• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

6.2. Saran

Berdasarkan pengamatan dan hasil penelitian yang dilakukan, safety driving

pada pengemudi mobil tangki sudah berada pada kategori baik. Namun perlu adanya upaya-upaya untuk mempertahankan dan bahkan meningkatkan hasil tersebut menjadi lebih baik lagi. Beberapa upaya yang direkomendasikan oleh peneliti, antara lain:

1. Pelaksanaan diklat (pendidikan dan pelatihan) mengenai safety driving pada pengemudi harus diberikan secara menyeluruh. Akan lebih baik apabila pada saat penerimaan pengemudi baru langsung dibekali dengan pemberian diklat safety driving sebelum pengemudi tersebut diberi tugas untuk mengemudi.

2. Perusahaan lebih mengontrol pengemudi saat diadakannya safety talk agar semua pengemudi yang akan membawa kendaraan saat itu ikut hadir semua tanpa terkecuali dan mengikuti safety talk dengan baik.

3. Perusahaan perlu memperhatikan isi diklat safety driving apakah ada materi yang berhubungan dengan bagaimana cara yang aman menghadapi kondisi jalan dan kondisi cuaca buruk sehingga pengemudi lebih berhati-hati dalam mengemudi saat kondisi jalan dan kondisi cuaca buruk.

4. Diharapkan perusahaan dapat mengevaluasi pelaksanaan diklat safety driving

yang dilaksanakan oleh pihak penyelenggara agar hasil yang diperoleh dari pelatihan yang telah dilaksanakan dapat meningkatkan kinerja pengemudi secara maksimal.

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Keselamatan dan kesehatan kerja secara harfiah terdiri dari tiga suku kata, yaitu keselamatan, kesehatan, dan kerja. Keselamatan dalam bahasa Inggris disebut

safety yang berarti keadaan terbebas dari celaka dan hampir celaka (Geotsch dalam Rizky, 2009). Sedangkan kesehatan adalah dalam bahasa Inggris disebut health,

kesehatan menurut UU RI No. 36 tahun 2009 ialah “keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis.” Definisi terakhir ialah definisi mengenai kerja. Kerja dalam bahasa Inggris disebut work atau occupation yang berarti kegiatan atau usaha untuk mencapai tujuan (pengahasilan dan lain-lain) (Geotsch dalam Rizky, 2009).

Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) menurut Joint Committee ILO dan WHO ialah:

The promotion and maintenance of the highest degree of physical, mental, and social well being of in all occupations; the prevention among workers of departures from health caused bt their working conditions; the protection of workers in their employment from risks resulting from factors adverse to health; the placing and maintenance of the worker in an occupational environment adapted to his physiological equipment; to summarize: the adaptation of work to man and each man to his job” (Tjipto, 2009).

Menurut Budiono (2003), Keselamatan dan Kesehatan Kerja adalah: “Suatu ilmu multidisiplin yang menerapkan upaya pemeliharaan dan peningkatan kondisi lingkungan kerja, keselamatan dan kesehatan tenaga kerja serta melindungi tenaga kerja terhadap risiko bahaya dalam melakukan pekerjaannya serta mencegah terjadinya kerugian akibat kecelakaan kerja, penyakit akibat kerja, kebakaran, peledakan, dam pencemaran lingkungan.” Sedangkan menurut Depnaker RI (2005), Keselamatan dan Kesehatan Kerja adalah:

“Keselamatan dan kesehatan Kerja adalah segala daya upaya dan pemikiran yang dilakukan dalam rangka mencegah, mengurangi dan menanggulangi terjadinya kecelakaan dan dampaknya melalui langkah-langkan identifikasi, analisa, dan pengendalian bahaya secara tepat dan melaksanakan perundang-undangan tentang keselamatan dan kesehatan kerja” (Rizky, 2009).

Dari beberapa definisi tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa keselamatan dan kesehatan kerja adalah ilmu (berupa teori) dan seni (berupa aplikasi) dalam menangani atau mengendalikan bahaya dan risiko yang ada di atau dari tempat kerja, yang dapat menyebabkan gangguan kesehatan dan atau keselamatan pada pekerja maupun masyarakat sekitar lingkungan kerja (Tjipto, 2009).

2.2 Budaya Keselamatan dan kesehatan Kerja

Dalam Undang-Undang RI No. 1 tahun 1970 dinyatakan bahwa setiap tenaga kerja berhak mendapatkan perlindungan dan perlu diadakan segala upaya untuk

perusahaan sebagai tempat kerja untuk melindungi pekerjanya dari bahaya kecelakaan kerja. Perilaku tidak aman adalah merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya kecelakaan kerja, hal ini menjadi penting untuk menghindari terjadinya kematian maupun kerugian yang ditimbulkan.

Berbagai pendekatan dimulai dari pendakatan rekayasa (engineering), pendekatan sistem manajemen (intregated safety management system) yang kemudian dilanjutkan dengan pendekatan perilaku (behavior based system) dilakukan oleh setiap manajemen perusahaan supaya setiap pekerjanya dapat selamat dan dapat menampilkan perilaku yang aman sehingga kondisi yang aman tersebut menjadi suatu kebiasaan sehari-hari atau budaya bagi setiap pekerja di tempat kerja tersebut.

Budaya keselamatan memiliki fokus utama pada aspek keyakinan normatif (normative belief) yang dimiliki seseorang atau bagaimana seseorang berfikir dan bertindak dalam hubungannya dengan masalah keselamatan. Sebelum tahun 1980 umumnya untuk melakukan pengembangan budaya dilakukan pendekatan secara struktural, karena dirasakan menjadi faktor penting untuk mencapai keberhasilan sehingga masalah pengorganisasian, prosedur dan penerapannya menjadi fokus utama untuk mengarahkan perilaku.

2.3 Kecelakaan Kerja 2.3.1 Pengertian Kecelakaan

Kecelakaan adalah suatu kejadian yang tidak direncanakan dan tidak terkendali yang disebabkan oleh faktor manusia, situasi, dan lingkungan atau gabungan dari ketiganya, yang mengganggu proses kerja, yang dapat atau tidak dapat

menimbulkan cedera, kesakitan, kematian, dan kerusakan properti, atau kejadian lain yang tidak diinginkan, tetapi berpotensi untuk terjadi kecelakaan (Colling dalam Saputra, 2008).

Kecelakaan adalah suatu kejadian yang tidak direncanakan dan tidak terkendali akibat aksi atau reaksi dari sebuah benda, substansi, manusia, atau radiasi yang menimbulkan cedera atau berpotensi demikian (Heinrich dalam Rizky, 2009).

2.3.2 Kerugian Akibat Kecelakaan

Kerugian akibat kecelakaan ini terdiri dari kerugian langsung dan tidak langsung. Kerugian langsung meliputi penderitaan pribadi dan rasa kehilangan dari keluarga korban, sedangkan kerugian tidak langsung meliputi kerusakan material, hilangnya peralatan, biaya-biaya sebagai akibat kerugian tidak berproduksi, dan lain-lain (ILO dalam Saputra, 2008).

National Safety Council seperti yang dikutip oleh Asfahl (1990), membuat daftar kategori biaya tersembunyi akibat kecelakaan sebagai berikut:

1. Biaya dari upah yang harus dibayarkan akibat waktu yang hilang pada pekerja yang tidak mengalami kecelakaan.

2. Biaya dari kerusakan material dan peralatan.

3. Biaya dari upah yang harus dibayarkan akibat waktu yang hilang pada pekerja yang mengalami kecelakaan.

4. Biaya ekstra dari kerja lembur yang dibutuhkan akibat kecelakaan.

6. Upah dari biaya oleh karena penurunan output dari pekerja yang cedera setelah kembali bekerja.

7. Biaya selama pelatihan pekerja baru.

8. Biaya pengobatan yang harus ditanggung oleh perusahaan.

9. Biaya dari waktu yang dikeluarkan oleh pengawas dan rekan kerja lainnya dalam melakukan investigasi kecelakaan.

10. Biaya-biaya lain.

2.3.3 Rasio Kecelakaan

Dalam penelitiannya, Birds mengemukaan bahwa setiap satu kecelakaan berat disertai oleh 10 kejadian kecelakaan ringan, 30 kejadian kecelakaan yang menimbulkan kerusakan harta benda, dan 600 kejadian-kejadian hampir celaka. Biaya yang dikeluarkan perusahaan akibat kecelakaan kerja dengan membandingkan biaya langsung dengan biaya tidak langsung adalah 1 : 5-50, dan digambarkan sebagai gunung es (Suardi, 2005).

Du Pont’s memperkenalkan hirarki yang umumnya direpresentasikan dengan segitiga keselamatan (the safety triangle). Menurut model ini banyak tindakan tidak aman dan kondisi tidak aman muncul sebelum kecelakaan terjadi. Frekuensi kejadian ini merefleksikan kemungkinan pada setiap tingkatan segitiga (McSween dalam Saputra, 2008).

2.3.4 Penyebab kecelakaan

Dalam studi penelitian yang dilakukan oleh Heinrich terhadap 75 kasus kecelakaan dan menyebutkan ratio 88:20:2 nya yang terkenal. Hal ini berarti bahwa 88% dari semua kecelakaan tersebut disebabkan tindakan yang tidak aman. 10% karena kondisi yang tidak aman, dan 2% karena kondisi yang tidak dapat dicegah (McSween dalam Saputra, 2008).

Studi Du Pont’s terhadap kasus kehilangan hari kerja yang dialaminya selama periode 10 tahun menyimpulkan bahwa 96% kecelakaan disebabkan oleh tindakan tidak aman (McSween dalam Saputra, 2008).

2.3.5 Teori penyebab kecelakaan

Heinrich dalam risetnya menemukan sebuah teori yang dinamainya teori domino. Teori ini menyebutkan bahwa pada setiap kecelakaan yang menimbulkan cedera, terdapat lima faktor secara berurutan yang digambarkan sebagai lima domino yang berdiri sejajar, yaitu kebiasaan, kesalahan seseorang, perbuatan, dan kondisi tidak aman (hazard), kecelakaan, serta cedera. Heinrich mengemukakan, untuk mencegah terjadinya kecelakaan, kuncinya adalah dengan memutuskan rangkaian sebab akibat. Misalnya dengan membuang hazard, satu domino diantaranya (Suardi, 2005).

Gambar 2.1. Teori Domino Heinrich (Sumber: Heinrich, 1980)

Teori ini menyatakan bahwa kecelakaan merupakan akibat dari peristiwa berurutan, kiasan seperti domino jatuh. Jika salah satu domino jatuh, itu akan memicu domino berikutnya jatuh sampai pada domino terakhir. Menghapus faktor kunci membantu mencegah terjadinya reaksi berantai. Heinrich menyoroti domino ketiga sebagai kunci domino. Ini adalah faktor diwakili domino secara berurutan. Faktor-faktor yang berkaitan dengan terjadinya kecelakaan kerja antara lain:

1. Situasi kerja

Situasi kerja berkaitan dengan kondisi lingkungan kerja yang mempengaruhi produktivitas pekerja. Situasi kerja yang dimaksud meliputi:

a. Pengendalian manajemen yang kurang b. Standar kerja yang minim

c. Lingkungan kerja yang tidak memenuhi standar

2. Kesalahan orang

Kesalahan orang meliputi:

a. Keterampilan dan pengetahuan pekerja yang minim b. Masalah fisik dan mental

c. Motivasi yang minim atau salah penempatan d. Perhatian yang kurang

3. Tindakan tidak aman

Kesepakatan domino ketiga heinrich dengan penyebab langsung terjadinya kecelakaan. Heinrich merasa bahwa tindakan tidak aman dan kondisi tidak aman merupakan faktor utama penyebab terjadinya kecelakaan kerja. Kondisi lingkungan kerja yang dimaksud seperti:

a. Tidak mengikut i metode kerja yang telah disetujui b. Mengambil jalan pintas

c. Menyingkirkan atau tidak menggunakan perlengkapan keselamatan kerja 4. Kecelakaan

Heinrich mendefinisikan kecelakaan sebagai kejadian yang sudah umum terjadi di lingkungan kerja.

a. Kejadian yang tidak terduga

b. Akibat kontak dengan mesin atau listrik yang berbahaya c. Terjatuh

5. Cedera/kerusakan

Cedera atau kerusakan terhadap pekerja dibedakan menjadi:

a. Terhadap pekerja yang meliputi sakit dan penderitaan, kehilangan pendapatan, kehilangan kualitas hidup

b. Terhadap majikan meliputi kerusakan pabrik, pembayaran kompensasi, kerugian produksi, dan kemungkinan proses pengadilan (Ridley, 2006)

2.4 Tindakan Tidak Aman

2.4.1 Pengertian Tindakan Tidak Aman

Menurut Heinrich seperti yang dikutip oleh Bayu Dwinanda (2007), tindakan tidak aman adalah tindakan atau perbuatan dari seseorang atau beberapa orang pekerja yang memperbesar kemungkinan terjadinya kecelakaan terhadap pekerja.

Tindakan tidak aman yang sering dijumpai antara lain:

a. Menjalankan yang bukan tugasnya, gagal memberikan peringatan. b. Menjalankan pesawat melebihi kecepatan.

c. Melepaskan alat pengaman atau membuat alat pengaman tidak berfungsi. d. Membuat peralatan yang rusak.

e. Tidak memakai alat pelindung diri. f. Memuat sesuatu secara berlebihan.

g. Menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya. h. Mengangkat berelebihan.

i. Posisi kerja tidak tepat.

k. Bersenda gurau. l. Bertengkar.

m. Berada dalam pengaruh alkohol atau obat-obatan.

2.4.2. Macam-macam Tindakan Tidak Aman

Secara umum, HFACS (Human Factors Analysis and Classification System) mengklasifikasikan tindakan tidak aman (unsafe acts) menjadi kesalahan (errors) dan pelanggaran (violations). Kesalahan adalah representasi dari suatu aktivitas mental dan fisik seseorang yang gagal mencapai sesuatu yang diinginkan. Pelanggaran disisi lain mengacu pada niat untuk mengabaikan petunjuk atau aturan yang telah diciptakan untuk melakukan suatu tugas tertentu (Wiegman, 2007).

Kesalahan manusia yang paling dasar dapat dibagi menjadi tiga, yaitu kesalahan memutuskan (decision errors), kesalahan sebab kemampuan (skill based errors), dan kesalahan perceptual (perceptual errors). Sedangkan pelanggaran terdiri atas rouitine violations dan exceptional vilolations (Wiegman, 2007).

Menurut Rasmussen, ada tiga jenjang kategori kesalahan yang dapat terjadi pada manusia, yaitu:

1. Salah sebab kemampuan (skill-based error)

Adalah suatu kesalahan manusia yang disebabkan oleh karena ketidakmampuan seseorang secara fisik atau tidak memiliki keterampilan yang dibutuhkan untuk menjalankan suatu tugas tertentu. Seseorang bisa saja tahu apa yang harus dilakukan tetapi ia tidak mempunyai kemampuan untuk melakukannya.

2. Salah sebab aturan (rule-based error)

Adalah suatu kesalahan manusia karena tidak melakukan aktivitas yang seharusnya dilakukan atau melakukan aktivitas yang tidak sesuai dengan apa yang seharusnya dilakukan.

3. Salah sebab pengetahuan (knowledge-based error)

Adalah kesalahan manusia yang disebabkan karena tidak memiliki pengetahuan yang dibutuhkan untuk memahami situasi dan membuat keputusan untuk bertindak atau melakukan aktivitas (Saputra, 2008).

2.5 Perilaku

2.5.1 Pengertian perilaku

Dalam pengertian umum perilaku adalah segala perbuatan atau tindakan yang dilakukan mahluk hidup dan pada dasar nya perilaku dapat diamati melalui sikap dan tindakan. Namun demikian tidak berarti bahwa perilaku hanya dapat dilihat dari sikap dan tindakannya. Perilaku juga bersifat potensial, yakni dalam bentuk pengetahuan, motivasi dan persepsi (Notoatmodjo, 2003).

Sementara itu Notoatmodjo menyebutkan perilaku sebagai perefleksian faktor-faktor kejiwaan seperti: keinginan, minat, kehendak, pengetahuan, emosi, sikap, motivasi, reaksi sebagainya dan faktor lain seperti: pengalaman, keyakinan, sarana-sarana fisik, sosio, masyarakat dan sebagainya (Notoatmodjo, 2003). Perilaku manusia cenderung bersifat holistik (menyeluruh). Hal ini dapat diartikan bahwa sulit untuk dibedakan yang mana faktor yang mempengaruhi dan berkontribusi dalam pembentukan perilaku manusia.

Skinner seorang ahli psikologi, merumuskan bahwa perilaku merupakan proses atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Oleh karena perilaku ini terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap organisme, dan kemudian organisme tersebut merespons, maka teori Skinner ini disebut teori “S-O-R” atau Stimulus-Organisme-Respons. Skinner membedakan adanya dua respons, yaitu: 1. Respondent response atau reflexive, yakni respons yang ditimbulkan oleh

rangsangan-rangsangan (stimulus) tertentu. Stimulus semacam ini disebut elicting stimulation karena menimbulkan respons-respons yang relatif tetap. Respondent response ini juga mencakup perilaku emosional.

2. Operant response atau instrumental respons, yakni respons yang timbul dan berkembang, kemudian diikuti oleh stimulus atau perangsang tertentu. Perangsang ini disebut reinforcing stimulation karena memperkuat atau reinforce, karena memperkuat respon.

Dilihat dari bentuk respons terhadap stimulus ini, maka perilaku dapat dibedakan menjadi dua:

1. Perilaku tertutup (covert behavior)

Respons seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau tertutup (covert). Respons atau reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan atau kesadaran, dan sikap yang terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut, dan belum dapat diamati secara jelas oleh orang lain.

2. Perilaku terbuka (overt behavior)

Respons seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka. Respons terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktik, yang dengan mudah dapat diamati atau dilihat oleh orang lain.

2.5.2 Pembentukan Perilaku

Notoatmodjo (2003) menyebutkan faktor yang memegang peranan di dalam pembentukan perilaku, yaitu: faktor intern dan ekstern. Faktor intern berupa kecerdasan, persepsi, motivasi, minat, emosi, dan sebagainya untuk mengolah pengaruh-pengaruh dari luar. Faktor ekstern meliputi objek, orang, kelompok dan hasil-hasil kebudayaan yang dijadikan sasaran dalam mewujudkan bentuk perilakunya. Kedua faktor tersebut akan dapat terpadu menjadi perilaku yang selaras dengan lingkungan apabila perilaku tersebut dapat diterima oleh lingkungannya dan dapat diterima oleh individu yang bersangkutan.

Menurut Reason (1997) mengungkapkan bahwa adanya saling mempengaruhi antara faktor psikologis dan faktor situasi dalam perilaku manusia dimana faktor manusia dipengaruhi faktor internal yaitu: faktor yang berkaitan dengan diri perilaku, seperti: kebutuhan, motivasi, kepribadian, harapan, pengetahuan, persepsi, dan faktor eksternal yaitu faktor yang berasal dari luar diri perilaku atau dari lingkungan sekitarnya, seperti: kelompok, organisasi, atasan, teman, orang tua, dan lain-lain (Rizky, 2009).

2.5.3. Proses Perubahan perilaku

Terbentuknya dan perubahan perilaku manusia terjadi dikarenakan adanya proses interaksi antara individu dengan lingkungan melalui suatu proses yakni proses belajar. Oleh sebab itu, perubahan perilaku dan proses belajar itu sangat erat kaitannya. Perubahan perilaku merupakan hasil dari proses belajar (Soekidjo, 2003).

Proses pembelajaran yang terjadi pada diri individu terjadi dengan baik apabila proses pembelajaran tersebut menghasilkan perubahan perilaku yang relativ permanen. Dengan demikian dikatakan bahwa proses pembelajaran terjadi bila individu tersebut berperilaku, bereaksi dan menanggapi sebagai hasil dari pembelajarannya dengan cara yang berbeda dari individu tersebut berperilaku sebelumnya. Pada proses pembelajaran perubahan perilaku tersebut mencakup tiga komponen:

1. Pembelajaran melibatkan perubahan. Pada proses ini perubahan perilaku yang bersifat sementara akan mengembalikannya perilaku seperti semula.

2. Perubahan harus relatif permanen. Dalam perubahan perilaku sifat yang relatif permanen ini sangat diperlukan dalam upaya pencegahan kecelakaan kerja agar perilaku tidak aman yang biasanya dilakukan tidak diulangi lagi.

3. Perubahan menyangkut perilaku. (Robbin dalam rizky, 2009)

2.5.4 Faktor Penentu Perilaku

Meskipun perilaku adalah bentuk respons atau reaksi terhadap stimulus atau rangsangan dari luar organisme (orang), namun dalam memberikan respons sangat

Hal ini berarti bahwa meskipun stimulusnya sama bagi beberapa orang, namun respon tiap-tiap orang berbeda. Faktor-faktor yang membedakan respon terhadap stimulus yang berbeda disebut determinan perilaku. Determinan perilaku dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:

1. Faktor internal, yaitu karekteristik orang yang bersangkutan yang bersifat bawaan, misalnya tingkat kecerdasan, tingkat emosional, jenis kelamin, dan sebagainya.

2. Faktor eksternal, yaitu lingkungan, baik lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, politik, dan sebagainya. Faktor lingkungan ini sering merupakan faktor yang dominan mewarnai perilaku seseorang. (Notoatmodjo, 2003)

2.6. Safety Driving

2.6.1 Pengertian Safety Driving

Mengemudi (driving) adalah kemampuan dalam mengendalikan dan bagaimana mengoperasikan suatu kendaraan, baik berupa bus, truk, sepeda motor, ataupun mobil (Wikipedia,2009).

Safety diving adalah perilaku mengemudi yang aman yang bisa membantu untuk menghindari masalah lalu lintas. Safety driving merupakan dasar pelatihan mengemudi lebih lanjut yang lebih memperhatikan keselamatan bagi pengemudi dan penumpang. Safety driving didesain untuk meningkatkan kesadaran pengemudi terhadap segala kemungkinan yang terjadi selama mengemudi.

Menurut Bintarto Agung, Presiden direktur Indonesia Devensive Driving Center (IDDC), menyatakan bahwa pengemudi defensif tidak hanya terampil, tetapi

juga mempunyai sikap mental positif yang menjauhkannya dari bahaya di jalan raya (Kompas, 28 Maret 2006).

Masih menurut Bintarto, pengemudi yang baik harus memakai 4 A, yaitu

alertness (kewaspadaan), awareness (kesadaran), attitude (tingkah laku), dan

anticipation (mengharapkan). Seorang pengemudi harus selalu mengharapkan sesuatu yang tidak diharapkan, sehingga akan selalu sadar dan waspada serta berhati-hati dalam bertingkah laku saat mengemudikan kendaraan.

a. Alertness (kewaspadaan)

Dengan memiliki keterampilan dalam safety driving, pengemudi akan mengetahui bagaimana cara mengendalikan mobil dan keluar dari kondisi bahaya yang ada pada saat itu, karena dalam safety driving juga diajarkan teknik khusus mengenai

over steering, under steering, dan recovery. Situasi seperti tergelincir, atau menghindari jalan berbatu terjal memerlukan teknik atau gerakan pengemudi yang khusus, dan ini bukan merupakan bagian yang dipersyaratkan untuk mendapatkan Surat Izin Mengemudi.

b. Awarness (kesadaran)

Kesadaran merupakan salah satu aspek dalam safety driving agar kita menyadari akan keterbatasan dan kemampuan kendaraan / mobil. Sebagai contoh, pada kasus fungsi rem, dimana dalam safety driving diajarkan bagaimana meningkatkan insting untuk meraih rem parkir (parking brake) atau memindahkan porsneling/gigi (gear) tanpa harus kehilangan kendali.

c. Attitude (sikap)

Dengan proactive attitude (tingakah laku yang lebih gesit) saat berada di belakang kemudi, diharapkan pengemudi dapat mengantisipasi potensial bahaya yang ditimbulkan oleh pengemudi lain daripada harus melakukan tindakan yang negativ kepada mereka (pengemudi lain).

d. Anticipation (mengharapkan)

Salah satu bagian yang penting dalam safety driving adalah antisipasi, dimana pengemudi terus menerus mengamati area sekitar, untuk mengetahui adanya potensi bahaya, misalnya pejalan kaki atau pengendara sepeda motor yang tiba-tiba membelok tanpa memberikan tanda, atau bahkan pengendara mobil di depan yang mabuk, dan tiba-tiba keluar dari jalur lalu lintas. Dalam hal ini safety driving meengandung arti mengantisipasi setiap kemungkinan yang akan timbul, dimana kondisi ini sebenarnya tidak pernah diharapkan oleh pengemudi (Wirawan, 2009).

Berdasarkan penjelasan tersebut jelas bahwa safety driving merupakan cara yang efektif untuk menurunkan angka kejadian kecelakaan akibat pengemudi yang kurang perhatian saat mengemudi ataupun pengemudi yang kurang berpengalaman.

2.6.2. Manfaat Safety Driving

Bagi karyawan yang menggunakan kendaraan perusahaan sebagai fasilitas transportasi, keselamatan dalam mengemudi merupakan bagian dari keselamata kerja. Diperkirakan 9 dari 10 hilangnya waktu yang terjadi karena cidera, mengakibatkan

libur kerja, dan tidak terhitung banyaknya karyawan yang tidak masuk karena harus merawat anggota keluarganya yang cidera.

Untuk itu pemberian pelatihan mengenai safety driving akan sangat berguna untuk meningkatkan kesadaran pengemudi akan pentingnya keselamatan di jalan raya.

Adapun pelatihan safety driving ini di tetapkan sebagai program yang dijamin dapat menciptakan keuntungan sebagai berikut:

a. Menurunnya jumlah kerusakan mobil perusahaan akibat kecelakaan

Menurunnya jumlah mobil perusahaan yang mengalami kecelakaan akan membantu perusahaan dalam mengontrol biaya asuransi maupun perbaikan mobil menjadi lebih kecil dan berkurangnya jumlah waktu kerja yang hilang bagi pengemudi karena telah terhindar dari bahaya kecelakaan.

b. Menurunnya jumlah waktu absensi yang disebabkan oleh cidera (injury)

Ketika supir perusahaan terlibat dalam suatu tabrakan, nilai asuransi yang dibutuhkan akan semakin mahal. Disamping itu, tanpa melihat apakah tabrakan ini terjadi saat bekerja atau tidak sedang bekerja, akan diperlukan tingginya biaya tidak langsung yang harus dikeluarkan, yang meliputi biaya perawatan, waktu penyembuhan, biaya pelatihan, hilangnya/menurunnya produktivitas, bahkan mungkin perekrutan uang pegawai.

c. Kebiasaan mengemudi yang aman untuk selamanya

Seseorang yang telah mendapatkan pelatihan safety driving diharapkan dapat memahami pentingnya mengemudi yang aman, sehingga akan selalu menerapkan

dalam kehidupan sehari-hari saat mengemudikan kendaraan, agar dapat terhindar dari hal-hal yang tidak diharapkan.

Berdasarkan ketiga keuntungan tersebut, maka safety driving sangat penting untuk diterapkan agar seluruh pengemudi dapat mengemudi dengan selamat.

2.6.3 Faktor-faktor yang Penting dalam Safety Driving

Safety driving sangat berkaitan dengan persiapan (prepared) dan kewaspadaan (aware). Oleh karena itu, ada beberapa hal yang harus dipersiapkan sebelun mengemudi, beberapa hal yang harus diwaspadai selama mengemudi, dan hal-hal

Dokumen terkait