BAB III METODE PENELITIAN
H. Metode Analisa Data
2. Uji Linearitas
Uji linearitas dilakukan untuk melihat apakah hubungan antara variabel dependen dengan variabel independen bersifat garis lurus (Erlina, 2011). Uji linearitas dalam penelitian ini menggunakan uji F (test for linearity) dengan bantuan program SPSS version 17.0 for windows. Hubungan anatara variabel dikatakan linier jika p < 0.05
BAB IV
ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini akan diuraikan analisa data dan pembahasan sesuai dengan data yang diperoleh saat pengambilan data. Pembahasan akan diawali dengan memberikan gambaran umum mengenai subjek penelitian dan hasil dari penelitian hingga pembahasan.
A. ANALISA DATA
1. Gambaran Umum Subjek Penelitian
Subjek dalam penelitian ini adalah karyawan/karyawati di bidang Perkebunan yang telah menikah dan berjumlah 288 orang. Dari subjek penelitian tersebut, diperoleh gambaran subjek menurut usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, masa kerja dan jumlah anak.
a. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia
Berdasarkan usia diperoleh penyebaran subjek penelitian sebagai berikut:
Tabel 7
Gambaran subjek penelitian berdasarkan usia
Usia (tahun) Jumlah (N) Presentase
20-25 4 1.39% 26-31 17 5.90% 32-37 41 14.23% 38-43 78 27.09% 44-49 75 26.04% 50-55 73 25.35% Jumlah 288 100%
Pada tabel 7 terlihat bahwa subjek penelitian terbanyak adalah karyawan yang berusia 38-43 (27.08%), sedangkan subjek penelitian paling sedikit adalah karyawan yang berusia 20-25 tahun (1.39%).
b. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin
Berdasarkan jenis kelamin dari subjek penelitian, maka diperoleh gambaran sebagai berikut:
Tabel 8
Gambaran subjek penelitian berdasarkan jenis kelamin Jenis Kelamin Jumlah (N) Presentase
Laki-laki 210 72.92%
Perempuan 78 27.08%
Jumlah 288 100%
Pada tabel 8 diketahui bahwa jenis kelamin subjek penelitian terbanyak adalah laki-laki yakni berjumlah 210 orang (72.91%), sedangkan subjek penelitian dengan jenis kelamin perempuan berjumlah 78 orang (27.08%).
c. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Berdasarkan tingkat pendidikan diperoleh penyebaran subjek penelitian sebagai berikut:
Tabel 9
Gambaran subjek penelitian berdasarkan tingkat pendidikan Tingkat Pendidikan Jumlah (N) Presentase
Diploma 151 52.43%
S1 31 10.76%
S2 98 34.03%
S3 8 2.78%
Jumlah 288 100%
Pada tabel 9 terlihat bahwa tingkat pendidikan subjek penelitian terbanyak memiliki Diploma (51.73%), sedangkan yang paling sedikit adalah dengan tingkat pendidikan S3 (2.78%).
d. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Masa Kerja
Berdasarkan masa kerja dari subjek penelitian, maka diperoleh gambaran sebagai berikut:
Tabel 10
Gambaran subjek penelitian berdasarkan masa kerja Masa Kerja (tahun) Jumlah (N) Presentase
1-7 30 10.42% 8-14 86 29.86% 15-21 61 21.18% 22-28 67 23.26% 29-35 44 15.28% Jumlah 288 100%
Pada tabel 10 terlihat bahwa masa kerja subjek penelitian terbanyak adalah 8-14 tahun (29.51%), sedangkan subjek penelitian paling sedikit memiliki masa kerja 1-7 tahun (10.42%).
e. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Jumlah Anak
Berdasarkan jumlah anak dari subjek penelitian, maka diperoleh gambaran sebagai berikut:
Tabel 11
Gambaran subjek penelitian berdasarkan jumlah anak Jumlah Anak Jumlah (N) Presentase
0 25 8.68% 1 40 13.89% 2 98 34.03% 3 87 30.21% 4 34 11.80% 5 4 1.39% Jumlah 288 100%
Pada tabel 11 diketahui bahwa jumlah anak subjek penelitian terbanyak adalah 2 orang (34.03%), sedangkan subjek penelitian paling sedikit memiliki jumlah anak 5 orang (1.39%).
2. Hasil Penelitian
Berikut ini adalah gambaran hasil uji normalitas, uji linearitas dan hasil pengolahan data penelitian:
a. Hasil Uji Asumsi 1) Uji Normalitas
Uji normalitas pada skala happiness at work dan skala work-family conflict bertujuan untuk mengetahui sebaran variabel penelitian tersebut normal. Uji normalitas dilakukan dengan menggunakan uji one-sample Kolmogorov-Smirnov dengan bantuan SPSS version 17.0 for windows. Data dikatakan terdistribusi normal jika harga p > 0.05.
Tabel 12 Hasil uji normalitas
Variabel Z p Keterangan
Work-family conflict 1.324 0.060 Sebaran normal
Happiness at work 1.239 0,093 Sebaran normal
Berdasarkan tabel 12, diperoleh nilai Z work-family conflict = 1.324 dengan nilai p = 0.060, sedangkan nilai Z happiness at work = 1.239 dengan nilai p = 0.093. Variabel-variabel pada tabel di atas memiliki nilai p > 0.05, sehingga dapat disimpulkan bahwa persyaratan normalitas telah terpenuhi.
2) Uji Linearitas Hubungan
Uji linearitas digunakan untuk mengetahui hubungan antara variabel work-family conflict dengan happiness at work, apakah data variabel work-work-family conflict berkorelasi linear dengan variabel happiness at work. Uji linearitas dilakukan dengan menggunakan test for linearity dengan bantuan SPSS version 17.0 for windows. Variabel work-family conflict dapat dikatakan memiliki
hubungan linear dengan variabel happiness at work apabila memiliki nilai p < 0.05.
Tabel 13 Hasil uji linearitas
Variabel F Linearity Keterangan
Work-family conflict *Happiness at work
36.406 0.000 Hubungan linear
Berdasarkan tabel 13 diperoleh bahwa nilai p = 0.000 yang menunjukkan nilai p < 0.05. Hal ini berarti terdapat hubungan yang linear antara work-family conflict dengan happiness at work.
b. Hasil Utama Peneltian
Korelasi antar variabel dihitung dengan menggunakan metode korelasi Pearson Product Moment dengan menggunakan fasilitas komputerisasi SPSS version 17.0 for windows.
Tabel 14
Hasil korelasi work-family conflict dengan happiness at work Variabel Koefisien
Korelasi (r)
Taraf Signifikansi (p)
Keterangan
Work-family conflict dan Happiness at work
-.329 0.000 Hubungan negatif
Berdasarkan hasil perhitungan dan pengujian korelasi dengan menggunakan teknik Pearson Product Momen dan bantuan SPSS version 17.0 for windows, diperoleh hasil r = -.329 dan p < 0.01, yang berarti ada hubungan
negatif yang signifikan antara work-family conflict dengan happiness at work. Hubungan negatif yang signifikan dapat diartikan bahwa semakin tinggi tingkat work-family conflict maka semakin rendah tingkat happiness at work, dan sebaliknya semakin rendah tingkat work-family conflict maka semakin tinggi tingkat happiness at work.
c. Hasil Tambahan Peneltian 1). Deskripsi Data Penelitian
Jumlah aitem pada skala happiness at work yang digunakan dalam penelitian ini adalah 40 aitem dengan 5 alternatif pilihan jawaban, sedangkan jumlah aitem pada skala work-family conflict yang digunakan dalam penelitian ini adalah 20 aitem dengan 5 alternatif jawaban. Berikut perhitungan mean empirik dan mean hipotetik yang ditunjukkan pada tabel 15.
Tabel 15
Mean empirik dan mean hipotetik variabel happiness at work dan variabel
work-family conflict
Variabel Skor Empirik Skor Hipotetik
Min Maks Mean SD Min Maks Mean SD Happiness at work 113 190 153.33 12.39 40 200 120 26.67
Work-family conflict 36 67 49.43 5.47 20 100 60 13.33
Tabel 15 menunjukkan bahwa mean empirik variabel happiness at work sebesar 153.33 lebih tinggi dari mean hipotetik sebesar 120 sehingga dapat diketahui bahwa nilai happiness at work lebih tinggi dari populasinya. Sedangkan
hipotetiknya sebesar 60 sehingga dapat diketahui bahwa nilai work-family conflict lebih rendah dari populasinya.
2) Kategorisasi Skor Happiness at work dan Work-family conflict
Kategorisasi skor happiness at work dapat diperoleh dengan perhitungan mean skor hipotetik sebesar 120 dan standar deviasi sebesar 26.67 yang dibulatkan menjadi 27. Sedangkan kategorisasi skor work-family conflict dapat diperoleh dengan perhitungan mean skor hipotetik sebesar 60 dan standar deviasi 13.33 yang dibulatkan menjadi 13. Kategorisasi kedua kedua variabel tersebut dapat dilihat pada tabel 16 berikut ini:
Tabel 16
Kategorisasi skor happiness at work dan work-family conflict
Variabel Rentang Nilai Kategori Frekuensi Presentase
Happiness at work X < 93 Rendah 0 0% 93 ≤ X < 147 Sedang 78 27.08% X ≥ 147 Tinggi 210 72.92% Jumlah 288 100% Work-family conflict X < 47 Rendah 86 29.86% 47 ≤ X < 73 Sedang 202 70.14% X ≥ 73 Tinggi 0 0% Jumlah 288 100%
Berdasarkan tabel 16 dapat diketahui bahwa jumlah subjek yang memiliki tingkat happiness at work yang rendah adalah 0 orang (0%), jumlah subjek yang memiliki tingkat happiness at work yang sedang adalah 78 orang (27.08%), sedangkan jumlah subjek yang memiliki tingkat happiness at work yang tinggi adalah 210 orang (72.92%).
Tabel 16 juga menunjukkan bahwa jumlah subjek yang yang memiliki tingkat work-family conflict yang rendah adalah 86 orang (29.86%), jumlah subjek yang memiliki tingkat work-family conflict yang sedang adalah 202 orang (70.14%), sedangkan jumlah subjek yang memiliki tingkat work-family conflict yang tinggi adalah 0 orang (0%).
Untuk melihat penyebaran variabel dalam bentuk matriks kategori dapat ditunjukkan pada tabel 17 berikut:
Tabel 17
Matriks hubungan antar variabel dalam bentuk kategori
Happiness at work
Rendah Sedang Tinggi
Work-family conflict Rendah - - 15 5.2% 71 24.7% Sedang - - 59 20.5% 143 49.6% Tinggi - - - - Jumlah 288 (100%)
Matriks di atas menunjukkan bahwa hubungan variabel yang memiliki presentase terbesar terlihat pada work-family conflict dengan kategori sedang dan happiness at work pada kategori tinggi yang presentasenya mencapai 49.7%. Work-family conflict pada kategori sedang dan happiness at work pada kategori sedang sebanyak 59 orang (20.5%). Work-family conflict pada kategori rendah dan happiness at work pada kategori sedang sebanyak 15 orang (5.2%). Work-family conflict pada kategori rendah dan happiness at work pada kategori tinggi sebanyak 71 orang (24.7%).
3) Hubungan Dimensi-dimensi Work-family conflict dengan Happiness at
work
Hubungan dimensi-dimensi work-family conflict dengan happiness at work dilihat dari hasil korelasi Pearson pada tabel 18.
Tabel 18
Hasil korelasi ketiga dimensi work-family conflict dengan happiness at work Dimensi Work-family conflict Happiness at work
Time-based conflict -.458**
Strain-based conflict -.422**
Behavior-based conflict .090**
** p<0.01
Untuk mendapatkan dimensi work-family conflict yang menjadi penentu happiness at work, digunakan analisa regresi stepwise. Berdasarkan hasil analisa regresi stepwise, ada dua dimensi dari work-family conflict sebagai prediktor terhadap happiness at work. Kedua dimensi tersebut adalah time-based conflict dan strain-based conflict. Dari nilai koefisien determinasi (R² = 0.243),
menunjukkan bahwa kedua dimensi tersebut dapat menjelaskan 24.3% varian happiness at work. Ini berarti happiness at work dipengaruhi oleh kedua dimensi dari work-family conflict. Hasil analisa regresi dapat dilihat pada tabel 19.
Tabel 19
Hasil analisa regresi terhadap happiness at work B (Unstandardized Coefficients) Std. Error Beta (Standardized Coefficients) F t Constant 187.786 3.663 45.641 51.260** Time-based conflict -1.677 .340 -.320 -4.928** Strain-based conflict -1.060 .302 -.228 -3.514** ** p<0.01, R = .493; R2 = 0.243 B. PEMBAHASAN
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara work-family conflict dengan happiness at work dengan nilai r relaif kecil dan p < 0.01. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi tingkat work-family conflict seseorang maka semakin rendah tingkat happinessnya di tempat kerja, sebaliknya semakin rendah tingkat work-family conflict seseorang maka semakin tinggi tingkat happinessnya di tempat kerja.
Ada beberapa alasan yang dapat menjelaskan hubungan negatif antara work-family conflict dengan happiness at work. Pertama, karyawan yang bahagia adalah karyawan yang memiliki hubungan positif yang didasari oleh kepercayaan,
empati dan kasih sayang yang kuat. Adapun hubungan positif yang terjalin dapat diperoleh melalui interaksi dengan orang-orang penting di sekitar, termasuk keluarga dan rekan kerja. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Greenhaus dan Beutell (1985) bahwa kemunculan work-family conflict berkorelasi negatif terhadap hubungan baik individu dengan orang-orang yang berperan penting dalam hidupnya.
Kedua, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa work-family conflict merupakan salah satu faktor yang berperan dalam happiness karyawan. Work-family conflict terdiri dari konflik pekerjaan, yaitu konflik yang terjadi ketika aktivitas pekerjaan mengganggu tanggung jawab individu dalam keluarga, dan konflik keluarga, yaitu konflik yang terjadi ketika peran dalam keluarga mengganggu aktivitas pekerjaan. Sebagaimana dikemukakan oleh Byron (2005) bahwa konflik keluarga akan menyebabkan individu menjadi kurang berkonsentrasi di tempat kerja. Individu yang tidak fokus pada pekerjaannya akan menghasilkan performansi, produktivitas, loyalitas yang rendah dan hal tersebut merupakan ciri dari karyawan yang tidak bahagia di tempat kerjanya (Grzywacz, dkk, 2007).
Ketiga, menurut Harter, Schmidt dan Keyes (2002), tempat kerja (organisasi) merupakan salah satu hal yang menunjang happiness karyawan. Ketika suatu organisasi memberikan jam kerja yang terlalu panjang, maka karyawan akan menghabiskan lebih banyak waktu di tempat kerja. Bagi karyawan yang sudah berumah tangga, hal ini akan membuat mereka tidak lagi dapat memberikan waktu dan tenaganya untuk keluarga. Akibatnya, waktu berkumpul
dengan keluarga akan berkurang dan pemenuhan tuntutan keluarga menjadi terganggu. Jam kerja yang panjang akan memicu timbulnya work-family conflict (Burke, 1980; Greenhaus & Beutell, 1985).
Keempat, berdasarkan hasil tambahan, selaras dengan penelitian Carlson, Kacmar & Wiliams (2000) yaitu bahwa dimensi time-based conflict dan strain-based conflict berhubungan dengan berbagai faktor yang berbeda dalam pekerjaan, seperti pengaturan jam kerja, shift kerja, beban kerja dan job insecurity. Pada dimensi time-based conflict, waktu yang dihabiskan untuk bekerja (misalnya lembur) tidak hanya menguras energi, tetapi juga mengurangi waktu untuk berkumpul dengan keluarga. Akibatnya, waktu akhir pekan tidak lagi dapat menimbulkan efek positif pada kehidupan bekerja (Burchell, dkk, 2007; Steiber, 2009). Pada dimensi strain-based conflict, beban kerja yang berat dapat menciptakan kelelahan, stress kerja dan job insecurity yang mempengaruhi kehidupan pekerjaan seseorang. Job insecurity akan menimbulkan stress emosional dan mengancam kesejahteraan karyawan (Batt & Valcour, 2003; Steiber, 2009). Dalam penelitian ini dibuktikan bahwa dimensi time-based conflict dan strain-based conflict yang berhubungan dengan happiness at work.
Happiness at work pada subjek penelitian ini tergolong tinggi. Berdasarkan hasil penelitian, terdapat 210 orang (72.92%) berada pada kategori happiness at work yang tinggi, 78 orang (27.08%) berada pada kategori sedang, dan tidak ada subjek penelitian yang berada pada kategori rendah.
family conflict dalam kategori sedang. Hal ini berarti subjek cukup sering mengalami hambatan dalam memenuhi tuntutan pekerjaan dan keluarga namun hambatan tersebut masih dapat diatasi. Sementara itu, terdapat 86 orang (29.86%) yang berada dalam kategori rendah. Hal ini berarti subjek dapat memenuhi tuntutan pekerjaan dan keluarga sekalgus dengan maksimal tanpa hambatan. Pada penelitian ini tidak ada subjek yang berada dalam kategori work-family conflict yang tinggi.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
Pada bab ini diuraikan mengenai kesimpulan dari hasil penelitian, serta saran-saran yang dapat digunakan untuk penelitian yang berkaitan berikutnya.
A. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisa data penelitian, maka dapat diambil kesimpulan, yaitu:
1. Ada hubungan negatif antara work-family conflict dengan happiness at work pada karyawan perkebunan yang telah menikah. Semakin tinggi tingkat work-family conflict yang dialami seseorang maka semakin rendah happinessnya di tempat kerja. Sebaliknya, semakin rendah tingkat work-family conflict yang dialami seseorang maka semakin tinggi happinessnya di tempat kerja.
2. Mean dari skor happiness at work secara keseluruhan menunjukkan bahwa happiness at work yang dimiliki subjek penelitian lebih tinggi dari rata-rata populasi umumnya. Berdasarkan kategorisasi, ditemukan bahwa sebagian besar subjek penelitian memiliki happiness at work pada kategori tinggi, yaitu 210 orang.
3. Mean dari skor work-family conflict secara keseluruhan menunjukkan bahwa work-family conflict yang dimiliki subjek penelitian lebih rendah dari rata-rata populasi umumnya. Berdasarkan kategorisasi, ditemukan
bahwa sebagian besar subjek penelitian memiliki tingkat work-family conflict pada kategori sedang, yaitu 202 orang.
4. Tidak ada hubungan antara dimensi behavior-based conflict dengan happiness at work. Sementara itu, ada hubungan antara dimensi time-based conflict dan strain-time-based conflict dengan happiness at work. Hal ini berarti semakin rendah dimensi time-based conflict dan strain-based conflict pada work-family conflict maka semakin tinggi happiness at work.
B. SARAN
1. Saran Metodologis
Bagi peneliti yang tertarik melakukan penelitian mengenai work-family conflict dan happiness at work ataupun ingin mengembangkan penelitian ini, hendaknya memperhatikan hal-hal berikut ini:
a. Penelitian lanjutan diharapkan mencakup pengaruh faktor-faktor lain yang berkontribusi terhadap variabel penelitian, seperti usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, masa kerja dan jumlah anak.
b. Peneliti selanjutnya hendaknya menggunakan teknik pengambilan sampel random sampling dan mengambil sampel lebih banyak dan tidak terbatas pada bidang tertentu, sehingga hasil yang diperoleh dapat digeneralisasi secara lebih luas.
c. Penelitian selanjutnya hendaknya berusaha untuk mengkondisikan subjek penelitian untuk menghindari faktor ketidakseriusan dalam mengisi skala penelitian.
d. Peneliti yang tertarik meneliti work-family conflict, dapat meneliti lebih lanjut kaitan time-based conflict dan strain-based conflict dengan happiness at work.
2. Saran Praktis
a. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa work-family conflict berhubungan negatif dengan happiness at work. Untuk memperkecil kemungkinan munculnya work-family conflict, karyawan yang telah menikah sebaiknya tetap bijaksana dalam menyeimbangkan pemenuhan tuntutan peran pekerjaan dan keluarga. b. Pembagian jam kerja dan beban kerja yang proporsional sebaiknya tetap dipertahankan oleh perusahaan. Dengan demikian, karyawan dapat membagi waktu antara pekerjaan dan keluarga dengan seimbang.
c. Perusahaan sebaiknya tetap mempertahankan keseimbangan job-description dengan kemampuan karyawan sehingga karyawan tetap menghasilkann produktivitas yang tinggi dan hal ini merupakan cirri karyawan yang bahagia di tempat kerjanya.
d. Karyawan hendaknya tetap menjalin kerjasama yang baik dengan rekan kerja dan atasan karena suasana kerja yang positif akan menjadikan karyawan lebih bahagia di tempat kerja.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. HAPPINESS
1. Definisi Happiness
Diener dan Diener (2008) menjelaskan happiness sebagai subjective well being (kesejahteraan subjektif), yang berarti suatu bantuk evaluasi yang efektif dari kehidupan individu yang ditandai dengan sehat secara fisik, meningkatnya keterampilan dan hidup lebih lama (Lyubomirsky, King &Diener, 2003; Linley & Joseph, 2004). Happiness dalam hal ini terdiri dari dua komponen utama, yaitu penilaian tentang kepuasan hidup (life satisfaction) dan mengenai sejauh mana emosi positif individu (positive affect) mampu melebihi emosi negatifnya (negative affect) (Diener 1984; Christopher, 1999).
Ryff (1989) mendefinisikan happiness sebagai psychological well being (kesejahteraan psikologis), yang berarti suatu keadaan individu yang dapat menerima kekuatan dan kelemahan diri apa adanya, memiliki hubungan positif dengan orang lain, mampu mengarahkan tingkah lakunya sendiri, mampu mengatur lingkungan, memiliki tujuan dalam hidupnya dan mampu mengembangkan potensi dirinya secara berkelanjutan (Ryff & Singer, 1996; Winefield, Gill, Taylor & Pilkington, 2012). Happiness dipandang sebagai suatu komponen yang menekankan pada pengalaman positif dari perkembangan dan adaptasi individu (Ryff, 1989; Pudrovska, Springer & Hauser, 2005). Happiness
juga didefinisikan sebagai suatu emosi positif yang dimiliki individu dan berlangsung lama sehingga individu dapat melakukan keberfungsiannya dalam kehidupan sehari-hari (Huppert, 2009).
Happiness dipandang sebagai suatu keadaan yang di dalamnya terdapat interaksi antara individu dengan dunia sosialnya demi mendapatkan kesehatan, keamanan, pendapatan dan lingkungan yang baik (Perri, 2002; Hird, 2003). Selanjutnya, happiness merupakan gambaran kualitas kehidupan yang ingin dicapai seseorang melalui aktualisasi kemampuan mereka (Emerson, 1985; Hird, 2003).
Happiness juga didefinisikan sebagai suatu keadaan yang ditandai dengan peningkatan potensi diri individu dan pengarahkan kognisi pada hal yang positif sehingga berkontribusi terhadap emosi yang positif (Ryan & Deci, 2001; Huppert, 2009). Sementara itu, Razulzada (2007) menjelaskan happiness sebagai suatu kualitas keberfungsian psikilogis dan sosial individu yang ditandai dengan perilaku yang baik, hubungan interpersonal yang baik dan proses pengambilan keputusan yang baik.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa happiness adalah gambaran kualitas yang dicapai ketika individu dapat menerima kekuatan dan kelemahan diri apa adanya, memiliki hubungan positif dengan orang lain, mampu mengatur lingkungan, mampu mengarahkan tingkah lakunya sendiri, memiliki tujuan hidup, mampu mengembangkan potensi dirinya secara berkelanjutan dan merasakan kepuasan dalam hidupnya sehingga dapat melakukan
2. Happiness at work
Harter, Schmidt dan Keyes (2002) menjelaskan bahwa happiness at work adalah suatu keadaan yang tampak ketika karyawan memiliki loyalitas, kepuasan kerja, daya tahan dan produktivitas yang tinggi sehingga dapat menuntun organisasi dalam mencapai tujuannya. Selanjutnya, happiness at work dimaknai sebagai suatu keadaan yang berkontribusi positif dengan produktivitas suatu organisasi (Spector, 1997; Keyes, Hysom & Lupo, 2000). Artinya ketika karyawan dalam suatu organisasi bahagia di tempat kerjanya, maka produktivitas organisasi tersebut juga akan meningkat.
Happiness at work juga didefinisikan sebagai suatu keadaan yang meliputi perasaan positif yang diperoleh karyawan dari pemikirannya yang baik dan dapat membuatnya menjadi lebih kreatif, lebih interaktif dengan rekan kerjanya dan lebih sehat secara fisik dan mental (Fredrickson, 2001; Wright, Cropanzano & Bonett, 2007).
Menurut De Vita (2010), happiness at work adalah suatu kualitas keadaan yang dicapai ketika individu memaksimalkan potensi kinerjanya berdasarkan 5C, yaitu contribution (kontribusi), conviction (keyakinan), culture (kebudayaan), commitment (komitmen) dan confidence (kepercayaan diri). Selanjutnya, happiness at work dimaknai sebagai suatu keadaan individu yang lebih termotivasi, terlibat di tempat kerja, memiliki energi positif, menikmati pekerjaan yang diberikan dan cenderung bertahan dalam suatu perusahaan (Berger, 2010).
Berdasarkan uraian definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa happiness at work adalah suatu keadaan yang di dalamnya terdapat perasaan positif yang membuat karyawan menjadi lebih loyal, kreatif, produktif, termotivasi, percaya diri, sehat secara fisik dan mental sehingga tujuan organisasi dapat tercapai dengan baik.
3. Dimensi Happiness
Ryff (1989) mengidentifikasikan enam dimensi happiness, yaitu a. Penerimaan diri
Dimensi ini merupakan ciri utama dalam aktualisasi diri, kesehatan mental yang baik dan keberfungsian yang optimal. Individu yang memiliki tingkat penerimaan diri yang baik ditandai oleh sikap positif terhadap diri sendiri, menerima dan mengakui berbagai aspek kelebihan dan kekurangan dalam dirinya dan memandang pengalaman masa lalu sebagai hal yang positif (Ryff & Singer, 2008). Sebaliknya, individu yang tingkat penerimaan dirinya kurang baik akan merasa tidak puas dengan pengalaman masa lalunya dan tidak dapat menerima kelebihan dan kekurangan dirinya (Ryff & Singer, 2008).
b. Hubungan positif dengan orang lain
Dimensi ini menekankan pada hubungan yang hangat dengan orang lain. Ryff menekankan bahwa individu yang memiliki hubungan positif dengan orang lain ditandai dengan adanya hubungan yang berlandaskan rasa saling percaya, mengutamakan kesejahteraan orang lain, memiliki empati, kasih sayang dan keintiman dengan orang lain (Ryff & Singer, 2008). Demikian sebaliknya,
individu yang kurang memiliki hubungan positif dengan orang lain akan merasa kesulitan untuk menjalin hubungan yang akrab, sulit peduli dan percaya pada orang lain serta merasa terisolasi dalam hubungan interpersonal dengan orang lain (Ryff & Singer, 2008).
c. Otonomi
Dimensi ini berkaitan dengan kemandirian dan pengaturan perilaku secara internal. Individu yang memiliki tingkat otonomi yang tinggi memiliki kemampuan dalam mengatur perilakunya, mengambil keputusan, berpotensi untuk menolak tekanan sosial dengan cara tertentu, mampu mengevaluasi diri,