• Tidak ada hasil yang ditemukan

KESIMPULAN DAN SARAN 5.1Kesimpulan

Pendekatan Antropologi Sastra, dilihat dari sejarahnya dapat dikatakan pendekatan sastra yang relatif baru dibanding dengan pendekatan sastra yang lain. Demikian juga pengamplikasiannya masih jarang ditemui. Secara ringkas pendekatan ini walaupun lebih memaknakan teks, namun makna konteks sangat membantu dalam penelaaahan teks.

Teks yang berupa mantra dan di sertai gerak syarat serta tahapan adalah bagian terpenting dalam Silat Lintau. Ia merupakan cerminan Melayu pada umumnya, yang memiliki watak tidak terlalu ambisi, tidak terburu-buru, dan mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan. Tidak hanya itu, makna-maknaya merupakan pengejawantahan dari jati diri masyarakatnya. Khususnya masyarakat di Kedatukan Batang Kuis Negeri Serdang. Adapun jati diri masyarakatnya beragama Islam, beradat istiadat, dan berbahasa Melayu.

Jati diri tersebut nampak dan jelas bermula dari jurus dasar Silat Lintau yang tidak menyerang terlebih dahulu melainkan menunggu serangan tanpa terburu-buru. Manakala syarat-syarat yang menyertai silat lintau berupa benda-benda keras, hewan, tumbuh-tumbuhan, benda lain, seperti air menunjukan keteguhan terhadap keyakinan, bahasa yang digunakan, dan adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat.

ayat-ayat suci, Surat Alfatiha, Tahlil, tahtim, An-nass, Al-falaq dan Dzikir. manakala sifat-sifat nabi yang ada di dalam teks, seperti nabi Sulaiman, nabi Daud, nabi Isa, nabi Musa, dan nabi Muhammad SAW.

Penelitian yang berlangsung di Kedatukan Batang Kuis tersebut menunjukan hasil bahwa jati diri masyarakat Melayu pengguna Silat Lintau membentuk masyarakat yang bersifat lebih sabar dan tidak serta-merta terbawa emosi sesaat, lalu dalam kehidupannya mereka cenderung menghindari sifat-sifat yang berkompetisi, menjauhi angan-angan yang tinggi, dan pantang mencari lawan, sifat-sifat tersebut berbeda dengan masyarakat yang tidak memenggunakan Silat Lintau. Walaupun pada umumnya ciri dari masyarakat Melayu tetap sama adalah menggunakan bahasa Melayu, beradat Resam, dan beragama Islam.

5.2 Saran-Saran

Kelemahan dari bela diri tradisional yang ada di Indonesia baik itu pencak silat, dan lain-lain khususnya Silat Lintau, ialah tidak memiliki modul, pada dasarnya modul sangat berpengaruh dalam minat seseorang untuk mempelajari dan mendalami seni bela diri tersebut, sebelum belajar dan berkecimpung dalam bela diri tersebut pastilah akan bertanya, berapa lama waktu yang di butuhkan untuk menguasai silat lintau.

Modul bukan hanya tata cara atau tutorial dalam mempelajari ilmu tersebut, melainkan juga kepastian jangka waktu yang di tentukan sampai mahir menggunakan silat. Sebagai contoh di luar negri seperti Tae Kwan Do dari Korea atau Kapoera dari Brazil, dalam mempelajari ilmu bela diri tersebut mereka menerapkan sistem paket memastikan kenaikan tingkat sabuk dalam beberapa bulan,

latihan serta pembelajaran seni bela diri juga tersusun rapi hingga mendongkrak minat dan popularitasnya.

Modul merupakan sistem pengajaran dan susunan waktu yang tepat untuk seorang guru mengajarkan ilmu bela diri tersebut, dengan di ciptakanya sistem

modul pada seni bela diri di Indonesia akan menimbulkan sistem ‘TOT’(Training Of Trainer) sudah pasti kemampuan seorang guru akan benar-benar di uji dan diakui,

TOT’ membuat seorang guru silat tidak hanya menyimpan ilmu seni bela diri tersebut hanya dalam kepalanya saja, tetapi juga ada modul dan buku yang membantunya mengingat setiap jengkal dari ilmu tersebut. Seseorang yang ingin belajar silat juga mendapat kepastian seberapa lama akan menguasai ilmu tersebut, lalu dengan begitu secara otomatis akan mendongkrak popularitas seni bela diri di Indonesia.

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1 Tradisi Kecendikiaan Sastra Melayu Tradisi

Syaifuddin (2014) mengemukakan, tradisi keintelektualan Melayu dapat dilihat pada kesusasteraan yang terdiri dari bentuk lisan dan tulisan. Bentuk lisan dan tulisan berkembang secara terus-menerus selaras dengan perkembangan zaman. Sastra lisan misalnya yang diturunkan dari satu generasi kepada generasi berikutnya melalui proses sosialisasi anggota masyarakat ia menjadi satu unsur local genius kebijaksanaan di suatu tempat. Ia juga memperhatikan kekreatifan dan kebijaksanaan berfikir anggota masyarakatnya sejak zaman belum mengenal tulisan.

Bentuk-bentuk sastra lisan itu misalnya cerita pelipur lara, cerita jenaka, cerita nasihat, cerita binatang, mitos, legenda, cerita asal-usul dan lain-lain. Bentuk- bentuk ucapan lisan yang lain seperti pantun, peribahasa, simpulan bahasa, pepatah- petitih, seloka, dan seumpamanya (yang kemudiannya didokumentasikan dalam bentuk tulisan), menampakkan ciri-ciri akal budi dan kebijaksanaan orang Melayu menangani segala sikap dan prilaku kehidupan yang dihasilkan oleh proses pengintelektualan orang Melayu sepanjang zaman.

Sejarah keagungan perkembangan pusat-pusat keintelektualan dan kesusasteraan Melayu yang bertulis mulanya pada era empayar Sriwijaya sekitar tahun 650-1200, Srivijaya merupakan pusat kebudayaan Melayu tertua yang memainkan peranan penting dalam perkembangan keintelektualan dan kesusasteraan Melayu tradisional. Walaupun karya-karya kesusasteraan zaman ini umumnya ditulis

dalam bahasa Sanskrit, namun terdapat juga bentuk penulisan dalam bahasa Melayu Kuno seperti yang tercatat di atas batu-batu bersurat. Walau bagaimanapun, hasil kesusasteraan yang bertulis di atas bahan-bahan yang lain tidak kedapatan atau ditemui.

Keagungan kerajaan Sriwijaya secara langsung telah mencetuskan perkembangan hasil-hasil kesusasteraan Melayu mengikut tahap perkembangan kerajaan dan kemampuan pengarang-pengarangnya di istana-istana raja Melayu. Istana-istana raja Melayu merupakan pusat kegiatan keintelektualan dalam tamadun Melayu Islam. Setelah Empayar Srivijaya muncul kerajaan Pasai sekitar tahun 1250- 1524, pada jaman Pasai kegiatan kesusasteraan pula lebih banyak dikaitkan dengan kegiatan kerajaan ini sebagai kerajaan Melayu yang pertama menerima dan memeluk agama Islam di Alam Melayu. Di sini muncul bahasa Melayu persuratan yang bertindak sebagai wahana atau alat untuk penyebaran agama dan kesusasteraan Islam, dan tulisan Jawi merupakan tulisan yang digunakan dalam kesusasteraan Melayu. Hasil-hasil kesusasteraan dipenuhi dengan ciri kesusasteraan agama khususnya sastera kitab, riwayat hidup Nabi Muhammad, cerita nabi-nabi, para sahabat, pahlawan dan sejarah seperti Hikayat Raja-Raja Pasai. Namun sastra lisan dan hasil karya pada zaman pengaruh Hindu masih dikekalkan.

Lalu perkembangan kesusastraan Melayu tidak berhenti di situ, beberapa kerajaan seperti Melaka sekitar tahun 1400-1511; diikuti kesusasteraan zaman Johor 1528-1779; kesusasteraan zaman Palembang sekitar tahun 1650-1824; kesusasteraan di Patani sekitar tahun 1500-1900; di Brunei bermula dengan pemerintahan sultan ketiganya yaitu Sultan Sharif Au (1425-143 2); dan di Riau sekitar tahun 1673

Ciri-ciri keintelektualan dan kesusasteraan Melayu memasuki abad ke-20 sehingga sekarang telah di pengaruhi oleh ideologi dan pemahaman barat yang membawa pengaruh sekularisme, nasionalisme, realisme dan humanisme dalam cara berfikir dan pengungkapan orang-orang Melayu, lalu di tambah lagi dengan kembalinya pengaruh kebangkitan Islam yang dipelopori oleh Syeikh Muhammad Abduh (1849-1905), Mufti Mesir (1888- 1889) yang bersama-sama dengan Jamaluddin al-Afghani (1838-1897) telah mempelopori gerakan Islam yang terkenal dengan nama Gerakan Salafiah dan menerbitkan majalah-majalah yang menganjurkan pemahaman islam di masa itu.

2.2 Jati Diri Masyarakat Melayu

Dalam batasan yang sebenarnya definisi masyarakat sendiri tidak berbentuk secara fisik, namun abstrak atau bersifat fiktif disebabkan karena hanya berupa gambaran saja sebab lembaga ini dapat dijumpai dimana saja tidak terbatas ruang dan waktu. Walau demikian lembaga tersebut tetap berpengaruh terhadap pembelajaran sosial yang setiap pribadi memiliki ikatan dalam kehidupan bermasyarakat, Arrasyid dkk (2008 : 11).

Masyarakat Melayu sendiri merupakan lembaga yang tradisinya bermula pada segi kosmologi, yang dahulunya berpegang pada mitos dan fantasi. Namun, seiring perkembangan zaman serta masuknya ajaran agama Islam membuat kosmologi yang baru, kepercayaan yang menjadi material dan empiris. Walau tidak begitu terikat dengan kosmologi yang baru filosopis jati diri masyarakat Melayu masih melekat dan dapat dijumpai melalui karya-karya sastra Melayu seperti pantun, gurindam, syair, manuskrip Melayu, dan khazanah sastra Melayu lainnya. Hingga

menghasilkan masyarakat Melayu yang berpagarkan adat istiadat bersendikan agama dan berpayungkan budaya sehingga terwujudnya etika serta estetika dalam dunia Melayu.

Jati diri manusia Melayu tergambar dari sifat dan prilaku dikehidupan bermasyarakat, ciri yang menyatakan tidak terikat oleh waktu, memiliki ambisi yang sederhana, keinginan dan tindakan yang terbatas, berpatok pada masa lalu, tidak begitu memandang masa depan, menjaga hubungan bermasyarakat bukan hidup untuk berkompetisi, memiliki rasa iri hati adalah sifat manusia Melayu. Sifat hidup di dunia hanya sebagai berziarah, tempat singgah sementara tidak serta-merta mengolah kehidupan dunia adalah sifat manusia Melayu yang telah dipengaruhi Islam. Orang Melayu akan menghindar saat terjadi perdebatan apalagi hingga terjadi kontak fisik yang menimbulkan permusuhan, mereka cenderung mengalah, memendamnya dalam hati untuk meredam amarah, lalu menjaga air muka orang dengan cara menyindir secara halus merupakan ciri dari orang Melayu.

2.3 Sastra dan Antropologi

Antropologi adalah kajian tentang seluk-beluk manusia yang mencakup beberapa aspek dalam kehidupan, sementara sastra adalah ungkapan pribadi manusia yang dituangkan dalam karyanya. Karya sastra itu merupakan sebuah karya imajinatif. Sebagai salah satu dari tiga ilmu “social humaniora” Antropologi Sastra jelas membahas permasalahan manusia dalam kehidupan bermasyarakat dalam aspek-aspek kebudayaan. Batas sastra dan antropologi sangat tipis. Kedua kajian tersebut berbeda pada permukaan namun esensinya sama. Banyak hal dalam karya sastra yang memuat aspek etnografi kehidupan manusia. Sebaliknya, tidak sedikit

Mengkaji manusia berarti mengamati dan mempelajari manusia dari semua bentuk segi kehidupan tak terkecuali jati diri manusia. Jati diri yang menonjol pada diri manusia akan mencerminkan prilaku dan watak manusia. Manusia yang kognitif akan menciptakan kemudahan bagi diri sendiri dan orang lain bukan sebaliknya.

2.4 Sejarah Antropologi Sastra

Dalam buku ‘Antropologi Sastra Peranan Unsur-unsur Kebudayaan dalam Proses Kreatif’’, karya Kutha Ratna, (2011 : 10) isu mengenai hubungan antara sastra dan antropologi pertama kali muncul dalam kongres ‘Folklore and Literary

Anthropology’ (Poyatos, 1988: xi-xv) yang berlangsung di Calcutta (1987) diprakarsai oleh Universitas Kahyani dan Museum India. Oleh karena itu, tidak secara kebetulan buku yang diterbitkan pertama kali diberikan subjudul ‘A new Interdisiplinary Approach to People, Signs, and Literature.’ Meskipun demikian Payatos, mengakui bahwa sebagai istilah baik sebagai antropologi sastra maupun sastra antropologi pertama kali dikemukakan dalam sebuah tulisannya yang dimuat

dalam semiotica (21:3/4 tahun 1977) berjudul “Form and Function of Nonverbal Communication in the Novel: A New Perspective of the Author-Character-Reader Relationship.” Dalam hubungan ini perlu disebutkan sebuah tulisan singkat berjudul

Toward an Anthropology of Literature” (Rippere, 1970) di dalamnya di jelaskan peranan bahasa dalam karya sastra, yaitu bahasa yang lebih banyak berkaitan dengan konteksnya terhadap realitas, sehingga makna bahasa jauh lebih luas dibandingkan dengan apa yang diucapkan.

Ada dua istilah yang muncul yakni antropologi sastra (Antropology of literature) dan sastra antropologi (Literary Antropology). Terdapat pada tulisan di buku karangan Kutha Ratna, dikaitkan dengan tujuan yang hendak dicapai dan

demikian isi yang terkandung di dalamnya, yang dibicarakan dalam antropologi sastra adalah analaisis karya sastra dalam kaitannya dengan unsur-unsur antropologi. Sebaliknya, sastra antropologi adalah analisis antropologi melalui karya sastra, atau analisis antropologi dalam kaitannya dengan unsur-unsur sastra.

Antropologi sastra, antropologi merupakan gejala sekunder, sebagai instrument, sebaliknya sastra antropologi yang menjadi gejala primer sekaligus instrument adalah karya sastra itu sendiri. Jadi, antropologi sastra adalah analisis dan pemahaman terhadap karya sastra dalam kaitannya dengan kebudayaan. Dalam perkembangannya juga mengikuti perkembangan sosiologi sastra yang semula hanya berkaitan dengan masyarakat yang ada dalam karya sastra kemudian meluas pada masyarakat sebagai latar belakang penciptaan sekaligus penerimaan.

Sastra dan Antropologi sudah jelas berkembang pesat, dalam waktu yang relatif lama. Meskipun demikian, perkembangan yang lebih signifikan kedua disiplin tampak jelas sejak ditemukannya teori-teori mutakhir awal abad ke-20. Perkembangan sastra dimulai sejak diperkenalkannya teori-teori formalisme dan strukturalisme tahun 1915 di dunia Barat. Di Indonesia teori-teori yang dimaksudkan mulai dikenal tahun 1960-an, sekaligus membedakan analisis terhadap karya sastra menjadi tiga kelompok, yaitu: teori, sejarah, dan kritik sastra. Teori dan metode antropologi (Koentjaraningrat dalam Ratna, 1974: 14, 31; 1980: 1-5) mengalami perkembangan pesat sekitar tahun 1930-an yang kemudian memperoleh kesepakatan dalam International Symposium on Antropology di Amerika Serikat (1951). Simposium dilakukan untuk merumuskan tujuan-tujuan antropologi yang baru.

2.5 Pendekatan Antropologi Sastra

Ratna (2012 : 52) Memaparkan, antropologi sastra adalah analisis interdisiplin terhadap karya sastra di dalamnya terkandung unsur-unsur antroplogi. Dalam hubungan ini jelas karya sastra menduduki posisi dominan, sebaliknya antropologi itu sendiri sebagai pelengkap. Penggunaan teori Antropologi sastra sebagai metode pembahasan objek tidak terlepas dari adanya dukungan unsur-unsur lain dari berbagai peralatan, termasuk si pelaku dari aspek kebudayaan.

Secara defenitif, antropologi sastra adalah studi mengenai karya sastra dengan relevansi manusia (anthropos) dengan melihat pembagian antropologi menjadi dua macam, yaitu antropologi fisik dan antropologi kultural, maka antropologi sastra dibicarakan dalam kaitannya dengan antropologi kultural, dengan karya-karya yang dihasilkan oleh manusia, seperti: bahasa, religi, mitos, sejarah, hukum, adat-istiadat, karya sastra, dan karya seni lainnya.

Dalam kaitannya dengan tiga macam bentuk kebudayan yang dihasilkan oleh manusia, yaitu: buah pikiran (ide), kegiatan atau aktivitas, dan pencapaian, atas dasar pemikiran bahwa sistem kultural suatu suku tersimpan di dalam peninggalan manusia, maka jelas antropologi sastra merupakan metode yang sangat penting untuk mengetahui jati diri budaya pada suatu kelompok masyarakat.

Berdasarkan pada sebuah pengistilahan bahwa karya sastra itu adalah imajinatif. Tetapi perlu diketahui justru dalam poin itulah nilai-nilai antropologis dipermain-mainkan. Selebihnya, disitulah letak fokus penelitian antropologi sastra. Antropologi sastra merupakan pendekatan interdisipliner yang paling baru dalam ilmu sastra. Lahirnya model pendekatan antropologi sastra dikarenakan oleh ilmu antropologi dengan ilmu sastra sama-sama mempermasalahkan relevansi manusia

dengan kebudayaannya, Aspek itulah yang menghubungkan batas-batas penelitian di antara antropologi dan sastra.

Antropologi sastra termasuk ke dalam pendekatan arketipal, yaitu kajian karya sastra yang menekankan pada warisan budaya masa lalu. Penelitian antropologi sastra menitikberatkan pada dua hal. Pertama, meneliti tulisan-tulisan etnografi yang berbau sastra untuk melihat estetikanya. Kedua, meneliti karya sastra dari sisi pandang etnografi, yaitu untuk melihat aspek-aspek budaya masyarakat, seperti tradisi bela diri. Penelitian antropologi sastra adalah penelitian yang membahas struktur manusia yang dikaji dari sudut kehidupan untuk memahami sifat prilakunya dalam sebuah aspek kebuadayaan, khususnya yang bersifat lisan.

Ratna (2012: 65) menyatakan dalam aplikasi teori pendekatan antropologi sastra adalah; bermula dari mendiskrifsikan pelaksanaan suatu aspek budaya yang diteliti atau dikaji. Lalu memahami tujuan dan kebermanfaatan pelaksanaannya bagi pendukung dan pemilik budaya. Selain itu, mengetahui segala aspek atau benda- benda yang menyertainya, yaitu syarat-syarat pelaksanaannya. Sekaligus memberi tafsiran dari masing-masing benda yang menyertai. Tafsiran berdasarkan pemahaman seseorang, masyarakat, dan etnik dari penutur, pendukung, dan pemilik aspek budaya tersebut. Langkah-langkah ini memberi kesimpulan bahwa aspek budaya tertentu dapat menggambarkan sebagai karakter atau jati diri kolektif dari suatu masyarakat.

Menurut Osman (1976) pun analisis antropologi sastra tidak bermakna akan mengenepikan aspek-aspek budaya. Oleh karena itu, analisis struktur atau teks hanya akan menjadi bermakna sekiranya dikaitkan dengan budaya masyarakat itu sendiri.

Dengan kata lain, analisis antropologi sastra memahami struktur atau teks dan konteks, dalam penelitian budaya dari suatu masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Menurut Semi (2003) Sastra adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan karya seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupan dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Cara pandang pengarang, wilayah, geografi budaya, waktu, dan juga berbagai faktor lain, merupakan konteks dari suatu karya sastra. Artinya sastra juga mempunyai ikatan terhadap budaya dari suatu masyarakat dan kehidupan pengarangnya. Berdasarkan hal di atas, Soemarjan dan Sumardi (2001) hubungan sastra dengan kebudayaan sangat nyata, karena kebudayaan merupakan hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.

Pengkajian sastra, khususnya kesusastraan Melayu, terbagi dalam dua bentuk yaitu, sastra lisan dan sastra tulisan, Sastra lisan merupakan karya sastra yang dapat kita temukan dalam masyarakat dan diwariskan secara turun-memurun. Wiget (dalam Lauter, 1994), Sastra lisan dipertunjukkan di hadapan pendengar dan pendengarnya turut melakukan evaluasi terhadap cara penyajian dan isi penceritaan.

Menurut Othman (1998) lingkup dan objek kajian sastra lisan sangat luas. Salah satu genre sastra lisan ialah tradisi pertahanan diri dari suatu masyarakat. Umpamanya genre bela diri Silat Lintau yang sangat populer dalam masyarakat Melayu Serdang. Cara sang guru yang menurunkan ilmu, jurus, dan lainnya merupakan sastra lisan yang secara langsung terjadi di tengah-tengah masyarakat

diungkapkan jati diri dari suatu masyarakat. Hal ini menurut Othman (1999) Kandungan teks dan konteksnya tidak terlepas dari kosmologi masyarakat Melayu.

Mengetahui jati diri dalam tradisi bela diri Silat lintau tersebut Salah satu pendekatan yang digunakan dalam ilmu kajian sastra adalah Antropologi sastra. Antrophos adalah manusia, sedangkan logos adalah ilmu, Antropologi sastra adalah ilmu yang mempelajari manusia sebagai makhluk biologis sekaligus makhluk sosial. Menurut Koentjaraningrat (2000) antropologi adalah ilmu yang mempelajari umat manusia pada umumnya dengan mempelajari aneka warna, bentuk fisik masyarakat serta kebudayaan yang dihasilkan. dapat disimpulkan bahwa pengertian dari antropologi, yaitu ilmu yang mempelajari manusia dari segi keanekaragaman fisik serta kebudayaan termasuk cara-cara berprilaku, tradisi-tradisi, dan kandungan nilai yang dihasilkan sehingga setiap manusia memiliki perbedaaan yang satu dengan yang lainnya.

Hal ini membuat kelangsungan hidup suatu bahasa tergantung oleh dinamika kehidupan budaya masyarakat yang ada di dalamnya. Dengan kata lain, budaya yang ada disekeliling bahasa akan ikut menentukan wajah dari suatu tekstual tersebut, sebab pada hakikatnya manusia dan budaya tak akan pernah lepas, ketika manusia mendiami suatu wilayah pasti akan terbentuk sebuah kebudayaan tempat para manusia membuat suatu karya seni, bahasa, agama, ekonomi, teknologi, dan kesenjangan sosial, kebudayaan tersebut juga akan berubah seiring dengan bertambahnya waktu serta kemajuan zaman. Maka secara sederhana, manusia adalah pelaku budaya, sedangkan budaya adalah objek yang dilakukan oleh manusia.

Ilmu budaya dasar yang di sebut juga sebagai Basic Humanities berasal dari

berbudaya, dan halus. Pada umumnya, humanities mencakup filsafat, teologi, seni, dan cabang-cabangnya seperti sejarah, dan sastra, maka dari itu humanities menjadi ilmu kemanusiaan dan kebudayaan, seni termasuk sastra yang penting dalam humanities karena seni merupakan ekspresi nilai-nilai kemanusiaan yang normative, dan bukan sebagai formulasi nilai-nilai kemanusiaan. Namun, di samping itu sastra memiliki peranan yang jauh lebih penting karena sastra menggunakan bahasa. Sementara bahasa mempunyai kemampuan untuk menampung hampir semua pernyataan kegiatan manusia untuk memahami dirinya sendiri yang akhirnya melahirkan filsafat untuk memahami alam semesta dan akhirnya menciptakan ilmu pengetahuan.

Proses pembentukan jati diri manusia yang terdapat di Indonesia berakar dari proses mitologi kesukuan yang berdiam di nusantara sebagai bentuk penafsiran dengan latar etnik yang beragam terhadap sumber budaya etnik. Oleh karena itu, kita seharusnya mengenal mitologi Minang, Jawa, Sunda, Batak, Dayak, Banjar, Bugis, Mandar, Toraja, Sasak, Papua, dan Melayu Nusantara, sebab dalam mitologi kesukuan tersebut banyak terdapat nilai-nilai sastra etnik yang mempengaruhi prilaku dan membentuk sifat menjadi ciri dari manusia di Indonesia.

Pengaruh jati diri pada sastra jelas berawal dari proses keintelektualan etnik, diikuti perkembangan zaman dan kelompok masyarakat. Dengan kata lain, jati diri yang telah ada banyak dipengaruhi oleh para pengarang dari berbagai kelompok etnik di Indonesia dan berakar pada bahasa, sastra, dan budaya. Sastra adalah salah satu syarat dalam membentuk jati diri, di dalam kajian sastra dan karya sastra selalu mengangkat komponen karakteristik manusia, baik dari segi psikologis, sosiologis,

Dalam peraturan Silat Lintau seorang Guru Silat Lintau untuk menerima murid memberikan syarat membawa sebilah pisau belati, kain putih setinggi badan, dan piring batu putih tanpa motif, Setelah syarat terpenuhi barulah proses latihan dilaksanakan. Latihan pertama dilakukan di gelanggang atau di rumah panggung, gerakan pertama melakukan pertarungan dengan posisi duduk, sebab posisi berdiri akan dipelajari di tahap selanjutnya. Pertama sekali yang dipelajari adalah kuncian Lintau yang terbagi menjadi 16 bagian jurus, yaitu ; 4 jenis elakan pada tumbuk, 4 jenis elakan pada tikam/cucuk, 4 jenis elakan pada tetak, dan 4 jenis elakan pada simbor, lalu ada mantera dan doa-doa yang digunakan, seperti doa mohon keselamatan yang dipanjatkan pada yang maha kuasa.

Dokumen terkait