• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

6.2 Saran

Berdasarkan pembahasan dan kesimpulan yang telah diuraikan di atas, maka beberapa hal yang dapat direkomendasikan adalah sebagai berikut :

1. Meskipun pada penelitian ini tidak ditemukan hubungan yang signfikan antara DM tipe 2 dengan BPH, namun disarankan kepada masyarakat agar tetap menjaga pola hidup sehat dan menghindari faktor risiko untuk mencegah terjadinya BPH.

2. Bagi Petugas Kesehatan, diharapkan dalam mengisi data rekam medis hendaknya mengisi data dengan lengkap sehingga dapat memberikan gambaran informasi yang lebih luas bagi yang membutuhkan.

3. Bagi peneliti selanjutnya, diharapkan untuk melakukan penelitian lebih lanjut terhadap hubungan DM tipe 2 dengan kejadian BPH.

4. Peneliti selanjutnya juga disarankan untuk menggunakan data primer dan lebih memperhatikan variabel-variabel lain yang mungkin berpengaruh terhadap hubungan DM tipe 2 dengan BPH.

4

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Prostat

Prostat merupakan turunan dari endoderm primitif (gut tube). Prostat berkembang dari kaudal sampai ke leher kandung kemih melalui proliferasi tunas epitel yang memperluas keluar dari epitel sinus urogenital. Pembentukan prostat mulai terjadi pada minggu ke-10 kehamilan. Penting untuk dicatat bahwa paparan androgen tidak hanya dibutuhkan tetapi juga cukup untuk memicu diferensiasi prostat dan pertumbuhan prostat pada embrio. Meskipun stimulasi reseptor androgen melalui dihidrotestoteron (DHT) sebagai pemicu pertama dalam perkembangan prostat hanya menentukan waktunya, bukan lokasinya.14

Prostat yang normal memiliki volume sekitar 20 gram dengan panjang 3 cm, lebar 4 cm dan kedalamannya 2 cm. Kelenjar prostat berada di posterior simfisis pubis, superior membran perineal, inferior kandung kemih dan di anterior rektum.15

Gambar 2.1 Anatomi Prostat16

Prostat normal memiliki kelenjar-kelenjar dan stroma yang mengelilingi uretra. Parenkim prostat dapat dibagi menjadi beberapa daerah biologis yang berbeda, yaitu zona perifer, zona sentralis, zona transisional dan zona periuretra. Jenis lesi proliferasi berbeda di setiap tempat.17 Contohnya, zona transisional memiliki kecenderungan untuk mengalami BPH, sedangkan daerah perifer merupakan tempat yang paling sering menjadi kanker.14

5

2.2 Benign Prostatic Hyperplasia

2.2.1Definisi

Benign prostatic hyperplasia (BPH) merupakan kelainan urologi yang paling sering terjadi pada pria.18 Secara histologi, BPH mengarah ke proliferasi otot polos dan sel epitelial di zona transisional prostat.2 Kemudian, BPH sering didiagnosis dengan adanya pembesaran prostat dan obstruksi saluran kemih yang menyebabkan lower urinary tract symptoms (LUTS).19

2.2.2Insidensi dan Epidemiologi

BPH merupakan penyakit yang paling umum terjadi pada pria, dan insidensinya berhubungan dengan usia. Prevalensi BPH dari studi otopsi histologi meningkat sekitar 20% pada pria di usia 41 - 50 tahun, menjadi 50% pada pria berusia 51 - 60 tahun, dan lebih dari 90% pada pria berusia di atas 80 tahun.18

Faktor risiko perkembangan BPH sulit dipahami. Beberapa studi menyarankan predisposisi genetik dan beberapa lainnya mencatat perbedaan ras. Sekitar 50% pria berusia di bawah 60 tahun yang melakukan operasi BPH mungkin memiliki kecenderungan untuk menurun. Bentuk ini kemungkinan besar merupakan sifat dominan autosom.18

2.2.3Etiologi

Secara histologi, BPH dikarakteristikkan dengan peningkatan jumlah epitel dan sel stroma di area periuretra prostat. Etiologi molekular yang tepat dari proses hiperplastik ini tidak pasti. Peningkatan jumlah sel yang diamati mungkin disebabkan oleh proliferasi epitel dan stroma atau oleh karena gangguan program apoptosis yang mengarah ke akumulasi sel.20,21 Androgen, estrogen, interaksi stroma-epitel, growth factor, dan neurotransmiter mungkin memiliki peran, baik secara tunggal ataupun kombinasi dalam etiologi BPH.20

a. Peran Androgen

Kadar androgen yang tinggi dalam sirkulasi kemungkinan memiliki peran penting dalam etiologi BPH. Kadar testosteron dan dihidrotestosteron (DHT) endogen dan eksogen yang tinggi berhubungan dengan ukuran prostat selama

6

peningkatan stroma dan proliferasi sel epitel, juga dalam menghambat kematian sel.22

Testosteron diubah menjadi DHT oleh enzim 5-alfa reduktase (5AR). Enzim ini terbagi menjadi dua subtipe, yaitu 5AR tipe 1 dan tipe 2. Subtipe primer pada prostat adalah 5AR tipe 2. Pria yang defisiensi tipe ini tidak dapat mengkonversi testosteron intraprostat menjadi DHT.23

Data diatas menunjukkan bahwa sel stroma memiliki peran penting dalam pertumbuhan prostat dan bahwa enzim 5AR tipe 2 merupakan kunci dari langkah amplifikasi androgen.20

b. Peran Growth Factor

Growth factor merupakan molekul peptida kecil yang menstimulasi atau dalam beberapa kasus menghambat proses pembelahan dan diferensiasi sel. Interaksi antara growth factor dan hormon steroid dapat mengubah keseimbangan proliferasi sel dibandingkan kematian sel dalam menyebabkan BPH. Ada kemungkinan bahwa growth factor memainkan peran penting dalam patogenesis BPH.20

2.2.4Faktor Risiko

BPH merupakan penyakit multifaktorial.24 Dalam populasi, ada lima kategori besar faktor risiko BPH. Disamping usia, kategori lainnya adalah genetik, hormon seks steroid, faktor gaya hidup yang bisa dimodifikasi, dan inflamasi.25 1. Genetik

Sebuah analisis case-control, dimana partisipannya adalah pria dengan usia di bawah 64 tahun yang menjalani operasi BPH, mencatat peningkatan risiko empat kali lipat dan enam kali lipat dari operasi BPH antar kerabat dan saudara pada masing-masing kasus. Penelitian lebih lanjut memperkirakan bahwa 50% pria yang menjalani operasi BPH dengan usia di bawah 60 tahun memiliki kecenderungan untuk menurun. Temuan ini menunjukkan sifat autosomal dominan.18,25 Pria dengan BPH turunan cenderung memiliki prostat yang lebih besar dan onset usia yang lebih muda.25

7

2. Hormon Seks Steroid

Pada kejadian BPH, proliferasi sel mengarah ke peningkatan volume prostat dan peningkatan stroma tonus otot polos. Peningkatan proliferasi sel dan peningkatan stroma otot polos selanjutnya menyebabkan kompresi fisik terhadap uretra dan obstruksi mekanis terhadap jalan keluar saluran kemih. Di dalam sel sekretori prostat, hormon 5AR mengubah testosteron menjadi DHT. DHT memiliki peran penting dalam patogenesis BPH.25

3. Pola Hidup

a. Sindroma Metabolik dan Penyakit Kardiovaskular

Pada sebuah penelitian kohort, pria yang didiagnosa dengan komponen dari sindroma metabolik memiliki peningkatan prevalensi LUTS sebanyak 80% dibandingkan dengan mereka yang tidak memiliki komponen tersebut. Penelitian lain menunjukkan bahwa pria dengan penyakit jantung secara signifikan meningkatkan risiko klinis BPH dan LUTS.25 Penelitian terkini juga menunjukkan bahwa faktor risiko vaskular memiliki peran penting dalam perkembangan LUTS dan sebuah hipotesa menyatakan bahwa aterosklerosis merupakan faktor risiko dalam patogenesis BPH.24

b. Obesitas

Penelitian sebelumnya mengobservasi bahwa peningkatan adiposa memiliki hubungan positif dengan volume prostat, yaitu semakin besar jumlah adiposa, semakin besar pula volume prostat. Berat badan, indeks masa tubuh, dan ukuran pinggang semuanya memiliki hubungan positif dengan volume prostat pada banyak studi populasi.24,25

c. Diabetes dan Gangguan Homeostasis Glukosa

Gangguan dalam homeostasis glukosa pada tingkatan berbeda, mulai dari perubahan konsentrasi serum insulin growth factor untuk diagnosis klinis diabetes, berhubungan dengan kemungkinan pembesaran prostat, BPH, dan LUTS. Konsentrasi serum insulin-like growth factor-1 dan insulin-like growth factor binding protein-3 berhubungan dengan risiko BPH dan operasi BPH. Peningkatan serum insulin, dan peningkatan kadar gula darah puasa dinyatakan berhubungan dengan peningkatan ukuran prostat dan peningkatan risiko

8

pembesaran prostat, klinis BPH, operasi BPH, dan LUTS pada beberapa studi kohort berbeda yang dikumpulkan dari puluhan ribu orang.25 Diabetes juga dilaporkan berhubungan dengan keparahan gejala BPH yang lebih besar.24

d. Diet

Ada beberapa indikasi pada makronutrisi dan mikronutrisi dapat mempengaruhi risiko BPH dan LUTS. Pada makronutrisi, peningkatan asupan total energi, daging merah, lemak, susu dan produk susu, sereal, roti, daging unggas, dan pati memiliki potensial untuk meningkatkan risiko klinis BPH dan operasi BPH; buah-buahan, sayuran, asam linoleat dan vitamin D memiliki potensial dalam menurunkan risiko BPH dan LUTS. Kemudian pada mikronutrisi, sirkulasi konsentrasi vitamin E yang tinggi, selenium, dan karoten memiliki hubungan terbalik dengan BPH dan LUTS; zinc berhubungan dalam peningkatan dan penurunan risiko.24,25

e. Aktivitas Fisik

Peningkatan aktivitas fisik dan olahraga memiliki hubungan yang konsisten dengan penurunan risiko operasi BPH, klinis BPH, histologi BPH dan LUTS.25 4. Inflamasi

Kebanyakan penelitian observasional menunjukkan bahwa inflamasi berhubungan dengan perkembangan BPH dan LUTS. Dalam sebuah studi kohort komunitas, pria yang dilaporkan mengonsumsi NSAIDs setiap hari secara signifikan menurunkan risiko LUTS, laju aliran urin rendah, peningkatan volume prostat, dan peningkatan PSA.25

2.2.5Patofisiologi

BPH memiliki patofisiologi yang kompleks. Usia diasumsikan saling berhubungan dengan BPH.14,23 Hiperplasia prostat meningkatkan resistensi uretra yang menyebabkan terjadinya mekanisme kompensasi pada fungsi kandung kemih. Perubahan fungsi detrusor pada kandung kemih ini disebabkan oleh obstruksi, ditambah lagi oleh karena perubahan fungsi kandung kemih dan fungsi sistem saraf yang berhubungan dengan usia sehingga menimbulkan keluhan frekuensi berkemih, urgensi dan nokturia. Keluhan-keluhan ini merupakan

9

keluhan yang paling mengganggu sehubungan dengan BPH, sehingga patofisiologi BPH membutuhkan informasi yang lebih rinci mengenai disfungsi kandung kemih yang disebabkan oleh obstruksi.14

2.2.6Gejala Klinis

BPH bisa menyebabkan kompresi fisik pada uretra. Kompresi ini akan menyebabkan obstruksi saluran kemih melalui dua cara, yaitu dengan meningkatkan volume prostat, yang disebut sebagai komponen statis dan dengan meningkatkan tonus otot polos, yang disebut sebagai komponen dinamis. Obstruksi saluran kemih akan menyebabkan lower urinary tract symptoms

(LUTS).10

Gejala klinis BPH dapat dibagi menjadi gejala obstruktif dan gejala iritatif. Gejala obstruktif meliputi hesistensi atau kesulitan untuk mulai berkemih, pancaran urin yang melemah dan terputus-putus, sensasi pengosongan kandung kemih yang tidak komplit, berkemih ganda (berkemih yang kedua kalinya dalam waktu 2 jam setelah berkemih sebelumnya), mengedan saat berkemih, dan menetes pada akhir miksi. Kemudian, gejala iritatif meliputi urgensi atau kebutuhan mendesak untuk berkemih, frekuensi berkemih yang biasanya hanya dalam jumlah sedikit pada setiap episode, dan nokturia.7,18

2.2.7Diagnosa

Diagnosa BPH dapat ditegakkan melalui anamnesa, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang dan pencitraan (Imaging).

a. Anamnesa

Perhatian khusus pada fitur berikut ini penting untuk membuat diagnosa yang benar:

 Onset dan durasi gejala

 Masalah kesehatan umum (termasuk riwayat seksual)  Kebugaran untuk beberapa kemungkinan intervensi operasi

 Keparahan gejala dan bagaimana gejala mempengaruhi kualitas hidup  Medikamentosa

10

LUTS dievaluasi menggunakan International Prostate Symptoms Score

(IPSS).9,26 Berdasarkan IPSS, LUTS dikategorikan menjadi ringan dengan skor antara 0 - 7, sedang dengan skor antara 8 - 19, dan berat dengan skor antara 20 - 35.26

Gejala yang sering dikaitkan dengan BPH bisa disebabkan oleh proses penyakit lain. Jadi, anamnesa dan pemeriksaan fisik dibutuhkan untuk mengesampingkan etiologi LUTS lainnya.7

b. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan colok dubur merupakan bagian integral dari evaluasi pria yang diduga mengalami BPH. Selama pemeriksaan ini, ukuran prostat dan kontur dapat dinilai, nodul dapat dievaluasi, dan area sugestif keganasan dapat dideteksi. Prostat diperiksa menggunakan jari telunjuk tangan yang dominan. Jari ditempatkan melalui anus setelah sfingter anus relaksasi, dan prostat diraba secara melingkar. Hasil BPH biasanya merupakan pembesaran prostat yang lembut, tegas dan elastis.7

Gambar 2.2 Gambaran Pemeriksaan Colok Dubur27

Volumetrik yang lebih tepat dapat dibuat dengan menggunakan transrectal ultrasonography (TRUS) prostat. Penurunan tonus sfingter anus atau kurangnya refleks otot bulbokavernosus mungkin mengindikasikan gangguan neurologis yang mendasarinya.7

c. Pemeriksaan Penunjang

 Urinalisis – periksa urin dengan menggunakan metode dipstick atau via evaluasi sedimen yang disentrifugasi untuk menilai adanya darah, leukosit, bakteri, protein atau glukosa.

11

 Kultur Urin – hal ini mungkin berguna untuk menyingkirkan penyebab infeksi dari gejala iritatif dan biasanya dilakukan jika ditemukan indikasi abnormal pada urinalisis.

Prostate-Specific Antigen (PSA) - meskipun BPH tidak menyebabkan kanker prostat, pria dengan risiko BPH juga berisiko terhadap kanker prostat dan seharusnya diskrining. Pasien dengan prostat yang membesar mungkin memiliki kadar PSA sedikit lebih tinggi.

 Elektrolit, BUN, dan Kreatinin – evaluasi ini merupakan alat skrining yang berguna untuk pasien gagal ginjal kronis dengan volume Post voiding residual urine (PVR) tinggi. Pengukuran serum kreatinin rutin tidak diindikasikan untuk evaluasi awal terhadap pria dengan LUTS yang disebabkan oleh BPH.

Uroflowmetry – pemeriksaan pancaran urin selama proses berkemih. Pemeriksaan ini ditujukan untuk mendeteksi gejala obstruksi saluran kemih.7,9

d. Pencitraan (Imaging)

Ultrasonography (abdomen, renal, transrektal) dan intravenous urography

berguna untuk membantu menentukan ukuran kandung kemih dan ukuran prostat dan derajat hidronefrosis (jika ada) pada pasien retensi urin atau dengan gejala gagal ginjal. Secara keseluruhan, pemeriksaan ini tidak diindikasikan untuk evaluasi awal uncomplicated LUTS.

Transrectal ultrasonography (TRUS) prostat direkomendasikan pada pasien tertentu, untuk menentukan dimensi dan volume kelenjar prostat. Pada pasien dengan peningkatan kadar PSA, mungkin diindikasikan biopsi

TRUS-guided.

 Foto pada saluran atas diindikasikan pada pasien dengan dijumpainya hematuria bersamaan riwayat urolitiasis, peningkatan kadar kreatinin atau riwayat infeksi saluran kemih atas.

 Pemeriksaan foto lain seperti CT scanning dan MRI tidak memiliki peran penting terhadap evaluasi dan terapi uncomplicated BPH.7

12

2.2.8Penatalaksanaan

Tujuan terapi pada pasien BPH adalah memperbaiki kualitas hidup pasien. Pilihannya adalah: konservatif (watchful waiting), medikamentosa, pembedahan, dan lain-lain.9

1. Konservatif (Watchful Waiting)

Pilihan terapi ini ditujukan untuk pasien dengan skor IPSS < 7, yaitu keluhan ringan yang tidak mengganggu aktivitas sehari-hari. Pada terapi ini, pasien dapat diberikan penjelasan mengenai segala sesuatu hal yang mungkin dapat memperburuk keluhan, misalnya:

1. Jangan banyak minum dan mengkonsumsi kopi atau alkohol setelah makan malam,

2. Kurangi konsumsi makanan atau minuman yang menyebabkan iritasi pada kandung kemih (kopi atau cokelat),

3. Batasi penggunaan obat influenza yang mengandung fenilpropanolamin, 4. Jangan menahan kencing terlalu lama,

5. Penanganan konstipasi.

Pasien diminta untuk datang kontrol berkala (3-6 bulan) untuk menilai perubahan keluhan yang dirasakan, IPSS, uroflowmetry, maupun volume residu urin.9

2. Medikamentosa

Terapi ini diberikan pada pasien dengan skor IPSS >7. Jenis obat yang digunakan adalah:

a. α₁-blocker

Pengobatan dengan α₁-blocker bertujuan untuk menghambat kontraksi otot polos prostat sehingga mengurangi resistensi tonus leher kandung kemih dan uretra. Beberapa obat yang tersedia, yaitu terazosin, doksazosin, alfuzosin, dan tamsulosin yang cukup diberikan sekali sehari.9

b. 5α-reductase inhibitor (5ARI)

5ARI bekerja dengan cara menginduksi apoptosis sel epitel prostat yang kemudian mengecilkan volume prostat hingga 20 - 30%. Saat ini terdapat 2 jenis 5ARI yang dipakai untuk mengobati BPH, yaitu finasteride dan dutasteride.9

13

c. Antagonis Reseptor Muskarinik

Pengobatan dengan menggunakan obat-obatan antagonis reseptor muskarinik bertujuan untuk menghambat atau mengurangi stimulasi reseptor muskarinik sehingga akan mengurangi kontraksi sel otot polos kandung kemih. Beberapa obat antagonis reseptor yang terdapat di Indonesia adalah fesoterodine fumarate, propiverine HCL, solifenacin succinate, dan tolterodine I-tartrate.9 d. Phospodiesterase 5 Inhibitor (PDE 5-inhibitor)

PDE 5-inhibitor meningkatkan konsentrasi aktivitas dan cyclic guanosine monophosphate (cGMP) intraseluler, sehingga dapat mengurangi tonus otot polos detrusor, prostat, dan uretra. Saat ini di Indonesia terdapat 3 jenis PDE 5-inhibitor

yang tersedia, yaitu sildenafil, vardenafil, dan tadalafil.9 e. Terapi Kombinasi

α₁-blocker + antagonis reseptor muskarinik.

Terapi kombinasi ini bertujuan untuk memblok α₁-adrenoreceptor dan

cholinoreceptors muskarinik (M2 dan M3) pada saluran kemih bawah. Terapi kombinasi ini dapat mengurangi frekuensi berkemih, nokturia, urgensi, episode inkontinensia, skor IPSS dan memperbaiki kualitas hidup dibandingkan dengan

α₁-blocker atau plasebo saja.9 f. Fitofarmaka

Beberapa ekstrak tumbuh-tumbuhan tertentu dapat dipakai untuk memperbaiki gejala, tetapi data farmakologis tentang kandungan zat aktif yang mendukung mekanisme kerja obat fitoterapi sampai saat ini belum diketahui dengan jelas. Diantara fitoterapi yang banyak dipasarkan adalah: Pygeum africanum, Serenoa repens, Hypoxis rooperi, Radix urtica, dan masih banyak lainnya.9

3. Pembedahan

Indikasi tindakan pembedahan, yaitu pada BPH yang sudah menimbulkan komplikasi, seperti: retensi urin akut, gagal Trial Without Catheter (TwoC), infeksi saluran kemih berulang, hematuria makroskopik berulang, batu kandung kemih, penurunan fungsi ginjal yang disebabkan oleh obstruksi akibat BPH, dan perubahan patologis pada kandung kemih dan saluran kemih bagian atas.9

14

Indikasi relatif lain untuk terapi pembedahan adalah keluhan sedang hingga berat, tidak menunjukkan perbaikan setelah pemberian terapi non bedah, dan pasien yang menolak pemberian terapi medikamentosa.9

a. Invasif Minimal

- Transurethral Resection of the Prostate (TURP)

TURP merupakan tindakan baku emas pembedahan pada pasien BPH dengan volume prostat 30 - 80 ml. Secara umum, TURP dapat memperbaiki gejala BPH hingga 90% dan meningkatkan laju pancaran urin hingga 100%.9 - Laser Prostatektomi

Terdapat 5 jenis energi yang dipakai untuk terapi invasif BPH, yaitu: Nd:YAG, Holmium:YAG, KTP:YAG, Green Light Laser, Thulium:YAG (Tm:YAG), dan diode. Penggunaan laser pada terapi pembesaran prostat jinak dianjurkan pada pasien yang terapi antikoagulannya tidak dapat dihentikan.9 - Lain-lain

Tindakan invasif minimal lainnya adalah: Transurethral Incision of the Prostate (TUIP) atau insisi leher kandung kemih (bladder neck insicion), termoterapi kelenjar prostat dengan gelombang panas yang dihasilkan dari berbagai cara, seperti Transurethral Microwave Thermotherapy (TUMT),

Transurethral Needle Ablation (TUNA), dan High Intensity Focused Ultrasound

(HIFU), dan stent.9 b. Operasi Terbuka

Pembedahan terbuka dapat dilakukan melalui transvesikal (Hryntschack atau

Freyer) dan retropubik (Millin). Pembedahan terbuka dianjurkan pada prostat yang volumenya lebih dari 80 ml. Prostatektomi terbuka adalah cara operasi yang paling invasif dengan morbiditas yang lebih besar.2,9

2.3 Diabetes Mellitus Tipe 2 2.3.1Definisi

Diabetes mellitus (DM) merupakan sebuah sindroma hiperglikemia kronis oleh karena defisiensi insulin relatif, resistensi, atau keduanya.28 Menurut

15

merupakan bentuk yang paling umum dari diabetes. Pada DM tipe ini, tubuh tidak bisa menggunakan insulin dengan benar. Hal ini disebut sebagai resistensi insulin. Pada awalnya, pankreas akan memproduksi insulin ekstra untuk membantu tubuh. Namun seiring waktu, pankreas tidak mampu mengimbangi dan tidak dapat membuat cukup insulin untuk menjaga gula darah dalam kadar normal.29

2.3.2Insidensi dan Epidemiologi

Kedua prevalensi dan insidensi diabetes tipe 2 meningkat diseluruh dunia, terutama di Negara berkembang. Hal ini berhubungan dengan meningkatnya obesitas dan gaya hidup kebaratan.30 Diabetes tipe 2 berkisar antara 90 - 95% dari semua diabetes yang terjadi di United States, dan prevalensinya meningkat pada orang dewasa diseluruh dunia.31 Peningkatan prevalensi diabetes tipe 2 pada anak dan orang dewasa telah dilaporkan dibeberapa Negara lebih dari dua dekade. Onset yang lebih awal dari diabetes tipe 2 berhubungan dengan peningkatan risiko morbiditas dan mortalitas.32

2.3.3Etiologi dan Faktor Risiko

Etiologi dari DM tipe 2 muncul dengan melibatkan interaksi kompleks antara faktor lingkungan dan genetik.33,34 Penyakit ini kemungkinan berkembang ketika gaya hidup diabetogenik (misalnya, asupan kalori terlalu berlebihan, pengeluaran kalori tidak adekuat, obesitas) terlalu terpapar pada genotip yang rentan.33

Indeks masa tubuh (IMT) yang berlebihan meningkatkan risiko diabetes. Sekitar 90% pasien yang mengalami DM tipe 2 juga mengalami obesitas. Hipertensi dan prehipertensi yang berhubungan dengan diabetes lebih berisiko terhadap kulit putih daripada ras Afrika - Amerika.33

Disamping itu, lingkungan didalam uterus yang mengakibatkan berat badan lahir rendah dapat menjadi predisposisi beberapa individu untuk berkembang menjadi DM tipe 2. Beberapa studi menyarankan bahwa polutan lingkungan bisa memainkan peran dalam perkembangan dan progresi DM tipe 2.33

Faktor risiko dari diabetes tipe 2 adalah usia di atas 45 tahun (meskipun frekuensi kejadiannya meningkat pada usia muda), berat badan lebih dari 120%

16

berat badan yang diinginkan, riwayat diabetes tipe 2 dari keluarga dekat (contoh, orang tua atau saudara), riwayat impaired glucose tolerance (IGT) atau impaired fasting glucose (IFG) sebelumnya, kadar gula darah yang tinggi, hipertensi (>140/90 mmHg) atau dislipidemia (kadar kolesterol HDL < 40 mg/dL atau kadar trigliserida >150 mg/dL), riwayat diabetes mellitus gestasional, dan sindroma polikistik ovarium (yang menyebabkan resistensi insulin).33,35

2.3.4Gejala Klinis

Beberapa pasien dengan diabetes tipe 2 asimtomatik. Manifestasi klinis lainnya meliputi:

 Gejala klasik: poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan.  Penglihatan kabur

 Parestesi pada ekstremitas bawah  Keluhan lemah

 Gatal-gatal

 Luka sulit sembuh

 Pada wanita, keputihan dan sering melahirkan bayi besar dengan berat

badan ≥4 kg

 Infeksi jamur (contoh, balanitis pada pria).33,36

2.3.5Diagnosa

Diagnosa DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah. Diagnosa tidak dapat ditegakkan atas dasar glukosuria. Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM (poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan) dan keluhan lainnya seperti lemah badan, kesemutan, gatal-gatal, disfungsi ereksi pada pria serta pruritus vulva pada wanita.37

Diagnosa DM dapat ditegakkan melalui tiga cara, yaitu:

1. Jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu >200 mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM.

17

3. Tes toleransi glukosa oral (TTGO). Meskipun TTGO dengan beban 75 g glukosa lebih sensitif dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa, namun pemeriksaan ini memiliki keterbatasan tersendiri.37 Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM, bergantung pada hasil yang diperoleh, maka dapat digolongkan ke dalam kelompok toleransi glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT), yaitu:

1. TGT: Diagnosa TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO didapatkan glukosa plasma 2 jam setelah beban antara 140 - 199 mg/dL (7,8 - 11,0 mmol/L).

2. GDPT: Diagnosa GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa plasma puasa didapatkan antara 100 - 125 mg/dL (5,6 - 6,9 mmol/L) dan pemeriksaan TTGO gula darah 2 jam < 140 mg/dL.37

Tabel 2.1 Kriteria Diagnosa DM37

a. Gejala klasik DM + Glukosa plasma sewaktu ≥200 mg/dL (11,1 mmol/L). Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir.

Atau

b. Gejala klasik DM + Kadar glukosa plasma puasa ≥126 mg/dL (7,0

Dokumen terkait