• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI Kesimpulan dan Saran

6.2 Saran

6.2.1 Bagi Penelitian Selanjutnya

Hasil penelitian ini menunjukkan aktivitas hidup sehari-hari pasien diabetes mellitus berada pada kategori ringan sedang dengan responden berusia paruh baya dan lansia. Saran peneliti kepada peneliti selanjutnya diharapkan dapat dilakukan penelitian pada sampel dengan usia dibawah usia paruh baya untuk mengetahui sejauh mana diabetes melitus mempengaruhi aktivitas hidup sehari-hari pasien dengan usia muda. Peneliti juga menyarankan untuk melakukan penelitian tentang aktivitas hidup sehari-hari pasien diabetes melitus dengan metode penelitian kualitatif.

6.2.2 Bagi Pelayanan Keperawatan

Berdasarkan data yang telah diperoleh dari hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi data dasar bagi perawat dalam melakukan asuhan keperawatan pada pasien diabetes mellitus dan meningkatkan kualitas hidupnya.

6.2.3 Bagi Responden

Data yang telah diperoleh menunjukkan bahwa aktivitas hidup sehari-hari pasien diabetes mellitus di Poli Klinik Penyakit Dalam Rumah Sakit Pirngadi Medan berada dalam rentang ringan sedang. Saran peneliti kepada responden agar selalu menjaga kadar gula darahnya dalam batas normal sehingga tidak terjadi komplikasi yang lebih buruk dan menimbulkan gangguan aktivitas hidup sehari-hari yang berat.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diabetes Melitus 2.1.1 Pengertian

WHO merumuskan bahwa diabetes mellitus adalah kumpulan problematika anatomi dan kimiawi yang diakibatkan oleh sejumlah faktor dimana terdapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan gangguan fungsi insulin (Sudoyo, Setyohadi, Alwi, Simadibrata, & Setiadi, 2009) dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi tubuh dalam memetabolisme karbohidrat (Price & Wilson, 2006).

2.1.2 Klasifikasi Diabetes A. Diabetes Tipe 1

Sekitar 5 - 10% penderita diabetes mellitus mengalami diabetes tipe 1 atau IDDM (Independent Diabetes Mellitus) atau diabetes yang tergantung pada pemberian insulin. Pada Diabetes tipe 1 terjadi kerusakan sel-sel beta pankreas oleh proses autoimun sehingga sel-sel tersebut tidak mampu menghasilkan insulin (Smeltzer, 2002).

B. Diabetes Melitus Tipe 2

Sekitar 90 % - 95 % penderita diabetes mellitus mengalami diabetes tipe 2 atau juga dikenal sebagai diabetes tidak tergantung insulin atau NIDDM (Non Independent Diabetes Mellitus). Dua masalah yang terjadi pada diabetes tipe ini adalah resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin (Smeltzer, 2002)

C. Diabetes Melitus Gestasional (DMG)

DMG terjadi pada wanita yang tidak menderita diabetes sebelum kehamilannya. Biasanya terjadi pada trimester kedua dan ketiga (Smeltzer 2002). Peningkatan hormon-hormon kehamilan (Human Placental Lactogen/HPL, progresteron, kortisol dan prolaktin) menghambat sekresi insulin sehingga menyebabkan resistensi insulin fisiologis. (Sudoyo dkk., 2009).

2.1.3 Manifestasi Klinis

Defisiensi insulin menyebabkan glukosa dari makanan tidak disimpan dalam hati dan beredar dalam pembuluh darah dengan konsentrasi yang tinggi. Hal ini menyebabkan ginjal tidak mampu menyerap seluruh glukosa yang tersaring keluar akibatnya terdapat glukosa di dalam urin atau glukosuria. Adanya glukosa di dalam urin menyebabkan terjadinya ekskresi berlebihan cairan dan elektrolit yang disebut dieresis osmotik sehingga pasien diabetes akan mengalami peningkatan dalam berkemih atau poliuria. Hal ini akan menyebabkan dehidrasi, sehingga tubuh akhirnya memberikan sinyal rasa haus atau polidipsi. Defisiensi insulin mengganggu metabolisme protein dan lemak sehingga terjadi penurunan berat badan akibat turunnya simpanan kalori dalam tubuh. Hilangnya glukosa dalam jumlah besar melalui urin menyebabkan penderita diabetes melitus mengalami keseimbangan kalori negatif sehingga terjadi peningkatan selera makan atau polifagia. Selain itu, defisiensi insulin juga menyebabkan tubuh kekurangan simpanan energi sehingga banyak sel-sel yang mengalami kelelahan, kelemahan dan ketidakmampuan dalam menjalankan fungsinya (Smeltzer, 2002).

2.1.4 Etiologi

A. Faktor-faktor genetik

Faktor genetik disebut sebagai suatu predisposisi yang memicu terjadinya diabetes mellitus tipe 1 (DMT1). Kecenderungan genetik ini ditemukan pada individu yang memiliki tipe antigen HLA (Human Leucocyte Antigen) (Smeltzer, 2002).

B. Proses Autoimun

Proses autoimun adalah suatu keadaan di mana imun tubuh menyerang sel-sel normal dalam tubuh karena menganggapnya sebagai sel-sel-sel-sel asing. Pada DMT1 terjadi proses autoimun terhadap sel-sel pulau Langerhans dan insulin endogen (Smeltzer, 2002) sehingga sel-sel normal tersebut rusak dan tidak mampu menghasilkan insulin (Price & Wilson, 2006).

C. Faktor Eksternal

Virus atau toksin dapat memicu proses autoimun yang menimbulkan dekstruksi sel beta, misalnya infeksi virus Coxacie (Price & Wilson, 2006). D. Riwayat keluarga

Faktor riwayat keluarga memiliki kaitan dengan insidensi DM tipe 2. Transmisi genetik pada diabetes melitus merupakan suatu penyakit yang diturunkan dengan pola autosomal dominan sehingga orang tua yang menderita diabetes akan memiliki anak dengan rasio diabetes dan nondiabetes sebesar 1 : 1 dan sekitar 90 % pasti menjadi carrier (pembawa) (Price & Wilson, 2006).

E.Obesitas

Sekitar 80 % pasien DMT2 mengalami obesitas. Insulin mengikatkan diri pada permukaan reseptor GLUT-4 (glucose transporter-4) untuk memetabolisme glukosa (Sudoyo dkk., 2009). Banyaknya sel lemak pada pasien obesitas menyebabkan berkurangnya jumlah tempat reseptor pada membran sel yang selnya responsif terhadap insulin sehingga terjadi penggabungan abnormal antara kompleks reseptor insulin dengan sistem transport glukosa. Ketidakmampuan ini akan mengganggu kerja insulin dan menyebabkan restensi insulin tidak adekuat untuk mempertahankan kadar gula normal dalam darah (Price & Wilson).

F. Usia

Salah satu faktor penting yang mempengaruhi prevalen diabetes mellitus adalah usia. WHO menyatakan bahwa setelah seseorang berumur 30 tahun maka konsentrasi glukosa darah akan naik 1-2 mg %/tahun pada saat puasa dan akan naik menjadi 5,6 – 13 mg % pada dua jam setelah makan. Pada usia lanjut terjadi insufisiensi insulin atau penurunan kecepatan ambilan glukosa yang pada orang normal berlangsung 2 jam, pada individu lanjut usia memerlukan waktu 3 jam (Sudoyo dkk., 2009).

2.1.5 Evaluasi Diagnosis

Kriteria diagnostik untuk diabetes melitus (Sudoyo dkk., 2009) : 1. Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dl (11,1

mmol/L). Glikosa plasma sewaktu adalah pemeriksaan yang dilakukan tanpa memperhatikan kapan waktu terakhir makan.

Glukosa plasma puasa diartikan bahwa pasien belum makan apapun sedikitnya 8 jam sebelum pemeriksaan

3. Glukosa plasma 2 jam pada Tes Toleransi Glukosa Oral ≥ 200 mg/dl (11,1 mmol/L) TTGO dilakukan menurut standar WHO, pasien diminta mengkonsumsi 75 gr glukosa anhidrus yang telah dilarutkan dalam air. 2.1.6 Komplikasi

A. Komplikasi jangka pendek

Ketiga komplikasi akut ini terjadi akibat ketidakseimbangan kadar glukosa darah jangka pendek.

1. Hipoglikemia

Hipoglikemia merupakan suatu keadaan di mana kadar glukosa dalam darah turun dibawah 50-60 mg/dl (2,7-3,3 mmol/L). dapat terjadi akibat pemberian insulin/preparat oral yang berlebihan, konsumsi makanan yang terlalu sedikit, aktivitas fisik yang berat dan pada keadaan hiperglikemia yang mengalami penurunan kadar glukosa darah tiba-tiba (Smeltzer, 2002).

2. Ketoasidosis diabetik

Jumlah insulin yang sedikit menyebabkan gangguan metabolisme karbohidrat, protein dan lemak sehingga akhirnya terjadi ketoasisosis diabetik (KD). Bukti adanya KD dicerminkan oleh kadar bikarbonat serum yang rendah (0-15 mEq/L), PH darah yang rendah (6,8-7,3), PCO2 rendah (10-30 mmHg) yang menunjukkan kompensasi respiratorik (pernafasan kusmaul), adanya keton dalam darah dan urin yang mencerminkan asidosis (Smeltzer, 2002).

3. Sindrom hiperglikemia hiperosmolar nonketotik (HHNK)

HHNK merupakan suatu keadaan dimana terjadi hiperosmolaritas, hiperglikemia dan perubahan tingkat kesadaran yang disebabkan oleh kurangnya jumlah insulin efektif. Pada HHNK tidak dijumpai ketosis dan asidosis, meskipun tidak cukup untuk mencegah hiperglikemia, pasien HHNK memiliki insulin yang cukup untuk mencegah peningkatan metabolisme lemak menjadi badan-badan keton (Smeltzer, 2002).

B. Komplikasi jangka panjang

Penderita diabetes mellitus yang hidup lebih lama sering mengalami komplikasi jangka panjang yang diklasifikasikan menjadi penyakit makrovaskular, mikrovaskular dan neuropati.

1. Penyakit makrovaskular

a. Penyakit arteri koroner

Arteri koroner menjadi penyebab 50-60 % kematian pasien-pasien diabetes mellitus, angka kejadian aterosklerosis pada pasien diabetes mellitus lebih tinggi daripada non-diabetes mellitus (Smeltzer, 2002). b. Penyakit serebrovaskular

Proses arterosklerosis pada pembuluh darah serebral/terbentuknya embolus di tempat lain dan terbawa oleh aliran darah ke otak dapat menimbulkan serangan iskemik sepintas (Transient Ischemic Attack/TIA) dan stroke (Smeltzer, 2002).

c. Penyakit vaskular perifer

Penyakit oklusif arteri perifer pada pasien diabetes disebabkan oleh perubahan arterosklerosis dalam pembuluh darah besar pada ekstremitas bawah yang dapat meningkatkan insiden gangren dan amputasi pada pasien-pasien diabetes mellitus (Smeltzer, 2002).

2. Penyakit mikrovaskular

Proses aterosklerosis makrovaskular dapat terjadi pada pasien diabetes mellitus atau pun non- diabetes mellitus. Namun, penyakit mikrovaskular diabetik (mikroangiopati) hanya terjadi pada pasien diabetes mellitus. Dua tempat di mana gangguan fungsi kapiler sering terjadi adalah di retina mata dan ginjal (Smeltzer, 2002).

a. Retinopati diabetik

Retinopati diabetik merupakan penyebab kebutaan utama pada usia dewasa antara 20-74 tahun. Pasien diabetes mellitus memiliki risiko 25 kali lipat lebih tinggi untuk mengalami kebutaan daripada non- diabetes mellitus. Risiko mengalami retinopati pada pasien diabetes mellitus meningkat sejalan dengan lamanya pasien menderita penyakit ini. Keadaan hiperglikemia yang berlangsung lama dianggap sebagai faktor risiko utama terjadinya retinopati diabetik (Sudoyo dkk, 2009). Resiko tinggi retinopati terjadi pada pasien dengan lama menderita lebih dari 8 tahun (Himawan, Pulungan Tridjaja, & Batubara, 2009).

Tabel 2.1 Penderita retinopati Diabetika berdasarkan jangka waktu menderita diabetes mellitus (Delang & Kardani, 2006)

Lama menderita DM (Tahun) Retinopati Diabetik nonproliferatif Retinopati Diabetik Proliferatif Jumlah 5-9 tahun 45.45 % 5.54 % 50.92 % ≥ 10 tahun 30.92 % 25.46 % 49.09 % Total 69.09 % 30.91 % 100 % b. Nefropati diabetik

Nefropati diabetik didefinisikan sebagai sindrom klinis pada pasien diabetes mellitus yang ditandai dengan albuminuria menetap (> 300 mg/24 jam/ pada dua kali pemeriksaan dalam kurun waktu 3-6 bulan) (Sudoyo dkk, 2009). Penderita Diabetes mellitus dengan lama menderita lebih dari 5 tahun memiliki korelasi yang bermakna dengan kejadian albuminuria yang dapat menyebabkan nefropati diabetik (Markum & Galastri, 2004).

3. Neuropati diabetik

Salah satu komplikasi kronik diabetes mellitus yang paling sering terjadi adalah neuropati diabetik (ND). ND dideskripsikan sebagai gangguan baik klinis maupun subklinis pada pasien diabetes mellitus tanpa penyebab neuropati lainnya yang menyerang semua tipe saraf, termasuk saraf perifer (sensorimotor) otonom dan spinal (Sudoyo, 2009).

Penderita Diabetes berusia lebih dari 50 tahun memiliki resiko 4,314 kali lebih besar untuk terjadinya Neuropati Diabetika dibandingkan pasien diabetes dengan usia dibawah 50 tahun (Qilsy & Ardiansyah, 2008).

Pasien diabetes mellitus dengan neuropati diabetik berisiko mengalami infeksi berulang, luka atau ulkus yang tidak sembuh-sembuh dan amputasi jari tangan/kaki (Smeltzer, 2002). Penderita Diabetes melitus dengan lama menderita lebih dari 10 tahun memiliki resiko tinggi menderita ulkus diabetik (Hastuti, 2008).

2.1.7 Manajemen Terapi Diabetes Mellitus

Manajemen terapeutik pengelolaan pada diabetes mellitus terdiri atas lima pilar utama mencakup : edukasi, terapi gizi, aktivitas fisik, monitor gula darah dan intervensi farmakologis (PERKENI. 2006)

1. Edukasi

Pemberdayaan penyandang diabetes mellitus memerlukan partisipasi aktif pasien, keluarga, dan masyarakta. Tim kesehatan mendampingi pasien dalam menuju perubahan perilaku. Untuk mencapai keberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi (PERKENI, 2006).

Edukasi diabetes mellitus adalah pendidikan dan pelatihan mengenai pengetahuan dan keterampilan bagi pasien diabetes mellitus guna menunjang perubahan perilaku, meningkatkan pemahaman pasien tentang penyakitnya, sehingga tercapai kesehatan yang optimal, penyesuaian keadaan psikologis dan peningkatan kualitas hidup (Soegondo, Soewondo, & Subekti, 2009). 2. Terapi gizi

Keberhasilan dari pengendalian pengobatan diabetes mellitus tergantung pada tingkat kepatuhan dari penderita terhadapa regimen terapi ynag telah ditentukan. Tujuan dari terpai gizi adalah untuk memperbaiki kebiasaan makan dan mendapatkan control metabolic yang diinginkan. Selain untuk

mempertahankan berat badan normal selama menjalani terapi diabetes, pengaturan diet juga bertujuan untuk mempertahankan kadar glukosa darah mendekati normal, mencapai kadar serum lipid yang optimal dan menangani komplikasi akut serta meningkatkan kesehatan secara keseluruhan melalui gizi yang optimal (Sukardji, 2009).

Standar gizi yang dianjurkan adalah makanan dengan keadaan gizi seimbang yang mengandung karbohidrat (45-60 %), protein (10-20%) dan lemak (20-25 %). Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi dan umur, stress akut dan kegiatan jasmani untuk mempertahankan berat badan ideal (Waspadji, 2006).

Makanan untuk pasien DM dibagi menjadi 3 porsi besar untuk makan pagi (20%), makan siang (30%), makan malam (25%) serta 2-3 porsi rinagn (10-15%) diantara makan besar. Pengaturan makan ini tidak berbeda dengan orang normal, kecuali dalam pengaturan jadwal makanan dan jumlah kalori. Pada pasien DM perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis dan jumlah makanan, terutama pada mereka yang menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin (PERKENI, 2006).

3. Aktivitas fisik

Latihan fisik yang teratur dapat mengendalikan berat badan, kadar gula darah, tekanan darah dna yang paling penting memicu pengaktifan produksi insulin dan membuat kerjanya menjadi lebih efisien. Namun pada pasien diabetes melitus yang tidak terkontrol, latihan jasmani justru dapat berakibat fatal (Yunir & Soebardi, 2006).

Prinsip latihan jasmani pada psien diabetes melitus hampir sama dnegan latihan jasmani secara umum yaitu memenuhi beberapa hal seperti : frekuensi, intensitas, durasi dan jenis. Frekuensi latihan jasmani yang dianjurkan pada pasien diabetes melitus adalah dilakukan secara teratur 3-5 kali dalam 1 minggu, dengan intensitas ringan dan sedang (60-70% maximum heart rate), dan lama latihan fisik yang baik adalah 30-60 menit. Adapun jenis latihan fisik yang bermanfaat seperti latihan jasmani endurans ()aerobic) untuk meningkatkan kemampuan kardiorespirasi seperti jalan, jogging dan bersepeda (Yunir & Soebardi, 2006).

Aktivitas fisik dapat juga dilakukan sambil melakukan kegiatan sehari-hari secara ekstra, misalnya (Regina, 2012) :

Memilih naik tangga dari pada naik escalator atau elevator Parkir mobil di tempat yang jauh dari pintu masuk mal Berjalan cepat atau bersepeda saat ada kesempatan

Bermain dengan anak-anak

Mengajak anjing peliharaan berjalan-jalan

Bangun dari temat duduk untuk mengganti saluran TV daripada

menggunakan remote control

Berkebun, membersihkan rumah dan mencuci mobil sendiri

Saat di pasar swalayan, berjalan menyusuri setiap lorong yang ada

4. Monitor gula darah

Untuk memantau kadar glukosa darah dapat dipakai darah kapiler. Saat ini banyak dipasarkan alat pengukur kadar glukosa darah cara reagen kering yang umumnya sederhana dan mudah dipakai. Hasil pemeriksaan kadar glukosa

darah memakai alat-alat tersebut dapat dipercaya sejauh kalibrasi dilakukan dengan baik dan cara pemeriksaan dilakukan sesuai dengan cara standar yang dianjurkan. Secara berkala, hasil pemantauan dengan cara reagen kering perlu dibandingkan dengan cara konvensional.

PGDM dianjurkan bagi pasien dengan pengobatan insulin atau pemicu sekresi insulin. Waktu pemeriksaan PGDM bervariasi, tergantung pada terapi. Waktu yang dianjurkan adalah, pada saat sebelum makan, 2 jam setelah makan (menilai ekskursi maksimal glukosa), menjelang waktu tidur (untuk menilai risiko hipoglikemia), dan di antara siklus tidur (untuk menilai adanya hipoglikemia nokturnal yang kadang tanpa gejala), atau ketika mengalami gejala seperti hypoglycemic spells. Prosedur PGDM dapat dilihat :

a. Tes dilakukan pada waktu (tergantung tujuan pemerikasaan)

- Sebelum makan

- 2 jam sesudah makan

- Sebelum tidur malam

b. Pasien dengan kendali buruk/tidak stabil dilakukan tes setiap hari

c. Pasien dengan kendali baik/stabil sebaiknya tes tetap dilakukan secara

rutin. Pemantauan dapat lebih jarang (minggu sampai bulan) apabila pasien terkontrol baik secara konsisten

d. Pemantauan glukosa darah pada pasien yang mendapat terapi insulin,

ditujukan juga untuk penyesuaian dosis insulin dan memantau tibulnya hipoglikemia

e. Tes lebih sering dilakukan pada pasien yang melakukan aktivitas tinggi, pada keadaan krisis, atau pada pasien yang sulit mencapai target terapi

(selalu tinggi atau sering mengalami hipoglikemia), juga pada saat perubahan dosis terapi

5. Intervensi farmakologis

Obat-obat hipoglikemik oral (OHO) sering digunakan dalam penatalaksanaan diabetes mellitus. Berdasarkan cara kerjanya OHO dibagi menjadi 4 golongan (PERKENI, 2006), yaitu :

1. Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue) sulfonylurea dan glinid 2. Penambah sensitivitas terhadap insulin : metformin, tiazolindindon

3. Penghambat glukoneogenesis : metformin

4. Penghambat absorbs glukosa : penghambat glukosidase alfa

Pada beberapa kasus seringkali pasien diabetes mellitus memerlukan suntikan insulin untuk membantu kekurangan pasokan dari tubuh. Berdasarkan lama kerja, insulin dibagi menjadi empat jenis (PERKENI, 2006) yaitu :

1. Insulin kerja cepat (rapid acting insulin) 2. Insulin kerja pendek (short acting insulin)

3. Insulin kerja menengah (intermediate acting insulin) 4. Insulin kerja panjang (long acting insulin)

2.1 Aktivitas hidup Sehari-hari (AHS) 2.2.1 Pengertian

AHS diorientasikan sebagai kemampuan mengurus diri sendiri berupa aktivitas dasar yang memungkinkan manusia untuk hidup sejahtera (American Occupational Therapy Assosiation/AOTA, 2009 ).

AHS sering digunakan sebagai istilah yang berhubungan dengan selfcare, berisi tentang aktivitas atau tugas-tugas yang biasanya rutin dilakukan orang

dalam kehidupan sehari-hari mereka, AHS dapat dibagi menjadi AHS dasar dan AHS Instrumental (Frikce, 2012).

2.1.2 Klasifikasi AHS

1. AHS dasar. Perawatan diri dasar yang berhubungan dengan kemampuan

yang biasa dilakukan individu mulai dari masa kanak-kanak awal (Kernisan, 2012). American Occupational Theraphy Assosiation (AOTA, 2009) mengelompokannya menjadi :

a. Mandi

Memperoleh dan menggunakan perlengkapan mandi, menyabuni tubuh, membilas dan mengeringkan tubuh, mempertahankan posisi mandi dan mampu berganti posisi selama mandi.

b. Eliminasi dan toilet hygiene

Mampu menyelesaikan dan mengontrol BAK dan BAB, menggunakan alat-alat untuk membersihkan diri setelah BAK dan BAB, mempertahankan posisi saat BAK dan BAB, mengenakan kembali pakaian dan untuk perempuan mampu membersihkan darah menstruasi.

c. Berpakaian

Memilih pakaian dan aksesoris sesuai dengan waktu, hari, cuaca dan acara khusus, mampu mengambil pakaian dari tempat penyimpanan, memakai dan membuka pakaian, mengancing baju, dan mengikat sepatu.

Kemampuan untuk menjaga dan memanipulasi makanan atau cairan ke dalam mulut dan menelannya, makan dan menelan dilakukan secara berselang-seling.

e. Feeding

Proses mengatur, mengarahkan, dan menggerakkan makanan atau cairan dari piring atau cangkir ke mulut. Kadang disebut juga self – feeding

f. Perawatan personal hygiene

Memperoleh dan menggunakan perlengkapan. Misalnya mencukur rambut tubuh dengan menggunakan pisau cukur, pinset, dan lotion. Memakai dan menghapus make up, mencuci, mengeringkan, menyisir dan menata rambut, merawat kuku kaki dan tangan serta menyikat gigi.

g. Perawatan peralatan pribadi

Menggunakan, membersihkan, dan memelihara barang-barang pribadi seperti alat bantu dengar, lensa kontak, kacamata dan gigi palsu.

h. Aktivitas seksual

Terlibat dalam aktivitas yang menghasilkan kepuasan seksual. i. Mobilitas fungsional

Bergerak dari satu posisi atau tempat satu ketempat lainnya selama melakukan aktivitas sehari-hari seperti mobilitas ditempat tidur, mobilitas di kursi roda dan berpindah dari tempat tidur ke kursi, toilet, lantai, mobil termasuk ambulasi dan memindahkan barang dari satu tempat ketempat lain.

2. AHS instrumental. Kemampuan kompleks yang diperlukan untuk mampu hidup mandiri yang biasanya dipelajari selama masa remaja (Kernisan, 2012) mendukung kehidupan sehari-hari dirumah dan komunitas yang sering membutuhkan interaksi yang lebih kompleks daripada AHS dasar (AOTA, 2009), Seperti :

a. Merawat orang lain : termasuk memilih, mengatur, mengawasi atau

memberikan perawatan pada orang lain

b. Merawat hewan peliharaan : mengatur, mengawasi atau memberikan

perawatan pada hewan peliharaan

c. Membesarkan anak : memberikan perawatan dan mengawasi serta

mendukung kebutuhan perkembangan anak

d. Manejemen komunikasi : menyimpan, menerima dan

menginterpretasikan informasi menggunakan berbagai sistem dan perlengkapan, termasuk alat tulis, telpon, mesin tik, perekam audiovisual, komputer, papan iklan, sistem emergensi, huruf braile bagi tunanetra, layanan komunikasi untuk tunarungu, alat komunikasi tambahan dan alat bantu digital pribadi.

e. Akses komunitas : mampu menggunakan alat transportasi umum atau

pribadi seperti mengemudi, berjalan, naik sepeda, naik bis, taksi atau alat transportasi lainnya.

f. Manajemen keuangan : menggunakan sumber keuangan, termasuk

transaksi keuangan, rencana dan pengelolaan keuangan dalam jangka panjang dan pendek.

g. Manajemen penataan rumah : memeperoleh dan mempertahankan barang milik pribadi, rumah tangga dan lingkungan sekitar seperti rumah, halaman, kebun, alat-alat rumah tangga dan kendaraan, termasuk mempertahankan dan memperbaiki barang milik pribadi dan tahu bagamana mencari atau menghubungi orang ketika memerlukan bantuan.

h. Manajemen dan pemeliharaan kesehatan : mengembangkan, mengatur

dan memelihara kesehatan seperti olahraga, nutrisi, mengurangi sikap yang meningkatkan risiko terjadinya penyakit dan aktivitas pengobatan.

i. Menyiapkan makanan : merencanakan, menyiapkan, membersihkan

dan memperhitungkan nutrisi makanan serta mencuci peralatan setelah makan.

j. Kegiatan keagamaan : melakukan ibadah secara mandiri atau

berjamaah dan ikut serta dalam acara keagamaan seperti ceramah agama dimasjid atau acara di gereja.

k. Pemeliharan keselamatan dan emergensi : mengetahui dan melakukan

prosedur pencegahan untuk menciptakan lingkungan yang aman, tanggap terhadap bahaya yang tiba-tiba dapat terjadi, melakukan tindakan darurat untuk mengurangi ancaman terhadap kesehatan dan keselamatan.

l. Berbelanja : menyiapkan daftar belanja, memilih, membeli dan

membawa barang, memberikan dan menerima kembalian uang dengan tepat.

2.2.3 Manfaat AHS (Frikce, 2012).

1. Memberikan gambaran status fungsional

2. Menetapkan perubahan aktivitas

3. Pedoman dalam melakukan pengobatan

4. Memberikan pedoman untuk rencana intervensi

5. Pedoman untuk laporan dan manajemen data

6. Mengevaluasi program intervensi dan memonitor perkembangan

pasien

7. Merencanakan masa depan dan discharge

8. Mengukur hasil rehabilitasi

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Diabetes Mellitus adalah suatu gangguan metabolisme yang ditandai dengan kenaikan kadar gula dalam darah/hiperglikemia (Smeltzer, 2002). Hal ini terjadi karena kelainan atau kerusakan sel-sel beta pankreas yang menghasilkan insulin sehingga mengakibatkan insufisiensi insulin atau kurang efektifnya jumlah hormon insulin dalam tubuh (Price & Wilson, 2006).

Diabetes mellitus adalah salah satu penyakit kronik terbanyak di dunia, jumlah penderitanya terus meningkat secara signifikan sebagai akibat dari perubahan gaya hidup berupa berkurangnya aktivitas fisik dan peningkatan jumlah individu yang menderita obesitas (Shaw, Sicree, & Zimmet, 2008).

Prevalensi diabetes mellitus di dunia pada tahun 2010 adalah 6,4 % dari jumlah seluruh penduduk dunia atau 285 juta orang dan jumlah ini diperkirakan akan terus meningkat menjadi 7,7 % atau 439 juta penderita diabetes mellitus pada tahun 2030. Terjadi peningkatan 69 % jumlah penderita diabetes mellitus di negara berkembang dan 20 % peningkatan di negara maju (Shaw dkk., 2008). Lebih dari 60% jumlah penderita diabetes mellitus dari seluruh populasi diabetes mellitus dunia berada di Asia (Ramachandran, Snehalatha, Shetty, & Nanditha, 2012).

Penelitian terbaru yang dilakukan Shaw dkk. (2009) menyebutkan bahwa Indonesia pada tahun 2010 menempati posisi 9 sebagai negara dengan penduduk diabetes mellitus terbanyak di dunia dengan jumlah 7 juta penderita dan diprediksi menempati posisi 6 dengan 12 juta penderita pada tahun 2030. Diabetes mellitus

merupakan pembunuh nomor 6 terbanyak di Indonesia setelah stroke, tuberkulosis, hipertensi , cedera, dan perinatal (RISKESDAS, 2007).

Dokumen terkait