• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Safety Driving pada Pengemudi Mobil Tangki Terminal BBM Medan Group Labuhan Deli Medan Tahun 2011

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Safety Driving pada Pengemudi Mobil Tangki Terminal BBM Medan Group Labuhan Deli Medan Tahun 2011"

Copied!
126
0
0

Teks penuh

(1)

Kuesioner “faktor-faktor yang berhubungan dengan safety driving pada pengemudi mobil tangki Terminal BBM Medan Group PT. Pertamina

(Persero) Labuhan Deli tahun 2011.

Dengan hormat, Saya Sheila Oktarina, mahasiswa semester 9 Fakultas Kesehatan Masyarakat, Departemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Universitas Sumatera Utara. Saat ini saya sedang melakukan penelitian untuk keperluan penyusunan skripsi yang sedang saya lakukan. Saya harap anda bersedia untuk menjadi responden penelitian saya ini. Atas kesediaan anda saya ucapkan terima kasih.

A. KARAKTERISTIK RESPONDEN

Berikut ini adalah daftar pernyataan yang harus anda jawab. Isilah pertanyaan di bawah ini dengan tepat dan pilihlah jawaban anda dengan melingkari (O) nomor (1,2,3 atau 4) yang ada pada setiap pertanyaan di bawah ini.

1. Pengalaman Bekerja : tahun 2. Pendidikan Terakhir : 1. SD

2. SMP 3. SMA/STM

(2)

4. Pernah mengikut i diklat safety driving : 1. Ya 2. Tidak

B. SAFETY DRIVING

Berikut ini adalah daftar pernyataan yang harus anda jawab dengan cermat, dan cantumkan pendapat pribadi anda dengan memberi tanda (O) pada jawaban yang sesuai dengan hati nurani anda. Pilihan jawaban adalah sebagai berikut:

1. Saya selalu menggunakan sabuk pengaman (seat belt) pada saat mengemudi.

a. Ya b. Tidak

2. Saya tidak perlu menggunakan sabuk pengaman karena jarak tempuh saya

tidak jauh.

a. Ya b. Tidak

3. Ketika saya menyalip kendaraan lain, saya menggunakan bahu jalan (sisi kiri jalan).

a. Ya b. Tidak

4. Saya melewati mobil di depan saya, pada saat mobil saya sudah berada dekat persimpangan.

a. Ya b. Tidak

5. Menurut saya, posisi tangan yang benar pada kemudi adalah selalu berada di bagian luar kemudi.

(3)

6. Pada saat perjalanan dalam kota, saya akan mengemudikan mobil tangki

dalam keadaan isi dengan kecepatan melebihi 40 km/jam karena keadaan yang sangat mendesak.

a. Ya b. Tidak

7. Saya tidak pernah mengemudikan mobil tangki dalam keadaan isi melebihi kecepatan 40 km/jam pada saat perjalanan dalam kota.

a. Ya b. Tidak

8. Pada saat perjalanan luar kota, apabila saya mengemudikan mobil tangki dalam keadaan isi dengan kecepatan melebihi 60 km/jam tidak akan menyebabkan kecelakaan karena kondisi jalan sepi.

a. Ya b. Tidak

9. Saya tidak pernah mengemudikan mobil tangki melebihi kecepatan 60 km/jam pada saat perjalanan luar kota.

a. Ya b. Tidak

10. Pada saat mobil tangki dalam keadaan kosong, mengemudikan mobil tangki melebihi kecepatan 70 km/jam tidak akan menyebabkan kecelakaan.

a. Ya b. Tidak

11. Saya akan lebih berhati-hati ketika membawa mobil tangki dalam keadaan isi.

a. Ya b. Tidak

12. Saya tidak pernah merokok pada saat mengemudikan mobil tangki.

(4)

13. Saat kendaraan pada kecepatan tinggi, saya dapat langsung mengerem

mendadak tanpa menghiraukan jarak kendaraan yang ada di depan.

a. Ya b. Tidak

14. Saya selalu memperhatikan rambu-rambu lalu lintas di sekitar saya.

a. Ya b. Tidak

15. Saat terburu-buru, saya akan tetap menambah kecepatan kendaraan tanpa

memperhatikan jarak dengan mobil di depan saya.

a. Ya b. Tidak

16. Pada saat lampu merah, saya akan terus jalan karena kondisi jalan sangat sepi.

a. Ya b. Tidak

17. Menurut saya, selalu mengecek kaca spion adalah salah satu cara untuk

menghindari kecelakaan.

a. Ya b. Tidak

18. Saya selalu memasang rem tangan pada saat kondisi mobil berhenti.

a. Ya b. Tidak

19. Saat kondisi jalan sepi, saya tidak perlu terlalu sering mengecek kaca spion

karena tidak ada kendaraan lain yang mendahului.

a. Ya b. Tidak

20. Pada saat kendaraan saya berhenti untuk waktu yang sebentar, saya tidak perlu memasang rem tangan.

(5)

21. Saya akan memberikan signal (tanda) jika hendak belok di suatu

persimpangan jalan.

a. Ya b. Tidak

22. Saya dapat mendahului kendaraan lain melalui sisi kanan jalan.

b. Ya b. Tidak

23. Ketika mengemudi, saya akan memperhatikan kondisi jalan di sekitar saya.

a. Ya b. Tidak

24. Untuk menghilangkan kejenuhan diperjalanan, saya merokok sambil mengemudikan mobil pada saat kondisi jalan sepi.

a. Ya b. Tidak

25. Saya mengemudi dengan satu lengan sementara tangan yang lain memegang

minuman.

a. Ya b. Tidak

26. Saya tidak akan menerima panggilan dari handphone pada saat mengemudi.

a. Ya b. Tidak

27. Jika kendaraan saya dilengkapi system “anti lock brake” (ABS), dan

dihadapkan pada situasi emergency pada rem, maka saya harus menekan sekeras mungkin rem kaki saya.

a. Ya b. Tidak

28. Pada kondisi jalan yang macet, saya tidak pernah memperhatikan jarak kendaraan saya dengan kendaraan lain.

(6)

29. Menurut saya, menerima telepon pada saat mengemudi tidak mengganggu

konsentrasi.

a. Ya b. Tidak

30. Menurut saya, posisi dasar tangan yang tepat saat mengemudi adalah tangan kiri di posisi jam 9 dan tangan kanan di posisi jam 3.

a. Ya b. Tidak

31. Pada keadaan mendesak, saya akan memarkir kendaraan saya secara pararel sehingga menghalangi dan mengganggu kendaraan lain.

a. Ya b. Tidak

32. Jika ingin memarkir kendaraan, saya akan memastikan terlebih dahulu bahwa tidak ada halangan dan kendaraan lain yang menghalangi saya.

a. Ya b. Tidak

C. KONDISI JALAN

1. Saya akan mengurangi kecepatan mobil jika melewati jalan yang licin.

a. Ya b. Tidak

2. Saat mengemudi di jalan berbatu, saya akan lebih hati-hati.

a. Ya b. Tidak

3. Saat jalan sepi, saya akan tetap menambah kecepatan kendaraan walaupun kondisi jalan licin.

(7)

4. Jika mengemudi dengan kecepatan tinggi pada jalan berbatu tidak akan

mengakibatkan kecelakaan.

a. Ya b. Tidak

5. Saat mengemudi di jalan berlubang, saya akan memperlambat kendaraan.

b. Ya b. Tidak

6. Jika mengemudi dengan kecepatan tinggi pada jalan berlubang tidak akan

mengakibatkan kecelakaan.

b. Ya b. Tidak

7. Pada kondisi jalan menurun, kaki kanan saya selalu siapa berada di pedal rem.

a. Ya b. Tidak

8. Pada kondisi jalan tanjakan dan macet, saya tidak bersiap untuk menarik rem

tangan karena sudah terbiasa mengendarai mobil.

a. Ya b. Tidak

9. Pada saat jalan bergelombang, saya tidak mengurangi kecepatan karena kondisi jalan sepi.

a. Ya b. Tidak

10. Mengemudi dengan kecepatan tinggi pada jalan yang bergelombang akan mengakibatkan kecelakaan.

(8)

D. KONDISI CUACA

1. Jika mendesak, saya tidak akan mengurangi kecepatan kendaraan saya walaupun kondisi cuaca berkabut.

a. Ya b. Tidak

2. Saya akan berhati-hati jika mengemudi pada saat hujan lebat.

a. Ya b. Tidak

3. Pada kondisi jalan yang kabut, saya akan lebih berhati-hati dalam mengemudi.

a. Ya b. Tidak

4. Jika terburu-buru, saya akan menambah kecepatan kendaraan walaupun kondisi saat itu hujan lebat.

a. Ya b. Tidak

(9)
(10)

Hamdan 18 1 1 1

Mahidi 20 2 1 1

Arun Syahputra 18 1 2 2

Aebron Lubis 6 3 1 2

Supri Arianto 1 3 2 2

Wahyu Hidayat 12 3 2 2

Samsul Bahri 5 3 2 2

Ishak 23 3 1 2

Julham Rizal 10 2 2 1

F. Ginting 3 3 1 2

Burhanuddin 9 3 2 2

Zubrir 5 3 1 2

Chairul 18 2 1 2

M. Yusuf 26 2 1 2

Yuswanto 8 3 2 2

Ridwan 12 3 2 2

M. Arif 5 2 2 2

Zulham Nst 7 1 2 2

Rudi 4 3 2 2

Sunarto 2 3 2 2

Falim Sihite 1 3 2 2

Sofalan Karo 15 3 2 2

Indra Hariono 8 3 1 2

Waherman 10 1 1 1

Zulham Efendi 4 3 2 2

Rinto 4 3 2 2

(11)

SAFETY DRIVING

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 total

(12)
(13)
(14)
(15)
(16)
(17)
(18)

FREQUENCIES

VARIABLES=TQ1 TQ2 TQ3

(19)
(20)
(21)

Crosstabs

pengalaman bekerja kategorik * perilaku tentang safety

driving

N Percent N Percent N Percent

(22)

pendidikan terakhir kategorik * perilaku tentang safety driving

Computed only for a 2x2 table a.

0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 12. 49.

Computed only for a 2x2 table a.

0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 5. 17.

(23)

status pengemudi * perilaku tentang safety driving

keikutsertaan diklat safety driving * perilaku tentang safety

driving

Computed only for a 2x2 table a.

(24)

kondisi jalan * perilaku tentang safety driving

Computed only for a 2x2 table a.

0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 12. 06.

Computed only for a 2x2 table a.

0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 11. 63.

(25)

kondisi cuaca * perilaku tentang safety driving

Computed only for a 2x2 table a.

0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 5. 17.

(26)
(27)
(28)
(29)
(30)
(31)
(32)
(33)

DAFTAR PUSTAKA

Asfahl. 1990. Industrial Safety and Health Management. http//books.google.com/books/about/Industrial Safety and Health Management.Htm. diakses tanggal 05 september 2011.

Budiono. 2003. Bunga Rampai Hiperkes dan Keselamatan kerja: Higiene Perusahaan, Ergonomi, Kesehatan kerja, dan Keselamatan Kerja. http// 2011.

Driver Behavior Group Research (DBGR), Inluencing Driver Attitudes and Behavior, http//www.driver.com. diakses tanggal 01 September 2011.

Fraschini, luigi. 2004, Running red lights becoming epidemic, http//www.driver.com. diakses tanggal 15 Agustus 2011.

Gahari, 2005. Berkendara Secara Aman Untuk Hindari Kecelakaan, http//www.driver.com. diakses tanggal 23 Agustus 2011.

Hadani, 2011. Cuaca Buruk dapat Mengakibatkan Kecelakaan. http//www.kompas.com/kompas-cetak/0997/30/sorotan/978654.htm. Diakses tanggal 25 November 2011.

Irwadi, 2010. “ Cara Mengemudi yang Baik dan Benar Saat Cuanca Hujan. http//www.blogiwd.co.id/index.php?module=view&id. Diakses tanggal 25 November 2011.

Kompas, 2007. Sudahkah Anda Menyetir dengan Aman?.

http//www.kompas.com/kompas-cetak/0404/21/sorotan/976934.htm. diakses tanggal 20 Agustus 2011.

Kompas. 2007. “ Angka Kecelakaan dan Gerakan Safety Riding Saling Mengejar”. tanggal 20 Agustus 2011.

Maryoto, A. 2004. Laporan WHO dan Bank Dunia: Kecelakaan Lalu Lintas Bisa Menyebabkan Kemiskinan. http//www.kompas.com/kompas-cetak/0404/21/sorotan/976934.htm. diakses tanggal 20 Agustus 2011.

(34)

Notoatmodjo, S. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Rineka Cipta. Jakarta.

Notoatmodjo, S. 1993. Pengantar Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Penerbit Andi Offset. Yogyakarta.

Notoatmodjo, S. 1993. Metode Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta. Jakarta.

Rachmanto, T . 2005. Berponsel Sambil Mengemudi, 4 kali lebih besar Resiko Kecelakaan, http//www.kompas .com. diakses tanggal 25 Agustus 2011. Ramli, S. 2010. Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja OHSAS

18001. Dian Rakyat. Jakarta.

R. Lehtimaki, Soila Juden-Tupakka, and Matti Tolvanen. 2007. Young novice drivers, driver education and training. http//www.driver.com. diakses tanggal 01 Agustus 2011

Ridley, 2008. Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Erlangga, Jakarta.

Rizky, Y. 2008. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Perikaku Aman Berkendara (Safety Driving) pada Pengemudi Taxi PT X Tahun 2009. Fakultas kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Depok. http//www.digilib.ui.ac.id. diakses tanggal 06 Mei 2011.

Smith, P. 1996. Transportation Safety and The driver: Safety and Training Programming, http//www.kompas.com. diakses tanggal 15 Agustus 2011. Saputra, E. 2008. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Perilaku Aman

Pengemudi Dump Truck PT. X Districk MTBU Tanjung Enim Sumatera Selatan Tahun 2008. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Depok. http//www.digilib.ui.ac.id. diakses tanggal 06 Mei 2011.

Suardi, R. 2005. Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Penerbit PPM. Jakarta

Suma’mur, P.K. 1991. Higene Perusahaan dan Kesehatan Kerja Cet 7. CV Haji Masagung. Jakarta.

Suma’mur, P.K 1996. Keselamatan Kerja dan Pencegahan Kecelakaan. PT Toko Gunung. Jakarta.

(35)

Tjipto, S. 2009. Peran Ilmu K3 di Masa Depan. http//adln.lib.unair.ac.id. diakses tanggal 24 Juli 2011.

Transport Local Government Region (DTLR). 2001. Reducing at work Road Traffic Accident. http//www.driver.com. diakses tanggal 15 Agustus 2011.

Wiegmann. 2007. “Human Error and General Aviation accidents: A Comprehensive, Fine-Grained Analysis Using HFACS”. diakses tanggal 25 Juli 2011.

(36)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Desain Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analitik dengan menggunakan pendekatan

cross sectional dimana pengukuran faktor-faktor yang menimbulkan safety driving

pengemudi mobil tangki dengan terjadinya safety driving dilakukan pada saat yang sama yaitu setiap subyek diobservasi satu kali saja menurut keadaan atau subyek pada saat observasi.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetetahui hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen sehingga diharapkan dapat diperoleh gambaran hubungan mengenai faktor-faktor yang menimbulkan safety driving pada pengemudi mobil tangki Terminal BBM Medan Group PT Pertamina (Persero) Labuhan Deli Medan.

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian adalah Terminal BBM Medan Group PT Pertamina (Persero) Labuhan Deli Medan. Adapun alasan dilakukannya penelitian ini di perusahaan tersebut adalah:

(37)

2. Belum adanya penelitian yang mengangkat masalah faktor-faktor yang berhubungan dengan tindakan aman berkendara pada perusahaan tersebut. 3.2.2. Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada Mei 2011-Desember 2011.

3.3 Populasi dan Sampel 3.3.1. Populasi

Populasi yang digunakan pada penelitian ini adalah seluruh pengemudi mobil tangki yang berjumlah ± 180 orang yang ada pada Terminal BBM Medan Group PT Pertamina (Persero) Labuhan Deli Medan Tahun 2011.

3.3.2. Sampel

Sampel penelitian adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan objek yang diteliti dan dianggap mewaliki keseluruhan populasi (Notoatmodjo, 2005). Pengambilan sampel menggunakan teknik random sampling, sehingga memberikan kesempatan yang sama kepada setiap subjek untuk dipilih menjadi sampel. Rumus menentukan besarnya sampel yang dikemukakan oleh Notoatmodjo (2005) adalah seperti berikut ini:

n =

n =

N 1 + N(d2)

(38)

Keterangan: n = Besar Sampel N = Besar Populasi

d = Tingkat kepercayaan/ketepatan yang diinginkan (0,1)

Setelah dihitung, maka besar sampel yang diperoleh adalah N=64,285714 di bulatkan menjadi 65.

3.4. Cara Pengambilan Data 3.4.1 Data Primer

Data primer yang didapatkan dalam penelitian ini diperoleh dengan menggunakan kuesioner. Kuesioner ini telah di modivikasi dari kuesioner yang diperoleh dari penelitian sejenis yang dibuat oleh Rizky (2009) dengan judul penelitian “Faktor-faktor yang yang Berhubungan dengan Perilaku Aman Berkendara pada Pengemudi Taxi PT X Pool Y”.

3.4.2. Data Sekunder

(39)

3.5 Teknik Analisa data

Analisis data dilakukan melalui dua tahapan, yaitu: 1. Analisis Univariat

Tujuan dari analisis univariat adalah untuk menjelaskan/mendeskripsikan karakteristik masing-masing varibel yang diteliti. Peneliti mengelompokkan variable penelitian ke dalam kategorik, oleh karena itu analisis univariat yang digunakan adalah distribusi frekuensi dengan ukuran persentase atau proporsi. 2. Analisi Bivariat/Uji Hipotesis

a. Tujuan Uji Hipotesis

Tujuan pengujian hipotesis adalah untuk membantu proses pengambilan keputusan apakah suatu perbedaan atau hubungan antara dua variabel yang diteliti cukup meyakinkan untuk ditolak atau tidak ditolak. Keyakinan ini didasarkan pada besarnya peluang untuk memperoleh hubungan tersebut secara kebetulan. Dalam analisis bivariat ini, peneliti menggunakan uji statistic Chi-Square. Fungsi uji ini adalah untuk melihat ada tidaknya hubungan antara variabel dependen dengan variabel independen dengan prinsip membandingkan frekuensi yang diamati dengan nilai frekuensi harapan.

b. Penentuan Tingkat Kemaknaan (Level of Significance)

Tingkat kemaknaan (α) merupakan nilai yang menunjukkan besarnya peluang salah dalam menolak hipotesi penelitian. Dengan kata lain, nilai α merupakan

(40)

3.6 Definisi Operasional

1. Safety driving adalah tindakan pengemudi yang dilakukan saat mengemudi guna mencegah terjadinya kecelakaan.

2. Tingkat pendidikan adalah Jenjang sekolah/edukasi terakhir yang telah diambil pengemudi saat di terima di PT Pertamina.

3. Pengalaman bekerja adalah total lamanya bekerja dengan perusahaan-perusahaan

sebelum dengan PT Pertamina hingga saat ini.

4. Status pengemudi adalah status pengemudi tersebut di PT Pertamina.

5. Keikutsertaan diklat safety driving adalah ikut sertanya pengemudi dalam pendidikan dan pelatihan tentang cara berkendara yang aman.

6. Kondisi jalan adalah keadaan jalan yang dialami pengemudi pada saat

mengemudi.

7. Kondisi cuaca adalah keadaan cuaca yang dialami pengemudi pada saat mengemudi.

3.7.Metode Pengukuran 1. Safety Driving

Variabel diukur melalui 32 pertanyaan. Skala pengukuran safety driving

(41)

Alat ukur : Kuesioner Skala ukur : Ordinal

Hasil ukur : X < Median (Buruk), X ≥ Median (Baik) 2. Tingkat Pendidikan

• Alat ukur : Kuesioner

• Skala ukur : Ordinal

• Hasil ukur : 1. SD

3. SMP 4. SMA

5. Akademi/perguruan tinggi 3. Pengalaman Bekerja

• Alat ukur : Kuesioner

• Skala ukur : Nominal

• Hasil ukur : X < Median (Rendah), X ≥ Median (Tinggi)

4. Status Pengemudi

• Alat ukur : Kuesioner

• Skala ukur : Nominal

• Hasil ukur : 1. Awak 1

2. Awak 2

5. Keikutsertaan Diklat Safety Driving

• Alat ukur : Kuesioner

(42)

• Hasil ukur : 1. Ya

2. Tidak 6. Kondisi Jalan

Variabel diukur melalui 10 pertanyaan. Skala pengukuran kondisi jalan berdasarkan pada jawaban yang diperoleh dari responden terhadap semua pertanyaan yang diberikan. Untuk pertanyaan positif jawaban “ya” diberi skor 2, jika jawaban “tidak” diberi skor 1. Sedangkan untuk pertanyaan negatif jawaban “ya” diberi skor 1, jika jawaban “tidak” diberi skor 2.

Alat ukur : Kuesioner Skala ukur : Nominal

Hasil ukur : X < Median (Buruk), X ≥ Median (Baik) 7. Kondisi Cuaca

Variabel diukur melalui 4 pertanyaan. Skala pengukuran kondisi cuaca berdasarkan pada jawaban yang diperoleh dari responden terhadap semua pertanyaan yang diberikan. Untuk pertanyaan positif jawaban “ya” diberi skor 2, jika jawaban “tidak” diberi skor 1. Sedangkan untuk pertanyaan negatif jawaban “ya” diberi skor 1, jika jawaban “tidak” diberi skor 2.

Alat ukur : Kuesioner Skala ukur : Nominal

(43)

BAB IV HASIL

4.1 Gambaran Umum Perusahaan 4.1.1 Sejarah Umum PT Pertamina

Pada 16 Juni 1890 Koninklije Naderlansche Petrolenium Company yang didirikan atas usaha Ziljker beserta teman-temannya di Den Haag mengambil alih konsesi minyak Telaga Said Pangkalan Berandan. Usaha yang dilakukannya adalah mengolah dan memasarkan minyak bumi. Pusat administrasi kegiatan perusahaan dibangun di Pangkalan Brandan, Sumatera Utara. Pada tahun 1892 ditempat itu dibangun penyulingan minyak. Di tahun 1898 berhasil dibangun pelabuhan minyak pertama di Indonesia yaitu di Pangkalan Susu, lengkap dengan segala fasilitasnya.

Pada tahun 1887 Andrian Stoop, bekas pegawai Ziljker mendirikan perusahaan minyak di Surabaya. Setelah berhasil menemukan minyak, tahun 1890 ia membangun pengilangan miyak di Wonokromo, Jawa Timur. Selanjutnya untuk memperluas usahanya di Jawa Tengah ia membangun juga pengilangan minyak di Cepu pada Tahun 1894 (PT Pertamina, 2010).

Di tahun 1912 perusahaan Amerika Standart masuk ke Indonesia dan mendirikan cabang organisasi dengan nama Nederlandsche Kolonial Petroleium Maatschappij (NKPM) dan pada tahun yang sama perusahaan minyak Standard of California mengadakan kerjasama dengan perusahaan minyak Texas Company

(44)

Setelah bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, para pejuang kemerdekaan berusaha merebut lapangan, kilang maupun fasilitas perminyakan yang ada dari tangan para penjajah Jepang. Namun ketika gaung kemerdekaan diumumkan sampai ke Sumatera, pihak Jepang tidak mau menyerahkan lapangan Pangkalan Susu maupun kilang Pangkalan Berandan di Sumatera Utara. Berkat perjuangan yang gigih akhirnya pada bulan September 1945 diserahterimakan seluruh tambang minyak yang berada di Pangkalan Berandan maupun yang ada di Rantau, Kuala Siampang, Aceh Timur, dan disusul pembentukan perusahaan minyak nasional pertama yang diberi nama Perusahaan Tambang Minyak Negara Republik Indonesia (PTMNRI). Segera sesudah terjadinya timbang terima, karyawan-karyawan perminyakan di tempat itu segera melakukan perbaikan-perbaikan untuk meningkatkan produksi yang sempat turun. Tetapi tidak berapa lama pada tanggal 13 Agustus 1947, tiga minggu setelah Belanda melancarkan agresinya yang pertama tempat itu dibumi hanguskan.

(45)

Pada tanggal 10 Desember 1957 PT Eksploitasi Tambang Minyak Sumatera Utara (PN Pertamina) kemudian diubah namanya menjadi PT Pertamina.

Pada bulan Maret 1966, Menteri Migas menetapkan lima daerah eksploitasi dan produksi PT Pertamina, yaitu:

1. Unit I Meliputi daerah Sumatera Utara dan Aceh dengan kantor pusat di Pangkalan Berandan.

2. Unit II meliputi daerah Lampung, Bengkulu, Sumatera Selatan Selatan dan Jambi dengan kantor pusat di Plaju.

3. Unit III meliputi daerah Jawa dan Madura dengan kantor pusat di Jakarta. 4. Unit IV meliputi daerah Kalimantan termasuk Tarakan dan Bunyu dengan

kantor pusat di Balikpapan.

5. Unit V meliputi daerah Irian Jaya, Sulawesi, Maluku dan Nusa tenggara dengan kantor pusat di Serong.

Daerah eksploitasi dan produksi tersebut kemudian bertambah lagi dengan unit VI yang meliputi Sumatera Tengah. Sejalan dengan perkembangan dan tuntutan kebutuhan maka organisasi yang menyangkut kegiatan operasi perminyakan di pisahkan antara kegiatan hulu dan hilir.

(46)

4.1.2 Visi dan Misi Perusahaan

Pertamina adalah perusahaan perseroan yang bergerak dibidang perminyakan dan gas bumi serta panas bumi yang memiliki Visi dan Misi sebagai berikut:

1. Visi perusahaan adalah menjadi perusahaan minyak nasional kelas dunia.

2. Misi perusahaan adalah menjalankan usaha inti minyak, gas, dan bahan bakar nabati secara terintegrasi, berdasarkan prinsip-prinsip komersial yang kuat.

4.1.3 Tujuan Perusahaan

Tujuan dari PT Pertamina (Persero) yaitu:

1. Menjadikan Pertamina suatu perusahaan dengan lingkungan kerja yang bersih, etis, transparan dan terpercaya.

2. Menciptakan sistem, kebijakan dan prosedur yang mendukung praktik bisnis yang bersih, transparan, dan etis.

3. Menciptakan kebijakan untuk tersedianya bantuan hukum bagi pekerja yang melaksanakan pekerjaan sesuai etika usaha dan tata perilaku, kebijakan dan prosedur yang berlaku.

4. Meningkatkan kepercayaan diri para pekerja untuk melaksanakan pekerjaan dan mengambil keputusan.

(47)

4.1.4 Logo Perusahaan

Logo PT Pertamina telah dirancang untuk menciptakan suatu identitas lebih segar, lebih dinamis dan modern yang mencerminkan positioning baru dan arah dari PT Pertamina. Berikut ini adalah logo PT Pertamina yang baru.

Elemen logo membentuk huruf “P” yang secara keseluruhan merupakan repsentatif bentuk panah, dimaksudkan sebagai Pertamina yang bergerak maju dan progresif. Warna-warna yang berani menunjukkan langkah besar yang diambil Pertamina dan aspirasi perusahaan akan masa depan yang lebih positif dan dinamis, dimana Biru mencerminkan andal, dapat dipercaya dan bertanggung jawab. Hijau mencerminkan sumber daya energi yang berwawasan lingkungan. Merah mencerminkan keuletan dan ketegasan serta keberanian dalam menghadapi berbagai macam kesulitan.

4.1.5. Terminal BBM Medan Group Labuhan Deli

4.1.7.1. Lokasi Terminal BBM Medan Group Labuhan Deli

Terminal BBM Labuhan Deli dibangun pada tahun 1974 dengan luas tanah sekitar 30,8 Ha. Terminal BBM Labuhan Deli terletak di Jalan Yos Sudarso Km. 19,5. Secara adminstratif Terminal BBM Labuhan Deli berada di:

1. Kelurahan : Pekan Labuhan 2. Kecamatan : Medan Labuhan

3. Kotamadya : Medan

(48)

Tapak kegiatan Terminal BBM Labuhan Deli Berbatasan dengan :

1. Utara : Perumahan Masyarakat Kelurahan Pekan Labuhan 2. Selatan : Perumahan Masyarakat Kelurahan Pekan Labuhan 3. Timur : Rel Kereta Api Medan - Belawan

4. Barat : Jl. Kol. Yos Sudarso

4.1.7.2. Deskripsi Kegiatan Perusahaan

Kegiatan operasional Terminal BBM Labuhan Deli meliputi penerimaan, penimbunan dan penyaluan BBM. Kegiatan penerimaan BBM dilakukan melalui dermaga Citra Jetty dengan kapasitas tangker maksimum adalah 20.000 DWT dan melalui Single Point Mooring (SPM) untuk kapasitas 35.000 DWT. Kegiatan penimbunan BBM dilakukan dengan menggunakan tangki timbun dengan kapasitas yang berbeda sesuai dengan jenis BBM yang dibutuhkan. Kegiatan penyaluran dilakukan melalui bangsal pengisian dan disalurkan dengan menggunakan mobil tangki yang telah mendapatkan Ijin dari PT. Pertamina (PT Pertamina, 2010).

(49)

Gambar 4.1. Diagram alir Proses Operasi Terminal BBM Labuhan Deli (Sumber: PT Pertamina, 2010)

Gambar 4.1. Diagram alir Proses Operasi Terminal BBM Labuhan Deli (Sumber: PT Pertamina, 2010)

Fasilitas yang dimiliki Terminal BBM Labuhan Deli meliputi :

• Dermaga Pembongkaran BBM Citra Jetty (Loading Arm)

• Tangki Penimbunan BBM (22 Unit Vertical Cone Roof Tank)

• Bangsal Pengisian BBM (Filling Point, bottom loader, meter arus BBM)

• Rumah Pompa BBM (Pompa Listrik)

• Jalur Pipa Penerimaan, Penimbunan, Penyaluran.

• Rumah Pompa PMK (Pompa PMK, jalur pipa)

• Kolam Air Pemadam Kebakaran

Gate Keeper

Dermaga Citra Jetty & SPM

Terminal BBM Labuhan Deli

SPBU

DPPU & PANGKALAN

SPBU

Solar

(50)

Fasilitas tersebut diatas merupakan fasilitas utama kegiatan operasi Terminal BBM Labuhan Deli. Selama masa penggunaannya selalu dilakukan tindakan

preventive maintenance untuk menjaga terjadinya kegagalan alat ataupun gangguan operasi. Adapun pemeliharaan yang dilakukan dapat berupa preventif, korektiv, dan break down yang dilakukan secara periodik atau berkala.

Fasilitas penunjang kegiatan diantaranya adalah pagar. Pagar sekeliling tapak depot terbuat dari kawat harmonika berdiameter 2 mm, dengan tinggi 1,25 m. Pondasi pagar adalah beton cor dan tiangnya adalah besi siku. Fasilitas penunjang lain yang dimiliki Terminal BBM adalah jalan inspeksi, lapangan parkir, lapangan drum pelumas, drainase, kantin dan rumah dinas.

4.1.7.3 Struktur Organisasi Perusahaan

(51)

4.2 Analisis Univariat 4.2.1 Pengalaman Bekerja

Berdasarkan hasil pengolahan data, maka distribusi responden berdasarkan pengalaman bekerja dapat dilihat pada tabel sebagai berikut:

Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pengalaman Bekerja

Dari tabel tersebut, didapat bahwa jumlah sampel penelitian dengan pengalaman bekerja rendah berjumlah 29 responden (44,6%) dan pengalaman bekerja tinggi berjumlah 36 responden (55,4%).

Pembagian pengalaman bekerja menjadi dua kategori (rendah dan tinggi) berdasarkan nilai median (8.00) yang dijadikan cut of point untuk distribusi responden yaitu di bawah nilai median (< 8 tahun) diberi kategori rendah dan di atas atau sama dengan nilai median (≥ 8 tahun) diberi kategori tinggi. Alasan median dijadikan cut of point adalah karena nilai median tidak dipengaruhi oleh ekstrim rendah maupun ekstrim tinggi.

4.2.2 Tingkat Pendidikan

Berdasarkan hasil pengolahan data, maka distribusi responden berdasarkan tingkat pendidikan dapat dilihat pada tabel sebagai berikut:

No Pengalaman Bekerja Frekuensi Persentase

1 Rendah 29 44,6%

2 Tinggi 36 55,4%

(52)

Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan

Dari tabel tersebut, didapat bahwa jumlah sampel penelitian dengan tingkat pendidikan SD berjumlah 5 responden (7,7%), SMP berjumlah 7 responden (10,8%), SMA/Sederajat berjumlah 51 responden (78,5%), Akademi/Perguruan Tinggi berjumlah 2 responden (3,1%).

Keempat tingkat pendidikan tersebut (SD, SMP, SMA/sederajat, dan Akademi/Perguruan Tinggi) akan diklasifikasikan menjadi 2 kategori yaitu: tingkat pendidikan rendah (SD dan SMP) dan tingkat pendidikan tinggi (SMA/sederajat dan Akademi/Perguruan Tinggi). Berikut ini tabel distribusi responden berdasarkan dua kategori tersebut:

Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Dua Kategori Tingkat No Tingkat Pendidikan Frekuensi Persentase

1 Rendah 12 18,5%

2 Tinggi 53 81,5%

Total 65 100%

Dari tabel tersebut, didapat bahwa jumlah sampel penelitian dengan pendidikan rendah (SD dan SMP) berjumlah 12 responden (18,5%) dan tingkat pendidikan tinggi (SMA/Sederajat dan Akademi/Perguruan tinggi) berjumlah 53 responden (81,5%).

No Tingkat Pendidikan Frekuensi Persentase

1 SD 5 7,7%

2 SMP 7 10,8%

3 SMA/Sederajat 51 78,5%

4 Akademi/Perguruan Tinggi 2 3,1%

(53)

4.2.3 Status Pengemudi

Berdasarkan hasil pengolahan data, maka distribusi responden berdasarkan status pengemudi dapat dilihat pada tabel sebagai berikut:

Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Status Pengemudi

Dari tabel tersebut, didapat bahwa jumlah sampel penelitian dengan status pengemudi awak 1 berjumlah 40 responden (61,5%) dan status pengemudi awak 2 berjumlah 25 responden (38,5%).

4.2.4. Keikutsertaan Diklat Safety Driving

Berdasarkan hasil pengolahan data, maka distribusi responden berdasarkan Keikutsertaan Diklat Safety Driving dapat dilihat pada tabel sebagai berikut:

Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Keikutsertaan Diklat Safety Driving

Dari tabel tersebut, didapat bahwa jumlah sampel penelitian yang mengikuti diklat safety driving berjumlah 37 responden (56,9%) dan yang tidak mengikuti diklat

safety driving berjumlah 28 Responden (43,1%).

No Status Pengemudi Frekuensi Persentase

1 Awak 1 40 61,5%

2 Awak 2 25 38,5%

Total 65 100%

No Keikutsertaan Safety Driving Frekuensi Persentase

1 Ya 37 56,9%

2 Tidak 28 43,1%

(54)

4.2.5 Kondisi Jalan

Berdasarkan hasil pengolahan data, gambaran kondisi jalan yang dialami oleh responden penelitian dapat dilihat pada tabel sebagai berikut:

Tabel 4.6 Gambaran Kondisi Jalan yang Dialami oleh Responden Penelitian

No Kondisi Jalan Frekuensi Persentase

1 Buruk 27 41,5%

2 Baik 38 58,5%

Total 65 100%

Dari tabel tersebut, didapat bahwa jumlah sampel yang menyatakan kondisi jalan buruk berjumlah 27 responden (41,5%) dan yang menyatakan kondisi jalan baik berjumlah 38 Responden (58,5%).

Pembagian pengalaman dua kategori (buruk dan baik) berdasarkan nilai median (19.00) yang dijadikan cut of point untuk distribusi responden yaitu di bawah nilai median diberi kategori buruk dan di atas atau sama dengan nilai median diberi kategori baik. Alasan median dijadikan cut of point adalah karena nilai median tidak dipengaruhi oleh ekstrim rendah maupun ekstrim tinggi.

4.2.6 Kondisi Cuaca

(55)

Tabel 4.7 Gambaran Kondisi Cuaca yang Dialami oleh Responden Penelitian

Dari tabel tersebut, didapat bahwa jumlah sampel yang menyatakan kondisi cuaca buruk berjumlah 12 responden (18,5%) dan yang menyatakan kondisi cuaca baik berjumlah 53 responden (81,5%).

Pembagian dua kategori (buruk dan baik) berdasarkan nilai median (8.00) yang dijadikan cut of point untuk distribusi responden yaitu di bawah nilai median diberi kategori buruk dan di atas atau sama dengan nilai median diberi kategori baik. Alasan median dijadikan cut of point adalah karena nilai median tidak dipengaruhi oleh ekstrim rendah maupun ekstrim tinggi.

4.2.7 Safety Driving

Berdasarkan hasil pengolahan data, gambaran Safety Driving pada responden penelitian dapat dilihat pada tabel sebagai berikut:

Tabel 4.8 Gambaran Safety Driving pada Responden Penelitian

Dari tabel tersebut, didapat bahwa jumlah sampel yang memiliki Safety Driving pada kategori buruk berjumlah 28 responden (43,1%) dan yang memiliki

Safety Driving pada kategori baik berjumlah 37 responden (56,9%).

No Kondisi Cuaca Frekuensi Persentase

1 Buruk 12 18,5%

2 Baik 53 81,5%

Total 65 100%

No Safety Driving Frekuensi Persentase

1 Buruk 28 43,1%

2 Baik 37 56,9%

(56)

Pembagian dua kategori (buruk dan baik) berdasarkan nilai median (62.00) yang dijadikan cut of point untuk distribusi responden yaitu di bawah nilai median diberi kategori buruk dan di atas atau sama dengan nilai median diberi kategori baik. Alasan median dijadikan cut of point adalah karena nilai median tidak dipengaruhi oleh ekstrim rendah maupun ekstrim tinggi.

4.3. Analisi Bivariat

4.3.1 Analisis Hubungan Pengalaman Bekerja dengan Safety Driving

Analisis bivariat yang dilakukan adalah uji hubungan antara pengalaman bekerja (variabel independen) dengan safety driving sebagai variabel dependen. Uji hubungan yang dilakukan adalah chi square karena variabel independen dan variabel dependen datanya terdiri dari dua kategori.

Hasil uji chi square antara pengalaman bekerja dengan safety driving dapat dilihat pada tabel sebagai berikut:

Tabel 4.9. Tabulasi Silang antara Pengalaman Bekerja dengan Safety Driving

(57)

Dari tabel tersebut, didapat hasil analisis hubungan antara pengalaman bekerja dengan safety driving tidak terdapat hubungan yang signifikan karena nilai p-valuenya (0.612) lebih besar dari nilai α (0.05).

4.3.2 Analisis Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Safety Driving

Analisis bivariat yang dilakukan adalah uji hubungan antara tingkat pendidikan (variabel independen) dengan safety driving sebagai variabel dependen. Uji hubungan yang dilakukan adalah chi square karena variabel independen dan variabel dependen datanya terdiri dari dua kategori.

Hasil uji chi square antara tingkat pendidikan dengan safety driving dapat dilihat pada tabel sebagai berikut:

Tabel 4.10. Tabulasi Silang antara Tingkat Pendidikan dengan Safety Driving

Tingkat Pendidikan

(58)

4.3.3. Analisis Hubungan Status Pengemudi dengan Safety Driving

Analisis bivariat yang dilakukan adalah uji hubungan antara status pengemudi (variabel independen) dengan safety driving sebagai variabel dependen. Uji hubungan yang dilakukan adalah chi square karena variabel independen dan variabel dependen datanya terdiri dari dua kategori.

Hasil uji chi square antara status pengemudi dengan safety driving dapat dilihat pada tabel sebagai berikut:

Tabel 4.11. Tabulasi Silang antara Status Pengemudi dengan Safety Driving

Status Pengemudi

Dari tabel tersebut, didapat hasil analisis hubungan antara status pengemudi dengan safety driving tidak terdapat hubungan yang signifikan karena nilai p-valuenya (0.160) lebih besar dari nilai α (0.05).

4.3.4. Analisis Hubungan Keikutsertaan Diklat Safety Driving dengan Safety Driving

(59)

dependen. Uji hubungan yang dilakukan adalah chi square karena variabel independen dan variabel dependen datanya terdiri dari dua kategori.

Hasil uji chi square antara keikutsertaan diklat safety driving dengan safety driving dapat dilihat pada tabel sebagai berikut:

Tabel 4.12. Tabulasi Silang antara Keikutsertaan Diklat Safety Driving dengan Safety Driving

Dari tabel tersebut, didapat hasil analisis hubungan antara keikutsertaan diklat

safety driving dengan safety driving tidak terdapat hubungan yang signifikan karena nilai p-valuenya (0.467) lebih besar dari nilai α (0.05).

4.3.5 Analisis Hubungan Kondisi Jalan dengan Safety Driving

Analisis bivariat yang dilakukan adalah uji hubungan kondisi jalan (variabel independen) dengan safety driving sebagai variabel dependen. Uji hubungan yang dilakukan adalah chi square karena variabel independen dan variabel dependen datanya terdiri dari dua kategori.

(60)

Tabel 4.13. Tabulasi Silang antara Kondisi Jalan dengan Safety Driving Kondisi Jalan Safety Driving

Total p-value

Dari tabel tersebut, didapat hasil analisis hubungan antara kondisi jalan dengan safety driving terdapat hubungan yang signifikan karena nilai p-valuenya (0.013) lebih kecil dari nilai α (0.05).

4.3.6 Analisis Hubungan Kondisi Cuaca dengan Safety Driving

Analisis bivariat yang dilakukan adalah uji hubungan kondisi cuaca (variabel independen) dengan safety driving sebagai variabel dependen. Uji hubungan yang dilakukan adalah chi square karena variabel independen dan variabel dependen datanya terdiri dari dua kategori.

(61)

Tabel 4.14. Tabulasi Silang antara Kondisi Cuaca dengan Safety Driving

Dari tabel tersebut, didapat hasil analisis hubungan antara kondisi jalan dengan safety driving terdapat hubungan yang signifikan karena nilai p-valuenya (0.032) lebih kecil dari nilai α (0.05).

Kondisi Cuaca Safety Driving

(62)

BAB V PEMBAHASAN

5.1 Hubungan Pengalaman Bekerja dengan Safety Driving

Berdasarkan hasil analisis, jumlah responden yang memiliki pengalaman bekerja tinggi (≥ 8 tahun) lebih besar bila dibandingkan dengan jumlah responden yang memiliki pengalaman bekerja rendah (< 8 tahun).

Menurut teori Max Webber yang dikemukakan oleh Ritzer menyatakan bahwa setiap individu akan melakukan suatu tindakan berdasarkan lama kerjanya atau pengalamannya. Jadi semakin lama seseorang melakukan suatu aktivitas maka seseorang tersebut akan semakin mengetahui aktivitas tersebut (Rizky, 2009).

Menurut penelitian Jenkin dalam Saputra (2008), menyatakan bahwa meningkatnya kecelakaan lalu lintas yang melibatkan pengemudi pemula berusia muda terjadi karena sedikitnya pengalaman mereka dalam mengemudi.

Berdasarkan teori-teori yang ada, menyatakan bahwa pengalaman bekerja seseorang mempengaruhi perilaku orang tersebut. Namun dari hasil analisis yang diperoleh, pengalaman bekerja tidak menunjukkan hubungan yang signifikan dengan

(63)

kemampuan pengemudi dalam berkendara, sehingga dalam melaksanakan pekerjaannya pengemudi sudah siap untuk menghadapi kondisi apapun di jalan.

5.2 Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Safety Driving

Berdasarkan hasil analisis, jumlah responden yang memiliki tingkat pendidikan tinggi (SMA/sederajat dan Akademi/perguruan tinggi) lebih besar bila dibandingkan dengan jumlah responden yang memiliki tingkat pendidikan rendah (SD dan SMP).

Menurut Green dalam Rizky (2009), tingkat pendidikan merupakan faktor predisposisi seseorang berperilaku, sehingga latar belakang pendidikan merupakan faktor yang mendasar untuk memotivasi terhadap suatu perilaku. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka akan semakin tinggi pula tingkat pengetahuannya, sehingga akan mudah untuk menerima dan mengembangkan pengetahuan serta teknologi. Seseorang yang memiliki pendidikan yang tinggi diasumsikan akan semakin bijak dalam mengambil keputusan.

Dalam hal ini, pendidikan yang dimaksud adalah pendidikan formal yang diperoleh di sekolah. Notoatmodjo (1993) menyatakan bahwa kedewasaan mempunyai ciri mental, fisik, sosial, moral, emosional.

(64)

Berdasarkan teori yang ada, dapat disimpulkan bahwa lebih tinggi tingkat pendidikan seseorang dapat mempengaruhi perilaku seseorang untuk lebih baik dan lebih bijak dalam bertindak. Dari hasil penelitian yang didapatkan, variabel tingkat pendidikan tidak menunjukkan adanya hubungan yang signifikan dengan safety driving. Pengemudi yang tingkat pendidikannya lebih tinggi belum tentu selamanya bertindak aman dalam berkendara. Hal ini bisa juga disebabkan karena pelatihan

safety driving yang belum menyeluruh pada pengemudi, Oleh karena itu perlu diadakan pelatihan safety driving secara menyeluruh kepada seluruh pengemudi untuk meningkatkan keterampilan serta kemampuan pengemudi dalam berkendara, sehingga dalam melaksanakan pekerjaannya pengemudi sudah siap untuk menghadapi kondisi apapun di jalan. Mengemudi bukanlah pekerjaan yang hanya menuntut seseorang untuk memiliki pengetahuan tentang bagaimana semestinya mengemudi, melainkan lebih kepada kesadaran dari pengemudi tersebut untuk selalu waspada dalam menghadapi kondisi yang terjadi di jalan raya.

5.3 Hubungan Status Pengemudi dengan Safety Driving

Status pengemudi yang di maksud adalah status pekerjaan responden di PT Pertamina. Status pengemudi terdiri dari awak 1 dan awak 2. Awak 1 adalah supir utama mobil tangki tersebut, sedangkan awak 2 adalah supir cadangan ataupun kernet mobil tangki.

Status pengemudi bukanlah merupakan faktor yang berhubungan dengan

(65)

pengemudi mobil tangki. Walaupun pengemudi tersebut merupakan awak 1 ataupun supir tetap mobil tangki tersebut, tetapi masi terdapat pengemudi yang bertindak tidak aman dalam berkendara. Begitu pula dengan awak 2 ataupun supir cadangan mobil tangki, tidak semuanya bertindak tidak aman dalam berkendara. Hal ini kemugkinan disebabkan karena tugas dan pekerjaan yang dilakukan awak 1 ataupun awak 2 tidak memiliki perbedaan. Oleh karena itu dibutuhkan kerjasama yang baik antara awak 1 dan awak 2 ketika menjalankan pekerjaannya, serta perlu diberikan pelatihan safety driving secara merata kepada awak 1 dan awak 2 mobil tangki.

5.4 Hubungan Keikutsertaan Diklat safety driving dengan Safety Driving

Variabel keikutsertaan Diklat Safety Driving menunjukkan hubungan yang tidak signifikan terhadap safety driving. Bedasarkan hasil analisis, jumlah responden penelitian yang telah mengikuti diklat Safety Driving lebih besar bila dibandingkan dengan jumlah responden yang tidak mengikuti diklat Safety Driving.

Pelatihan merupakan komponen utama dari beberapa program keelamatan dan kesehatan kerja. Menurut ILO (1998), dengan adanya pelaksanaan pendidikan dan pelatihan di tempat kerja maka pekerja dapat mengetahui bahaya dan risiko yang ada di tempat kerja serta kerugian akibat kecelakaan yang ditimbulkan. Selain itu pelaksanaan diklat juga dapat memberikan pengetahuan kepada pekerja mengenai prosedur kerja yang baik.

(66)

dapat dilakukan untuk mengurangi terjadinya kecelakaan adalah dengan memberikan pelatihan.

Seperti yang dikemukakan oleh Reima Lehtimaki, Soila Juden Tupakka, dan Matti Tolvanen (2005) yang menyatakan bahwa pelatihan safety driving dapat mempengaruhi seseorang dalam meningkatkan perilaku mengemudi aman di jalan raya. Jadi seseorang yang telah mengikuti pelatihan safety driving kemungkinan akan lebih aman dalam mengemudi jika dibandingkan dengan dengan seseorang yang tidak mengikuti pelatihan safety driving.

(67)

oleh pihak penyelenggara agar hasil yang diperoleh dari pelatihan yang telah dilaksanakan dapat meningkatkan kinerja pengemudi secara maksimal.

5.5 Hubungan Kondisi Jalan dengan Safety Driving

Berdasarkan hasil analisis, kondisi jalan menunjukkan hubungan yang signifikan terhadap safety driving. Kondisi jalan yang sering dialami pengemudi adalah jalan yang berlubang, bergelombang, jalan tanjakan, turunan, dan jalanan licin.

Dalam kasus kecelakaan yang pernah terjadi di PT Pertamina adalah kecelakaan karena pengereman mendadak saat menghindari lubang. Menurut Irwadi (2010), kebanyakan orang cenderung untuk menghindari lubang tersebut daripada melewatinya dengan alasan tidak nyaman saat melewati lubang atau takut terjatuh karena melindas lubang tersebut. Sebaiknya, apabila dihadapkan pada jalan yang berlubang, segeralah memperlambat kendaraan dengan menutup putaran gas dan kedua rem. Namun pada kenyataannya, pengemudi masih saja ada yang tidak mengurangi kecepatannya sehingga akan melakukan pengereman mendadak saat ingin menghindari lubang. Tindakan tersebut tergolong tindakan yang tidak aman dalam berkendara karena dapat mengakibatkan kecelakaan.

(68)

safety driving khususnya tentang bagaimana cara yang aman ketika dihadapkan pada kondisi jalan yang kurang baik agar pengemudi selalu bertindak aman dalam menjalani pekerjaannya yang selalu dihadapi pada kondisi jalan yang kurang baik.

5.6 Hubungan Kondisi Cuaca dengan Safety Driving

Berdasarkan hasil analisis, kondisi cuaca menunjukkan hubungan yang signifikan terhadap safety driving. Kondisi cuaca yang paling sering dialami ketika seseorang mengemudi adalah hujan dan kabut.

Menurut Hadani (2011), di negara-negara tropis seperti Indonesia, faktor cuaca seperti hujan memiliki tingkat potensi tinggi memicu terjadinya kecelakaan, yaitu sebesar 13% (Koran Harian Tempo, 2011). Irwadi (2010) menyatakan hujan yang lebat akan membebani penghapus kaca (wiper), sehingga kaca depan selalu tertutup air. Pandangan ke depan sangat terbatas sehingga kita tidak bisa melihat batas-batas jalan ataupun kendaraan-kendaraan yang lain, itu tandanya kita harus meminggir dan berhenti sampai hujan reda. Namun pada kenyataannya, pengemudi tidak terlalu menghiraukan keadaan saat kondisi hujan, apalagi sampai berhenti menunggu hujan reda. Kemungkinan hal itu disebabkan karena pengemudi sudah merasa terbiasa mengemudi dalam kedaan tersebut dan juga mengejar waktu untuk sampai ke tujuan. Hal ini yang dapat menyebabkan kecelakaan bisa saja terjadi, karena pengemudi tidak selamanya akan bertindak aman dalam kondisi hujan.

(69)

Hal tersebut bisa menimbulkan kondisi berbahaya ketika menaiki kendaraan. Kondisi cuaca berkabut tidak bisa dicegah dan sering dihadapi pengemudi. Apaila perjalanan tidak dapat ditunda, tindakan yang sebaiknya dilakukan oleh pengemudi adalah mengurangi kecepatan pada saat mengemudi serta memperhatikan jarak kendaraan nya. Namun pada kenyataannya pengemudi tidak selalu waspada saat menghadapi kondisi cuaca berkabut. Teori tersebut sangat relevan dengan hasil analisis penelitian yang menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara kondisi cuaca dengan

safety driving.

(70)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan dari hasil dan pembahasan penelitian faktor-faktor yang berhubungan dengan safety driving pada pengemudi mobil tangki Terminal BBM Medan Group Labuhan Deli Tahun 2011, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

6.1 Kesimpulan

1. Safety driving pada pengemudi mobil tangki PT Pertamina sebagian besar berada pada kategori baik.

2. Faktor-faktor yang berhubungan dengan Safety driving pada pengemudi mobil tangki antara lain:

• Kondisi jalan

Berdasarkan hasil penelitian,faktor kondisi jalan menunujukkan hubungan yang signifikan dengan safety driving yang artinya pengemudi memiliki kecenderungan untuk bertindak tidak aman pada saat kondisi jalan buruk.

• Kondisi cuaca

(71)

6.2 Saran

Berdasarkan pengamatan dan hasil penelitian yang dilakukan, safety driving

pada pengemudi mobil tangki sudah berada pada kategori baik. Namun perlu adanya upaya-upaya untuk mempertahankan dan bahkan meningkatkan hasil tersebut menjadi lebih baik lagi. Beberapa upaya yang direkomendasikan oleh peneliti, antara lain:

1. Pelaksanaan diklat (pendidikan dan pelatihan) mengenai safety driving pada pengemudi harus diberikan secara menyeluruh. Akan lebih baik apabila pada saat penerimaan pengemudi baru langsung dibekali dengan pemberian diklat safety driving sebelum pengemudi tersebut diberi tugas untuk mengemudi.

2. Perusahaan lebih mengontrol pengemudi saat diadakannya safety talk agar semua

pengemudi yang akan membawa kendaraan saat itu ikut hadir semua tanpa terkecuali dan mengikuti safety talk dengan baik.

3. Perusahaan perlu memperhatikan isi diklat safety driving apakah ada materi yang berhubungan dengan bagaimana cara yang aman menghadapi kondisi jalan dan kondisi cuaca buruk sehingga pengemudi lebih berhati-hati dalam mengemudi saat kondisi jalan dan kondisi cuaca buruk.

4. Diharapkan perusahaan dapat mengevaluasi pelaksanaan diklat safety driving

(72)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Keselamatan dan kesehatan kerja secara harfiah terdiri dari tiga suku kata, yaitu keselamatan, kesehatan, dan kerja. Keselamatan dalam bahasa Inggris disebut

safety yang berarti keadaan terbebas dari celaka dan hampir celaka (Geotsch dalam Rizky, 2009). Sedangkan kesehatan adalah dalam bahasa Inggris disebut health,

kesehatan menurut UU RI No. 36 tahun 2009 ialah “keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis.” Definisi terakhir ialah definisi mengenai kerja. Kerja dalam bahasa Inggris disebut work atau occupation yang berarti kegiatan atau usaha untuk mencapai tujuan (pengahasilan dan lain-lain) (Geotsch dalam Rizky, 2009).

Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) menurut Joint Committee ILO dan WHO ialah:

The promotion and maintenance of the highest degree of physical, mental, and social well being of in all occupations; the prevention among workers of

departures from health caused bt their working conditions; the protection of

workers in their employment from risks resulting from factors adverse to

health; the placing and maintenance of the worker in an occupational

environment adapted to his physiological equipment; to summarize: the

(73)

Menurut Budiono (2003), Keselamatan dan Kesehatan Kerja adalah: “Suatu ilmu multidisiplin yang menerapkan upaya pemeliharaan dan peningkatan kondisi lingkungan kerja, keselamatan dan kesehatan tenaga kerja serta melindungi tenaga kerja terhadap risiko bahaya dalam melakukan pekerjaannya serta mencegah terjadinya kerugian akibat kecelakaan kerja, penyakit akibat kerja, kebakaran, peledakan, dam pencemaran lingkungan.” Sedangkan menurut Depnaker RI (2005), Keselamatan dan Kesehatan Kerja adalah:

“Keselamatan dan kesehatan Kerja adalah segala daya upaya dan pemikiran yang dilakukan dalam rangka mencegah, mengurangi dan menanggulangi terjadinya kecelakaan dan dampaknya melalui langkah-langkan identifikasi, analisa, dan pengendalian bahaya secara tepat dan melaksanakan perundang-undangan tentang keselamatan dan kesehatan kerja” (Rizky, 2009).

Dari beberapa definisi tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa keselamatan dan kesehatan kerja adalah ilmu (berupa teori) dan seni (berupa aplikasi) dalam menangani atau mengendalikan bahaya dan risiko yang ada di atau dari tempat kerja, yang dapat menyebabkan gangguan kesehatan dan atau keselamatan pada pekerja maupun masyarakat sekitar lingkungan kerja (Tjipto, 2009).

2.2 Budaya Keselamatan dan kesehatan Kerja

(74)

perusahaan sebagai tempat kerja untuk melindungi pekerjanya dari bahaya kecelakaan kerja. Perilaku tidak aman adalah merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya kecelakaan kerja, hal ini menjadi penting untuk menghindari terjadinya kematian maupun kerugian yang ditimbulkan.

Berbagai pendekatan dimulai dari pendakatan rekayasa (engineering), pendekatan sistem manajemen (intregated safety management system) yang kemudian dilanjutkan dengan pendekatan perilaku (behavior based system) dilakukan oleh setiap manajemen perusahaan supaya setiap pekerjanya dapat selamat dan dapat menampilkan perilaku yang aman sehingga kondisi yang aman tersebut menjadi suatu kebiasaan sehari-hari atau budaya bagi setiap pekerja di tempat kerja tersebut.

Budaya keselamatan memiliki fokus utama pada aspek keyakinan normatif (normative belief) yang dimiliki seseorang atau bagaimana seseorang berfikir dan bertindak dalam hubungannya dengan masalah keselamatan. Sebelum tahun 1980 umumnya untuk melakukan pengembangan budaya dilakukan pendekatan secara struktural, karena dirasakan menjadi faktor penting untuk mencapai keberhasilan sehingga masalah pengorganisasian, prosedur dan penerapannya menjadi fokus utama untuk mengarahkan perilaku.

2.3 Kecelakaan Kerja 2.3.1 Pengertian Kecelakaan

(75)

menimbulkan cedera, kesakitan, kematian, dan kerusakan properti, atau kejadian lain yang tidak diinginkan, tetapi berpotensi untuk terjadi kecelakaan (Colling dalam Saputra, 2008).

Kecelakaan adalah suatu kejadian yang tidak direncanakan dan tidak terkendali akibat aksi atau reaksi dari sebuah benda, substansi, manusia, atau radiasi yang menimbulkan cedera atau berpotensi demikian (Heinrich dalam Rizky, 2009).

2.3.2 Kerugian Akibat Kecelakaan

Kerugian akibat kecelakaan ini terdiri dari kerugian langsung dan tidak langsung. Kerugian langsung meliputi penderitaan pribadi dan rasa kehilangan dari keluarga korban, sedangkan kerugian tidak langsung meliputi kerusakan material, hilangnya peralatan, biaya-biaya sebagai akibat kerugian tidak berproduksi, dan lain-lain (ILO dalam Saputra, 2008).

National Safety Council seperti yang dikutip oleh Asfahl (1990), membuat daftar kategori biaya tersembunyi akibat kecelakaan sebagai berikut:

1. Biaya dari upah yang harus dibayarkan akibat waktu yang hilang pada pekerja

yang tidak mengalami kecelakaan.

2. Biaya dari kerusakan material dan peralatan.

3. Biaya dari upah yang harus dibayarkan akibat waktu yang hilang pada pekerja yang mengalami kecelakaan.

4. Biaya ekstra dari kerja lembur yang dibutuhkan akibat kecelakaan.

(76)

6. Upah dari biaya oleh karena penurunan output dari pekerja yang cedera setelah

kembali bekerja.

7. Biaya selama pelatihan pekerja baru.

8. Biaya pengobatan yang harus ditanggung oleh perusahaan.

9. Biaya dari waktu yang dikeluarkan oleh pengawas dan rekan kerja lainnya dalam melakukan investigasi kecelakaan.

10. Biaya-biaya lain.

2.3.3 Rasio Kecelakaan

Dalam penelitiannya, Birds mengemukaan bahwa setiap satu kecelakaan berat disertai oleh 10 kejadian kecelakaan ringan, 30 kejadian kecelakaan yang menimbulkan kerusakan harta benda, dan 600 kejadian-kejadian hampir celaka. Biaya yang dikeluarkan perusahaan akibat kecelakaan kerja dengan membandingkan biaya langsung dengan biaya tidak langsung adalah 1 : 5-50, dan digambarkan sebagai gunung es (Suardi, 2005).

(77)

2.3.4 Penyebab kecelakaan

Dalam studi penelitian yang dilakukan oleh Heinrich terhadap 75 kasus kecelakaan dan menyebutkan ratio 88:20:2 nya yang terkenal. Hal ini berarti bahwa 88% dari semua kecelakaan tersebut disebabkan tindakan yang tidak aman. 10% karena kondisi yang tidak aman, dan 2% karena kondisi yang tidak dapat dicegah (McSween dalam Saputra, 2008).

Studi Du Pont’s terhadap kasus kehilangan hari kerja yang dialaminya selama periode 10 tahun menyimpulkan bahwa 96% kecelakaan disebabkan oleh tindakan tidak aman (McSween dalam Saputra, 2008).

2.3.5 Teori penyebab kecelakaan

(78)

Gambar 2.1. Teori Domino Heinrich (Sumber: Heinrich, 1980)

Teori ini menyatakan bahwa kecelakaan merupakan akibat dari peristiwa berurutan, kiasan seperti domino jatuh. Jika salah satu domino jatuh, itu akan memicu domino berikutnya jatuh sampai pada domino terakhir. Menghapus faktor kunci membantu mencegah terjadinya reaksi berantai. Heinrich menyoroti domino ketiga sebagai kunci domino. Ini adalah faktor diwakili domino secara berurutan. Faktor-faktor yang berkaitan dengan terjadinya kecelakaan kerja antara lain:

1. Situasi kerja

Situasi kerja berkaitan dengan kondisi lingkungan kerja yang mempengaruhi produktivitas pekerja. Situasi kerja yang dimaksud meliputi:

a. Pengendalian manajemen yang kurang b. Standar kerja yang minim

c. Lingkungan kerja yang tidak memenuhi standar

(79)

2. Kesalahan orang

Kesalahan orang meliputi:

a. Keterampilan dan pengetahuan pekerja yang minim b. Masalah fisik dan mental

c. Motivasi yang minim atau salah penempatan d. Perhatian yang kurang

3. Tindakan tidak aman

Kesepakatan domino ketiga heinrich dengan penyebab langsung terjadinya kecelakaan. Heinrich merasa bahwa tindakan tidak aman dan kondisi tidak aman merupakan faktor utama penyebab terjadinya kecelakaan kerja. Kondisi lingkungan kerja yang dimaksud seperti:

a. Tidak mengikut i metode kerja yang telah disetujui b. Mengambil jalan pintas

c. Menyingkirkan atau tidak menggunakan perlengkapan keselamatan kerja 4. Kecelakaan

Heinrich mendefinisikan kecelakaan sebagai kejadian yang sudah umum terjadi di lingkungan kerja.

a. Kejadian yang tidak terduga

b. Akibat kontak dengan mesin atau listrik yang berbahaya c. Terjatuh

(80)

5. Cedera/kerusakan

Cedera atau kerusakan terhadap pekerja dibedakan menjadi:

a. Terhadap pekerja yang meliputi sakit dan penderitaan, kehilangan pendapatan, kehilangan kualitas hidup

b. Terhadap majikan meliputi kerusakan pabrik, pembayaran kompensasi, kerugian produksi, dan kemungkinan proses pengadilan (Ridley, 2006)

2.4 Tindakan Tidak Aman

2.4.1 Pengertian Tindakan Tidak Aman

Menurut Heinrich seperti yang dikutip oleh Bayu Dwinanda (2007), tindakan tidak aman adalah tindakan atau perbuatan dari seseorang atau beberapa orang pekerja yang memperbesar kemungkinan terjadinya kecelakaan terhadap pekerja.

Tindakan tidak aman yang sering dijumpai antara lain:

a. Menjalankan yang bukan tugasnya, gagal memberikan peringatan. b. Menjalankan pesawat melebihi kecepatan.

c. Melepaskan alat pengaman atau membuat alat pengaman tidak berfungsi. d. Membuat peralatan yang rusak.

e. Tidak memakai alat pelindung diri. f. Memuat sesuatu secara berlebihan.

g. Menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya. h. Mengangkat berelebihan.

i. Posisi kerja tidak tepat.

(81)

k. Bersenda gurau. l. Bertengkar.

m. Berada dalam pengaruh alkohol atau obat-obatan.

2.4.2. Macam-macam Tindakan Tidak Aman

Secara umum, HFACS (Human Factors Analysis and Classification System) mengklasifikasikan tindakan tidak aman (unsafe acts) menjadi kesalahan (errors) dan pelanggaran (violations). Kesalahan adalah representasi dari suatu aktivitas mental dan fisik seseorang yang gagal mencapai sesuatu yang diinginkan. Pelanggaran disisi lain mengacu pada niat untuk mengabaikan petunjuk atau aturan yang telah diciptakan untuk melakukan suatu tugas tertentu (Wiegman, 2007).

Kesalahan manusia yang paling dasar dapat dibagi menjadi tiga, yaitu kesalahan memutuskan (decision errors), kesalahan sebab kemampuan (skill based errors), dan kesalahan perceptual (perceptual errors). Sedangkan pelanggaran terdiri atas rouitine violations dan exceptional vilolations (Wiegman, 2007).

Menurut Rasmussen, ada tiga jenjang kategori kesalahan yang dapat terjadi pada manusia, yaitu:

1. Salah sebab kemampuan (skill-based error)

(82)

2. Salah sebab aturan (rule-based error)

Adalah suatu kesalahan manusia karena tidak melakukan aktivitas yang seharusnya dilakukan atau melakukan aktivitas yang tidak sesuai dengan apa yang seharusnya dilakukan.

3. Salah sebab pengetahuan (knowledge-based error)

Adalah kesalahan manusia yang disebabkan karena tidak memiliki pengetahuan yang dibutuhkan untuk memahami situasi dan membuat keputusan untuk bertindak atau melakukan aktivitas (Saputra, 2008).

2.5 Perilaku

2.5.1 Pengertian perilaku

Dalam pengertian umum perilaku adalah segala perbuatan atau tindakan yang dilakukan mahluk hidup dan pada dasar nya perilaku dapat diamati melalui sikap dan tindakan. Namun demikian tidak berarti bahwa perilaku hanya dapat dilihat dari sikap dan tindakannya. Perilaku juga bersifat potensial, yakni dalam bentuk pengetahuan, motivasi dan persepsi (Notoatmodjo, 2003).

(83)

Skinner seorang ahli psikologi, merumuskan bahwa perilaku merupakan proses atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Oleh karena perilaku ini terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap organisme, dan kemudian organisme tersebut merespons, maka teori Skinner ini disebut teori “S-O-R” atau Stimulus-Organisme-Respons. Skinner membedakan adanya dua respons, yaitu: 1. Respondent response atau reflexive, yakni respons yang ditimbulkan oleh

rangsangan-rangsangan (stimulus) tertentu. Stimulus semacam ini disebut elicting stimulation karena menimbulkan respons-respons yang relatif tetap. Respondent response ini juga mencakup perilaku emosional.

2. Operant response atau instrumental respons, yakni respons yang timbul dan berkembang, kemudian diikuti oleh stimulus atau perangsang tertentu. Perangsang ini disebut reinforcing stimulation karena memperkuat atau reinforce, karena memperkuat respon.

Dilihat dari bentuk respons terhadap stimulus ini, maka perilaku dapat dibedakan menjadi dua:

1. Perilaku tertutup (covert behavior)

(84)

2. Perilaku terbuka (overt behavior)

Respons seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka. Respons terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktik, yang dengan mudah dapat diamati atau dilihat oleh orang lain.

2.5.2 Pembentukan Perilaku

Notoatmodjo (2003) menyebutkan faktor yang memegang peranan di dalam pembentukan perilaku, yaitu: faktor intern dan ekstern. Faktor intern berupa kecerdasan, persepsi, motivasi, minat, emosi, dan sebagainya untuk mengolah pengaruh-pengaruh dari luar. Faktor ekstern meliputi objek, orang, kelompok dan hasil-hasil kebudayaan yang dijadikan sasaran dalam mewujudkan bentuk perilakunya. Kedua faktor tersebut akan dapat terpadu menjadi perilaku yang selaras dengan lingkungan apabila perilaku tersebut dapat diterima oleh lingkungannya dan dapat diterima oleh individu yang bersangkutan.

(85)

2.5.3. Proses Perubahan perilaku

Terbentuknya dan perubahan perilaku manusia terjadi dikarenakan adanya proses interaksi antara individu dengan lingkungan melalui suatu proses yakni proses belajar. Oleh sebab itu, perubahan perilaku dan proses belajar itu sangat erat kaitannya. Perubahan perilaku merupakan hasil dari proses belajar (Soekidjo, 2003).

Proses pembelajaran yang terjadi pada diri individu terjadi dengan baik apabila proses pembelajaran tersebut menghasilkan perubahan perilaku yang relativ permanen. Dengan demikian dikatakan bahwa proses pembelajaran terjadi bila individu tersebut berperilaku, bereaksi dan menanggapi sebagai hasil dari pembelajarannya dengan cara yang berbeda dari individu tersebut berperilaku sebelumnya. Pada proses pembelajaran perubahan perilaku tersebut mencakup tiga komponen:

1. Pembelajaran melibatkan perubahan. Pada proses ini perubahan perilaku yang bersifat sementara akan mengembalikannya perilaku seperti semula.

2. Perubahan harus relatif permanen. Dalam perubahan perilaku sifat yang relatif permanen ini sangat diperlukan dalam upaya pencegahan kecelakaan kerja agar perilaku tidak aman yang biasanya dilakukan tidak diulangi lagi.

3. Perubahan menyangkut perilaku. (Robbin dalam rizky, 2009)

2.5.4 Faktor Penentu Perilaku

(86)

Hal ini berarti bahwa meskipun stimulusnya sama bagi beberapa orang, namun respon tiap-tiap orang berbeda. Faktor-faktor yang membedakan respon terhadap stimulus yang berbeda disebut determinan perilaku. Determinan perilaku dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:

1. Faktor internal, yaitu karekteristik orang yang bersangkutan yang bersifat bawaan, misalnya tingkat kecerdasan, tingkat emosional, jenis kelamin, dan sebagainya.

2. Faktor eksternal, yaitu lingkungan, baik lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, politik, dan sebagainya. Faktor lingkungan ini sering merupakan faktor yang dominan mewarnai perilaku seseorang. (Notoatmodjo, 2003)

2.6. Safety Driving

2.6.1 Pengertian Safety Driving

Mengemudi (driving) adalah kemampuan dalam mengendalikan dan bagaimana mengoperasikan suatu kendaraan, baik berupa bus, truk, sepeda motor, ataupun mobil (Wikipedia,2009).

Safety diving adalah perilaku mengemudi yang aman yang bisa membantu untuk menghindari masalah lalu lintas. Safety driving merupakan dasar pelatihan mengemudi lebih lanjut yang lebih memperhatikan keselamatan bagi pengemudi dan penumpang. Safety driving didesain untuk meningkatkan kesadaran pengemudi terhadap segala kemungkinan yang terjadi selama mengemudi.

(87)

juga mempunyai sikap mental positif yang menjauhkannya dari bahaya di jalan raya (Kompas, 28 Maret 2006).

Masih menurut Bintarto, pengemudi yang baik harus memakai 4 A, yaitu

alertness (kewaspadaan), awareness (kesadaran), attitude (tingkah laku), dan

anticipation (mengharapkan). Seorang pengemudi harus selalu mengharapkan sesuatu yang tidak diharapkan, sehingga akan selalu sadar dan waspada serta berhati-hati dalam bertingkah laku saat mengemudikan kendaraan.

a. Alertness (kewaspadaan)

Dengan memiliki keterampilan dalam safety driving, pengemudi akan mengetahui bagaimana cara mengendalikan mobil dan keluar dari kondisi bahaya yang ada pada saat itu, karena dalam safety driving juga diajarkan teknik khusus mengenai

over steering, under steering, dan recovery. Situasi seperti tergelincir, atau menghindari jalan berbatu terjal memerlukan teknik atau gerakan pengemudi yang khusus, dan ini bukan merupakan bagian yang dipersyaratkan untuk mendapatkan Surat Izin Mengemudi.

b. Awarness (kesadaran)

Gambar

Gambar 4.1. Diagram alir Proses Operasi Terminal BBM  Labuhan Deli Solar
Gambar 4.2. Struktur Organisasi Terminal BBM Medan Group
Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pengalaman Bekerja
Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Dua Kategori Tingkat
+7

Referensi

Dokumen terkait

Septian Andrianto (D1514100), PROSEDUR REKRUITMEN AWAK MOBIL TANGKI (AMT) PT PERTAMINA PATRA NIAGA TERMINAL BBM (TBBM) BOYOLALI (Dibawah bimbingan Dra. Sudaryanti,

Faktor-faktor yang yang berhubungan dengan kelelahan pengemudi bus diantaranya adalah faktor umur, durasi mengemudi, kondisi tubuh, waktu istirahat, dan status gizi atau

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa setiap pengemudi diharuskan untuk mengikuti pelatihan safety driving yang dilaksanakan oleh perusahaan secara rutin, mealui

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan stres kerja pada pengemudi mobil GRHA Trac Medan Tahun 2017.. Jenis penelitian yang digunakan

faktor-faktor apa sajakah yang berhubungan dengan stress kerja pada pengemudi. mobil GRHA Trac Medan

Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Stres Kerja pada Polisi Lalu Lintas di Polres Metro Jakarta Pusat Tahun 2013... Gambaran Keluhan Stres Kerja Pada Pengemudi

Tujuan khususnya ialah: (1) menganalisis faktor manusia pada kesiapsiagaan safety driving pengemudi mobil pribadi di rute Tol Cipali; (2) menganalisis faktor

Kuesioner “faktor-faktor yang Berhubungan dengan safety driving pada pengemudi mobil tangki Terminal BBM Medan Group PT Pertamina (Persero) Labuhan Deli tahun 2011”. Surat