Lampiran 1
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Chandra Meilyn Manurung
Tempat / TanggalLahir : Jambi, 2 Mei 1995
Agama : Kristen Protestan
Alamat : Jl. Jamin Ginting gg. Maju No.16 Medan Baru RiwayatPendidikan :
1. Sekolah Dasar YPMM Tebing Tinggi Jambi (2001-2007) 2. Sekolah Menengah Pertama Negeri 7 Kota Jambi (2007-2009)
3. Sekolah Menengah Atas Negeri Titian Teras HAS Jambi (2009-2012) Riwayat Organisasi/Kepanitian :
1. UKM KMK USU UP FK Periode 2014 dan 2015 2. Panitia Try Out SBMPTN FK USU 2013
Lampiran 2
LEMBAR PENJELASAN KEPADA CALON SUBJEK PENELITIAN Dengan hormat,
Saya, yang bernama Chandra Meilyn Manurung/NIM 120100096, adalah mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Saat ini saya sedang mengadakan penelitian dengan judul “Pengaruh Pengetahuan Penderita TB Paru, Faktor Penyuluhan Kesehatan, dan Pengawas Menelan Obat (PMO) Terhadap Tingkat Kepatuhan Berobat di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2015”. Penelitian ini dilakukan sebagai salah satu kegiatan dalam menyelesaikan proses belajar mengajar pada blok Community Research Programme.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pengetahuan penderita TB Paru, faktor penyuluhan kesehatan, dan Pengawas Menelan Obat (PMO) terhadap tingkat kepatuhan berobat di Puskesmas Pegajahan Kabupaten Serdang Bedagai tahun 2014. Adapun manfaat dari penelitian ini adalah untuk meningkatkan upaya penanggulangan penyakit TB Paru.
Partisipasi saudara/i bersifat sukarela dan tanpa paksaan. Identitas pribadi saudara/i sebagai partisipan akan dirahasiakan dan semua informasi yang diberikan hanya akan digunakan untuk penelitian ini. Untuk penelitian ini, saudara/i tidak dikenakan biaya apa pun. Bila saudara/i membutuhkan penjelasan, maka dapat menghubungi saya :
Nama : Chandra Meilyn Manurung
Lampiran 3
LEMBAR PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN (PSP)
(INFORMED CONSENT)
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama :
Umur :
Alamat :
Telp/HP :
Setelah mendapat penjelasan dari peneliti tentang penelitian “Pengaruh Pengetahuan Penderita TB Paru, Faktor Penyuluhan Kesehatan, dan Pengawas Menelan Obat (PMO) Terhadap Tingkat Kepatuhan Berobat di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2015”, maka dengan ini saya secara sukarela dan tanpa paksaan menyatakan bersedia ikut serta dalam penelitian tersebut.
Demikianlah surat pernyataan ini untuk dapat dipergunakan seperlunya.
…..………, ………...2015
Lampiran 4
KUESIONER PENELITIAN
PENGARUH PENGETAHUAN PENDERITA TUBERKULOSIS PARU, FAKTOR PENYULUHAN KESEHATAN DAN PENGAWAS MENELAN
OBAT (PMO) TERHADAP TINGKAT KEPATUHAN BEROBAT DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2015
A. Identitas Responden Nama : Umur : Alamat :
Pendidikan : 1. Tidak tamat SD 4. SLTA
2. SD 5. Akademi/ Sarjana 3. SLTP
Pekerjaan :
B. Pengetahuan Responden
Beri tanda silang (x) atau lingkari jawaban pilihan anda
1. Menurut Anda apakah yang dimaksud dengan penyakit Tuberkulosis paru? a. Penyakit menular pada paru-paru yang disebabkan oleh kuman/bakteri b. Penyakit karena penyempitan rongga saluran pernafasan
c. Penyakit paru yang disebabkan karena paru-paru tidak bisa mengembang dengan sempurna
2. Menurut Anda apakah penyebab penyakit Tuberkulosis Paru? a. Infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis
b. Infeksi Virus H5N1 c. Infeksi Jamur Aspergillus
3. Menurut Anda apa gejala atau tanda seseorang terkena penyakit Tuberkulosis Paru? a. Sesak napas, oyong dan hilang keseimbangan
b. Demam, terdapat bintik-bintik merah pada kulit, dan keringat pada malam hari c. Batuk berdahak 2-3 minggu, berkeringat pada malam hari, dan demam
4. Menurut Anda bagaimana cara pengobatan dan meminum obat Tuberkulosis Paru? a. Obat diminum setiap harinya selama 2 bulan
b. Pada tahap awal (2 bulan) obat diminum setiap hari dan pada tahap lanjutan (4 bulan) obat diminum 3 kali dalam seminggu
5. Menurut Anda apa kegunaan pemeriksaan dahak dalam pemantauan pengobatan Tuberkulosis Paru?
a. Tidak ada
b. Untuk memantau kemajuan pengobatan dan memastikan kesembuhan c. Untuk memastikan bahwa kuman sudah tidak ada lagi sehingga pengobatan
bisa dihentikan walau belum mencapai minimal waktu pengobatan agar biaya pengobatan bisa ditekan
6. Menurut Anda apa efek samping obat-obat dalam pengobatan Tuberkulosis Paru? a. Menambah berat badan, kesulitan dalam bergerak, dan sulit tidur
b. Air seni (urin) menjadi merah, nyeri sendi, dan gatal-gatal c. Mudah mengantuk, sulit BAB, dan menambah berat badan
7. Menurut Anda imunisasi apa yang diberikan untuk mencegah Tuberkulosis Paru? a. Imuniasi MMR
b. Imunisasi BCG c. Imunisasi DPT C. Penyuluhan Kesehatan
No Pertanyaan Jawaban Pernah Tidak Pernah
1 Apakah petugas kesehatan pernah memberikan penyuluhan tentang penyakit Tuberkulosis Paru selama dalam pengobatan? 2 Apakah petugas kesehatan pernah menjelaskan bahwa
penyakit Tuberkulosis Paru dapat menular?
3 Apakah petugas kesehatan pernah memberi tahu bahwa pengobatan Tuberkulosis Paru tidak sebentar (6 bulan)? 4 Apakah petugas kesehatan pernah
menjelaskan tentang pengobatan Tuberkulosis Paru harus teratur?
5 Apakah petugas kesehatan pernah menjelaskan tentang jadwal minum obat? 6 Apakah petugas kesehatan pernah
menjelaskan tentang hal-hal yang dapat
memperburuk keadaan penderita Tuberkulosis Paru? 7 Apakah petugas kesehatan pernah menjelaskan tentang
kegagalan pengobatan akibat ketidakpatuhan pengobatan?
8 Apakah petugas kesehatan pernah menjelaskan perlunya seseorang yang mengawasi dan mengingatkan minum obat?
9 Apakah petugas kesehatan pernah menjelaskan tentang penyakit Tuberkulosis Paru kepada orang yang
D. Pengawas Menelan Obat
PMO (Pengawas Menelan Obat) adalah orang yang mengawasi dan mengingatkan Anda menelan Obat. Termasuk di dalamnya adalah anggota keluarga Anda.
1. Apakah ada yang mengawasi anda menelan obat? a. Ada, siapa...
b. Tidak ada
2. Apakah PMO (orang yang mengawasi Anda menelan obat) selalu memberikan semangat kepada Anda untuk sembuh?
a. Ya b. Tidak
3. Apakah PMO selalu mengingatkan Anda untuk mengambil obat dan memeriksakan dahak sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan?
a. Ya b. Tidak
4. Apakah PMO selalu mengawasi Anda dalam menelan obat? a. Ya
b. Tidak
5. Apakah PMO selalu menegur Anda, bila Anda tidak mau atau lalai minum obat?
a. Ya b. Tidak
E. Kepatuhan Berobat
1. Apakah selama pengobatan tahap awal (2 bulan ), Anda pernah lupa minum obat Tuberkulosis?
a. Sering (>3 kali pernah lupa minum obat/bulan) b. Kadang-kadang (1-3 kali pernah lupa/bulan) c. Tidak pernah
2. Apakah selama pengobatan tahap lanjutan (4 bulan), Anda pernah lupa minum obat Tuberkulosis?
3. Apakah Anda pernah meminum obat Tuberkulosis tidak sesuai dengan dosis yang ditentukan?
a. Sering (>3 kali dalam sebulan)
b. Kadang-kadang (1-3 kali dalam sebulan) c. Tidak pernah
4. Apakah Anda pernah mengganti obat Tuberkulosis dengan obat lain/obat tradisional sehingga Anda tidak meminum obat Tuberkulosis?
a. Sering (>3 kali dalam sebulan)
b. Kadang-kadang (1-3 kali dalam sebulan) c. Tidak pernah
5. Apakah Anda pernah terlambat mengambil obat Tuberkulosis? a. Sering (>2 kali)
b. Pernah (1-2 kali) c. Tidak pernah
6. Apakah Anda selalu mematuhi jadwal pemeriksaan dahak yang telah ditetapkan? a. Ya
Lampiran 5
Hasil Uji Validitas dan Realibilitas
1. Pengetahuan
Correlations
1 2 3 4 5 6
1
Pearson Correlation 1 .663** .373 .134 -.126 .031
Sig. (2-tailed) .001 .105 .574 .597 .898
N 20 20 20 20 20 20
2
Pearson Correlation .663** 1 .242 .043 .061 .279
Sig. (2-tailed) .001 .303 .858 .800 .234
N 20 20 20 20 20 20
3
Pearson Correlation .373 .242 1 .123 .058 .099
Sig. (2-tailed) .105 .303 .605 .808 .679
N 20 20 20 20 20 20
4
Pearson Correlation .134 .043 .123 1 -.236 -.057
Sig. (2-tailed) .574 .858 .605 .317 .811
N 20 20 20 20 20 20
5
Pearson Correlation -.126 .061 .058 -.236 1 .728**
Sig. (2-tailed) .597 .800 .808 .317 .000
N 20 20 20 20 20 20
6
Pearson Correlation .031 .279 .099 -.057 .728** 1
Sig. (2-tailed) .898 .234 .679 .811 .000
N 20 20 20 20 20 20
7
Pearson Correlation .435 .560* .242 .257 .061 -.015
Sig. (2-tailed) .055 .010 .303 .274 .800 .951
N 20 20 20 20 20 20
8
Pearson Correlation .436 .314 .503* -.204 .115 -.140
Sig. (2-tailed) .054 .177 .024 .388 .628 .556
N 20 20 20 20 20 20
9
Pearson Correlation .206 .121 .453* .043 .545* .279
Sig. (2-tailed) .384 .612 .045 .858 .013 .234
N 20 20 20 20 20 20
10
Pearson Correlation .480* .319 .390 .385 -.061 -.279
Sig. (2-tailed) .032 .171 .089 .094 .800 .234
N 20 20 20 20 20 20
Sig. (2-tailed) .001 .002 .003 .274 .127 .200
N 20 20 20 20 20 20
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). Cronbach's Alpha = 0,850
2. Faktor Penyuluhan
Correlations
1 2 3 4 5 6
1
Pearson Correlation 1 .157 .218 .375 .000 .357
Sig. (2-tailed) .508 .355 .103 1.000 .122
N 20 20 20 20 20 20
2
Pearson Correlation .157 1 .435 .419 .524* .043
Sig. (2-tailed) .508 .055 .066 .018 .858
N 20 20 20 20 20 20
3
Pearson Correlation .218 .435 1 .491* .000 .356
Sig. (2-tailed) .355 .055 .028 1.000 .123
N 20 20 20 20 20 20
4
Pearson Correlation .375 .419 .491* 1 .250 .102
Sig. (2-tailed) .103 .066 .028 .288 .669
N 20 20 20 20 20 20
5
Pearson Correlation .000 .524* .000 .250 1 .204
Sig. (2-tailed) 1.000 .018 1.000 .288 .388
N 20 20 20 20 20 20
6
Pearson Correlation .357 .043 .356 .102 .204 1
Sig. (2-tailed) .122 .858 .123 .669 .388
N 20 20 20 20 20 20
7
Pearson Correlation .157 .780** .206 .419 .524* -.171
Sig. (2-tailed) .508 .000 .384 .066 .018 .471
N 20 20 20 20 20 20
8
Pearson Correlation .302 .601** .504* .553* .302 .082
Sig. (2-tailed) .196 .005 .023 .011 .196 .731
N 20 20 20 20 20 20
9 Pearson Correlation .612
**
.685** .579** .612** .204 .167
N 20 20 20 20 20 20
10
Pearson Correlation .452* .453* .154 .452* .503* -.082
Sig. (2-tailed) .045 .045 .518 .045 .024 .731
N 20 20 20 20 20 20
TOTAL
Pearson Correlation .538* .789** .598** .701** .554* .313
Sig. (2-tailed) .014 .000 .005 .001 .011 .179
N 20 20 20 20 20 20
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
Cronbach's Alpha= 0,850 3. PMO
Correlations
1 2 3 4 5 PMOTOTAL
1
Pearson Correlation 1 .787** .787** .707** .638** .838**
Sig. (2-tailed) .000 .000 .000 .002 .000
N 20 20 20 20 20 20
2
Pearson Correlation .787** 1 1.000** .899** .811** .970**
Sig. (2-tailed) .000 .000 .000 .000 .000
N 20 20 20 20 20 20
3
Pearson Correlation .787** 1.000** 1 .899** .811** .970**
Sig. (2-tailed) .000 .000 .000 .000 .000
N 20 20 20 20 20 20
4
Pearson Correlation .707** .899** .899** 1 .903** .954**
Sig. (2-tailed) .000 .000 .000 .000 .000
N 20 20 20 20 20 20
5
Pearson Correlation .638** .811** .811** .903** 1 .903**
Sig. (2-tailed) .002 .000 .000 .000 .000
N 20 20 20 20 20 20
PMOTOTAL
Pearson Correlation .838** .970** .970** .954** .903** 1
Sig. (2-tailed) .000 .000 .000 .000 .000
N 20 20 20 20 20 20
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
4. Kepatuhan Berobat
Correlations
Kep1 Kep2 Kep3 Kep4 Kep5 Kep6 Total
Kep1
Pearson Correlation 1 .928** .928** .792** .773** .773** .903**
Sig. (2-tailed) .000 .000 .000 .000 .000 .000
N 20 20 20 20 20 20 20
Kep2
Pearson Correlation .928** 1 .940** .895** .869** .869** .956**
Sig. (2-tailed) .000 .000 .000 .000 .000 .000
N 20 20 20 20 20 20 20
Kep3
Pearson Correlation .928** .940** 1 .951** .927** .927** .987**
Sig. (2-tailed) .000 .000 .000 .000 .000 .000
N 20 20 20 20 20 20 20
Kep4
Pearson Correlation .792** .895** .951** 1 .975** .975** .972**
Sig. (2-tailed) .000 .000 .000 .000 .000 .000
N 20 20 20 20 20 20 20
Kep5
Pearson Correlation .773** .869** .927** .975** 1 1.000** .965**
Sig. (2-tailed) .000 .000 .000 .000 .000 .000
N 20 20 20 20 20 20 20
Kep6
Pearson Correlation .773** .869** .927** .975** 1.000** 1 .965**
Sig. (2-tailed) .000 .000 .000 .000 .000 .000
N 20 20 20 20 20 20 20
Total
Pearson Correlation .903** .956** .987** .972** .965** .965** 1
Sig. (2-tailed) .000 .000 .000 .000 .000 .000
N 20 20 20 20 20 20 20
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Lampiran 8
Output SPSS
1. Pengetahuan terhadap Kepatuhan Berobat
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig. (2-sided)
Exact Sig. (2-sided) Exact Sig. (1-sided) Point Probabili ty
Pearson Chi-Square 29.052a 2 .000 .000
Likelihood Ratio 22.583 2 .000 .000
Fisher's Exact Test 21.143 .000
Linear-by-Linear Association 28.128b 1 .000 .000 .000 .000
N of Valid Cases 61
a. 3 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .59. b. The standardized statistic is 5.304.
2. Faktor Penyuluhan Kesehatan terhadap Kepatuhan Berobat Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig. (2-sided)
Exact Sig. (2-sided) Exact Sig. (1-sided) Point Probabili ty
Pearson Chi-Square 41.670a 2 .000 .000
Likelihood Ratio 29.658 2 .000 .000
Fisher's Exact Test 27.244 .000
Linear-by-Linear Association 40.779b 1 .000 .000 .000 .000
N of Valid Cases 61
3. PMO terhadap Kepatuhan Berobat
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig. (2-sided)
Exact Sig. (2-sided)
Exact Sig. (1-sided)
Point Probabili
ty
Pearson Chi-Square 9.132a 2 .010 .015
Likelihood Ratio 11.008 2 .004 .006
Fisher's Exact Test 9.409 .004
Linear-by-Linear Association 8.867b 1 .003 .004 .004 .003
N of Valid Cases 61
No Nama Jenis Kelamin Umur Pekerjaan Pendidikan Pengetahuan F. Penyuluhan PMO Kepatuhan
1 DP Laki-laki 27 Pegawai Swasta SLTA 11 18 5 18
2 BW Perempuan 32 IRT SLTA 10 18 10 17
3 AB Laki-laki 50 Tidak Bekerja SLTP 9 15 10 18
4 SS Laki-laki 60 Tidak Bekerja Diploma/Sarjana 11 18 10 18
5 LI Perempuan 25 Tidak Bekerja Diploma/Sarjana 12 18 10 18
6 MA Laki-laki 34 Wiraswasta SLTA 9 13 5 14
7 TS Laki-laki 53 Wiraswasta SLTA 12 15 10 18
8 FR Laki-laki 17 Pelajar SLTA 13 18 10 18
9 JA Laki-laki 37 Pegawai Swasta SLTA 10 18 10 16
10 RA Laki-laki 35 Tidak Bekerja SLTA 9 18 10 15
11 HB Laki-laki 65 Wiraswasta SLTP 14 16 10 18
12 LR Laki-laki 36 Supir SLTP 9 14 5 14
13 FY Laki-laki 28 Petugas Parkir SLTA 12 14 10 15
14 CS Laki-laki 31 SLTA 13 16 10 18
15 AY Laki-laki 26 Wiraswasta Diploma/Sarjana 12 15 8 18
16 AT Laki-laki 40 Wartawan Diploma/Sarjana 14 15 7 18
17 RM Perempuan 30 PNS Diploma/Sarjana 13 15 5 18
18 DH Perempuan 20 Pelajar SLTA 14 18 10 18
19 RS Laki-laki 24 Wiraswasta SLTA 12 16 9 18
20 TH Laki-laki 59 PNS SLTA 13 15 10 18
21 JT Laki-laki 49 PNS SLTA 13 16 10 18
24 AR Laki-laki 43 Supir SLTA 12 15 10 17
25 ZU Laki-laki 49 Pegawai Swasta Diploma/Sarjana 13 18 9 18
26 KR Perempuan 55 Wiraswasta SLTA 12 16 5 16
27 LI Perempuan 28 PNS Diploma/Sarjana 14 16 6 18
28 CO Laki-laki 16 Pelajar SLTP 14 18 10 18
29 HA Laki-laki 34 Tidak Bekerja SLTA 12 14 8 16
30 PT Perempuan 49 IRT SLTA 10 18 6 18
31 MA Perempuan 43 IRT SD 13 18 10 18
32 LB Perempuan 22 Pelajar SLTA 13 16 10 18
33 HS Perempuan 62 IRT SLTP 11 16 5 18
34 MI Laki-laki 61 Tidak Bekerja Diploma/Sarjana 13 16 10 18
35 NS Laki-laki 31 Tidak Bekerja SLTA 13 15 8 18
36 FE Perempuan 28 IRT Diploma/Sarjana 14 15 5 18
37 DS Perempuan 46 IRT SLTA 13 18 10 18
38 IN Laki-laki 55 Tidak Bekerja SLTA 12 16 10 18
39 AM Perempuan 30 IRT SLTA 13 16 8 18
40 RL Laki-laki 44 Wiraswasta SLTA 13 16 8 16
41 TA Laki-laki 45 Buruh SD 11 11 7 14
42 YA Laki-laki 20 Pelajar SLTA 14 16 10 18
43 SR Laki-laki 23 Pegawai Swasta Diploma/Sarjana 14 18 10 18
44 BL Laki-laki 60 Tidak Bekerja SLTP 12 15 8 17
45 EF Laki-laki 38 Wiraswasta Diploma/Sarjana 12 16 8 18
46 AH Perempuan 60 IRT SLTA 13 18 10 18
47 IL Perempuan 28 PNS Diploma/Sarjana 14 15 6 18
50 ST Laki-laki 60 Tidak Bekerja SLTP 12 16 10 17
51 MR Laki-laki 21 Pelajar SLTA 14 16 10 18
52 DM Laki-laki 18 Pelajar SLTA 13 18 10 18
53 BC Laki-laki 29 PNS Diploma/Sarjana 12 18 9 18
54 CD Laki-laki 31 Tidak Bekerja Diploma/Sarjana 14 18 8 17
55 DR Laki-laki 37 Pedagang SLTA 12 14 10 18
56 KD Laki-laki 35 Buruh SLTA 13 15 5 18
57 LJ Perempuan 32 IRT Diploma/Sarjana 14 16 10 18
58 OR Perempuan 25 Pegawai Swasta Diploma/Sarjana 13 15 8 18
59 PO Laki-laki 17 Pelajar SLTP 14 18 10 18
60 EE Laki-laki 19 Pelajar SLTA 13 18 10 18
DAFTAR PUSTAKA
Amin, Z. & Asril, B., 2009. Tuberkulosis Paru. Dalam: Sudoyo, Aru W., Setiyohadi, Bambang, Alwi, Idrus, Simadibrata, Marcellus, & Setiati, Siti, 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 5. Interna Publishing. Jakarta.
Arikunto, S, 2006. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Rineka Cipta. Jakarta
Bart, S., 1994. Psikologi Kesehatan. PT. Grasindo. Jakarta.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2009. Buku Saku Kader Program Penanggulangan TB. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Jakarta.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2011. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Jakarta.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2014. Profil Kesehatan Indonesia 2013. Jakarta.
Dinas Kesehatan Sumatera Utara, 2014. Profil Kesehatan Sumatera Utara 2013. Medan.
Djojodibroto, D., 2007. Respirologi (Respiratory Medicine). Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
Eliska, 2005. Pengaruh Karakteristik Individu, Faktor Pelayanan Kesehatan, dan Peran Pengawas Menelan Obat (PMO) Terhadap Kepatuhan Berobat Penderita TB Paru di Puskesmas Teladan Medan Tahun 2005. Skripsi, FKM USU. Medan.
Erawatyningsih et.al, 2009. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Ketidakpatuhan Berobat Pada Penderita Tuberkulosis Paru Di Wilayah Kerja Puskesmas Dompu Barat Kecamatan Woja Kabupaten Dompu Provinsi NTB. Berita Kedokteran Masyarakat, Volume 25 No. 3.
Firdous et.al, 2006. Faktor-Faktor Penderita Tuberkulosis Paru Putus Berobat. Media Litbang Kesehatan XVI No. 4 Tahun 2006.
Ivanti, Risti. 2009. Pengaruh Karakteristik dan Motivasi Penderita Tuberkulosis Paru terhadap Kepatuhan Berobat di Balai Pengobatan Paru-paru (BP4) Medan Tahun 2009. Skripsi, FKM USU. Medan.
Kayser, F. H., Bienz, K. A., Eckert, J., &, Zinkernagel, R. M., 2005. Medical Microbiology. Thieme. Zurich.
Kurniawan et.al, 2011. Kepatuhan berobat penderita tuberkulosis paru di puskesmas, kota jayapura, provinsi papua tahun 2010. Damianus J Medicine Vol. 10 No.2 Juni 2011.
Mason, C. M & Summer, W. R., 2010. Respiratory Infection. Dalam: Ali, J., Summer, W. R., & Levitzky, M. G., 2010. Pulmonary Pathophysiology. McGraw-Hill Companies, Inc. USA.
Maulana, H. D. J., 2007. Promosi Kesehatan. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta
Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2009. Keputusan Menteri Kesehatan: No. 364 tentang Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis (TB). Jakarta.
Mubarak, W. I., Chayatin, N., Rozikin, N., & Supradi, 2007. Promosi Kesehatan: Sebuah Pengantar Proses Belajar Mengajar dalam Pendidikan. Graha Ilmu. Yogyakarta.
Notoatmodjo, S., 2010. Promosi Kesehatan: Teori & Aplikasi. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), 2006. Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis (Konsensus TB). Jakarta.
Plorde, J. J, 2004. Mycobacteria. Dalam: Ryan, K. J & Ray, C. G. 2004. Sherris Medical Microbiology. Edisi 4. McGraw-Hill Companies, Inc. USA. Pulungan, Ellyn Fajriah, 2014. Hubungan Pengetahuan, Sikap, dan Praktek
Pengawas Menelan Obat dengan Keberhasilan Pengobatan Tuberkulosis Paru di Puskesmas Glugur Darat pada Tahun 2011. KTI FK USU, Medan.
Sari, C. N., 2011.Pengaruh Pengetahuan Penderita Tb Paru, Faktor Pelayanan Kesehatan Dan Pengawas Menelan Obat Terhadap Tingkat Kepatuhan Berobat Di Puskesmas Amplas Kota Medan Tahun 2011. Skripsi FKM USU. Medan.
Senewe, Felly Philipus, 2002. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan Berobat Penderita Tuberkulosis Paru di Puskesmas Depok. Buletin Panel Kesehatan, Vol. 30 No. 1.
Simamora, J., 2004. Faktor yang Memengaruhi Ketidakteraturan Berobat Penderita TB Paru di Puskesmas Kota Binjai Tahun 2004. Tesis. Pascasarjana USU. Medan.
Sukoco, Noor Edi Widya, 2011. Hubungan Antara Perilaku Pencegahan dan Kepatuhan Berobat Penderita TB di Indonesia. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan Vol. 14 No. 1 Januari 2011.
Sutanta, 2014. Hubungan Antara Tingkat Pendidikan PMO, Jarak Rumah dan Pengetahuan Pasien TB Paru Dengan Kepatuhan Berobat di BP4
BAB 3
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1. Kerangka Konsep Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian maka kerangka konsep dalam penelitian ini adalah:
Faktor Penyuluhan Kesehatan:
Sikap petugas kesehatan
Frekuensi penyuluhan
Kualitas interaksi petugas kesehatan terhadap pasien Pengetahuan penderita TB paru:
Tingkat Pendidikan
Informasi yang didapat (media massa, petugas kesehatan, ataupun lingkungan sekitar)
Umur
Pengalaman
Pekerjaan
Faktor-faktor lain yang berpengaruh:
Sosiodemografis
Jarak rumah pasien ke rumah sakit
Efek samping obat
Keyakinan untuk sembuh
Dukungan keluarga
Biaya pengobatan
Sikap penderita TB Paru
Tingkat Kepatuhan Berobat
Pengawas Menelan Obat (PMO):
Ada tidaknya PMO
Sikap PMO kepada pasien
PMO melaksanakan tugasnya
Tugas PMO:
Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai pengobatan
Memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur
Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang telah ditentukan
3.2. Definisi Operasional
No Operasional Definisi Cara Ukur Alat Ukur Skala Hasil Ukur 1. Pengetahuan Segala sesuatu
yang diketahui oleh respoden mengenai
penyakit TB Paru.
Wawancara Kuesioner 7 Pertanyaan Benar : 2 Salah : 1
Ordinal Baik (12-14)
Cukup (10-11)
Kurang (7-9) 2. Penyuluhan
Kesehatan
Tanggapan responden
mengenai upaya penyuluhan yang dilakukan petugas kesehatan dalam menjelaskan tentang segala sesuatu tentang penyakit TB paru.
Wawancara Kuesioner 9 Pertanyaan Pernah : 2 Tidak : 1
Ordinal Baik (15-18)
Cukup (13-14)
Kurang (9-12)
3. Pengawas Menelan Obat (PMO)
Tanggapan responden
mengenai peran
PMO dalam
mengingatkan, mengawasi, memberikan dorongan, dan menegur
responden dalam masa pengobatan TB Paru.
Wawancara Kuesioner 5 Pertanyaan Ya : 2 Tidak : 1
Ordinal Baik (9-10)
Cukup (7-8)
Kurang (5-6)
4. Kepatuhan Berobat
Ketaatan
responden dalam menelan obat, memeriksakan dahak, dan mengambil obat.
Wawancara Kuesioner 6 Pertanyaan Tidak Pernah : 3
Kadang-kadang : 2 Sering : 1
Ordinal Patuh (15-18)
3.3. Hipotesis
1. Ada pengaruh pengetahuan penderita TB Paru terhadap tingkat kepatuhan berobat di RSUP H. Adama Malik Medan tahun 2015. 2. Ada pengaruh faktor penyuluhan kesehatan terhadap tingkat
kepatuhan berobat di RSUP H. Adama Malik Medan tahun 2015. 3. Ada pengaruh pengawas menelan obat terhadap tingkat kepatuhan
BAB 4
METODE PENELITIAN 4.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah penelitian analitik dengan desain cross sectional, dimana penelitian ini akan mengetahui pengaruh pengetahuan penderita TB paru, faktor penyuluhan kesehatan, dan pengawas menelan obat (PMO) terhadap tingkat kepatuhan berobat di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2015.
4.2. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan selama 5 bulan (Oktober sampai November 2015) di Poli TB DOTS RSUP H. Adam Malik Medan.
4.3. Populasi dan Sampel Penelitian 4.3.1. Populasi
Populasi dari penelitian ini adalah seluruh penderita TB Paru DOTS yang sedang menjalani pengobatan tahap lanjutan.
4.3.2. Sampel
Penelitian ini menggunakan rumus besar sampel analitik tidak berpasangan
= ( 2 + 1 1 + 2 2) ( 1− 2)
Jika Z-alpha 5% dan Z-beta 20% nilai proporsi TB Paru dari penelitian sebelumnya (P2) adalah 19,3% dan nilai P1 sebesar 39,3% maka perhitungan besar sampel adalah 45 sampel.
= ( 1,96√2x0,293x0,707 + 0,842√0,393x0,607 + 0,193x0,807)
( 0,393−0,193)
N= 44,7575105
4.3.2.1 Kriteria Sampel
Kriteria Inklusi:
Bersedia menjadi subjek penelitian dan mengisi kuesioner
Merupakan Penderita Tuberkulosis DOTS
Berumur 16-64 Tahun
Sedang menjalani pengobatan tahap lanjutan Kriteria Eklusi:
Pasien TB MDR 4.4. Teknik Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan terdiri atas data primer dan data sekunder, yaitu: 1. Data primer, yaitu diperoleh dengan wawancara langsung kepada
penderita TB paru yang berpedoman pada kuesioner yang telah ditetapkan. 2. Data sekunder, yaitu diperoleh dari laporan pelaksanaan program
penganggulangan TB paru di RSUP H. Adam Malik Medan.
4.5. Pengolahan dan Analisis Data
4.5.1. Pengolahan
4.5.2. Analisis Data
BAB 5
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
5.1. Hasil Penelitian
5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik (RSUP HAM) Kota Medan yang berlokasi di Jalan Bunga Lau No. 17, Kelurahan Kemenangan Tani, Kecamatan Medan Tuntungan. Rumah Sakit ini merupakan Rumah Sakit Pemerintah dengan kategori kelas A. Selain itu, RSUP HAM juga merupakan rumah sakit rujukan untuk wilayah Sumatera yang meliputi Sumatera Utara, Aceh, Sumatera Barat dan Riau sehingga dapat dijumpai pasien dengan latar belakang yang sangat bervariasi. Penelitian ini lakukan di Poliklinik TB DOTS RSUP HAM.
Poliklinik TB DOTS RSUP HAM melayani pasien pada hari Senin-Jum’at pukul 08.00-12.00 WIB dan 14.00-16.00. Peneliti melakukan penelitian pada awal bulan Oktober hingga akhir bulan November pada sekitar pukul 10.00-15.00. Peneliti juga melakukan penelitian dengan langsung menanyakan responden penelitian. Jumlah responden terbanyak dalam 1 hari adalah 7 responden dan tersedikit adalah 0 orang.
5.1.2. Deskripsi Responden Penelitian
Sampel penelitian ini merupakan pasien atau penderita TB Paru yang sedang menjalani tahap pengobatan fase lanjutan. Ada 61 responden yang bersedia menjadi sampel penelitian dengan distribusinya sebagai berikut. Deskripsi responden berdasarkan jenis kelamin, umur, pekerjaan dan pendidikan terakhir.
Tabel 5.1. Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
Jenis Kelamin Jumlah Persentase
Laki-Laki 41 67,2%
Perempuan 20 32,8%
Total 61 100%
[image:31.595.155.466.294.423.2]Dalam penelitian ini juga didapati usia responden terendah adalah 16 tahun dan tertinggi adalah 65 tahun. Peneliti mengelompokan usia responden menjadi 7 kelompok dengan frekuensi sebagai berikut:
Tabel 5.2. Distribusi Responden Berdasarkan Usia
Kelompok Usia Jumlah Persentase
16-22 Tahun 9 14,8%
23-29 Tahun 12 19,6%
30-36 Tahun 13 21,3%
37-43 Tahun 6 9,9%
44-50 Tahun 9 14,8%
51-57 Tahun 4 6,6%
58-65 Tahun 8 13,1%
Total 61 100%
Keterangan pembagian umur:
Menggunakan rumus Sturgess untuk menentukan jumlah kelas atau kelompok: = 1 + 3,3 log
n : Jumlah data yang ada k : Jumlah kelas atau kelompok
= 1 + 3,3 log 61 = 6,89 = 7
Sebanyak 12 responden (19,7%) didapati tidak memiliki pekerjaan sedangkan responden lainnya memiliki pekerjaan sebagai berikut:
Tabel 5.3. Distribusi Responden Berdasarkan Pekerjaan
Pekerjaan Jumlah Persentase
Buruh 2 3,3%
IRT 11 18%
Pedagang 1 1,6%
Pegawai Swasta 5 8,2%
Pelajar 9 14,8%
Petugas Parkir 1 1,6%
PNS 7 11,5%
Supir 2 3,3%
Wartawan 1 1,6%
Wiraswasta 9 14,8%
[image:31.595.158.467.599.754.2]Dari hasil penelitian didapati 2 responden (3,3%) berpendidikan terakhir SD, 8 responden (13,1%) SLTP, 33 responden (54,1%) SLTA, dan 18 responden (29,5%) Diploma/Sarjana.
Tabel 5.4. Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan Terakhir
Pendidikan Terakhir Jumlah Persentase
SD 2 3,3%
SLTP 8 13,1%
SLTA 33 54,1%
Diploma/Sarjana 18 29,5%
Total 61 100%
5.1.3. Hasil Analisis Univariat
Analisis univariat dilakukan untuk menggambarkan distribusi frekuensi dari variabel independen dan dependen.
5.1.3.1. Pengetahuan
Pengetahuan penderita TB Paru didapatkan melalui angket yang berjumlah 7 pertanyaan. Dari hasil penelitian tentang TB Paru, sebanyak 55 responden (90,2%) mengetahui bahwa TB Paru merupakan penyakit menular pada paru-paru yang disebabkan oleh kuman atau bakteri sedangkan yang tidak tahu berjumlah 6 responden (9,8%). Sebanyak 42 responden (68,9%) mengetahui bahwa penyebab penyakit TB Paru merupakan bakteri Mycobacterium tuberculosis sedangkan 19 responden (31,1%) tidak mengetahuinya.
Sebanyak 48 responden (78,7%) mengetahui bahwa kegunaan pemeriksaan dahak adalah untuk memantau kemajuan pengobatan dan memastikan kesembuhan sedangkan yang tidak mengetahuinya sebanyak 13 responden (21,3%). Ada 51 responden (83,6%) yang mengetahui bahwa efek samping obat-obat anti TB Paru adalah urin menjadi merah, nyeri sendi dan gatal-gatal sedangkan 10 responden (16,4%) tidak mengetahuinya. Dari hasil penelitian juga didapati sebanyak 24 responden (39,3%) mengetahui bahwa imunisasi untuk mencegah TB adalah Imunisasi BCG sedangkan 37 responden (60,7%) tidak mengetahui hal tersebut.
Tabel 5.5. Distribusi Pengetahuan Responden Penelitian
Pertanyaan Pengetahuan Jumlah Persentase Penyakit TB Paru
1. Tahu 55 90,2%
2. Tidak Tahu 6 9,8%
Total 61 100%
Penyebab TB Paru
1. Tahu 42 68,9%
2. Tidak Tahu 19 31,1%
Total 61 100%
Gejala atau Tanda TB Paru
1. Tahu 51 83,6%
2. Tidak Tahu 10 16,4%
Total 61 100%
Cara Pengobatan dan Meminum OAT
1. Tahu 49 80,3%
2. Tidak Tahu 12 19,7%
Total 61 100%
Kegunaan Pemeriksaan Dahak
1. Tahu 48 78,7%
2. Tidak Tahu 13 21,3%
Total 61 100%
Efek Samping Penggunaan OAT
1. Tahu 51 83,6%
2. Tidak Tahu 10 16,4%
Total 61 100%
Imunisasi Mencegah TB
1. Tahu 24 39,3%
2. Tidak Tahu 37 60,7%
Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa setelah dilakukan pengkategorian berdasarkan jawaban responden, sebanyak 47 responden (77%) berada pada kategori pengetahuan baik, sebanyak 8 responden (13,2%) berada pada kategori pengetahuan cukup baik, dan 6 responden (9,8%) pada kategori pengetahuan kurang baik.
Tabel 5.6. Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Pengetahuan
Kategori Pengetahuan Jumlah Persentase
Baik 47 77%
Cukup Baik 8 13,2%
Kurang Baik 6 9,8%
Total 61 100%
5.1.3.2. Faktor Penyuluhan Kesehatan
Faktor penyuluhan kesehatan dinilai menggunakan angket yang berjumlah 9 pertanyaan tentang penyuluhan atau informasi yang diberitahukan oleh petugas kesehatan. Dari hasil penelitian, didapati bahwa 51 responden (83,6%) yang pernah diberitahu tentang penyakit TB Paru selama masa pengobatan sedangkan 10 responden (16,4%) yang tidak pernah. Sebanyak 55 responden (90,2%) yang pernah diberitahu bahwa TB Paru dapat menular sedangkan 6 responden (9,8) yang tidak pernah.
Berdasarkan hasil penelitian, didapati 51 responden (83,6%) yang pernah diberitahu bahwa pengobatan TB Paru tidak sebentar sedangkan 10 responden (16,4%) yang tidak pernah. Ada 50 responden (82%) yang pernah diberitahu bahwa pengobatan TB Paru harus teratur sedangkan 11 responden (18%) yang tidak pernah.
Tabel 5.7. Distribusi Faktor Penyuluhan Kesehatan Responden Penelitian
Pertanyaan Faktor Penyuluhan Kesehatan Jumlah Persentase
Petugas kesehatan pernah memberikan penyuluhan tentang penyakit TB Paru selama dalam pengobatan
1. Pernah 51 83,6%
2. Tidak Pernah 10 16,4%
Total 61 100%
Petugas kesehatan pernah menjelaskan bahwa penyakit TB Paru dapat menular
1. Pernah 55 90,2%
2. Tidak Pernah 6 9,8%
Total 61 100%
Petugas kesehatan pernah memberi tahu bahwa pengobatan TB Paru tidak sebentar
1. Pernah 51 83,6%
2. Tidak Pernah 10 16,4%
Total 61 100%
Petugas kesehatan pernah menjelaskan tentang pengobatan TB Paru harus teratur
1. Pernah 50 82%
2. Tidak Pernah 11 18%
Total 61 100%
Petugas kesehatan pernah menjelaskan tentang jadwal minum OAT
1. Pernah 44 72,1%
2. Tidak Pernah 17 27,9%
Total 61 100%
Petugas kesehatan pernah menjelaskan tentang hal-hal yang dapat memperburuk keadaan penderita TB Paru
1. Pernah 49 80,3%
2. Tidak Pernah 12 19,7%
Total 61 100%
Petugas kesehatan pernah menjelaskan tentang kegagalan pengobatan akibat ketidakpatuhan pengobatan
1. Pernah 52 85,2%
2. Tidak Pernah 9 14,8%
Total 61 100%
Petugas kesehatan pernah menjelaskan perlunya seseorang yang mengawasi dan mengingatkan minum obat
1. Pernah 41 67,2%
2. Tidak Pernah 20 32,8%
Total 61 100%
Petugas kesehatan pernah menjelaskan tentang penyakit Tuberkulosis Paru kepada keluarga penderita TB Paru
1. Pernah 37 60,7%
2. Tidak Pernah 24 39,3%
Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa setelah dilakukan pengkategorian berdasarkan jawaban responden, sebanyak 52 responden (85,2%) menyatakan penyuluhan yang dilakukan oleh petugas kesehatan berada pada kategori baik, sebanyak 7 responden (11,5%) berada pada kategori cukup baik, dan 2 responden (3,3%) pada kategori kurang baik.
Tabel 5.8. Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Faktor Penyuluhan Kesehatan
Kategori Faktor Penyuluhan Kesehatan Jumlah Persentase
Baik 52 85,2%
Cukup Baik 7 11,5%
Kurang Baik 2 3,3%
Total 61 100%
5.1.3.3. Pengawas Menelan Obat (PMO)
PMO yang diukur meliputi mengawasi penderita menelan obat, memberikan dorongan untuk berobat, mengingatkan penderita untuk mengambil obat dan memeriksakan dahak sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan serta menegur penderita bila lalai minum obat.
Berdasarkan hasil penelitian, didapati sebanyak 50 responden (82%) memiliki PMO sedangkan 11 responden (18%) tidak memiliki PMO. Ada 40 responden (65,6%) yang selalu diberikan semangat oleh PMO dalam masa pengobatan sedangkan 21 responden (34,4%) yang tidak selalu.
Tabel 5.9. Distribusi PMO Responden Penelitian
Pertanyaan Pengawas Menelan Obat (PMO) Jumlah Persentase Ada tidaknya PMO
1. Ya 50 82%
2. Tidak 11 18%
Total 61 100%
PMO selalu memberi semangat
1. Ya 40 65,6%
2. Tidak 21 34,4%
Total 61 100%
PMO selalu mengingatkan untuk mengambil OAT dan memeriksakan dahak sesuai jadwal
1. Ya 37 60,7%
2. Tidak 24 39,3%
Total 61 100%
PMO selalu mengawasi menelan OAT
1. Ya 38 62,3%
2. Tidak 23 37,7%
Total 61 100%
PMO selalu menegur jika tidak mau atau lalai meminum OAT
1. Ya 39 63,9%
2. Tidak 22 36,1%
Total 61 100%
[image:38.595.121.503.616.689.2]Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa setelah dilakukan pengkategorian berdasarkan jawaban responden, sebanyak 34 responden (55,7%) bahwa PMO didapati dalam kategori baik, sebanyak 12 responden (19,7%) berada pada kategori cukup baik, dan 15 responden (24,6%) pada kategori kurang baik.
Tabel 5.10. Distribusi Responden Berdasarkan Kategori PMO
Kategori PMO Jumlah Persentase
Baik 34 55,7%
Cukup Baik 12 19,7%
Kurang Baik 15 24,6%
5.1.3.4. Tingkat Kepatuhan Berobat
Tingkat kepatuhan berobat penderita TB Paru diperoleh melalui angket yang berjumlah 6 pertanyaan. Sebanyak 56 responden (91,8%) tidak pernah lupa meminum OAT pada tahap awal pengobatan (2 bulan) sedangkan 5 responden (8,2%) terkadang lupa meminum OAT. Ada 48 respoden (78,7%) tidak pernah lupa meminum OAT pada tahap lanjutan pengobatan (4 bulan), 10 responden (16,4%) terkadang lupa meminum OAT, dan 3 responden (4,9%) yang sering lupa meminum OAT.
Dari hasil penelitian, didapati sebanyak 58 responden (95,1%) tidak pernah meminum OAT yang tidak sesuai dosis yang ditetapkan sedangkan 3 responden (4,9%) yang terkadang tidak sesuai. Sebanyak 55 responden (90,2%) tidak pernah mengganti OAT dengan obat herbal atau tradisional sedangkan 6 responden (9,8%) yang terkadang pernah.
Tabel 5.11. Distribusi Kepatuhan Responden Penelitian
Pertanyaan Pengawas Menelan Obat (PMO) Jumlah Persentase
Lupa meminum OAT selama tahap awal pengobatan (2 bulan)
1. Tidak pernah 56 91,8%
2. Kadang-kadang (1-3 kali/bulan) 5 8,2%
3. Sering (>3 kali/bulan) 0 0%
Total 61 100%
Lupa meminum OAT selama tahap lanjutan pengobatan (4 bulan)
1. Tidak pernah 48 78,7%
2. Kadang-kadang (1-3 kali/bulan) 10 16,4%
3. Sering (>3 kali/bulan) 3 4,9%
Total 61 100%
Meminum OAT tidak sesuai dosis
1. Tidak pernah 58 95,1%
2. Kadang-kadang (1-3 kali dalam sebulan) 3 4,9%
3. Sering (>3 kali dalam sebulan) 0 0%
Total 61 100%
Mengganti OAT dengan obat herbal atau tradisional
1. Tidak pernah 55 90,2%
2. Kadang-kadang (1-3 kali dalam sebulan) 6 9,8%
3. Sering (>3 kali dalam sebulan) 0 0%
Total 61 100%
Terlambat mengambil OAT di rumah sakit
1. Tidak pernah 50 82%
2. Kadang-kadang (1-2 kali) 11 18%
3. Sering (>2 kali) 0 0%
Total 61 100%
Selalu mematuhi jadwal pemeriksaan dahak
1. Ya 56 91,8%
2. Tidak 5 8,2%
Total 61 100%
Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa setelah dilakukan pengkategorian berdasarkan jawaban responden, sebanyak 55 responden (90,2%) berada dalam kategori patuh sedangkan 6 responden (9,8%) berada dalam kategori tidak patuh.
Tabel 5.12. Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Tingkat Kepatuhan Berobat
Kategori Tingkat Kepatuhan Berobat Jumlah Persentase
Patuh 55 90,2%
Tidak Patuh 6 9,8%
[image:40.595.98.526.131.527.2]5.1.4. Hasil Analisis Bivariat
Untuk melihat hubungan pengetahuan penderita TB Paru, faktor penyuluhan kesehatan, dan pengawas melelan obat (PMO) terhadap tingkat kepatuhan berobat penderita TB Paru digunakan uji hipotesis Fisher’s Exact Test.
Pada hubungan variabel antara pengetahuan penderita TB Paru terhadap tingkat kepatuhan berobat, didapati nilai adalah ρ=0,000 yang menunjukkan bahwa adanya hubungan secara signifikan antara pengetahuan penderita TB Paru dengan tingkat kepatuhan berobat. Hal ini menandakan bahwa hipotesis H0 ditolak.
Variabel antara faktor penyuluhan kesehatan terhadap tingkat kepatuhan berobat juga bernilai ρ=0,000. Sama halnya dengan variabel antara pengawas menelan obat (PMO) terhadap tingkat kepatuhan berobat pun bernilai ρ=0,004 yang menunjukkan bahwa adanya hubungan secara signifikan antara pengawas menelan obat (PMO) dengan tingkat kepatuhan berobat.
5.2. Pembahasan
Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan penderita TB Paru, faktor penyuluhan kesehatan, dan pengawas menelan obat (PMO) terhadap kepatuhan berobat TB Paru di RSUP H. Adam Malik Medan pada tahun 2015.
5.2.1. Pengaruh Pengetahuan Penderita TB Paru Terhadap Tingkat Kepatuhan Berobat.
Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian Firdous et.al (2006) yang menyatakan bahwa orang yang memiliki pengetahuan yang baik 5,5 kali lebih patuh dibandingkan dengan yang berpengetahuan tidak baik. Hal serupa juga yang didapati dari penelitian Erawatyningsih et.al (2009).
Sedangkan penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Ivanti (2009) yang menyatakan bahwa pengetahuan responden tidak mempunyai pengaruh terhadap tingkat kepatuhan berobat. Hal tidak serupa juga didapatkan dari penelitian Kurniawan et.al (2011) yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara pengetahuan dan kepatuhan berobat walaupun pada kelompok berpengetahuan rendah didapati lebih banyak tidak patuh (55,5%).
Hasil penelitian ini juga sesuai dengan pendapat Notoatmodjo (2003), bahwa tindakan seseorang terhadap masalah kesehatan pada dasarnya dipengaruhi oleh pengetahuan seseorang tentang masalah tersebut. Dalam hal ini, pengetahuan yang dimiliki oleh penderita TB Paru berhubungan dengan tingkat kepatuhan berobat, semakin tinggi pengetahuan penderita TB Paru tentang penyakitnya maka akan semakin patuh berobat.
Menurut Notoatmodjo (2003), perubahan perilaku itu mengikuti tahap-tahap melalui proses perubahan pengetahuan (knowledge) – sikap (attitude) – praktek (practice). Beberapa penelitian telah membuktikan hal itu, namun penelitian lain juga membuktikan bahwa proses tersebut tidak selalu berdasarkan teori di atas, bahkan dalam praktik sehari-hari terjadi sebaliknya. Meskipun demikian, Rogers (Notoatmodjo, 2003) menyimpulkan bahwa perilaku baru yang melalui proses yang didasari oleh pengetahuan, kesadaran, dan sikap yang positif akan bersifat langgeng, begitu juga sebaliknya.
Hal ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan Erawatyningsih et.al (2009) yang mendapati bahwa ada hubungan antara tingkat pendidikan terhadap tingkat kepatuhan berobat penderita tuberkulosis. Penelitian Sukoco (2011) juga menyatakan bahwa responden berpendidikan rendah mempunyai risiko TB sebesar 1,61 kali dibanding responden berpendidikan tinggi.
5.2.2. Pengaruh Faktor Penyuluhan Kesehatan Terhadap Tingkat Kepatuhan Berobat
Uji hipotesis Fisher’s Exact Test menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara faktor penyuluhan kesehatan terhadap tingkat kepatuhan berobat (ρ=0,000). Hal ini sesuai dengan penelitian Eliska (2005) yang menyatakan faktor pelayanan kesehatan yaitu penyuluhan kesehatan mempunyai hubungan yang signifikan dengan tingkat kepatuhan berobat. Sedangkan penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Sari (2011) dan Zuliana (2009) yang menyatakan faktor pelayanan kesehatan yaitu penyuluhan kesehatan tidak mempunyai hubungan terhadap tingkat kepatuhan berobat.
Penelitian ini juga sejalan dengan Senewe (2002) yang mendapati bahwa ada hubungan antara penyuluhan kesehatan terhadap kepatuhan berobat penderita tuberkulosis. Penelitian tersebut menyatakan bahwa penderita yang mendapat penyuluhan yang baik memiliki kemungkinan 4,19 kali untuk teratur atau patuh berobat dibandingkan dengan penderita yang tidak mendapat penyuluhan dengan baik.
Penyuluhan kesehatan yang dilakukan dengan cara kunjungan rumah juga memberikan pengaruh dalam kepatuhan berobat penderita tuberkulosis. Penelitian Senewe (2002) menunjukkan bahwa penderita yang mendapat kunjungan petugas kesehatan mempunyai kemungkinan 2,15 kali untuk patuh berobat dibandingkan penderita yang tidak.
5.2.3. Pengaruh Pengawas Menelan Obat (PMO) Terhadap Tingkat Kepatuhan Berobat
Berdasarkan analisi bivariat dengan uji hipotesis Fisher’s Exact Test, didapatkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara PMO terhadap tingkat kepatuhan berobat (ρ=0,004). Hal ini sejalan dengan penelitian Sari (2011) dan Zuliana (2009) yang menyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara pengaruh PMO terhadap tingkat kepatuhan berobat. Sedangkan penelitian ini tidak sejalan dengan Ivanti (2009) yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara PMO terhadap tingkat kepatuhan berobat.
Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian Firdous et.al (2006) yang menyatakan bahwa ada hubungan antara peran PMO terhadap kepatuhan berobat penderita tuberkulosis. Penelitian tersebut menyatakan bahwa penderita yang memiliki PMO yang baik memiliki kemungkinan 4,5 kali untuk teratur berobat dibandingkan dengan penderita yang tidak. Hal serupa juga yang didapati dari penelitian Erawatyningsih et.al (2009).
Berdasarkan penelitian Pulungan (2014) didapati bahwa PMO yang memiliki pengetahuan yang baik tentang tuberkulosis memiliki hubungan yang signifikan dengan keberhasilan pengobatan tuberkulosis. Tetapi berdasarkan penelitian Sutanta (2014) menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan terakhir PMO terhadap kepatuan pasien TB dalam berobat.
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Terdapat 47 responden (77%) memiliki pengetahuan yang baik mengenai penyakit TB Paru, 8 responden (13,2%) yang pengetahuannya cukup baik, dan 6 responden (9,8%) yang pengetahuannya kurang baik.
2. Terdapat 52 responden (85,2%) yang mendapat penyuluhan yang baik dari petugas kesehatan, 7 responden (11,5%) yang cukup baik, dan 2 responden (3,3%) yang kurang baik.
3. Terdapat 34 responden (55,7) yang memiliki PMO dalam kategori baik, 12 responden (19,7%) yang cukup baik, dan 15 responden (24,6%) yang kurang baik.
4. Terdapat 55 responden (90,2%) yang berada dalam kategori patuh dalam menjalani pengobatan TB Paru sedangkan 6 responden (9,8%) berada dalam kategori tidak patuh.
5. Didapati adanya hubungan yang signifikan antara variabel pengetahuan penderita TB Paru (ρ=0,000), faktor penyuluhan kesehatan (ρ=0,000), dan PMO (ρ=0,004) terhadap tingkat kepatuhan berobat pasien TB Paru di RSUP H. Adam Malik Medan pada tahun 2015.
6.2. Saran
Berdasarkan hasil penelitian, peniliti mengajukan beberapa saran, yaitu : 1. Diharapkan petugas untuk mengingatkan penderita TB Paru agar ada
2. Diharapkan petugas melakukan penyuluhan kesehatan secara berkesinambungan baik kepada penderita TB Paru, keluarganya, dan terlebih kepada orang yang bertugas menjadi PMO bagi penderita TB Paru tersebut. Hal ini dalam rangka meningkatkan pengetahuan penderita TB Paru, keluargam dan PMO.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tuberkulosis
2.1.1. Definisi
Tuberkulosis (TB) paru adalah penyakit radang parenkim paru karena infeksi bakteri Mycobaterium tuberculosis. Penyebaran bakteri ini dapat terjadi melalu udara secara droplet. Tuberkulosis paru termasuk pneumonia yang disebabkan oleh M. tuberculosis. Tuberkulosis paru mencakup 80% dari keseluruhan kejadian penyakit tuberkulosis, sedangkan 20% selebihnya merupakan tuberkulosis ektrapulmonal (di luar paru). Diperkiran sepertiga penduduk dunia pernah terinfeksi bakteri M. tuberculosis (Djojodibroto, 2007). 2.1.2. Mycobacterium tuberculosis
M. tuberculosis ditemukan oleh Robert Koch pada tahun 1982 pada isolasi patogen dari lesi. Morfologi dari bakteri ini adalah berbentuk batang yang tahan asam, ramping, lebar 0,4µm, panjang 3-4µ m, tidak berspora, dan tidak bergerak. Bakteri ini dapat diwarnai dengan menggunakan metode khusus (Ziehl-Nelsen, Kinyoun, fluorescence) (Kayser, 2005).
Bakteri ini menunjukan peningkatan pertumbuhan pada keadaan dengan kadar CO2 10% dan pH berkisar antara 6,5 sampai 6,8 (Plorde, 2004). Pembelahan bakteri ini membutuhkan waktu 12-18 jam sehingga kultur bakteri ini harus diinkubasi selama tiga sampai delapan minggu pada suhu 37oC hingga proliferasi terlihat secara makroskopis (Kayser, 2005).
nekrosis kaseous. Lipid berperan dalam ketahanan bakteri ini terhadap asam. Penghilangannya dengan menggunakan asam yang kuat dapat menghancurkan sifat tahan asam . Sifat tahan asam juga dapat hilang setelah dilakukan sonikasi pada sel mycobacterium (Jawetz, 2007)
2.1.3. Patogenesis TB Paru
a. Tuberkulosis Primer
Tuberkulosis paru terjadi karena bakteri M. tuberculosis dibatukkan atau dibersinkan keluar menjadi droplet nuclei dalam udara sekitar kita. Partikel infeksi ini dapat menetap dalam udara bebas selama 1-2 jam, tergantung pada ada atau tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi yang buruk, dan kelembaban. Dalam suasana lembab dan gelap bakteri dapat tahan berhari-hari sampai berbulan-bulan (Amin & Asril, 2009) . Partikel bakteri yang berada dalam udara bebas berbentuk aerosol dengan ukuran 1-5µ m. Jika kita menghirupnya maka aerosol akan menetap di bagian distal saluran pernapasan melewati bronkiolus terminal (Mason & Summer, 2010).
Individu yang terinfeksi M. tuberculosis pertama kalinya, pada mulanya hanya memberikan reaksi seperti ada benda asing dalam saluran pernapasannya. Hal ini disebabkan karena tubuh tidak mempunyai pengalaman dengan bakteri ini (Djojojdibroto, 2007). Kemudian bakteri akan bermultiplikasi dan difagosit oleh makrofag. Bakteri ini bisa melanjutkan multiplikasinya di dalam makrofag atau menjadi dorman untuk beberapa tahun. Beberapa bakteri terbawa ke bagian hilus dan nodus limfe mediastinum serta ke organ lainnya, termasuk hati, limpa, selaput otak, dan ginjal (Mason & Summer, 2010). Setelah 3-10 minggu, M. tuberculosis akan mendapat perlawanan yang berarti dari mekanisme sistem pertahanan tubuh. Proses pembentukan pertahanan imunitas seluler akan lengkap setelah 10 minggu (Djojodibroto, 2007).
tuberculosis karena hasil tes mantoux menunjukkan hasil positif (Djojodibroto, 2007).
M. tuberculosis akan membelah diri secara lambat di alveolus. Tempat bakteri membelah ini kemudian menjadi lesi inisial (Initial lung lesion) tempat pembentukan granuloma yang kemudian mengalami nekrosis dan perkijuan (kaseasi) di tengahnya. Infeksi ini biasanya berhasil dibatasi agar tidak menyebar dengan cara terbentuknya fibrosis yang mengelilingi granuloma. Nodus limfa yang menampung aliran cairan limfa yang berasal dari lesi inisial juga terinfeksi sehingga juga meradang. Lesi inisial ketika meradang disebut fokus inisial atau sarang primer (Ghon). Fokus inisial dikelilingi oleh sel epiteloid, histiosit, dan sel datia Langhans, sel limfoid, dan jaringan fibrosa. Fokus inisial yang meradang bersama kelenjar limfa yang meradang disebut kompleks primer (Ranke) (Djojodibroto, 2007).
Kompleks primer ini selanjutnya dapat menjadi:
Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat. Ini yang banyak terjadi.
Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas garis-garis fibrotik, kalsifikasi di hilus, keadaan ini terdapat pada lesi pneumonia yang luasnya >5mm dan ± 10% di antaranya dapat terjadi reaktivitasi lagi karena bakteri yang dorman.
b. Tuberkulosis Pasca Primer
Dari tuberkulosis primer ini akan muncul bertahun-tahun kemudian tuberkulosis pasca primer, biasanya pada usia 15-40 tahun. Tuberkulosis pasca primer mempunyai nama yang bermacam macam yaitu tuberkulosis bentuk dewasa, localized tuberculosis, tuberkulosis menahun, dan sebagainya. Bentuk tuberkulosis inilah yang terutama menjadi problem kesehatan rakyat, karena dapat menjadi sumber penularan. Tuberkulosis pasca primer dimulai dengan sarang dini, yang umumnya terletak di segmen apikal dari lobus superior maupun lobus inferior. Sarang dini ini awalnya berbentuk suatu sarang pneumonik kecil (PDPI, 2006)..
Nasib sarang pneumonik ini akan mengikuti salah satu jalan sebagai berikut (PDPI, 2006):
1. Diresopsi kembali, dan sembuh kembali dengan tidak meninggalkan cacat. 2. Sarang tadi mula mula meluas, tapi segera terjadi proses penyembuhan
dengan penyebukan jaringan fibrosis. Selanjutnya akan membungkus diri menjadi lebih keras, terjadi perkapuran, dan akan sembuh dalam bentuk perkapuran. Sebaliknya dapat juga sarang tersebut menjadi aktif kembali, membentuk jaringan keju dan menimbulkan kaviti bila jaringan keju dibatukkan keluar.
3. Sarang pneumonik meluas, membentuk jaringan keju (jaringan kaseosa). Kaviti akan muncul dengan dibatukkannya jaringan keju keluar. Kaviti awalnya berdinding tipis, kemudian dindingnya akan menjadi tebal (kaviti sklerotik) . Nasib kaviti ini :
Mungkin meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumonik baru. Sarang pneumonik ini akan mengikuti pola perjalanan seperti yang disebutkan diatas .
Kaviti bisa pula menjadi bersih dan menyembuh yang disebut open healed cavity, atau kaviti menyembuh dengan membungkus diri, akhirnya mengecil. Kemungkinan berakhir sebagai kaviti yang terbungkus, dan menciut sehingga kelihatan seperti bintang (stellate shaped).
Gambar 2.2 Perkembangan Sarang Tuberculosis Post Primer Sumber : Pedoman Penatalaksanaan TB (Konsensus TB) (PDPI, 2006) 2.1.4. Gejala Klinis TB Paru
tersebut diatas, dianggap sebagai seorang tersangka (suspek) pasien TB dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung (Menkes RI, .2009).
Demam biasanya subfebril walaupun terkadang dapat mencapai 40-410C. Serangan demam pertama dapat sembuh sebentar, tetapi kemudian dapat timbul kembali. Begitulah seterusnya hilang timbulnya demam sehingga pasien merasa ridak pernah terbebas dari serangan demam ini. Keadaan ini sangat dipengaruhi oleh daya tahan tubuh pasien dan berat ringannya infeksi bakteri tuberkulosis yang masuk.
Batuk atau batuk berdahak merupakan gejala yang banyak ditemukan. Batuk terjadi karena adanya iritasi pada bronkus. Sifat batuk dimulai dari batuk kering (non-produktif) kemudian sering timbul peradangan menjadi produktif (menghasilkan sputum). Keadaan yang lanjut adalah berupa batuk darah karena terdapat pembuluh darah yang pecah.
Sesak napas belum dirasakan saat awal perjalanan penyakit. Sesak napas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, yang infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian paru-paru.
Nyeri dada agak jarang ditemukan. Terjadi jika infiltrasi radang sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis. Terjadi gesekan kedua pleura sewaktu pasien menarik atau melepaskan napasnya.
Malaise sering ditemukan berupa anoreksia, badan semakin kurus (BB turun), sakit kepala, meriang, nyeri otot, keringat malam, dll. Gejala malaise ini semakin lama semakin berat dan terjadi hilang timbul secara tidak teratur (Amin & Asril, 2009).
2.1.5. Diagnosis TB Paru
dan nyeri dada. Sedangkan gejala sistemik yaitu demam, malaise, keringat malam, anoreksia, dan berat badan menurun (PDPI, 2006).
Menurut Kepmenkes RI pada tahun 2009, penegakan diagnosis TB paru dapat dilakukan dengan cara :
a. Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu sewaktu - pagi - sewaktu (SPS).
lnterpretasi hasil pemeriksaan mikroskopik dari 3 kali pemeriksaan (PDPI, 2006) ialah bila :
2 kali positif, 1 kali negatif → Mikroskopik positif
1 kali positif, 2 kali negatif → ulang BTA 3 kali , kemudian bila 1 kali positif, 2 kali negatif → Mikroskopik positif
bila 3 kali negatf → Mikroskopik negatif
b. Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya bakteri TB (BTA). Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya.
c. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis.
d. Gambaran kelainan radiologik Paru tidak selalu menunjukkan aktifitas penyakit.
Gambar 2.3 Skema Alur Diagnosis TB paru
2.1.6. Pengobatan TB Paru
Dibawah ini adalah pedoman penanggulangan TB di Indonesia menurut Depkes RI pada tahun 2011.
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutus rantai penularan, dan mencegah terjadinya resistensi bakteri terhadapa Obat Anti Tuberkulosis (OAT).
[image:57.595.117.567.373.614.2]Jenis, sifat dan dosis OAT yang akan dijelaskan adalah yang tergolong pada lini pertama. Secara ringkas OAT lini pertama dijelaskan pada tabel dibawah ini:
Tabel 2.1 Pengelompokan OAT
Tabel 2.2 Jenis, sifat, dan dosis OAT lini pertama
Sumber : Pedoman Penanggulangan TB di Indonesia (Depkes RI, 2011)
Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut:
OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat,dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.
Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment) olehseorang Pengawas Menelan Obat (PMO).
Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.
Tahap awal (intensif)
a. Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perludiawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. b. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya
c. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan.
Tahap Lanjutan
a. Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama.
b. Tahap lanjutan penting untuk membunuh bakteri persisten sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.
Paduan OAT yang digunakan di Indonesia
Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia:
a. Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3.
b. Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3.
Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan (HRZE). c. Kategori Anak: 2HRZ/4HR
d. Obat yang digunakan dalam tatalaksana pasien TB resistan obat di Indonesia terdiri dari OAT lini ke-2 yaitu Kanamycin, Capreomisin, Levofloksasin, Ethionamide, Sikloserin dan PAS, serta OAT lini-1, yaitu pirazinamid and etambutol.
Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket berupa obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiridari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien.
Paket Kombipak.
Paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam bentuk paket, dengan tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan pengobatan sampai selesai. Satu (1) paket untuk satu (1) pasien dalam satu (1) masa pengobatan.
KDT mempunyai beberapa keuntungan dalam pengobatan TB: 1) Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga
menjamin efektifitas obat dan mengurangi efek samping. 2) Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan risiko
terjadinya resistensi obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisanresep.
3) Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat menjadi sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien Paduan OAT lini pertama dan peruntukannya.
a. Kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
Pasien baru TB paru BTA positif.
Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif
Pasien TB ekstra paru
Tabel 2.3 Dosis untuk paduan OAT KDT untuk Kategori I
Tabel 2.4 Dosis paduan OAT-Kombipak untuk Kategori I
Sumber : Pedoman Penanggulangan TB di Indonesia (Depkes RI, 2011)
b. Kategori -2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya:
Pasien kambuh
Pasien gagal
[image:61.595.119.555.450.600.2] Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)
Tabel 2.5 Dosis untuk paduan OAT KDT untuk Kategori II
Tabel 2.6 Dosis paduan OAT-Kombipak untuk Kategori II
Sumber : Pedoman Penanggulangan TB di Indonesia (Depkes RI, 2011) Catatan:
Untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas dosis maksimal untuk streptomisin adalah 500mg tanpa memperhatikan berat badan.
Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB dalam keadaan khusus.
Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan menambahkan aquabidest sebanyak 3,7ml sehingga menjadi 4ml.(1ml = 250mg).
c. OAT Sisipan (HRZE)
Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket untuk tahap intensif kategori 1 yang diberikan selama sebulan (28 hari).
Tabel 2.7 Dosis KDT untuk Sisipan
[image:62.595.114.549.603.686.2]Tabel 2.8 Dosis OAT Kombipak untuk Sisipan
Sumber : Pedoman Penanggulangan TB di Indonesia (Depkes RI, 2011) Penggunaan OAT lini kedua misalnya golongan aminoglikosida (misalnya kanamisin) dan golongan kuinolon tidak dianjurkan diberikan kepada pasien baru tanpa indikasi yang jelas karena potensi obat tersebut jauh lebih rendah daripada OAT lini pertama. Disamping itu dapat juga meningkatkan terjadinya risiko resistensi pada OAT lini kedua.
Efek samping OAT
Tabel 2.9 Efek samping ringan OAT
[image:63.595.117.526.467.583.2]Tabel 2.10 Efek samping berat OAT
Sumber : Pedoman Penatalaksanaan TB (Konsensus TB) (PDPI, 2006)
2.2. Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui pancaindera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo, 2010).
Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang. Rogers (1974) dalam Notoatmodjo (2003) mengungkapkan bahwa sebelum mengadopsi perilaku baru, didalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan: awareness, yakni mengetahui objek; interest, yakni tertarik kepada objek; evaluation, yakni menimbang baik tidaknya objek; trial, yakni mencoba perilaku baru; dan adoption, yakni berperilaku dengan sadar pada tentang objek.
1. Tahu (Know), diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk di dalamnya adalah mampu mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari seluruh objek yang telah dipelajari atau rangsangan yang telah diberikan. Tingkatan ini merupakan tingkat pengetahuan paling rendah. Kata kerja untuk mengukurnya antara lain menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan, dsb.
2. Memahami (Comprehension), diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi secara benar. Kata kerja untuk mengukurnya antara lain menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dsb.
3. Aplikasi (Aplication), diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi sebenarnya. Aplikasi di sini dapat iartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum, rumus, metode, prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.
4. Analisis (Analysis), adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu organisasi dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kata kerja untuk mengukurnya antara lain menggambarkan (membuat bagan), membedakan, memisahkan, mengelompokkan, dsb.
5. Sintesis (Synthesis), merujuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pengetahuan sese