• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Pengetahuan Penderita TB Paru, Faktor Penyuluhan Kesehatan, dan Pengawas Menelan Obat (PMO) Terhadap Tingkat Kepatuhan Berobat di RSUP H. Adam Malik Medan pada Tahun 2015

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Pengetahuan Penderita TB Paru, Faktor Penyuluhan Kesehatan, dan Pengawas Menelan Obat (PMO) Terhadap Tingkat Kepatuhan Berobat di RSUP H. Adam Malik Medan pada Tahun 2015"

Copied!
90
0
0

Teks penuh

(1)

Lampiran 1

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Chandra Meilyn Manurung

Tempat / TanggalLahir : Jambi, 2 Mei 1995

Agama : Kristen Protestan

Alamat : Jl. Jamin Ginting gg. Maju No.16 Medan Baru RiwayatPendidikan :

1. Sekolah Dasar YPMM Tebing Tinggi Jambi (2001-2007) 2. Sekolah Menengah Pertama Negeri 7 Kota Jambi (2007-2009)

3. Sekolah Menengah Atas Negeri Titian Teras HAS Jambi (2009-2012) Riwayat Organisasi/Kepanitian :

1. UKM KMK USU UP FK Periode 2014 dan 2015 2. Panitia Try Out SBMPTN FK USU 2013

(2)

Lampiran 2

LEMBAR PENJELASAN KEPADA CALON SUBJEK PENELITIAN Dengan hormat,

Saya, yang bernama Chandra Meilyn Manurung/NIM 120100096, adalah mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Saat ini saya sedang mengadakan penelitian dengan judul “Pengaruh Pengetahuan Penderita TB Paru, Faktor Penyuluhan Kesehatan, dan Pengawas Menelan Obat (PMO) Terhadap Tingkat Kepatuhan Berobat di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2015”. Penelitian ini dilakukan sebagai salah satu kegiatan dalam menyelesaikan proses belajar mengajar pada blok Community Research Programme.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pengetahuan penderita TB Paru, faktor penyuluhan kesehatan, dan Pengawas Menelan Obat (PMO) terhadap tingkat kepatuhan berobat di Puskesmas Pegajahan Kabupaten Serdang Bedagai tahun 2014. Adapun manfaat dari penelitian ini adalah untuk meningkatkan upaya penanggulangan penyakit TB Paru.

Partisipasi saudara/i bersifat sukarela dan tanpa paksaan. Identitas pribadi saudara/i sebagai partisipan akan dirahasiakan dan semua informasi yang diberikan hanya akan digunakan untuk penelitian ini. Untuk penelitian ini, saudara/i tidak dikenakan biaya apa pun. Bila saudara/i membutuhkan penjelasan, maka dapat menghubungi saya :

Nama : Chandra Meilyn Manurung

(3)

Lampiran 3

LEMBAR PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN (PSP)

(INFORMED CONSENT)

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama :

Umur :

Alamat :

Telp/HP :

Setelah mendapat penjelasan dari peneliti tentang penelitian “Pengaruh Pengetahuan Penderita TB Paru, Faktor Penyuluhan Kesehatan, dan Pengawas Menelan Obat (PMO) Terhadap Tingkat Kepatuhan Berobat di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2015”, maka dengan ini saya secara sukarela dan tanpa paksaan menyatakan bersedia ikut serta dalam penelitian tersebut.

Demikianlah surat pernyataan ini untuk dapat dipergunakan seperlunya.

…..………, ………...2015

(4)

Lampiran 4

KUESIONER PENELITIAN

PENGARUH PENGETAHUAN PENDERITA TUBERKULOSIS PARU, FAKTOR PENYULUHAN KESEHATAN DAN PENGAWAS MENELAN

OBAT (PMO) TERHADAP TINGKAT KEPATUHAN BEROBAT DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2015

A. Identitas Responden Nama : Umur : Alamat :

Pendidikan : 1. Tidak tamat SD 4. SLTA

2. SD 5. Akademi/ Sarjana 3. SLTP

Pekerjaan :

B. Pengetahuan Responden

Beri tanda silang (x) atau lingkari jawaban pilihan anda

1. Menurut Anda apakah yang dimaksud dengan penyakit Tuberkulosis paru? a. Penyakit menular pada paru-paru yang disebabkan oleh kuman/bakteri b. Penyakit karena penyempitan rongga saluran pernafasan

c. Penyakit paru yang disebabkan karena paru-paru tidak bisa mengembang dengan sempurna

2. Menurut Anda apakah penyebab penyakit Tuberkulosis Paru? a. Infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis

b. Infeksi Virus H5N1 c. Infeksi Jamur Aspergillus

3. Menurut Anda apa gejala atau tanda seseorang terkena penyakit Tuberkulosis Paru? a. Sesak napas, oyong dan hilang keseimbangan

b. Demam, terdapat bintik-bintik merah pada kulit, dan keringat pada malam hari c. Batuk berdahak 2-3 minggu, berkeringat pada malam hari, dan demam

4. Menurut Anda bagaimana cara pengobatan dan meminum obat Tuberkulosis Paru? a. Obat diminum setiap harinya selama 2 bulan

b. Pada tahap awal (2 bulan) obat diminum setiap hari dan pada tahap lanjutan (4 bulan) obat diminum 3 kali dalam seminggu

(5)

5. Menurut Anda apa kegunaan pemeriksaan dahak dalam pemantauan pengobatan Tuberkulosis Paru?

a. Tidak ada

b. Untuk memantau kemajuan pengobatan dan memastikan kesembuhan c. Untuk memastikan bahwa kuman sudah tidak ada lagi sehingga pengobatan

bisa dihentikan walau belum mencapai minimal waktu pengobatan agar biaya pengobatan bisa ditekan

6. Menurut Anda apa efek samping obat-obat dalam pengobatan Tuberkulosis Paru? a. Menambah berat badan, kesulitan dalam bergerak, dan sulit tidur

b. Air seni (urin) menjadi merah, nyeri sendi, dan gatal-gatal c. Mudah mengantuk, sulit BAB, dan menambah berat badan

7. Menurut Anda imunisasi apa yang diberikan untuk mencegah Tuberkulosis Paru? a. Imuniasi MMR

b. Imunisasi BCG c. Imunisasi DPT C. Penyuluhan Kesehatan

No Pertanyaan Jawaban Pernah Tidak Pernah

1 Apakah petugas kesehatan pernah memberikan penyuluhan tentang penyakit Tuberkulosis Paru selama dalam pengobatan? 2 Apakah petugas kesehatan pernah menjelaskan bahwa

penyakit Tuberkulosis Paru dapat menular?

3 Apakah petugas kesehatan pernah memberi tahu bahwa pengobatan Tuberkulosis Paru tidak sebentar (6 bulan)? 4 Apakah petugas kesehatan pernah

menjelaskan tentang pengobatan Tuberkulosis Paru harus teratur?

5 Apakah petugas kesehatan pernah menjelaskan tentang jadwal minum obat? 6 Apakah petugas kesehatan pernah

menjelaskan tentang hal-hal yang dapat

memperburuk keadaan penderita Tuberkulosis Paru? 7 Apakah petugas kesehatan pernah menjelaskan tentang

kegagalan pengobatan akibat ketidakpatuhan pengobatan?

8 Apakah petugas kesehatan pernah menjelaskan perlunya seseorang yang mengawasi dan mengingatkan minum obat?

9 Apakah petugas kesehatan pernah menjelaskan tentang penyakit Tuberkulosis Paru kepada orang yang

(6)

D. Pengawas Menelan Obat

PMO (Pengawas Menelan Obat) adalah orang yang mengawasi dan mengingatkan Anda menelan Obat. Termasuk di dalamnya adalah anggota keluarga Anda.

1. Apakah ada yang mengawasi anda menelan obat? a. Ada, siapa...

b. Tidak ada

2. Apakah PMO (orang yang mengawasi Anda menelan obat) selalu memberikan semangat kepada Anda untuk sembuh?

a. Ya b. Tidak

3. Apakah PMO selalu mengingatkan Anda untuk mengambil obat dan memeriksakan dahak sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan?

a. Ya b. Tidak

4. Apakah PMO selalu mengawasi Anda dalam menelan obat? a. Ya

b. Tidak

5. Apakah PMO selalu menegur Anda, bila Anda tidak mau atau lalai minum obat?

a. Ya b. Tidak

E. Kepatuhan Berobat

1. Apakah selama pengobatan tahap awal (2 bulan ), Anda pernah lupa minum obat Tuberkulosis?

a. Sering (>3 kali pernah lupa minum obat/bulan) b. Kadang-kadang (1-3 kali pernah lupa/bulan) c. Tidak pernah

2. Apakah selama pengobatan tahap lanjutan (4 bulan), Anda pernah lupa minum obat Tuberkulosis?

(7)

3. Apakah Anda pernah meminum obat Tuberkulosis tidak sesuai dengan dosis yang ditentukan?

a. Sering (>3 kali dalam sebulan)

b. Kadang-kadang (1-3 kali dalam sebulan) c. Tidak pernah

4. Apakah Anda pernah mengganti obat Tuberkulosis dengan obat lain/obat tradisional sehingga Anda tidak meminum obat Tuberkulosis?

a. Sering (>3 kali dalam sebulan)

b. Kadang-kadang (1-3 kali dalam sebulan) c. Tidak pernah

5. Apakah Anda pernah terlambat mengambil obat Tuberkulosis? a. Sering (>2 kali)

b. Pernah (1-2 kali) c. Tidak pernah

6. Apakah Anda selalu mematuhi jadwal pemeriksaan dahak yang telah ditetapkan? a. Ya

(8)

Lampiran 5

Hasil Uji Validitas dan Realibilitas

1. Pengetahuan

Correlations

1 2 3 4 5 6

1

Pearson Correlation 1 .663** .373 .134 -.126 .031

Sig. (2-tailed) .001 .105 .574 .597 .898

N 20 20 20 20 20 20

2

Pearson Correlation .663** 1 .242 .043 .061 .279

Sig. (2-tailed) .001 .303 .858 .800 .234

N 20 20 20 20 20 20

3

Pearson Correlation .373 .242 1 .123 .058 .099

Sig. (2-tailed) .105 .303 .605 .808 .679

N 20 20 20 20 20 20

4

Pearson Correlation .134 .043 .123 1 -.236 -.057

Sig. (2-tailed) .574 .858 .605 .317 .811

N 20 20 20 20 20 20

5

Pearson Correlation -.126 .061 .058 -.236 1 .728**

Sig. (2-tailed) .597 .800 .808 .317 .000

N 20 20 20 20 20 20

6

Pearson Correlation .031 .279 .099 -.057 .728** 1

Sig. (2-tailed) .898 .234 .679 .811 .000

N 20 20 20 20 20 20

7

Pearson Correlation .435 .560* .242 .257 .061 -.015

Sig. (2-tailed) .055 .010 .303 .274 .800 .951

N 20 20 20 20 20 20

8

Pearson Correlation .436 .314 .503* -.204 .115 -.140

Sig. (2-tailed) .054 .177 .024 .388 .628 .556

N 20 20 20 20 20 20

9

Pearson Correlation .206 .121 .453* .043 .545* .279

Sig. (2-tailed) .384 .612 .045 .858 .013 .234

N 20 20 20 20 20 20

10

Pearson Correlation .480* .319 .390 .385 -.061 -.279

Sig. (2-tailed) .032 .171 .089 .094 .800 .234

N 20 20 20 20 20 20

(9)

Sig. (2-tailed) .001 .002 .003 .274 .127 .200

N 20 20 20 20 20 20

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). Cronbach's Alpha = 0,850

2. Faktor Penyuluhan

Correlations

1 2 3 4 5 6

1

Pearson Correlation 1 .157 .218 .375 .000 .357

Sig. (2-tailed) .508 .355 .103 1.000 .122

N 20 20 20 20 20 20

2

Pearson Correlation .157 1 .435 .419 .524* .043

Sig. (2-tailed) .508 .055 .066 .018 .858

N 20 20 20 20 20 20

3

Pearson Correlation .218 .435 1 .491* .000 .356

Sig. (2-tailed) .355 .055 .028 1.000 .123

N 20 20 20 20 20 20

4

Pearson Correlation .375 .419 .491* 1 .250 .102

Sig. (2-tailed) .103 .066 .028 .288 .669

N 20 20 20 20 20 20

5

Pearson Correlation .000 .524* .000 .250 1 .204

Sig. (2-tailed) 1.000 .018 1.000 .288 .388

N 20 20 20 20 20 20

6

Pearson Correlation .357 .043 .356 .102 .204 1

Sig. (2-tailed) .122 .858 .123 .669 .388

N 20 20 20 20 20 20

7

Pearson Correlation .157 .780** .206 .419 .524* -.171

Sig. (2-tailed) .508 .000 .384 .066 .018 .471

N 20 20 20 20 20 20

8

Pearson Correlation .302 .601** .504* .553* .302 .082

Sig. (2-tailed) .196 .005 .023 .011 .196 .731

N 20 20 20 20 20 20

9 Pearson Correlation .612

**

.685** .579** .612** .204 .167

(10)

N 20 20 20 20 20 20

10

Pearson Correlation .452* .453* .154 .452* .503* -.082

Sig. (2-tailed) .045 .045 .518 .045 .024 .731

N 20 20 20 20 20 20

TOTAL

Pearson Correlation .538* .789** .598** .701** .554* .313

Sig. (2-tailed) .014 .000 .005 .001 .011 .179

N 20 20 20 20 20 20

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).

Cronbach's Alpha= 0,850 3. PMO

Correlations

1 2 3 4 5 PMOTOTAL

1

Pearson Correlation 1 .787** .787** .707** .638** .838**

Sig. (2-tailed) .000 .000 .000 .002 .000

N 20 20 20 20 20 20

2

Pearson Correlation .787** 1 1.000** .899** .811** .970**

Sig. (2-tailed) .000 .000 .000 .000 .000

N 20 20 20 20 20 20

3

Pearson Correlation .787** 1.000** 1 .899** .811** .970**

Sig. (2-tailed) .000 .000 .000 .000 .000

N 20 20 20 20 20 20

4

Pearson Correlation .707** .899** .899** 1 .903** .954**

Sig. (2-tailed) .000 .000 .000 .000 .000

N 20 20 20 20 20 20

5

Pearson Correlation .638** .811** .811** .903** 1 .903**

Sig. (2-tailed) .002 .000 .000 .000 .000

N 20 20 20 20 20 20

PMOTOTAL

Pearson Correlation .838** .970** .970** .954** .903** 1

Sig. (2-tailed) .000 .000 .000 .000 .000

N 20 20 20 20 20 20

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

(11)

4. Kepatuhan Berobat

Correlations

Kep1 Kep2 Kep3 Kep4 Kep5 Kep6 Total

Kep1

Pearson Correlation 1 .928** .928** .792** .773** .773** .903**

Sig. (2-tailed) .000 .000 .000 .000 .000 .000

N 20 20 20 20 20 20 20

Kep2

Pearson Correlation .928** 1 .940** .895** .869** .869** .956**

Sig. (2-tailed) .000 .000 .000 .000 .000 .000

N 20 20 20 20 20 20 20

Kep3

Pearson Correlation .928** .940** 1 .951** .927** .927** .987**

Sig. (2-tailed) .000 .000 .000 .000 .000 .000

N 20 20 20 20 20 20 20

Kep4

Pearson Correlation .792** .895** .951** 1 .975** .975** .972**

Sig. (2-tailed) .000 .000 .000 .000 .000 .000

N 20 20 20 20 20 20 20

Kep5

Pearson Correlation .773** .869** .927** .975** 1 1.000** .965**

Sig. (2-tailed) .000 .000 .000 .000 .000 .000

N 20 20 20 20 20 20 20

Kep6

Pearson Correlation .773** .869** .927** .975** 1.000** 1 .965**

Sig. (2-tailed) .000 .000 .000 .000 .000 .000

N 20 20 20 20 20 20 20

Total

Pearson Correlation .903** .956** .987** .972** .965** .965** 1

Sig. (2-tailed) .000 .000 .000 .000 .000 .000

N 20 20 20 20 20 20 20

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

(12)
(13)
(14)
(15)

Lampiran 8

Output SPSS

1. Pengetahuan terhadap Kepatuhan Berobat

Chi-Square Tests

Value df Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided) Exact Sig. (1-sided) Point Probabili ty

Pearson Chi-Square 29.052a 2 .000 .000

Likelihood Ratio 22.583 2 .000 .000

Fisher's Exact Test 21.143 .000

Linear-by-Linear Association 28.128b 1 .000 .000 .000 .000

N of Valid Cases 61

a. 3 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .59. b. The standardized statistic is 5.304.

2. Faktor Penyuluhan Kesehatan terhadap Kepatuhan Berobat Chi-Square Tests

Value df Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided) Exact Sig. (1-sided) Point Probabili ty

Pearson Chi-Square 41.670a 2 .000 .000

Likelihood Ratio 29.658 2 .000 .000

Fisher's Exact Test 27.244 .000

Linear-by-Linear Association 40.779b 1 .000 .000 .000 .000

N of Valid Cases 61

(16)

3. PMO terhadap Kepatuhan Berobat

Chi-Square Tests

Value df Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Point Probabili

ty

Pearson Chi-Square 9.132a 2 .010 .015

Likelihood Ratio 11.008 2 .004 .006

Fisher's Exact Test 9.409 .004

Linear-by-Linear Association 8.867b 1 .003 .004 .004 .003

N of Valid Cases 61

(17)

No Nama Jenis Kelamin Umur Pekerjaan Pendidikan Pengetahuan F. Penyuluhan PMO Kepatuhan

1 DP Laki-laki 27 Pegawai Swasta SLTA 11 18 5 18

2 BW Perempuan 32 IRT SLTA 10 18 10 17

3 AB Laki-laki 50 Tidak Bekerja SLTP 9 15 10 18

4 SS Laki-laki 60 Tidak Bekerja Diploma/Sarjana 11 18 10 18

5 LI Perempuan 25 Tidak Bekerja Diploma/Sarjana 12 18 10 18

6 MA Laki-laki 34 Wiraswasta SLTA 9 13 5 14

7 TS Laki-laki 53 Wiraswasta SLTA 12 15 10 18

8 FR Laki-laki 17 Pelajar SLTA 13 18 10 18

9 JA Laki-laki 37 Pegawai Swasta SLTA 10 18 10 16

10 RA Laki-laki 35 Tidak Bekerja SLTA 9 18 10 15

11 HB Laki-laki 65 Wiraswasta SLTP 14 16 10 18

12 LR Laki-laki 36 Supir SLTP 9 14 5 14

13 FY Laki-laki 28 Petugas Parkir SLTA 12 14 10 15

14 CS Laki-laki 31 SLTA 13 16 10 18

15 AY Laki-laki 26 Wiraswasta Diploma/Sarjana 12 15 8 18

16 AT Laki-laki 40 Wartawan Diploma/Sarjana 14 15 7 18

17 RM Perempuan 30 PNS Diploma/Sarjana 13 15 5 18

18 DH Perempuan 20 Pelajar SLTA 14 18 10 18

19 RS Laki-laki 24 Wiraswasta SLTA 12 16 9 18

20 TH Laki-laki 59 PNS SLTA 13 15 10 18

21 JT Laki-laki 49 PNS SLTA 13 16 10 18

(18)

24 AR Laki-laki 43 Supir SLTA 12 15 10 17

25 ZU Laki-laki 49 Pegawai Swasta Diploma/Sarjana 13 18 9 18

26 KR Perempuan 55 Wiraswasta SLTA 12 16 5 16

27 LI Perempuan 28 PNS Diploma/Sarjana 14 16 6 18

28 CO Laki-laki 16 Pelajar SLTP 14 18 10 18

29 HA Laki-laki 34 Tidak Bekerja SLTA 12 14 8 16

30 PT Perempuan 49 IRT SLTA 10 18 6 18

31 MA Perempuan 43 IRT SD 13 18 10 18

32 LB Perempuan 22 Pelajar SLTA 13 16 10 18

33 HS Perempuan 62 IRT SLTP 11 16 5 18

34 MI Laki-laki 61 Tidak Bekerja Diploma/Sarjana 13 16 10 18

35 NS Laki-laki 31 Tidak Bekerja SLTA 13 15 8 18

36 FE Perempuan 28 IRT Diploma/Sarjana 14 15 5 18

37 DS Perempuan 46 IRT SLTA 13 18 10 18

38 IN Laki-laki 55 Tidak Bekerja SLTA 12 16 10 18

39 AM Perempuan 30 IRT SLTA 13 16 8 18

40 RL Laki-laki 44 Wiraswasta SLTA 13 16 8 16

41 TA Laki-laki 45 Buruh SD 11 11 7 14

42 YA Laki-laki 20 Pelajar SLTA 14 16 10 18

43 SR Laki-laki 23 Pegawai Swasta Diploma/Sarjana 14 18 10 18

44 BL Laki-laki 60 Tidak Bekerja SLTP 12 15 8 17

45 EF Laki-laki 38 Wiraswasta Diploma/Sarjana 12 16 8 18

46 AH Perempuan 60 IRT SLTA 13 18 10 18

47 IL Perempuan 28 PNS Diploma/Sarjana 14 15 6 18

(19)

50 ST Laki-laki 60 Tidak Bekerja SLTP 12 16 10 17

51 MR Laki-laki 21 Pelajar SLTA 14 16 10 18

52 DM Laki-laki 18 Pelajar SLTA 13 18 10 18

53 BC Laki-laki 29 PNS Diploma/Sarjana 12 18 9 18

54 CD Laki-laki 31 Tidak Bekerja Diploma/Sarjana 14 18 8 17

55 DR Laki-laki 37 Pedagang SLTA 12 14 10 18

56 KD Laki-laki 35 Buruh SLTA 13 15 5 18

57 LJ Perempuan 32 IRT Diploma/Sarjana 14 16 10 18

58 OR Perempuan 25 Pegawai Swasta Diploma/Sarjana 13 15 8 18

59 PO Laki-laki 17 Pelajar SLTP 14 18 10 18

60 EE Laki-laki 19 Pelajar SLTA 13 18 10 18

(20)

DAFTAR PUSTAKA

Amin, Z. & Asril, B., 2009. Tuberkulosis Paru. Dalam: Sudoyo, Aru W., Setiyohadi, Bambang, Alwi, Idrus, Simadibrata, Marcellus, & Setiati, Siti, 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 5. Interna Publishing. Jakarta.

Arikunto, S, 2006. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Rineka Cipta. Jakarta

Bart, S., 1994. Psikologi Kesehatan. PT. Grasindo. Jakarta.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2009. Buku Saku Kader Program Penanggulangan TB. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Jakarta.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2011. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Jakarta.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2014. Profil Kesehatan Indonesia 2013. Jakarta.

Dinas Kesehatan Sumatera Utara, 2014. Profil Kesehatan Sumatera Utara 2013. Medan.

Djojodibroto, D., 2007. Respirologi (Respiratory Medicine). Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

Eliska, 2005. Pengaruh Karakteristik Individu, Faktor Pelayanan Kesehatan, dan Peran Pengawas Menelan Obat (PMO) Terhadap Kepatuhan Berobat Penderita TB Paru di Puskesmas Teladan Medan Tahun 2005. Skripsi, FKM USU. Medan.

(21)

Erawatyningsih et.al, 2009. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Ketidakpatuhan Berobat Pada Penderita Tuberkulosis Paru Di Wilayah Kerja Puskesmas Dompu Barat Kecamatan Woja Kabupaten Dompu Provinsi NTB. Berita Kedokteran Masyarakat, Volume 25 No. 3.

Firdous et.al, 2006. Faktor-Faktor Penderita Tuberkulosis Paru Putus Berobat. Media Litbang Kesehatan XVI No. 4 Tahun 2006.

Ivanti, Risti. 2009. Pengaruh Karakteristik dan Motivasi Penderita Tuberkulosis Paru terhadap Kepatuhan Berobat di Balai Pengobatan Paru-paru (BP4) Medan Tahun 2009. Skripsi, FKM USU. Medan.

Kayser, F. H., Bienz, K. A., Eckert, J., &, Zinkernagel, R. M., 2005. Medical Microbiology. Thieme. Zurich.

Kurniawan et.al, 2011. Kepatuhan berobat penderita tuberkulosis paru di puskesmas, kota jayapura, provinsi papua tahun 2010. Damianus J Medicine Vol. 10 No.2 Juni 2011.

Mason, C. M & Summer, W. R., 2010. Respiratory Infection. Dalam: Ali, J., Summer, W. R., & Levitzky, M. G., 2010. Pulmonary Pathophysiology. McGraw-Hill Companies, Inc. USA.

Maulana, H. D. J., 2007. Promosi Kesehatan. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta

Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2009. Keputusan Menteri Kesehatan: No. 364 tentang Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis (TB). Jakarta.

Mubarak, W. I., Chayatin, N., Rozikin, N., & Supradi, 2007. Promosi Kesehatan: Sebuah Pengantar Proses Belajar Mengajar dalam Pendidikan. Graha Ilmu. Yogyakarta.

(22)

Notoatmodjo, S., 2010. Promosi Kesehatan: Teori & Aplikasi. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), 2006. Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis (Konsensus TB). Jakarta.

Plorde, J. J, 2004. Mycobacteria. Dalam: Ryan, K. J & Ray, C. G. 2004. Sherris Medical Microbiology. Edisi 4. McGraw-Hill Companies, Inc. USA. Pulungan, Ellyn Fajriah, 2014. Hubungan Pengetahuan, Sikap, dan Praktek

Pengawas Menelan Obat dengan Keberhasilan Pengobatan Tuberkulosis Paru di Puskesmas Glugur Darat pada Tahun 2011. KTI FK USU, Medan.

Sari, C. N., 2011.Pengaruh Pengetahuan Penderita Tb Paru, Faktor Pelayanan Kesehatan Dan Pengawas Menelan Obat Terhadap Tingkat Kepatuhan Berobat Di Puskesmas Amplas Kota Medan Tahun 2011. Skripsi FKM USU. Medan.

Senewe, Felly Philipus, 2002. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan Berobat Penderita Tuberkulosis Paru di Puskesmas Depok. Buletin Panel Kesehatan, Vol. 30 No. 1.

Simamora, J., 2004. Faktor yang Memengaruhi Ketidakteraturan Berobat Penderita TB Paru di Puskesmas Kota Binjai Tahun 2004. Tesis. Pascasarjana USU. Medan.

Sukoco, Noor Edi Widya, 2011. Hubungan Antara Perilaku Pencegahan dan Kepatuhan Berobat Penderita TB di Indonesia. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan Vol. 14 No. 1 Januari 2011.

Sutanta, 2014. Hubungan Antara Tingkat Pendidikan PMO, Jarak Rumah dan Pengetahuan Pasien TB Paru Dengan Kepatuhan Berobat di BP4

(23)
(24)

BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1. Kerangka Konsep Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian maka kerangka konsep dalam penelitian ini adalah:

Faktor Penyuluhan Kesehatan:

 Sikap petugas kesehatan

 Frekuensi penyuluhan

 Kualitas interaksi petugas kesehatan terhadap pasien Pengetahuan penderita TB paru:

 Tingkat Pendidikan

 Informasi yang didapat (media massa, petugas kesehatan, ataupun lingkungan sekitar)

 Umur

 Pengalaman

 Pekerjaan

Faktor-faktor lain yang berpengaruh:

Sosiodemografis

Jarak rumah pasien ke rumah sakit

Efek samping obat

Keyakinan untuk sembuh

Dukungan keluarga

Biaya pengobatan

Sikap penderita TB Paru

Tingkat Kepatuhan Berobat

Pengawas Menelan Obat (PMO):

Ada tidaknya PMO

Sikap PMO kepada pasien

PMO melaksanakan tugasnya

Tugas PMO:

Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai pengobatan

Memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur

Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang telah ditentukan

(25)

3.2. Definisi Operasional

No Operasional Definisi Cara Ukur Alat Ukur Skala Hasil Ukur 1. Pengetahuan Segala sesuatu

yang diketahui oleh respoden mengenai

penyakit TB Paru.

Wawancara Kuesioner 7 Pertanyaan Benar : 2 Salah : 1

Ordinal Baik (12-14)

Cukup (10-11)

Kurang (7-9) 2. Penyuluhan

Kesehatan

Tanggapan responden

mengenai upaya penyuluhan yang dilakukan petugas kesehatan dalam menjelaskan tentang segala sesuatu tentang penyakit TB paru.

Wawancara Kuesioner 9 Pertanyaan Pernah : 2 Tidak : 1

Ordinal  Baik (15-18)

 Cukup (13-14)

 Kurang (9-12)

3. Pengawas Menelan Obat (PMO)

Tanggapan responden

mengenai peran

PMO dalam

mengingatkan, mengawasi, memberikan dorongan, dan menegur

responden dalam masa pengobatan TB Paru.

Wawancara Kuesioner 5 Pertanyaan Ya : 2 Tidak : 1

Ordinal  Baik (9-10)

 Cukup (7-8)

 Kurang (5-6)

4. Kepatuhan Berobat

Ketaatan

responden dalam menelan obat, memeriksakan dahak, dan mengambil obat.

Wawancara Kuesioner 6 Pertanyaan Tidak Pernah : 3

Kadang-kadang : 2 Sering : 1

Ordinal  Patuh (15-18)

(26)

3.3. Hipotesis

1. Ada pengaruh pengetahuan penderita TB Paru terhadap tingkat kepatuhan berobat di RSUP H. Adama Malik Medan tahun 2015. 2. Ada pengaruh faktor penyuluhan kesehatan terhadap tingkat

kepatuhan berobat di RSUP H. Adama Malik Medan tahun 2015. 3. Ada pengaruh pengawas menelan obat terhadap tingkat kepatuhan

(27)

BAB 4

METODE PENELITIAN 4.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah penelitian analitik dengan desain cross sectional, dimana penelitian ini akan mengetahui pengaruh pengetahuan penderita TB paru, faktor penyuluhan kesehatan, dan pengawas menelan obat (PMO) terhadap tingkat kepatuhan berobat di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2015.

4.2. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan selama 5 bulan (Oktober sampai November 2015) di Poli TB DOTS RSUP H. Adam Malik Medan.

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian 4.3.1. Populasi

Populasi dari penelitian ini adalah seluruh penderita TB Paru DOTS yang sedang menjalani pengobatan tahap lanjutan.

4.3.2. Sampel

Penelitian ini menggunakan rumus besar sampel analitik tidak berpasangan

= ( 2 + 1 1 + 2 2) ( 1− 2)

Jika Z-alpha 5% dan Z-beta 20% nilai proporsi TB Paru dari penelitian sebelumnya (P2) adalah 19,3% dan nilai P1 sebesar 39,3% maka perhitungan besar sampel adalah 45 sampel.

= ( 1,96√2x0,293x0,707 + 0,842√0,393x0,607 + 0,193x0,807)

( 0,393−0,193)

N= 44,7575105

(28)

4.3.2.1 Kriteria Sampel

Kriteria Inklusi:

 Bersedia menjadi subjek penelitian dan mengisi kuesioner

 Merupakan Penderita Tuberkulosis DOTS

 Berumur 16-64 Tahun

 Sedang menjalani pengobatan tahap lanjutan Kriteria Eklusi:

 Pasien TB MDR 4.4. Teknik Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan terdiri atas data primer dan data sekunder, yaitu: 1. Data primer, yaitu diperoleh dengan wawancara langsung kepada

penderita TB paru yang berpedoman pada kuesioner yang telah ditetapkan. 2. Data sekunder, yaitu diperoleh dari laporan pelaksanaan program

penganggulangan TB paru di RSUP H. Adam Malik Medan.

4.5. Pengolahan dan Analisis Data

4.5.1. Pengolahan

(29)

4.5.2. Analisis Data

(30)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil Penelitian

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik (RSUP HAM) Kota Medan yang berlokasi di Jalan Bunga Lau No. 17, Kelurahan Kemenangan Tani, Kecamatan Medan Tuntungan. Rumah Sakit ini merupakan Rumah Sakit Pemerintah dengan kategori kelas A. Selain itu, RSUP HAM juga merupakan rumah sakit rujukan untuk wilayah Sumatera yang meliputi Sumatera Utara, Aceh, Sumatera Barat dan Riau sehingga dapat dijumpai pasien dengan latar belakang yang sangat bervariasi. Penelitian ini lakukan di Poliklinik TB DOTS RSUP HAM.

Poliklinik TB DOTS RSUP HAM melayani pasien pada hari Senin-Jum’at pukul 08.00-12.00 WIB dan 14.00-16.00. Peneliti melakukan penelitian pada awal bulan Oktober hingga akhir bulan November pada sekitar pukul 10.00-15.00. Peneliti juga melakukan penelitian dengan langsung menanyakan responden penelitian. Jumlah responden terbanyak dalam 1 hari adalah 7 responden dan tersedikit adalah 0 orang.

5.1.2. Deskripsi Responden Penelitian

Sampel penelitian ini merupakan pasien atau penderita TB Paru yang sedang menjalani tahap pengobatan fase lanjutan. Ada 61 responden yang bersedia menjadi sampel penelitian dengan distribusinya sebagai berikut. Deskripsi responden berdasarkan jenis kelamin, umur, pekerjaan dan pendidikan terakhir.

(31)
[image:31.595.158.466.134.193.2]

Tabel 5.1. Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis Kelamin Jumlah Persentase

Laki-Laki 41 67,2%

Perempuan 20 32,8%

Total 61 100%

[image:31.595.155.466.294.423.2]

Dalam penelitian ini juga didapati usia responden terendah adalah 16 tahun dan tertinggi adalah 65 tahun. Peneliti mengelompokan usia responden menjadi 7 kelompok dengan frekuensi sebagai berikut:

Tabel 5.2. Distribusi Responden Berdasarkan Usia

Kelompok Usia Jumlah Persentase

16-22 Tahun 9 14,8%

23-29 Tahun 12 19,6%

30-36 Tahun 13 21,3%

37-43 Tahun 6 9,9%

44-50 Tahun 9 14,8%

51-57 Tahun 4 6,6%

58-65 Tahun 8 13,1%

Total 61 100%

Keterangan pembagian umur:

Menggunakan rumus Sturgess untuk menentukan jumlah kelas atau kelompok: = 1 + 3,3 log

n : Jumlah data yang ada k : Jumlah kelas atau kelompok

= 1 + 3,3 log 61 = 6,89 = 7

Sebanyak 12 responden (19,7%) didapati tidak memiliki pekerjaan sedangkan responden lainnya memiliki pekerjaan sebagai berikut:

Tabel 5.3. Distribusi Responden Berdasarkan Pekerjaan

Pekerjaan Jumlah Persentase

Buruh 2 3,3%

IRT 11 18%

Pedagang 1 1,6%

Pegawai Swasta 5 8,2%

Pelajar 9 14,8%

Petugas Parkir 1 1,6%

PNS 7 11,5%

Supir 2 3,3%

Wartawan 1 1,6%

Wiraswasta 9 14,8%

[image:31.595.158.467.599.754.2]
(32)
[image:32.595.143.479.219.304.2]

Dari hasil penelitian didapati 2 responden (3,3%) berpendidikan terakhir SD, 8 responden (13,1%) SLTP, 33 responden (54,1%) SLTA, dan 18 responden (29,5%) Diploma/Sarjana.

Tabel 5.4. Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan Terakhir

Pendidikan Terakhir Jumlah Persentase

SD 2 3,3%

SLTP 8 13,1%

SLTA 33 54,1%

Diploma/Sarjana 18 29,5%

Total 61 100%

5.1.3. Hasil Analisis Univariat

Analisis univariat dilakukan untuk menggambarkan distribusi frekuensi dari variabel independen dan dependen.

5.1.3.1. Pengetahuan

Pengetahuan penderita TB Paru didapatkan melalui angket yang berjumlah 7 pertanyaan. Dari hasil penelitian tentang TB Paru, sebanyak 55 responden (90,2%) mengetahui bahwa TB Paru merupakan penyakit menular pada paru-paru yang disebabkan oleh kuman atau bakteri sedangkan yang tidak tahu berjumlah 6 responden (9,8%). Sebanyak 42 responden (68,9%) mengetahui bahwa penyebab penyakit TB Paru merupakan bakteri Mycobacterium tuberculosis sedangkan 19 responden (31,1%) tidak mengetahuinya.

(33)
[image:33.595.133.492.320.738.2]

Sebanyak 48 responden (78,7%) mengetahui bahwa kegunaan pemeriksaan dahak adalah untuk memantau kemajuan pengobatan dan memastikan kesembuhan sedangkan yang tidak mengetahuinya sebanyak 13 responden (21,3%). Ada 51 responden (83,6%) yang mengetahui bahwa efek samping obat-obat anti TB Paru adalah urin menjadi merah, nyeri sendi dan gatal-gatal sedangkan 10 responden (16,4%) tidak mengetahuinya. Dari hasil penelitian juga didapati sebanyak 24 responden (39,3%) mengetahui bahwa imunisasi untuk mencegah TB adalah Imunisasi BCG sedangkan 37 responden (60,7%) tidak mengetahui hal tersebut.

Tabel 5.5. Distribusi Pengetahuan Responden Penelitian

Pertanyaan Pengetahuan Jumlah Persentase Penyakit TB Paru

1. Tahu 55 90,2%

2. Tidak Tahu 6 9,8%

Total 61 100%

Penyebab TB Paru

1. Tahu 42 68,9%

2. Tidak Tahu 19 31,1%

Total 61 100%

Gejala atau Tanda TB Paru

1. Tahu 51 83,6%

2. Tidak Tahu 10 16,4%

Total 61 100%

Cara Pengobatan dan Meminum OAT

1. Tahu 49 80,3%

2. Tidak Tahu 12 19,7%

Total 61 100%

Kegunaan Pemeriksaan Dahak

1. Tahu 48 78,7%

2. Tidak Tahu 13 21,3%

Total 61 100%

Efek Samping Penggunaan OAT

1. Tahu 51 83,6%

2. Tidak Tahu 10 16,4%

Total 61 100%

Imunisasi Mencegah TB

1. Tahu 24 39,3%

2. Tidak Tahu 37 60,7%

(34)
[image:34.595.156.466.259.331.2]

Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa setelah dilakukan pengkategorian berdasarkan jawaban responden, sebanyak 47 responden (77%) berada pada kategori pengetahuan baik, sebanyak 8 responden (13,2%) berada pada kategori pengetahuan cukup baik, dan 6 responden (9,8%) pada kategori pengetahuan kurang baik.

Tabel 5.6. Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Pengetahuan

Kategori Pengetahuan Jumlah Persentase

Baik 47 77%

Cukup Baik 8 13,2%

Kurang Baik 6 9,8%

Total 61 100%

5.1.3.2. Faktor Penyuluhan Kesehatan

Faktor penyuluhan kesehatan dinilai menggunakan angket yang berjumlah 9 pertanyaan tentang penyuluhan atau informasi yang diberitahukan oleh petugas kesehatan. Dari hasil penelitian, didapati bahwa 51 responden (83,6%) yang pernah diberitahu tentang penyakit TB Paru selama masa pengobatan sedangkan 10 responden (16,4%) yang tidak pernah. Sebanyak 55 responden (90,2%) yang pernah diberitahu bahwa TB Paru dapat menular sedangkan 6 responden (9,8) yang tidak pernah.

Berdasarkan hasil penelitian, didapati 51 responden (83,6%) yang pernah diberitahu bahwa pengobatan TB Paru tidak sebentar sedangkan 10 responden (16,4%) yang tidak pernah. Ada 50 responden (82%) yang pernah diberitahu bahwa pengobatan TB Paru harus teratur sedangkan 11 responden (18%) yang tidak pernah.

(35)
(36)
[image:36.595.86.552.133.715.2]

Tabel 5.7. Distribusi Faktor Penyuluhan Kesehatan Responden Penelitian

Pertanyaan Faktor Penyuluhan Kesehatan Jumlah Persentase

Petugas kesehatan pernah memberikan penyuluhan tentang penyakit TB Paru selama dalam pengobatan

1. Pernah 51 83,6%

2. Tidak Pernah 10 16,4%

Total 61 100%

Petugas kesehatan pernah menjelaskan bahwa penyakit TB Paru dapat menular

1. Pernah 55 90,2%

2. Tidak Pernah 6 9,8%

Total 61 100%

Petugas kesehatan pernah memberi tahu bahwa pengobatan TB Paru tidak sebentar

1. Pernah 51 83,6%

2. Tidak Pernah 10 16,4%

Total 61 100%

Petugas kesehatan pernah menjelaskan tentang pengobatan TB Paru harus teratur

1. Pernah 50 82%

2. Tidak Pernah 11 18%

Total 61 100%

Petugas kesehatan pernah menjelaskan tentang jadwal minum OAT

1. Pernah 44 72,1%

2. Tidak Pernah 17 27,9%

Total 61 100%

Petugas kesehatan pernah menjelaskan tentang hal-hal yang dapat memperburuk keadaan penderita TB Paru

1. Pernah 49 80,3%

2. Tidak Pernah 12 19,7%

Total 61 100%

Petugas kesehatan pernah menjelaskan tentang kegagalan pengobatan akibat ketidakpatuhan pengobatan

1. Pernah 52 85,2%

2. Tidak Pernah 9 14,8%

Total 61 100%

Petugas kesehatan pernah menjelaskan perlunya seseorang yang mengawasi dan mengingatkan minum obat

1. Pernah 41 67,2%

2. Tidak Pernah 20 32,8%

Total 61 100%

Petugas kesehatan pernah menjelaskan tentang penyakit Tuberkulosis Paru kepada keluarga penderita TB Paru

1. Pernah 37 60,7%

2. Tidak Pernah 24 39,3%

(37)
[image:37.595.120.504.269.341.2]

Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa setelah dilakukan pengkategorian berdasarkan jawaban responden, sebanyak 52 responden (85,2%) menyatakan penyuluhan yang dilakukan oleh petugas kesehatan berada pada kategori baik, sebanyak 7 responden (11,5%) berada pada kategori cukup baik, dan 2 responden (3,3%) pada kategori kurang baik.

Tabel 5.8. Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Faktor Penyuluhan Kesehatan

Kategori Faktor Penyuluhan Kesehatan Jumlah Persentase

Baik 52 85,2%

Cukup Baik 7 11,5%

Kurang Baik 2 3,3%

Total 61 100%

5.1.3.3. Pengawas Menelan Obat (PMO)

PMO yang diukur meliputi mengawasi penderita menelan obat, memberikan dorongan untuk berobat, mengingatkan penderita untuk mengambil obat dan memeriksakan dahak sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan serta menegur penderita bila lalai minum obat.

Berdasarkan hasil penelitian, didapati sebanyak 50 responden (82%) memiliki PMO sedangkan 11 responden (18%) tidak memiliki PMO. Ada 40 responden (65,6%) yang selalu diberikan semangat oleh PMO dalam masa pengobatan sedangkan 21 responden (34,4%) yang tidak selalu.

(38)
[image:38.595.110.518.125.476.2]

Tabel 5.9. Distribusi PMO Responden Penelitian

Pertanyaan Pengawas Menelan Obat (PMO) Jumlah Persentase Ada tidaknya PMO

1. Ya 50 82%

2. Tidak 11 18%

Total 61 100%

PMO selalu memberi semangat

1. Ya 40 65,6%

2. Tidak 21 34,4%

Total 61 100%

PMO selalu mengingatkan untuk mengambil OAT dan memeriksakan dahak sesuai jadwal

1. Ya 37 60,7%

2. Tidak 24 39,3%

Total 61 100%

PMO selalu mengawasi menelan OAT

1. Ya 38 62,3%

2. Tidak 23 37,7%

Total 61 100%

PMO selalu menegur jika tidak mau atau lalai meminum OAT

1. Ya 39 63,9%

2. Tidak 22 36,1%

Total 61 100%

[image:38.595.121.503.616.689.2]

Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa setelah dilakukan pengkategorian berdasarkan jawaban responden, sebanyak 34 responden (55,7%) bahwa PMO didapati dalam kategori baik, sebanyak 12 responden (19,7%) berada pada kategori cukup baik, dan 15 responden (24,6%) pada kategori kurang baik.

Tabel 5.10. Distribusi Responden Berdasarkan Kategori PMO

Kategori PMO Jumlah Persentase

Baik 34 55,7%

Cukup Baik 12 19,7%

Kurang Baik 15 24,6%

(39)

5.1.3.4. Tingkat Kepatuhan Berobat

Tingkat kepatuhan berobat penderita TB Paru diperoleh melalui angket yang berjumlah 6 pertanyaan. Sebanyak 56 responden (91,8%) tidak pernah lupa meminum OAT pada tahap awal pengobatan (2 bulan) sedangkan 5 responden (8,2%) terkadang lupa meminum OAT. Ada 48 respoden (78,7%) tidak pernah lupa meminum OAT pada tahap lanjutan pengobatan (4 bulan), 10 responden (16,4%) terkadang lupa meminum OAT, dan 3 responden (4,9%) yang sering lupa meminum OAT.

Dari hasil penelitian, didapati sebanyak 58 responden (95,1%) tidak pernah meminum OAT yang tidak sesuai dosis yang ditetapkan sedangkan 3 responden (4,9%) yang terkadang tidak sesuai. Sebanyak 55 responden (90,2%) tidak pernah mengganti OAT dengan obat herbal atau tradisional sedangkan 6 responden (9,8%) yang terkadang pernah.

(40)
[image:40.595.98.527.125.525.2]

Tabel 5.11. Distribusi Kepatuhan Responden Penelitian

Pertanyaan Pengawas Menelan Obat (PMO) Jumlah Persentase

Lupa meminum OAT selama tahap awal pengobatan (2 bulan)

1. Tidak pernah 56 91,8%

2. Kadang-kadang (1-3 kali/bulan) 5 8,2%

3. Sering (>3 kali/bulan) 0 0%

Total 61 100%

Lupa meminum OAT selama tahap lanjutan pengobatan (4 bulan)

1. Tidak pernah 48 78,7%

2. Kadang-kadang (1-3 kali/bulan) 10 16,4%

3. Sering (>3 kali/bulan) 3 4,9%

Total 61 100%

Meminum OAT tidak sesuai dosis

1. Tidak pernah 58 95,1%

2. Kadang-kadang (1-3 kali dalam sebulan) 3 4,9%

3. Sering (>3 kali dalam sebulan) 0 0%

Total 61 100%

Mengganti OAT dengan obat herbal atau tradisional

1. Tidak pernah 55 90,2%

2. Kadang-kadang (1-3 kali dalam sebulan) 6 9,8%

3. Sering (>3 kali dalam sebulan) 0 0%

Total 61 100%

Terlambat mengambil OAT di rumah sakit

1. Tidak pernah 50 82%

2. Kadang-kadang (1-2 kali) 11 18%

3. Sering (>2 kali) 0 0%

Total 61 100%

Selalu mematuhi jadwal pemeriksaan dahak

1. Ya 56 91,8%

2. Tidak 5 8,2%

Total 61 100%

Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa setelah dilakukan pengkategorian berdasarkan jawaban responden, sebanyak 55 responden (90,2%) berada dalam kategori patuh sedangkan 6 responden (9,8%) berada dalam kategori tidak patuh.

Tabel 5.12. Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Tingkat Kepatuhan Berobat

Kategori Tingkat Kepatuhan Berobat Jumlah Persentase

Patuh 55 90,2%

Tidak Patuh 6 9,8%

[image:40.595.98.526.131.527.2]
(41)

5.1.4. Hasil Analisis Bivariat

Untuk melihat hubungan pengetahuan penderita TB Paru, faktor penyuluhan kesehatan, dan pengawas melelan obat (PMO) terhadap tingkat kepatuhan berobat penderita TB Paru digunakan uji hipotesis Fisher’s Exact Test.

Pada hubungan variabel antara pengetahuan penderita TB Paru terhadap tingkat kepatuhan berobat, didapati nilai adalah ρ=0,000 yang menunjukkan bahwa adanya hubungan secara signifikan antara pengetahuan penderita TB Paru dengan tingkat kepatuhan berobat. Hal ini menandakan bahwa hipotesis H0 ditolak.

Variabel antara faktor penyuluhan kesehatan terhadap tingkat kepatuhan berobat juga bernilai ρ=0,000. Sama halnya dengan variabel antara pengawas menelan obat (PMO) terhadap tingkat kepatuhan berobat pun bernilai ρ=0,004 yang menunjukkan bahwa adanya hubungan secara signifikan antara pengawas menelan obat (PMO) dengan tingkat kepatuhan berobat.

5.2. Pembahasan

Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan penderita TB Paru, faktor penyuluhan kesehatan, dan pengawas menelan obat (PMO) terhadap kepatuhan berobat TB Paru di RSUP H. Adam Malik Medan pada tahun 2015.

5.2.1. Pengaruh Pengetahuan Penderita TB Paru Terhadap Tingkat Kepatuhan Berobat.

(42)

Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian Firdous et.al (2006) yang menyatakan bahwa orang yang memiliki pengetahuan yang baik 5,5 kali lebih patuh dibandingkan dengan yang berpengetahuan tidak baik. Hal serupa juga yang didapati dari penelitian Erawatyningsih et.al (2009).

Sedangkan penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Ivanti (2009) yang menyatakan bahwa pengetahuan responden tidak mempunyai pengaruh terhadap tingkat kepatuhan berobat. Hal tidak serupa juga didapatkan dari penelitian Kurniawan et.al (2011) yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara pengetahuan dan kepatuhan berobat walaupun pada kelompok berpengetahuan rendah didapati lebih banyak tidak patuh (55,5%).

Hasil penelitian ini juga sesuai dengan pendapat Notoatmodjo (2003), bahwa tindakan seseorang terhadap masalah kesehatan pada dasarnya dipengaruhi oleh pengetahuan seseorang tentang masalah tersebut. Dalam hal ini, pengetahuan yang dimiliki oleh penderita TB Paru berhubungan dengan tingkat kepatuhan berobat, semakin tinggi pengetahuan penderita TB Paru tentang penyakitnya maka akan semakin patuh berobat.

Menurut Notoatmodjo (2003), perubahan perilaku itu mengikuti tahap-tahap melalui proses perubahan pengetahuan (knowledge) – sikap (attitude) – praktek (practice). Beberapa penelitian telah membuktikan hal itu, namun penelitian lain juga membuktikan bahwa proses tersebut tidak selalu berdasarkan teori di atas, bahkan dalam praktik sehari-hari terjadi sebaliknya. Meskipun demikian, Rogers (Notoatmodjo, 2003) menyimpulkan bahwa perilaku baru yang melalui proses yang didasari oleh pengetahuan, kesadaran, dan sikap yang positif akan bersifat langgeng, begitu juga sebaliknya.

(43)

Hal ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan Erawatyningsih et.al (2009) yang mendapati bahwa ada hubungan antara tingkat pendidikan terhadap tingkat kepatuhan berobat penderita tuberkulosis. Penelitian Sukoco (2011) juga menyatakan bahwa responden berpendidikan rendah mempunyai risiko TB sebesar 1,61 kali dibanding responden berpendidikan tinggi.

5.2.2. Pengaruh Faktor Penyuluhan Kesehatan Terhadap Tingkat Kepatuhan Berobat

Uji hipotesis Fisher’s Exact Test menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara faktor penyuluhan kesehatan terhadap tingkat kepatuhan berobat (ρ=0,000). Hal ini sesuai dengan penelitian Eliska (2005) yang menyatakan faktor pelayanan kesehatan yaitu penyuluhan kesehatan mempunyai hubungan yang signifikan dengan tingkat kepatuhan berobat. Sedangkan penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Sari (2011) dan Zuliana (2009) yang menyatakan faktor pelayanan kesehatan yaitu penyuluhan kesehatan tidak mempunyai hubungan terhadap tingkat kepatuhan berobat.

Penelitian ini juga sejalan dengan Senewe (2002) yang mendapati bahwa ada hubungan antara penyuluhan kesehatan terhadap kepatuhan berobat penderita tuberkulosis. Penelitian tersebut menyatakan bahwa penderita yang mendapat penyuluhan yang baik memiliki kemungkinan 4,19 kali untuk teratur atau patuh berobat dibandingkan dengan penderita yang tidak mendapat penyuluhan dengan baik.

(44)

Penyuluhan kesehatan yang dilakukan dengan cara kunjungan rumah juga memberikan pengaruh dalam kepatuhan berobat penderita tuberkulosis. Penelitian Senewe (2002) menunjukkan bahwa penderita yang mendapat kunjungan petugas kesehatan mempunyai kemungkinan 2,15 kali untuk patuh berobat dibandingkan penderita yang tidak.

5.2.3. Pengaruh Pengawas Menelan Obat (PMO) Terhadap Tingkat Kepatuhan Berobat

Berdasarkan analisi bivariat dengan uji hipotesis Fisher’s Exact Test, didapatkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara PMO terhadap tingkat kepatuhan berobat (ρ=0,004). Hal ini sejalan dengan penelitian Sari (2011) dan Zuliana (2009) yang menyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara pengaruh PMO terhadap tingkat kepatuhan berobat. Sedangkan penelitian ini tidak sejalan dengan Ivanti (2009) yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara PMO terhadap tingkat kepatuhan berobat.

Penelitian ini juga sejalan dengan penelitian Firdous et.al (2006) yang menyatakan bahwa ada hubungan antara peran PMO terhadap kepatuhan berobat penderita tuberkulosis. Penelitian tersebut menyatakan bahwa penderita yang memiliki PMO yang baik memiliki kemungkinan 4,5 kali untuk teratur berobat dibandingkan dengan penderita yang tidak. Hal serupa juga yang didapati dari penelitian Erawatyningsih et.al (2009).

Berdasarkan penelitian Pulungan (2014) didapati bahwa PMO yang memiliki pengetahuan yang baik tentang tuberkulosis memiliki hubungan yang signifikan dengan keberhasilan pengobatan tuberkulosis. Tetapi berdasarkan penelitian Sutanta (2014) menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan terakhir PMO terhadap kepatuan pasien TB dalam berobat.

(45)
(46)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Terdapat 47 responden (77%) memiliki pengetahuan yang baik mengenai penyakit TB Paru, 8 responden (13,2%) yang pengetahuannya cukup baik, dan 6 responden (9,8%) yang pengetahuannya kurang baik.

2. Terdapat 52 responden (85,2%) yang mendapat penyuluhan yang baik dari petugas kesehatan, 7 responden (11,5%) yang cukup baik, dan 2 responden (3,3%) yang kurang baik.

3. Terdapat 34 responden (55,7) yang memiliki PMO dalam kategori baik, 12 responden (19,7%) yang cukup baik, dan 15 responden (24,6%) yang kurang baik.

4. Terdapat 55 responden (90,2%) yang berada dalam kategori patuh dalam menjalani pengobatan TB Paru sedangkan 6 responden (9,8%) berada dalam kategori tidak patuh.

5. Didapati adanya hubungan yang signifikan antara variabel pengetahuan penderita TB Paru (ρ=0,000), faktor penyuluhan kesehatan (ρ=0,000), dan PMO (ρ=0,004) terhadap tingkat kepatuhan berobat pasien TB Paru di RSUP H. Adam Malik Medan pada tahun 2015.

6.2. Saran

Berdasarkan hasil penelitian, peniliti mengajukan beberapa saran, yaitu : 1. Diharapkan petugas untuk mengingatkan penderita TB Paru agar ada

(47)

2. Diharapkan petugas melakukan penyuluhan kesehatan secara berkesinambungan baik kepada penderita TB Paru, keluarganya, dan terlebih kepada orang yang bertugas menjadi PMO bagi penderita TB Paru tersebut. Hal ini dalam rangka meningkatkan pengetahuan penderita TB Paru, keluargam dan PMO.

(48)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tuberkulosis

2.1.1. Definisi

Tuberkulosis (TB) paru adalah penyakit radang parenkim paru karena infeksi bakteri Mycobaterium tuberculosis. Penyebaran bakteri ini dapat terjadi melalu udara secara droplet. Tuberkulosis paru termasuk pneumonia yang disebabkan oleh M. tuberculosis. Tuberkulosis paru mencakup 80% dari keseluruhan kejadian penyakit tuberkulosis, sedangkan 20% selebihnya merupakan tuberkulosis ektrapulmonal (di luar paru). Diperkiran sepertiga penduduk dunia pernah terinfeksi bakteri M. tuberculosis (Djojodibroto, 2007). 2.1.2. Mycobacterium tuberculosis

M. tuberculosis ditemukan oleh Robert Koch pada tahun 1982 pada isolasi patogen dari lesi. Morfologi dari bakteri ini adalah berbentuk batang yang tahan asam, ramping, lebar 0,4µm, panjang 3-4µ m, tidak berspora, dan tidak bergerak. Bakteri ini dapat diwarnai dengan menggunakan metode khusus (Ziehl-Nelsen, Kinyoun, fluorescence) (Kayser, 2005).

Bakteri ini menunjukan peningkatan pertumbuhan pada keadaan dengan kadar CO2 10% dan pH berkisar antara 6,5 sampai 6,8 (Plorde, 2004). Pembelahan bakteri ini membutuhkan waktu 12-18 jam sehingga kultur bakteri ini harus diinkubasi selama tiga sampai delapan minggu pada suhu 37oC hingga proliferasi terlihat secara makroskopis (Kayser, 2005).

(49)
[image:49.595.122.488.213.506.2]

nekrosis kaseous. Lipid berperan dalam ketahanan bakteri ini terhadap asam. Penghilangannya dengan menggunakan asam yang kuat dapat menghancurkan sifat tahan asam . Sifat tahan asam juga dapat hilang setelah dilakukan sonikasi pada sel mycobacterium (Jawetz, 2007)

(50)

2.1.3. Patogenesis TB Paru

a. Tuberkulosis Primer

Tuberkulosis paru terjadi karena bakteri M. tuberculosis dibatukkan atau dibersinkan keluar menjadi droplet nuclei dalam udara sekitar kita. Partikel infeksi ini dapat menetap dalam udara bebas selama 1-2 jam, tergantung pada ada atau tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi yang buruk, dan kelembaban. Dalam suasana lembab dan gelap bakteri dapat tahan berhari-hari sampai berbulan-bulan (Amin & Asril, 2009) . Partikel bakteri yang berada dalam udara bebas berbentuk aerosol dengan ukuran 1-5µ m. Jika kita menghirupnya maka aerosol akan menetap di bagian distal saluran pernapasan melewati bronkiolus terminal (Mason & Summer, 2010).

Individu yang terinfeksi M. tuberculosis pertama kalinya, pada mulanya hanya memberikan reaksi seperti ada benda asing dalam saluran pernapasannya. Hal ini disebabkan karena tubuh tidak mempunyai pengalaman dengan bakteri ini (Djojojdibroto, 2007). Kemudian bakteri akan bermultiplikasi dan difagosit oleh makrofag. Bakteri ini bisa melanjutkan multiplikasinya di dalam makrofag atau menjadi dorman untuk beberapa tahun. Beberapa bakteri terbawa ke bagian hilus dan nodus limfe mediastinum serta ke organ lainnya, termasuk hati, limpa, selaput otak, dan ginjal (Mason & Summer, 2010). Setelah 3-10 minggu, M. tuberculosis akan mendapat perlawanan yang berarti dari mekanisme sistem pertahanan tubuh. Proses pembentukan pertahanan imunitas seluler akan lengkap setelah 10 minggu (Djojodibroto, 2007).

(51)

tuberculosis karena hasil tes mantoux menunjukkan hasil positif (Djojodibroto, 2007).

M. tuberculosis akan membelah diri secara lambat di alveolus. Tempat bakteri membelah ini kemudian menjadi lesi inisial (Initial lung lesion) tempat pembentukan granuloma yang kemudian mengalami nekrosis dan perkijuan (kaseasi) di tengahnya. Infeksi ini biasanya berhasil dibatasi agar tidak menyebar dengan cara terbentuknya fibrosis yang mengelilingi granuloma. Nodus limfa yang menampung aliran cairan limfa yang berasal dari lesi inisial juga terinfeksi sehingga juga meradang. Lesi inisial ketika meradang disebut fokus inisial atau sarang primer (Ghon). Fokus inisial dikelilingi oleh sel epiteloid, histiosit, dan sel datia Langhans, sel limfoid, dan jaringan fibrosa. Fokus inisial yang meradang bersama kelenjar limfa yang meradang disebut kompleks primer (Ranke) (Djojodibroto, 2007).

Kompleks primer ini selanjutnya dapat menjadi:

 Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat. Ini yang banyak terjadi.

 Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas garis-garis fibrotik, kalsifikasi di hilus, keadaan ini terdapat pada lesi pneumonia yang luasnya >5mm dan ± 10% di antaranya dapat terjadi reaktivitasi lagi karena bakteri yang dorman.

(52)

b. Tuberkulosis Pasca Primer

Dari tuberkulosis primer ini akan muncul bertahun-tahun kemudian tuberkulosis pasca primer, biasanya pada usia 15-40 tahun. Tuberkulosis pasca primer mempunyai nama yang bermacam macam yaitu tuberkulosis bentuk dewasa, localized tuberculosis, tuberkulosis menahun, dan sebagainya. Bentuk tuberkulosis inilah yang terutama menjadi problem kesehatan rakyat, karena dapat menjadi sumber penularan. Tuberkulosis pasca primer dimulai dengan sarang dini, yang umumnya terletak di segmen apikal dari lobus superior maupun lobus inferior. Sarang dini ini awalnya berbentuk suatu sarang pneumonik kecil (PDPI, 2006)..

Nasib sarang pneumonik ini akan mengikuti salah satu jalan sebagai berikut (PDPI, 2006):

1. Diresopsi kembali, dan sembuh kembali dengan tidak meninggalkan cacat. 2. Sarang tadi mula mula meluas, tapi segera terjadi proses penyembuhan

dengan penyebukan jaringan fibrosis. Selanjutnya akan membungkus diri menjadi lebih keras, terjadi perkapuran, dan akan sembuh dalam bentuk perkapuran. Sebaliknya dapat juga sarang tersebut menjadi aktif kembali, membentuk jaringan keju dan menimbulkan kaviti bila jaringan keju dibatukkan keluar.

3. Sarang pneumonik meluas, membentuk jaringan keju (jaringan kaseosa). Kaviti akan muncul dengan dibatukkannya jaringan keju keluar. Kaviti awalnya berdinding tipis, kemudian dindingnya akan menjadi tebal (kaviti sklerotik) . Nasib kaviti ini :

 Mungkin meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumonik baru. Sarang pneumonik ini akan mengikuti pola perjalanan seperti yang disebutkan diatas .

(53)
[image:53.595.127.536.235.446.2]

 Kaviti bisa pula menjadi bersih dan menyembuh yang disebut open healed cavity, atau kaviti menyembuh dengan membungkus diri, akhirnya mengecil. Kemungkinan berakhir sebagai kaviti yang terbungkus, dan menciut sehingga kelihatan seperti bintang (stellate shaped).

Gambar 2.2 Perkembangan Sarang Tuberculosis Post Primer Sumber : Pedoman Penatalaksanaan TB (Konsensus TB) (PDPI, 2006) 2.1.4. Gejala Klinis TB Paru

(54)

tersebut diatas, dianggap sebagai seorang tersangka (suspek) pasien TB dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung (Menkes RI, .2009).

 Demam biasanya subfebril walaupun terkadang dapat mencapai 40-410C. Serangan demam pertama dapat sembuh sebentar, tetapi kemudian dapat timbul kembali. Begitulah seterusnya hilang timbulnya demam sehingga pasien merasa ridak pernah terbebas dari serangan demam ini. Keadaan ini sangat dipengaruhi oleh daya tahan tubuh pasien dan berat ringannya infeksi bakteri tuberkulosis yang masuk.

 Batuk atau batuk berdahak merupakan gejala yang banyak ditemukan. Batuk terjadi karena adanya iritasi pada bronkus. Sifat batuk dimulai dari batuk kering (non-produktif) kemudian sering timbul peradangan menjadi produktif (menghasilkan sputum). Keadaan yang lanjut adalah berupa batuk darah karena terdapat pembuluh darah yang pecah.

 Sesak napas belum dirasakan saat awal perjalanan penyakit. Sesak napas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, yang infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian paru-paru.

 Nyeri dada agak jarang ditemukan. Terjadi jika infiltrasi radang sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis. Terjadi gesekan kedua pleura sewaktu pasien menarik atau melepaskan napasnya.

 Malaise sering ditemukan berupa anoreksia, badan semakin kurus (BB turun), sakit kepala, meriang, nyeri otot, keringat malam, dll. Gejala malaise ini semakin lama semakin berat dan terjadi hilang timbul secara tidak teratur (Amin & Asril, 2009).

2.1.5. Diagnosis TB Paru

(55)

dan nyeri dada. Sedangkan gejala sistemik yaitu demam, malaise, keringat malam, anoreksia, dan berat badan menurun (PDPI, 2006).

Menurut Kepmenkes RI pada tahun 2009, penegakan diagnosis TB paru dapat dilakukan dengan cara :

a. Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu sewaktu - pagi - sewaktu (SPS).

lnterpretasi hasil pemeriksaan mikroskopik dari 3 kali pemeriksaan (PDPI, 2006) ialah bila :

 2 kali positif, 1 kali negatif → Mikroskopik positif

 1 kali positif, 2 kali negatif → ulang BTA 3 kali , kemudian bila 1 kali positif, 2 kali negatif → Mikroskopik positif

 bila 3 kali negatf → Mikroskopik negatif

b. Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya bakteri TB (BTA). Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya.

c. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis.

d. Gambaran kelainan radiologik Paru tidak selalu menunjukkan aktifitas penyakit.

(56)
[image:56.595.137.490.117.571.2]

Gambar 2.3 Skema Alur Diagnosis TB paru

(57)

2.1.6. Pengobatan TB Paru

Dibawah ini adalah pedoman penanggulangan TB di Indonesia menurut Depkes RI pada tahun 2011.

Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutus rantai penularan, dan mencegah terjadinya resistensi bakteri terhadapa Obat Anti Tuberkulosis (OAT).

[image:57.595.117.567.373.614.2]

Jenis, sifat dan dosis OAT yang akan dijelaskan adalah yang tergolong pada lini pertama. Secara ringkas OAT lini pertama dijelaskan pada tabel dibawah ini:

Tabel 2.1 Pengelompokan OAT

(58)
[image:58.595.117.525.158.326.2]

Tabel 2.2 Jenis, sifat, dan dosis OAT lini pertama

Sumber : Pedoman Penanggulangan TB di Indonesia (Depkes RI, 2011)

Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut:

 OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat,dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.

 Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment) olehseorang Pengawas Menelan Obat (PMO).

 Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.

Tahap awal (intensif)

a. Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perludiawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. b. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya

(59)

c. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan.

Tahap Lanjutan

a. Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama.

b. Tahap lanjutan penting untuk membunuh bakteri persisten sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.

Paduan OAT yang digunakan di Indonesia

 Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia:

a. Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3.

b. Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3.

Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan (HRZE). c. Kategori Anak: 2HRZ/4HR

d. Obat yang digunakan dalam tatalaksana pasien TB resistan obat di Indonesia terdiri dari OAT lini ke-2 yaitu Kanamycin, Capreomisin, Levofloksasin, Ethionamide, Sikloserin dan PAS, serta OAT lini-1, yaitu pirazinamid and etambutol.

 Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket berupa obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiridari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien.

 Paket Kombipak.

(60)

Paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam bentuk paket, dengan tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan pengobatan sampai selesai. Satu (1) paket untuk satu (1) pasien dalam satu (1) masa pengobatan.

KDT mempunyai beberapa keuntungan dalam pengobatan TB: 1) Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga

menjamin efektifitas obat dan mengurangi efek samping. 2) Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan risiko

terjadinya resistensi obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisanresep.

3) Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat menjadi sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien Paduan OAT lini pertama dan peruntukannya.

a. Kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3)

Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:

 Pasien baru TB paru BTA positif.

 Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif

 Pasien TB ekstra paru

Tabel 2.3 Dosis untuk paduan OAT KDT untuk Kategori I

(61)
[image:61.595.116.532.154.234.2]

Tabel 2.4 Dosis paduan OAT-Kombipak untuk Kategori I

Sumber : Pedoman Penanggulangan TB di Indonesia (Depkes RI, 2011)

b. Kategori -2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3)

Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya:

 Pasien kambuh

 Pasien gagal

[image:61.595.119.555.450.600.2]

 Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)

Tabel 2.5 Dosis untuk paduan OAT KDT untuk Kategori II

(62)
[image:62.595.128.505.156.268.2]

Tabel 2.6 Dosis paduan OAT-Kombipak untuk Kategori II

Sumber : Pedoman Penanggulangan TB di Indonesia (Depkes RI, 2011) Catatan:

 Untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas dosis maksimal untuk streptomisin adalah 500mg tanpa memperhatikan berat badan.

 Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB dalam keadaan khusus.

 Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan menambahkan aquabidest sebanyak 3,7ml sehingga menjadi 4ml.(1ml = 250mg).

c. OAT Sisipan (HRZE)

Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket untuk tahap intensif kategori 1 yang diberikan selama sebulan (28 hari).

Tabel 2.7 Dosis KDT untuk Sisipan

[image:62.595.114.549.603.686.2]
(63)
[image:63.595.117.540.156.261.2]

Tabel 2.8 Dosis OAT Kombipak untuk Sisipan

Sumber : Pedoman Penanggulangan TB di Indonesia (Depkes RI, 2011) Penggunaan OAT lini kedua misalnya golongan aminoglikosida (misalnya kanamisin) dan golongan kuinolon tidak dianjurkan diberikan kepada pasien baru tanpa indikasi yang jelas karena potensi obat tersebut jauh lebih rendah daripada OAT lini pertama. Disamping itu dapat juga meningkatkan terjadinya risiko resistensi pada OAT lini kedua.

Efek samping OAT

Tabel 2.9 Efek samping ringan OAT

[image:63.595.117.526.467.583.2]
(64)
[image:64.595.117.518.122.396.2]

Tabel 2.10 Efek samping berat OAT

Sumber : Pedoman Penatalaksanaan TB (Konsensus TB) (PDPI, 2006)

2.2. Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui pancaindera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo, 2010).

Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang. Rogers (1974) dalam Notoatmodjo (2003) mengungkapkan bahwa sebelum mengadopsi perilaku baru, didalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan: awareness, yakni mengetahui objek; interest, yakni tertarik kepada objek; evaluation, yakni menimbang baik tidaknya objek; trial, yakni mencoba perilaku baru; dan adoption, yakni berperilaku dengan sadar pada tentang objek.

(65)

1. Tahu (Know), diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk di dalamnya adalah mampu mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari seluruh objek yang telah dipelajari atau rangsangan yang telah diberikan. Tingkatan ini merupakan tingkat pengetahuan paling rendah. Kata kerja untuk mengukurnya antara lain menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan, dsb.

2. Memahami (Comprehension), diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi secara benar. Kata kerja untuk mengukurnya antara lain menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dsb.

3. Aplikasi (Aplication), diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi sebenarnya. Aplikasi di sini dapat iartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum, rumus, metode, prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.

4. Analisis (Analysis), adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu organisasi dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kata kerja untuk mengukurnya antara lain menggambarkan (membuat bagan), membedakan, memisahkan, mengelompokkan, dsb.

5. Sintesis (Synthesis), merujuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada.

(66)

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pengetahuan sese

Gambar

Tabel 5.1. Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
Tabel 5.4. Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan Terakhir
Tabel 5.5. Distribusi Pengetahuan Responden Penelitian
Tabel 5.6. Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Pengetahuan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini merupakan penelitian analitik yang bersifat eksperimental tidak tersamar dengan menggunakan desain cross sectional untuk mengetahui perbandingan pengaruh

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitik dengan desain potong lintang ( cross sectional ) dengan tujuan untuk melihat

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian analitik dengan desain penelitian cross sectional (potong lintang) yang bertujuan untuk memperoleh data perbedaan hasil

Penelitian ini merupakan penelitian analitik kuantitatif dengan menggunakan desain penelitian potong lintang (cross sectional) dimana data diambil hanya sekali bagi

Penelitian ini merupakan penelitian analitik kuantitatif dengan menggunakan desain penelitian potong lintang (cross sectional) dimana data diambil hanya sekali bagi

Penelitian ini merupakan penelitian analitik kuantitatif dengan menggunakan desain penelitian potong lintang (cross sectional) dimana data diambil hanya sekali bagi

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian survei analitik dengan desain cross-sectional study di RSUP Haji Adam Malik dengan jumlah sampel

Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif observasional dengan desain penelitian cross-sectional yang bertujuan untuk mengetahui prevalensi kelainan