• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

6.2. Saran

1. Petani seharusnya meningkatkan penggunaan input produksi pupuk, pestisida dan tenaga kerja agar dapat memberikan produksi yang maksimal.

2. Pemerintah sebaiknya dapat menyediakan pupuk subsidi yang berkualitas serta memberi bantuan berupa bibit unggulan agar dapat meningkatkan produksi cabai petani.

3. Bagi peneliti selanjutnya agar dapat melaksanakan penelitian lanjutan mengenai tingkat optimasi input produksi tanaman cabai merah.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA

PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Botani Cabai Merah

Cabai merah (Capsicum annum L.) merupakan salah satu jenis cabai yang mempunyai daya adaptasi tinggi. Tanaman ini dapat tumbuh dan berkembang baik di dataran rendah maupun dataran tinggi, di lahan sawah maupun lahan tegalan. Sifat inilah yang menyebabkan tanaman cabai dapat dijumpai hampir di semua daerah. Cabai merah berasal dari Mexico, sebelum abad ke-15 spesies ini lebih banyak dikenal di Amerika Tengah dan Selatan. Sekitar tahun 1513 Columbus membawa dan menyebarkan cabai merah dan diperkirakan masuk ke Indonesia melalui pedagang dari Persia ketika singgah di Aceh.

Menurut Kusandriani (1996), klasifikasi tanaman cabai merah adalah sebagai berikut. Kingdom : Plantae Dividi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae Subkelas : Sympetalae

Ordo : Tubiflorae (solanales) Famili : Solanaceae

Genus : Capsicum

Cabai merupakan terna tahunan yang tumbuh tegak dengan batang berkayu, banyak cabang, serta ukuran yang mencapai tinggi 120 cm dan lebar tajuk tanaman hingga 90 cm. Umumnya, daun cabai berwarna hijau muda sampai hijau gelap, tergantung varietasnya. Daun cabai yang ditopang oleh tangkai daun mempunyai tulang menyirip. Daun cabai berbentuk bulat telur, lonjong, ataupun oval dengan ujung yang meruncing, tergantung spesies dan varietasnya.bentuk buah cabai berbeda-beda, dari cabai keriting, cabai besar yang lurus dan bisa mencapai ukuran sebesar ibu jari, cabai rawit yang kecil-kecil tapi pedas, cabai paprika yang berbentuk seperti buah apel, dan bentuk-bentuk cabai hias lain yang banyak ragamnya. Cabai berakar tunggang, terdiri atas akar utama dan akar lateral yang mengeluarkan serabut dan mampu menembus kedalam tanah hingga 50 cm dan melebar sampai 45 cm (Agromedia, 2008).

Komoditas cabai merah saat ini merupakan salah satu komoditas andalan petani sayuran di Indonesia karena dapat ditanam pada berbagai lahan, tidak mengenal musim tanam, dapat dijual dalam bentuk segar maupun olahan, serta mempunyai nilai sosial ekonomi yang tinggi. Tanaman cabai banyak mengandung vitamin A dan vitamin C serta mengandung minyak atsiri capsaicin, yang menyebabkan rasa pedas dan memberikan kehangatan panas bila digunakan untuk rempah-rempah (bumbu dapur). Cabai dapat ditanam dengan mudah sehingga bisa dipakai untuk kebutuhan sehari-hari tanpa harus membelinya di pasar. Tanaman cabai cocok ditanam pada tanah yang kaya humus, gembur dan sarang, serta tidak tergenang air, pH tanah yang ideal sekitar 5-6. Waktu tanam yang baik untuk lahan kering adalah pada akhir musim hujan (Maret-April). Untuk memperoleh harga cabai yang tinggi, bisa juga dilakukan pada bulan Oktober dan panen pada bulan

Desember, walaupun ada risiko kegagalan. Tanaman cabai diperbanyak melalui biji yang ditanam dari tanaman yang sehat serta bebas dari hama dan penyakit. Buah cabai yang telah diseleksi untuk bibit dijemur hingga kering. Kalau panasnya cukup dalam lima hari telah kering kemudian baru diambil bijinya. Untuk areal satu hektar dibutuhkan sekitar 2-3 kg buah cabai (300-500 gr biji) (Sugiarti, 2003).

Cabai merah merupakan salah satu komoditas sayuran (hortikultura) yang banyak digemari masyarakat Indonesia dan mempunyai nilai ekonomi tinggi. Sesuai dengan namanya, cabai merah memiliki warna kulit buah yang merah sewaktu buah sudah tua dan masak. Bentuk buahnya silindris dan mengecil ke arah ujung buah. Ciri dari jenis sayuran ini rasanya pedas dan aromanya khas dimasak atau dikonsumsi mentah, sehingga sayuran bagi orang-orang tertentu dapat membangkitkan selera makan. Selain itu, cabai merah mengandung vitamin, khususnya vitamin C. Meskipun cabai merah bukan bahan pangan utama bagi masyarakat kita, namun komoditi ini tidak dapat ditinggalkan, harus tersedia setiap hari dan harus dalam bentuk segar. Ketersediannya secara teratur setiap hari bagi ibu rumah tangga menjadi suatu keharusan. Meningkatnya harga cabai merah atau kelangkaan pasokan di pasaran mendapat reaksi sangat cepat dari masyarakat dan insan pers. Oleh sebab itu penyediaan cabai merah dalam bentuk segar setiap hari sepanjang tahun perlu dirancang secara baik (Santika, 2001).

Sebagai salah satu komoditi pertanian yang sangat populer di kalangan masyarakat, cabai merupakan komoditas andalan bagi petani di Indonesia. Cabai merah adalah sayuran buah semusim yang termasuk dalam family terung-terungan

(Solanaceae). Dinamakan Cabai merah dikarenakan cabai ini memiliki buah yang besar dengan warna merah. Di Indonesia sendiri, ada banyak nama-nama lokal yang beredar di masyarakat, misalnya di Jawa, dikenal dengan nama Lombok atau Lenkreng, Campli (Sumatera), Capli (Aceh), Lacina (Batak Karo), Cabi (Lampung), dan masih banyak lagi nama cabai yang lainnya. Cabai merah ini terdiri dari beberapa macam diantaranya cabai keriting, cabai tit/ cabai super, cabai hot beauty, dan cabai merah lainnya (Tosin dan Nurma, 2010).

Berdasarkan tingkat kepedasannya cabai dikelompokkan kedalam empat golongan berdasarkan aturan pasar internasional. Cabai berdasarkan tingkat kepedasannya dibagi menjadi cabai dengan tingkat kepedasan sangat pedas, kepedasan pertengahan, kepedasan kurang dan tidak pedas. Masing-masing kelompok cabai memiliki bentuk fisik serta kegunaan yang berbeda-beda (Suyanti, 2007).

2.1.2Luas Lahan

Luas lahan pertanian akan mempengaruhi skala usaha dan skala usaha ini pada akhirnya akan mempengaruhi efisien atau tidaknya suatu usaha pertanian. Seringkali dijumpai, makin luas lahan yang dipakai sebagai usaha pertanian akan semakin tidak efisienlah lahan tersebut. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa luasnya lahan mengakibatkan upaya melakukan tindakan yang mengarah pada segi efisiensi akan berkurang (Soekartawi, 2002).

2.1.3 Pupuk

Pupuk merupakan sumber hara yang berfungsi sebagai input produksi untuk mesin biologis yang sangat menentukan kinerja tanaman agar dapat berproduksi dengan optimal. Faktor dominan penyebab rendahnya produktivitas tanaman salah

satunya adalah menurunnya (degradasi) tingkat kesuburan tanah, terutama menurunnya kandungan bahan organik tanah dari musim ke musim yang tidak bisa digantikan peranannya oleh pupuk anorganik. Upaya mempertahankan dan meningkatkan produktivitas tanah antara lain dengan pemberian bahan organik (Bahua, 2014).

Pemupukan bertujuan untuk menambah ketersediaan unsur hara di dalam tanah terutama agar tanaman dapat menyerapnya sesuai dengan kebutuhan tanaman itu sendiri. Pemupukan tanaman muda sangat penting agar tanaman tumbuh subur dan sehat sehingga dapat mulai berproduksi pada umur yang normal (Tim Bina Karya Tani, 2008).

Menurut Anonimous (2015), pupuk kandang yang diperlukan untuk satu hektar lahan penanaman cabai adalah sebanyak 20-30 ton, tergantung kondisi kesuburan tanahnya. Pupuk kimia yang diberikan adalah ZA dengan dosis 650 kg/ha, Urea dengan dosis 250 kg/ha, Sp 36 dengan dosis 500 kg/ha, dan KCI dengan dosis 400 kg/ha. Keempat jenis pupuk ini diberikan pada umur tanaman 2,6, dan 9 minggu dengan masing-masing sepertiga dosis.

Menurut Tarigan dan Wahyu (2003), dosis pupuk, baik pupuk kandang maupun pupuk kimia yang diberikan untuk tanaman cabai hibrida adalah Pupuk Kandang sebanyak 30 ton/ha, ZA sebanyak 250 kg/ha, Urea sebanyak 200 kg/ha, TSP sebanyak 800 kg/ha, KCl sebanyak 270 kg/ha dan Borat sebanyak 18 kg/ha.

2.1.4 Pestisida

Pestisida merupakan pilihan utama cara mengendalikan hama, pentakit dan gula, karena dapat membunuh langsung jasad pengganggu. Kemanjurannya dapat diandalkan,penggunaannya mudah, tingkat keberhasilannya tinggi, ketersediaannya mencukupi dam mudah didapat serta biaya relatif murah. Pestisida merupakan salah satu hasil teknologi modern karena mempunyai peranan penting dalam peningkatan kesejahteraan rakyat. Hal ini terbukti di beberapa negara sedang berkembang produksi pertanian melimpah, namun kesehatan masyarakat terjaga dengan cara yang tepat dan aman. Di sisi lain apabila pestisida pengelolaannya tidak baik maka dapat menimbulkan dampak negatif terhadap beberapa aspek kehidupan yang pada akhirnya langsung ataupun tidak langsung berpengaruh terhadap kesehatan dan kesejahteraan manusia (Panut, 2004).

Berdasarkan hama sasarannya, pestisida dapat digolongkan menjadi beberapa jenis, yaitu:

1. Insektisida

Insektisida adalah pestisida yang digunakan untuk membasmi hewan serangga, seperti ulat, semut, belalang, lalat, kecoa, nyamuk, wereng dan sebagainya. Contohnya adalah basmion, basudin, diazinon, tiodan, timbel arsenat dan propoksur.

2. Nematisida

Nematisida adalah jenis pestisida untuk membasmi hama cacing. Hama ini sering merusak bagian umbi tanaman atau akar. Contohnya adalah oksamil dan natrium metam.

3. Rodentisida

Rodentisida adalah pestisida yang digunakan untuk memberantas binatang pengerat, contohnya adalah tikus. Contoh rodentisida adalah warangan (senyawa arsen) dan thalium sulfat.

4. Herbisida

Herbisida adalah pestisida untuk membasmi tumbuhan liar atau gulma pengggangu tanaman. Contohnya adalah amonium sulfonat, pentaklorefenol, gramoxone dan totacol.

5. Fungisida

Fungisida merupakan jenis pestisida yang digunakan untuk memberantas fungi atau jamur. Contohnya adalah natrium dikromat, timbel (I) oksida, tembaga oksiklorida dan carbendazim (Panut, 2004).

2.1.5Tenaga Kerja

Setiap usaha pertanian yang akan dilaksanakan pasti memerlukan tenaga kerja. Oleh karena itu dalam analisa ketenagakerjaan di bidang pertanian, penggunaan tenaga kerja dinyatakan oleh besarnya curahan tenaga kerja. Curahan tenaga kerja yang dipakai adalah besarnya tenaga kerja efektif yang dipakai. Skala usaha akan mempengaruhi besar kecilnya berapa tenaga kerja yang dibutuhkan dan pula menentukan macam tenaga kerja yang bagaimana yang diperlukan. Biasanya usaha pertanian skala kecil akan menggunakan tenaga kerja dalam keluarga dan

tidak perlu tenaga kerja ahli (skilled). Sebaliknya pada usaha pertanian skala besar lebih banyak menggunakan tenaga kerja luar keluarga dengan cara sewa dan sering dijumpai diperlukannya tenaga kerja yang ahli, misalnya tenaga kerja yang mampu mengerjakan traktor, dan sebagainya. Selanjutnya dalam analisa ketenagakerjaan juga diperlukan pembedaan tenaga kerja pria, wanita, anak-anak, dan ternak. Pembedaan tentang hal ini terjadi karena setiap jenis tahapan pekerjaan dalam suatu usaha pertanian adalah berbeda dan juga faktor kebiasaan juga menentukan (Soekartawi, 2002).

2.1.6Bibit

Bibit adalah salah satu input produksi pertanian yang sangat terkait dengan ketahanan pangan keluarga, komunitas, dan ketahanan pangan nasional. Bibit merupakan mata rantai pertama dari keseluruhan mata rantai pangan, oleh karena itu kebebasan petani untuk memperoleh akses pada bibit tidak hanya syarat penting bagi terjaminnya kelestarian pangan suatu negara (Soekartawi, 1993).

2.2 Landasan Teori 2.2.1 Fungsi Produksi

Teori produksi yang sederhana menggambarkan tentang hubungan antara tingkat produksi sesuatu barang dengan jumlah input produksi yang digunakan untuk menghasilkan berbagai tingkat produksi barang tersebut. Fungsi produksi menunjukkan sifat hubungan antara faktor-faktor produksi dan tingkat produksi yang dihasilkan. Dalam analisis tersebut dimisalkan bahwa 1 input produksi seperti tenaga kerja merupakan satu-satunya faktor produksi yang dapat diubah jumlahnya sedangkan faktor-faktor produksi lainnya seperti modal, tanah dan teknologi dianggap tidak mengalami perubahan (Sukirno, 2005).

Dalam melakukan usaha pertanian seorang petani akan selalu berfikir bagaimana mengalokasikan input seefisien mungkin untuk dapat memperoleh produksi yang maksimal. Cara pemikiran demikian wajar mengingat petani melakukan konsep memaksimukan keuntungan (profit maximization). Di lain pihak, manakala petani dihadapkan pada keterbatasan biaya dalam melaksanakan usahataninya, maka mereka mencoba bagaimana meningkatkan keuntungan tersebut dengan kendala biaya usahataninya yang terbatas. Suatu tindakan yang dapat dilakukan adalah bagaimana memperoleh keuntungan yang lebih besar dengan menekan produksi sekecil-kecilnya (Soekarwati, 1990).

Dengen pendekatan di atas, maka dapat digunakan konsep hubungan antara input produksi yang digunakan petani petani dengan output yang dihasilkannya. Hubungan fisik antara input dan output sering disebut dengan fungsi produksi. Secara matematika dinyatakan sebagai berikut:

Y = f (X1, X2, X3, …, Xn)

Di mana : Y : Produk yang dihasilkan (variabel dependen)

X1….Xn : Faktor produksi yang dipakai menghasilkan Y (variabel independen)

Fungsi produksi merupakan jumlah output maksimum yang diperoleh dari sekumpulan input tertentu atau hubungan fisik antara variabel yang dijelaskan (Y) dan variabel yang menjelaskan (x). Hubungan fungsional antar input dan output dapat dilihat pada hubungan rata-rata (PR), produk marginal (PM), dan produk total (PT) (Soekartawi, 1990).

2.2.2 Fungsi Produksi Cobb-Douglas

Menurut Daniel (2002), apabila sebaran data memenuhi hukum Law of Diminishing Returns (LDR), maka dipakai fungsi produksi Cobb-Douglas. Pertambahan input, tidak selamanya akan menyebabkan pertambahan output. Apabila sudah jenuh (setelah melewati titik maksimum) maka pertambahan hasil akan semakin kecil. Dalam hukum ekonomi kejadian ini disebut Law of Diminishing Returns.

Fungsi Cobb-Douglas adalah suatu fungsi atau persamaan yang melibatkan dua atau lebih variabel; variabel yang satu disebut dengan variabel dependen, yang dijelaskan, (Y), dan yang lain disebut variabel independen, yang menjelaskan, (X). Penyelesaian hubungan anatara Y dan X biasanya dengan cara regresi, yaitu variasi dari Y akan dipengaruhi oleh variasi dari X. Dengan demikian, kaidah-kaidah pada garis regresi juga berlaku dalam penyelesaian fungsi Cobb-Douglas dapat dituliskan seperti :

Y = aX1b1X2b2 …Xnbneu (1)

Bila fungsi Cobb-Douglass tersebut dinyatakan oleh hubungan Y dan X, maka Y = f(X1,X2,…,Xi,…,Xn), (2)

Di mana: Y = Variabel yang dijelaskan X = Variabel yang menjelaskan a,b = besaran yang akan diduga

u = kesalahan (disturbance term), dan e = logaritma natural, e = 2,718

Untuk memudahkan pendugaan terhadap persamaan 1, maka persamaan tersebut diubah menjadi bentuk linear berganda dengan cara melogaritmakan persamaan tersebut. Untuk memudahkan penjelasan, maka persamaan (1) ditulis kembali, yaitu:

Y = aX1b1X2b2eu (3) Logaritma dari persamaan di atas adalah:

Log Y = log a + b1 log X1 + b2 log X2 + v (4)

Persamaan (4) dapat dengan mudah diselesaikan dengan cara regresi berganda. Pada persamaan tersebut terlihat bahwa nilai b1 dan b2 tetap walau variabel yang terlibat telah dilogaritmakan. Hal ini dapat dimengerti karena b1 dan b2 pada fungsi Cobb-Douglas sekaligus menunjukkan elastisitas X terhadap Y (Soekartawi, 2002).

2.2.3 TheLaw of Diminishing Return

Kenaikan hasil yang semakin berkurang (Law of diminishing return) merupakan suatu hasil yang tidak dapat dipisah-pisahkan dari teori produksi. Hukum tersebut menjelaskan sifat pokok dari perkaitan antara tingkat produksi dan input produksi yang digunakan untuk mewujudkan produksi tersebut. Law of diminishing return (LDR) menyatakan apabila faktor produksi yang dapat diubah jumlahnya terus-menerus ditambah sebanyak 1 unit, maka mulanya produksi total akan semakin banyak pertambahannya, tetapi sesudah sesudah mencapai tingkat tertentu produksi tambahan akan semakin berkurang dan akhirnya akan mencapai negatif dan ini menyebabkan pertambahan produksi total semakin lambat dan akhirnya ia mencapai tingkat maksimum kemudian menurun (Sukirno, 2005).

Gambar 2.1Elastisitas Produksi dan Daerah-daerah Produksi

Gambar di atas menunjukkan hubungan antar produk total (PT), produk marginal (PM) dan produk rata-rata (PR), elastisitas produk (EP) yang dapat dijelaskan sebagai berikut :

a. Ep = 1 bila PR mencapai maksimum atau bila PR sama dengan PM-nya. Sebaliknya, bila PM = 0 dalam situasi PR sedang menurun, maka Ep = 0 b. Ep > 1 bila PT menaik pada tahapan “increeasing rate” dan PR juga

menaik di daerah I. Di sini petani masih mampu memperoleh sejumlah PT PR PM EP > 1 I 1>EP>O II EP < 0 III X X Y Y

produksi yang cukup menguntungkan manakala sejumblah input masih ditambahkan.

c. Nilai Ep lebih besar dari nol tetapi lebih kecil dari satu atau 1 < Ep < 0. Dalam keadaan demikian, maka tambahan sejumlah input tidak diimbangi secara proporsional oleh tambahan output yang diperoleh. Peristiwa sepeti ini terjadi di daerah II, di mana pada sejumlah input yang diberikan maka PT tetap menaik pada tahapan “decreasing rate”.

d. Selanjutnya nilai Ep < 0 yang berada di daerah III; pada situasi yang demikian PT dalam keadaan menurun, nilai PM menjadi negatif dan PR dalam keadaan menurun. Dalam situasi Ep < 0 ini maka setiap upaya untuk menambah sejumblah input tetap akan merugikan bagi petani yang bersangkutan (Soekartawi,1993).

2.2.4 Efisiensi

Efisiensi diartikan sebagai upaya penggunaan input yang sekecil-kecilnya untuk mendapatkan produksi yang sebesar-besarnya. Situasi yang demikian akan terjadi kalau petani mampu membuat suatu upaya kalau nilai produk marginal (NPM) untuk suatu input sama dengan harga input tersebut; atau dapat dituliskan:

NPMx = Px ; atau

���/�� = 1

di mana :NPM = Nilai Produksi Marginal

2.2.5 Penelitian Terdahulu

Berdasarkan skripsi Romedina Banjarnahor (2013) dengan judul “Analisis Efisiensi Penggunaan Faktor-Faktor Produksi Pada Tanaman Kopi di Kabupaten Dairi” didapatkan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa luas lahan, tenaga kerja dan jenis kopi berpengaruh positif dan signifikan terhadap produksi kopi pada taraf signifikansi � = 1%. Umur pohon berpengaruh negatif dan signifikan, sedangkan pupuk berpengaruh positif tetapi tidak signifikan terhadap produksi kopi. Nilai efisensi teknis adalah sebesar 0,694 maka dapat dikatakan bahwa usahatani kopi di Kabupaten Dairi tidak efisien secara teknis sehingga perlu pengurangan penggunaan faktor produksi. Nilai efisiensi ekonomi adalah sebesar 25,975 yang berarti usahatani kopi di Kabupaten Dairi tidak efisien secara ekonomi sehingga perlu penambahan penggunaan faktor produksi. Selain itu, terdapat perbedaan produksi kopi arabika yang lebih tinggi sebesar 2743,417 dibandingkan produksi kopi robusta.

Berdasarkan skripsi Daniel Siahaan yang berjudul “Analisis Efisiensi Penggunaan Faktor Produksi Usahatani Cabai Merah (Capsicum Annum L), (Kasus : Desa Sukanalu, Kecamatan Barusjahe, Kabupaten Karo) “, didapatkan bahwa hasil analisis data diperoleh nilai signifikansi F – hitung 0,000 < 0,005 yang menunjukkan bahwa secara bersama – sama faktor produksi yakni luas lahan (X1), bibit (X2), tenaga kerja (X3), pupuk (X4), pestisida(X5) berpengaruh nyata terhadap hasil produksi cabai merah, sedangkan secara parsial hanya variabel luas lahan yang berpengaruh nyata terhadap produksi cabai merah. Nilai koefisien determinasi 0,874 menunjukkan variabel hasil produksi dapat dijelaskan oleh variabel luas lahan, bibit, tenaga kerja, pupuk, dan pestisida sebesar 87,4 %.

Tingkat efisiensi teknis mencapai 0,715, tingkat efisiensi harga mencapai 11,3 dan ekonomis mencapai 0,08. Dengan demikian, penggunaan faktor produksi usahatani cabai merah di tidak efisien.

2.3 Kerangka Pemikiran

Usahatani cabai merah merupakan salah satu usahatani hortikultura yang memiliki prospek yang cerah karena merupakan salah satu jenis buah yang sangat digemari oleh masyarakat. Hal tersebut karena cabai merah dapat memberikan rasa pedas pada makanan serta bermanfaat sebagai antioksidan dan sumber vitamin c bagi kesehatan.

Petani sering menambahkan dosis penggunaan pupuk maupun pestisida dengan harapan dapat meningkatkan produksinya. Hal tersebut terjadi karena petani belum menentukan batas yang optimum dalm menambahkan input produksi tersebut. Ketika jumlah pupuk maupun pestisida yang ditambah dengan jumlah yang tetap namun input lain jumlahnya tetap, belum tentu akan menignkatkan produksinya. Atau bisa saja akan menurunkan produksinya.

Dalam melakukan kegiatan usahatani, seorang petani harus memikirkan cara agar dapat menggunakan faktor produksi pupuk dan pestisida seoptimal mungkin. Dengan tujuan agar mendapatkan produksi yang lebih maksimal. Efisiensi input produksi artinya adalah usaha-usaha yang dilakukan petani dalam menemukan kombinasi penggunaan input dalam usahatani sehingga memperoleh hasil yang maksimal.

Penerimaan seorang petani akan semakin meningkat apabila penggunaan faktor input produksi telah efisien. Penggunaan input yang efisien akan mengurangi biaya produksi sehingga pendapatan petani meningkat.

Tingkat efisiensi penggunaan input (pupuk, pestisida, tenaga kerja, dan bibit) tercapai pada saat produk marginal sama dengan produk rata-rata, sehingga elastisitas produksi (EP) = 1. Tingkat efisiensi maksimal apabila nilai produk marginal sama dengan nilai input produksi. Apabila NPM lebih kecil daripada Px maka penggunaan harus dikurangi. Sebaliknya, apabila NPM lebih besar daripada Px maka penggunaan harus ditambahi.

Secara skematis, kerangka pemikiran dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 2.2 Skema Kerangka Pemikiran

Input Produksi 1.Pupuk (X1) 2. Pestisida (X2) 3. Tenaga Kerja 4. Bibit Produksi Penerimaan Pendapatan Bersih Efisien / Tidak Efisien Biaya Produksi

Harga Output Harga Input

Keterangan:

2.4 Hipotesis Penelitian

1. Penggunaan input produksi (pupuk, pestisida, tenaga kerja dan bibit) secara parsial dan serempak tidak berpengaruh nyata terhadap hasil produksi cabai merah di daerah penelitian.

2. Penggunaan input produksi (pupuk, pestisida, tenaga kerja dan bibit) pada usahatani cabai merah di daerah penelitian belum efisien.

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Cabai merupakan pelengkap bumbu masakan yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat walapun produk ini bukan merupakan kebutuhan pokok. Dewasa ini cabai untuk dikonsumsi tidak hanya dimakan segar, tetapi sudah banyak diolah menjadi berbagai produk olahan Pada awalnya, penyebaran cabai pertama kalidilakukan oleh hewan bangsa burung dan tumbuh di hutan tanpa perawatan, tetapi sekarang sudah bermunculan perusahaan-perusahaan benih cabai. Tanaman cabai pun sudah mulai ditanam dengan perawatan intensif (Tarigan dan Wahyu, 2003).

Menurut Muharlis (2007), cabai merupakan produk hortikultura sayuran yang digolongkan ke dalam tiga kelompok yaitu cabai besar, cabai kecil dan cabai hias. Di antara ketiga jenis cabai tersebut, cabai besar merupakan jenis cabai yang paling banyak diperdagangkan dalam masyarakat. Cabai merah terdiri dari cabai merah besar dan cabai merah keriting. Cabai merah besar memiliki permukaan lebih halus dibandingkan cabai merah keriting. Sedangkan cabai merah keriting memiliki rasa lebih pedas dibandingkan cabai merah besar.

Cabai merah (Capsicum annum L.) merupakan salah satu komoditas sayuran yang banyak digemari masyarakat Indonesia. Ciri dari jenis sayuran ini rasanya pedas dan aromanya khas, sehingga bagi orang-orang tertentu dapat membangkitkan selera makan. Permintaan cabai menunjukkan indikasi yang terus meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dan stabilitas ekonomi nasional

yang mantap. Seiring dengan berkembangnya industri pangan nasional, cabai merupakan salah satu bahan baku yang dibutuhkan secara berkesinambungan. Karena merupakan bahan pangan yang dikonsumsi setiap saat, maka cabai akan terus dibutuhkan dengan jumlah yang semakin meningkat seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk dan perekonomian nasional. Pola permintaan

Dokumen terkait