• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab 6. Kesimpulan dan Saran

2. Saran

2.1 Bagi Pendidikan Keperawatan

Hasil penelitian ini diharapkan sebagai masukan dan informasi yang berguna bagi mahasiswa keperawatan dan institusi dalam meningkatkan asuhan keperawatan dibidang spiritualitas.

2.2 Bagi keluarga, Masyarakat dan Pengelola Panti

Keluarga sebagai orang yang terdekat sebagai lansia hendaknya mencurahkan segala perhatian kepada lansia, mengikutsertakan lansia dalam setiap kegiatan di keluarga walapun mereka tinggal di Panti. Karena hal ini dapat meningkatkan spiritualitas lansia. Kepada pihak yang bertugas mengelola panti diharapkan dapat meningkatkan tingkat kesejahteraan lansia terutama dalam bidang spiritualitas. Mengembangkan program kunjungan dan kariatif kepada lansia yang mengalami gangguan anggota gerak. Menciptakan suasana doa, serta menyediakan bahan bacaan rohani.

2.3 Bagi penelitian Selanjutnya

Pada penelitian ini, peneliti tidak mengkaji lebih dalam kebutuhan spiritual yang dibutuhkan oleh lansia, sehingga peneliti mengharapkan untuk penelitian selanjutnya perlu dilakukan pengembangan instrumen dengan bahasa yang mudah dimengerti oleh semua orang khususnya lansia. Selain itu peneliti juga menyarankan pada peneliti selanjutnya menggunakan desain kualitatif sehingga peneliti dapat menggali informasi lebih banyak tentang pemenuhan kebutuhan spiriual.

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

1. Spiritualitas

1.1 Defenisi Spiritualitas

Spiritualitas adalah keyakinan dalam hubungannya dengan yang Maha Kuasa dan Maha Pencipta (Hamid, 2008). Sebagai contoh seseorang yang percaya kepada Allah sebagai pencipta atau sebagai Maha Kuasa. Menurut Stanley dan Beare (2007) spiritualitas adalah hubungan transenden antara manusia dengan yang Maha Tinggi, sebagai kualitas yang berjalan di luar afiliasi agama tertentu, yang berjuang keras untuk mendapatkan penghormatan, kekaguman dan inspirasi dan yang memberi jawaban tentang sesuatu yang tidak terbatas. Spiritual telah di gambarkan sebagai sumber kekuatan dan harapan. Banks (1980 dalam Stanley dan Beare, 20007) menyebutkan bahwa spiritualitas sebagai kekuatan yang menyatukan, memberi makna pada kehidupan dan terdiri dari nilai-nilai individu, persepsi dan kepercayaan juga keterikatan diantara individu.

Mickley et al (1992 dalam Hamid, 2008) menguraikan spiritualitas sebagai suatu yang multidimensi, yaitu dimensi eksistensial dan dimensi agama. Dimensi eksistensial berfokus pada tujuan dan arti kehiduan, sedangkan dimensi agama lebih berfokus pada hubungan seseorang dengan Tuhan Yang Maha Penguasa.

Stoll (1998 dalam Hamid, 2009) juga menguraikan bahwa spiritualitas sebagai konsep dua dimensi, yaitu dimensi vertikal dan dimensi horizontal. Dimensi vertikal adalah hubungan dengan Tuhan yang Maha Kuasa atau Yang Maha Tinggi yang menuntun kehidupan seseorang. Sedangkan dimensi horizontal adalah hubungan seseorang dengan diri sendiri, dengan orang lain, dan dengan lingkungan.

Terdapat hubungan yang terus menerus antara dua dimensi tersebut. Aspek perilaku dari dari spiritualitas meliputi cara seseorang memanifestasikan kepercayaannya. Bentuk kebutuhan spiritulitas tersebut meliputi arti dan tujuan hidup, kepercayaaan, harapan, cinta dan pengampunan (Dewi, 2014).

Menurut Burkhardt (1993 dalam Hamid, 2008) spiritualitas meliputi aspek sebagai berikut: (1) berhubungan dengan sesuatu yang tidak diketahui atau ketidakpastian dalam kehidupan; (2) menemukan arti dan tujuan hidup; (3) menyadari kemampuan untuk menggunakan sumber dan kekuatan dalam diri sendiri dan dengan Yang Maha Tinggi.

Spiritualitas adalah bagian integral dari kesehatan dan kesejahteraan kaum usia lanjut, terutama disaat mereka menghadapi tantangan masa tua. Agama dan spiritualitas menyediakan bagi kaum lelaki dan perempuan strategi-strategi efektif dalam kasus-kasus kehilangan, kesulitan-kesulitan peersonal, stress, penyakit, pembedahan dan kematian (Young & Koopsen, 2007).

1.2 Teori-teori Spiritualitas 1.2.1 Teori teologis

Mendeskripsikan spiritualitas sebagai iman seseorang pada Tuhan yang diungkapkan melalui rumusan iman dan praktik keagamaan.

1.2.2 Teori psikologis

Spiritualitas merupakan ekspresi dari motivasi dan dorongan dalam diri manusia yang diarahkan pada kedalaman hidupnya dan pada Tuhan. Spiritualitas disebut juga sebagai usaha seseorang dalam mencari makna, tujuan dan arah hidup.

1.2.3 Teori sosiologi

Menurut sosiologi seseorang dapat dipengaruhi oleh orang-orang yang disekitarnya, ataupun oleh kelompok orang yang ada disekitarnya. Menurut sosiologi spiriualitas tidak hanya pada praktik spiritual dan ritual, tetapi juga sebagai moralitas sosial yang terdapat dalam relasi personal (Meraviglia,1999 dalam Young & Koopsen, 2007).

1.2.4 Teori kedokteran

Ilmu kedokteran hingga akhir ini, memberikan sedikit sekali perhatian pada dimensi spiritual, karena hal ini dianggap kurang berperan dalam proses penyembuhan. Akan tetapi, kini ilmu kedokteran memusatkan perhatian pada penjelajahan hubungan antara kebutuhan spiritual pasien dan aspek perawatan kesehatan tradisional. Mereka mulai menawarkan mata kuliah tentang spiritualitas, agam dan kesehatan (Hiatt,1986; Koenig et al,1999 dalam Young & Koopsen, 2007).

1.2.5 Teori keperawatan

Keperawatan melingkupi pandangan- pandangan yang telah disebut pada teori teologi, psikologi, sosiologi, dan kedokteran. Selain itu keperawatan juga memandang spiritualitas itu dari sudut pandang lain meliputi kesehatan spiritual, kesejahteraan spiritual, perspektif spiritual, transendensi diri, iman, kualitas hidup, harapan, kesalehan, tujuan hidup, dan kemampuan mengatasi masalah spiritual (Moraviglia, 1999 dalam Young & Koopsen, 2007)

1.3 Elemen Hakiki Spiritualitas

Agar dapat mengenali kebutuhan spiritual pasien dan menyelenggarakan perawatan kesehatan yang memadai, penyelenggaraan kesehatan harus memahami eleman spritualitas dan bagaimana elemen itu diekspresikan oleh orang yang berbeda-beda. Berikut ini dijelaskan elemen-elemen pokok spiritualitas:

1.3.1 Diri sendiri, Sesama, dan Tuhan

Relasi spiritual dengan diri sendiri, sesama, dan Tuhan dapat menjadi sumber penghiburan tak terbatas, seraya memberi dan daya yang menyembuhkan kepada pasien. Energi ini dapat bersifat timbal balik, mandalam dan kaya makna baik bagi penyelenggara perawatan kesehatan maupun pasien (Dyson et al, 1997; Walton,1996 dalam Young & Koopsen, 2007).

1.3.2 Makna dan tujuan Hidup

Pencarian akan makna dan tujuan hidup telah menjadi tema utama dalam spiritualitas. Burkhardt (1989) memberikan pengertian makna hidup sebagai suatu misteri yang selalu menyingkap diri. Kebutuhan akan tujuan dan makna hidup merupakan ciri universal dan bahkan menjadi hakikat hidup itu sendiri. Apabila seseorang tidak mampu menemukan tujuan dan makna hidupnya, seluruh aspek hidupnya akan rusak dan mengalami penderitaan karena kesepian dan kehampaan. Kemudian mengalami distress spiritual, dan akhirnya fisik (Burkhardt & Nagai- Jacobson, 2002 dalam Young & Koopsen, 2007)

1.3.3 Harapan

Orang yang memperhatikan hidup spiritual cenderung berpengharapan tinggi daripada sesamanya yang tidak memperhatikan hidup spiritual (Mahoney & Graci,1999 dalam Young & Koopsen, 2007). Seringkali dikatakan bahwa dimana ada hidup, disitulah ada harapan; akan tetapi, Kleindiest (1998 dalam Young & Koopsen, 2007) juga percaya bahwa, dimana ada harapan, disitu ada hidup.

1.3.4 Keterhubungan/keterkaitan

Spiritualitas juga melibatkan hubungan dengan seseorang atau sesuatu yang mengatasi diri sendiri. Orang atau sesuatu itu dapat menopang atau menghibur, membimbing dalam pengambilan keputusan, memaafkan kelemahan kita, dan merayakan perjalanan hidup kita (Spaniol,2002 dalam Young & Koopsen, 2007).

Spiritualitas juga diungkapkan dan dialami melalui saling keterhubungan dengan alam, bumi, lingkungan, dan kosmos. Seluruh rangkaian hidup ada dalam jejaring saling keterhubungan, apa yag terjadi pada bumi mempengaruhi tiap manusia, dan tiap perilaku manusia mempengaruhi bumi. Maka sangat penting untuk menyadari dan menghormati jejaring saling keterhubungan hidup (Dossey,1997; Spaniol, 2002 dalam Young & Koopsen, 2007)

1.3.5 Kepercayaan dan Sistem Kepercayaan

Iman dapat menjadi bagian penting dari kepercayaan seseorang dan keputusan yang dibuatnya dalam hidup. Iman yang bertumbuh selalu merupakan proses aktif dan berlangsung terus-menerus serta unik bagi masing-masing orang, karena tertanam dimasa lampau, sekarang, dan harapan akan masa depan (Carson, 1989 dalam Young & Koopsen, 2007)

1.4 Karakteristik Spiritualitas

Beberapa karakteristik yang meliputi hubungan spiritualitas antara lain adalah hubungan dengan diri sendiri, hubungan dengan alam, hubungan dengan orang lain, dan hubungan dengan Tuhan (Hamid, 2009).

1.4.1 Hubungan dengan diri sendiri

Hubungan ini merupakan kekuatan dalam diri seseorang yang meliputi pengetahuan diri yaitu siapa dirinya, apa yang dapat dilakukannya dan juga sikap yang menyangkut kepercayaan pada diri sendiri, kepercayaan pada masa depan, ketenangan pikiran, serta keselarasan dengan diri sendiri (Burkhdat, 1989 dalam kozier, Erb, Blais & Wilkinson. 1995).

1.4.1.1 Kepercayaan

Merupakan penerimaan individu terhadap kebenaran yang tidak dapat dibuktikan dengan pikiran logis. Kepercayaan memberikan kekuatan pada individu dalam menjalani kehidupan ketika individu mengalami kesulitan atau penyakit (Kozier, Erb, Blais &Wilkinson, 2004).

1.4.1.2 Harapan

Merupakan suatu proses interpersonal yang terbina melalui hubungan dengan orang lain dan Tuhan yang didasarkan pada kepercayaan. Harapan berperan penting dalam mempertahankan hidup ketika individu sakit (Kozier, Erb, Blais & Wilkinson, 2004).

1.4.1.3 Makna kehidupan

Merupakan suatu hal yang berarti bagi kehidupan individu ketika individu merasa dekat dengan Tuhan, orang lain dan lingkungan. Individu merasakan kehidupan sebagai sesuatu yang membuat hidup lebih terara, memiliki masa depan, dan merasakan kasih sayang dari orang lain. (Kozier, Erb, Blais & Wiklinson, 2004). 1.4.2 Hubungan dengan orang lain

Hubungan ini terdiri atas harmonis dan tidak harmonisnya hubungan dengan orang lain. Keadaaan harmonis meliputi pembagian waktu, pengetahuan dan sumber secara timbal balik, mengasuh anak, mengasuh orang tua, dan orag yang sakit, serta meyakini kehidupan dan kematian. Sedangkan kondisi yang tidak harmonis berkaitan dengan konflik terhadap orang lain dan resolusi yang menimbulkan ketidakharmonisan dan friksi (Burkhdat, 1989 dalam kozier, Erb, Blais & Wilkinson, 1995).

1.4.3 Hubungan dengan alam

Harmoni merupakan keadaan yang menggambarkan hubungan seseorang dengan alam yang meliputi pengetahuan tentang tanaman, pohon, margasatwa, iklim dan berkomunikasi dengan alam serta melindungi alam tersebut (Burkhdat, 1989 dalam Kozier, Erb, Blais & Wilkinson, 1995).

1.4.4 Hubungan dengan Tuhan

Pemenuhan kebutuhan spiritualitas berkaitan dengan hubungan dengan Tuhan dapat dilakukan melalui doa dan ritual agama. Doa dan ritual agama merupakan bagian terpenting dalam kehidupan sehari-hari individu dan memberikan ketenangan pada individu (Kozier, Erb, Blais & Wilkinson, 1995). Selain itu doa dan ritual agama dapat membangkitkan harapan dan rasa percaya diri pada seseorang yang sedang sakit dan dapat meningkatkan imunitas (kekebalan) tubuh sehingga mempercepat proses penyembuhan (Hamid, 2009). 1.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Spiritualitas

Faktor penting yang dapat mempengaruhi spiritualitas seseorang adalah pertimbangan tahap perkembangan, keluarga, latar belakang etnik dan budaya, pengalaman hidup sebelumnya, krisis, terpisah dari ikatan spiritual, isu moral terkait dengan terapi, serta asuhan keperawatan yang kurang tepat (Taylor, et al 1997 dalam Hamid, 2009).

1.5.1 Tahap Perkembangan

Setiap individu memilki bentuk pemenuhan spiritualitas yang berbeda- beda sesuai dengan usia, jenis kelamin, agama dan kepribadian individu. Semakin beratambah usia, individu akan memriksa dan membenarkan keyakinan spiritualitasnya (Taylor et al,1997 dalam Hamid 2009). Menurut Westerhoff’s (1976 dalam Kozier, et al, 1995), perkembangan spiritualitas berdasarkan usia terdiri dari:

1.5.1.1 Pada masa anak-anak

Spiritualitas pada masa ini belum bermakna pada dirinya. Spiritualiatas didasarkan pada perilaku yang didapat melalui interaksi dengan orang lain misalnya keluarga. Pada masa ini anak-anak belum mempunyai pemahaman salah atau benar. Kepercayaan atau keyakinan mengikutu ritual atau meniru orang lain. 1.5.1.2 Pada masa remaja

Spiritualitas pada masa ini sudah mulai pada keinginan akan pencapaian kebutuhan spiritualitas seperti keinginan melalui berdoa kepada penciptanya. Berdoa kepada sang Pencipta yang berati sudah mulai membutuhkan pertolongan melalui keyakinan atau kepercayaan. Bila pemenuhan kebutuhan spiritualitas tidak terpenuhi, akan menimbulkan kekecewaan.

1.5.1.3 Pada masa dewasa pertengahan dan lansia

Spiritualias pada masa ini yaitu semakin kuatnya kepercayaan diri yang dipertahankan walaupun menghadapi perbedaan keyakinan yang lain dan lebih mengerti akan kepercayaan dirinya. Perkembangan spiritualitas pada tahap ini lebih matang sehingga membuat individu mampu untuk mengatasi masalah dan menghadapi kenyataan.

1.5.2 Latar Belakang Etnik dan Budaya

Sikap keyakinan dan nilai dipengruhi oleh latar belakang etnik dan sosial budaya. Pada umumnya sesorang akan mengikuti tradisi agama dan spiritual keluarga. Apapun tradisi dan sistem kepercayaan yang dianut oleh individu, pengalaman spiritual merupakan hal yang unik bagi setiap individu (Hamid, 2009).

1.5.3 Keluarga

Keluarga sangat berperan dalam perkembangan spiritualitas individu. Keluarga merupakan tempat pertama kali individu memperoleh pengalaman dan pandangan hidup. Dari keluarga, individu belajar tentang Tuhan, kehidupan dan diri sendiri. Keluarga memiliki peran yang penting dalam memenuhi kebutuhan spiritualitas karena keluarga memiliki ikatan emosional yang kuat dan selalu berinteraksi dalam kehidupan sehari-hari dengan individu (Hamid, 2009).

1.5.4 Pengalaman Hidup Sebelumnya

Pengalaman hidup yang positif maupun negatif akan mempengaruhi spiritualitas seseorang. Pengalaman hidup mempengaruhi seseorang dalam mengartikan secara spiritual kejadian yang dialaminya. Pengalaman hidup yang menyenangkan dapat menyebabkan seseorang bersyukur atau tidak bersyukur. Sebagian besar individu bersyukur terhadap pengalaman hidup yang menyenangkan (Hamid, 2009).

1.5.5 Krisis dan Perubahan

Krisis dan perubahan dapat menguatkan spiritualitas pada seseorang. Krisis sering dialami seseorang ketika mengahadapi penyakit, penderitaan, proses penuaan, kehilangan, dan kematian. Perubahan dalam kehidupan dan krisis yang dialami seseorang merupakan pengalaman spiritualitas yang bersifat fisikal dan emosional.

Krisis dapat berhubungan dengan perubahan patofisiologi, terapi/pengobatan yang diperlukan, atau situasi yang mempengaruhi seseorang. Diagnosis penyakit atau penyakit terminal pada umumnya akan menimbulkan pertanyaan tentang sistem kepercayaan seseorang. Jika dihadapkan pada kematian, keyakinan spiritual dan keinginan untuk sembahyang/berdoa lebih tinggi dibandingkan pasien yang berpenyakit bukan terminal (Hamid, 2009). 1.5.6 Isu Moral Terkait dengan Terapi

Pada kebanyakan agama, proses penyembuhan dianggap sebagai cara Tuhan untuk menunjukkan kebesaranNya walaupun ada agama yang menolak intervesi pengobatan. Prosedur medik sering dapat dipengaruhi oleh penangajaran agama, misalnya sirkumsi, transplantasi organ, pencegahan kehamilan, sterilisasi. Konflik antar jenis terapi dengan keyakinan agama sering dialami oleh klien dan tenaga kesehatan (Hamid, 2009).

1.5.7 Asuhan Keperawatan yang Kurang Sesuai

Ketika memberikan asuhan keperawatan kepada klien, perawat diharapkan untuk peka terhadap kebutuhan spiritualitas klien, tetapi dengan berbagai alasan ada kemungkinan perawat menghindar untuk memberikan asuhan keperawatan spiritualitas. Hal tersebut terjadi karena perawat merasa kurang nyaman dengan kehidupan spiritualnya, kurang menganggap penting kebutuhan spiritualitas, tidak mendapatkan pendidikan tentang aspek spiritualitas dalam keperawatan atau merasa bahwa pemenuhan kebutuhan spirituaitas klien bukan merupakan tugasnya tetapi tanggung jawab pemuka agama (Hamid, 2009)

1.5.8 Agama

Agama sangat mempengaruhi spiritualiats individu. Agama merupakan suatu sistem keyakinan dan ibadah yang dipraktikkan individu dalam pemenuhan spiritualitas individu. Agama merupakan cara dalam pemeliharaan hidup terhadap segala aspek kehidupan. Agama berperan sebagai sumber kekuatan dan kesejahteraan pada individu (Potter & Perry, 2005).

1.6. Kebutuhan Spiritualitas

Setiap manusia mempunyai kebutuhan spiritual yang sama meliputi, kebutuhan akan arti dan tujuan hidup, kepercayaan, harapan, kebutuhan untuk mencintai dan berhubungan, serta kebutuhan untuk mendapatkan pengampunan (Dewi, 2014). Hamid (2009) menjelaskan tentang ekspresi kebutuhan spiritual yang Adaftif dan Maladaptif setiap manusia sperti pada tabel dibawah ini.

Tabel 1. Ekspresi Kebutuhan Spiritual yang Adaptif dan maladaptif

Kebutuhan Tanda pola atau perilaku

Adaptif

Tanda Pola atau Perilaku maladaptif

Rasa percaya Rasa percaya terhadap diri sendiri dan kesabaran Menerima bahwa yang lain akan mampu menerima kebutuhan

Rasa percaya terhadap kehidupan walaupun terasa berat

Keterbukaan terhadap tuhan

Merasa tiak nyaman dengan kesadaran diri

Mudah tertipu

Ketidakmampuan untuk terbuka terhadap orang lain Merasa bahwa hanya orang tertentu dan yempat tertentu yang aman

Mengharapkan orang tidak berbuat baik dan tidak tergantung

Tidak terbuka terhadap Tuhan

(Lanjutan tabel 1)

Kebutuhan Tanda pola atau perilaku adaptif

Tanda pola atau perilaku maladaptif

Kemauan memberi maaf

Menerima diri sendiri dan orang lain dapat berbuat salah Tidak mendakwa atau

berprasangka buruk

Memandang penyakit sebagai sesuatu yang nyata

Memaafkan diri sendiri Memberi maaf orang lain

Merasakan penyakit sebagai suatu hukuman

Merasa Tuhan sebagai penghukum

Merasa bahwa maaf diberikan hanya berdasarkan perilaku Tidak mampu menerima diri sendiri

Menyalahkan diri sendiri atau menyalahkan orang lain Mencintai dan

keterikatan

Mengekspresikan perasaaan dicintai oleh orang lain atau Tuhan

Mampu menerima bantuan Menerima diri sendiri

Mencari kebaikan dari orang lain

Takut bergantung pada orang lain

Menolak bekerja sama dengan tenaga kesehatan

Cemas berpisah dengan keluarga Tidak mampu mempercayai diri sendiri dicintai oleh Tuhan Keyakinan Ketergantugan pada anugerah

Tuhan

Termotivasi untuk tumbuh Mengekspresikan kebutuhan ritual

Mengekspresikan kebutuhan untuk merasa berbagi keyakinan

Mengekspresikan kebutuhan ambivalen terhadap Tuhan Tidak percaya pada kekuasaan Tuhan

Merasa terisolasi dari kepercayaan masyarakat sekitar Nilai keyakinan dan tujuan hidup yang tidak jelas

Kreativitas dan harapan

Meminta informasi tentang kondisi

Membicarakan kondisinya secara realistik

Mengekspresikan tentang harapan masa depan

Terbuka terhadap

kemungkinan mendapatkan kedamaian

Takut terhadap terapi Putus asa

Tidak dapat menolong atau menerima diri sendiri

Tidak dapat menikmati apapun Telah menunda pengambila keputusan yang penting

Arti dan tujuan hidup

Mengekspresikan kepuasan hidup

Menjalankan kehidupan sesuai dengan sistem nilai

Menerima atau menggunakan penderitaan sebagai cara untuk memahami diri sendiri

Mengekspresikan tidak ada alasan untuk bertahan Tidak dapat menerima arti penderitaan yang dialami

Mempertanyakan tujuan penyakit Tidak dapat merumuskan tujuan atau tidak mencapai tujuan

2. Lanjut Usia 2.1 Defenisi Lansia

Lansia dikatakan sebagai tahap akhir perkembangan pada daur perkembangan kehidupan manusia. Menurut Undang-Undang nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lansia disebutkan bahwa Lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia lebih dari 60 tahun (Dewi, 2014).

Manusia lanjut usia adalah seseorang yang karena usianya mengalami perubahan biologis, fisik, kejiwaan, dan sosial. Perubahan ini akan memberikan pengaruh pada seluruh aspek kehidupan, termasuk kesehatannya. Oleh karene itu perlu mendapat perhatian khusus dengan tetap dipelihara dan ditingkatkan agar selama mungkin dapat hidup secara produktif sesuai dengan kemampuannya sehingga dapat diukur serta berperan aktif dalam pembangunan (UU Kesehatan No. 23 tahun 1992 pasal 19 ayat 1, dalam Fatmah, 2010)

2.2 Klasifikasi Lansia

Depkes RI mengklasifikasikan lansia dalam beberapa kategori yaitu pralansia (prasenelis) seseorang yang berusia antara 45-59 tahun, lansia yang berusia 60 tahun atau lebih, lansia risiko tinggi yang berusia 70 tahun atau lebih/seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih dengan masalah kesehatan, lansia potensial yaitu lansia yang mampu melakukan pekerjaan dan/atau kegiatan yang dapat menghasilkan barang/jasa, dan lansia tidak potensial, lansia yang tidak berdaya mencari nafkah sehingga hidupnya bergantung pada orang lain.

Menurut organisasi kesehatan dunia (WHO) lanjut usia diklasifikasikan menjadi beberapa kelompok yaitu usia lanjut (60-74 tahun), usia lanjut tua (75-89 tahun), usia sangat tua (lebih dari 90 tahun).

Menurut Nugroho (2000, dalam Dewi, 2014), ditemukan beberapa macam tipe lansia:

2.2.1 Tipe arif bijaksana, lansia ini kaya dengan hikmah pangalaman, menyesuaikan diri dengan perubahan zaman, mempunyai kesibukan, bersikap ramah, rendah hati, sedehana, dermawan, memnuhi undanagna dan menjadi panutan

2.2.2 Tipe mandiri, lansia kini senang mengganti kegiatan yang hilang dengan kegiatan yang baru, selektif dalam mencari oekerjaan dan teman pergaulan, serta memenuhi undangan

2.2.3 Tipe tidak puas, lansia yang selalu mengalami konflik lahir batin, menentang proses penuaan yang menyebabkan kehilangan kecantikan, kehilangan daya tarik jasmani, kehilangan kekuasaan, status, teman yang disayangi, pemarah, tidak sabar, mudah tersinggung, menuntut sulit dilayani, dan pengkritik

2.2.4 Tipe pasrah, lansia yang selalu menerima dan menunggu nasib baik, mengikuti kegiatan beribadat, ringan kaki, melakukan berbagi jenis pekerjaan 2.2.5 Tipe bingung, lansia yang sering kaget, kehilangan kepribadian, mengasingkan diri, merasa minder, menyesal, pasif, acuh tak acuh.

2.3 Teori Proses Menua 2.3.1 Teori genetic clock

Menurut teori ini menua telah terprogram secara genetik untuk spesies- spesies tertentu. Jadi menurut konsep ini bila jam kita berhenti maka kita akan meninggal dunia, meskipun tanpa disertai kecelakaan lingkungan atau penyakit awal yang katastrofal. Namun secara teoritis dapat dimungkinkan memutar jam ini lagi meski hanya untuk beberapa waktu dengan penagruh-pengaruh dari luar, berupa peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit denagan obat-obat atau tindakan-tindakan tertentu.

2.3.2 Mutasi somatik (teori error Catastrophe)

Faktor peneyebab proses menua dalam hal ini adalah faktor lingkungan yang menyebabkan terjadinya mutasi somatik seperti radiasi dan zat kimia yang dapat memperpendek umur. Terjadinya mutasi yang progresif pada DNA sel somatik, akan menyebabkan terjadinya penurunan kemampuan fungsional sel tersebut (Suhana & Constantinides, 1994 dalam Darmojo & Martono, 2006). 2.3.3 Rusaknya sistem imun tubuh

Mutasi yang berubah atau perubahan protein pascatranslasi menyebankan berkurangnya kemampuan sistem imun tubuh mengenali dirinya sendiri (self recognition). Mutasi somatik menyebabkan kelainan pada antigen permukaan sel, maka hal ini dapat menyebabkan sistem imun tubuh menganggap sel yang mengalami perubahan tersebut sebagai sel asing dan menghancurkannya (Goldstein,1989 dalam Darmojo & Martono, 2006).

2.3.4 Teori menua akibat metabolisme

Perubahan yang disebabkan oleh kalori yang berlebihan atau kurangnya aktivitas. Perpanjangan umur karena penurunan jumlah kalori, menyebabkan menurunnya salah satu atau beberapa proses metabolisme yang menyebabkan penurunan penegeluaran hormon yang merangsang prolifersi sel, misalnya insulin dan hormon pertumbuhan (Mckay, et al, 1935 dalam Darmojo & Martono, 2006). 2.3.5 Kerusakan akibat radikal bebas

Dalam teori ini dijelaskan bahwa walaupun telah ada sistem penangkal dala sistem tubuh manusia, namun sebagian radikal bebas tetap lolos, bahkan makin lanjut usia makin banyak radikal bebas terbentuk sehingga proses pengrusakan terus terjadi, kerusakan organel makin lama makin banyak dan akhirnya sel mati (Oen,1993 dalam Darmojo & Martono, 2006).

3. Spiritualitas pada Usia Lanjut 3.1 Manfaat Spiritualitas dalam Penuaan

Spiritualitas dapat memberikan kenyamanan disaat kesendirian atau tekanan, pemulihan dari kecemasan dan memberikan suatu perasaan berarti, tujuan, produktivitas, dan integrasi diri. Ia dapat memberikan kepada lanjut usia suatukemampuan beradaptasi dengan lingkungan yang berubah seperti dari lingkungan rumah ke fasilitas perawatan di rumah sakit. Spiritualitas memberikan perasaa harga diri, dan ini adalah suatu daya yang penting untuk menanggulangi kegelisahan disaat sakit dan mempersiapkan diri menghadapi kematian (Fehring, Miller, & Shaw,1997; Isaia, et al,1999; Levin, Taylor & Chatters, 1994, dalam Young & Koopsen, 2007).

Meskipun fungsi fisik menurun setara dengan pertambahan usia, fungsi- fungsi spiritual tak perlu menurun. Iman memberikan orang yang lanjut usia suatu

Dokumen terkait