• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 6 Kesimpulan dan Saran

6.2. Saran

Berdasarkan hasil penelitian, peniliti mengajukan beberapa saran, yaitu : 1. Diharapkan petugas untuk mengingatkan penderita TB Paru agar ada

orang yang bertugas sebagai pengawas menelan obat bagi penderita TB Paru dan mengevaluasi kinerja dari PMO dalam membantu proses pengobatan TB Paru.

2. Diharapkan petugas melakukan penyuluhan kesehatan secara berkesinambungan baik kepada penderita TB Paru, keluarganya, dan terlebih kepada orang yang bertugas menjadi PMO bagi penderita TB Paru tersebut. Hal ini dalam rangka meningkatkan pengetahuan penderita TB Paru, keluargam dan PMO.

3. Dalam melakukan penelitian selanjutnya di FK USU, sebaiknya mahasiswa diberikan waktu khusus untuk melakukan penelitian agar tidak mengganggu waktu perkuliahan mahasiswa.

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tuberkulosis

2.1.1. Definisi

Tuberkulosis (TB) paru adalah penyakit radang parenkim paru karena infeksi bakteri Mycobaterium tuberculosis. Penyebaran bakteri ini dapat terjadi melalu udara secara droplet. Tuberkulosis paru termasuk pneumonia yang disebabkan oleh M. tuberculosis. Tuberkulosis paru mencakup 80% dari keseluruhan kejadian penyakit tuberkulosis, sedangkan 20% selebihnya merupakan tuberkulosis ektrapulmonal (di luar paru). Diperkiran sepertiga penduduk dunia pernah terinfeksi bakteri M. tuberculosis (Djojodibroto, 2007). 2.1.2. Mycobacterium tuberculosis

M. tuberculosis ditemukan oleh Robert Koch pada tahun 1982 pada isolasi patogen dari lesi. Morfologi dari bakteri ini adalah berbentuk batang yang tahan asam, ramping, lebar 0,4µm, panjang 3-4µ m, tidak berspora, dan tidak bergerak. Bakteri ini dapat diwarnai dengan menggunakan metode khusus (Ziehl-Nelsen, Kinyoun, fluorescence) (Kayser, 2005).

Bakteri ini menunjukan peningkatan pertumbuhan pada keadaan dengan kadar CO2 10% dan pH berkisar antara 6,5 sampai 6,8 (Plorde, 2004). Pembelahan bakteri ini membutuhkan waktu 12-18 jam sehingga kultur bakteri ini harus diinkubasi selama tiga sampai delapan minggu pada suhu 37oC hingga proliferasi terlihat secara makroskopis (Kayser, 2005).

Bakteri-bakteri mycobacterium kaya akan lipid. Termasuk di dalamnya adalah asam mycolic (asam lemak rantai panjang, C78–C90), waxes, dan phosphatides. Di dalam sel, sebagian besar lipid berikatan dengan protein dan polisakarida. Kompleks Muramyl dipeptide (dari peptidoglikan) dengan asam mycolic dapat menyebabkan pembentukan granuloma; phospholipids memicu

nekrosis kaseous. Lipid berperan dalam ketahanan bakteri ini terhadap asam. Penghilangannya dengan menggunakan asam yang kuat dapat menghancurkan sifat tahan asam . Sifat tahan asam juga dapat hilang setelah dilakukan sonikasi pada sel mycobacterium (Jawetz, 2007)

Gambar 2.1 Pewarnaan M. tuberculosis dengan Metode Ziehl-Nelsen (merah) Sumber : Color Atlas of Medical Microbiology (Kayser, 2005)

2.1.3. Patogenesis TB Paru

a. Tuberkulosis Primer

Tuberkulosis paru terjadi karena bakteri M. tuberculosis dibatukkan atau dibersinkan keluar menjadi droplet nuclei dalam udara sekitar kita. Partikel infeksi ini dapat menetap dalam udara bebas selama 1-2 jam, tergantung pada ada atau tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi yang buruk, dan kelembaban. Dalam suasana lembab dan gelap bakteri dapat tahan berhari-hari sampai berbulan-bulan (Amin & Asril, 2009) . Partikel bakteri yang berada dalam udara bebas berbentuk aerosol dengan ukuran 1-5µ m. Jika kita menghirupnya maka aerosol akan menetap di bagian distal saluran pernapasan melewati bronkiolus terminal (Mason & Summer, 2010).

Individu yang terinfeksi M. tuberculosis pertama kalinya, pada mulanya hanya memberikan reaksi seperti ada benda asing dalam saluran pernapasannya. Hal ini disebabkan karena tubuh tidak mempunyai pengalaman dengan bakteri ini (Djojojdibroto, 2007). Kemudian bakteri akan bermultiplikasi dan difagosit oleh makrofag. Bakteri ini bisa melanjutkan multiplikasinya di dalam makrofag atau menjadi dorman untuk beberapa tahun. Beberapa bakteri terbawa ke bagian hilus dan nodus limfe mediastinum serta ke organ lainnya, termasuk hati, limpa, selaput otak, dan ginjal (Mason & Summer, 2010). Setelah 3-10 minggu, M. tuberculosis akan mendapat perlawanan yang berarti dari mekanisme sistem pertahanan tubuh. Proses pembentukan pertahanan imunitas seluler akan lengkap setelah 10 minggu (Djojodibroto, 2007).

Setelah minggu ketiga, bakteri yang difagosit akan dicerna oleh makrofag dan umumnya akan mati. Namun, M. tuberculosis yang virulen akan bertahan hidup. Bakteri yang tidak virulen juga akan tetap hidup jika makrofag dan pertahanan tubuh lemah. Orang yang terinfeksi tidak mengetahui bahwa ia terinfeksi karena tidak ada gejala atau tanda-tanda yang terlihat. Jika dilakukan tes mantoux (setelah 3 minggu terinfeksi), akan terbukti bahwa ia telah terinfeksi M.

tuberculosis karena hasil tes mantoux menunjukkan hasil positif (Djojodibroto, 2007).

M. tuberculosis akan membelah diri secara lambat di alveolus. Tempat bakteri membelah ini kemudian menjadi lesi inisial (Initial lung lesion) tempat pembentukan granuloma yang kemudian mengalami nekrosis dan perkijuan (kaseasi) di tengahnya. Infeksi ini biasanya berhasil dibatasi agar tidak menyebar dengan cara terbentuknya fibrosis yang mengelilingi granuloma. Nodus limfa yang menampung aliran cairan limfa yang berasal dari lesi inisial juga terinfeksi sehingga juga meradang. Lesi inisial ketika meradang disebut fokus inisial atau sarang primer (Ghon). Fokus inisial dikelilingi oleh sel epiteloid, histiosit, dan sel datia Langhans, sel limfoid, dan jaringan fibrosa. Fokus inisial yang meradang bersama kelenjar limfa yang meradang disebut kompleks primer (Ranke) (Djojodibroto, 2007).

Kompleks primer ini selanjutnya dapat menjadi:

 Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat. Ini yang banyak terjadi.

 Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas garis-garis fibrotik, kalsifikasi di hilus, keadaan ini terdapat pada lesi pneumonia yang luasnya >5mm dan ± 10% di antaranya dapat terjadi reaktivitasi lagi karena bakteri yang dorman.

 Berkomplikasi dan menyebar secara: a) per kontinuitatum, yakni menyebar ke sekitarnya, b) secara bronkogen pada paru yang bersangkutan maupun paru sebelahnya. Bakteri juga tertelan bersama sputum dan ludah sehingga menyebar ke usus, c) secara limfogen ke organ-organ tubuh lain, dan d) secara hematogen ke organ tubuh lain.

b. Tuberkulosis Pasca Primer

Dari tuberkulosis primer ini akan muncul bertahun-tahun kemudian tuberkulosis pasca primer, biasanya pada usia 15-40 tahun. Tuberkulosis pasca primer mempunyai nama yang bermacam macam yaitu tuberkulosis bentuk dewasa, localized tuberculosis, tuberkulosis menahun, dan sebagainya. Bentuk tuberkulosis inilah yang terutama menjadi problem kesehatan rakyat, karena dapat menjadi sumber penularan. Tuberkulosis pasca primer dimulai dengan sarang dini, yang umumnya terletak di segmen apikal dari lobus superior maupun lobus inferior. Sarang dini ini awalnya berbentuk suatu sarang pneumonik kecil (PDPI, 2006)..

Nasib sarang pneumonik ini akan mengikuti salah satu jalan sebagai berikut (PDPI, 2006):

1. Diresopsi kembali, dan sembuh kembali dengan tidak meninggalkan cacat. 2. Sarang tadi mula mula meluas, tapi segera terjadi proses penyembuhan

dengan penyebukan jaringan fibrosis. Selanjutnya akan membungkus diri menjadi lebih keras, terjadi perkapuran, dan akan sembuh dalam bentuk perkapuran. Sebaliknya dapat juga sarang tersebut menjadi aktif kembali, membentuk jaringan keju dan menimbulkan kaviti bila jaringan keju dibatukkan keluar.

3. Sarang pneumonik meluas, membentuk jaringan keju (jaringan kaseosa). Kaviti akan muncul dengan dibatukkannya jaringan keju keluar. Kaviti awalnya berdinding tipis, kemudian dindingnya akan menjadi tebal (kaviti sklerotik) . Nasib kaviti ini :

 Mungkin meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumonik baru. Sarang pneumonik ini akan mengikuti pola perjalanan seperti yang disebutkan diatas .

 Dapat pula memadat dan membungkus diri (encapsulated), dan disebut tuberkuloma. Tuberkuloma dapat mengapur dan menyembuh, tapi mungkin pula aktif kembali, mencair lagi dan menjadi kaviti lagi.

 Kaviti bisa pula menjadi bersih dan menyembuh yang disebut open healed cavity, atau kaviti menyembuh dengan membungkus diri, akhirnya mengecil. Kemungkinan berakhir sebagai kaviti yang terbungkus, dan menciut sehingga kelihatan seperti bintang (stellate shaped).

Gambar 2.2 Perkembangan Sarang Tuberculosis Post Primer Sumber : Pedoman Penatalaksanaan TB (Konsensus TB) (PDPI, 2006) 2.1.4. Gejala Klinis TB Paru

Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan. Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain TB, seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain. Mengingat prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang datang ke sarana pelayanan kesehatan dengan gejala

tersebut diatas, dianggap sebagai seorang tersangka (suspek) pasien TB dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung (Menkes RI, .2009).

 Demam biasanya subfebril walaupun terkadang dapat mencapai 40-410C. Serangan demam pertama dapat sembuh sebentar, tetapi kemudian dapat timbul kembali. Begitulah seterusnya hilang timbulnya demam sehingga pasien merasa ridak pernah terbebas dari serangan demam ini. Keadaan ini sangat dipengaruhi oleh daya tahan tubuh pasien dan berat ringannya infeksi bakteri tuberkulosis yang masuk.

 Batuk atau batuk berdahak merupakan gejala yang banyak ditemukan. Batuk terjadi karena adanya iritasi pada bronkus. Sifat batuk dimulai dari batuk kering (non-produktif) kemudian sering timbul peradangan menjadi produktif (menghasilkan sputum). Keadaan yang lanjut adalah berupa batuk darah karena terdapat pembuluh darah yang pecah.

 Sesak napas belum dirasakan saat awal perjalanan penyakit. Sesak napas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, yang infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian paru-paru.

 Nyeri dada agak jarang ditemukan. Terjadi jika infiltrasi radang sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis. Terjadi gesekan kedua pleura sewaktu pasien menarik atau melepaskan napasnya.

 Malaise sering ditemukan berupa anoreksia, badan semakin kurus (BB turun), sakit kepala, meriang, nyeri otot, keringat malam, dll. Gejala malaise ini semakin lama semakin berat dan terjadi hilang timbul secara tidak teratur (Amin & Asril, 2009).

2.1.5. Diagnosis TB Paru

Anamnesis perlu dilakukan untuk menegakkan diagnosis TB. Gejala klinis TB dapat digolongkan menjadi 2 bagian yaitu respiratorik dan sistemik. Untuk gejala respiratorik yaitu batuk ≥3 minggu, batuk berdahak/berdarah, sesak napas

dan nyeri dada. Sedangkan gejala sistemik yaitu demam, malaise, keringat malam, anoreksia, dan berat badan menurun (PDPI, 2006).

Menurut Kepmenkes RI pada tahun 2009, penegakan diagnosis TB paru dapat dilakukan dengan cara :

a. Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu sewaktu - pagi - sewaktu (SPS).

lnterpretasi hasil pemeriksaan mikroskopik dari 3 kali pemeriksaan (PDPI, 2006) ialah bila :

 2 kali positif, 1 kali negatif → Mikroskopik positif

 1 kali positif, 2 kali negatif → ulang BTA 3 kali , kemudian bila 1 kali positif, 2 kali negatif → Mikroskopik positif

 bila 3 kali negatf → Mikroskopik negatif

b. Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya bakteri TB (BTA). Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya.

c. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis.

d. Gambaran kelainan radiologik Paru tidak selalu menunjukkan aktifitas penyakit.

Gambar 2.3 Skema Alur Diagnosis TB paru

2.1.6. Pengobatan TB Paru

Dibawah ini adalah pedoman penanggulangan TB di Indonesia menurut Depkes RI pada tahun 2011.

Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutus rantai penularan, dan mencegah terjadinya resistensi bakteri terhadapa Obat Anti Tuberkulosis (OAT).

Jenis, sifat dan dosis OAT yang akan dijelaskan adalah yang tergolong pada lini pertama. Secara ringkas OAT lini pertama dijelaskan pada tabel dibawah ini:

Tabel 2.1 Pengelompokan OAT

Tabel 2.2 Jenis, sifat, dan dosis OAT lini pertama

Sumber : Pedoman Penanggulangan TB di Indonesia (Depkes RI, 2011)

Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut:

 OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat,dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.

 Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment) olehseorang Pengawas Menelan Obat (PMO).

 Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.

Tahap awal (intensif)

a. Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perludiawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. b. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya

c. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan.

Tahap Lanjutan

a. Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama.

b. Tahap lanjutan penting untuk membunuh bakteri persisten sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.

Paduan OAT yang digunakan di Indonesia

 Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia:

a. Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3.

b. Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3.

Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan (HRZE). c. Kategori Anak: 2HRZ/4HR

d. Obat yang digunakan dalam tatalaksana pasien TB resistan obat di Indonesia terdiri dari OAT lini ke-2 yaitu Kanamycin, Capreomisin, Levofloksasin, Ethionamide, Sikloserin dan PAS, serta OAT lini-1, yaitu pirazinamid and etambutol.

 Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket berupa obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiridari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien.

 Paket Kombipak.

Adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini digunakan dalam pengobatan pasien yang mengalami efek samping OAT KDT.

Paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam bentuk paket, dengan tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan pengobatan sampai selesai. Satu (1) paket untuk satu (1) pasien dalam satu (1) masa pengobatan.

KDT mempunyai beberapa keuntungan dalam pengobatan TB: 1) Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga

menjamin efektifitas obat dan mengurangi efek samping. 2) Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan risiko

terjadinya resistensi obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisanresep.

3) Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat menjadi sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien Paduan OAT lini pertama dan peruntukannya.

a. Kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3)

Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:

 Pasien baru TB paru BTA positif.

 Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif

 Pasien TB ekstra paru

Tabel 2.3 Dosis untuk paduan OAT KDT untuk Kategori I

Tabel 2.4 Dosis paduan OAT-Kombipak untuk Kategori I

Sumber : Pedoman Penanggulangan TB di Indonesia (Depkes RI, 2011) b. Kategori -2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3)

Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya:

 Pasien kambuh

 Pasien gagal

 Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)

Tabel 2.5 Dosis untuk paduan OAT KDT untuk Kategori II

Tabel 2.6 Dosis paduan OAT-Kombipak untuk Kategori II

Sumber : Pedoman Penanggulangan TB di Indonesia (Depkes RI, 2011) Catatan:

 Untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas dosis maksimal untuk streptomisin adalah 500mg tanpa memperhatikan berat badan.

 Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB dalam keadaan khusus.

 Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan menambahkan aquabidest sebanyak 3,7ml sehingga menjadi 4ml.(1ml = 250mg).

c. OAT Sisipan (HRZE)

Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket untuk tahap intensif kategori 1 yang diberikan selama sebulan (28 hari).

Tabel 2.7 Dosis KDT untuk Sisipan

Tabel 2.8 Dosis OAT Kombipak untuk Sisipan

Sumber : Pedoman Penanggulangan TB di Indonesia (Depkes RI, 2011) Penggunaan OAT lini kedua misalnya golongan aminoglikosida (misalnya kanamisin) dan golongan kuinolon tidak dianjurkan diberikan kepada pasien baru tanpa indikasi yang jelas karena potensi obat tersebut jauh lebih rendah daripada OAT lini pertama. Disamping itu dapat juga meningkatkan terjadinya risiko resistensi pada OAT lini kedua.

Efek samping OAT

Tabel 2.9 Efek samping ringan OAT

Tabel 2.10 Efek samping berat OAT

Sumber : Pedoman Penatalaksanaan TB (Konsensus TB) (PDPI, 2006) 2.2. Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui pancaindera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo, 2010).

Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang. Rogers (1974) dalam Notoatmodjo (2003) mengungkapkan bahwa sebelum mengadopsi perilaku baru, didalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan: awareness, yakni mengetahui objek; interest, yakni tertarik kepada objek; evaluation, yakni menimbang baik tidaknya objek; trial, yakni mencoba perilaku baru; dan adoption, yakni berperilaku dengan sadar pada tentang objek.

1. Tahu (Know), diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk di dalamnya adalah mampu mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari seluruh objek yang telah dipelajari atau rangsangan yang telah diberikan. Tingkatan ini merupakan tingkat pengetahuan paling rendah. Kata kerja untuk mengukurnya antara lain menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan, dsb.

2. Memahami (Comprehension), diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi secara benar. Kata kerja untuk mengukurnya antara lain menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dsb.

3. Aplikasi (Aplication), diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi sebenarnya. Aplikasi di sini dapat iartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum, rumus, metode, prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.

4. Analisis (Analysis), adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu organisasi dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kata kerja untuk mengukurnya antara lain menggambarkan (membuat bagan), membedakan, memisahkan, mengelompokkan, dsb.

5. Sintesis (Synthesis), merujuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada.

6. Evaluasi (Evaluation), berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang, yaitu: pendidikan, pekerjaan, umur, minat, pengalaman, kebudayaan lingkungan sekitar, dan informasi (Mubarak et al., 2007).

2.3. Penyuluhan Kesehatan

Penyuluhan kesehatan adalah kegiatan pendidikan kesehatan yang dilakukan dengan menyebarkan pesan, menanamkan keyakinan sehingga masyarakat tidak saja sadar, tahu, dan mengerti, tetapi juga mau dan dapat melakukan anjuran yang berhubungan dengan kesehatan. Penyuluhan kesehatan dalam promosi kesehatan diperlukan sebagai upaya dalam meningkatkan pengetahuan dan kesadaran, disamping pengetahuan, sikap, dan tindakan (Maulana, 2007).

Penyuluhan TB Paru perlu dilakukan karena masalah TB Paru berkaitan dengan masalah pengetahuan dan perilaku masyarakat. Tujuan penyuluhan adalah untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan peran serta masyarakat dalam penanggulangan TB Paru (Depkes RI, 2011).

Penyuluhan TB Paru dapat dilaksanakan dengan menyampaikan pesan penting sacara langsung ataupun menggunakan media. Dalam program penanggulangan TB Paru, penyuluhan langsung per orangan sangat penting artinya untuk menentukan keberhasilan pengobatan penderita. Penyuluhan ini ditujukan kepada suspek, penderita dan keluarganya, supaya penderita menjalani pengobatan sacara teratur sampai sembuh. Bagi anggota keluarga yang sehat dapat menjaga, melindungi dan meningkatkan kesehatannya, sehingga terhindar dari penularan TB Paru. Penyuluhan dengan menggunakan bahan cetak dan media massa dilakukan untuk dapat menjangkau masyarakat yang lebih luas, untuk mengubah persepsi masyarakat tentang TB Paru dari “suatu penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan memalukan” menjadi “suatu penyakit yang berbahaya tapi bisa disembuhkan”.

Penyuluhan langsung per orangan dapat dianggap berhasil bila penderita bisa menjelaskan secara tepat tentang riwayat pengobatan sebelumnya, penderita

datang berobat secara teratur sesuai jadwal pengobatan, anggota keluarga penderita dapat menjaga dan melindungi kesehatannya.

2.4. Pengawas Menelan Obat (PMO)

PMO adalah seseorang yang secara sukarela membantu pasien TB dalam masa pengobatan hingga sembuh. Syarat seseorang bisa menjadi PMO antara lain:

 Sehat secara jasmani dan rohani serta bisa baca tulis

 Bersedia membantu pasien secara sukarela

 Tinggal dekat dengan pasien

 Dikenal, dipercaya, dan disegani oleh pasien

 Disetujui oleh pasien dan petugas kesehatan

 Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan pasien (Depkes RI, 2009)

Orang-orang yang bisa menjadi PMO adalah anggota keluarga atau kerabat pasien tinggal serumah, tetangga, teman atau atasan, tokoh agama (tokoh masyarakat atau tokoh adat juga termasuk), kader kesehatan (posyandu, juru pemantau), anggota organisasi kemasyarakatan, anggota organisasi keagamaan, dan atau petugas kesehatan (bidan, perawat, dll) (Depkes RI, 2009).

Berdasarkan Kepmenkes RI No. 364 tahun 2009 tentang Pedoman Penanggulangan TB di Indonesia, tugas PMO adalah sebagai berikut :

 Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai pengobatan.

 Memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur.

 Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang telah ditentukan.

 Memberi penyuluhan pada anggota keluarga pasien TB yang mempunyai gejala-gejala mencurigakan TB untuk segera memeriksakan diri ke sarana pelayanan kesehatan.

Tugas seorang PMO bukan untuk mengganti kewajiban pasien menmbil obat dari sarana pelayanan kesehatan.

2.5. Kepatuhan Berobat

Kepatuhan pasien adalah sejauh mana perilaku pasien sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh profesional kesehatan (Ester, 2000). Secara umum ketidaktaatan meningkatkan risiko berkembangnya masalah kesehatan atau memperpanjang atau memperburuk kesakitan yang sedang diderita. Perkiraan yang ada menyatakan bahwa 20% jumlah opname di rumah sakit merupakan akibat dari ketidaktaatan pasien terhadap aturan pengobatan (Bart, 1994).

Dokumen terkait