KEJADIAN PENYAKIT INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT
(ISPA) DI PROVINSI KALIMANTAN TIMUR OLEH PENGARUH
JUMLAH TITIK PANAS (HOTSPOT) DAN CURAH HUJAN
LUTHFI AZIZ
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ABSTRAK
LUTHFI AZIZ
.
Kejadian Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) di
Provinsi Kalimantan Timur oleh Pengaruh Jumlah Titik Panas (
Hotspot
) dan
Curah Hujan. Dibimbing oleh
Dr RINI HIDAYANTI MS
dan
Ir. BREGAS
BUDIANTO, Ass Dpl.
Kebakaran hutan dapat mengakibatkan kejadian penyakit ISPA. ISPA
adalah penyakit pernapasan yang disebabkan oleh pencemaran udara dan infeksi
bakteri. Penelitian ini bertujuan untuk menduga pengaruh indikator kebakaran
hutan yaitu titik panas (
Hotspot
) dan curah hujan dengan kejadian penyakit Infeksi
Saluran Pernapasan Akut (ISPA) di Provinsi Kalimantan Timur. Metode yang
digunakan yaitu analisis hubungan keeratan antara variabel
hotspot
dan curah
hujan dengan ISPA. Penyakit ISPA ini dapat ditemukan dalam kondisi kebakaran
hutan atau tanpa kebakaran hutan. Ketika
hotspot
kurang dari 58 titik
pengaruhnya terhadap ISPA tidak terlihat jelas. Namun jika jumlah
hotspot
lebih
dari 58 titik, pengaruh
hotspot
lebih terlihat jelas, dimana semakin meningkat
hotspot
penderita ISPA meningkat pula. Secara umum,
hotspot
tinggi saat anomali
curah hujan negatif pada bulan-bulan sekitar Agustus sampai Oktober. Pada
bulan-bulan ini pula pengaruh
hotspot
sangat kuat terhadap peningkatan ISPA
dimana koefisien determinasinya 80% untuk ISPA Pneumonia dan 52% untuk
ISPA Non Pneumonia.
ABSTRACT
LUTHFI AZIZ
. Incidence of Acute Respiratory Infections (ARI) Disease in the
Province of East Kalimantan by Influences Hotspot and Rainfall. Supervised by
Dr RINI HIDAYANTI MS
and
Ir. BREGAS BUDIANTO, Ass Dpl.
Forest fires can be related to the disease of ARI/ISPA. ARI is a respiratory
disease caused by air pollution and bacterial infections. This study aimed to
measure the strength forest fire (hotspot) and rainfall to the incidence of Acute
Respiratory Infection (ARI) disease in the province of East Kalimantan. The
method used is the analysis of the relationships between hotspot and rainfall
variables with ARI. The disease found easier in the condition with or without
forest fire. When the hotspot is less than 58 points influence on ARI are not
clearly noticed. However, if the points of hotspots is more than 58, influence
hotspot more clearly noticed, ie the rise hotspot increases the disease of ARI. In
general, more hotspots occurred while negative of rainfall anomalies in the
months around August to October, also the months the strong influence, on
increasing hotspot ARI 80% for ARI Pneumonia and 52% for ARI Non
Pneumonia.
KEJADIAN PENYAKIT INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT
(ISPA) DI PROVINSI KALIMANTAN TIMUR OLEH PENGARUH
JUMLAH TITIK PANAS (HOTSPOT) DAN CURAH HUJAN
LUTHFI AZIZ
G24062884
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains
pada
Departemen Geofisika dan Meteorologi
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Skripsi : Kejadian Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) di
Provinsi Kalimantan Timur oleh Pengaruh Jumlah Titik Panas
(
Hotspot
) dan Curah Hujan
Nama
: Luthfi Aziz
NIM
: G24062884
Menyetujui
Pembimbing I ,
Pembimbing II,
(Dr. Ir. Rini Hidayati, MS)
(Ir. Bregas Budianto, Ass Dpl)
NIP : 19600305 198703 2 002
NIP : 19640308 199403 1 002
Mengetahui :
Ketua Departemen,
(Dr. Ir. Rini Hidayati, MS.)
NIP : 19600305 198703 2 002
PRAKATA
Syukur Alhamdulillah segala puji bagi Allah swt yang telah melimpahkan
segala nikmat dan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian
ini dengan baik. Penelitian yang berjudul
“
Kejadian Penyakit Infeksi Saluran
Pernapasan Akut (ISPA) di Provinsi Kalimantan Timur oleh Pengaruh
Jumlah Titik Panas (
Hotspot
) dan Curah Hujan
“
dilakukan di Laboratorium
Klimatologi, Departemen Geofisika dan Meteorologi Institut Pertanian Bogor
mulai dari Agustus 2011 sampai Maret 2012. Pada kesempatan ini penulis ingin
mengucapkan terima kasih kepada :
1.Bapak (Almarhum) Ismunir Arief dan Ibu Nurul Hidayah sebagai orangtua
yang telah mencurahkan segala daya, upaya, serta kasih sayang yang besar
terhadap penulis.
2.Ferdian Saifullah dan Ferdian Assadullah selaku kakak kembarku yang
turut menyokong dalam hal material atau immaterial kepada penulis. Tak
lupa juga terima kasih kepada keponakanku tercinta Yahya Abdullathif
Sathi Ayyasy dan Samil Basayef
atas keceriaan yang ditularkan kepada
penulis.
3.Ibu Dr. Ir. Rini Hidayati, MS dan bapak Ir Bregas Budianto, Ass Dpl
sebagai pembimbing skripsi yang telah memberikan arahan, bimbingan,
dukungan, serta semangat kepada penulis.
4.Bapak Fahmi dari Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Timur yang telah
memberi bantuan data ISPA.
5.Seluruh teman-teman GFM angkatan 43 terutama teman-teman yang
berada di laboratorium klimatologi (Yuli, Rika, Daniel, Isa, Uji, dan
Anang, Tia, Dipa, Devi) atas keceriaan dan bantuannya selama penulis
mengerjakan penelitiannya.
6.Seluruh kakak dan adik kelasku, terima kasih atas semangatnya dan
senang bisa mengenal kalian semua.
7.Teman-teman Asrama Bulungan Sempaja Samarinda (Didik, Arief) yang
telah memberi tumpangan tempat tinggal selama penulis berada di
Samarinda.
8.Temam-teman kostanku yang selama ini kita selalu bersama (Dian, Des,
Arif, Agung, Hari).
9.Seluruh pihak yang telah banyak membantuk penyelesaian penulisan
skripsi ini yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.
Semoga hasil dari penelitian yan telah penulis lakukan menjadi hal yang
dapat bermanfaat bagi masyarakat luas. Oleh karena itu, seluruh bantuan dan
dukungan yang telah diberikan tidaklah menjadi hal yang sia-sia. Amin.
Bogor, April 2013
RIWAYAT HIDUP
Penulis merupakan buah hati ketiga dari tiga bersaudara yang terlahir dari
pasangan Bapak (Almarhum) Ismunir Arief dan Ibu Nurul Hidayah. Penulis
dilahirkan di Semabakung saat ini berada di kabupaten Nunukan pada tanggal 7
Nopember tahun 1988. Pendidikan formal penulis dimulai sekolah dasar SDN
003 Tidung Pale sampai kelas 3 SD kemudian pindah ke SDN 001 Tanjung Selor
dan lulus pada tahun 2000. Selanjutnya penulis melanjutkan ke SLTPN 1 Tanjung
Selor, lulus pada tahun 2003. Setelah menjalani pendidikan lanjutan, penulis tetap
melanjutkan pendidikan formalnya ke jenjang pendidikan menengah atas di
SMAN 1 Tanjung Selor dari tahun 2003 hingga tahun 2006. Syukur
Alhamdulillah setelah lulus pada tahun 2006, penulis dapat melanjutkan
pendidikannya ke tingkat perguruan tinggi dan diterima di Institut Pertanian
Bogor (IPB) melalui Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).
Setelah menjalani Tingkat Persiapan Bersama (TPB) yang merupakan
program pendidikan tahun pertama di IPB, penulis diterima pada program studi
Meteorologi Terapan. Program studi ini dinaungi oleh departemen Geofisika dan
Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Tak hanya
melakukan kewajibannya menjalani kegiatan akademik, penulis pernah menjadi
anggota Himpunan Profesi HIMAGRETO masa jabatan 2008/2009.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL
...
v
DAFTAR GAMBAR
...
v
DAFTAR LAMPIRAN
... v
BAB I PENDAHULUAN
... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Tujuan ... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
... 1
2.1 Pengaruh Cuaca dan Iklim Terhadap Kesehatan Manusia ... 1
2.2 Kebakaran Lahan dan Hutan ... 2
2.3 Penyebab Kebakaran Hutan ... 2
2.4 Dampak Kebakaran Hutan ... 3
2.5 Titik Panas (
Hotspot
) ... 4
2.6 ISPA ... 4
2.6.1 Pengertian ISPA ...
4
2.6.2 Tanda dan Gejala...
5
2.6.3 Etiologi ...
5
2.6.4 Klasifikasi ISPA ...
5
BAB III METODE PENELITIAN
... 5
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 5
3.2 Alat dan Data Penelitian ... 5
3.2.1 Alat yang digunakan ...
5
3.2.2 Data yang digunakan ...
6
3.3 Metode Penelitian ... 6
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
... 7
4.1 Kondisi Umum Wilayah Kajian ... 7
4.2 Pola Curah Hujan Kalimantan Timur ...
7
4.3 Sebaran
Hotspot
...
8
4.4 Rasio Jumlah Penderita ISPA dengan Jumlah Penduduk ... 10
4.5 Rasio Jumlah Penderita ISPA dengan Luas Wilayah ... 10
4.6 Hubungan
Hotspot
dan Curah Hujan dengan Penderita ISPA ... 10
4.6.1 Hubungan
Hotspot
dengan Pertambahan Penderita ISPA ... 11
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
... 14
5.1 Kesimpulan ... 14
5.2 Saran ... 14
DAFTAR PUSTAKA
... 14
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1 Stasiun Meteorologi di Kalimantan Timur ... 6
Tabel 2 Data
Hotspot
Tingkat Kabupaten/Kota Provinsi Kalimantan Timur . 8
Tabel 3 Data
Hotspot
Perbulan Provinsi Kalimantan Timur ... 8
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1 Segitiga Api ... 2
Gambar 2 Peta Stasiun Cuaca Provinsi Kalimantan Timur ... 6
Gambar 3
Mekanisme hubungan
Hotspot
dan Curah Hujan dengan
penyakit ISPA ... 6
Gambar 3
Peta Administrasi Provinsi Kalimantan Timur ... 7
Gambar 5
Pola Curah Hujan Indonesia ... 7
Gambar 6 Peta Sebaran Titik Panas (
Hotspot
) Kalimantan Timur
2007-2009 ... 9
Gambar 7 Grafik Hubungan
Hotspot
dengan Pneumonia*
... 11
Gambar 8 Grafik Hubungan
Hotspot
dengan Non Pneumonia*
... 11
Gambar 9
Plot Jumlah
Hotspot
dengan Anomali Curah Hujan ... 12
Gambar 10 Grafik Hubungan
Hotspot
dengan Pneumonia dan
Non Pneumonia ... 12
Gambar 11 Grafik Hubungan
Hotspot
(HS>0) dengan Pneumonia ... 13
Gambar 12
Grafik Hubungan
Hotspot
(0<HS<58) dengan Pneumonia ... 13
Gambar 13
Grafik Hubungan
Hotspot
(
HS ≥ 58) dengan
Pneumonia ... 13
Gambar 14 Grafik Hubungan
Hotspot
(HS>0) dengan Non Pneumonia ... 13
Gambar 15
Grafik Hubungan
Hotspot
(0<HS<58) dengan Non Pneumonia .. 13
Gambar 16
Grafik Hubungan
Hotspot
(
HS ≥ 58) dengan
Non Pneumonia .... 13
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1
Jumlah Penderita ISPA Per Jumlah Penduduk ... 16
Lampiran 2
Jumlah Penderita ISPA Per Jumlah Penduduk ... 17
1
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Salah satu pengaruh penting dari iklim yang merugikan terhadap kesehatan manusia adalah penaruhnya terhadap kejadian suatu penyakit. Ada dua pengaruh iklim yang berkaitan dengan penyakit, yaitu hubungan faktor iklim terhadap organisme yang
menyebabkan penyakit atau
penyebar/perantara yang menyebabkan penyakit dan pengaruh cuaca dan iklim terhadap ketahanan tubuh manusia.
Banyak penyakit yang berkaitan dengan iklim atau musim tertentu, terutama dengan curah hujan, suhu dan kelembaban. Sejumlah parasit yang dapat menginfeksi manusia terbatas pada daerah tropis dan subtropis yang panas dan lembab. Penyakit-penyakit seperti radang paru-paru dan influenza merupakan penyakit musiman atau dengan kata lain penyakit yang mengikuti pola musiman berbeda.
Akibat kebakaran hutan meliputi banyak hal, antara lain terhadap sosial, budaya dan ekonomi, juga terhadap ekologis dan kerusakan lingkungan serta dampak terhadap hubungan antar negara dan dampak terhadap perhubungan dan pariwisata. Dampak utama kebakaran hutan dan lahan adalah asap yang mempengaruhi jarak pandang dan kualitas udara. Akibat pengaruh iklim global (El Nino) dan iklim lokal (rendahnya kecepatan angin permukaan), asap bertahan cukup lama di atmosfer bagian bawah. Hal ini berdampak serius pada kesehatan manusia serta flora dan fauna.
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting karena menyebabkan kematian bayi dan balita yang cukup tinggi yaitu kira-kira 1 dari 4 kematian yang terjadi. Tingginya penderita penyakit ISPA mengindikasikan buruknya kualitas udara. Buruknya kualitas udara ini salah satunya terjadi karena kebakaran hutan dan lahan. Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa kebakaran hutan mempunyai dampak kesehatan, khususnya peningkatan penderita penyakit ISPA.
1.2 Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk menduga pengaruh hotspot dan curah hujan dalam bidang kesehatan, khususnya kejadian penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) di Provinsi Kalimantan Timur.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengaruh Cuaca dan Iklim Terhadap Kesehatan Manusia
Faktor iklim suatu daerah dapat menentukan distribusi dari spesies, sedangkan faktor cuaca dapat mempengaruhi sifat munculnya penyakit.
Memprediksi kapan kejadian suatu penyakit akan merebak biasanya digunakan indikator interaksi suhu dan kelembaban. Pengaruh iklim terhadap kesehatan dapat terjadi melalui berbagai cara. Salah satu pengaruh tidak langsung dan bersifat sekunder dari turun naiknya suhu adalah meningkatnya insidensi penyakit menular melalui vektor serta terganggunya panen pangan akibat terserang hama, sedangkan efek tersier berupa dampak sosioekonomi dari penduduk yang mengungsi akibat lingkungan atau tempat tinggalnya tidak layak huni atau konflik antar penduduk untuk memperoleh pasokan air bersih (Masjhur dan Alisjahbana, 1998).
2
Salah satu pengaruh penting dari iklim yang merugikan kesehatan manusia adalah penaruhnya terhadap kejadian suatu penyakit. Ada dua pengaruh iklim yang berkaitan dengan penyakit, yaitu hubungan faktor iklim terhadap organisme yang
menyebabkan penyakit atau
penyebar/perantara yang menyebabkan penyakit dan pengaruh cuaca dan iklim terhadap ketahanan tubuh manusia (EPA, 2000).
Iklim atau musim tertentu mempengaruhi kejadian penyakit, terutama dengan suhu dan kelembaban. Sejumlah parasit yang dapat menginfeksi manusia terbatas pada daerah tropis dan subtropis yang panas dan lembab. Penyakit-penyakit seperti radang paru-paru dan influenza merupakan penyakit musiman atau dapat dikatakan penyakit ini mengikuti pola musiman berbeda. Penyakit ini umumnya sering terjadi pada suhu udara yang dingin, disebabkan oleh lemahnya daya tahan pada sistem pernapasan bagian atas (EPA, 2000).
2.2 Kebakaran Lahan dan Hutan
Menurut Notohadinegoro (1997) pengertian pembakaran ialah kesengajaan membakar sesuatu dengan maksud dan tujuan tertentu sedangkan kebakaran ialah terbakarnya sesuatu yang menimbulkan bahaya atau bencana. Kebakaran dapat terjadi karena tidak terkendalinya pembakaran, karena proses yang spontan dan alami, atau karena kelalaian manusia. Sumber api alami biasanya karena kilat yang menyambar pohon atau bangunan, letusan gunung api yang menebarkan bongkahan bara api.
Gambar 1. Segitiga Api. (clubrescue.blogspot.com)
Definisi kebakaran secara umum dapat dijelaskan dengan gambar segitiga api, kejadian yang bermula dari proses reaksi dari oksigen dengan unsur-unsur lain berupa bahan bakar dan ditandai dengan panas dan cahaya. Kebakaran lahan dan hutan merupakan kejadian di alam terbuka sehingga dapat leluasa menjalar dan menghabiskan bahan bakar hutan seperti serasah, rumput-rumputan, tumbuhan bawah, semak dan pepohonan (Davis, 1959).
2.3 Penyebab Kebakaran Hutan
Berdasarkan lokasi biomassa dan perilaku api, Ebert 1988 mengelompokkan kebakaran hutan kedalam 4 (empat) tipe, yaitu: Ground Fire, Surface Fire, Crown Fire, Mass Fire, yang masing-masing mempunyai skala dampak yang berbeda.
Risiko terkena dampak EL-NINO dan La-Nina bisa terjadi disuatu negara, salah satunya adalah Indonesia. Dampak dari EL-NINO menimbulkan anomali iklim, antara lain musim panas yang berkepanjangan sehingga menimbulkan kekeringan, dan pada akhirnya kekeringan ini menjadi salah satu faktor pencetus kejadian kebakaran hutan. Menkes-RI, 2003 menyebutkan bahwa kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia merupakan kejadian yang berulang dalam beberapa tahun terakhir. Tercatat kebakaran hutan terbesar di Indonesia terjadi pada tahun 1997, sekitar 3,5 juta hektar hutan di Kalimantan habis terbakar kemudian terjadi lagi kebakaran besar tahun 1998.
Menurut Brown dan Davis, 1973 dalam Adrianita, 2002, faktor yang mendorong kemungkinan terjadinya kebakaran hutan adalah:
Bahan bakar
Bahan bakar adalah semua jenis vegetasi baik yang hidup maupun yang mati (serasah dan humus) serta gambut kering yang berpotensi untuk terbakar.
Komponen penting yang
3
yang mendominasi hutan dan juga musim. Sedangkan kadar air bahan bakar adalah jumlah kandungan air dalam bahan bakar yang dinyatakan dalam persentase berat air terhadap berat kotor bahan bakar yang dikeringkan pada suhu 100 °C.
Tanah
Tanah disini meliputi kadar air dalam tanah dan jenis tanahnya.
Cuaca
Meliputi angin, kelembaban relatif, curah hujan, intensitas radiasi dan suhu udara.
Topografi dan kelerengan
Topografi berpengaruh terhadap penjalaran api, dimana daerah yang tidak rata penyebaran kebakaran tidak teratur dan dapat menyulitkan pemadaman. Kelerengan tempat mempunyai pengaruh pada kecepatan penjalaran api, dimana kecepatan penjalaran api meningkat setiap kenaikan kelerengan sebesar 10°, sedangkan pada kelerengan 15°-30° dan setiap 10° setelahnya, kecepatan penjalaran api meningkat dua kali lipat.
2.4 Dampak Kebakaran Hutan
Dampak kebakaran hutan menyangkut berbagai aspek, baik fisik maupun non fisik, langsung maupun tidak langsung pada berbagai bidang maupun sektor, berskala lokal, nasional, regional, maupun global. Terhadap lingkungan, dampak kebakaran hutan secara umum sangat luas, antara lain kerusakan ekologi, menurunnya keanekaragaman sumber daya hayati dan ekosistemnya, serta penurunan kualitas udara. Pada aspek kesehatan dampak kebakaran hutan mempunyai pengaruh pada penurunan kualitas lingkungan hidup (kesuburan lahan, biodiversitas, pencemaran udara, dst.), emisi GRK yang selanjutnya menimbulkan permanasan global dan perubahan iklim.
Dampak yang ditimbulkan oleh kebakaran hutan menurut Syumanda (2003) ada 4 (empat) aspek yaitu:
1. Dampak Terhadap Sosial, Budaya dan Ekonomi
2. Dampak Terhadap Ekologis dan Kerusakan Lingkungan
3. Dampak Terhadap Hubungan Antar negara
4. Dampak terhadap Perhubungan dan Pariwisata
Hidayat et al (2003) mengatakan bahwa akibat yang ditimbulkan oleh kebakaran hutan dan lahan tidak hanya berskala lokal, melainkan berskala nasional dan bahkan berskala regional. Asap yang timbul dari kebakaran hutan dan lahan dapat mengganggu negara tetangga kita seperti Singapura dan Malaysia. Untuk itulah berbagai upaya baik pada tingkat nasional, regional maupun internasional sudah dilakukan guna menangatasi kebakaran hutan dan lahan.
Menteri Lingkunan Hidup (1998) menyatakan bahwa dampak utama kebakaran hutan dan lahan adalah asap yang mempengaruhi jarak pandang dan kualitas udara. Akibat pengaruh iklim global (El Nino) dan iklim lokal (rendahnya kecepatan angin permukaan), asap bertahan cukup lama di atmosfer bagian bawah. Ini berdampak serius pada kesehatan manusia serta flora dan fauna. Menteri Kesehatan RI, 2003 menyatakan bahwa kebakaran hutan menimbulkan polutan udara yang dapat menyebabkan penyakit dan membahayakan kesehatan manusia. Berbagai pencemar udara yang ditimbulkan akibat kebakaran hutan, misalnya : debu dengan ukuran partikel kecil (PM 10 & PM 2,5), gas SOx, NOx, COx, dan lain-lain dapat menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan manusia, antara lain infeksi saluran pernafasan, sesak nafas, iritasi kulit, iritasi mata, dan lain-lain. Selain itu juga dapat menimbulkan gangguan jarak pandang / penglihatan, sehingga dapat menganggu semua bentuk kegiatan di luar rumah.
Gumpalan asap yang pedas akibat kebakaran yang melanda Indonesia pada tahun 1997/1998 meliputi wilayah Sumatra dan Kalimantan, juga Singapura dan sebagian dari Malaysia dan Thailand. Sekitar 75 juta orang terkena gangguan kesehatan yang disebabkan oleh asap (Tacconi, 2003).
4
2.5 Titik Panas (Hotspot)
Teknologi pengindraan jauh dapat digunakan untuk melakukan pemantauan curah hujan dan kebakaran hutan. Teknologi ini mempunyai kemampuan resolusi temporal yang relatif cepat sehingga dapat memberikan informasi permukaan bumi secara terus menerus. Salah satu sensor satelit yang digunakan untuk monitoring permukaan bumi adalah Moderate Resolusution Imaging Spectroradiometer
(MODIS). MODIS merupakan sensor yang terdapat pada satelit Terra (EOS AM-1), yang diluncurkan pada 18 Desember 1999 dan Aqua (EOS PM-1) yang diluncurkan pada 4 Mei 2002. MODIS merekam permukaan bumi setiap hari dengan lebar cakupan wilayah 2330 km menggunakan 36 spektral band.
MODIS mempunyai sensor termal yang mampu menangkap energi panas dari gelombang elektromagnetik yang dipancarkan bumi, sehingga dapat digunakan untuk mendeteksi adanya titik panas (Hotspot) di areal kebakaran hutan dimana suhunya relatif panas dibandingkan dengan daerah yang tidak terbakar.
Titik panas atau yang lebih dikenal dengan hotspot adalah indikator kebakaran hutan yang mendeteksi suatu lokasi yang memiliki suhu relatif lebih tinggi dibandingkan dengan suhu disekitarnya. Hal ini sesuai dengan Permenhut No.12 Th 2009 tentang Pengendalian Kebakaran Hutan. Data hotspot ini perlu analisis ulang dengan pemantauan dan cek lapangan (ground truthing) untuk memutuskan apakah perlu dilakukan tindakan penanggunangan dini khususnya pada saat musim kemarau dimana penyebaran api sangat cepat (Adinugroho et al, 2005).
Suhu kobaran api pada kebakaran liar biasanya sekitar 1000°K (setara 727°C), namun karena satelit hanya mengukur area dengan luasan 1 km2 dan ada pula penyerapan atmosfer maka rata-rata suhu kebakaran yang terbaca satelit adalah sekitar 300°K sampai 500°K.
Metode yang digunakan dalam menentukan hotspot adalah menetapkan
batas nilai ambang (threshold value) suhu kecerahan tertentu pada matriks citra tersebut (Sukmawati, 2006). Biasanya
threshold value MODIS yang digunakan
sebagai ambang batas dalam
mengklasifikasikan Hotspot untuk kajian wilayah topis adalah 300 K (27oC) untuk malam hari dan 313 K (40 oC ) untuk siang hari (Artha et al, 2010).
2.6 ISPA
2.6.1 Pengertian ISPA
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah gejala penyakit dimana masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh manusia melalui saluran pernapasan dimulai dari hidung hingga alveolia beserta organ aneksanya seperti sinus-sinus, rongga telinga dan pleura dan berkembang biak.
Secara anatomis ISPA mencakup saluran pernapasan bagian atas, saluran pernapasan bagian bawah (temasuk jaringan paru-paru) dan organ aneksa saluran pernapasan. Dengan batasan ini maka jaringan paru termasuk dalam saluran pernapasan (respiratory tract).
Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari. Batas 14 hari ini diambil untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk beberapa penyakit yang dapat digolongkan ISPA proses ini dapat berlangsung lebih dari 14 hari (Depkes RI, 1998).
Pengertian ini dirumuskan untuk
penyamaan persepsi program
5
2.6.2 Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala penyakit infeksi saluran pernapasan dapat berupa :
Batuk
Kesulitan Bernapas
Sakit Tenggorokan
Pilek
Demam
Sakit telingga
Sebagian besar infeksi saluran pernapasan bersifat ringan seperti batuk pilek dan tidak memerlukan pengobatan antibiotik. Tetapi jika anak-anak menderita radang paru (Pneumonia) bila tidak diobati dengan antibiotik dapat mengakibatkan kematian (Depkes RI, 1993).
2.6.3 Etiologi
Etiologi penyakit ISPA merupakan oganisme yang terdiri lebih 300 jenis bakteri, virus dan riketsia. Bakteri penyebab ISPA antara lain adalah dari genus
Streptokokus, Stafiolokokus, Pnemikokus, Hemofillus, Bordetella dan
Korinebakterium. Virus penyebab ISPA antara lain adalah golongan Miksovirus, Adenovirus, Koronavirus, Pikomavirus, Mikoplasma, Herpesvirus dan lain-lain (Depkes RI, 1998).
2.6.4 Klasifikasi ISPA
Berdasarkan Daftar Tabulasi Dasar (DTD) yang disusun menurut International Clasification of Deseases (ICD), ISPA merupakan gabungan penggolongan anatomi dan etiologi, terdiri dari difteri, batuk rejan, radang tenggorok, camapak, tonsilitis akut, laringitis, trakeitis akut, bronkitis, Pneumonia dan influenza (Depkes RI, 1988).
Dengan dikeluarkannya Surat keputusan Dirjen PPM-PLP No.303-I/BU.01.05.01ML Tanggal 15 Mei 1992 Departemen Kesehatan membagi ISPA menjadi tiga kriteria yaitu: pnemonia berat, pnemonia dan bukan pnemonia.
Penentuan klasifikasi penyakit ISPA dibedakan atas dua kelompok umur, yaitu :
1. Kelompok umur 2 bulan sampai < 5 tahun klasifikasinya; Pneumonia berat, Pneumonia dan bukan Pneumonia
2. Kelompok umur < 2 bulan klasifikasinya dibagi; Pneumonia berat dan bukan Pneumonia
Klasifikasi bukan Pneumonia mencangkup kelompok balita dengan batuk yang tidak menunjukan peningkatan frekuensi napas dan tidak menunjukkan adanya penarikan dinding dada ke dalam. Dengan demikian klasifikasi bukan Pneumonia mencakup penyakit ISPA lain diluar Pneumonia seperti; batuk pilek biasa (common cold), pharyngitis, tonsilitis, otitis.
Pola tata laksana ISPA yang diterapkan saat ini dimaksudkan untuk tata laksana penderita Pneumonia berat, Pneumonia dan bukan Pneumonia. Dengan demikaian berarti penyakit yang penanggulangannya dicakup oleh program penanggulangan ISPA adalah Pneumonia berat, pneomonia, dan batuk pilek biasa. Sedangkan penyakit ISPA lain seperti pharyngitis, tonsililitis dan otitis
belum dicakup oleh program
penanggulangan ISPA.
III. METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Januari 2011 hingga Desember 2011. Tempat penelitian ini adalah Laboratorium Klimatologi, Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, kampus IPB Darmaga.
3.2 Alat dan Data Penelitian 3.2.1 Alat yang digunakan
Seperangkat Komputer
Software Ms. Excel dan Ms. Word 2007
Software Minitab 15
6
3.2.2 Data yang digunakan
Data Hotspot MODIS Kalimantan Timur Tahun 2007-2009 (Sumber: Lapan)
Data curah hujan bulanan Stasiun Meteorologi Nunukan, Stasiun Meteorologi Bandara Temindung Samarinda, Stasiun Meteorologi Bandara Sepinggan Balikpapan, Stasiun Meteorologi Bandara Juwata Tarakan, Stasiun Meteorologi Bandara Tanjung Harapan Tanjung Selor, dan Stasiun Meteorologi Bandara Kalimarau Tanjung Redep Tahun 2007-2009 (Sumber: Kaltim Dalam Angka 2007-2009, BMKG)
Tabel 1. Stasiun Meteorologi di Kalimantan Timur
Data ISPA bulanan Kalimantan Timur Tahun 2007-2009 (Sumber: Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Timur)
Gambar 2. Peta Stasiun Cuaca Provinsi Kalimantan Timur
3.3 Metode Penelitian
Data hotspot yang digunakan adalah data hasil olahan Lapan dari data hotspot
MODIS NASA. Data ini masih berupa data
hotspot untuk seluruh Indonesia dari tahun 2007 hingga 2009 dengan resolusi data
harian. Data kemudian di tumpang tindihkan (overlay) dengan peta administrasi Provinsi Kalimantan Timur menggunakan perangkat lunak Arc-View sehingga hanya diperoleh data hotspot untuk wilayah Kalimantan Timur Saja. Kemudian kembali dilakukan proses overlay dengan batas kabupaten/kota, sehingga diperoleh data sebaran hotspot
untuk wilayah kabupaten/kota.
Data tersebut diseleksi dengan kepercayaan (Confidence) diatas 50 %, hal ini berguna untuk meyakinkan bahwa citra yang ditangkap satelit modis merupakan citra titik panas atau hotspot. Kemudian menseleksi tingkat kecerahan suhu (Temperature Brightness) untuk siang dan malam hari, dimana syarat titik yang diduga
hotspot mempunya nilai TB > 300 K (27oC) untuk malam hari dan TB > 313 K (40 oC ) untuk siang hari.
Gambar 3. Mekanisme hubungan Hotspot
dan Curah Hujan dengan penyakit ISPA
Skema pada Gambar 3 menjelaskan hubungan antara kebakaran hutan dan curah hujan dengan kejadian ISPA di Provinsi Kalimantan Timur.
Bentuk hubungan antara dua variabel dapat digunakan analisis koreksi linear yang bertujuan untuk memperkirakan pengaruh suatu variabel terhadap variabel lainnya. Dalam penelitian ini akan diprediksi peningkatan kejadian ISPA dengan peningkatan jumlah hotspot, curah hujan.
Nama Stasiun Lintang Bujur Ketinggian (mdpl)
Samarinda -0,62 117,15 230
Tarakan 3,33 117,57 6
Tj. Redep 2,12 117,45 26
Tj. Selor 2,85 117,33 50
Balikpapan -1,27 116,90 3
Nunukan 4,13 117,67 5
Pencemaran Udara akibat partikel gas polutan Kebakaran Hutan
dan Lahan
Titik Api (Hotspot)
Anomali Curah Hujan
7
Analisis keeratan hubungan antara
hotspot dan curah hujan dengan ISPA digunakan persamaan garis dengan regresi linear yang dituliskan dalam bentuk :
Y = a + bX
Y = variabel dependen X = variabel independen
a = intersep, perkiraan besarnya rata-rata variabel Y ketika variabel X=0
b = kemiringan/gradien, perkiraan besarnya perubahan nilai variabel Y bila nilai variabel X berubah satu unit pengukuran.
Ukuran yang terpenting dalam analisis regresi adalah koefisien determinasi (R2), dimana nilai tersebut berguna untuk mengetahui seberapa besar variabel dependen (Y) dapat dijelaskan oleh variabel independen (X) atau seberapa jauh variabel independen dapat memprediksi variabel dependen. Besarnya nilai R2 antara 0 - 1 atau 0% sampai dengan 100%.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Kondisi Umum Wilayah Kajian
Provinsi Kalimantan Timur mempunyai luas wilayah daratan 198.400 km2 dan luas lautan 10.200 km2. Terletak diantara 113o44’ Bujur Timur sampai 119o00’ Bujur Timur serta diantara 4o24’ Lintang Utara sampai 2o25’ Lintang Selatan. Panjang pantai provinsi Kalimantan Timur 1.185 km terbentang dari selatan di Kabupaten Pasir sampai Utara di Kabupaten Nunukan.
Seiring dengan pemekaran wilayah, saat ini provinsi Kalimantan Timur terdiri 10 kabupaten, 4 kota, 136 kecamatan dan 1.445 desa/kelurahan. Sepuluh kabupaten tersebut adalah Pasir dengan ibukota Tanah Grogot, Kutai Barat dengan ibukota Sendawar, Kutai Kartanegara dengan ibukota Tenggarong, Kutai Timur dengan ibukota Sanggata, Berau dengan ibukota Tanjung Redep, Malinau dengan ibukota Malinau, Bulungan dengan ibukota Tanjung Selor, Nunukan dengan ibukota Nunukan, serta dua kabupaten baru yaitu Penajam Pasir Utara dengan ibukota Penajam yang merupakan pemekaran dari kabupaten Pasir dan Tanah Tidung dengan ibukota Tidung Pale yang
merupakan pemekaran dari kabupaten Bulungan dan Malinau, sedangkan empat kota adalah Balikapapan, Samarinda, Tarakan dan Bontang.
Gambar 4. Peta Administrasi Provinsi Kalimantan Timur
Provinsi Kalimantan Timur terletak di sebelah timur pulau Kalimantan dan sekaligus merupakan wilayah perbatasan dengan negara Malaysia, khususnya negara Sabah dan Serawak. Tepatnya provinsi ini berbatasan langsung dengan Negara Malaysia di sebelah utara, Laut Sulawesi dan Selat Makasar di sebelah Timur, Kalimantan Selatan di sebelah Selatan dan Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah serta Malaysia di sebelah Barat.
4.2 Pola Curah Hujan Kalimantan Timur
Menurut Gambar 5 pola umum curah hujan Indonesia, Provinsi Kalimantan Timur yang memanjang dari utara pulau Kalimantan hingga selatan terbagi atas dua pola umum curah hujan.
Gambar 5. Pola Curah Hujan Indonesia (sumber:kadarsah.wordpress.com/2007/06/2
8
Sebagian besar wilayah Kalimantan Timur bagian Utara termasuk pola curah hujan ekuatorial. Wilayah pola curah hujan ekuatorial meliputi Kabupaten Nunukan, Malinau, Bulungan, Berau, Kutai Timur, Kutai Barat, Kutai Kartanegara, Kota Tarakan dan Kota Bontang. Sebagian wilayah Kalimantan Timur bagian Selatan termasuk pola curah hujan Monsun. Wilayah pola curah hujan monsun ini meliputi kota Bontang, Samarinda, Balikpapan, Kabupaten Pasir Penajam Utara dan Pasir.
4.3 Sebaran Hotspot
Jumlah sebaran hotspot (titik panas) provinsi Kalimantan Timur bervariasi dari tahun ke tahun. Adanya pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit dan pertambangan memicu kegiatan perambahan hutan. Adapun sebaran Hotspot dari tahun 2007 hingga 2009 perkabupaten bisa dilihat dari tabel 2.
Tabel 2. Data Hotspot Tingkat Kabupaten/ Kota Provinsi Kalimantan Timur
Sumber: Data Hotspot Indonesia (diekstrak dari MODIS), Lapan
Dari tiga tahun pencatatan (2007 hingga 2009) terlihat bahwa tahun 2007 adalah tahun dengan kondisi Hotspot (titik panas) terbanyak. Jika dilihat data hotspot di daerah kabupaten seperti Berau, Bulungan, Kutai Barat, Kutai Kartanegara, Kutai
Timur, Nunukan Pasir dan PPU dan Malinau lebih banyak dari pada data hotspot di kota seperti Samarinda, Balikpapan, Bontang dan Tarakan. Hal ini karena luas wilayah dan luas hutan di kabupaten lebih luas dari pada di kota. Sehingga dapat disimpulkan, bila terjadi kebakaran hutan maka daerah kabupaten akan lebih banyak terjadi hotspot
(titik panas).
Tabel 3. Data Hotspot Perbulan Provinsi Kalimantan Timur
Sumber: Data Hotspot Indonesia (diekstrak dari MODIS), Lapan
Dari Tabel 3 terlihat bahwa hotspot
dalam jumlah yang banyak terdeteksi terutama pada bulan-bulan kering Agustus hingga Oktober. Pada bulan September tahun 2007 terdeteksi bahwa Hotspot
tertinggi sebanyak 410 buah. Tingginya jumlah Hotspot pada bulan-bulan Agustus hingga Oktober berhubungan dengan tingkat curah hujan yang rendah pada bulan – bulan tersebut.
Kabupaten 2007 2008 2009
Berau 151 80 3
Bulungan 200 79 4
Kutai Barat 247 157 1
Kutai Kartanegara 168 128 18
Kutai timur 100 48 3
Nunukan 114 51 25
Pasir dan PPU 112 38 4
Malinau 28 77 0
Samarinda 1 3 0
Balikpapan 4 12 0
Bontang 31 11 6
Tarakan 1 0 1
Jumlah 1157 684 65
Bulan 2007 2008 2009
Januari 9 9 5
Februari 26 16 7
Maret 44 1 37
April 58 22 14
Mei 31 36 2
Juni 28 31 0
Juli 15 23 0
Agustus 97 86 0
September 398 271 0
Oktober 393 167 0
Nopember 40 19 0
Desember 18 3 0
9
10
Gambar 6 merupakan sebaran hotspot
dari tahun 2007 hingga 2009. Pada tahun 2007 terdeteksi hotspot terbanyak terdapat di Kabupaten Kutai Barat, Bulungan, dan Kutai Kartanegara. Pada tahun 2008 hotspot yang terdeteksi terjadi penurunan, namun konsentrasi hotspot tertinggi masih ditempati wilayah kabupaten Kutai Kartanegara dan Kutai Barat serta Nunukan. Tahun 2009
Hotspot yang terdeteksi lebih sedikit dari dua tahun sebelummya. Wilayah yang yang terdeteksi Hotspot pada tahun 2009 ini masih meliputi Kabupaten Kutai Kartanegara dan Nunukan. Hal ini berkaitan dengan banyaknya perkebunan kelapa sawit dan tambang batu bara di wilayah kabupaten Kutai Kartanegara, Kutai Barat, Nunukan dan Kutai Timur. Pembakaran lahan merupakan cara termurah untuk penyiapan lahan kebun kelapa sawit.
4.4 Rasio Jumlah Penderita ISPA dengan Jumlah Penduduk
Lampiran 1 merupakan tabel rasio jumlah pasien penderita ISPA dengan jumlah penduduk kabupaten/ kota di Provinsi Kalimantan Timur dari tahun 2007 hingga 2009. Data jumlah penduduk didapatkan dari Badan Pusat Statistik Kalimantan Timur Tahun 2006.
Sebaran penduduk tercatat paling padat di kota Balikpapan kemudian kota Samarinda disusul kabupaten Kutai Timur. Kota Balikpapan merupakan kota terbesar di Kalimantan Timur, kota ini merupakan pusat ekonomi sedangkan kota Samarinda merupakan ibu kota provinsi Kalimantan Timur sehingga jumlah penduduk terkonsentrasi besar di kedua kota ini. Kabupaten Kutai Timur memiliki sumber daya alam terbesar di provinsi Kalimantan Timur berupa batu bara, minyak dan gas. Besarnya potensi sumber daya alam membuat konsentrasi jumlah penduduk juga besar di Kabupaten Kutai Timur.
Untuk tahun 2007 rasio penderita ISPA dengan jumlah penduduk paling besar yaitu kota Tarakan dengan rasio 0,19 sedangkan tahun 2008 adalah kota Samarinda dengan
rasio 0,12 dan tahun 2009 adalah kabupaten Nunukan dengan rasio 0,12.
4.5 Rasio Jumlah Penderita ISPA dengan Luas Wilayah
Lampiran 2 merupakan tabel rasio jumlah pasien penderita ISPA dengan luas wilayah (km2) kabupaten/ kota di Provinsi Kalimantan Timur dari tahun 2007 hingga 2009. Data luas wilayah (km2) kabupaten/ kota didapatkan dari Badan Pusat Statistik Kalimantan Timur Tahun 2009.
Kabupaten terluas adalah kabupaten Malinau dengan luas 42.620 km2 sedangkan kota terluas adalah kota Samarinda dengan luas 783 km2. Kabupaten Malinau ini terletak paling utara dan merupakan wilayah yang berbatasan langsung dengan Malaysia Timur sedangkan kota Samarinda merukan ibu kota provinsi Kalimantan Timur. Untuk kabupaten dengan luas terkecil yaitu kabupaten Pasir dengan luas 11.064 km2, saat ini kabupaten pasir sudah dimekarkan menjadi dua kabupaten yaitu kabupaten Pasir dan Penajam Pasir Utara (PPU), sedangkan kota dengan luas terkecil yaitu kota Tarakan dengan luas 251 km2.
Untuk tahun 2007 rasio penderita ISPA per km2 paling tinggi yaitu kota Tarakan dengan rasio 134 penderita ISPA/km2 sedangkan tahun 2008 adalah kota Samarinda dengan rasio 93 penderita ISPA/km2 dan tahun 2009 masih kota Samarinda dengan rasio 85 penderita ISPA/km2.
4.6 Hubungan Hotspot dan Curah Hujan dengan Penderita ISPA
11
terdapat di garis lintang tropis terutama pada saat hutan dibersihkan dengan pembakaran. Gas ini berdampak terhadap kesehatan manusia tetapi dalam penelitian ini dampak kesehatan dari gas-gas tersebut tidak dibahas.
Kebakaran hutan dan lahan yang menghasilkan asap akan menimbulkan pencemaran udara. Kabut asap yang berasal dari kebakaran hutan dan lahan dalam skala besar ditandai dengan kadar partikel yang tinggi yang salah satu dampaknya adalah memperkecil jarak pandang. Dalam kebakaran hutan lebih banyak partikel yang lebih kecil, sebagian partikel yang lebih besar telah jatuh lebih dulu.
Polutan partikel padat (PM) dapat berasal dari bahan organik dan anorganik. Partikel debu yang dapat dihirup pada pernafasan manusia berukuran 0.1-10 mikron. Partikel ini akan berada di atmosfir sebagai suspended particulate matter dan mempunyai pengaruh besar untuk menimbulkan kerusakan jaringan dan faal paru. Debu-debu berdiameter 5-10 mikron akan tertahan dan tertimbun pada saluran nafas bagian tengah, debu yang berdiameter 1-3 mikron akan tertahan dan tertimbun pada bronkiolus terminal, sedangkan untuk debu yang berukuran kurang dari 1 mikron akan keluar masuk mengikuti gerak Brown
(Awaloeddin 2007).
Partikel-partikel mempunyai potensi merusak mukosilier (silia pada mukosa yang berfungsi untuk mengeluarkan benda asing) dan merangsang proses fibrosis (jaringan parut) paru (Awaloeddin 2007). Dalam kaitan dengan kebakaran hutan ini, ISPA terjadi karena pertahanan saluran pernafasan yakni sel-sel epitel mukosa menjadi lemah atau bahkan rusak akibat menghirup udara yang tercemar yang sarat dengan partikel debu, sehingga kuman mudah masuk dan berkembang biak.
Penyakit yang berhubungan dengan kebakaran hutan antara lain adalah Infeksi Saluran Pernafasan Akut, Pneumonia, asma, iritasi mata dan iritasi kulit.
Uji regresi dilakukan untuk mengetahui pengaruh kebakaran hutan dan lahan , curah hujan terhadap penyakit ISPA.
4.6.1 Hubungan Hotspot dengan Pertambahan Penderita ISPA
Banyaknya pertambahan jumlah penderita ISPA setelah ada hotspot
dinotasikan dengan Pneumonia* dan Non Pneumonia*.
Gambar 7 dan 8 adalah grafik hubungan hotspot dengan selisih penderita ISPA saat hotspot tidak ada. Ada atau tidak adanya hotspot (Hotspot = 0) kejadian penyakit ISPA sudah terjadi. Pada saat tidak terjadi hotspot ISPA sudah terjadi dengan rata-rata 1.114 jiwa untuk ISPA Pneumonia dan 10.569 untuk ISPA Non Pneumonia untuk satu Provinsi Kalimantan Timur.
Gambar 7. Grafik Hubungan Hotspot dengan Pneumonia*
P* = P – (rata-rata P saat tidak hotspot) Dimana : P = Jumlah Penderita Pneumonia
P* = Pneumonia*
Saat ada Hotspot, ISPA Pneumonia rata-rata 1.114 jiwa
Saat Hotspot > 0, ISPA Pneumonia : 1.114 + (2,016Hotspot - 481,3)
12
NP* = NP – (rata-rata NP saat tidak hotspot) Dimana :NP = Jumlah Penderita Non
Pneumonia NP* = Non Pneumonia*
Saat ada hotspot, ISPA Non Pneumonia rata-rata 10.569 jiwa
Sata Hotspot > 0 ISPA Non Pneumonia : 10.569 + (25,76Hotspot + 23,10)
4.6.2 Hubung Anomali Curah Hujan,
Hotspot dengan ISPA
Data curah hujan bulanan menggunakan data dari enam stasiun (Nunukan, Tarakan, Tj selor, Tj redep,
Samarinda dan Balikpapan) kemudian dirata-rata dan dicari anomali curah hujannya. Berdasarkan jumlah hotspot bulan Januari 2007 hingga Desember 2009 dan hubungannya dengan anomali curah hujan tampak bahwa secara umum bahwa hotspot
muncul pada bulan-bulan musim kemarau yang berlangsung mulai dari bulan Agustus hingga Nopember (tahun 2007) atau bulan Agustus hingga Oktober (tahun 2008). Kondisi tertinggi hotspot biasanya tampak bersaamaan dengan anomali hujan negatif. Kondisi inilah yang diduga sebagai tingkat serangan ISPA tertinggi terhadap masyarakat (Gambar 9).
Gambar 9. Plot Jumlah Hotspot dengan Anomali Curah Hujan
Gambar 10. Grafik Hubungan Hotspot dengan Pneumonia dan Non Pneumonia
Berdasarkan kondisi diamana anomali curah hujan dengan hotspot yang terjadi pada bulan-bulan musim kemarau, dari bulan Agustus hingga Nopember (tahun 2007) atau bulan Agustus hingga Oktober (tahun 2008) maka analisis ISPA hanya .dilakukan pada bulan-bulan ini .
Pada umumnya hotspot pada musim kemarau ini mempunyai pengaruh yang kuat terhadap peningkatan ISPA dimana nilai koefisien determinasi diatas 80% untuk
ISPA Pneumonia dan 52% untuk ISPA Non Pneumonia (Gambar 10).
13
4.6.3 Hubungan Hotspot yang intensitasnya berbeda dengan ISPA
Saat ada hotspot tidak langsung mempengaruhi kejadian penyakit ISPA. Pada saat hotspot mencapai jumlah tertentu barulah mempengaruhi kejadian ISPA.
ISPA Pneumonia
Gambar 11. Grafik Hubungan Hotspot
(HS>0) dengan Pneumonia
Gambar 12. Grafik Hubungan Hotspot
(0<HS<58) dengan Pneumonia
Gambar 13. Grafik Hubungan Hotspot (HS
≥ 58) dengan Pneumonia
Gambar 11, 12 dan 13 adalah grafik hubungan hotspot dengan intensitas yang berbeda, dengan Pneumonia. Jika kejadian
hotspot tidak dipisahkan antara kejadian sedikit dengan kejadian banyak, keterkaitan
hotspot dengan Pneumonia lemah hal itu dapat dilihat pada nilai koefisiean
determinasi 17%. Kecilnya koefisien determinasi ini memperlihatkan seolah-olah
hotspot tidak mempengaruhi kejadian Pneumonia. Namun pada analisis hotspot
lebih dari 58, pengaruhnya sangat kuat untuk peningkatan penderita Pneumonia dengan koefisien determinasi 84%.
Non Pneumonia
Gambar 14. Grafik Hubungan Hotspot
(HS>0) dengan Non Pneumonia
Gambar 15. Grafik Hubungan Hotspot
(0<HS<58) dengan Pneumonia
Gambar 16. Grafik Hubungan Hotspot (HS
≥ 58) dengan Non Pneumonia
14
koefisiean determinasi 35%. Kecilnya koefisien determinasi ini memperlihatkan seolah-olah hotspot tidak mempengaruhi kejadian Non Pneumonia, ini berarti ada atau tidak adanya hotspot tidak mempengaruhi kejadian Non Pneumonia. Namun pada analisis hotspot lebih dari 58, pengaruhnya hotspot lebih kuat dalam peningkatan penderita Non Pneumonia dengan koefisien determinasi 46%.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Intensitas kebakaran hutan dan lahan yang diwakili oleh jumlah titik api (hotspot) mengakibatkan meningkatnya jumlah penderita ISPA. Pada kondisi tidak ada
hotspot, penderita ISPA pun sudah ada. Saat
hotspot kurang dari 58 titik, pengaruhnya terhadap ISPA tidak ada. Jika jumlah
hotspot lebih dari 58 titik, pengaruh hotspot
lebih jelas terlihat, dimana semakin meningkat hotspot penderita ISPA meningkat pula.
Secara umum hotspot terjadi saat anomali curah hujan negatif pada bulan-bulan sekitar Agustus sampai Oktober. Pada bulan-bulan ini pula pengaruh hotspot
sangat kuat terhadap peningkatan ISPA. Artinya curah hujan mempengaruhi peningkatan ISPA pada bulan-bulan Agustus sampai Oktober.
5.2 Saran
Hotspot memiki hubungan dengan kejadian ISPA. Oleh sebab itu diperlukan program pelayanan kesehatan yang cepat dan tepat bila terjadi kebakaran hutan. Misalnya pembagian masker dan penyedian pusat pelayanan kesehatan ke daerah sumber kebakaran hutan.
Data tiga tahun ISPA dirasa belum cukup untuk mencari korelasi antara kejadian kebakaran hutan dan jumlah penderita penyakit ISPA, oleh sebab itu diperlukan data yang lengkap dan panjangnya minimal 5 sampai 10 tahun. Apalagi bila mengaitkan dengan kejadian
ENSO. Sehingga ada gambaran yang lengkap saat kejadian tahun normal, El-Nino
maupun La-lina.
VI. DAFTAR PUSTAKA
Adinugroho, W.C. Suryadiputra, N.N. Saharjo, B.H dan Siboro, L. 2005. Panduan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut. Proyek Climate Change, Forest dan Peatlands in Indonesia. Bogor: Wetland International-Indonesia Programme dan Wildfire habitat Canada.
Adrianita, F. 2002. Kajian Indeks Kekeringan Keetch-Byram (IKKB) Daerah Sumatera Selatan dan Kalimantan Timur dan Kasus Uji Pembakaran Lahan di Jasinga. [Skripsi]. Departemen Geofisika dan Meteorologi, FMIPA, IPB. Bogor.
Artha, F. Jaelani, L. Wiweka, M dan Sulyantara, D.H.Y. 2010. Studi Perbandingan Sebaran Hotspot
dengan Menggunakan Citra Satelit NOAA/AVHRR dan Aqua MODIS (Studi Kasus: Kabupaten Banyuwangi dan Sekitarnya). Surabaya: FTSP ITS-Sukolilo. Anggraini, N dan Trisakti, B. 2011. Kajian
Dampak Perubahan Iklim Terhadap Kebakaran Hutan dan Deforestasi Di Profinsi Kalimantan Barat. Jakarta: Jurnal Pengindraan Jauh Vol. 8, 2011:11-20 Lapan.
Awaloeddin. 2004. Polusi Udara Karena Kebakaran Hutan. http://www. hazeonline.or.id/news.php/ID=2004 0525103101.[12 Desember 2012] Davis, K.P. 1959. Forest Fire Control and
Use. McGraw Hill, Inc. USA. 584p. Enviromental Protectection Agency (EPA). 2000. Climate and Health Impacts, EPA Global Warning Site.
15
Hutan dan Kekeringan. Pusbang PTPJ-LAPAN.
http://lapanrs.com/SMBA/verifikasi %20dan%20validas%20hotspot.pdf Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 289/ MENKES/ SK/III /2003tentang Prosedur Pengendalian Dampak Pencemaran Udara Akibat Kebakaran Hutan Terhadap Kesehatan.
http://www.depkes.go.id/downloads /Sk289-03.pdf
Mahmud, R. 2004. Hubungan Variasi Iklim dan Faktor Lingkungan dengan Penyakit ISPA Non Pneumonia Balita di Kota Palembang Tahun 1999-2003 [Tesis]. Depok: FKM-UI.
Masjhur, J S dan Alisjahbana, A. 1998. Manusia, Kesehatan dan Lingkungan: Kualitas Hidup Dalam Perspektif Perubahan Lingkungan Global. Bandung: Alumni.
Menteri Negara Lingkungan Hidup. 1998. Ringkasan Eksekutif, Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia. Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup. Jakarta.
Notohadinegoro dan Tejoyuwono. 1997. Pembakaran dan Kebakaran Lahan. Simposium Dampak Kebakaran Alam, Pusat Studi Sumberdaya Lahan, dan Pusat Penelitiap
Lingkungan Hidup UGM.
Yogyakarta, 16-17 Desember 1997. Novita, N. 2007. Hubungan Antara Hotspot
(Titik panas) dengan Timbulnya Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) Akibat Kebakaran Hutan dan Lahan di Kabupaten Indragiri Hulu Riau Tahun 2007 [Skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB.
Tacconi, L. 2003. Kebakaran Hutan di Indonesia: Penyebab, Biaya dan Implikasi Kebijakan. Center for International Forestry Research (CIFOR) Bogor, Indonesia.
Trewartha, T.G dan Horn, H.L. 1995. Pengantar Iklim Edisi kelima. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Sukmawari, A. 2006. Hubungan Antara Curah Hujan dengan Titik panas
(Hotspot) sebagai Indikator Terjadinya Kebakaran Hutan dan Lahan di Kabupaten Pontianak Provinsi Kalimantan Barat [Skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB.
16
Lampiran 1. Jumlah Penderita ISPA Per Jumlah Penduduk
Sumber: BPS 2006, Dinas Kesehatan Provensi Kalimantan Timur 2010
Kabupaten Pneumonia Non Pneumonia ISPA Jumlah Penduduk ISPA/Jmlah Pddk
Berau - - - 169793
-Bulungan 259 14899 15158 114756 0,13
Kutai Barat 1118 27867 28985 159852 0,18
Kutai Kartanegara 573 9289 9862 528702 0,02
Kutai timur 2 420 422 191728 0,00
Nunukan 129 5993 6122 132886 0,05
Pasir dan PPU 581 3133 3714 309099 0,01
Malinau - - - 59200
-Samarinda 3650 34106 37756 603389 0,06
Balikpapan 0 - - 506915
-Bontang 91 3775 3866 134027 0,03
Tarakan 423 33206 33629 184353 0,18
Kabupaten Pneumonia Non Pneumonia ISPA Jumlah Penduduk ISPA/Jmlah Pddk
Berau 109 7176 7285 169793 0,04
Bulungan 121 5353 5474 114756 0,05
Kutai Barat 541 12584 13125 159852 0,08
Kutai Kartanegara 272 11414 11686 528702 0,02
Kutai timur 1 628 629 191728 0,00
Nunukan 102 6127 6229 132886 0,05
Pasir dan PPU 297 2538 2835 309099 0,01
Malinau - - - 59200
-Samarinda 6129 67034 73163 603389 0,12
Balikpapan 1166 26692 27858 506915 0,05
Bontang 23 4774 4797 134027 0,04
Tarakan 230 15183 15413 184353 0,08
Kabupaten Pneumonia Non Pneumonia ISPA Jumlah Penduduk ISPA/Jmlah Pddk
Berau 97 6503 6600 169793 0,04
Bulungan 104 247 351 114756 0,00
Kutai Barat 91 4665 4756 159852 0,03
Kutai Kartanegara 204 10273 10477 528702 0,02
Kutai timur - 476 476 191728 0,00
Nunukan 5656 10441 16097 132886 0,12
Pasir dan PPU 259 1987 2246 309099 0,01
Malinau - - - 59200
-Samarinda 5343 61109 66452 603389 0,11
Balikpapan 1036 23364 24400 506915 0,05
Bontang 17 4321 4338 134027 0,03
Tarakan 191 13109 13300 184353 0,07
2007
2008
17
Lampiran 2. Jumlah Penderita ISPA Per Km2
Sumber: BPS 2006, Dinas Kesehatan Provensi Kalimantan Timur 201
Kabupaten Pneumonia Non Pneumonia ISPA Luas Wilayah (km2) ISPA/km2
Berau - - - 21240
-Bulungan 259 14899 15158 16394 0,92
Kutai Barat 1118 27867 28985 35697 0,81
Kutai Kartanegara 573 9289 9862 23602 0,42
Kutai timur 2 420 422 35748 0,01
Nunukan 129 5993 6122 13842 0,44
Pasir dan PPU 581 3133 3714 11064 0,34
Malinau - - - 42620
-Samarinda 3650 34106 37756 783 48,22
Balikpapan 0 - - 527
-Bontang 91 3775 3866 407 9,50
Tarakan 423 33206 33629 251 133,98
Kabupaten Pneumonia Non Pneumonia ISPA Luas Wilayah (km2) ISPA/km2
Berau 109 7176 7285 21240 0,34
Bulungan 121 5353 5474 16394 0,33
Kutai Barat 541 12584 13125 35697 0,37
Kutai Kartanegara 272 11414 11686 23602 0,50
Kutai timur 1 628 629 35748 0,02
Nunukan 102 6127 6229 13842 0,45
Pasir dan PPU 297 2538 2835 11064 0,26
Malinau - - - 42620
-Samarinda 6129 67034 73163 783 93,44
Balikpapan 1166 26692 27858 527 52,86
Bontang 23 4774 4797 407 11,79
Tarakan 230 15183 15413 251 61,41
Kabupaten Pneumonia Non Pneumonia ISPA Luas Wilayah (km2) ISPA/km2
Berau 97 6503 6600 21240 0,31
Bulungan 104 247 351 16394 0,02
Kutai Barat 91 4665 4756 35697 0,13
Kutai Kartanegara 204 10273 10477 23602 0,44
Kutai timur - 476 476 35748 0,01
Nunukan 5656 10441 16097 13842 1,16
Pasir dan PPU 259 1987 2246 11064 0,20
Malinau - - - 42620
-Samarinda 5343 61109 66452 783 84,87
Balikpapan 1036 23364 24400 527 46,30
Bontang 17 4321 4338 407 10,66
Tarakan 191 13109 13300 251 52,99
2007
2008
18
Lampiran 3. Plot Hotspot dengan ISPA
Grafik Plot ISPA Pneumonia dengan Hotspot Kalimantan Timur