• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

6.2 Saran

1. Meningkatkan komitmen dengan menjalin koordinasi yang lebih baik dengan pihak lintas sektor dan lintas program untuk mendukung keberhasilan pelaksanaan strategi DOTS plus sebagai upaya penanggulangan TB MDR.

2. Pihak Dinas dapat memberikan pelatihan yang kontinu kepada petugasPuskesmas Teladanuntuk dapat lebih mampu dan memahami penanggulangan TB MDR dan memberikan buku panduan sebagai acuan petugas dalam menjalankan tugasnya.

3. Pihak Puskesmas Teladan lebih memperhatikan pelaksanaan komponen pengelolaan pasien seperti :

a) Lebih tegas dalam memindahkan pasien yang berada di luar kota dengan memberikan rujukan lanjutan pengobatan ke Puskesmas tempat pasien berada.

b) Petugas mengadakan kunjungan ke rumah pasien untuk memantau kondisi pasien agar mendapatkan keberhasilan pengobatan.

c) Memberikan penyuluhan kepada PMO dan pasien untuk dapat memahami perannya dalam penanggulangan TB MDR.

d) Melakukan penemuan kasus ke wilayah kerja untuk memberantas TB MDR dan meminimalisir penularan TB MDR.

4. Meningkatkan pelaksanaan kelima komponen DOTS Plus secara bersama-sama untuk memperoleh keberhasilan dalam penanganan pasien TB MDR di Puskesmas Teladan.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Pusat Kesehatan Masyarakat

2.1.1 Pengertian Puskesmas

Puskesmas menurut Permenkes RI No. 75 Tahun 2014 adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama, dengan lebih mengutamakan upaya promotif dan preventif, untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya di wilayah kerjanya.

2.1.2 Prinsip Penyelenggaraan Puskesmas Prinsip penyelenggaraan puskesmas meliputi: a. Paradigma sehat

Puskesmas mendorong seluruh pemangku kepentingan untuk berkomitmen dalam upaya mencegah dan mengurangi resiko kesehatan yang dihadapi individu, kelompok dan masyarakat.

b. Pertanggung jawaban wilayah

Puskesmas menggerakkan dan bertanggung jawab terhadap pembangunan kesehatan di wilayah kerjanya.

c. Kemandirian masyarakat

Puskesmas mendorong kemandirian hidup sehat bagi individu,kelompok, dan masyarakat.

d. Pemerataan

Puskesmas menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang dapat diakses dan terjangkau oleh seluruh masyarakat di wilayah kerjanya secara adil tanpa ada membedakan status sosial,ekonomi,agama,budaya dan kepercayaan.

e. Teknologi tepat guna

Puskesmas menyelenggarakan pelayanan kesehatan dengan memanfaatkan teknologi tepat guna yang sesuai dengan kebutuhan pelayanan, mudah dimanfaatkan dan tidak berdampak buruk bagi lingkungan.

f. Keterpaduan dan kesinambungan

Puskesmas mengintegrasikan dan mengokoordinasikan penyelenggaraan UKM dan UKP lintas program dan lintas sektor serta melaksanakan sistem rujukan yang didukung dengan manajemen puskesmas (Permenkes RI No.75 tahun 2014).

2.1.3 Tugas, Fungsi dan Wewenang Puskesmas

Puskesmas memiliki tugas melaksanakan kebijakan kesehatan untuk mencapai tujuan pembangunan kesehatan di wilayah kerjanya dalam rangka mendukung terwujudnya kecamatan sehat. Dalam melaksanakan tugasnya puskesmas menyelenggarakan fungsi yaitu;

1. Penyelenggaraan UKM tingkat pertama di wilayah kerjanya

Dalam menyelenggarakan fungsi UKM, puskesmas berwenang untuk:

a. Melaksanakan perencanaan berdasarkan analisis masalah kesehatan masyarakat dan analisis kebutuhan pelayanan yang diperlukan

b. Melaksanakan advokasi dan sosialisasi kebiijakan kesehatan

c. Melaksanakan komunikasi, informasi, edukasi dan pemberdayaan masyarakat dalam bidang kesehatan

d. Menggerakkan masyarakat untuk mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah kesehatan pada setiap tingkat perkembangan masyarakat yang bekerjasama dengan sektor lain yang terkait

e. Melaksanakan pembinaan teknis terhadap jaringan pelayanan dan upaya kesehatan berbasis masyarakat

f. Melaksanakan peningkatan kompetensi sumber daya manusia puskesmas g. Memantau pelaksanaan pembangunan agar berwawasan kesehatan

h. Melaksanakan pencatatan, pelaporan,dan evaluasi terhadap akses ,mutu,dan cakupan pelayanan kesehatan i. Memberikan rekomendasi terkait masalah kesehatan masyarakat, termasuk dukungan tehadap sistem kewaspadaan dini dan respon penanggulangan penyakit.

2. Penyelenggaraan UKP tingkat pertama di wilayah kerjanya

Dalam menyelenggarakan fungsi UKP, puskesmas berwenang untuk:

a. Menyelenggarakan pelayanan kesehatan dasar secara komprehensif, berkesinambungan dan bermutu

b. Menyelenggarakan pelayan kesehatan yang mengutamakan upaya promotif dan preventif

c. Menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang berorientasi pada individu, kelompok dan masyarakat

d. Menyelenggarakn pelayanan kesehatan yang mengutamakan keamanan dan keselamatan pasien, petugas dan penunjang

e. Menyelenggarakan pelayanan kesehatan dengan prinsip koordinatif dan kerja sama inter dan antar profesi

f. Melakukan rekam medis

g. Melaksanakan pencatatan,pelaporan dan evaluasi terhadap mutu dan akses pelayanan kesehatan

h. Melaksanakan peningkatan kompetensi tenaga kesehatan

i. Mengkooardinasi dan melaksanakan pembinaan fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama di wilayah kerjanya

j. Melaksanakan rujukan sesuai dengan indikasi medis dan sistem rujukan (Permenkes RI No.75 tahun 2014).

2.1.4 Upaya Kesehatan Masyarakat

Upaya kesehatan masyarakat yang dilaksanakan oleh puskesmas menurut Kemenkes RI (2014), adalah :

a. Pelayanan promosi kesehatan. b. Pelayanan kesehatan lingkungan.

c. Pelayanan kesehatan ibu, anak, dan keluarga berencana. d. Pelayanan gizi.

2.2 Tuberkulosis (TB)

2.2.1 Pengertian Tuberkulosis ( TB )

Menurut Riskesdas RI (2013) Tuberkulosis paru merupakan penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (mycobacterium tuberculosis). Tuberkulosis merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini menyebar melalui droplet orang yang telah terinfeksi basil tuberkulosis (Kemenkes RI, 2013).

Selain itu Tuberkulosis paru-paru merupakan penyakit infeksi yang menyerang parenkim paru-paru yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini dapat juga menyebar ke bagian tubuh lain seperti meningen, ginjal, tulang, dan nodus limfe (Soemantri,2008)

2.2.2 Cara Penularan

Penularan kuman terjadi melalui udara dan diperlukan hubungan yang intim untuk penularannya. Selain itu jumlah kuman yang terdapat pada saat batuk adalah lebih banyak pada tuberkulosis laring dibanding dengan tuberculosis pada organ lainnya. Tuberkulosis yang mempunyai kaverna dan tuberculosis yang belum mendapat pengobatan mempunyai angka penularan yang tinggi. (Tabrani,1996)

Sumber penularan tuberkulosis adalah pasien TB basil tahan asam (BTA) positif. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana

percikan dahak berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab. Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin menular pasien tersebut. Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut (Depkes RI., 2008).

2.2.3 Gejala Tuberkulosis

Infeksi awal , terkontrol biasanya tanpa gejala. Penyakit primer progresif mencakup demam, nyeri dada samar-samar, dan napas pendek. Reaktivasi TB, manifestasi yang paling sering ditemkan di Amerika serikat, umumnya mempunyai perjalanan penyakit kronis dengan berminggu-minggu sampai berbulan-bulan demam, batuk dahak dan penurunan berat badan.( Edward, 2012)

Dengan strategi yang baru (DOTS, directly observed treatment shortcourse) gejala utamanya adalah batuk berdahak dan/atau terus-menerus selama tiga minggu atau lebih. Berdasarkan keluhan tersebut, seseorang sudah dapat ditetapkan sebagai tersangka. Gejala lainnya adalah gejala tambahan. Dahak penderita harus diperiksa dengan pemeriksaan mikroskopis.(Widoyono, 2008)

2.2.4 Klasifikasi Penyakit dan Tipe Pasien Tuberkulosis 1. Klasifikasi Penyakit Tuberkulosis Paru

Klasifikasi penyakit Tuberkulosis paru berdasarkan pemeriksaan dahak menurut Depkes RI (2008), dibagi dalam :

1. Tuberkulosis paru BTA positif.

a. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.

b. 1spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada menunjukkan gambaran tuberkulosis.

c. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman Tuberkulosis positif.

d. 1 atau lebih spesimen dahak hasinya positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.

2. Tuberkulosis paru BTA negatif.

a. Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya negatif.

b. Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran Tuberkulosis. c. Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT. d. Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.

2. Tipe Pasien Tuberkulosis Paru

Klasifikasi pasien Tuberkulosis Paru berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi beberapa tipe, yaitu :

a. Baru adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).

b. Kambuh (Relaps) adalah pasien Tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan Tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).

c. Pengobatan setelah putus berobat (Default) adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif.

d. Gagal (Failure) adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.

e. Pindahan (Transfer In) adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register Tuberkulosis lain untuk melanjutkan pengobatannya. f. Lain-lain adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas.

Kelompok ini termasuk Kasus Kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan.

2.2.5 Pencegahan dan Pengobatan Tuberkulosis Paru 1. Pencegahan Tuberkulosis Paru

Upaya pencegahan dan pemberantasan TB Paru dilakukan dengan pendekatan DOTS atau pengobatan TB Paru dengan pengawasan langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO). Kegiatan ini meliputi upaya penemuan penderita

dengan pemeriksaan dahak disarana pelayanan kesehatan yang ditindaklanjuti dengan paket pengobatan (Profil Kesehatan Sumatera Utara, 2013)

Tindakan mencegah terjadinya penularan dilakukan dengan berbagai cara, yang utama adalah memberikan obat anti tuberculosis yang benar dan cukup, serta dipakai dengan patuh sesuai ketentuan penggunaan obat. Dalam program pencegahan penyakit tuberkulosis paru dilakukan secara berjenjang, mulai dari pencegahan primer, kemudian pencegahan sekunder, dan pencegahan tertier, sebagai berikut:

a. Pencegahan Primer

Konsep pencegahan primer penyakit tuberkulosis paru adalah mencegah orang sehat tidak sampai sakit. Upaya pencegahan primer sesuai dengan rekomendasi WHO dengan pemberian vaksinasi Bacille Calmette-Guérin (BCG) segera setelah bayi lahir.

b. Pencegahan Sekunder

Upaya pencegahan sekunder pada penyakit tuberkulosis paru perlu dilakukan dengan skrining (screaning), yaitu pemeriksaan menggunakan sistem skoring. Bila hasil evaluasi dengan skoring sistem didapat skor < 5, kepada anak tersebut diberikan Isoniazid (INH) dengan dosis 5–10 mg/kg BB/hari selama 6 bulan. Bila anak tersebut belum pernah mendapat imunisasi BCG, imunisasi BCG dilakukan setelah pengobatan pencegahan selesai (Depkes, 2006).

c. Pencegahan Tertier

Sasaran dari pencegahan tertier dilakukan pada penderita yang telah parah, misalnya penderita tuberkulosis pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa

bulan atau tahun sesudah infeksi primer, yang terjadi karena daya tahan tubuh menurun akibat terinfeksi HIV atau status gizi yang buruk. Ciri khas dari tuberkulosis pasca primer adalah kerusakan paru yang luas dengan terjadinya kavitas atau efusi pleura.

2. Pengobatan Tuberkulosis Paru

Pengobatan TB dibagi dalam 2 fase: intensif dan lanjutan. Fase intensif ditujukan untuk membunuh sebagian besar bakteri secara cepat dan mencegah resistensi obat. Sedangkan fase lanjutan bertujuan untuk membunuh bakteri yang tidak aktif. Fase lanjutan menggunakan lebih sedikit obat karena sebagian besar bakteri telah terbunuh sehingga risiko pembentukan bakteri yang resisten terhadap pengobatan menjadi kecil (WHO, 2003). Obat Anti Tuberkulosis (OAT) lini pertama terdiri dari : INH, rifampicin, pirazinamin, etambutol dan streptomicin. OAT lini kedua : kanamisin, kapreomisin, amikasin, kuinolon, sikloserin, setinamid (PDPI, 2011).

Panduan pengobatan TB yaitu : (Amin dan Bahar, 2007)

1. Kategori I yaitu TB Paru BTA +, TB Paru BTA- dengan lesi luas dan TB ekstra paru yang berat dapat diberikan : 2RHZE/4RH atau 2RHZE/6HE 2. Kategori II yaitu kasus gagal, kambuh, dan putus berobat dapat diberikan

: 2RHZES/1RHZ/5RHE

3. Kategori III TB paru BTA- lesi minimal atau TB eksta paru lesi minimal dapat diberikan : 2RHZ/4RH

4. Kategori IV TB kronis sesuai uji resistensi + OAT lini 2 atau INH seumur hidup

Fokus utama DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) adalah penemuan dan penyembuhan penderita, prioritas diberikan kepada penderita TB tipe menular. Strategi ini akan memutuskan penularan TB dan dengan demikian menurunkan insidens TB di masyarakat. Menemukan dan menyembuhkan penderita merupakan cara terbaik dalam upaya pencegahan penularan TB. WHO telah merekomendasikan strategi DOTS sebagai strategi dalam penanggulangan TB sejak tahun 1995. Bank Dunia menyatakan strategi DOTS sebagai salah satu intervensi kesehatan yang paling efektif. Integrasi ke dalam pelayanan kesehatan dasar sangat dianjurkan demi efisiensi dan efektifitasnya (Depkes, 2007).

Menurut Hudoyo (2008), mengobati penderita dengan TB paru cukup mudah, karena penyebab TB paru sudah jelas yaitu, bakteri Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini dapat di matikan dengan kombinasi beberapa obat yang sudah jelas manfaatnya. Sesuai dengan sifat bakteri Mycobacterium tuberculosis, untuk memperoleh efektifitas pengobatan, maka prinsip-prinsip yang dipakai adalah :

a. Obat harus di berikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis obat (Isoniasid, Rifampisin, Pirasinamid, Streptomisin dan Etambutol) dalam jumlah cukup dan dosis tepat selama 6-8 bulan, supaya semua bakteri (termasuk bakteri persisten) dapat di bunuh. Hal ini untuk mencegah kuman resisten terhadap obata yang sering dinamakan Multi drug resisten atau TB MDR.

b. Untuk menjamin kepatuhan penderita dalam menelan obat, pengobatan dilakukan dengan pengawasan langsung (DOT= Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).

2.3 Multidrug Resistant Tuberculosis (TB-MDR) 2.3.1 Pengertian TB MDR

Resistansi kuman M.tuberculosis terhadap OAT adalah keadaan dimana kuman sudah tidak dapat lagi dibunuh dengan OAT. TB resistan OAT pada dasarnya adalah suatu fenomena buatan manusia, sebagai akibat dari pengobatan pasien TB yang tidak adekuat dan penularan dari pasien TB resistan OAT. Penatalaksanaan TB resistan OAT lebih rumit dan memerlukan perhatian yang lebih banyak daripada penatalaksanaan TB yang tidak resistan. Penerapan Manajemen Terpadu Pengendalian Tuberkulosis Resistan Obat menggunakan kerangka kerja yang sama dengan strategi DOTS. ( Permenkes RI No 13 Tahun 2013 )

Secara umum resistensi terhadap OAT dibagi menjadi:

a. Resistensi primer ialah apabila pasien sebelumnya tidak pernah mendapat pengobatan OAT atau telah mendapat pengobatan OAT kurang dari 1 bulan

b. Resistensi inisial ialah apabila tidak diketahui dengan pasti apakah pasien sudah ada riwayat pengobatan OAT sebelumnya atau belum pernah

c. Resistensi sekunder ialah apabila pasien telah mempunyai riwayat pengobatan OAT minimal 1 bulan

Insidensi TB-MDR terus meningkat sejak diperkenalkannya pengobatan TB pertama tahun 1943. Penggunaan rifampisin yang meluas pada awal tahun 1970-an mengakibatk1970-an munculnya resistensi y1970-ang kemudi1970-an mengharusk1970-an penggunaan pengobatan TB lini kedua (Sinaga, 2013). Selain itu, kesalahan petugas kesehatan dan ketidakpatuhan pasien selama pengobatan TB juga menjadi pencetus munculnya TB-MDR. Dengan kasus yang terus meningkat dan meluas di berbagai negara, TB-MDR merupakan masalah global yang harus diatasi bersama (Ormerod, 2005).

2.3.2 Faktor Penyebab TB MDR

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No 13 Tahun 2013 Faktor penyebab terjadinya TB MDR adalah :

1. Pemberi jasa/petugas kesehatan, yaitu karena : a. Diagnosis tidak tepat,

b. Pengobatan tidak menggunakan paduan yang tepat,

c. Dosis, jenis, jumlah obat dan jangka waktu pengobatan tidak adekuat, d. Penyuluhan kepada pasien yang tidak adekuat

2. Pasien, yaitu karena :

a. Tidak mematuhi anjuran dokter/ petugas kesehatan b. Tidak teratur menelan paduan OAT,

c. Menghentikan pengobatan secara sepihak sebelum waktunya. d. Gangguan penyerapan obat

3.Program Pengendalian TB , yaitu karena : a. Persediaan OAT yang kurang

b. Kualitas OAT yang disediakan rendah (Pharmaco-vigillance)

2.3.3 Diagnosis TB MDR

Untuk menegakkan diagnosis resistensi obat TB diawali dengan mengenali faktor risiko dan mempercepat dilakukan diagnosis laboratorium. Deteksi lebih awal dan memulai terapi MDR TB merupakan faktor penting mencapai keberhasilan pengobatan. Pemeriksaan dilakukan meliputi sputum BTA, uji kultur M. tuberculosis dan resistensi obat. Kemungkinan resistensi obat TB secara simultan dipertimbangkan dengan pemeriksaan sputum BTA sewaktu menjalani paduan terapi awal (Depkes RI., 2008).

Diagnosis TB MDR tergantung pengumpulan dan proses kultur specimen yang adekuat serta harus dilakukan sebelum terapi diberikan. Jika pasien tidak dapat mengeluarkan sputum dilakukan induksi sputum dan jika tetap tidak bias, dilakukan bronskopi. Tes sensitivitas terhadap obat lini pertama dan kedua harus dilakukan pada laboratorium yang memadai. Pemeriksaan mikrobiologik untuk konfirmasi TB MDR dapat berupa pemeriksaan fenotipik, pemeriksaan genotipik, dan pemeriksaan kondisi factual. Pemeriksaan fenotipik dapat dilakukan dengan jalan memaparkan kuman yang terhadap obat dan selanjutnya melihat ada tidaknya pertumbuhan kuman dan membandingkan jumlah kuman yang dipaparkan terhadap obat yang dibandingkan kontrolnya.

2.3.4 Kriteria Pasien Suspek TB-MDR

Terdapat delapan kriteria pasien yang diduga menjadi suspek TB-MDR yang meliputi :

a. Kasus kronik atau pasien gagal pengobatan

b. Pasien dengan hasil pemeriksaan dahak tetap positif setelah bulan ke 3 dengan kategori dua

c. Pasien yang pernah menjalani pengobatan TB termasuk obat lini ke dua d. Pasien gagal pengobatan kategori 1

e. Pasien dengan hasil pemeriksaan dahak tetap positif setelah sisipan dengan kategori 1

f. Kasus TB kambuh

g. Pasien yang kembali setelah lalai/default pada pengobatan kategori 1 dan atau kategori dua

h. Suspek TB dengan keluhan, yang tinggal dekat dengan pasien TB-MDR konfirmasi,termasuk petugas kesehatanyang bertugas di bangsal TB-MDR

2.3.5 Pencegahan dan pengobatan TB MDR 1. Pencegahan TB MDR

Pencegahan terjadinya TB MDR dapat dimulai sejak awal penanganan kasus baru TB antara lain : Pengobatan secara pasti terhadap kasus BTA positif pada pertama kali, penyembuhan secara komplit kasus kambuh, penyediaan suatu pedoman terapi terhadap TB, penjaminan ketersediaan OAT adalah hal yang krusial, pengawasan terhadap pengobatan, dan adanya OAT secara gratis.

Banyaknya kasus TB MDR oleh karena “man made phenomena” maka jangan pernah memberikan terapi tunggal pada kasus TB. Peranan pemerintah dalam dalam hal dukungan kelangsungan program dan ketersediaan dana untuk penanggulangan TB (DOTS). Dasar pengobatan TB oleh klinis berdasarkan pedoman terapi sesuai evidence base dan tes kepekaan kuman.

2. Pengobatan TB MDR

Dalam pengobatan TB MDR terutama untuk keperluan membuat regimen obat-obat anti TB, WHO guidelines membagi obat TB MDR menjadi lima group berdasarkan potensi dan efikasinya, sebagai berikut :

a. Kelompok pertama : Pirazinamid dan Etambutol, karena paling efektIf dan dapat ditoleransi dengan baik.

b. Kelompok kedua : obat injeksi bersifat bakterisidal, Kanamisin atau Amikasin, jika alergi diganti dengan Kapreomisin, Viomisin.

c. Kelompok ketiga : Fluorokuinolon, obat bakterisidal tinggi, misalnya Levofloksasin, Moksifloksasin, Ofloksasin.

d. Kelompok keempat : Obat bakteriostatik lini kedua, PAS (para aminosalicylic acid) Etionamid, Protionamid, dan Sikroserin.

e. Kelompok kelima : Obat yang belum jelas efekasinya, Amosisilin + Asam Klavulanat, makrolide baru ( Klaritromisin), dan Linezolid.

Terdapat beberapa hal yang digunakan sebagai prinsip dasar dalam pengobatan TB-MDR di antaranya :

a. Regimen harus didasarkan atas riwayat obat yang pernah dimium penderita

b. Dalam pemilihan obat mempertimbangkan prevalensi resistensi obat lini pertama dan kedua

c. Regimen minimal berisi empat obat yang jelas dan diketahui efektifitasnya d. Dosis yang diberikan berdasarkan berat badan

e. Sekurang-kurangnya obat yang diberikan enam hari dalam seminggu f. Lama pengobatan minimal 18 bulan

g. Deteksi awal adalah faktor penting untuk mencapai keberhasilan program TB-MDR. Pengobatan pasien TB-MDR terdiri dari tahap awal dan tahap lanjutan (WHO,2008).

Pengobatan pasien TB MDR terdiri dari dua tahap : tahap awal dan tahap lanjutan. Pengobatan TB MDR memerlukan waktu lebih lama daripada pengobatan pasien yang bukan TB MDR, yaitu sekitar 18-24 bulan. Pada tahap awal pasien akan mendapat OAT lini kedua minimal empat jenis OAT yang masih sensitif sebagaimana disebutkan di atas, dimana salah satunya adalah obat injeksi. Pada tahap lanjutan semua OAT lini kedua yang dipakai pada tahap awal dilanjutkan kecuali OAT injeksi.

Di Indonesia, saat ini panduan standar obat dalam uji program pendahuluan di RSU Dr. Soetomo dan RS Persahabatan yang akan diberikan pada setiap pasien TB MDR adalah sebagai berikut :

Tabel 2.1 Panduan standar obat di RSU Dr. Soetomo dan RS Persahabatan Fase Intensif Fase Intermiten

Km-(E)-Eto-Lfx-Z-Cs E-Eto-Ltf-Z-Cs

Keterangan :

Km : Kanamisin E : Ethambutol Eto : Ethionamid Lfx : Levofloksasin Z : Pirazinamid Cz :Sikloseri

Dua hal yang sangat penting yang harus diperhatikan adalah yang pertama, KIE yang bersifat komprehensif terhadap penderita dan keluarganya menyangkut berbagai hal yang berkaitan dengan pengobatan yang akan diberikan. Yang kedua, selama pengobatan harus dilakukan dengan pengawasan langsung atau DOT (Jusuf dkk, 2010)

2.4 Program Penanggulangan TB MDR

Program penanggulangan TB MDR pada saat ini bernama Manajemen Terpadu Pengendalian TB Resistan Obat. Penerapan MTPTRO menggunakan kerangka kerja yang sama dengan strategi DOTS, untuk saat ini upaya penanganannya lebih diutamakan pada kasus TB Resistan Rifampisin dan TB MDR.

Setiap komponen dalam penatalaksanaan pasien TB resistan obat lebih kompleks dan membutuhkan biaya lebih banyak daripada penatalaksanaan pasien TB tidak resistan obat. Dengan menanganan i pasien TB resistan obat dengan

benar maka akan mendukung tercapainya tujuan dari Program Pengendalian TB Nasional.( Kemenkes,2014)

2.4.1 Jejaring Penatalaksanaan Program Penanggulangan TB-MDR

Dalam penatalaksanaan program penanggulangan TB-MDR rumah sakit merupakan fasilitas kesehatan yang mempunyai potensi besar dalam penemuan dan penegakan diagnosis pasien TB-MDR,namun rumah sakit juga memilki keterbatasan dalam tahap pengobatan serta pengawasan keteraturan dan keberlangsungan pengobatan pasien TB-MDR bila dibandingkan dengan puskesmas. Maka dalam melaksanakan upaya program penanggulangan TB-MDR dikembangkan jejaring baik dari internal maupun eksternal.

a. Jejaring Internal, merupakan jejaring antar semua unit yang ada di dalam rumah sakit yang terkait dalam menangani semua kasus TB dan termasuk kasus TB-MDR. Dengan sistem setiap fasyankes rujukan harus mengembangkan suatu clinical pathway yang dituangkan dalam bentuk Standar Operasional Prosedur (SOP). Untuk mencapai keberhasilan jejaring internal dibentuknya suatu Tim Ahli Klinis (TAK) yang merupakan bagian dari Tim DOTS rumah sakit yang khusus melaksanakan penatalaksanaan untuk pasien TB-MDR. Dapat dilihat pada gambar bagan dibawah ini yang

Dokumen terkait