• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN

6.2 Saran

Perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai pendugaan emisi gas rumah kaca (CO2) yang dihasilkan akibat kebakaran hutan dan lahan di berbagai tipe tutupan lahan berdasarkan kedalaman gambut di Kalimantan Barat.

DAFTAR PUSTAKA

Agus F, Hairiah K, Mulyani A. 2011. Petunjuk Teknis Pengukuran Cadangan Karbon Tanah Gambut. Bogor: World Agroforestry Centre.

Arsyad S. 1989. Konservasi Tanah dan Air. Bogor: IPB Pr.

Bonnieux F, Goffe L, Vermesch D. 1997. Valuing the benefit of landscape restoration: a case study of the Cotentin in Lower-Normandy, France. Journal of Environmental Management 50:321-333.

Booyanuphap J. 2001. GIS based-method in developing wildlife risk model: a case study in Sasamba, East Kalimantan, Indonesia [tesis]. Bogor: Graduated Program, Bogor Agricultural University.

Brown A, Davis K. 1973. Forest Fire Control and Use. Toronto: McGraw Hill. Inc.

Budiwati T, Setyawati W, Cahyono W, Ambarsari N, Indrawati A. 2010. Penentuan Kenaikan Tingkat Keasaman Air Hujan sebagai Dampak Kebakaran Hutan di Kalimantan Barat. Bandung: Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN).

Chandler C, Cheney, Thomas P, Trabaud L, Williams D. 1983. Fire in Forestry Vol. I. Canada: John Wiley and Sons.

Clar C, Chatten L. 1954. Principle of Forest Fire Management. California: Departement of Nature Resources Division of Forestry.

Davis K. 1959. Forest Fire Control and Use. New York: McGraw Hill Book Company. Inc.

Darwo. 2009. Perilaku api dan sebab akibat kebakaran hutan. [terhubung berkala] http://www.p3hka.org/pdf/394_Karo.pdf. [10 Mei 2012].

Dinas Perkebunan Kalimantan Barat. 2011. Perkembangan komoditi kelapa sawit Kalimantan Barat. [terhubung berkala] http://disbun-kalbar.go.id /Disbun/index.php/statistik/menu-perkembangan-komoditi-perkebunan/669-perkembangan-komoditi-kelapa-sawit-kalimantan-barat [9 Juni 2012].

Ekadinata A, Dewi S. 2011. Memahami Keragaman Sistem Penggunaan Lahan dan Pengaruhnya Terhadap Penghitungan Opportunity Cost. Bogor: World Agroforestry Centre.

Hao M, Liu M, Crutzen P. 1990. Estimate of annual and regional release of CO2 and other trace gases to the atmosphere from fire in tropic based on the FAO statistics for the period 1975 and 1980. Di dalam: Goldammer J, editor. Fire in Tropical Biota (Ecological Studies 84). New York: Springer. hlm. 440-460.

Hartanto. 2006. Land use dan land cover. [terhubung berkala] http://hartanto.wordpress.com/2006/08/14/land-use-dan-land-cover/ [17 Juni 2012].

Heryalianto S. 2006. Studi tentang sebaran titik panas (hotspot) sebagai penduga kebakaran hutan dan lahan di Propinsi Kalimantan Barat Tahun 2003 dan Tahun 2004 [skripsi]. Bogor: Program Studi Budi Daya Hutan, Institut Pertanian Bogor.

Kementerian Kehutanan. 2012. Tabel luas kebakaran hutan menurut propinsi selama lima tahun terakhir. [terhubung berkala] http:// www.dephut.go.id/ statistik/Stat2002/PHKA/Iii4602.pdf. [21Juni 2012]

Kusuma W. 2011. Studi kontribusi kegiatan transportasi terhadap emisi karbon di Surabaya Bagian Barat [skripsi]. Surabaya: Jurusan Teknik Lingkungan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya.

Lobert J, Wartnaz. 1993. Emission from Combustion Process in Vegetation. Di dalam: Crutzen P, Goldammer J, editor. Fire in the Environmental: The Ecological, Atmospheric, and Climatic Importance of Vegetation. New York: John Willey and sons. hlm. 15-35.

NASA [Nation Aeronautics and Space Administration]. 2002. Design concept : moderate resolution imaging spectraoradiometer. [terhubung berkala] http : http://modis.gsfc.nasa.gov/about/. [29 Januari 2012]

Pratondo B, Saharjo B, Kardono P. 2006. Aplikasi infrastruktur data spasial nasional (IDSN) untuk pengendalian kebakaran hutan dan lahan. Jurnal Ilmiah Geomatika 12(2):70-71.

Putra E, Hayasaka H, Takahashi H, Usup A. 2008. Recent peat fire activity in the mega rice project areal, Central Kalimantan, Indonesia. Journal of Disaster Research 3(5):3-5.

Seiler W, Crutzen P. 1980. Estimates of gross an net fluxes of carbon between the biosphere and the atmosphere from biomass burning. Climate Change 2:207-247.

Septocorini E. 2006. Studi penentuan tingkat kerawanan kebakaran hutan di Kabupaten Ogan Komering Ilir Propinsi Sumatera Selatan [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Suratmo F, Husaeni E, Jaya N. 2003. Pengendalian Kebakaran Hutan. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Sukmawati A. 2006. Hubungan antara curah hujan dengan titik panas (hotspot) sebagai indikator terjadinya kebakaran hutan dan lahan di Kabupaten Pontianak, Propinsi Kalimantan Barat [skripsi]. Bogor: Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB.

Syaufina L. 2008. Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia. Malang: Bayumedia Publishing.

Tacconi L. 2003. Kebakaran hutan di Indonesia: penyebab, biaya, dan implikasi kebijakan. CIFOR Occasional Paper 38(1):14.

                                             

Lampiran 1 Pendugaan luas areal terbakar dan emisi CO2 akibat perubahan tutupan lahan tahun 2000-2005

Tutupan lahan Luas terbakar (mineral) M (CO2 ) (ton) Luas terbakar (gambut) M (CO2) (ton) SSH-SSH 107463,43 652840,36 75926,98 179377,47 SSH-OPL - - 610,44 1442,17 SSH-DCL 3441,76 20908,69 14258,10 33684,74 UDF-UDF 183390,41 2079647,24 - - UDF-DIF 889,15 10082,93 - - UDF-OPL 268,26 3042,03 - - UDF-SCH 937,07 10626,36 - - UDF-DCL 258,73 2934,02 - - USF-SSH 1267,83 14377,16 1263,23 5570,85 USF-USF 32830,56 372298,53 56654,21 249845,05 USF-DSF 104,49 1184,92 139,50 615,18 USF-RPL 564,23 6398,39 1571,10 6928,5 USF-OPL - - 76,93 339,25 USF-RCF 45,86 520,08 190,85 841,64 USF-DCL 268,73 3047,40 249,84 1101,80 DIF-DIF 151503,94 1533977,35 - - DIF-RPL 507,15 5134,86 - - DIF-OPL 157,15 1591,12 - - DIF-SCH 1111,09 11249,78 - - DIF-DCL 6586,34 66686,71 - - DSF-SSH 302,41 2449,54 745,36 2347,89 DSF-DSF 4825,25 39084,52 17216,49 54231,93 DSF-OPL 13,93 112,87 146,64 461,92 DSF-DCL 160,16 1297,26 240,62 757,94 MTC_1-MTC_1 16209,98 91910,56 8221,50 18128,41 MTC_2-MTC_2 1958,02 - 84,58 - RPL-RPL 55938,63 135930,87 3991,00 3771,49 OPL-OPL 38041,12 308133,05 7234,13 22787,50 DIM-DIM 6185,53 37577,07 - - GRS-GRS 7325,10 23733,32 - - SGR-SGR 5918,95 33560,46 3869,42 8532,06 SCH-OPL 1261,71 10219,83 - - SCH-SCH 729162,71 5906217,94 - - SCH-DCL 4511,78 36545,39 - - RCF-RCF 36846,26 134304,63 10227,46 14497,42 WAB-WAB 91,21 - - -  

Lanjutan Lampiran 1

Tutupan lahan Luas terbakar (mineral) M (CO2 ) (ton) Luas terbakar (gambut) M (CO2) (ton) DCL-OPL 287,27 2443,25 - - DCL-DCL 114383,47 972831,38 7925,01 26211,97 SET-SET 3139,31 5085,69 20,16 12,69 WAB-WAB - - - - MIN-MIN 906,11 1467,89 - - Total 1519065,06 12539453,44 210863,53 631488,02  

Lampiran 2 Pendugaan luas areal terbakar dan emisi CO2

akibat perubahan tutupan lahan tahun 2005-2009

Tutupan lahan Luas terbakar (mineral)

M (CO2) (ton) Luas terbakar (gambut) M (CO2) (ton) SSH-SSH 108447,88 658820,88 74132,91 175138,99 SSH-OPL 12681,63 77040,91 11599,62 27404,10 SSH-SGR 208,99 1269,60 208,99 493,73 UDF-UDF 163229,90 1851027,03 - - UDF-DIF 3525,25 39976,36 - - UDF-OPL 43944,30 498328,38 - - UDF-SCH 2031,74 23039,91 - - UDF-DCL 398,17 4515,23 - - USF-SSH 5465,44 61978,09 2807,92 12382,93 USF-USF 95810,40 1086489,90 61403,69 270790,26 USF-DSF 21127,61 239587,09 15553,24 68589,78 USF-RPL 241,48 2738,34 127,44 562,03 USF-OPL 69559,64 788806,27 56510,14 249209,70 USF-SGR 72,31 820 - - USF-DCL - - - - DIF-DIF 158717,71 1607016,79 - - DIF-GRS 109,96 1113,30 - - DIF-OPL 19173,05 194127,10 - - DIF-SCH 3564,50 36090,60 - - DSF-MIN 88,14 713,89 - - DSF-SSH 1785,44 14462,06 370,75 1167,86 DSF-DSF 53882,89 436451,44 38778,44 122152,10 DSF-OPL 5069,01 41058,96 4486,68 14133,05 DSF-DCL - - - - MTC_1-MTC_1 25603,46 145171,59 8908,78 19643,86 MTC_2-MTC_2 1308,27 - 22,43 -

Lanjutan Lampiran 2

Tutupan lahan Luas terbakar (mineral) M (CO2) (ton) Luas terbakar (gambut) M (CO2) (ton) RPL-RPL 63396,63 154053,80 10284,80 9719,13 OPL-OPL 30592,19 247796,72 6627,92 20877,94 DIM-DIM 6550,53 39794,46 - - GRS-GRS 6550,61 21223,96 - - SGR-SGR 7093,84 40222,06 2984,15 6580,06 SCH-OPL 54424,68 440839,92 - - SCH-SCH 847427,45 6864162,35 - SCH-DCL - - - - RCF-RCF 50321,99 183423,65 12622,12 17891,86 WAB-WAB - - - - DCL-OPL 2897,40 24642,42 242,16 800,95 DCL-DCL 142153,23 1209013,18 21986,61 72720,71 SET-SET 2648,12 4289,95 33,23 20,93 WAB-WAB - - - - MIN-MIN 836,14 1354,54 - - SSH-RCF 597,78 3631,51 587,72 1388,49 USF-MIN 294,47 3339,29 - - DSF-SGR 127,43 1032,17 127,43 401,40 RPL-OPL 282,25 685,87 92,99 87,87 GRS-SCH - - - - SGR-SSH 10,28 58,26 10,28 22,66 SCH-RPL 35,72 289,33 - - SCH-GRS 375,33 3040,18 - - SCH-MIN - - - DCL-MIN - - - - Total 2012663,19 17053537,36 330510,42 1092180,38  

Lampiran 3 Matriks perubahan tutupan lahan dan luas areal terbakar tahun 2000-2005

2005

2000 SSH DIF DSF RPL OPL SCH RCF DCL USF

SSH a - - - - 860 - - 29861 - b - - - - 610 - - 17699 - c - - - - 71 % - - 59 % - UDF a - 14599 - - 464 2130 - 1741 - b - 889 - - 268 937 - 258 - c - 6 % - - 58 % 44 % - 15 % - USF a 15655 - 3062 35663 267 - 1059 5250 1452543 b 2531 - 244 2135 77 - 236 518 89484 c 16 % - 8 % 6 % 29 % - 22 % 10 % 6 % DIF a - - - 2538 730 4763 - 45291 - b - - - 507 157 1111 - 6586 - c - - - 20 % 21 % 23 % - 14 % - DSF a 5384 - 138849 - 624 - - 1334 - b 1047 - 22041 - 160 - - 400 - c 19 % - 16 % - 26 % - - 30 % - SCH a - - - - 3364 - - 33688 - b - - - - 1261 - - 4511 - c - - - - 37 % - - 13 % - DCL a - - - - 1623 - - - - b - - - - 287 - - - - c - - - - 17 % - - - -

  Lampiran 4 Matriks perubahan tutupan lahan dan luas areal terbakar tahun 2005-2009 

2009

2005 SSH DIF DSF RPL OPL GRS SGR SCH RCF DCL MIN

SSH a - - - - 31965 - 1057 - 3104 - - b - - - - 12681 - 209 - 597 - - c - - - - 39 % - 20 % - 19 % - - UDF a - 17169 - - 61272 - - 8934 - 1253 - b - 3525 - - 43944 - - 2031 - 398 - c - 20 % - - 71 % - - 22 % - 31 % - USF a 14747 - 129455 14642 - - 643 - - - 1758 b 5465 - 21127 41 - - 72 - - - 294 c 37 % - 16 % 16 % - - 11 % - - - 16 % DIF a - - - - 47564 399 1057 17687 - - - b - - - - 19173 109 209 3564 - - - c - - - - 40 % 27 % 20 % 20 % - - - DSF a 2479 - - - 9927 - 396 - - - 595 b 1785 - - - 5069 - 127 - - - 88 c 71 % - - - 51 % - 32 % - - - 14 % RPL a - - - - 341 - - - - - - b - - - - 282 - - - - - - c - - - - 82 % - - - - - - SGR a 117 - - - - - - - - b 10 - - - - - - - - c 8 % - - - - - - - - SCH a - - - 128 279792 1612 - - - b - - - 35 54424 375 - - - c - - - 28 % 19 % 23 % - - - DCL a - - - - 21063 - - - - - - b - - - - 2897 - - - - - - c - - - - 13 % - - - - - -

a= luas tutupan lahan (ha); b= luas terbakar (ha); c= perbandingan luas tutupan lahan dan luas terbakar (%)

Lampiran 5 Matriks massa karbon pada perubahan tutupan lahan (tanah mineral) tahun 2000-2005

2005 2000 SSH DIF UDF RPL OPL SCH RCF DCL SSH a - - - 23231 b - - - 0,17 % UDF a - 11203 - - 3380 11807 - 3260 b - 0,08 % - - 0,02 % 0,08 % - 0,02 % USF a 15974 - 1316 7109 - - 577 3386 b 0,11 % - 0,01 % 0,05 % - - 0, 001 % 0,001 % DIF a - - - 5705 1767 12499 - 74096 b - - - 0,04 % 0,01 % 0,09 % - 0,563 % DSF a 2721 - - - 125 - - 1441 b 0,02 % - - - 0,001 % - - 0,01 % SCH a - - - - 11355 - - 40605 b - - - - 0,08 % - - 0,29 % DCL a - - - - 2714 - - - b - - - - 0,02 % - - -

a= emisi karbon (ton); b= persentase emisi karbon ( %)

Lampiran 6 Matriks massa karbon pada perubahan tutupan lahan (tanah gambut) tahun 2000-2005

2005 2000 SSH RPL OPL RCF DCL DSF SSH a - - 4120 - 96242 - b - - 0,23 % - 5 % - USF a 15916 19795 969 2404 3148 1757 b 0,88 % 1,1 % 0,05 % 0,13 % 0,17 % 0,1 % DSF a 6708 - 1319 - 2165 - b 0,37 % - 0,07 % - 0,12 % -

Lampiran 7 Matriks massa karbon pada perubahan tutupan lahan (tanah gambut) tahun 2005-2009 2009 2005 SSH DSF RPL OPL SGR RCF SSH a - - - 78297 1410 3967 b - - - 0,88 % 0,02 % 0,04 % USF a 35379 195970 1605 712027 - - b 0,4 % 2 % 0,02 % 8 % - - DSF a 3336 - - 40380 1146 - b 0,04 % - - 0,45 % 0,01 - RPL a - - - 251 - - b - - - 0,001 % - - SGR a 64 - - - - - b 0,001 % - - - - - DCL a - - - 2288 - - b - - - 0,03 % - -

Lampiran 8 Matriks massa karbon pada perubahan tutupan lahan (tanah mineral) tahun 2005-2009

a= emisi karbon (ton); b= persentase emisi karbon ( %)

   

2009

2005 SSH DIF DSF RPL OPL GRS SGR SCH RCF DCL SGR MIN SSH a - - - - 85601 - - - 4035 - 1410 - b - - - - 0,45 % - - - 0,02 % - 0,01 % - UDF a - 44418 - - 553698 - - 25599 - 5016 - - b - 0,23 % - - 3 % - - 0,14 % - 0,03 % - - USF a 68864 - 266207 3042 876451 - 911 - - - - 3710 b 0,36 % - 1,4 % 0,02 % 5 % - 0,01 % - - - - 0,02 % DIF a - - - - 215696 1237 - 40100 - - - - b - - - - 1 % 0,01 % - 0,21 % - - - - DSF a 16068 - - - 45621 - - - - - 1146 - b 0,08 % - - - 0,24 % - - - - - 0,01 % - RPL a - - - - 762 - - - - - - - b - - - - 0,01 % - - - - - - - SGR a 64 - - - - - - - - - - - b 0,001% - - - - - - - - - - - SCH a - - - 321 489822 3377 - - - b - - - 0,001 % 3 % 0,02 % - - - RCF a - - - - - - - - - - - - b - - - - - - - - - - - - DCL a - - - - 27380 - - - - - - - b - - - - 0,14 % - - - - - - - 41 

1.1 Latar Belakang

Kebakaran hutan merupakan salah satu gangguan terhadap hutan. Tingginya tingkat kebakaran hutan menjadi salah satu penyebab semakin menurunnya luasan hutan di Indonesia. Penyebab kebakaran hutan berasal dari faktor alam dan faktor manusia. Kebutuhan manusia yang semakin meningkat dan peningkatan jumlah penduduk yang semakin pesat merupakan salah satu faktor pemicu perubahan penggunaan lahan melalui kegiatan konversi hutan menjadi non hutan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup manusia. Kegiatan konversi hutan yang dilakukan dengan cara pembakaran seringkali menjadi faktor utama terjadinya kebakaran hutan dan lahan di berbagai daerah di Indonesia. Kegiatan konversi hutan melalui pembakaran tersebut dapat memberikan berbagai dampak terhadap kehidupan, salah satunya berkaitan dengan cadangan karbon dan emisi karbondioksida.

Salah satu dampak dari kebakaran hutan dan lahan adalah peningkatan emisi karbondioksida yang akan terakumulasi dan dapat meningkatkan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer sehingga dapat berpengaruh terhadap pemanasan global (global warming). Salah satu emisi karbon tertinggi yang dihasilkan oleh kebakaran hutan dan lahan adalah pada tahun 1997-1998 yaitu sebesar 206,6 juta ton dan dinyatakan sebagai poluter terbesar (ADB 1999 dalam Tacconi 2003). Oleh karena itu, diperlukan informasi mengenai pendugaan emisi karbondioksida akibat kebakaran hutan dan lahan pada berbagai tipe tutupan lahan di Kalimantan Barat sebagai salah satu daerah yang rawan terjadinya kebakaran hutan. Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan estimasi emisi karbondioksida akibat kebakaran hutan dan lahan pada berbagai tipe tutupan lahan di Kalimantan Barat pada tahun 2000-2009.

1.2 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis kejadian kebakaran hutan dan lahan pada berbagai tipe tutupan lahan di Kalimantan Barat pada

periode tahun 2000-2009 serta menduga emisi karbondioksida yang dihasilkannya.

1.3 Manfaat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai kejadian kebakaran hutan dan lahan pada berbagai tipe tutupan lahan di Kalimantan Barat pada tahun 2000-2009 dan estimasi emisi karbondioksida yang dihasilkannya.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kebakaran Hutan

2.1.1 Pengertian dan Proses Terjadinya Kebakaran

Kebakaran hutan secara umum didefinisikan sebagai kejadian alam yang bermula dari proses reaksi secara cepat dari oksigen dengan unsur-unsur yang lain dan ditandai dengan adanya panas, cahaya, serta penyalaan (Davis 1959). Kebakaran hutan merupakan suatu proses pembakaran yang terjadi secara menyebar bebas serta melahap bahan bakar yang ada di hutan seperti serasah, rumput, semak belukar, ranting, sisa-sisa tumbuhan yang telah mati, semak dedaunan, dan pohon-pohon segar yang masih berdiri dalam tingkat terbatas (United States Forest Service 1956 dalam Brown dan Davis 1973).

Menurut Brown and Davis (1973) proses pembakaran merupakan proses kebalikan dari proses fotosintesis, yaitu proses perombakan karbohidrat (C6H1206) dan oksigen (O2) yang menghasilkan energi panas, uap air (H2O), dan karbondioksida (CO2). Pembakaran terjadi melalui proses kimia dan fisika. Proses ini berlangsung cepat dan memisahkan jaringan-jaringan tanaman menjadi unsur kimia, yang berlawanan dengan proses pembentukan bagian-bagian tanaman melalui proses fotosintesis (Suratmo et al. 2003).

Kebakaran terjadi karena adanya interaksi antara tiga unsur, yaitu bahan bakar, oksigen (O2) dan sumber panas. Ketiga unsur tersebut digambarkan seperti segitiga atau disebut segitiga api (fire triangle), sebagai berikut :

Panas

Oksigen Bahan bakar

Gambar 1 Segitiga api (Clar dan Chatten 1954)

Prinsip segitiga api ini merupakan prinsip dasar untuk melakukan tindakan pencegahan serta pengendalian kebakaran hutan, yaitu dengan mencegah

terjadinya hubungan antara ketiga unsur tersebut. Apabila salah satu unsur dari ketiganya tidak tersedia maka kebakaran tidak akan terjadi dan pada umumnya unsur yang paling berpotensi untuk dikurangi ketersediaanya adalah bahan bakar (Clar dan Chatten 1954).

2.1.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Kebakaran Hutan dan Lahan

1. Faktor Lingkungan Biofisik

a. Karakteristik Bahan Bakar

Menurut Brown dan Davis (1973) terdapat 3 tipe bahan bakar yaitu bahan bakar bawah yang terdiri atas duff, akar, dan gambut. Bahan bakar permukaan yang terdiri atas serasah, ranting, kulit kayu, dan cabang pohon yang semuanya belum terurai, termasuk juga rumput, tumbuhan bawah, anakan, dan semai. Bahan bakar tajuk yang terdiri atas bahan bakar hidup ataupun yang sudah mati yang berada diatas dan menutupi kanopi menyebar dari tanah dengan tinggi 1,2 meter.

Menurut Clar dan Chatten (1954) ada beberapa hal yang mempengaruhi kebakaran yaitu ukuran bahan bakar, bahan bakar yang halus lebih cepat kering dan lebih mudah terbakar sedangkan bahan bakar kasar lebih sukar terbakar. Susunan bahan bakar juga mempengaruhi kebakaran, bahan bakar yang menyebar secara horizontal mempercepat meluasnya kebakaran dan volume bahan bakar, bahan bakar dalam jumlah besar akan memperbesar nyala api, temperaturnya tinggi dan sulit dipadamkan. Kerapatan bahan bakar mempengaruhi kebakaran, kayu yang memiliki kerapatan tinggi dan rendah akan terbakar dengan baik sedangkan rumput akan lebih mudah terbakar pada saat kerapatan rendah dan berhenti bila kerapatan tinggi. Kadar air bahan bakar mempengaruhi sulit atau tidaknya suatu bahan bakar untuk terbakar dan bahan bakar yang banyak mengandung air akan lebih sulit terbakar.

Kadar air bahan bakar sebagai kandungan air pada partikel bahan bakar adalah faktor yang mempengaruhi perilaku kebakaran hutan dan lahan. Kandungan air yang tinggi dari bahan bakar, memerlukan panas yang tinggi sebelum bahan bakar dibakar, sehingga tingkat kebakaran dan daya nyala bahan bakar akan berkurang. Kadar air dari bahan bakar berubah seiring dengan

perubahan kondisi cuaca, baik musiman maupun selama periode waktu yang lebih pendek (Chandler et al. 1983).

b. Kondisi Bahan Bakar

Kondisi bahan bakar mempengaruhi mudah-tidaknya api membakar bahan bakar, kondisi bahan bakar tersebut berhubungan dengan kadar air dan jumlah bahan bakar. Meskipun bahan bakar tertumpuk banyak, apabila kadar airnya tinggi maka api tidak mudah menyala. Kelembaban kurang dari 30% mendukung terjadinya kebakaran (Saharjo 2003 dalam Darwo 2009).

2. Faktor Manusia

Penyebab kebakaran hutan dan lahan di Indonesia umumnya adalah faktor manusia, baik sengaja maupun karena kelalaian, dimana kegiatan konversi menjadi kegiatan yang seringkali menjadi penyebab kebakaran hutan (Syaufina 2008).

Masyarakat melakukan kegiatan pembakaran dilatarbelakangi oleh faktor sosial ekonomi. Faktor ini sangat erat hubungannya dengan konsep penggunaan lahan oleh masyarakat, dimana masyarakat yang memiliki lahan yang kecil/tidak memiliki lahan akan berupaya membuka lahan baru atau ikut bekerjasama dengan masyarakat pendatang dalam bentuk kelompok tani yayasan, atau koperasi (Heryalianto 2006).

Menurut Boonyanuphap (2001) pemukiman merupakan faktor aktivitas manusia yang paling signifikan yang menentukan resiko kebakaran hutan dan lahan selain jaringan jalan, jaringan sungai, dan penggunaan lahan. Akibat bertambahnya pendatang baru dan meningkatnya akses manusia ke dalam kawasan hutan, dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya pembalakan liar, dan pembukaan lahan dengan pembakaran.

2.2 Perubahan Penggunaan Lahan (Land Use Change)

Menurut Arsyad (1989) perubahan penggunaan lahan diartikan sebagai setiap bentuk intervensi (campur tangan) manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kehidupannya, baik materil mapun spiritual. Begitu juga dengan perubahan penggunaan lahan yang sebelumnya berupa hutan menjadi lahan yang digunakan untuk aktivitas lain, seperti pertanian, pemukiman, perindustrian, dan

perkebunan. Perubahan ini dapat berdampak pada penurunan kualitas lahan itu sendiri, seperti semakin meningkatnya luas lahan kritis, meningkatnya erosi tanah, sedimentasi, terjadinya banjir pada musim hujan, dan kekeringan pada musim kemarau. Dampak dari perubahan penggunaan lahan seringkali tidak diperhitungkan karena adanya keterbatasan dalam nilai barang dan jasa lingkungan (Bonnieux dan Goffe 1997).  Perubahan penggunaan lahan ini berdampak pada manfaat langsung yang diperoleh akibat peningkatan pendapatan. Aktivitas ini terlihat rasional secara ekonomis karena banyak nilai dan manfaat langsung yang diperoleh, namun dari sisi lain banyak manfaat dari perlindungan lingkungan yang hilang dan tidak diperhitungkan dalam merubah penggunaan lahan. Salah satu alasan dari perubahan penggunaan hutan menjadi non hutan adalah karena semakin terbatasnya lahan yang ada di Indonesia dan didorong dengan pertumbuhan populasi manusia yang semakin tinggi. Salah satu permasalahan dalam perubahan penggunaan lahan tersebut adalah pembukaan hutan dengan cara pembakaran yang tidak terkendali dengan asumsi pembakaran hutan untuk pembukaan lahan lebih praktis dan efisien (Syaufina 2008). Menurut Ekadinata dan Dewi (2011), faktor-faktor yang menyebabkan perubahan penggunaan lahan adalah konversi, perubahan praktek, kebakaran, bencana, dan perubahan iklim.

Perubahan tutupan seringkali dikaitkan dengan perubahan penggunaan, pengertian dari perubahan tutupan lahan sendiri menurut Hartanto (2006) berkaitan dengan jenis kenampakan yang terdapat di permukaan bumi, dengan ada atau tidak adanya aktivitas manusia, sementara penggunaan lahan mengarah pada kegiatan manusia pada obyek tersebut.

2.3 Emisi Karbondioksida (CO2)

Kebakaran hutan tidak hanya berdampak terhadap lingkungan sekitar, tetapi juga dapat menembus batas geografis suatu negara melalui asap dan emisi karbon yang dihasilkannya. Hasil pembakaran hutan berupa emisi tersebut menjadi salah satu masalah karena sangat berhubungan dengan pemanasan global, yaitu mengakibatkan akumulasi polutan-polutan di atmosfer sehingga menyebabkan efek rumah kaca (green house effect). Emisi karbon merupakan jumlah total gas karbondioksida yang termasuk sebagai gas rumah kaca dan secara

umum dinyatakan setara ton karbondioksida (CO2). Unsur karbon merupakan senyawa yang dominan dalam kebakaran hutan, karena hampir 45% materi kering tumbuhan adalah karbon (Hao et al. 1990). Sebagian besar unsur karbon yang teremisikan ke udara dalam bentuk CO2, sisanya berbentuk CO, hidrokarbon terutama CH4, dan asap. Sulfur akan tertinggal sebagai asap dan sedikit terbentuk menjadi SO2 dan unsur klorin membentuk senyawa CH3Cl (Crutzen dan Andreae 1990 dalam Lobert et al. 1990). Karbondioksida (CO2) merupakan salah satu gas rumah kaca yang memiliki nilai Global Warming Potential (GWP) sebesar 1. Global Warming Potential memiliki definisi yaitu suatu nilai berdasarkan sifat radiatif yang digunakan untuk memperkirakan potensi efek pemansan global dari emisi beberapa gas (Forster et al. 2007 dalam Kusuma 2011)

2.4 Titik Panas (Hotspot)

Menurut Anderson, Imanda dan Muhnandar (1999) dalam Heryalianto (2006), pada awalnya hotspot diidentikkan dengan titik api. Namun dalam kenyataannya tidak semua hotspot mengindikasikan adanya titik api. Istilah hotspot lebih tepat bila bersinonimkan dengan titik panas. Data tentang hotspot tersebut dapat dihimpun melalui satelit MODIS, yang juga dapat digunakan untuk pemantauan secara global. Terlebih lagi, NASA telah membuka akses yang luas bagi para pengguna MODIS di seluruh dunia.

MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer) adalah perangkat yang memiliki satelit Terra dan Aqua. Orbit satelit Terra adalah di sekitar bumi yang bergerak dari arah utara ke selatan melintasi khatulistiwa di pagi hari, sementara satelit Aqua bergerak dari selatan ke utara di atas khatulistiwa setiap sore hari. Perangkat MODIS menyediakan sensitivitas radiometrik yang tinggi (12 kanal) dalam 36 spektral band dengan kisaran panjang gelombang dari 0,4–14,4 µm dengan resolusi spasial yang bervariasi (2 kanal pada 250 m, 5 kanal pada 500 m dan 29 kanal pada 1 km). Alat ini didesain untuk menyediakan pengukuran dalam skala besar termasuk perubahan tutupan bumi oleh awan, radiasi dan peristiwa yang terjadi di laut, di daratan, dan pada tingkat atmosfir terendah.

Sebuah hotspot MODIS/lokasi terjadinya kebakaran menunjukan pusat yang berisi 1 atau lebih hotspot/kebakaran yang sedang aktif terbakar dengan

radius 1 km pixel (rataan), hotspot/kebakaran tersebut dideteksi menggunakan data dari alat MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer). Pada umumnya, hotspot MODIS merupakan kebakaran vegetasi, namun terkadang dapat berupa erupsi vulkanik atau semburan api dari sumur gas. Satelit MODIS akan mendeteksi suatu obyek di permukaan bumi yang memiliki suhu relatif lebih tinggi dibandingkan dengan suhu sekitarnya. Suhu yang terdeteksi sebagai hotspot oleh satelit MODIS adalah sekitar 330 K (NASA 2002).

2.5 Sejarah Kebakaran Hutan dan Lahan di Kalimantan Barat

Kalimantan Barat merupakan salah satu provinsi yang rawan kebakaran hutan dan lahan di Pulau Kalimantan. Salah satu kebakaran paling besar adalah pada tahun 1997-1998 yang menghanguskan 6,5 juta ha areal hutan di Kalimantan, terutama di Kalimantan Barat (Bappenas 1999 dalam Tacconi 2003) dan total kerugian diperkirakan mencapai US$ 9 milliar dengan emisi karbon yang cukup tinggi dan merupakan poluterterbesar di dunia yaitu sebesar 206,6 juta ton dan 75% dihasilkan dari kebakaran gambut atau sekitar 156,3 juta ton (ADB 1999 dalam Tacconi 2003).

Menurut Kementerian Kehutanan (2012) luas kebakaran hutan di Kalimantan Barat pada tahun 2000 mencapai 104 ha dan mengalami peningkatan pada tahun 2001 menjadi sekitar 170 ha. Luas kebakaran hutan di Kalimantan Barat kembali mengalami peningkatan pada tahun 2002 menjadi sekitar 361 ha dan mengalami penurunan pada tahun 2003 menjadi sekitar 28 ha. Pada tahun 2004, 2005, dan 2006 luas hutan dan lahan yang terbakar di Kalimantan Barat masing-masing sekitar 1.027 ha, 1.686 ha dan 3.489,96 ha. Peningkatan jumlah luasan kebakaran hutan dan lahan tersebut berbanding lurus dengan jumlah hotspot atau titik panas yang terdeteksi di Provinsi Kalimantan Barat. Pada tahun 2004 terdapat sejumlah 4.784 hotspot yang tersebar di berbagai kabupaten di Kalimantan Barat, hotspot yang terdeteksi terdapat pada non kawasan hutan (65%) dan pada kawasan hutan (35%). Peningkatan jumlah hotspot terjadi pada tahun 2006 menjadi 11.517 hotspot yang tersebar pada non kawasan hutan (48%) dan kawasan hutan (52%) (Kementerian Kehutanan 2012).

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kebakaran Hutan dan Lahan, Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilaksanakan pada bulan April sampai dengan Juni 2012.

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan adalah perangkat komputer dan perangkat lunak program ArcView GIS 3.3, Microsoft Office, alat tulis. Bahan-bahan yang digunakan adalah data hotspot (titik panas) harian tahun 2000-2009 dari Citra Satelit MODIS di Provinsi Kalimantan Barat yang diperoleh dari Fire Information Resources Management System (FIRMS), data curah hujan Provinsi Kalimantan Barat dari Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Pusat, dan peta perubahan tutupan lahan dari Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO).

3.3 Analisis data

Tahap analisis data yang dilakukan adalah menganalisis perubahan tutupan lahan di Kalimantan Barat pada tahun 2000-2009, menganalisis sebaran titik panas (hotspot) di Kalimantan Barat pada tahun 2000-2009, menganalisis luas areal terbakar pada berbagai tipe tutupan lahan dengan mengorelasikan jumlah titik panas di Kalimantan Barat, menganalisis estimasi emisi karbondioksida (CO2) yang dihasilkan akibat kebakaran hutan dan lahan.

3.4 Pengolahan 

Data hotspot dan data tutupan lahan diolah menggunakan software ArcView GIS 3.3 untuk mendapatkan luas areal terbakar dan selanjutnya digunakan untuk menghitung emisi karbondioksida. Gambar 2 menyajikan diagram alir pengolahan data yang dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak ArcView GIS 3.3.

Gambar 2 Diagram alir pengolahan data menggunakan ArcView GIS 3.3

3.4.1 Penghitungan Estimasi Karbon

Luas areal terbakar merupakan salah satu variabel yang digunakan untuk menduga emisi karbon dan emisi karbondioksida akibat kebakaran hutan dan

Dokumen terkait