatan atau pencabutan izin (Departemen Kesehatan RI (b), 1997; Direktorat Jenderal POM, 1997).

2.13 Pengelolaan Obat Psikotropika

Ruang lingkup pengaturan psikotropika adalah segala hal yang berhubungan dengan psikotropika yang dapat mengakibatkan ketergantungan. Tujuan pengaturan psikotropika yaitu:

a. Menjamin ketersediaan psikotropika guna kepentingan pelayanan kesehatan dan ilmu pengetahuan.

b. Mencegah terjadinya penyalahgunaan psikotropika. c. Memberantas peredaran gelap psikotropika.

Secara garis besar pengelolaan psikotropika meliputi:

2.13.1 Pemesanan Psikotropika

Dalam melakukan pemesanan harus menggunakan surat pesanan (SP) rangkap 2, dimana satu SP bisa digunakan untuk beberapa jenis obat. Penyerahan psikotropika oleh apotek hanya dapat dilakukan kepada apotek lainnya, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter dan pasien dengan resep dokter. Tata cara pemesanan adalah dengan menggunakan SP yang ditandatangani oleh APA dilengkapi dengan nama jelas, stempel apotek, nomor SIK dan SIA.

2.13.2 Penyimpanan Psikotropika

Kegiatan ini belum diatur oleh perundang-undangan, namun, karena kecenderungan penyalahgunaan psikotropika, maka disarankan untuk obat golongan psikotropika diletakkan tersendiri dalam suatu rak atau lemari khusus yang tidak terlihat oleh umum.

(38)

2.13.3 Pelaporan Psikotropika

Apotek wajib membuat dan menyimpan catatan mengenai kegiatan yang berhubungan dengan psikotropika dan melaporkan pemakaiannya setiap tahun. Laporan ditujukan kepada Dinas Kesehatan Kota/Kabupaten dengan tembusan kepada kepala Balai Besar POM, Dinas Kesehatan Propinsi, dan 1 salinan untuk arsip.

2.13.4 Pemusnahan Psikotropika

Pemusnahan psikotropika dilakukan bila berhubungan dengan tindak pidana, diproduksi tanpa memenuhi standar dan persyaratan yang berlaku dan atau tidak dapat digunakan dalam proses produksi, kadaluarsa atau tidak memenuhi syarat untuk digunakan pada pelayanan kesehatan dan untuk kepentingan ilmu pengetahuan. Pemusnahan psikotropika wajib dibuat Berita Acara dan dikirim kepada Dinas Kesehatan Kota/Kabupaten, Dinas Kesehatan Propinsi dengan tembusan kepada Balai Besar POM.

2.14 Pelanggaran Apotek (Departemen Kesehatan RI, 1993; Departemen

Kesehatan RI, 1997)

Pelanggaran apotek dapat dibedakan berdasarkan berat dan ringannya pelanggaran tersebut. Kegiatan yang termasuk pelanggaran berat apotek adalah: a. Melakukan kegiatan kefarmasian tanpa ada tenaga teknis farmasi.

b. Terlibat penyaluran atau penyimpanan obat palsu atau gelap. c. Pindah alamat tanpa izin.

d. Menjual narkotik tanpa resep.

e. Kerjasama dengan PBF dalam menyalurkan obat kepada yang tidak berhak dalam jumlah besar.

f. Tidak menunjuk apoteker pendamping atau pengganti pada waktu AP keluar daerah.

g. Mengganti obat generik dengan obat paten. h. Pelanggaran ringan apotek, antara lain:

1) Merubah denah tanpa izin.

(39)

Universitas Indonesia

3) Melayani resep yang tidak jelas dokternya.

4) Menyimpan obat rusak dan tidak mempunyai penandaan. 5) Obat dalam kartu stok tidak sesuai dengan jumlah yang ada. 6) Salinan resep tidak ditandatangani oleh apoteker.

7) Melayani resep narkotik dari apotek lain. 8) Lemari narkotik tidak memenuhi syarat. 9) Resep narkotik tidak dipisahkan.

10) Buku harian narkotika tidak diisi atau tidak bisa dilihat atau diperiksa. 11) Tidak mempunyai dan mengisi kartu stok.

Sanksi administratif yang diberikan menurut Permenkes No.922/Menkes/Per/X/1993 adalah:

a. Peringatan secara tertulis kepada APA 3 (tiga) kali berturut-turut dengan tenggang waktu masing-masing 2 (dua) bulan.

b. Pembekuan izin apotek untuk jangka waktu selama-lamanya 6 (enam) bulan sejak dikeluarkannya Penetapan Pembekuan Izin Apotek. Keputusan pencabutan SIA disampaikan langsung oleh kepala Dinas Kesehatan dengan tembusan kepada kepala Badan POM dan Balai POM setempat.

c. Pembekuan izin apotek tersebut dapat dicairkan kembali apabila apotek dapat membuktikan bahwa seluruh persyaratan yang ditentukan dalam Permenkes tersebut telah dipenuhi.

(40)

3.1 Sejarah Apotek Safa

Apotek Safa dahulu berasal dari Apotek Tanjakan yang diambil alih kepemilikannya tahun 1991 dan diubah namanya menjadi Apotek Safa. Apotek Safa bertempat di Jalan Bukit Duri Tanjakan Nomor 68, Jakarta Selatan. Apotek Safa mendapat Surat Izin Apotek (SIA) pada tahun 1991 dengan nomor 134/Kanwil/SIA/1991 atas nama Dra. Adriani Y. Lutan Apt. dengan SIK No. 0251/1.772.51/4.3.2095/4-10-05/63.08.4. Pemilik Sarana Apotek Safa adalah Ibu Fachriyah.

3.2 Pengelolaan Organisasi dan Sumber Daya Manusia

Suatu organisasi harus memiliki struktur organisasi yang baik agar pembagian tugas dan tanggung jawab dapat terlaksana dengan baik. Dalam menetapkan struktur organisasi sebuah apotek, harus disesuaikan dengan tingkat kebutuhan dan besarnya aktivitas apotek. Agar manajemen apotek dapat berjalan dengan baik, maka apotek harus memiliki struktur organisasi yang disusun dengan seksama meliputi pembagian tugas dan tanggung jawab yang jelas.

Apotek Safa mempunyai beberapa orang karyawan dengan rincian sebagai berikut:

Tenaga teknis farmasi:

a. APA : 1 orang b. Asisten Apoteker : 3 orang Tenaga non teknis farmasi: a. Juru resep : 1 orang

b. Tenaga administrasi dan keuangan : 2 orang c. Tenaga kebersihan : 1 orang

3.3 Fasilitas dan Kegiatan Apotek

Apotek Safa memiliki ruang tunggu yang cukup luas dan nyaman yang dilengkapi dengan tempat duduk yang cukup banyak dan tersusun rapi, kamar mandi, televisi, kipas angin, bahan bacaan seperti buku dan majalah, brosur dan

(41)

Universitas Indonesia

selebaran (leaflet) mengenai produk obat yang cukup banyak. Selain itu, Apotek Safa juga memiliki lahan parkir yang cukup luas, sehingga memudahkan bagi konsumen untuk memarkir kendaraannya.

Apotek Safa menyediakan praktek dokter umum, dokter penyakit dalam dan psikolog. Dilihat dari keaktifannya, hanya dokter penyakit dalam yang melakukan praktek dari hari Senin hingga Jumat. Sedangkan dokter umum dan psikolog melakukan praktek jika melakukan perjanjian dengan pasien sebelumnya.

Pelayanan yang diberikan Apotek Safa dalam seminggu sebanyak 6 (enam) hari yaitu mulai hari Senin hingga Sabtu, sedangkan pada hari Minggu dan hari libur apotek tutup. Kegiatan pelayanan di Apotek Safa dilakukan dari pukul 08.00 hingga 21.30 yang dibagi menjadi 2 waktu kerja (shift) dengan tujuan mendukung kelancaran kegiatan pelayanan, yaitu pukul 08.00-15.00 dan pukul 15.00-21.30, namun bila dokter belum selesai praktek maka apotek akan buka hingga praktek dokter selesai.

Kegiatan pelayanan di Apotek Safa meliputi dua bagian yaitu pelayanan untuk obat bebas atau over the counter (OTC) dan pelayanan obat dengan menggunakan resep.

3.4 Pengelolaan Perbekalan Farmasi

3.4.1 Pengadaan Perbekalan Farmasi

Pengadaan sediaan farmasi di Apotek Safa bertujuan untuk memenuhi kebutuhan konsumen terhadap obat dan perbekalan farmasi. Pengadaan barang di Apotek Safa dilakukan oleh asisten apoteker yang diberi wewenang dan tanggung jawab oleh apoteker. Pemesanan dan pembelian barang dilakukan jika barang tersebut habis atau hampir habis. Permintaaan pembelian sediaan farmasi khususnya obat, dilakukan setiap hari kepada Pedagang Besar Farmasi (PBF) melalui telepon atau salesman yang datang ke apotek. Asisten apoteker dapat melakukan pengadaan barang dengan surat pesanan yang telah ditandatangani oleh asisten apoteker.

(42)

Prinsip pengadaan barang pada Apotek Safa: a. Berasal dari distributor resmi dan terpercaya.

b. Jenis dan jumlah barang yang dibeli disesuaikan dengan kondisi keuangan dan kategori arus barang, termasuk fast moving atau slow moving.

c. Berdasarkan pola peresepan dari dokter, epidemiologi atau penyakit yang sedang banyak diderita oleh pasien, dan produk-produk merek ternama (brand name) yang sedang digemari oleh masyarakat.

d. Kondisi yang paling menguntungkan (mempertimbangkan mengenai harga, diskon, syarat pembayaran dan ketepatan barang datang).

Pengadaan barang di Apotek Safa dilakukan dengan cara COD (cash on delivery), kredit dan konsinyasi. COD (cash on delivery) adalah pembelian barang dimana pembayaran dilakukan secara langsung pada saat barang datang, biasanya untuk pengadaan obat narkotika. Pembayaran yang dilakukan secara kredit adalah pembayaran dilakukan setelah jatuh tempo sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati. Konsinyasi adalah semacam penitipan barang dari distributor kepada apotek. Konsinyasi obat atau barang disertai semacam faktur yang berisi jenis dan jumlah obat atau barang dan harga obat atau barang tersebut sebagai tanda bukti. Biasanya konsinyasi dilakukan untuk obat-obat baru yang belum dijual di apotek atau sedang dalam masa promosi. Pembayaran dilakukan hanya terhadap barang konsinyasi yang telah terjual.

Pembelian barang di apotek dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu pembelian secara terbatas, spekulasi, dan berencana. Dari ketiga cara tersebut Apotek Safa lebih menggunakan pembelian secara terbatas yaitu pembelian dilakukan sesuai dengan kebutuhan dalam waktu pendek, misalnya satu minggu. Pembelian ini dilakukan bila modal yang dimiliki terbatas hal ini juga untuk menghindari terjadinya penumpukan barang, karena penumpukan barang belum tentu dapat meningkatkan omset, lebih baik dana tersebut digunakan untuk pengadaan barang lain agar perputaran modal tidak berhenti.

Langkah-langkah pengadaan barang di Apotek Safa adalah:

a. Barang yang habis atau hampir habis dicatat dalam buku defekta yang berisi nama barang dan keterangan (butuh segera atau tidak).

(43)

Universitas Indonesia

b. Pemesanan kepada PBF umumnya dilakukan melalui telepon atau surat pesanan langsung kepada salesman. Untuk pemesanan obat narkotika, dilakukan dengan surat pesanan yang ditujukan kepada Kimia Farma. berdasarkan buku defekta. Faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam melakukan kerjasama dengan PBF adalah :

- responsibility yaitu bertanggung jawab terhadap barang pesanan - assurance yaitu jaminan terhadap barang pesanan

- tangibles yaitu kepastian memperoleh barang yang dipesan - emphaty yaitu kemampuan membina hubungan

- reliability yaitu ketepatan dalam pelayanan.

c. Penerimaan perbekalan farmasi dilakukan oleh asisten apoteker disertai dengan faktur pembelian serta surat pesanan dari apotek (bila pemesanan dilakukan melalui telepon). Pengecekan barang meliputi jumlah, jenis, waktu kadaluarsa, dan kondisi fisik barang. Jika barang sesuai dengan pesanan, maka faktur tersebut ditandatangani oleh asisten apoteker yang menerima barang disertai nama jelas, tanggal penerimaan dan stempel apotek. Untuk pembelian secara tunai, faktur asli diserahkan kepada apotek. Namun untuk pembelian secara kredit, faktur asli yang telah ditandatangani dikembalikan pada pengirim barang dan salinan faktur disimpan oleh apotek untuk keperluan dokumentasi. Untuk faktur narkotika dan psikotropika disimpan terpisah. Barang yang baru datang tersebut kemudian diberi harga sesuai dengan harga yang telah ditetapkan oleh apotek.

3.4.2 Penyimpanan Barang

Barang-barang yang baru datang akan diberi harga terlebih dahulu kemudian ditempatkan di etalase atau rak-rak penyimpanan obat serta dilakukan pencatatan di kartu stok. Kartu ini diletakkan disamping setiap macam obat yang berfungsi untuk mengetahui tanggal pemasukan dan pengeluaran, jumlah pemasukan dan pengeluaran barang, dan sisa barang yang tersedia. Penempatan barang di apotek menggunakan sistem FIFO (First In First Out), demikian pula halnya obat-obat yang mempunyai waktu kadaluarsa lebih singkat disimpan

Gambar

Gambar 2.1 Penandaan Obat Bebas
Gambar 2.2 Penandaan Obat Bebas Terbatas
Gambar 2.3 Tanda Peringatan pada Obat Bebas Terbatas
Gambar 2.4 Penandaan Obat Keras
+2

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

LAPORAN KEUANGAN PEMERINTAH PUSAT TAHUN 2012 ( AUDITED) DAFTAR 28.H.. Nilai

ﻲﳛ ﻲﻌﻓﺎﺷ ﻥﻭﺮﻜﺑ ﺪﻴﻤﳊﺍﺪﺒﻋ ﻥﻭﺪﻤﳏ ﺮﻔﻌﺟ ﻮﺑﺃ ﻦﻳﺪﻟﺍ

kecil Adanya bidang yang memisahkan ruang Adanya ruang lain sebagai perantara Kesimpulan Dapat digunakan pada ruang-ruang yang mempunyai hubungan erat Dapat digunakan pada

Setelah proses kliping Berita Nasional, Regional dan Kota Cimahi dipindahkan ke komputer, lalu penulis mendistribusikan ke bagian terkait seperti : Asisten

Pasal 13 (1) Retribusi menjadi terutang terhitung pada saat Wajib Retribusi memperoleh pelayanan jasa kepelabuhanan termasuk fasilitas lainnya di lingkungan pelabuhan

1) Pada waktu batang masih muda dari Thinouia scanden, cambium terpisah ke dalam lekukan atau rigi. Setelah stele berkembang ujung rigi terangkat.. Sarjania ichthyoctona, cambium

Hasil penelitian Asiwe dan Kutu (2009) yang menggunakan umur tanaman kacang tunggak berbeda baik umur genjah dan dalam serta tipe tanaman yang berbeda tegak dan

Kreativitas dapat muncul melalui gabungan dari beberapa komponen yaitu (1) Pengetahuan ( Knowledge ), merupakan pemahaman yang relevan individual yang digunakan untuk