• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

B. Saran

1. Perlu adanya ketegasan dari para penegak hukum dalam menjalankan tugasnya agar dalam hal anak sebagai pelaku tindak pidana tidak merasa dirugikan.

2. Perlu adanya penjatuhan hukuman secara tegas terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana baik yang sifatnya ringan atau berat.

BAB II

PERLINDUNGAN HUKUM PIDANA TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA BERDASARKAN UU NO. 11 TAHUN 2012

TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK.

A. Pengaturan Hukum Perlindungan Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Berdasarkan Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Indonesia menjamin hak asasi setiap warga negaranya dalam konstitusi, termasuk jaminan dan perlindungan atas hak anak sebagai bagian dari hak asasi manusia. Sebagai Negara Pihak dalam Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on

the Rights of the Child) yang mengatur prinsip perlindungan hukum terhadap

anak, indonesia juga berkewajiban untuk memberikan perlindungan khusus terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. Salah satu bentuk perlindungan anak oleh Negara diwujudkan melalui sistem peradilan pidana khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum. Sistem ini dibangun di atas landasan peraturan perundang-undangan yakni Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak serta Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.47

Sistem Peradilan Pidana yang dilandasi Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak tersebut ternyata belum memberikan perlindungan optimal bagi anak, kemudian Undang-Undang ini tidak mengatur diversi untuk mengalihkan perkara anak di luar jalur peradilan formal sehingga anak mendapatkan stigmatisasi. Sebangun dengan permasalahan ini, Undang-Undang

47

Yutirsa Yunus, 2013, Analisis Konsep Restorative Justice Melalui Sistem Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak Di Indonesia, Jurnal Rechts Vinding Volume 2 Nomor 2

No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak belum mengakomodasi model keadilan restoratif dengan melihat permasalahan di atas maka paradigma filosofi Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dapat dikatakan menganut pendekatan yuridis formal dengan menonjolkan penghukuman (retributive). Model peradilan anak retributif tidak pernah mampu memberikan kerangka kerja yang memadai bagi berkembangnya sistem peradilan anak, karena kondisi anak yang belum stabil mengakibatkan pengaruh buruk yang timbul dari penghukuman pidana kepada anak.48

Lahirnya Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak memberi peneguhan terkait dengan perlindungan terhadap anak di Indonesia. Undang-undang inilah yang memperkenalkan konsep diversi yang bertujuan untuk memberikan perlindungan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan masyarakat pada umumnya sebagai sebuah bentuk pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana demi mewujudkan keadilan restoratif (restorative justice). 49

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak mulai diberlakukan dua tahun setelah tanggal pengundangannya, yaitu 30 Juli 2012 sebagaimana disebut dalam ketentuan penutupnya (Pasal 108 Undang- Undang Sistem Peradilan Pidana Anak). Artinya Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak ini mulai berlaku sejak 31 Juli 2014. Undang-Undang

48

Yayasan Pemantau Hak Anak “ Situasi Umum Anak yang Berhadapan dengan Hukum di Indonesia, diakses dari http://www.ypha.or.id/web/wp-content/uploads/2011/04/Situasi-Umum- Anak-yang-Berhadapan-dengan-Hukum-di-Indonesia.pdf, diakses tanggal 11 April 2016 pukul 16.04 WIB.

Sistem Peradilan Pidana Anak ini bertujuan agar dapat terwujud peradilan yang benar-benar menjamin perlindungan kepentingan terbaik terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. Undang-Undang Pengadilan Anak dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan hukum dalam masyarakat dan belum secara komprehensif memberikan perlindungan khusus kepada anak yang berhadapan dengan hukum.50

Secara substantif terdapat beberapa hal yang bertentangan dengan semangat perlindungan terhadap anak seperti yang diatur dalam KHA. Ketentuan yang bertentangan antara lain;

1. Usia minimum pertanggungjawaban pidana terlalu rendah.

2. Penggunaan istilah anak nakal bagi anak yang melakukan tindak pidana yang seolah-olah sama dengan orang dewasa yang melakukan tindak pidana.

3. Tempat pelaksanaan penahanan yang masih dilakukan di Rumah Tahanan Negara, cabang Rumah Tahanan Negara.

4. Belum adanya pengaturan hak-hak anak yang berkonflik dengan hukum. 5. Belum melaksanakan proses Diversi dan Keadilan Restoratif.

6. Tidak adanya pengaturan secara jelas tentang aturan penangkapan dan penahanan terhadap anak nakal.

7. Penjatuhan pidana yang masih bersifat retributif.51

Berdasarkan penjelasan di atas, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, mengatur mengenai bentuk perlindungan hak anak di dalam proses peradilan, dimana dalam hal ini anak sebagai pelaku tindak pidana berhak untuk mendapatkan hak-haknya, sesuai dengan yang tertulis di dalam Pasal 3, Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 4 ayat (3).

50

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt53f55d0f46878/hal-hal-penting-yang- diatur-dalam-uu-sistem-peradilan-pidana-anak diakses tanggal 11 April 2016 pukul 16.19 WIB.

Pasal 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menyatakan bahwa, setiap Anak dalam proses peradilan pidana, dalam hal ini juga berarti anak sebagai pelaku tindak pidana berhak:

a. diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya;

b. dipisahkan dari orang dewasa;

c. memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif; d. melakukan kegiatan rekreasional;

e. bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi, serta merendahkan derajat dan martabatnya;

f. tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup;

g. tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat;

h. memperoleh keadilan di muka pengadilan Anak yang objektif, tidak memihak, dan dalam sidang yang tertutup untuk umum;

i. tidak dipublikasikan identitasnya;

j. memperoleh pendampingan orang tua/Wali dan orang yang dipercaya oleh Anak;

k. memperoleh advokasi sosial; l. memperoleh kehidupan pribadi;

m. memperoleh aksesibilitas, terutama bagi anak cacat; n. memperoleh pendidikan;

o. memperoleh pelayananan kesehatan; dan

p. memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.

Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak juga menjelaskan bahwa Anak yang sedang menjalani masa pidana berhak:

a. mendapat pengurangan masa pidana; b. memperoleh asimilasi;

c. memperoleh cuti mengunjungi keluarga; d. memperoleh pembebasan bersyarat; e. memperoleh cuti menjelang bebas; f. memperoleh cuti bersyarat; dan

g. memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.

Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 juga menjelaskan bahwa dalam sistem peradilan pidana anak wajib diupayakan diversi.

B. Perlindungan Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Dalam Setiap Tahap Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia.

Fungsi Peradilan Anak pada umumnya tidak berbeda dengan peradilan lainnya yaitu menerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya, namun untuk Peradilan Anak perkara yang ditangani khusus yang menyangkut perkara anak. Pemberian perlakuan khusus dalam rangka menjamin pertumbuhan fisik serta mental anak sebagai generasi penerus yang harus diperhatikan masa depannya, dimana dalam hal ini untuk memberikan suatu keadilan, hakim melakukan berbagai tindakan dengan menelaah terlebih dahulu tentang kebenaran peristiwa yang diajukan kepadanya. Hakim dalam mengadili berusaha menegakkan kembali hukum yang dilanggar, oleh karena itu biasa dikatakan bahwa hakim atau pengadilan adalah penegak hukum. Pengadilan dalam mengadili harus berdasarkan hukum yang berlaku meliputi hukum yang tertulis dan hukum yang tidak tertulis. Bertolak dari hal tersebut maka dalam pelaksanaanya, fungsi tersebut dijalankan oleh pejabat-pejabat khusus Peradilan Anak, dengan kata lain, fungsi tersebut tidak akan tercapai tanpa adanya pemegang peran yaitu pejabat-pejabat peradilan.52

Mengingat ciri dan sifat yang khas pada Anak dan demi pelindungan terhadap Anak, perkara Anak yang berhadapan dengan hukum wajib disidangkan di pengadilan pidana Anak yang berada di lingkungan peradilan umum. Proses

52

peradilan perkara Anak sejak ditangkap, ditahan, dan diadili pembinaannya wajib dilakukan oleh pejabat khusus yang memahami masalah Anak.53

1. Perlindungan Hukum terhadap Anak pada Tahap Penyidikan. a. Proses Penyidikan.

Penyidikan merupakan serangkaian tindakan penyidik selama pemeriksaan pendahuluan untuk mencari bukti-bukti tentang tindak pidana. Tindakan ini meliputi pemanggilan dan pemeriksaan saksi-saksi, penyitaan barang bukti, penggeledahan, pemanggilan dan pemeriksaan tersangka, melakukan penangkapan, penahanan. Pada saat melakukan penyidikan anak, hal tersebut diusahakan dilaksanakan oleh polisi wanita, dan dalam beberapa hal, jika perlu dengan bantuan polisi pria. Penyidik Anak juga harus mempunyai pengetahuan seperti psikologi, psikiatri, sosiologi, pedagogi, antropologi, juga harus menyintai anak dan berdedikasi, dalam menyilami jiwa anak dan mengerti kemauan anak.54

Berbicara mengenai penyidikan anak tersebut, penyidikan haruslah dalam suasana kekeluargaan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 27 Ayat (1), (2) dan (3) Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang menyebutkan bahwa :

1. Dalam melakukan penyidikan terhadap perkara anak, penyidik wajib meminta pertimbangan atau saran dari pembimbing kemasyarakatan setelah tindak pidana dilaporkan atau diadukan.

53

Joice H, 2015, Penangkapan Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana, Lex Crimen Vol.

IV/No. 4/Juni/2015, diakses dari

journal.unsrat.ac.id/index.php/lexcrimen/article/viewFile/894/8482, diakses tanggal 30 Maret 2016 pukul 18.30 WIB.

2. Dalam hal dianggap perlu, penyidik dapat meminta pertimbangan atau saran dari ahli pendidikan, psikolog, psikiater, tokoh agama, pekerja sosial professional atau tenaga kesejahteraan sosial dan tenaga ahli lainnya. 3. Dalam hal melakukan pemeriksaan terhadap anak korban dan anak saksi,

penyidik wajib meminta laporan sosial dari pekerja sosial professional atau tenaga kesejahteraan sosial setelah tindak pidana dilaporkan atau diadukan.55

Bertolak dari hal tersebut, maka pada waktu pemeriksaan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum, seorang penyidik disarankan tidak memakai seragam dinas dan dalam tugasnya harus melakukan pendekatan secara efektif, aktif, dan simpatik, hal ini sesuai dengan pernyataan di dalam Pasal 22 Undang- Undang No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang menyatakan bahwa Penyidik pada saat melakukan penyidikan terhadap anak yang diduga pelaku tindak pidana, tidak memakai toga atau atribut kedinasan, oleh karena itu dapat dikatakan bahwa Penyidik Anak dalam melakukan tugasnya harus menggunakan pendekatan secara simpatik, dan tidak melakukan tindakan pemaksaan atau intimidasi, hal ini bertujuan agar menghindari ketakutan dan trauma pada anak, selain itu agar dengan pakaian biasa dapat menjadikan persidangan berjalan dengan lancar dan penuh kekeluargaan.56

Proses penyidikan Anak wajib dirahasiakan. Pasal 19 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak menentukan bahwa Identitas Anak, Anak Korban, dan/atau Anak Saksi wajib dirahasiakan dalam pemberitaan di media cetak

55

maupun elektronik. Identitas meliputi nama Anak, nama Anak Korban, nama Anak Saksi, nama orang tua, alamat, wajah, dan hal lain yang dapat mengungkapkan jati diri Anak, Anak Korban, dan/atau Anak Saksi. Tindakan penyidik berupa penangkapan, penahanan dan tindakan lain yang dilakukan mulai dari tahap penyelidikan sampai dengan tahap penyidikan wajib dilakukan secara rahasia. Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak tidak memberikan sanksi yang tergas terhadap penyidik, apabila kewajiban ini dilanggar, dan tidak mengatur akibat hukum terhadap hasil penyidikan, hal ini mempengaruhi kualitas kerja pihak penyidik dan sangat berpengaruh terhadap perlindungan anak. Anak dapat menjadi korban dari ketidaktegasan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak dan dapat mengakibatkan kerugian fisik, mental, dan sosial anak karena dapat menghambat perkembangan fisik, mental dan sosial anak tersebut dalam pergaulan hidupnya.57

Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak juga wajib untuk mengupayakan diversi pada tingkat penyidikan diatur dalam ketentuan Pasal 7, Pasal 27, Pasal 28, dan Pasal 29 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak. Apabila diperinci, diversi dilakukan ditingkat penyidikan lazimnya dalam praktik dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut:

1. Setelah tindak pidana dilaporkan atau diadukan, kemudian dibuat Laporan Polisi, maka penyidik wajib bersurat untuk meminta pertmbangan dan saran tertulis dari petugas Pembimbing Kemasyarakatan atau Balai Pemasyarakatan (Bapas);

2. Hasil Penelitian Kemasyarakatan wajib diserahkan oleh Bapas kepada penyidik dalam waktu paling lama 3 x 24 jam setelah permintaan penyidik diterima;

3. Penyidik wajib mulai mengupayakan diversi dalam waktu paling lama 7 (tujuh) tahun hari setelah penyidikan dimulai dan proses diversi dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah dimulainya diversi; 4. Apabila pelaku maupun korban setuju untuk dilakukan diversi, maka

polisi, Pembimbing Kemasyarakatan, Bapas, dan Pekerja Sosial Profesional memulai proses musyawarah penyelesaian perkara dengan melibatkan pihak terkait, dimana proses musyawarah tersebut dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah dimulainya diversi dan penyidik membuat Berita Acara proses diversi. Akan tetapi, apabila pelaku atau korban tidak mau dilakukan diversi, maka penyidikan perkara tersebut dilanjutkan, dibuatkan Berita Acara Penyidikan dan perkara dilimpahkan ke Penuntut Umum;

5. Apabila diversi berhasil dimana para pihak mencapai kesepakatan, hasil kesepakatan tersebut dituangkan dalam bentuk kesepakatan diversi. Hasil kesepakatan diversi tersebut disampaikan oleh atasan pejabat yang bertanggung jawab di setiap tingkat pemeriksaan ke pengadilan negeri sesuai dengan daerah hukumnya dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari terhitung sejak kesepakatan dicapai untuk memperoleh penetapan. Kemudian Pengadilan mengeluarkan penetapan dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari terhitung sejak diterimanya kesepakatan diversi. Penetapan

tersebut disampaikan kepada Pembimbing Kemasyarakatan, Penyidik, Penuntut Umum, atau Hakim dalam waktu paing lama 3 (tiga) hari sejak ditetapkan. Setelah menerima penetapan tersebut Penyidik menerbitkan penetapan penghentian penyidikan;

6. Apabila diversi gagal, Penyidik membuat Berita Acara Diversi dan wajib melanjutkan penyidikan dan melimpahkan perkara ke Penuntut Umum dengan melampirkan Berita Acara Diversi dan Laporan Penelitian Masyarakat dari petugas Pembimbing Kemasyarakatan/Bapas.58

b. Penangkapan dan Penahanan.

Mengenai tindakan penangkapan tidak diatur secara rinci dalam Undang- Undang No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, sehingga berlaku ketentuan-ketentuan KUHAP. Pasal 30 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak menentukan bahwa:

1. Penangkapan terhadap Anak dilakukan guna kepentingan penyidikan paling lama 24 (dua puluh empat) jam.

2. Anak yang ditangkap wajib ditempatkan dalam ruang pelayanan khusus Anak.

3. Dalam hal ruang pelayanan khusus Anak belum ada di wilayah yang bersangkutan, Anak dititipkan di LPKS.

4. Penangkapan terhadap Anak wajib dilakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya.

5. Biaya bagi setiap Anak yang ditempatkan di LPKS dibebankan pada anggaran kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial.

Berdasarkan Pasal 16 ayat (1) dan (2) KUHAP atas perintah penyidik dan penyidik pembantu, dapat kita ketahui bahwa tujuan penangkapan tersangka adalah untuk kepentingan penyelidikan dan untuk kepentingan penyidik. Selanjutnya dalam Pasal 18 KUHAP dikatakan bahwa, perintah penangkapan tersebut dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup dengan memperlihatkan surat tugas penangkapan.

Pada saat melakukan tindakan penangkapan, asas praduga tak bersalah harus dihormati dan dijunjung tinggi sesuai dengan harkat dan martabat anak. Anak juga harus dipahami sebagai orang yang belum mampu memahami masalah hukum yang terjadi atas dirinya. Melakukan tindakan penangkapan terhadap anak yang diduga melakukan tindak pidana tersebut harus didasarkan pada bukti yang cukup dan jangka waktunya terbatas yaitu hanya dalam satu hari. Pada saat melakukan penangkapan, hak-hak anak sebagai tersangka haruslah juga diperhatikan, seperti hak mendapat bantuan hukum pada setiap tingkat pemeriksaan menurut tata cara yang ditentukan oleh undang-undang.59

Setelah dilakukan tindakan penangkapan, selanjutnya dapat dilakukan penahanan. Penahanan di dalam Pasal 1 butir 21 merupakan penempatan tersangka atau Terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik, atau penuntut umum

atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undangundang ini.

Pasal 32 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak menyatakan bahwa penahanan terhadap anak tidak boleh dilakukan dalam hal Anak memperoleh jaminan dari orang tua/Wali dan/atau lembaga bahwa Anak tidak akan melarikan diri, tidak akan menghilangkan atau merusak barang bukti, dan/atau tidak akan mengulangi tindak pidana. Penahanan hanya dapat dilakukan dengan syarat anak telah berumur 14 (empat belas) tahun, atau diduga melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara tujuh tahun atau lebih. Selama anak ditahan, kebutuhan jasmani, rohani, dan sosial Anak harus tetap dipenuhi. Untuk melindungi keamanan Anak, dapat dilakukan penempatan Anak di Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS).

Pasal 33 juga menyatakan bahwa, jika masa penahanan sebagaimana yang disebutkan di atas telah berakhir, anak wajib dikeluarkan dari tahanan demi hukum. Penahanan terhadap Anak dilaksanakan di Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS), dalam hal tidak terdapat LPAS, maka penahanan dapat dilakukan di LPKS setempat.

Penahanan Anak ditempatkan di LPAS, yang tempatnya terpisah dari Narapidana Anak, hal ini dilatarbelakangi oleh pertimbangan psikologis anak tersebut yaitu untuk menghindari akibat negatif, sebab anak yang ditahan belum tentu terbukti melakukan kenakalan dan bergaul dengan Narapidana Anak dikhawatirkan dapat menularkan pengalaman-pengalamannya kepada anak yang berstatus tahanan, dan mempengaruhi perkembangan mentalnya. Apabila tahanan

anak digabung dengan orang dewasa dengan alasan bahwa tempat penahanan di Lembaga Pemasyarakatan orang dewasa sudah penuh, hal ini sangat berbahaya dan tidak mencerminkan perlindungan anak sebab Narapidana Anak dan tahanan anak dapat terpengaruh dengan sikap dan tindakan tahanan dewasa. Anak bisa saja mengetahui pengalaman-pengalaman dari tahanan dewasa dalam melakukan kejahatan yang belum pernah dia dengar dan dia lakukan, atau bahkan anak dapat menjadi korban pelecehan seksual selama berada dalam tahanan tersebut.60

Tabel 1.

Jangka waktu penahan terhadap anak dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak

No. Tingkat Pemeriksaan Waktu Penahanan Perpanjangan

1. Penyidikan61 7 hari (oleh Penyidik) 8 hari (oleh JPU)

2. Penuntutan62 5 hari (oleh JPU) 5 hari (oleh Hakim PN)

3. Pengadilan63 10 hari (oleh Hakim) 15 hari (oleh Ketua PN)

c. Perlindungan Hukum terhadap Anak pada Tahap Penuntutan.

Menurut Pasal 1 butir 7 KUHAP, “Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang

60

Ibid, Hal.126.

61

Pasal 33 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

62

Pasal 34 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan”.64

Syarat-syarat Penuntut Umum Anak di dalam Pasal 41 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak adalah:

a. Berpendidikan Sarjana Hukum ditambah pengetahuan psikologi, psikiatri, sosiologi, pendidikan sosial, antropologi;

b. Mencintai anak, berdedikasi;

c. Dapat menyilami dan mengerti jiwa anak.65

Penuntut Umum Anak dalam melakukan tugasnya harus meneliti berita acara yang diajukan oleh Penyidik, sehingga jika perlu dan dengan persetujuan Hakim Anak, anak tersebut tidak perlu diajukan ke Pengadilan. Anak cukup dikembalikan kepada orang tuanya dengan teguran atau nasihat. Orang tua/wali/orang tua asuh anak perlu diperingati atau dinasihati. Atas ijin Hakim juga, dapat diminta dari bantuan para ahli, atau membentuk tim tersendiri untuk menangani anak, hal ini didasarkan atas pertimbangan bahwa anak membutuhkan perhatian, cinta kasih, asuhan, perlindungan, pembinaan, pendidikan, rasa aman, tentram rohani dan jasmaninya. Petugas-petugas sosial seperti dari Balai Pemasyarakatan juga dilibatkan dalam menangani dan membina anak temasuk juga orang tua/wali/orang tua asuh anak.66

Apabila pada tingkat penyidikan upaya diversi gagal dilaksanakan, maka penuntut umum wajib mengupayakan upaya diversi pada tingkat penuntutan

64

Pasal 1 butir 7 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

65

Pasal 41 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

sebagaimana yang diatur di dalam 42 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak:

1. Penuntut Umum wajib mengupayakan diversi paling lama 7 (tujuh) hari setelah menerima berkas perkara dari penyidik.

2. Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) hari.

3. Dalam hal proses diversi berhasil mencapai kesepakatan, Penuntut Umum menyampaikan berita acara diversi beserta kesepakatan diversi kepada ketua pengadilan negeri untuk dibuat penetapan.

4. Dalam hal diversi gagal, Penuntut Umum wajib menyampaikan berita acara diversi dan melimpahkan perkara ke pengadilan dengan melampirkan laporan hasil penelitian kemasyarakatan.

Terkait dalam hal proses diversi berhasil mencapai kesepakatan sebagaimana yag diatur dalam Pasal 42 ayat (3) Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak maka, Penuntut Umum menyampaikan berita acara diversi beserta kesepakatan diversi kepada ketua pengadilan negeri untuk dibuat penetapan. Sebagaimana di tingkat penyidikan dan penuntutan, di tingkat persidangan sebagai salah satu tahapan proses peradilan pidana juga dibebani kewajiban untuk melakukan diversi dalam perkara anak.67

d. Perlindungan Hukum terhadap Anak pada Tahap Persidangan.

Anak yang berhadapan dengan hukum ketika anak tersebut dihadapkan dalam proses persidangan, maka dalam hal ini perlindungan terhadap anak telah

dilakukan ketika penentuan hakim yang menangani perkara anak tersebut dilakukan. Hakim anak diangkat berdasarkan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung atas usul Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan melalui Ketua Pengadilan Tinggi sesuai dengan pasal 43 Undang-undang Republik Indonesia No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak sebagai berikut: “Pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap perkara anak dilakukan oleh hakim yang ditetapkan berdasarkan keputusan ketua Mahkamah Agung atau pejabat lain yang ditunjuk oleh ketua Mahkamah Agung atas usul ketua pengadilan negeri

Dokumen terkait