• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

6.2. Saran

6.2.1 Penelitian

Pada uji reliabilitas kuesioner yang dilakukan peneliti kepada 20 responden di Kelurahan Sidirejo didapatkan hasil uji reliabilitas dengan koefisien 0,6 dengan menggunakan rumus Kuder-Richardson (KR-20). Hasil uji reliabilitas ini termasuk kedalam indeks reliabilitas sedang. Instrumen pengukuran yang memiliki reliabilitas sempurna koefisiennya 1,00 atau mendekati 1,00. Peneliti menyarankan agar dilakukan penyempurnaan terhadap kuesioner sehingga diperoleh koefisien yang tinggi pula. Untuk penelitian selanjutnya diharapakan agar peneliti meneliti tentang sikap dan tindakan keluarga tentang pemenuhan keamanan lansia di rumah dan menggunakan responden penelitian yang lebih banyak lagi sehingga hasil yang diperoleh lebih representatif.

6.2.2 Praktek keperawatan

Pada praktek keperawatan diharapkan kepada perawat untuk memberikan penyuluhan kesehatan kepada keluarga tentang keamanan pada lansia yang merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia. Walaupun hasil yang diperoleh peneliti menunjukkan bahwa pengetahuan keluarga tentang pemenuhan keamanan lansia di rumah baik, tetapi penyuluhan kesehatan tentang keamanan di rumah dan upaya mengidentifikasi bahaya apa saja yang terdapat di rumah harus tetap dilakukan untuk meningkatkan derajat kesehatan lansia.

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengetahuan

2.1.1 Defenisi

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui pancaindera yang dimiliki oleh manusia, yakni indera penglihatan, penciuman, pendengaran, rasa, dan raba. Mata dan telinga merupakan alat indera yang dipergunakan manusia untuk memperoleh sebagian besar pengetahuan. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt behaviour) (Notoatmodjo, 2007).

2.1.2 Tingkat Pengetahuan di Dalam Domain Kognitif

Pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan, antara lain:

1. Tahu (know)

Tahu diartikan sebagai mengingat sesuatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari suatu bahan yang dipelajari atau rangsangan yang diterima termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini. Tahu merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain menyebutkan, mendefenisikan, menyatakan, dan sebagainya (Notoatmodjo, 2007).

2. Memahami (comprehension)

Memahami merupakan suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Seseorang yang telah paham terhadap suatu objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari (Notoatmodjo, 2007).

3. Aplikasi (aplication)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi sebenarnya. Aplikasi disini dapat diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain (Notoatmodjo, 2007).

4. Analisis (analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih dalam satu struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis dapat dilihat dari penggunaan kata kerja, seperti dapat menggambarkan (membuat bagan), membedakan, memisahkan, mengelompokkan, dan sebagainya (Notoatmodjo, 2007).

5. Sintesis (synthesis)

Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Misalnya, dapat menyusun, merencanakan, meringkaskan,

menyesuaikan terhadap suatu teori atau rumusan-rumusan yang telah ada (Notoatmodjo, 2007).

6. Evaluasi (evaluation)

Evaluasi berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian itu didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang sudah ada (Notoatmodjo, 2007).

2.1.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan

Menurut Notoatmodjo (2003), faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan antara lain :

1. Pengalaman

Pengalaman dapat diperoleh dari pengalaman sendiri maupun pengalaman orang lain. Pengalaman yang diperoleh dapat memperluas pengetahuan seseorang.

2. Tingkat pendidikan

Secara umum, orang yang berpendidikan lebih tinggi akan memiliki pengetahuan yang lebih luas daripada orang yang berpendidikan lebih rendah.

3. Keyakinan

Biasanya keyakinan diperoleh secara turun-temurun, baik keyakinan yang positif maupun keyakinan yang negatif, tanpa adanya pembuktian terlebih dahulu.

Fasilitas sebagai sumber informasi yang dapat mempengaruhi pengetahuan seseorang adalah majalah, radio, koran, televisi, buku, dan lain-lain. 5. Penghasilan

Penghasilan tidak berpengaruh secara langsung terhadap pengetahuan seseorang. Namun, jika seseorang berpenghasilan cukup besar, maka dia mampu menyediakan fasilitas yang lebih baik.

6. Sosial budaya

Kebudayaan setempat dan kebiasaan dalam keluarga dapat mempengaruhi pengetahuan, persepsi, dan sikap seseorang terhadap sesuatu.

2.2 Lansia 2.2.1 Defenisi

Menurut Undang-undang Nomor 13 tahun 1998 dalam Bab 1 Pasal 1 Ayat 2 yang berbunyi “ lanjut usia adalah seseorang yang mencapai usia 60 (enam puluh) tahun ke atas”.

2.2.2 Karakteristik Lansia

Budi Anna Keliat (1999) dalam Maryam, Ekasari, Rosidawati, Jubaedi, & Batubara (2008) menyatakan bahwa lansia memiliki beberapa karakteristik, yaitu: 1. Berusia lebih dari 60 tahun (sesuai dengan Pasal 1 Ayat (2) UU No. 13

tentang kesehatan)

2. Kebutuhan masalah yang bervariasi dari rentang sehat sampai sakit, dari kebutuhan biopsikososoal sampai spiritual, serta dari kondisi adaptif hingga kondisi maladaptif

2.3 Konsep Keamanan

2.3.1 Defenisi

Keamanan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang harus dipenuhi. Keamanan didefenisikan sebagai keadaan bebas dari cedera fisik dan psikologis (Potter & Perry, 2005).

2.3.2 Faktor yang Mempengaruhi Keamanan

Kozier, Erb, Berman & Synder (2010) menyatakan bahwa kemampuan individu untuk melindungi dirinya sendiri dari cedera dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti usia dan perkembangan, gaya hidup, mobilitas dan status kesehatan, perubahan sensori-persepsi, kesadaran kognitif, status psikososial, kemampuan komunikasi, kesadaran terhadap keamanan, dan faktor lingkungan.

1. Usia dan Perkembangan

Penduduk lanjut usia mengalami hambatan pergerakan dan mengalami penurunan ketajaman sensori sehingga beresiko terhadap cedera. Penduduk usia lanjut sering mengalami jatuh, kejadian luka bakar, kecelakaan pejalan kaki dan kecelakaan kendaraan bermotor.

2. Gaya hidup

Faktor gaya hidup yang membuat seseorang beresiko terhadap cedera adalah lingkungan kerja yang tidak aman, pendapatan yang kurang memadai untuk melakukan perbaikan alat tertentu atau membeli perlengkapan keselamatan, dan tinggal di lingkungan rawan kejahatan.

3. Mobilitas dan Status Kesehatan

Individu yang mengalami hambatan mobilitas akibat paralisis, kelemahan otot, dan keseimbangan atau koordinasi yang buruk sangat rentan terhadap cedera.

4. Perubahan sensori-persepsi

Individu yang mengalami gangguan persepsi peraba, pendengar, pencium, perasa, dan penglihatan sangat rentan terhadap cedera. Individu yang mengalami gangguan pendengaran mungkin tidak mendengar klakson di jalan, individu yang mengalami gangguan penciuman mungkin tidak mencium bau masakan yang gosong atau aroma belerang dari kebocoran gas. Individu yang mengalami gangguan penglihatan akan terpeleset mainan atau tidak melihat kabel listrik.

5. Status Emosi

Tingkat konsentrasi individu menurun ketika menghadi situasi yang penuh tekanan sehingga dapat menyebabkan kesalahan penilaian, dan penuruan kesadaran terhadap stimulus eksternal.

6. Kemampuan Komunikasi

Individu yang memiliki hambatan kemapuan untuk menerima dan menyampaikan informasi termasuk klien afasia, individu dengan hambatan bahasa, dan mereka yang tidak dapat membaca beresiko terhadap cedera. 7. Kesadaran terhadap keamanan

Informasi sangat penting terhadap keamanan. Klien yang sehat harus mendapat pengetahuan mengenai keamanan air, keamanan dalam mobil,

pencegahan kebakaran, dan beberapa tindakan pencegahan yang berhubungan dengan bahaya pada usia tertentu.

8. Faktor Lingkungan

Rumah yang aman adalah rumah yang memiliki lantai dan karpet yang terpasang dengan baik, permukaan bathtub atau shower yang tidak licin, alarm asap yangberfungsi dan terletak strategis, serta pengetahuan mengenai rute penyelamatan diri apabila terjadi kebakaran. Pencahayaan yang adekuat, baik di dalam maupun di luar rumah, dapat meminimalkan kemungkinan terjadinya kecelakaan.

2.3.3 Keamanan Lingkungan

Di dalam komunitas, lingkungan yang aman adalah suatu lingkungan dimana kebutuhan dasar terpenuhi, bahaya fisik berkurang, penyebaran kuman patogen berkurang, polusi terkontrol, dan sanitasi dapat dipertahankan.

1. Kebutuhan dasar

Kebutuhan terhadap oksigen, kelembaban yang optimum, nutrisi, dan suhu yang optimum merupakan kebutuhan fisiologis yang akan mempengaruhi keamanan sesorang (Potter & Perry 2005).

2. Pengurangan bahaya fisik

Bahaya fisik yang ada di dalam komunitas dapat menyebabkan klien beresiko mengalami cedera. Jatuh merupakan penyebab utama kematian akibat kecelakaan pada klien yang berusia 75 tahun atau lebih. Banyak bahaya fisik, khususnya yang mengakibatkan jatuh, dapat diminimalkan melalui pencahayaan yang adekuat, pengurangan bahaya fisik,

pengontrolan bahaya yang mungkin ada di kamar mandi, dan tindakan pengamanan.

a. Pencahayaan yang adekuat

Pencahayaan yang adekuat akan mengurangi bahaya fisik dengan cara menerangi tempat klien bekerja dan bergerak. Pencahayaan yang adekuat di sepanjang trotoar harus ada. Di dalam rumah, tangga, gang, dan ruangan individu harus diberikan pencahayaan yang adekuat sehingga penghuninya dapat melakukan berbagai aktivitas sehari-hari dengan aman. Pencahayaan buatan harus berupa cahaya yang lembut dan tidak menyilaukan mata, karena cahaya yang menyilaukan adalah salah satu masalah utama yang dihadapi oleh lansia ( Ebersole dan Hess, 1994 dalam Potter & Perry 2005).

b. Mengurangi penghalang fisik

Keset yang ada di tangga dan lantai, noda basah di lantai, kain yang kusut di samping meja, lemari dinding, bagian atas kulkas, dan lemari buku merupakan benda-benda yang ada di rumah yang dapat menyebabkan cedera. Risiko jatuh karena berbagai penghalang ini dapat dialami oleh seluruh kelompok usia. Lansia mengalami resiko ini lebih besar daripada kelompok usia lain. Faktor ekstrinsik (penghalang fisik) ini dapat menjadi satu-satunya penyebab jatuh. Penghalang fisik harus dipindahkan dari gang dan tempat lalu lalang lainnya untuk mengurangi risiko cedera. Benda-benda yang dibutuhkan, misalnya seperti kacamata, jam, tisu, atau obat-obatan harus tetap diletakkan di meja samping tempat tidur dalam jangkauan klien tetapi tidak dapat

dijangkau anak-anak. Keset harus dilindungi dengan alas yang tidak licin atau bahan perekat yang tahan licin. Keset dan alasnya tidak boleh digunakan di tangga. Karpet pada tangga harus dilindungi dengan paku karpet. Perawatan juga harus dilakukan untuk memastikan bahwa ujung meja telah aman dan meja mempunyai kaki meja yang stabil dan lurus (Potter & Perry 2005).

c. Mengontrol bahaya yang ada di kamar mandi

Pegangan yang mudah terlihat dan aman serta perekat yang bewarna dan tidak licin yang ada di dasar bak mandi berguna untu mengurangi risiko jatuh dalam bak mandi. Tempat duduk toilet yang ditinggikan dengan pegangan tangan dan alas yang tidak licin pada lantai depan toilet juga sangat berguna untuk mengurangi bahaya yang ada di kamar mandi (Potter & Perry 2005).

d. Mengamankan rumah

Tindakan pencegahan untuk mengamankan rumah dari penyeludup perlu dilakukan dengan cara mengevaluasi keberadaan dan kualitas kunci pintu dan jendela. Kerjasama dengan petugas keamanan di sekitar rumah sangat diperlukan (Potter & Perry 2005).

3. Pengurangan transmisi patogen

Patogen adalah setiap mikroorganisme yang mampu menyebabkan penyakit. Teknik aseptik dalam mencuci tangan merupakan salah satu metode yang paling efektif untuk membatasi penyebaran patogen. Pemberian imunisasi dapat mengurangi bahkan pada beberapa kasus dapat mencegah penyebaran penyakit dari orang ke orang lain. Penyebaran

penyakit juga dikontrol melalui pembuangan sampah manusia yang adekuat ke dalam tempat yang tepat, serta perbaikan pembuangan air dan drainase (Potter & Perry 2005).

4. Pengontrolan polusi

Lingkungan yang bebas polusi merupakan lingkungan yang sehat. Polusi terdiri dari polusi udara, air, suara dan tanah. Polusi udara adalah kontaminasi terhadap atmosfir dimana pemaparan yang lama terhadap polusi udara akan meningkatkan terjadinya penyakit paru-paru. Polusi air adalah kontaminasi terhadap danau, sungai, dan aliran air. Polusi udara terjadi bila tingkat bunyi pada lingkungan menyebabkan ketidaknyamanan bagi penghuni di lingkungan tersebut. Pembuangan radiokatif dan sampah bioaktif yang tidak tepat dapat menyebabkan polusi tanah (Potter & Perry, 2005).

2.3.4 Keamanan Lansia di Rumah

Rumah tinggal dan lingkungan merupakan hal yang penting karena mempunyai dampak yang utama terhadap kesehatan lansia. Lingkungan dapat mengganggu atau mendukung fungsi fisik dan sosial, mempertinggi atau membuang energi, dan melengkapi atau memperberat perubahan fisik yang ada seperti penglihatan dan pendengaran. Lingkungan harus dimodifikasi untuk meningkatkan kemandirian dan kemampuan fungsi dan juga kualitas hidup (Potter & Perry, 2005). Tindakan keselamatan di rumah guna memenuhi keamanan lansia yaitu mencegah bahaya jatuh, terbakar, luka bakar, dan tersengat listrik (Kozier, Erb, Berman & Synder, 2010).

1. Pencegahan jatuh

Lansia paling rentan mengalami jatuh. Jatuh sering kali terjadi di dalam rumah dan merupakan ancaman terbesar terhadap kemandirian lansia. Jatuh biasanya dianggap sabagai konsekuensi alami menjadi tua. Tetapi jatuh bukan merupakan bagian normal dari proses penuaan. Jatuh merupakan kejadian yang memalukan dan menyakitkan serta dapat menyebabkan keterbatasan aktivitas dan kemandirian atau kehilangan rasa percaya diri pada lansia yang mengalaminya (Stanley, 2006). Ketakutan jatuh sering muncul pada lansia yang tidak pernah jatuh (Kozier, Erb, Berman & Synder, 2010). Reuben (1996) dalam Boedhi (1999) mendefenisikan jatuh sebagai suatu kejadian yang dilaporkan penderita atau saksi mata, yang melihat kejadian mengakibatkan seseorang mendadak terbaring/terduduk di lantai/tempat yang lebih rendah dengan atau tanpa kehilangan kesadaran atau luka. Sekitar 30-50% dari populasi lanjut usia (yang berusia 65 tahun) ke atas mengalami jatuh setiap tahunnya. Separuh dari angka tersebut mengalami jatuh berulang (Nugroho, 2008).

Ada beberapa faktor- faktor lingkungan yang sering dihubungkan dengan kecelakaan pada lansia antara lain:

a. Alat-alat atau perlengkapan rumah tangga yang sudah tua, tidak stabil atau tergeletak di bawah

b. Tempat tidur atau WC yang rendah/jongkok

c. Tempat berpegangan yang tidak kuat/tidak mudah dipegang seperti lantai yang tidak datar; karpet yang tidak dilem dengan baik, keset yang

menekuk pinggirnya, dan benda-benda alas lantai yang licin atau mudah tergeser; lantai yang licin atau basah; penerangan yang tidak adekuat; alat bantu jalan yang tidak tepat ukuran, berat, maupun cara penggunaannya (Boedhi,1999).

2. Kebakaran, luka bakar dan tersengat listrik

Kebakaran merupakan bahaya bagi lansia yang mengalami gangguan memori. Lansia dapat lupa kalau mereka tidak mematikan puntung rokok dengan tuntas, lupa kalau mereka meninggalkan setrika atau kompor gas dalam keadaan menyala. Lansia harus berhati-hati pada saat mandi atau menggunakan alat pemanas untuk mencegah terbakar karena sensitivitas kulit terhadap nyeri dan panas berkurang (Kozier, Erb, Berman & Synder, 2010). Perlengkapan listrik yang “cacat” (misalnya, perlengkapan dengan kabel yang terurai) menimbulkan bahaya syok listrik atau mungkin memicu kebakaran. Nomor telepon gawat darurat perlu diletakkan di dekat pesawat telepon atau disimpan dalam memori telepon pada daftar panggilan cepat.

2.4 Keluarga 2.4.1 Defenisi

Keluarga merupakan unit dasar dari masyarakat. Keluarga terdiri atas beberapa individu, pria maupun wanita, muda atau tua, terkait secara hukum maupun tidak, yang dianggap satu sama lain sebagai orang terdekat (Kozier, Erb, Berman & Synder, 2010).

Terdapat beberapa pengertian keluarga menurut beberapa ahli dalam Ali (2009) yaitu:

1. Duval (1972) menyatakan bahwa keluarga adalah sekumpulan orang yang dihubungkan oleh ikatan perkawinan, adaptasi, dan kelahiran yang bertujuan menciptakan dan mempertahankan kebudayaan yang umum, meningkatkan perkembangan fisik, mental, dan emosional serta sosial individu yang ada di dalamnya, dilihat dari interaksi yang reguler dan ditandai dengan adanya ketergantungan dan hubungan untuk mencapai tujuan umum.

2. Departemen Kesehatan RI (1988), keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari kepala keluarga, dan beberapa orang yang berkumpul serta tinggal di satu tempat di bawah satu atap dalam keadaan saling bergantung.

3. Bailon dan Maglaya (1989) menyatakan bahwa keluarga adalah dua atau lebih individu yang bergabung karena hubungan darah, perkawinan, dan adopsi dalam satu rumah tangga, yang berinteraksi satu dengan yang lainnya dalam peran dan menciptakan serta mempertahankan suatu budaya.

4. Burgess dan kawan-kawan (1963) menyebutkan bahwa (1) keluarga terdiri dari orang-orang yang disatukan oleh ikatan perkawinan, darah, dan ikatan adopsi, (2) para anggota keluarga biasanya hidup bersama dalam satu rumah tangga atau jika hidup secara terpisah, mereka tetap menganggap rumah tangga tersebut sebegai rumah mereka, (3) anggota keluarga berinteraksi dan berkomunikasi satu dengan lainnya dalam peran sosial,

(4) keluarga sama-sama menggunakan kultur yang sama, yaitu kultur yang diambil dari masyarakat dengan beberapa cara unik tersendiri.

2.4.2 Fungsi Keluarga

Friedman membagi fungsi keluarga menjadi 5 antara lain: 1. Fungsi Afektif

Berguna untuk pemenuhan kebutuhan psikososial. Anggota keluarga mengembangkan gambaran diri yang posiitf, peran dijalankan dengan baik, dan penuh rasa kasih sayang. Hal ini merupakan dasar kekuatan keluarga.

2. Fungsi sosialisasi

Keluarga merupakan tempat individu melaksanakan sosialisasi dengan anggota keluarga dan belajar disiplin, norma budaya, dan perilaku melalui interaksi dalam keluarga, sehingga individu mampu berperan di dalam masyarakat.

3. Fungsi reproduksi

Fungsi untuk melangsungkan keturunan dan menambah sumber daya manusia.

4. Fungsi ekonomi

Memenuhi kebutuhan keluarga seperti makanan, pakaian, perumahan, dan lain-lain merupakan fungsi ekonomi keluarga.

5. Fungsi perawatan keluarga

Keluarga menyediakan makanan, pakaian, perlindungan, dan asuhan kesehatan/keperawatan. Kemampuan keluarga melakukan asuhan

keperawatan atau pemeliharaan kesehatan mempengaruhi status kesehatan keluarga dan individu.

Tugas keluarga menurut Friedman dalam pemeliharaan kesehatan adalah (1) mengenal gangguan perkembangan kesehatan setiap anggota keluarga, (2) mengambil keputusan untuk tindakan kesehatan yang tepat, (3) memberikan perawatan kepada anggota keluarga yang sakit, (4) mempertahankan suasana rumah yang mengutungkan untuk kesehatan dan perkembangan kepribadian anggota keluarga , (5) mempertahankan hubungan timbal balik antara keluarga dan fasilitas kesehatan.

2.4.3 Peran Anggota Keluarga terhadap Lansia

Dalam melakukan perawatan terhadap lansia, setiap anggota keluarga memiliki peranan yang sangat penting. Keluarga merupakan support system utama bagi lansia dalam mempertahankan kesehatannya. Maryam, Ekasari, Rosidawati, Jubaedi, & Batubara (2008) menyatakan bahwa ada beberapa hal yang dapat dilakukan oleh anggota keluarga dalam melaksanakan perannya terhadap lansia, yaitu:

1. Melakukan pembicaraan terarah 2. Mempertahankan kehangatan keluarga

3. Membantu melakukan persiapan makanan bagi lansia 4. Membantu dalam hal transportasi

5. Membantu memenuhi sumber-sumber keuangan 6. Memberikan kasih sayang

8. Bersikap sabar dan bijaksana terhadap perilaku lansia

9. Memberikan kasih sayang, menyediakan waktu, serta perhatian 10.Jangan menganggapnya sebagai beban

11.Memberikan kesempatan untuk tinggal bersama 12.Mintalah nasihatnya dalam peristiwa-peristiwa penting 13.Mengajaknya dalam acara-acara keluarga

14.Membantu mencukupi kebutuhannya

15.Memberi dorongan untuk tetap mengikuti kegiatan-kegiatan di luar rumah termasuk pengembangan hobi

16.Membantu mengatur keuangan

17.Mengupayakan sarana transportasi untuk kegiatan mereka termasuk rekreasi

18.Memeriksakan kesehatan secara teratur

19.Memberi dorongan untuk tetap hidup bersih dan sehat

20.Mencegah terjadinya kecelakaan. Baik di dalam maupun di luar rumah

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Fakta menunjukkan bahwa sekarang ini jumlah penduduk lansia semakin lama semakin bertambah besar. Proporsi penduduk lanjut usia (lansia) yang berusia 60 tahun ke atas diperkirakan menjadi dua kali lipat dari 11% di tahun 2006 menjadi 22% pada tahun 2050. Populasi lansia di dunia yang pada tahun 2006 sekitar 650 juta, akan mencapai 2 miliar pada tahun 2050. Untuk pertama kalinya dalam sejarah manusia, pada saat itu akan ada lebih banyak orang tua dari pada anak-anak usia 0-14 tahun di populasi. Jumlah penduduk lansia di Indonesia sendiri berdasarkan hasil Sensus Penduduk 2010 sebanyak 18,04 juta orang atau 7,95 persen dari keseluruhan penduduk.

Provinsi Sumatera Utara sendiri mengalami peningkatan jumlah penduduk lanjut usia dari sebesar 554.761 jiwa (4,6%) pada tahun 2005 meningkat menjadi sebesar 765.882 jiwa (5,9%) pada tahun 2010. Sementara untuk kota Medan penduduk usia lanjut meningkat menjadi 117.216 jiwa (5,59%) pada tahun 2010 dari tahun 2005 yang sebesar 77.837 jiwa (3,85%). Penuaan penduduk dunia di negara berkembang dan negara maju sebenarnya merupakan indikator meningkatnya kesehatan global. Persentase jumlah penduduk lansia ini menunjukkan bahwa Indonesia termasuk negara yang memasuki era penduduk berstruktur tua karena jumlah penduduk yang berusia 60 tahun ke atas melebihi angka tujuh persen (BPS, 2010).

Menua atau menjadi tua adalah suatu keadaan yang terjadi di dalam kehidupan manusia. Menjadi tua merupakan proses alamiah. Memasuki usia tua berarti mengalami kemunduran, misalnya kemunduran fisik yang ditandai dengan kulit yang mengendur, rambut memutih, gigi mulai ompong, pendengaran kurang jelas, penglihatan semakin memburuk, gerakan lambat, dan figur tubuh yang tidak proposional (Nugroho, 2008). Individu lanjut usia mungkin mengalami hambatan pergerakan dan mengalami penurunan ketajaman sensori sehingga beresiko terhadap cedera.

Rumah tinggal dan lingkungan merupakan hal yang penting karena mempunyai dampak utama pada kesehatan lansia. Lingkungan dapat mendukung atau mengganggu fungsi fisik dan sosial, mempertinggi atau membuang energi, dan melengkapi atau memperberat perubahan fisik yang ada seperti penglihatan dan pendengaran. Furnitur harus nyaman dan menyesuaikan perubahan muskuloskeletal lansia. Furnitur harus mudah dipakai dan mudah dilepaskan serta harus memiliki penopang punggung. Kursi ruang makan harus diuji kenyamanannya selama makan dan sesuai tingginya dengan meja (Potter&Perry, 2005).

Keamanan adalah sebuah konsep luas yang berarti keamanan dan pencegahan kecelakaan atau cedera. Dalam pengaturan perawatan kesehatan, situasi timbul dimana lansia dibutuhkan menjadi bagian integral dari proses pengambilan keputusan dalam rangka untuk mempromosikan keamanan dan mencegah kecelakaan dan cedera di masa mendatang. Misalnya, intervensi pencegahan jatuh, keselamatan mengemudi, dan modifikasi rumah untuk mencegah pencurian atau jatuh disengaja merupakan area umum dimana

pendidikan bagi klien dan pengambilan keputusan diperlukan (Lueckenotte, 2000).

Jatuh pada lanjut usia merupakan masalah yang sering terjadi. Sekitar 30-50% dari populasi lanjut usia (yang berusia 65 tahun) ke atas mengalami jatuh setiap tahunnya. Separuh dari angka tersebut mengalami jatuh berulang (Nugroho,

Dokumen terkait