DI PROVINSI KALIMANTAN BARAT TAHUN 2000-2009
UAN SUBHAN
DEPARTEMEN SILVIKULTUR
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ii
PENDUGAAN EMISI GAS RUMAH KACA CO
2AKIBAT KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN
PADA BERBAGAI TIPE TUTUPAN LAHAN
DI PROVINSI KALIMANTAN BARAT TAHUN 2000-2009
UAN SUBHAN
Skripsi
sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada
Departemen Silvikultur
DEPARTEMEN SILVIKULTUR
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
iii
RINGKASAN
UAN SUBHAN. Pendugaan Emisi Gas Rumah Kaca CO2 Akibat Kebakaran Hutan dan Lahan pada Berbagai Tipe Tutupan Lahan di Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2000-2009. Dibimbing oleh BAMBANG HERO SAHARJO dan ERIANTO INDRA PUTRA.
Kebakaran hutan merupakan salah satu gangguan yang semakin menurunkan luas hutan di Indonesia. Kalimantan Barat merupakan salah satu provinsi dengan tingkat kebakaran hutan dan lahan yang tinggi di Indonesia. Hal tersebut didorong oleh perubahan penggunaan lahan yang terjadi di Provinsi Kalimantan Barat. Kebakaran hutan dan lahan memiliki dampak yang sangat besar, salah satunya terkait emisi karbondioksida yang dihasilkan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kejadian kebakaran hutan dan lahan pada berbagai tipe tutupan lahan di Kalimantan Barat dan menduga luas area terbakar dari titik panas yang terdeteksi di Kalimantan Barat pada tahun 2000-2009 serta menduga emisi karbondioksida yang dihasilkannya.
Penelitian ini dilakukan pada bulan April sampai dengan Juni 2012 di Laboratorium Kebakaran Hutan, Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor dengan menggunakan data hotspot (titik panas) harian, data curah hujan, dan peta tutupan lahan Provinsi Kalimantan Barat. Data sebaran hotspot tersebut diolah untuk memperoleh pendugaan potensi luas area terbakar. Luas area terbakar pada masing-masing penutupan lahan digunakan untuk menduga emisi karbondioksida akibat kebakaran hutan dan lahan.
Hasil penelitian menunjukkan terjadi penurunan luas hutan rawa primer di Provinsi Kalimantan Barat sebesar 21% pada periode tahun 2005-2009 sedangkan luas perkebunan kelapa sawit mengalami peningkatan sebesar 182% pada periode tahun 2005-2009. Jumlah hotspot tertinggi pada tahun 2000, 2005, dan 2009 terdapat pada semak belukar, yaitu sebanyak 225 hotspot pada tahun 2000, 1069 (2005), dan 2205 (2009). Peningkatan jumlah hotspot berbanding lurus dengan peningkatan luas area terbakar dan emisi karbondioksida. Semak belukar memiliki luas area terbakar tertinggi sebesar 20.164 ha (2000), 96.181 ha (2005), dan 182.719 ha (2009). Emisi CO2 tertinggi pada tanah mineral terdapat pada semak belukar sebesar 1.480.023 ton pada tahun 2009 sedangkan emisi CO2 tertinggi pada tanah gambut terdapat pada hutan rawa primer sebesar 91.163 ton (2009). Perubahan hutan rawa primer menjadi perkebunan kelapa sawit menghasilkan emisi CO2 tertinggi sebesar 249.210 ton pada tahun 2005-2009.
iv
SUMMARY
UAN SUBHAN. Carbondioxide (CO2) Emissions Estimation Caused by Forest Fire on Different Land Cover in West Kalimantan Province in 2000-2009. Under the Guidance of BAMBANG HERO SAHARJO and ERIANTO INDRA PUTRA.
Forest fire is one of forest disturbance that may reduce forest area in Indonesia. West Kalimantan is one of Indonesian provinces that are vulnerable to forest fire. It is caused by land use changes that occurred in West Kalimantan Province. Forest fire has a huge impact, it has related with carbondioxide (CO2) emissions are produced.
This research was conducted between April and June 2012 at Forest Fires Laboratory, Departement of Silviculture, Faculty of Forestry, Bogor Agricultural University. The data used is hotspot data from Fire Information Resources Management System (FIRMS), precipitation data from Center for Meteorology Climatology and Geophysic (BMKG), and land cover map of West Kalimantan from Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). Hotspot data were processed to estimate burned area in each land covers, thus carbondioxide emissions could be obtained. The purpose of this research is to analyze forest and land fire occurrences on different land covers in West Kalimantan in 2000-2009 and to estimate their carbon dioxide emissions.
The results showed that primary swamp forest in West Kalimantan decreased until 21% in 2009 while palm oil plantation has increased to 182%. The highest hotspot in the period 2000-2009 occurred in 2006 with 10,699 hotspot. The highest hotspot in 2000, 2005, and 2009 where occurred in shrubland as 225, 1069, and 2205 respectively. The increased of the numbers of hotspot is in line with burned area and CO2 emissions. The largest burned area occurred in shrubland in 2009 (182,718 ha). The highest CO2 emission on mineral land is found in shrubland in 2009 (1,480,023 tons) while primary swamp forest is the highest CO2 emissions producer on peat land in 2009 (91,163 tons). Changes in primary swamp forest into oil palm plantation released the highest CO2 emissions in the amount of 249,209 tons.
v
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Pendugaan Emisi Gas Rumah Kaca CO2 Akibat Kebakaran Hutan dan Lahan pada Berbagai Tipe Tutupan Lahan di Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2000-2009” adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Agustus 2012
vi
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Skripsi : Pendugaan Emisi Gas Rumah Kaca CO2 Akibat Kebakaran Hutan dan Lahan pada Berbagai Tipe Tutupan Lahan di Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2000-2009
Nama : Uan Subhan NIM : E44080014
Menyetujui: Komisi Pembimbing
Ketua, Anggota,
Prof. Dr. Ir. Bambang Hero Saharjo, M.Agr Dr.Erianto Indra P. S.Hut, M.Si NIP. 19641110 199002 1 001 NIP. 19740107 200501 1 002
Mengetahui:
Ketua Departemen Silvikultur
Prof. Dr.Ir. Nurheni Wijayanto, MS NIP. 19601024 198403 1 009
vii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan. Shalawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad SAW sebagai suri tauladan bagi seluruh umat manusia.
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Skripsi berjudul “Pendugaan Emisi Gas Rumah Kaca CO2 Akibat Kebakaran Hutan dan Lahan pada Berbagai Tipe Tutupan Lahan di Provinsi Kalimantan Barat pada Tahun 2000-2009” dibimbing oleh Prof. Dr. Ir. Bambang Hero Saharjo, M.Agr dan Dr. Erianto Indra Putra,
S.Hut, M.Si.
Kebakaran hutan merupakan salah satu gangguan yang semakin
menurunkan luas hutan di Indonesia. Kalimantan Barat merupakan salah satu provinsi dengan tingkat kebakaran hutan dan lahan yang tinggi di Indonesia. Hal tersebut didorong oleh perubahan penggunaan lahan yang terjadi di Provinsi Kalimantan Barat. Kebakaran hutan dan lahan memiliki dampak yang sangat besar, salah satunya terkait emisi karbondioksida yang dihasilkan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kejadian kebakaran hutan dan lahan pada berbagai tipe penutupan lahan di Kalimantan Barat dan menduga luas area terbakar dari titik panas yang terdeteksi di Kalimantan Barat pada tahun 2000-2009 serta menduga emisi karbondioksida yang dihasilkannya.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan di dalam skripsi ini, oleh karena itu Penulis sangat mengharapkan kritik serta saran yang membangun untuk dapat menyempurnakan skripsi ini. Akhir kata semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Bogor, Agustus 2012
viii
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Cianjur, Jawa Barat pada tanggal 29 April 1990 sebagai anak kelima dari lima bersaudara pasangan Maman Sulaeman (Alm.) dan Rohanah. Pendidikan formal Penulis dimulai pada tahun 1997 di SD Munjul, Cianjur. Pada tahun 2002 Penulis melanjutkan pendidikan ke SMPN 4 Cianjur dan lulus tahun 2005. Selanjutnya Penulis menjalani pendidikan di SMAN 1 Cilaku-Cianjur dan lulus pada tahun 2008. Pada tahun 2008 penulis lulus dari SMAN 1 Cilaku-Cianjur dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Mahasiswa IPB (USMI), sebagai mahasiswa Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Selama menuntut ilmu di IPB penulis aktif sebagai pengurus organisasi kemahasiswaan Departemen Silvikultur, yaitu pengurus Tree Grower Community, sebagai anggota project division tahun 2000-2011, pengurus Mushroom Study,
sebuah organisasi mengenai jamur tiram di bawah Laboratorium Patologi, Departemen Silvikultur pada tahun 2011, panitia Belantara Departemen Silvikultur tahun 2010, panitia Olimpiade Mahasiswa IPB (OMI) tahun 2010, panitia Planting for Future tahun 2009, panitia TGC In Action 2010 dan panitia Forestry Exhibition 2011. Selain itu penulis juga melakukan Praktek Kerja Profesi (PKP) di PT. SK NETWORKS INNI JOA Plantation, Batulicin, Kalimantan Selatan dan selama kuliah penulis mendapatkan beasiswa dari BUMN.
ix
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Terselesaikannya karya ilmiah ini tidak lepas dari berbagai pihak yang telah ikut mendukung dan memberikan bantuan kepada Penulis. Untuk itu pada kesempatan ini Penulis menyampaikan terima kasih kepada :
1. Prof. Dr. Ir. Bambang Hero Saharjo, M.Agr selaku dosen pembimbing pertama dan Dr. Erianto Indra Putra S.Hut, M.Si selaku dosen pembimbing kedua atas arahan dan bimbingannya kepada Penulis.
2. Dr. Ir. Yanto Santosa, DEA selaku dosen penguji ujian komprehensif beserta
Dr. Ir. Elis Nina Herliana, M.Si selaku ketua sidang.
3. Kedua orang tua (Maman Sulaeman (Alm) dan Rohanah), saudara-saudaraku
Lia Amalia, Susilo Hadi, Suhendra, Anni Nurani dan Deti Pirgayantini yang telah memberikan dukungan secara moril dan materil, kasih sayang, perhatian, dan doa kepada Penulis.
4. Pihak Beasiswa BUMN, yang telah memberikan beasiswa untuk kelancaran studi dan penelitian.
5. Pihak Fire Information Resources Management System (FIRMS), Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), dan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Pusat.
6. Sahabat tercinta Umar, Edo dan Nunu, Kak Doddy Juli Irawan, Kak Riri, Ida, Ari, Yolan, Dekyah, dan rekan-rekan Silvikultur 45 yang telah memberikan semangat dan motivasinya kepada penulis.
7. Seluruh keluarga besar Departemen Silvikultur dan Laboratorium Kebakaran Hutan atas bantuannya kepada Penulis.
Akhir kata penulis berharap semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi seluruh pihak, terutama bagi penulis dan pembaca.
x
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ... xii
DAFTAR GAMBAR ... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiv
BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Tujuan Penelitian ... 1
1.3 Manfaat Penelitian ... 2
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebakaran Hutan dan Lahan ... 3
2.2 Perubahan Penggunaan Lahan (Land Use Change) ... 5
2.3 Emisi Karbondioksida (CO2) ... 6
2.4 Titik Panas (Hotspot) ... 7
2.5 Sejarah Kebakaran Hutan dan Lahan di Kalimantan Barat ... 8
BAB III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat ... 9
3.2 Alat dan Bahan ... 9
3.3 Analisis Data ... 9
3.4 Pengolahan ... 9
BAB IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak Geografis ... 12
4.2 Luas Wilayah ... 13
4.3 Topografi ... 13
4.4 Iklim ... 13
4.5 Penggunaan Lahan ... 13
BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil ... 15
5.2 Pembahasan ... 24
BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ... 30
xi
DAFTAR PUSTAKA ... 31 LAMPIRAN ... 34
xii
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Luas areal tutupan lahan Kalimantan Barat pada tahun 2000, 2005,
dan 2009 ... 15 2 Perubahan tutupan lahan pada tahun 2000-2005 di Kalimantan Barat ... 16 3 Perubahan tutupan lahan pada tahun 2005-2009 di Kalimantan Barat ... 17 4 Sebaran hotspot di tanah mineral dan gambut pada berbagai tipe
tutupan lahan tahun 2000, 2005,dan 2009 ... 18 5 Pendugaan luas areal terbakar (ha) pada tahun 2000
di Kalimantan Barat ... 21 6 Pendugaan luas areal terbakar (ha) pada tahun 2005
di Kalimantan Barat ... 21 7 Pendugaan luas areal terbakar (ha) pada tahun 2009
di Kalimantan Barat ... 22 8 Pendugaan massa karbon pada tahun 2000, 2005, dan 2009
di Kalimantan Barat ... 22 9 Pendugaan emisi karbondioksida (CO2) pada tanah mineral tahun 2000,
2005, dan 2009 ... 23 10 Pendugaan emisi karbondioksida (CO2) pada tanah gambut tahun 2000,
xiii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Segititga api ... 3 2 Diagram alir pengolahan data menggunakan ArcView GIS 3.3 ... 10
3 Peta Kalimantan Barat... 12 4 Sebaran tipe tutupan lahan di Kalimantan Barat: (a) tahun 2000,
(b) tahun 2005, dan (c) tahun 2009 ... 16 5 Perbandingan jumlah hotspot pada tanah mineral dan gambut
di Kalimantan Barat ... 18 6 Sebaran hotspot di Kalimantan Barat: (a) tahun 2000, (b) tahun 2005,
dan (c) tahun 2009 ... 19 7 Sebaran titik panas (hotspot) pada tahun 2000-2009
di Kalimantan Barat ... 19 8 Hotspot dan curah hujan di Kalimantan Barat: (a) tahun 2000
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Pendugaan luas areal terbakar dan emisi CO2 akibat perubahan
tutupan lahan tahun 2000-2005 ... 34 2 Pendugaan luas areal terbakar dan emisi CO2 akibat perubahan
tutupan lahan tahun 2005-2009 ... 35 3 Matriks perubahan tutupan lahan dan luas areal terbakar
tahun 2000-2005 ... 37 4 Matriks perubahan tutupan lahan dan luas areal terbakar
tahun 2005-2009 ... 38 5 Matriks massa karbon pada perubahan tutupan lahan
(tanah mineral) tahun 2000-2005 ... 39 6 Matriks massa karbon pada perubahan tutupan lahan
(tanah gambut) tahun 2000-2005 ... 39 7 Matriks massa karbon pada perubahan tutupan lahan
(tanah gambut) tahun 2005-2009 ... 40 8 Matriks massa karbon pada perubahan tutupan lahan
(tanah mineral) tahun 2005-2009 ... 41
1.1 Latar Belakang
Kebakaran hutan merupakan salah satu gangguan terhadap hutan.
Tingginya tingkat kebakaran hutan menjadi salah satu penyebab semakin
menurunnya luasan hutan di Indonesia. Penyebab kebakaran hutan berasal dari
faktor alam dan faktor manusia. Kebutuhan manusia yang semakin meningkat dan
peningkatan jumlah penduduk yang semakin pesat merupakan salah satu faktor
pemicu perubahan penggunaan lahan melalui kegiatan konversi hutan menjadi
non hutan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup manusia. Kegiatan konversi
hutan yang dilakukan dengan cara pembakaran seringkali menjadi faktor utama
terjadinya kebakaran hutan dan lahan di berbagai daerah di Indonesia. Kegiatan
konversi hutan melalui pembakaran tersebut dapat memberikan berbagai dampak
terhadap kehidupan, salah satunya berkaitan dengan cadangan karbon dan emisi
karbondioksida.
Salah satu dampak dari kebakaran hutan dan lahan adalah peningkatan
emisi karbondioksida yang akan terakumulasi dan dapat meningkatkan
konsentrasi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer sehingga dapat berpengaruh
terhadap pemanasan global (global warming). Salah satu emisi karbon tertinggi yang dihasilkan oleh kebakaran hutan dan lahan adalah pada tahun 1997-1998
yaitu sebesar 206,6 juta ton dan dinyatakan sebagai poluter terbesar (ADB 1999
dalam Tacconi 2003). Oleh karena itu, diperlukan informasi mengenai pendugaan emisi karbondioksida akibat kebakaran hutan dan lahan pada berbagai tipe tutupan
lahan di Kalimantan Barat sebagai salah satu daerah yang rawan terjadinya
kebakaran hutan. Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan estimasi emisi
karbondioksida akibat kebakaran hutan dan lahan pada berbagai tipe tutupan lahan
di Kalimantan Barat pada tahun 2000-2009.
1.2 Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis kejadian kebakaran
periode tahun 2000-2009 serta menduga emisi karbondioksida yang
dihasilkannya.
1.3 Manfaat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai
kejadian kebakaran hutan dan lahan pada berbagai tipe tutupan lahan di
Kalimantan Barat pada tahun 2000-2009 dan estimasi emisi karbondioksida yang
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kebakaran Hutan
2.1.1 Pengertian dan Proses Terjadinya Kebakaran
Kebakaran hutan secara umum didefinisikan sebagai kejadian alam yang
bermula dari proses reaksi secara cepat dari oksigen dengan unsur-unsur yang lain
dan ditandai dengan adanya panas, cahaya, serta penyalaan (Davis 1959).
Kebakaran hutan merupakan suatu proses pembakaran yang terjadi secara
menyebar bebas serta melahap bahan bakar yang ada di hutan seperti serasah,
rumput, semak belukar, ranting, sisa-sisa tumbuhan yang telah mati, semak
dedaunan, dan pohon-pohon segar yang masih berdiri dalam tingkat terbatas
(United States Forest Service 1956 dalam Brown dan Davis 1973).
Menurut Brown and Davis (1973) proses pembakaran merupakan proses
kebalikan dari proses fotosintesis, yaitu proses perombakan karbohidrat (C6H1206)
dan oksigen (O2) yang menghasilkan energi panas, uap air (H2O), dan
karbondioksida (CO2). Pembakaran terjadi melalui proses kimia dan fisika. Proses
ini berlangsung cepat dan memisahkan jaringan-jaringan tanaman menjadi unsur
kimia, yang berlawanan dengan proses pembentukan bagian-bagian tanaman
melalui proses fotosintesis (Suratmo et al. 2003).
Kebakaran terjadi karena adanya interaksi antara tiga unsur, yaitu bahan
bakar, oksigen (O2) dan sumber panas. Ketiga unsur tersebut digambarkan seperti
segitiga atau disebut segitiga api (fire triangle), sebagai berikut : Panas
Oksigen Bahan bakar
Gambar 1 Segitiga api (Clar dan Chatten 1954)
Prinsip segitiga api ini merupakan prinsip dasar untuk melakukan tindakan
terjadinya hubungan antara ketiga unsur tersebut. Apabila salah satu unsur dari
ketiganya tidak tersedia maka kebakaran tidak akan terjadi dan pada umumnya
unsur yang paling berpotensi untuk dikurangi ketersediaanya adalah bahan bakar
(Clar dan Chatten 1954).
2.1.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Kebakaran Hutan dan Lahan
1. Faktor Lingkungan Biofisik
a. Karakteristik Bahan Bakar
Menurut Brown dan Davis (1973) terdapat 3 tipe bahan bakar yaitu bahan
bakar bawah yang terdiri atas duff, akar, dan gambut. Bahan bakar permukaan yang terdiri atas serasah, ranting, kulit kayu, dan cabang pohon yang semuanya
belum terurai, termasuk juga rumput, tumbuhan bawah, anakan, dan semai. Bahan
bakar tajuk yang terdiri atas bahan bakar hidup ataupun yang sudah mati yang
berada diatas dan menutupi kanopi menyebar dari tanah dengan tinggi 1,2 meter.
Menurut Clar dan Chatten (1954) ada beberapa hal yang mempengaruhi
kebakaran yaitu ukuran bahan bakar, bahan bakar yang halus lebih cepat kering
dan lebih mudah terbakar sedangkan bahan bakar kasar lebih sukar terbakar.
Susunan bahan bakar juga mempengaruhi kebakaran, bahan bakar yang menyebar
secara horizontal mempercepat meluasnya kebakaran dan volume bahan bakar,
bahan bakar dalam jumlah besar akan memperbesar nyala api, temperaturnya
tinggi dan sulit dipadamkan. Kerapatan bahan bakar mempengaruhi kebakaran,
kayu yang memiliki kerapatan tinggi dan rendah akan terbakar dengan baik
sedangkan rumput akan lebih mudah terbakar pada saat kerapatan rendah dan
berhenti bila kerapatan tinggi. Kadar air bahan bakar mempengaruhi sulit atau
tidaknya suatu bahan bakar untuk terbakar dan bahan bakar yang banyak
mengandung air akan lebih sulit terbakar.
Kadar air bahan bakar sebagai kandungan air pada partikel bahan bakar
adalah faktor yang mempengaruhi perilaku kebakaran hutan dan lahan.
Kandungan air yang tinggi dari bahan bakar, memerlukan panas yang tinggi
sebelum bahan bakar dibakar, sehingga tingkat kebakaran dan daya nyala bahan
perubahan kondisi cuaca, baik musiman maupun selama periode waktu yang lebih
pendek (Chandler et al. 1983). b. Kondisi Bahan Bakar
Kondisi bahan bakar mempengaruhi mudah-tidaknya api membakar bahan
bakar, kondisi bahan bakar tersebut berhubungan dengan kadar air dan jumlah
bahan bakar. Meskipun bahan bakar tertumpuk banyak, apabila kadar airnya
tinggi maka api tidak mudah menyala. Kelembaban kurang dari 30% mendukung
terjadinya kebakaran (Saharjo 2003 dalam Darwo 2009).
2. Faktor Manusia
Penyebab kebakaran hutan dan lahan di Indonesia umumnya adalah faktor
manusia, baik sengaja maupun karena kelalaian, dimana kegiatan konversi
menjadi kegiatan yang seringkali menjadi penyebab kebakaran hutan (Syaufina
2008).
Masyarakat melakukan kegiatan pembakaran dilatarbelakangi oleh faktor
sosial ekonomi. Faktor ini sangat erat hubungannya dengan konsep penggunaan
lahan oleh masyarakat, dimana masyarakat yang memiliki lahan yang kecil/tidak
memiliki lahan akan berupaya membuka lahan baru atau ikut bekerjasama dengan
masyarakat pendatang dalam bentuk kelompok tani yayasan, atau koperasi
(Heryalianto 2006).
Menurut Boonyanuphap (2001) pemukiman merupakan faktor aktivitas
manusia yang paling signifikan yang menentukan resiko kebakaran hutan dan
lahan selain jaringan jalan, jaringan sungai, dan penggunaan lahan. Akibat
bertambahnya pendatang baru dan meningkatnya akses manusia ke dalam
kawasan hutan, dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya pembalakan liar, dan
pembukaan lahan dengan pembakaran.
2.2 Perubahan Penggunaan Lahan (Land Use Change)
Menurut Arsyad (1989) perubahan penggunaan lahan diartikan sebagai
setiap bentuk intervensi (campur tangan) manusia terhadap lahan dalam rangka
memenuhi kehidupannya, baik materil mapun spiritual. Begitu juga dengan
perubahan penggunaan lahan yang sebelumnya berupa hutan menjadi lahan yang
perkebunan. Perubahan ini dapat berdampak pada penurunan kualitas lahan itu
sendiri, seperti semakin meningkatnya luas lahan kritis, meningkatnya erosi tanah,
sedimentasi, terjadinya banjir pada musim hujan, dan kekeringan pada musim
kemarau. Dampak dari perubahan penggunaan lahan seringkali tidak
diperhitungkan karena adanya keterbatasan dalam nilai barang dan jasa
lingkungan (Bonnieux dan Goffe 1997). Perubahan penggunaan lahan ini
berdampak pada manfaat langsung yang diperoleh akibat peningkatan pendapatan.
Aktivitas ini terlihat rasional secara ekonomis karena banyak nilai dan manfaat
langsung yang diperoleh, namun dari sisi lain banyak manfaat dari perlindungan
lingkungan yang hilang dan tidak diperhitungkan dalam merubah penggunaan
lahan. Salah satu alasan dari perubahan penggunaan hutan menjadi non hutan
adalah karena semakin terbatasnya lahan yang ada di Indonesia dan didorong
dengan pertumbuhan populasi manusia yang semakin tinggi. Salah satu
permasalahan dalam perubahan penggunaan lahan tersebut adalah pembukaan
hutan dengan cara pembakaran yang tidak terkendali dengan asumsi pembakaran
hutan untuk pembukaan lahan lebih praktis dan efisien (Syaufina 2008). Menurut
Ekadinata dan Dewi (2011), faktor-faktor yang menyebabkan perubahan
penggunaan lahan adalah konversi, perubahan praktek, kebakaran, bencana, dan
perubahan iklim.
Perubahan tutupan seringkali dikaitkan dengan perubahan penggunaan,
pengertian dari perubahan tutupan lahan sendiri menurut Hartanto (2006)
berkaitan dengan jenis kenampakan yang terdapat di permukaan bumi, dengan ada
atau tidak adanya aktivitas manusia, sementara penggunaan lahan mengarah pada
kegiatan manusia pada obyek tersebut.
2.3 Emisi Karbondioksida (CO2)
Kebakaran hutan tidak hanya berdampak terhadap lingkungan sekitar,
tetapi juga dapat menembus batas geografis suatu negara melalui asap dan emisi
karbon yang dihasilkannya. Hasil pembakaran hutan berupa emisi tersebut
menjadi salah satu masalah karena sangat berhubungan dengan pemanasan global,
yaitu mengakibatkan akumulasi polutan-polutan di atmosfer sehingga
umum dinyatakan setara ton karbondioksida (CO2). Unsur karbon merupakan
senyawa yang dominan dalam kebakaran hutan, karena hampir 45% materi kering
tumbuhan adalah karbon (Hao et al. 1990). Sebagian besar unsur karbon yang teremisikan ke udara dalam bentuk CO2, sisanya berbentuk CO, hidrokarbon
terutama CH4, dan asap. Sulfur akan tertinggal sebagai asap dan sedikit terbentuk
menjadi SO2 dan unsur klorin membentuk senyawa CH3Cl (Crutzen dan Andreae
1990 dalam Lobert et al. 1990). Karbondioksida (CO2) merupakan salah satu gas rumah kaca yang memiliki nilai Global Warming Potential (GWP) sebesar 1. Global Warming Potential memiliki definisi yaitu suatu nilai berdasarkan sifat radiatif yang digunakan untuk memperkirakan potensi efek pemansan global dari
emisi beberapa gas (Forster et al. 2007 dalam Kusuma 2011)
2.4 Titik Panas (Hotspot)
Menurut Anderson, Imanda dan Muhnandar (1999) dalam Heryalianto (2006), pada awalnya hotspot diidentikkan dengan titik api. Namun dalam kenyataannya tidak semua hotspot mengindikasikan adanya titik api. Istilah hotspot lebih tepat bila bersinonimkan dengan titik panas. Data tentang hotspot tersebut dapat dihimpun melalui satelit MODIS, yang juga dapat digunakan untuk
pemantauan secara global. Terlebih lagi, NASA telah membuka akses yang luas
bagi para pengguna MODIS di seluruh dunia.
MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer) adalah perangkat yang memiliki satelit Terra dan Aqua. Orbit satelit Terra adalah di
sekitar bumi yang bergerak dari arah utara ke selatan melintasi khatulistiwa di
pagi hari, sementara satelit Aqua bergerak dari selatan ke utara di atas
khatulistiwa setiap sore hari. Perangkat MODIS menyediakan sensitivitas
radiometrik yang tinggi (12 kanal) dalam 36 spektral band dengan kisaran panjang
gelombang dari 0,4–14,4 µm dengan resolusi spasial yang bervariasi (2 kanal
pada 250 m, 5 kanal pada 500 m dan 29 kanal pada 1 km). Alat ini didesain untuk
menyediakan pengukuran dalam skala besar termasuk perubahan tutupan bumi
oleh awan, radiasi dan peristiwa yang terjadi di laut, di daratan, dan pada tingkat
atmosfir terendah.
radius 1 km pixel (rataan), hotspot/kebakaran tersebut dideteksi menggunakan data dari alat MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer). Pada umumnya, hotspot MODIS merupakan kebakaran vegetasi, namun terkadang dapat berupa erupsi vulkanik atau semburan api dari sumur gas. Satelit MODIS
akan mendeteksi suatu obyek di permukaan bumi yang memiliki suhu relatif lebih
tinggi dibandingkan dengan suhu sekitarnya. Suhu yang terdeteksi sebagai hotspot oleh satelit MODIS adalah sekitar 330 K (NASA 2002).
2.5 Sejarah Kebakaran Hutan dan Lahan di Kalimantan Barat
Kalimantan Barat merupakan salah satu provinsi yang rawan kebakaran
hutan dan lahan di Pulau Kalimantan. Salah satu kebakaran paling besar adalah
pada tahun 1997-1998 yang menghanguskan 6,5 juta ha areal hutan di
Kalimantan, terutama di Kalimantan Barat (Bappenas 1999 dalam Tacconi 2003) dan total kerugian diperkirakan mencapai US$ 9 milliar dengan emisi karbon yang
cukup tinggi dan merupakan poluterterbesar di dunia yaitu sebesar 206,6 juta ton
dan 75% dihasilkan dari kebakaran gambut atau sekitar 156,3 juta ton (ADB 1999
dalam Tacconi 2003).
Menurut Kementerian Kehutanan (2012) luas kebakaran hutan di
Kalimantan Barat pada tahun 2000 mencapai 104 ha dan mengalami peningkatan
pada tahun 2001 menjadi sekitar 170 ha. Luas kebakaran hutan di Kalimantan
Barat kembali mengalami peningkatan pada tahun 2002 menjadi sekitar 361 ha
dan mengalami penurunan pada tahun 2003 menjadi sekitar 28 ha. Pada tahun
2004, 2005, dan 2006 luas hutan dan lahan yang terbakar di Kalimantan Barat
masing-masing sekitar 1.027 ha, 1.686 ha dan 3.489,96 ha. Peningkatan jumlah
luasan kebakaran hutan dan lahan tersebut berbanding lurus dengan jumlah
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kebakaran Hutan dan Lahan,
Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian
dilaksanakan pada bulan April sampai dengan Juni 2012.
3.2 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan adalah perangkat komputer dan perangkat lunak
program ArcView GIS 3.3, Microsoft Office, alat tulis. Bahan-bahan yang
digunakan adalah data hotspot (titik panas) harian tahun 2000-2009 dari Citra Satelit MODIS di Provinsi Kalimantan Barat yang diperoleh dari Fire Information Resources Management System (FIRMS), data curah hujan Provinsi Kalimantan Barat dari Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Pusat, dan
peta perubahan tutupan lahan dari Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO).
3.3 Analisis data
Tahap analisis data yang dilakukan adalah menganalisis perubahan tutupan
lahan di Kalimantan Barat pada tahun 2000-2009, menganalisis sebaran titik
panas (hotspot) di Kalimantan Barat pada tahun 2000-2009, menganalisis luas areal terbakar pada berbagai tipe tutupan lahan dengan mengorelasikan jumlah
titik panas di Kalimantan Barat, menganalisis estimasi emisi karbondioksida
(CO2) yang dihasilkan akibat kebakaran hutan dan lahan.
3.4 Pengolahan
Data hotspot dan data tutupan lahan diolah menggunakan software ArcView GIS 3.3 untuk mendapatkan luas areal terbakar dan selanjutnya
digunakan untuk menghitung emisi karbondioksida. Gambar 2 menyajikan
diagram alir pengolahan data yang dilakukan dengan menggunakan perangkat
Gambar 2 Diagram alir pengolahan data menggunakan ArcView GIS 3.3
3.4.1 Penghitungan Estimasi Karbon
Luas areal terbakar merupakan salah satu variabel yang digunakan untuk
menduga emisi karbon dan emisi karbondioksida akibat kebakaran hutan dan
lahan. Emisi karbon dikalkulasikan dengan menggunakan persamaan berikut
(Seiler dan Crutzhen 1980):
M= A x B x E Hotspot dengan confidence
≥ 50%
Seleksi Tanah
gambut Tanah
mineral
Projection tools
Clipping Buffering
Clipping hotspot dengan tema tutupan lahan
Luas areal
Penghitungan emisi CO2 (Seiler dan Crutzhen 1980)
Rekapitulasi di MS Excel
Tema tutupan lahan Overlay
Data tutupan lahan Kalimantan Barat
Dimana:
M = Biomassa bahan bakar yang terbakar (ton)
A = Luas areal terbakar (hektar)
B = efisiensi pembakaran (burning efficiency) berdasarkan jenis tutupan lahan E = muatan bahan bakar (fuel load) pada masing-masing tutupan lahan (ton/ha)
Biomassa bahan bakar yang terbakar (M) digunakan untuk menduga emisi
karbon yang dihasilkan. Perhitungan emisi karbon dengan menggunakan variabel
biomassa bahan bakar yang terbakar dikalkulasikan sebagai berikut:
M(C) = 0,45 x M
Dimana:
M (C) = Massa karbon (ton)
M = Biomassa bahan bakar terbakar (ton).
Estimasi karbondioksida yang dihasilkan dari proses pembakaran
dibedakan berdasarkan pembakaran pada tanah mineral dan gambut. Emisi
karbondioksida pada tanah mineral (ton CO2) dihitung menggunakan persamaan:
M (CO2) = 0,90 x M ( C )
Emisi karbondioksida yang dihasilkan pada pembakaran di tanah gambut (ton
CO2) menggunakan persamaan:
M (CO2) = (0,5) x (0,7) x M (C)
Dimana:
M (C) = Massa karbon (ton)
M (CO2) = Emisi karbondioksida (ton)
BAB IV
KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1 Letak Geografis
Provinsi Kalimantan Barat terletak di antara 108º30’BT hingga
114º10’BT, dan antara 2º8′LU hingga 3º5′LS (Gambar 3). Berdasarkan letak geografis yang spesifik ini maka daerah Kalimantan Barat tepat dilalui oleh garis
khatulistiwa (garis lintang 0o) di atas Kota Pontianak. Hal ini mempengaruhi suhu
udara daerah Kalimantan Barat menjadi cukup tinggi serta diiringi kelembaban
yang tinggi.
Gambar 3 Peta Kalimantan Barat (Dinas Perkebunan Kalimantan Barat 2011)
Batas wilayah Kalimantan Barat pada bagian utara berbatasan langsung
dengan Sarawak (Malaysia). Bagian selatan berbatasan langsung dengan Laut
Jawa dan Kalimantan Tengah. Bagian timur berbatasan langsung dengan
Kalimantan Timur sedangkan bagian barat berbatasan dengan Laut Natuna dan
Selat Karimata. Bagian utara Kalimantan Barat memiliki empat kabupaten yang
langsung berhadapan dengan Malaysia, yaitu Sambas, Sanggau, Sintang, dan
Kapuas Hulu yang membujur sepanjang Pegunungan Kalingkang-Kapuas Hulu
(Dinas Perkebunan Kalimantan Barat 2011).
4.2 Luas Wilayah
Sebagian besar wilayah Kalimantan Barat merupakan daratan berdataran
rendah dengan luas 146.807 km2 atau 7,53 persen dari luas Indonesia. Wilayah ini
membentang lurus dari utara ke selatan sepanjang lebih dari 600 km dan sekitar
850 km dari barat ke timur. Kalimantan Barat merupakan Provinsi terbesar
keempat setelah Irian Jaya (421.891 km2), Kalimantan Timur (202.440 km2), dan
Kalimantan Tengah (152.600 km2) (Dinas Perkebunan Kalimantan Barat 2011).
4.3 Topografi
Secara umum, daratan Kalimantan Barat merupakan dataran rendah sedikit
berbukit yang menghampar dari barat ke timur sepanjang Lembah Kapuas serta
Laut Natuna/Selat Karimata. Sebagian daerah daratan ini berawa-rawa bercampur
gambut dan hutan mangrove. Wilayah daratan ini diapit oleh dua jajaran
pegunungan yaitu Pegunungan Kalingkang/Kapuas Hulu di bagian utara dan
Pegunungan Schwaner di selatan sepanjang perbatasan dengan Provinsi
Kalimantan Tengah. Jenis tanah di Kalimantan Barat terdiri dari tanah podzolik
merah kuning (PMK), yang meliputi areal sekitar 10,5 juta hektar atau 17,28
persen dari luas daerahnya. Berikutnya, tanah orgosol, gley, dan humus (OGH)
dan tanah Aluvial sekitar 2,0 juta hektar atau 10,29 persen yang terhampar di
seluruh kabupaten namun sebagian besar terdapat di kabupaten daerah pantai
(Dinas Perkebunan Kalimantan Barat 2011).
4.4 Iklim
Kisaran curah hujan tahunan di Kalimantan Barat berkisar 2.900–3.600
mm, rata-rata hari hujan 120–150 hari, distribusi hujan tetap tinggi yaitu di atas
100 m per bulan yang jatuh pada bulan Juni–Agustus, bulan lainnya merupakan
bulan basah. Fluktuasi suhu rata-rata adalah 22oC–23oC dengan rata-rata suhu
siang hari 29oC (Dinas Perkebunan Kalimantan Barat 2011).
4.5 Penggunaan Lahan
Sebagian besar luas tanah di Kalimantan Barat adalah hutan (42,32%) dan
padang/semak belukar/rumput (34,11%). Adapun areal hutan terluas terletak di
terluas berada di Kabupaten Ketapang yaitu seluas 1.374.145 ha. Sementara itu
areal perkebunan mencapai 1.574.855,50 atau 10,73%. Dari 14,68 ribu ha luas
Kalimantan Barat sedangkan areal pemukiman hanya berkisar 0,83%. Adapun
areal pemukiman terluas berada di Kabupaten Sintang diikuti oleh Kabupaten
Sanggau dan Kabupaten Ketapang (Dinas Perkebunan Kalimantan Barat 2011).
Menurut Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kalimantan Barat (2002) dalam Rais (2004), luas Kalimantan Barat berkisar 14.680.700 ha, terdiri atas lahan sawah
47,937 ha (3%) dan lahan kering sekitar 13.843.624 ha (97%). Dari 11.646.555 ha
(81,6%) lahan yang berpotensi untuk usahatani tanaman pangan, baru 1.036.290
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Hasil
5.1.1 Tutupan Lahan
Terjadi perubahan tutupan lahan di Kalimantan Barat pada periode tahun
2000-2009. Perubahan tutupan lahan pada tahun 2000, 2005, dan 2009 di
Kalimantan Barat disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Luas areal tutupan lahan di Kalimantan Barat pada tahun 2000, 2005, dan 2009
No Tutupan Lahan Luas tutupan lahan (ha)
2000 2005 2009
1 Pemukiman (SET) 22.734,57 22.734,57 22.734,57
2 Tegalan (DCL) 652.613,06 768.156,38 747.902,16
3 Sawah (RCF) 265.556,83 266.616,17 269.720,61
4 Semak belukar (SCH) 4.833.173,14 4.803.014,33 4.548.412,55
5 Rumput rawa (SGR) 23.263,20 23.263,20 25.243,82
6 Rumput (GRS) 24.313,73 24.313,73 25.692,99
7 Mangrove sekunder (DIM) 126.352,48 126.352,48 126.352,48 8 Perkebunan kelapa sawit (OPL) 298.691,06 306.624,42 859.313,42 9 Perkebunan karet (RPL) 354.775,37 392.977,30 394.228,31 10 Perkebunan campuran (MTC_1) 139.756,36 24.938,35 139.756,36
11 Tambang (MIN) 9.781,84 9.781,84 13.084,05
12 Perkebunan kelapa (MTC_2) 24.938,35 139.756,36 24.938,35 13 Hutan rawa sekunder (DSF) 146.192,49 141.911,95 257.849,41 14 Hutan sekunder (DIF) 1.026.488,27 987.764,22 939.281,34 15 Hutan rawa primer (USF) 1.513.500,97 1.452.543,49 1.203.648,62 16 Hutan primer (UDF) 4.555.224,70 4.536.289,65 4.447.660,42 17 Semak belukar rawa (SSH) 504.045,18 494.363,17 475.582,14
18 Perairan (WAB) 135.097,50 135.097,50 135.097,50
19 Tambak (FCP) 5.493,13 5.493,13 5.493,13
Total 14.661.992,22 14.661.992,22 14.661.992,22
Kalimantan Barat memiliki 19 jenis tutupan lahan yang tersebar pada
berbagai wilayah. Peta sebaran tipe tutupan lahan di Kalimantan Barat pada tahun
(a) (b)
[image:30.595.108.479.92.600.2](c)
Gambar 4 Sebaran tipe tutupan lahan di Kalimantan Barat: (a) tahun 2000, (b) tahun 2005, dan (c) tahun 2009
Pada kurun waktu 2000-2009 terjadi perubahan tutupan lahan yang
menyebabkan perubahan luasan pada masing-masing tipe tutupan lahan.
Perubahan tutupan lahan pada tahun 2000-2009 di Kalimantan Barat disajikan
pada Tabel 2 dan 3.
Tabel 2 Perubahan tutupan lahan pada tahun 2000-2005 di Kalimantan Barat
2005
2000 SSH DIF DSF GRS OPL SCH RCF DCL USF
SSH - - - - v - - v -
UDF - v - - v v - v -
USF v - v v v - v v -
DIF - - - v v v - v -
DSF v - - - v - - v -
SCH - - - - v - - v -
DCL - - - - v - - - -
[image:30.595.109.514.604.744.2]Tabel 3 Perubahan tutupan lahan pada tahun 2005-2009 di Kalimantan Barat
2009
2005 SSH DIF DSF RCL OPL GRS SGR SCH RCF DCL MIN
SSH - - - - v - v - v - -
UDF - v - - v - - v - v -
USF v - v v - - v - - - v
DIF - - - - v v v v - - -
DSF v - - - v - v - - - v
RCL - - - - v - - - -
SGR v - - - -
SCH - - - v v v - - - - -
DCL - - - - v - - - -
v: perubahan tutupan lahan
5.1.2 Sebaran Hotspot di Kalimantan Barat Tahun 2000-2009
Sebaran hotspot (titik panas) dideteksi oleh satelit MODIS. Titik panas (hotspot) merupakan titik yang memiliki suhu lebih tinggi dibandingkan suhu sekitarnya dan menjadi indikator adanya kebakaran hutan dan lahan di suatu
wilayah. Hotspot yang terdeteksi di berbagai tipe tutupan lahan di Kalimantan Barat dibedakan pada tanah mineral dan tanah gambut, dimana jumlah hotspot tersebut dapat menjadi penduga luas areal terbakar di suatu wilayah dan dapat
menjadi salah satu pendekatan untuk menghitung emisi karbon dan juga emisi
karbondioksida akibat kebakaran hutan dan lahan. Tabel 4 menyajikan sebaran
Tabel 4 Sebaran hotspot di tanah mineral dan gambut pada berbagai tipe tutupan lahan tahun 2000, 2005, dan 2009
No Tutupan lahan Tahun
2000 2005 2009 min gam tot min gam tot min gam tot
1 Pemukiman 4 - 4 7 - 7 5 - 5
2 Tegalan 29 2 31 249 28 277 361 166 527
3 Rumput rawa 8 8 16 5 - 5 15 10 25
4 Rumput 18 - 18 3 - 3 18 - 18
5 Sawah 11 2 13 66 13 79 130 67 197
6 Semak belukar 225 - 225 1069 - 1069 2205 - 2205
7 Mangrove 1 - 1 2 - 2 13 - 13
8 Perkebunan kelapa
sawit 31 14 45 52 36 88 1279 827 2106
9 Perkebunan karet 9 - 9 21 62 83 174 41 215
10 Perkebunan kelapa - - - 3 - 3 - - -
11 Perkebunan
campuran 16 12 28 18 27 45 38 44 86
12 Hutan rawa sekunder 3 - 3 4 16 20 42 235 277
13 Hutan sekunder 31 - 31 231 - 231 601 - 601
14 Hutan rawa primer 7 7 14 65 392 457 168 403 571
15 Hutan primer 14 - 14 349 - 349 615 - 615
16 Semak belukar rawa 10 52 62 43 80 123 176 333 509
17 Tambang 1 - 1 1 - 1 5 - 5
Total 418 97 515 2183 654 2842 5845 2126 7975
min= mineral; gam= gambut; tot=total
Hotspot yang terdeteksi juga terdapat pada jenis tanah mineral dan tanah gambut. Jumlah hotspot pada tahun 2000, 2005, dan 2009 pada tanah mineral dan tanah gambut disajikan pada Gambar 5.
Gambar 5 Perbandingan jumlah hotspot pada tanah mineral dan gambut di Kalimantan Barat 0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000
2000 2005 2009
[image:32.595.111.545.133.424.2]Jumlah hotspot pada berbagai tipe tutupan lahan pada tahun 2000, 2005, dan 2009 cenderung mengalami peningkatan. Peningkatan hotspot pada tahun tersebut disajikan pada Gambar 6.
[image:33.595.107.513.55.587.2]
(a) (b) (c)
Gambar 6 Sebaran hotspot di Kalimantan Barat: (a) tahun 2000, (b) tahun 2005, dan (c) tahun 2009
Jumlah hotspot yang terdeteksi di Kalimantan Barat pada tahun 2000-2009 mengalami fluktuasi. Gambar 7 menyajikan fluktuasi jumlah titik panas (hotspot) pada tahun 2000-2009.
Gambar 7 Sebaran titik panas (hotspot) tahun 2000-2009 di Kalimantan Barat
Jumlah hotspot yang terdeteksi di suatu wilayah berhubungan dengan curah hujan. Gambar 8 (a,b,c) menyajikan hubungan antara jumlah hotspot dan curah hujan di Kalimantan Barat pada tahun 2000, 2005, dan 2009.
515
8901
3581
6818
2842
10699
2374 2493
7975
0 2000 4000 6000 8000 10000 12000
2000-2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Jum
lah
hot
spot
(a) tahun 2000
(b) tahun 2005
[image:34.595.108.491.84.691.2](c) tahun 2009
Gambar 8 Hotspot dan curah hujan di Kalimantan Barat: (a) tahun 2000, (b) tahun 2005, (c) tahun 2009
0 200 400 600 800 0 1000 2000 3000 4000 5000
Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des
C
u
rah hujan (m
m ) Jum lah hot spot Bulan Curah Hujan Hotspot 0 200 400 600 800 0 1000 2000 3000 4000 5000
Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des
C
u
rah hujan (m
m ) Jum lah hot spot Bulan Curah Hujan Hotspot 0 200 400 600 800 0 1000 2000 3000 4000 5000
Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des
C
u
rah hujan (m
5.1.3 Pendugaan luas areal terbakar, massa karbon, dan emisi CO2
Luas areal terbakar pada berbagai tipe tutupan lahan disajikan pada Tabel
5, 6, dan 7. Tabel 8 menyajikan pendugaan massa karbon. Tabel 9 dan 10
[image:35.595.122.521.213.453.2]menyajikan emisi CO2 tahun 2000, 2005, dan 2009 di Kalimantan Barat.
Tabel 5 Pendugaan luas areal terbakar (ha) pada tahun 2000 di Kalimantan Barat
No Tutupan lahan Luas areal terbakar (ha)
mineral gambut total %
1 Pemukiman 246,57 - 246,57 0,66
2 Tegalan 2.492,64 115,50 2.608,14 7,02
3 Sawah 948,75 228,17 1.176,92 3,17
4 Semak belukar 20.163,90 - 20.163,90 54,27
5 Rumput rawa 664,46 654,28 1.318,74 3,55
6 Rumput 1.151,99 - 1.151,99 3,10
7 Mangrove sekunder 98,91 - 98,91 0,27
8 Perkebunan kelapa sawit 2.502,49 723,91 3.226,41 8,68
9 Perkebunan karet 680,66 - 680,66 1,83
10 Perkebunan kelapa - - - -
11 Perkebunan campuran 889,40 777,74 1.667,13 4,49
12 Hutan rawa sekunder 214,06 - 214,06 0,58
13 Hutan sekunder 2.266,24 - 2.266,24 6,10
14 Hutan rawa primer 528,12 531,27 1.059,39 2,85
15 Hutan primer 1.120,37 - 1.120,37 3,02
16 Semak belukar rawa - 60,87 60,87 0,16
17 Tambang 95,19 - 95.19 0,26
Total 34.063,73 3091,75 37.155,49 100
Tabel 6 Pendugaan luas areal terbakar (ha) pada tahun 2005 di Kalimantan Barat
No Tutupan lahan Luas areal terbakar (ha)
mineral gambut total %
1 Pemukiman 473,08 - 473,08 0,23
2 Tegalan 20.446,83 1.583,72 22.030,55 10,50
3 Sawah 4.790,39 1.196,38 5.986,77 2,85
4 Semak belukar 96.181,18 - 96.181,18 45,86
5 Rumput rawa 272,11 - 272,11 0,13
6 Rumput 271,35 - 271,35 0,13
7 Mangrove 112,82 - 112,82 0,05
8 Perkebunan kelapa sawit 3.094,37 1.439 4.533,37 2,16
9 Perkebunan karet 1.842,17 4.792,16 6.634,33 3,16
10 Perkebunan kelapa 213,16 0,84 214,00 0,10
11 Perkebunan campuran 1.709,80 2.050,56 3.760,36 1,79
12 Hutan rawa sekunder 438,40 899,30 1.337,70 0,64
13 14 15
Hutan sekunder Hutan rawa primer Hutan primer 17.594,82 4.576,73 21.296,44 - 16.602,61 - 17.594,82 21.179,33 21.296,44 8,39 10,10 10,15
16 Semak belukar rawa 2.066,45 5.705,73 7.772,17 3,71
17 Tambang 77,25 - 77,25 0,04
[image:35.595.111.526.399.720.2]Tabel 7 Pendugaan luas areal terbakar (ha) pada tahun 2009 di Kalimantan Barat
No Tutupan lahan Luas areal terbakar (ha)
mineral gambut total %
1 Pemukiman 282,93 - 282.93 0,06
2 Tegalan 28.395,68 7531,1 35.926,78 7,07
3 Sawah 8.958,45 3732,03 12.690,48 2,50
4 Semak belukar 182.718,90 - 182.718,9 35,95
5 Rumput rawa 985,45 517,45 1502,91 0,30
6 Rumput 1.257,87 - 1257,87 0,25
7 Mangrove 796,65 - 796,65 0,16
8 Perkebunan kelapa sawit 55.650,46 24.526,24 80.176,70 15,77
9 Perkebunan karet 13.626,28 3026,33 16.652,62 3,28
10 Perkebunan kelapa - - - -
11 Perkebunan campuran 2.909,09 26.33,72 5542,81 1,09
12 Hutan rawa sekunder 2.803,27 11.997,14 14.800,41 2,91
13 Hutan sekunder 44.698,52 - 44.698,52 8,79
14 Hutan rawa primer 10.832,91 20.671,91 31.504,81 6,20
15 Hutan primer 49.669,94 - 49.669,94 9,77
16 Semak belukar rawa 10.335,16 19.406,11 29.741,27 5,85
17 Tambang 289,36 - 289,36 0,06
[image:36.595.112.526.115.362.2]Total 414.210,95 94.042.03 508.253 100,00
Tabel 8 Pendugaaan massa karbon pada tahun 2000, 2005, dan 2009 di Kalimantan Barat
No Tutupan lahan Massa karbon (ton)
2000 2005 2009
1 Semak belukar rawa 410,87 52.462,19 200.753,54
2 Hutan rawa primer 13.348,30 266.859,61 396.960,61
3 Hutan rawa sekunder 1.926,50 12.039,30 133.203,66
4 Hutan primer 14.116,67 268.335,17 625.841,22
5 Hutan sekunder 25.495,25 197.941,68 502.858,29
6 Perkebunan campuran 10.502,94 23.690,27 34.919,72
7 Perkebunan kelapa - - -
8 Perkebunan karet 1.837,77 17.912,69 44.962,06
9 Perkebunan elapa sawit 29.037,65 40.800,29 721.590,31
10 Mangrove sekunder 667,61 761,50 5.377,39
11 Rumput 4.147,16 976,86 4.528,33
12 Rumput rawa 8.308,09 1.714,27 9.468,31
13 Semak belukar 181.475,07 865.630,66 1.644.470,44
14 Sawah 4.766,54 24.246,41 51.395,45
15 Tegalan 24.646,91 208.188,68 339.508,10
16 pemukiman 443,83 852,55 509,28
17 Tambang 171,34 139,05 521,84
Tabel 9 Pendugaaan emisi karbondioksida (CO2) pada tanah mineral tahun 2000, 2005, 2009
No Lahan Emisi karbondioksida (ton)
2000 2005 2009
1 Semak belukar rawa - 12.553,68 62.786,07
2 Hutan rawa primer 5.988,89 51.900,06 122.845,14
3 Hutan rawa sekunder 1.733,85 3.551,06 22.706,47
4 Hutan primer 12.705,01 241.501,65 563.257,10
5 Hutan sekunder 22.945,72 178.147,51 452.572,46
6 Perkebunan campuran 5.042,89 9.694,58 16.494,55
7 Perkebunan kelapa - - -
8 Perkebunan karet 1.654,00 4.476,48 33.111,87
9 Kelapa sawit 20.270,18 25.064,36 450.768,72
10 Mangrove sekunder 600,85 685,35 4.839,65
11 Rumput 3.732,44 879,17 4.075,50
12 Rumput rawa 3.767,49 1.542,84 5.587,52
13 Semak belukar 163.327,57 779.067,59 1.480.023,40
14 Sawah 3.458,20 17.460,95 32.653,55
15 Tegalan 21.199,86 173.900,29 241.505,28
16 pemukiman 399,44 766,39 458,35
17 Tambang 154,20 125,15 468,76
[image:37.595.109.527.117.362.2]Total 266.980,58 1.501.317,12 3.494.154,40
Tabel 10 Pendugaaan emisi karbondioksida (CO2) pada tanah gambut tahun 2000, 2005, dan 2009
No Tutupan lahan Emisi karbondioksida (ton)
2000 2005 2009
1 Semak belukar rawa 143,80 13.479,78 45.846,93
2 Hutan rawa primer 2.342,89 73.217,51 91.163,10
3 Hutan rawa sekunder - 2.832,79 37.790,99
4 Hutan primer - - -
5 Hutan sekunder - - -
6 Perkebunan campuran 1.714,91 4.521,48 5.807,35
7 Perkebunan kelapa - - -
8 Perkebunan karet - 4.528.59 2.859,88
9 Kelapa sawit 2.280,33 4.532,85 77.257,66
10 Mangrove sekunder - - -
11 Rumput - - -
12 Rumput rawa 1.442,70 - 1.140,98
13 Semak belukar - - -
14 Sawah 323,43 1.695,87 5.290,16
15 Tegalan 382,03 5.238,15 24.909,11
16 pemukiman - - -
17 Tambang - - -
5.2 Pembahasan
Kalimantan Barat terbagi ke dalam berbagai tipe tutupan dan penggunaan
lahan. Penggunaan lahan berkaitan dengan aktivitas manusia atau hasil intervensi
manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (Arsyad 1989), sedangkan tutupan
lahan adalah tipe kenampakan yang terdapat di permukaan bumi (Hartanto 2006).
Selain itu tidak tertutup kemungkinan, penggunaan lahan tersebut mengalami
perubahan terkait beberapa faktor, salah satunya karena kegiatan konversi lahan
(Ekadinata et al. 2011). Konversi lahan yang dilakukan untuk mengubah suatu tipe tutupan lahan menjadi tipe lain, terutama tutupan lahan hutan menjadi non
hutan, pada umumnya dilakukan dengan cara pembakaran. Hal tersebut
dikarenakan cara pembakaran dianggap oleh sebagian masyarakat sebagai cara
yang paling efisien dan murah dalam mengonversi lahan.
Tipe tutupan lahan yang mengalami peningkatan luasan terbesar pada
tahun 2009 adalah perkebunan kelapa sawit. Luas perkebunan kelapa sawit pada
tahun 2000 sebesar 298.691,06 ha dan mengalami peningkatan menjadi
306.624,42 ha (2005) dan terjadi peningkatan luasan sebesar 18% pada tahun
2009 menjadi 859.313,42 ha. Perubahan tutupan lahan menjadi perkebunan kelapa
sawit didominasi oleh lahan yang sebelumnya adalah hutan, baik itu hutan primer,
sekunder, maupun hutan rawa primer (Tabel 2 dan Tabel 3). Peningkatan luas
areal perkebunan kelapa sawit banyak didorong oleh alasan sosial ekonomi serta
adanya kebijakan yang terkait dengan pemberian insentif pada bidang usaha di
sektor perkebunan, sehingga menyebabkan pembukaan lahan untuk perkebunan
terutama kelapa sawit meningkat drastis hampir di seluruh wilayah Indonesia,
terutama Kalimantan (Syaufina 2008). Hutan yang mengalami penurunan luasan
paling besar pada tahun 2000-2009 adalah hutan rawa primer dari semula
1.513.500,97 ha pada tahun 2000 mengalami penurunan menjadi 1.452.543,49 ha
(2005) dan kembali mengalami penurunan sebesar 21% menjadi 1.203.648,62 ha
pada tahun 2009 sedangkan hutan rawa sekunder mengalami peningkatan pada
tahun 2009 sebesar 78% (257.849,41 ha) dibandingkan tahun 2000 (141.911,95
ha). Tabel 2 dan Tabel 3 menyajikan matriks perubahan tutupan lahan menjadi
berbagai tipe tutupan lahan lain, seperti perkebunan kelapa sawit, tegalan,
Hotspot merupakan titik panas dan bukan titik api karena tidak semua hotspot mengindikasikan adanya titik api pada suatu wilayah (Anderson et al. 1999 dalam Heryalianto 2006). Hotspot dapat menjadi salah satu parameter adanya kejadian kebakaran di suatu wilayah dan hotspot sampai saat ini dijadikan sebagai suatu indikator yang dapat dipercaya untuk menunjukkan adanya
kebakaran (Syaufina 2008). Jumlah hotspot pada tahun 2000, 2005, dan 2009 memperlihatkan peningkatan jumlah hotspot pada beberapa tipe tutupan lahan di Kalimantan Barat. Tabel 4 menunjukan bahwa semak belukar memiliki jumlah
hotspot yang paling banyak, yaitu 225 hotspot pada tahun 2000, 1069 (2005), dan 2205 (2009). Banyaknya jumlah hotspot padasemak belukar menunjukkan bahwa semak belukar rentan terhadap terjadinya kebakaran. Hal tersebut dikarenakan
semak belukar merupakan tipe tutupan lahan yang memiliki bahan bakar yang
melimpah dan relatif kering sehingga mudah menyebabkan kebakaran (Pratondo
et al. 2006).
Hotspot juga terdapat pada tipe tutupan lahan yang memiliki hubungan dengan aktivitas manusia seperti tegalan dan perkebunan kelapa sawit. Pada tahun
2000 jumlah hotspot di perkebunan kelapa sawit (45 hotspot) lebih besar dibandingkan dengan tegalan (31 hotspot), sedangkan pada tahun 2005 jumlah hotspot di tegalan (277 hotspot) lebih besar dibandingkan dengan perkebunan kelapa sawit (88 hotspot) dan pada tahun 2009 terjadi peningkatan jumlah hotspot di perkebunan kelapa sawit hingga mencapai 2106 hotspot sementara tegalan hanya memiliki 527. Hal ini menunjukan bahwa aktivitas manusia terhadap lahan
beresiko menyebabkan kebakaran hutan dan lahan. Hal tersebut berhubungan
dengan kegiatan penyiapan lahan dengan pembakaran, baik oleh masyarakat
sekitar maupun oleh perusahaan (Heryalianto 2006).
Gambar 6 memperlihatkan bahwa jumlah hotspot pada tanah mineral lebih tinggi dibandingkan dengan hotspot pada tanah gambut, baik pada tahun 2000, 2005 maupun 2009. Peningkatan jumlah hotspot pada tanah mineral lebih besar dibandingkan tanah gambut. Hal ini dikarenakan areal tanah mineral lebih
didominasi oleh daerah produksi konversi, sehingga aktivitas pembukaan lahan
yang berhubungan dengan penggunaan api sangat tinggi (Septocorini 2006).
(19%) sedangkan hotspot di tanah mineral sebanyak 418 hotspot (81%). Jumlah hotspot di tanah gambut tersebut mengalami peningkatan menjadi 654 hotspot (2005) dan 2126 hotspot (2009), tetapi nilai tersebut masih di bawah jumlah hotspot yang ada di tanah mineral pada tahun 2005 dan 2009. Hal tersebut menunjukkan bahwa resiko kebakaran hutan di gambut lebih rendah dibandingkan
di tanah mineral.
Jumlah hotspot berkaitan dengan salah satu unsur iklim, yaitu curah hujan. Hubungan jumlah hotspot yang terdeteksi di Kalimantan Barat dengan curah hujan pada tahun 2000, 2005, dan 2009 disajikan pada Gambar 8. Jumlah hotspot berbanding terbalik dengan curah hujan. Hujan dapat mempengaruhi adanya titik
panas karena berkaitan dengan kadar air bahan bakar, apabila kadar air bahan
bakar tinggi maka api tidak akan mudah menyala (Saharjo 2003 dalam Darwo 2009). Jumlah hotspot pada tahun 2000, 2005, dan 2009 memperlihatkan jumlah hotspot tertinggi terjadi pada bulan Agustus, dimana curah hujan pada bulan tersebut lebih rendah dibandingkan bulan-bulan yang lain. Hal ini memperlihatkan
bahwa faktor iklim turut mempengaruhi jumlah hotspot dan kejadian kebakaran hutan dan lahan di Indonesia. Tingginya hotspot pada bulan tersebut juga dipengaruhi oleh kegiatan persiapan dan pembersihan lahan oleh masyarakat yang
dilakukan pada musim kemarau dengan cara membakar kawasan hutan atau areal
pertanian (Putra 2002 dalam Heryalianto 2006). Jumlah hotspot tertinggi pada periode tahun 2000-2009 terjadi pada tahun 2002 dan 2006, yaitu masing-masing
sebanyak 8.901 (2002) dan 10.699 hotspot (2006). Hal tersebut dikarenakan pada tahun 2002 dan 2006 terjadi El Nino kelas moderat di Indonesia. Kejadian El
Nino tersebut erat kaitannya dengan periode dan jumlah presipitasi. Selama
periode El Nino di Indonesia terjadi penurunan presipitasi di bawah rata-rata yang
menyebabkan curah hujan menurun dan hal ini mempengaruhi jumlah sebaran
hotspot (Putra et al. 2008). Fenomena El Nino ini memiliki peranan yang penting terhadap jumlah hotspot dan kerentanan kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Barat. Hal tersebut dibuktikan dengan kejadian kebakaran hutan dan lahan yang
besar pada periode El Nino tahun 1997 dan 1998 di beberapa Provinsi di
Jumlah hotspot terkait dengan luas areal terbakar. Hal ini dapat mengindikasikan bahwa hotspot merupakan salah satu parameter yang dapat menunjukkan terjadinya kebakaran hutan dan lahan (Syaufina 2008). Luas areal
terbakar terbesar pada tahun 2000, 2005, dan 2009 terdapat pada semak belukar,
dimana kebakaran seluruhnya terjadi pada tanah mineral sebesar 20.163,9 ha
(2000), 96.181,18 ha (2005), 182.718,9 ha (2009). Tingginya luas areal terbakar
pada semak belukar dikarenakan bahan bakar semak belukar yang potensial
dengan adanya serasah dan tumbuhan bawah yang kering sehingga lebih
meningkatkan resiko kebakaran hutan dan lahan (Adiningsih 2005 dalam Sukmawati 2006). Selain itu, luas areal semak belukar yang besar dan dengan
bahan bakar yang relatif seragam juga meningkatkan resiko kebakaran hutan dan
lahan yang lebih besar dan tidak terkendali.
Perkebunan kelapa sawit juga memiliki luas areal terbakar yang besar pada
tahun 2000 sebesar 3.226,41 ha, 4.533,37 ha (2005), dan 80.176,70 ha (2009).
Peningkatan luas areal terbakar di perkebunan kelapa sawit berbanding lurus
dengan peningkatan luas areal perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Barat,
sehingga diduga kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di perkebunan kelapa
sawit berkaitan dengan penyiapan lahan dengan cara pembakaran. Luas areal
terbakar pada tipe tutupan lahan berupa hutan tahun 2000 di Kalimantan Barat
memperlihatkan presentase rata-rata luas areal terbakar di bawah 3%, dimana nilai
ini lebih rendah dibandingkan persentase rata-rata luas areal terbakar hutan pada
tahun 2005 dan 2009 sebesar 6%. Hal ini memperlihatkan bahwa gangguan
kebakaran hutan semakin meningkat seiring dengan perubahan tutupan lahan di
Provinsi Kalimantan Barat. Perubahan tutupan lahan yang terjadi di Kalimantan
Barat diiringi dengan peningkatan jumlah hotspot pada masing-masing tipe tutupan lahan tersebut.
Sama halnya dengan jumlah hotspot pada tanah gambut yang semakin meningkat pada tahun 2000, 2005, dan 2009, luas kebakaran hutan dan lahan
pada tanah gambut (peat) juga mengalami peningkatan dari semula hanya 3091,75 ha (2000), kemudian meningkat menjadi 34.270,29 ha (2005) dan 94.042,03 ha
(2009). Tipe tutupan lahan yang paling luas terbakar pada tanah gambut pada
tahun 2005 terdapat pada hutan gambut primer (16.602,61 ha) dan tahun 2009
terdapat pada perkebunan kelapa sawit (24.526,24 ha). Tingginya luas areal
terbakar pada tanah gambut lebih mengarah pada tipe tutupan lahan yang
memiliki kaitan dengan intervensi manusia. Hal tersebut menunjukkan bahwa
masyarakat mulai beralih untuk memanfaatkan tipe tanah gambut untuk kegiatan
pertaniannya, dimana sebagian masyarakat mengambil cara yang praktis untuk
kegiatan pembukaan areal pertanian, yaitu dengan cara pembakaran. Hal tersebut
didorong oleh sebagian masyarakat yang kurang memahami karakteristik serta
sifat dari tanah gambut (Syaifullah dan Sodikin 2003 dalam Heryalianto 2006). Selain itu, pembakaran di lahan gambut juga dianggap sebagai salah satu cara
yang praktis untuk mengubah lahan gambut yang masam dan tidak cocok untuk
pertanian (Agus et al. 2011).
Kebakaran hutan dan lahan tidak hanya berdampak pada semakin
menurunnya luasan hutan di Indonesia, tetapi juga meningkatkan emisi dan gas
rumah kaca di atmosfer. Menurut Seiler dan Crutzhen (1980) emisi yang
dihasilkan oleh kebakaran hutan dan lahan dapat ditaksir melalui luasan areal
yang terbakar (burned areal). Emisi karbon terbesar yang dihasilkan akibat kebakaran hutan dan lahan tahun 2000, 2005, dan 2009 dihasilkan oleh semak
belukar sebesar 181.475,07 ton (2000), 865.630,66 ton (2005), dan 1.644.470,44
ton (2009). Kebakaran hutan dan lahan pada semak belukar seluruhnya terjadi
pada tipe tanah mineral.
Kebakaran hutan dan lahan pada semak belukar juga menghasilkan emisi
karbondioksida terbesar pada tahun 2000, 2005, dan 2009 sebesar 163.327,57 ton
(2000), 779.067,59 ton (2005), dan 1.480.023,40 ton (2009). Tingginya emisi
karbondioksida yang dihasilkan akibat kebakaran hutan dan lahan disebabkan
karena sebagian besar unsur karbon yang teremisikan ke udara adalah dalam
bentuk CO2, sisanya berbentuk CO, hidrokarbon terutama CH4, dan asap (Hao et
al. 1990). Emisi CO2 yang dihasilkan oleh hutan sekunder pada tahun 2000 sebesar 22.945,72 ton, sedangkan emisi CO2 yang dihasilkan oleh hutan primer
pada tahun 2005 dan 2009 sebesar 241.501,65 ton (2005) dan 563.257,10 ton
(2009), dimana seluruh kebakaran terjadi pada tanah mineral. Nilai emisi
dibandingkan emisi CO2 yang dihasilkan oleh semak belukar pada tahun 2000,
2005, dan 2009.
Emisi CO2 terbesar akibat kebakaran hutan di tanah gambut pada tahun
2000, 2005, dan 2009 terdapat pada hutan rawa primer, yaitu sebesar 2.342,89 ton
(2000), 73.217,51 ton (2005), dan 91.163,10 ton (2009). Selain hutan rawa
primer, emisi CO2 akibat kebakaran hutan dan lahan di tanah gambut juga
dihasilkan oleh perkebunan kelapa sawit sebesar 2.280,33 ton (2000) dan
mengalami peningkatan pada tahun 2009 menjadi 77.257,66 ton. Emisi CO2
terbesar yang dihasilkan akibat kebakaran hutan dan lahan pada perubahan
tutupan lahan pada tahun 2000-2009 banyak dihasilkan oleh perubahan tutupan
lahan semak belukar, tegalan, hutan primer, hutan rawa primer, dna hutan rawa
sekunder menjadi perkebunan kelapa sawit (Lampiran 1 dan 2).
Emisi CO2 total di tanah gambut dan tanah mineral yang dihasilkan dari
kebakaran hutan dan lahan pada tahun 2000, 2005, dan 2009 masing-masing
sebesar 275.610,65 ton, 1.611.364,13 ton, dan 3.786.220,58 ton. Nilai emisi CO2
tersebut cenderung mengalami peningkatan dan hal tersebut berbanding lurus
dengan kejadian kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Barat dan perubahan
tutupan lahannya. Emisi CO2 yang diperoleh lebih besar dibandingkan nilai
rata-rata emisi CO2 yang dihasilkan akibat kebakaran hutan dan lahan tahun
2000-2008 di Kalimantan Barat menurut LAPAN (2010) yang mencapai 13.058,82
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
1. Luas areal terbakar terbesar di Kalimantan Barat terdapat pada semak
belukar sebesar 20.163,90 ha (2000), 96.181,18 ha (2005), dan 182.718,9
ha (2009).
2. Emisi karbondioksida (CO2) terbesar akibat kebakaran hutan dan lahan di
tanah mineral terdapat pada semak belukar sebesar 163.327,57 ton (2000),
779.067,59 ton (2005), dan 1.480.023,40 ton (2009) sedangkan emisi CO2
terbesar akibat kebakaran hutan dan lahan di tanah gambut dihasilkan oleh
hutan rawa primer sebesar 2.342,89 ton (2000), 73.217,51 ton (2005), dan
91.163,10 ton (2009).
3. Emisi CO2 terbesar akibat perubahan tutupan lahan tahun 2000-2005
terdapat pada perubahan semak belukar rawa menjadi tegalan sebesar
33.684,75 ton pada tanah gambut. Perubahan tutupan lahan pada tahun
2005-2009 yang menghasilkan emisi CO2 terbesar terdapat pada
perubahan hutan rawa primer menjadi perkebunan kelapa sawit yang
menghasilkan emisi CO2 sebesar 249.209,70 ton pada tanah gambut.
6.2 Saran
Perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai pendugaan emisi gas
rumah kaca (CO2) yang dihasilkan akibat kebakaran hutan dan lahan di
berbagai tipe tutupan lahan berdasarkan kedalaman gambut di Kalimantan
DAFTAR PUSTAKA
Agus F, Hairiah K, Mulyani A. 2011. Petunjuk Teknis Pengukuran Cadangan Karbon Tanah Gambut. Bogor: World Agroforestry Centre.
Arsyad S. 1989. Konservasi Tanah dan Air. Bogor: IPB Pr.
Bonnieux F, Goffe L, Vermesch D. 1997. Valuing the benefit of landscape restoration: a case study of the Cotentin in Lower-Normandy, France. Journal of Environmental Management 50:321-333.
Booyanuphap J. 2001. GIS based-method in developing wildlife risk model: a case study in Sasamba, East Kalimantan, Indonesia [tesis]. Bogor: Graduated Program, Bogor Agricultural University.
Brown A, Davis K. 1973. Forest Fire Control and Use. Toronto: McGraw Hill. Inc.
Budiwati T, Setyawati W, Cahyono W, Ambarsari N, Indrawati A. 2010. Penentuan Kenaikan Tingkat Keasaman Air Hujan sebagai Dampak Kebakaran Hutan di Kalimantan Barat. Bandung: Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN).
Chandler C, Cheney, Thomas P, Trabaud L, Williams D. 1983. Fire in Forestry Vol. I. Canada: John Wiley and Sons.
Clar C, Chatten L. 1954. Principle of Forest Fire Management. California: Departement of Nature Resources Division of Forestry.
Davis K. 1959. Forest Fire Control and Use. New York: McGraw Hill Book Company. Inc.
Darwo. 2009. Perilaku api dan sebab akibat kebakaran hutan. [terhubung berkala] http://www.p3hka.org/pdf/394_Karo.pdf. [10 Mei 2012].
Dinas Perkebunan Kalimantan Barat. 2011. Perkembangan komoditi kelapa sawit Kalimantan Barat. [terhubung berkala] http://disbun-kalbar.go.id /Disbun/index.php/statistik/menu-perkembangan-komoditi-perkebunan/669-perkembangan-komoditi-kelapa-sawit-kalimantan-barat [9 Juni 2012].
Ekadinata A, Dewi S. 2011. Memahami Keragaman Sistem Penggunaan Lahan dan Pengaruhnya Terhadap Penghitungan Opportunity Cost. Bogor: World Agroforestry Centre.
Hartanto. 2006. Land use dan land cover. [terhubung berkala] http://hartanto.wordpress.com/2006/08/14/land-use-dan-land-cover/ [17 Juni 2012].
Heryalianto S. 2006. Studi tentang sebaran titik panas (hotspot) sebagai penduga kebakaran hutan dan lahan di Propinsi Kalimantan Barat Tahun 2003 dan Tahun 2004 [skripsi]. Bogor: Program Studi Budi Daya Hutan, Institut Pertanian Bogor.
Kementerian Kehutanan. 2012. Tabel luas kebakaran hutan menurut propinsi selama lima tahun terakhir. [terhubung berkala] http:// www.dephut.go.id/ statistik/Stat2002/PHKA/Iii4602.pdf. [21Juni 2012]
Kusuma W. 2011. Studi kontribusi kegiatan transportasi terhadap emisi karbon di Surabaya Bagian Barat [skripsi]. Surabaya: Jurusan Teknik Lingkungan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya.
Lobert J, Wartnaz. 1993. Emission from Combustion Process in Vegetation. Di dalam: Crutzen P, Goldammer J, editor. Fire in the Environmental: The Ecological, Atmospheric, and Climatic Importance of Vegetation. New York: John Willey and sons. hlm. 15-35.
NASA [Nation Aeronautics and Space Administration]. 2002. Design concept : moderate resolution imaging spectraoradiometer. [terhubung berkala] http : http://modis.gsfc.nasa.gov/about/. [29 Januari 2012]
Pratondo B, Saharjo B, Kardono P. 2006. Aplikasi infrastruktur data spasial nasional (IDSN) untuk pengendalian kebakaran hutan dan lahan. Jurnal Ilmiah Geomatika 12(2):70-71.
Putra E, Hayasaka H, Takahashi H, Usup A. 2008. Recent peat fire activity in the mega rice project areal, Central Kalimantan, Indonesia. Journal of Disaster Research 3(5):3-5.
Seiler W, Crutzen P. 1980. Estimates of gross an net fluxes of carbon between the biosphere and the atmosphere from biomass burning. Climate Change 2:207-247.
Septocorini E. 2006. Studi penentuan tingkat kerawanan kebakaran hutan di Kabupaten Ogan Komering Ilir Propinsi Sumatera Selatan [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Suratmo F, Husaeni E, Jaya N. 2003. Pengendalian Kebakaran Hutan. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Syaufina L. 2008. Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia. Malang: Bayumedia Publishing.
Tacconi L. 2003. Kebakaran hutan di Indonesia: penyebab, biaya, dan implikasi kebijakan. CIFOR Occasional Paper 38(1):14.