• Tidak ada hasil yang ditemukan

Laporan Praktikum Akhir PPWP (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Laporan Praktikum Akhir PPWP (1)"

Copied!
45
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN PRAKTIKUM

PERENCANAAN PEMBANGUNAN WILAYAH PERTANIAN

ANALISIS POTENSI DAN KINERJA SUBSEKTOR-SUBSEKTOR

PERTANIAN

DI KABUPATEN LEBONG

Kelompok 17

Graceby Limbong

E1D013077

Rolas Sinaga

E1D013082

Jesica R M

E1D013121

Lambok Marudut Silalahi

E1D013123

Maju Lubis

E1D013125

Julindra Simbolon

E1D013170

Co-Ass

Feni Mahdaniar

Pini Okti Sintia

Shift : Rabu, Pukul 12.00 – 14.00

LABORATORIUM SOSIAL EKONOMI PERTANIAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS BENGKULU

2015

(2)

LAPORAN PRAKTIKUM

PERENCANAAN PEMBANGUNAN WILAYAH PERTANIAN

ANALISIS POTENSI DAN KINERJA SUBSEKTOR-SUBSEKTOR PERTANIAN DI KABUPATEN LEBONG

DISUSUN OLEH KELOMPOK 17

GRACEBY LIMBONG E1D013077 ROLAS SINAGA E1D013082 JESSICA R MARPAUNG E1D013121 LAMBOK M SILALAHI E1D013123 MAJU LUBIS E1D013125 JULINDRA SIMBOLON E1D013170

Telah diperiksa dan disetujui oleh Dosen Pembimbing pada tanggal Juni 2015

Mengetahui,

Dosen Matakuliah

Ir. Nyanyu Neti Arianti, M.Si.

Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Satria Putra Utama, M.Sc.

(3)

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat, karunia, serta berkatnya kami dapat menyelesaikan Laporan Akhir Perencanaan Pembangunan Wilayah Pertanian ini dengan baik meskipun banyak kekurangan didalamnya. Dan juga kami berterima kasih pada Bapak/Ibu Dosen Pengajar/Pembimbing serta Asisten Dosen yang telah mengajari dan memberikan tugas ini kepada kami.

Kami sangat berharap laporan ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai Perencanaan Pembangunan Wilayah terlebih di sektor pertanian. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam laporan ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan laporan yang telah kami buat di masa yang datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.

Semoga laporan sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di masa depan.

Bengkulu, Juni 2015

(4)

DAFTAR ISI

2.2 LQ (Static dan Dynamic) ... 5

2.3 Shift Share (SS) ... 6

2.4 Prioritas Pengembangan Subsektor-subsektor Pertanian ... 7

2.5 Tipologi Klassen ... 8

2.6 Kesenjangan Ekonomi Sosial ... 9

III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Penentuan Lokasi ... 14

3.2 Jenis dan Metode Penentuan Data ... 14

3.3 Metode Analisis Data ... 15

3.3.1 Analisis Subsektor Pertanian dan Komoditas Unggul ... 15

3.3.1.1 Analisis Subsektor Pertanian Unggul ... 15

3.3.1.2 Analisis Komoditas Unggulan Subsektor Pertanian ... 15

3.3.1.3 Analisis Dynamic Location Quotion... 15

3.3.2 Analisis Kinerja Subsektor-subsektor Pertanian ... 16

3.3.3 Analisis Prioritas Pengembangan Subsektor-subsektor Pertanian .... 17

3.3.4 Analisis Klasifkasi Subsektor Pertanian Berdasarkan Tipologi Klassen 17 3.3.5 Analisis Kesenjangan Ekonomi Wilayah ... 18

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Subsektor Pertanian dan Komoditas Unggulan di Kabupaten Lebong. . 19

4.1.1 Subsektor-subsektor Pertanian Unggulan di Kabupaten Lebong ... 19

4.1.2 Komoditas-komoditas Unggulan Subsektor Tanaman Bahan Pangan Kab. Lebong ... 20

4.1.3 Penentuan Subsektor Pertanian Unggulan dengan Metode DLQ ... 22

4.2 Kinerja Subsektor-subsektor Pertanian di ... 23

4.3 Klasifkasi Subsektor-subsektor Pertanian di Kabupaten Lebong ... 25

4.4 Indeks Kesenjangan Ekonomi Antar Daerah Kab. Lebong,Muko-muko dan Rej Lebong... 28

V. HASIL DAN KESIMPULAN 5.1 Kesimpulan ... 30

(5)

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Matriks Tipologi Klassen ...8

2. Matriks Pengembangan ...9

3. Hasil Analisis LQ Subsektor Pertanian Unggulan Kabupaten Lebong...20

4. Hasil Analisis LQ Komoditas Tanaman Bahan Pangan Unggulan Kabupaten Lebong ... 21

5. Subsektor Pertanian Unggulan dengan Metode Dynamic LQ ...22

6. Kinerja Subsektor-subsektor Pertanian di Kabupaten Lebong ...23

7. Klasifkasi Subsektor Pertanian Berdasarkan Tipologi Klassen ...25

8. Hasil Klasifkasi Subsektor Pertanian Berdasarkan Tipologi Klassen ...26

(6)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Posisi Perkembangan Perekonomian Subsektor Pertanian ...27

(7)

1. Fotocopy data BPS

2. Tabulasi data dan Print-out hasil analisis 3. Laporan Sementara

(8)

1.1 Latar Belakang

Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional yang pada hakekatnya membangun manusia seutuhnya dan seluruh masyarakat Indonesia. Kegiatan pembangunan daerah dimaksudkan sebagai usaha meratakan dan menyebarluaskan pembangunan untuk menyerasikan, menyeimbangkan serta memadukan seluruh kegiatan. Pembangunan daerah haruslah dapat meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan rakyat di daerah melalui pembangunan yang serasi dan terpadu antar sektor.

Pencapaian keberhasilan pembangunan daerah melalui pembangunan ekonomi harus disesuaikan dengan kondisi dan potensi masing-masing daerah serta diperlukan perencanaan pembangunan yang terkoordinasi antar sektor, perencanaan pembangunan disini bertujuan untuk menganalisis secara

Menyeluruh tentang potensi-potensi yang dimiliki oleh suatu daerah. Keterbatasan sumber daya di suatu daerah baik sumber daya alam, sumber daya manusia, sumber daya fnansial maupun sumber daya lainnya merupakan masalah umum yang dihadapi oleh sebagian besar daerah untuk dapat menggerakkan seluruh perekonomian yang mampu sebagai penggerak utama untuk memacu laju pembangunan disuatu daerah.

Sama halnya pada provinsi Bengkulu tepatnya di daerah Kabupaten Lebong tidak luput dari pembangunan wilayah terlebih di dalam sektor pertanian. Hingga mencapai kondisi yang diharapkan. Untuk mengoptimalkan pembangunan pertanian maka perlu dilakukan identifkasi dan analisis sektor ekonomi dan sumber daya yang ada didaerah tersebut.

(9)

1.2 Tujuan

Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan diatas, maka praktikum ini bertujuan untuk :

1. Menganalisis subsektor pertanian dan komoditas unggulan di Kabupaten Lebong.

2. Mengidentifkasi perubahan posisi sektor pada masa sekarang dan yang akan datang.

3. Menganalisis kinerja subsektor-subsektor pertanian di Kabupaten Lebong. 4. Mangangalisis prioritas pengembangan subsektor-subsektor pertanian di

Kabupaten Lebong.

5. Manganalisis klasifkasi subsektor-subsektor pertanian di Kabupaten Lebong.

(10)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Subsektor-Subsektor Pertanian

Sektor pertanian yang dimaksudkan dalam konsep pendapatan nasional menurut lapangan usaha atau sektor produksi ialah pertanian dalam arti luas. Di Indonesia sektor pertanian dalam arti luas dibedakan menjadi lima subsektor (Dumairy, 1996), yaitu subsektor tanaman pangan, subsektor perkebunan, subsektor perikanan, subsektor kehutanan, dan subsektor peternakan.

Masing-masing subsektor dengan dasar klasifkasi tertentu, dirinci lebih lanjut menjadi subsektor yang lebih spesifk. Nilai tambah sektor pertanian dalam perhitungan PDB merupakan hasil penjumlahan nilai tambah dari subsektor-subsektor tersebut dan perhitungan dilakukan oleh Biro Pusat Statistik. Nilai tambah subsektor-subsektor tersebut dihitung dengan menggunakan produksi. Tingkat harga yang dipakai untuk menghitung nilai produksi adalah harga pada tingkat perdagangan pasar. Pembangunan pertanian yang terdiri atas lima subsektor diantaranya adalah subsektor pertanian, subsektor perkebunan, subsektor peterkanan, subsector kehutanan dan subsektor perikanan menjadi pembahasan ini.

a. Subsektor tanaman pangan

Subsektor tanaman pangan sering juga disebut subsektor pertanian rakyat. Disebut demikian karena tanaman pangan biasanya diusahakan oleh rakyat dan bukan oleh perusahaan atau pemerintah. Subsektor ini mencakup komoditi-komoditi bahan makanan seperti padi, jagung, ketela pohon, ketela rambat, kacang tanah, kedelai, sayur-sayuran dan buah-buahan. (Dumairy, 1996)

b. Subsektor perkebunan

(11)

yang sederhana. Hasil-hasil tanaman perkebunan rakyat terdiri antara lain atas karet, kopral, teh, kopi, tembakau, cengkeh, kapuk, kapas, coklat, dan berbagai rempah-rempah. Adapun yang dimaksud dengan perkebunan besar adalah semua kegiatan perkebunan yang dijalankan oleh perusahaan-perusahaan perkebunan berbadan hukum. Tanaman perkebunan besar meliputi karet, teh, kopi, kelapa sawit, coklat, kina, tebu dan beberapa lainnya. (Dumairy, 1996).

c. Subsektor perikanan

Subsektor perikanan meliputi semua hasil kegiatan perikanan laut, perairan umum, kolam, tambak, sawah, dan keramba serta pengolahan sederhana atas produk-produk perikanan (pengeringan dan pengasingan). Dari segi teknis kegiatannya, subsektor ini dibedakan atas tiga macam sektor, yaitu perikanan laut, perikanan darat dan penggaraman. Komoditi yang tergolong subsektor ini tidak terbatas hanya pada ikan, tetapi juga udang, kepiting dan ubur-ubur. (Dumairy, 1996)

d. Subsektor kehutanan

Subsektor kehutanan terdiri atas tiga macam kegiatan, yaitu penebangan kayu, pengambilan hasil hutan lainnya dan perburuan. Kegiatan penebangan kayu menghasilkan kayu-kayu gelondongan, kayu bakar, arang dan bambu. Hasil hutan lain meliputi damar, rotan, getah kayu, kulit kayu serta berbagai macam akar-akaran dan umbi kayu. Sedangkan kegiatan perburuan menghasilkan binatang-binatang liar seperti rusa, penyu, ular, buaya, dan termasuk juga madu. (Dumairy, 1996)

e. Subsektor peternakan

Subsektor peternakan kegiatan beternak dan pengusahaan hasil-hasilnya. Subsektor ini meliputi produksi ternak-ternak besar dan kecil, susu segar, telur, wol, dan hasil pemotongan hewan. Untuk menghitung produksi subsector ini, Badan Pusat Statistik (BPS), berdasarkan pada data pemotongan, selisih stok atau perubahan populasi dan ekspor neto. Produksi subsektor peternakan adalah pertambahan/pertumbuhan hewan dan hasil-hasilnya.

(12)

makan untuk sementara Badan Pusat Statistik (BPS) menggunakan cara yang sudah disebutkan tadi. (Dumairy, 1996)

Berdasarkan penjelasan tersebut, jelas bahwa sektor pertanian tidak hanya terbatas hanya pada tanaman pangan atau pertanian rakyat. Berdasarkan pemahaman ini, pelaku atau produsen disektor pertanian bukan hanya petani akan tetapi juga meliputi pekebun, nelayan dan petambak. Produsen di sektor pertanian juga tidak hanya perorangan, tapi juga perusahaan berbadan hukum. Kalaupun sektor pertanian lebih sering dipahami terbatas seakan-akan hanya urusan tanaman pangan saja, hal tersebut disebabkan tanaman pangan merupakan subsektor inti dalam sektor pertanian, termasuk Indonesia dan wilayah lain di Indonesia. Sebagai pemasok kebutuhan pokok yang utama bagi manusia, yakni sebagai bahan makanan, kedudukan subsektor tanaman pangan sangat strategis. Itulah sebabnya kepedulian terhadap subsektor tanaman pangan sangat besar, jauh melebihi kepedulian terhadap subsektor-subsektor lain.

2.2 Location Quotient (Static dan Dynamic)

Sektor basis adalah sektor yang menjadi tulang punggung perekonomian daerah karena mempunyai keuntungan kompetitif (Competitive Advantage) yang cukup tinggi. Sedangkan sektor non basis adalah sektor-sektor lainnya yang kurang potensial tetapi berfungsi sebagai penunjang sektor basis atau service industries (Sjafrizal, 2008). Sektor basis ekonomi suatu wilayah dapat dianalisis dengan teknik Location Quotient (LQ), yaitu suatu perbandingan tentang besarnya peranan suatu sektor/industri di suatu daerah terhadap besarnya peranan sektor/industri tersebut secara nasional (Tarigan, 2007).

Menurut Glasson (1974), semakin banyak sektor basis dalam suatu wilayah akan menambah arus pendapatan ke wilayah tersebut, menambah permintaan terhadap barang dan jasa di dalamnya, dan menimbulkan kenaikan volume sektor non basis.

(13)

tidak langsung. Metode pengukuran langsung dapat dilakukan dengan melakukan survey langsung untuk mengidentifkasi sektor mana yang merupakan sektor basis. Metode ini dilakukan untuk menentukan sektor basis dengan tepat, akan tetapi memerlukan biaya, waktu dan tenaga yang cukup besar.

Oleh karena itu, maka sebagian pakar ekonomi menggunakan metode pengukuran tidak langsung, yaitu metode Arbriter, dilakukan dengan cara membagi secara langsung kegiatan perekonomian ke dalam kategori ekspor dan non ekspor tanpa melakukan penelitian secara spesifk di tingkat lokal. Metode ini tidak memperhitungkan kenyataan bahwa dalam kegiatan ekonomi terdapat kegiatan ekonomi yang menghasilkan barang yang sebagian diekspor atau dijual, metode Location Quotient (LQ) merupakan suatu alat analisa untuk melihat peranan suatu sektor tertentu dalam suatu wilayah dengan peranan sektor tersebut dalam wilayah yang lebih luas, dan metode kebutuhan minimum metode ini sangat tergantung pada pemilihan persentase minimum dan tingkat disagregasi. disagregasi yang terlalu terperinci dapat mengakibatkan hampir semua sektor menjadi basis atau ekspor.

Dari ketiga metode tersebut Glasson (1977) menyarankan metode LQ dalam menentukan sektor basis. Richardson (1977) menyatakan bahwa teknik LQ adalah yang paling lazim digunakan dalam studi-studi basis empirik. Asumsinya adalah jika suatu daerah lebih berspesialisasi dalam memproduksi suatu barang tertentu, maka wilayah tersebut mengekspor barang tersebut sesuai dengan tingkat spesialisasinya dalam memproduksi barang tersebut.

2.3 Shift Share

(14)

ekonomi nasional (Tarigan,2002).

Analisis shift share diartikan sebagai salah satu teknik kuantitatif yang biasa digunakan untuk menganalisis perubahan struktur ekonomi daerah relatif terhadap struktur ekonomi wilayah administratif yang lebih tinggi sebagai pembanding atau referensi. Untuk tujuan tersebut, analisis ini menggunakan tiga informasi dasar yang berhubungan satu sama lain yaitu: Pertama, pertumbuhan ekonomi referensi propinsi atau nasional (nasional growth efect) yang menunjukkan bagaimana pengaruh pertumbuhan ekonomi nasional terhadap perekonomian daerah. Kedua, pergeseran proporsional (proporsional shift), yang menunjukkan perubahan relatif kinerja suatu sektor di daerah tertentu terhadap sektor yang sama di referensi propinsi atau nasional. Ketiga, Pergeseran deferensial (diferential shift) yang memberikan informasi dalam menentukan seberapa jauh daya saing industri daerah (lokal) dengan perekonomian yang dijadikan referensi. Jika pergeseran suatu industri adalah positif, maka industri tersebut relatif lebih tinggi daya saingnnya dibandingkan industri yang sama pada perekonomian yang dijadikan referensi. Pergeseran deferensial ini disebut juga pengaruh keunggulan kompetitif (Widodo, 2006)

Analisis shift-share merupakan teknik yang sangat berguna dalam menganalisis perubahan struktur ekonomi daerah dibandingkan dengan perekonomian nasional. Tehnik ini membandingkan laju pertumbuhan sektor-sektor di suatu wilayah dengan laju pertumbuhan perekonomian nasionalserta sektor-sektornya, dan mengamati penyimpangan-penyimpangan dari perbandingan-perbandingan itu. Bila penyimpangan itu positif, hal itu disebut keunggulan kompetitif dari suatu sektor dalam wilayah tersebut.

Keunggulan analisis shift share antara lain :

1. Memberikan gambaran mengenai perubahan struktur ekonomi yang terjadi, walau analisis shift sharetergolong sederhana.

2. Memungkinkan seorang pemula mempelajari struktur perekonomian dengan cepat.

3. Memberikan gambaran pertumbuhan ekonomi dan perubahan struktur dengan cukup akurat.

Kelemahan Analisis Shift-Share antara lain :

(15)

2. Masalah benchmarkberkenaan dengan homothetic change, apakah t atau (t+1) tidak dapat dijelaskan dengan baik.

3. Ada data periode waktu tertentu di tengah tahun pengamatan yang tidak terungkap.

Analisis ini sangat berbahaya sebagai alat peramalan, mengingat bahwa regional shift tidak konstan dari suatu periode ke periode lainnya. Tidak dapat dipakai untuk melihat keterkaitan antarsektor dan Tidak ada keterkaitan antardaerah. (Glasson 1990)

2.4 Prioritas Pengembangan Subsektor-subsektor Pertanian

Menurut Sandy (1982), pembangunan wilayah atau pengembangan wilayah adalah membangun masyarakat sesuai dengan potensi dan prioritas yang terdapat di daerah yang bersangkutan. Potensi di sini adalah tidak terbatas pada potensi fsik saja, melainkan juga potensi sosial, ekonomi dan budaya. Perencanaan wilayah adalah perencanaan penggunaan ruang wilayah (termasuk perencanaan pergerakan di dalam wilayah) dan perencanaan kegiatan pada ruang wilayah tersebut. Perencanaan penggunaan ruang wilayah diatur dalam bentuk perencanaan tata ruang wilayah, sedangkan perencanaan kegiatan dalam wilayah diatur di dalam perencanaan pembangunan wilayah. Kedua bentuk perencanaan ini tidak dapat dipisahkan satu sama lain dan bersifat saling mengisi antara satu dengan yang lainnya. Tata ruang wilayah merupakan landasan sekaligus juga sasaran dari perencanaan pembangunan wilayah (Tarigan, 2004).

(16)

lebih banyak penghuni dengan tingkat kesejahteraan rata-rata masyarakat yang lebih baik, di samping menunjukkan lebih banyak sarana/prasarana, barang atau jasa yang tersedia dan kegiatan-kegiatan usaha masyarakat yang meningkat, baik dalam arti jenis, intensitas, pelayanan maupun kualitasnya.

2.5 Tipologi Klassen

Menurut Widodo (2006) Teknik Tipologi Klassen dapat digunakan untuk mengetahui gambaran tentang pola dan struktur pertumbuhan sektoral daerah. Menurut Tipologi Klassen, masing-masing sektor ekonomi di daerah dapat diklasifkasikan sebagai sektor prima, berkembang, potensial dan terbelakang. Analisis ini mendasarkan pengelompokan suatu sektor dengan melihat pertumbuhan dan kontribusi PDRB suatu daerah. Dengan menggunakan analisis Tipologi Klassen, suatu sektor dapat dikelompokkan ke dalam 4 kategori, yaitu : Sektor Prima

Sektor Potensial Sektor Berkembang Sektor Terbelakang

Penentuan kategori suatu sektor ke dalam 4 kategori di atas didasarkan pada laju pertumbuhan kontribusi sektoralnya dan rerata besar kontribusi sektoralnya terhadap PDRB, seperti pada Tabel 1 berikut.

Tabel 1. Matriks Tipologi Klassen.

Rerata Kontribusi Sektoral terhadap PDRB Rerata Laju

Pertumbuhan Sektoral

Y sektor ≥ Y PDRB Y sektor ≥ Y PDRB

r sektor ≥ r PDRB Sektor Prima Sektor Berkembang

r sektor < r PDRB Sektor Potensial Sektor Terbelakang

Keterangan :

(17)

YPDRB = rata-rata PDRB

rsektor = laju pertumbuhan sektor ke i

rPDRB = laju Pertumbuhan PDRB

sedangkan matriks pengembangan dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Matriks Pengembangan

Untuk periode jangka pendek bagaimana mengupayakan sektor kegiatan ekonomi dalam kategori potensial diupayakan untuk menjadi sektor prima dengan mendorong pertumbuhannya lebih cepat lagi. Jangka menengah, mengupayakan sektor dalam kategori berkembang menjadi sektor prima dengan memperbesar kontribusi terhadap perekonomian daerah. Jangka panjang, mengupayakan sektor berkembang yang tadinya berasal dari sektor terbelakang menjadi sektor prima.

2.6 Kesenjangan Ekonomi Wilayah

Kesenjangan pembangunan ekonomi antarwilayah merupakan fenomena umum yang terjadi dalam proses pembangunan ekonomi suatu daerah. Ketimpangan ini padaa awalnya disebabkan oleh adanya perbedaan kandungan sumber daya alam dan perbedaan kondisi demograf yang terdapat pada masing-masing wilayah. Akibat dari perbedaan ini, kemampuan suatu daerah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan mendorong proses pembangunan juga menjadi berbeda. Karena itu tidaklah mengherankan bilamana setiap daerah biasanya terdapat wilayah relative maju (developed region) dan wilayah relative terbelakang (underdeveloped region).

(18)

perkembangan seharusnya tidak seimbang. Perkembangan terjadi karena ada sektor yang berkembang lebih pesat dari sektor lainnya. Sektor baru, dengan harapan dapat memenuhi permintaan sektor sebelumnya, berkembang lebih pesat melebihi sektor semula, demikian seterusnya. Ketimpangan dalam pembagian pendapatan adalah ketimpangan dalam perkembangan ekonomi antara berbagai daerah dalam suatu wilayah yang akan menyebabkan ketimpangan tingkat pendapatan per kapita antar daerah. Analisis untuk menghitung ketimpangan regional dengan menggunakan indeks ketimpangan Williamson dan indeks ketimpangan Entropi Theil (Kuncoro, 2004:87).

Williamson menjelaskan bahwa kesenjangan/ketimpangan antar daerah yang semakin membesar disebabkan oleh: pertama, adanya migrasi tenaga kerja antar daerah bersifat selektif dan pada umumnya para migran tersebut lebih terdidik, mempunyai keterampilan cukup tinggi, dan masih produktif. Kedua, adanya migrasi kapital antardaerah, adanya proses aglomerasi pada daerah lain sehingga berakibat pada terjadinya aliran kapital ke daerah yang memang telah terlebih dahulu maju. Ketiga, adanya pembangunan sarana publik pada daerah yang lebih padat dan potensial berakibat mendorong terjadinya kesenjangan/ketimpangan antar daerah lebih besar. Keempat, kurangnya keterkaitan antar daerah dapat menyebabkan terhambatnya proses efek sebar dari proses pembangunan yang berdampak pada semakin besarnya kesenjangan/ketimpangan yang terjadi (dalam Restiatun, 2009:86-87).

Terjadinya kesenjangan pembangunan antarwilayah ini selanjutnya membawa implikasi terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat pada wilayah bersangkutan. Biasanya implikasi yang ditimbulkan adalah dalam bentuk kecemburuan dan ketidakpuasan masyarakat yang dapat pula berlanjut dengan implikasi politik dan ketentraman masyarakat. Karena itu, aspek disparitas pembangunan ekonomi antarwilayah ini perlu ditanggulangi melalui formulasi kebijakan pembangunan wilayah yang dilakukan oleh Pemerintah (Sjafrizal, 2012).

(19)

(Sjafrizal, 1997) sebagai berikut:

Yi = PDRB per kapita di kabupaten i Y = PDRB rata-rata per kapita di Provinsi f = jumlah penduduk kabupaten i

n = jumlah penduduk Provinsi

Formula indeks Williamson menggunakan PDRB perkapita dan jumlah penduduk dimana nilai yang diperoleh antara nol dan satu atau (0<W<1). Dengan indikator bahwa apabila angka indeks ketimpangan Williamson semakin mendekati nol maka menunjukan ketimpangan yang semakin kecil dan bila angka indeks menunjukan semakin jauh dari nol maka akan menunjukkan ketimpangan yang makin lebar.

Emilia dan Imelia (2006) mengemukakan bahwa faktor-faktor penyebab disparitas (ketimpangan) pembangunan ekonomi adalah:

1. Konsentrasi Kegiatan Ekonomi Wilayah

Konsentrasi kegiatan ekonomi yang tinggi di daerah tertentu merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya ketimpangan pembangunan antar daerah. Ekonomi dari daerah dengan konsentrasi tinggi cenderung tumbuh pesat dibandingkan daerah yang tingkat konsentrasi ekonomi rendah cenderung mempunyai tingkat pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah. 2. Alokasi Investasi

Berdasarkan teori Pertumbuhan Ekonomi dari Harrod Domar menerangkan bahwa adanya korelasi positip antara tingkat investasi dan laju pertumbuhan ekonomi. Artinya rendahnya investasi disuatu wilayah membuat pertumbuhan ekonomi dan tingkat pendapatan masyarakat perkapita di wilayah tersebut rendah karena tidak ada kegiatan kegiatan ekonomi yang produktif.

3. Tingkat Mobilitas Faktor Produksi yang Rendah Antarwilayah

(20)

antarwilayah merupakan penyebab terjadinya ketimpangan ekonomi regional. Hubungan antara faktor produksi dan disparitas pembangunan atau pertumbuhan antarwilayah dapat di jelaskan dengan pendekatan mekanisme pasar. Perbedaan laju pertumbuhan ekonomi akan menyebabkan perbedaan pendapatan perkapita antarwilayah dengan asumsi bahwa mekanisme pasar output atau input bebas. 4. Perbedaan Sumber Daya Alam (SDA) Antarwilayah

Menurut kaum klassik pembangunan ekonomi di daerah yang kaya SDA akan lebih maju dan masyarakatnya lebih makmur dibandingkan di daerah yang miskin SDA. Dalam arti SDA dilihat sebagai modal awal untuk pembangunan yang selanjutnya harus dikembangkan selain itu diperlukan fakor-faktor lain yang sangat penting yaitu teknologi dan SDM.

5. Perbedaan Kondisi Demograf Antarwilayah

Disparitas (ketimpangan) Ekonomi Regional di Indonesia juga disebabkan oleh perbedaan kondisi geografs antarwilayah. Terutama dalam hal jumlah dan pertumbuhan penduduk, tingkat kepadatan penduduk, pendidikan, kesehatan, disiplin masyarakat dan etos kerja. Dilihat dari sisi permintaan, jumlah penduduk yang besar merupakan potensi besar bagi pertumbuhan pasar, yang berarti faktor pendorong bagi pertumbuhan kegiatan ekonomi. Dari sisi penawaran jumlah populasi yang besar dengan pendidikan dan kesehatan yang baik, disiplin yang tinggi, etos kerja tinggi merupakan aset penting bagi produksi.

6. Kurang Lancarnya Perdagangan Antarwilayah

Kurang lancarnya perdagangan antardaerah (intra-trade) merupakan unsur menciptakan ketimpangan ekonomi regional. Tidak lancarnya Intra-trade disebabkan Keterbatasan transportasi dan komunikasi. Tidak lancarnya arus barang dan jasa antar daerah mempengaruhi pembangunan dan pertumbuhan ekonomi suatu wilayah melalui sisi permintaan dan sisi penawaran. Sisi permintaan kelangkaan akan barang dan jasa untuk konsumen mempengaruhi permintaan pasar terhadap kegiatan ekonomi lokal yang sifatnya komplementer dengan barang jasa tersebut. Sisi penawaran, sulitnya mendapat barang modal, input antara, bahan baku atau material lain yang dapat menyebabkan kegiatan ekonomi suatu wilayah akan lumpuh dan tidak beroperasi optimal.

(21)

yaitu adanya perbedaan faktor anugrah awal (endowment factor). Perbedaan inilah yang menyebabkan tingkat pembangunan di berbagai wilayah dan daerah berbeda-beda, sehingga menimbulkan gap atau jurang kesejahteraan di berbagai wilayah tersebut (Sukirno,2003).

BAB III

METODOLOGI PRAKTIKUM 3.1 Penentuan Lokasi

Penentuan lokasi analisis ditentukan secara purposive atau sengaja, yaitu di daerah Kabupaten Lebong. Alasan penentuan lokasi analisis ini adalah karena wilayah ini memiliki ke lima subsektor pertanian yang sesuai untuk dianalisis.

3.2 Jenis dan Metode Pengumpulan Data

Jenis data yang digunakan dalam praktikum ini yaitu data sekunder yaitu jenis data yang telah dikumpulkan oleh lembaga pengumpul data dan dipublikasikan kepada masyarakat pengguna data. (Mudrajad Kuncoro,2004,127). Dalam analisis ini data yang digunakan adalah data yang berkala (time series) yang berasal dari data perpustakaan BPS Provinsi Bengkulu, yaitu:

1. Data PDRB subsektor pertanian atas harga konstan tahun 2009 -2013 di Kabupaten Lebong dan Provinsi Bengkulu.

2. Data jumlah produksi subsektor tanaman bahan pangan di Kabupaten Lebong dan Provinsi Bengkulu.

3. Data PDRB subsektor pertanian atas harga konstan tahun 2009 dan 2013 di Kabupaten lebong dan Provinsi Bengkulu.

(22)

5. Data Kontribusi PDRB subsektor pertanian atas dasar harga konstan tahun 2013 di Kabupaten Lebong dan Provinsi Bengkulu.

6. Data PDRB subsektor pertanian atas harga konstan tahun 2009-2013 di Kabupaten Lebong,Kabupaten Muko-Muko,dan Kabupaten Rejang Lebong serta Jumlah Penduduk di Provinsi Bengkulu.

7. Data Jumlah Penduduk tahun 2009-2013 di Kabupaten Lebong,Kabupaten Muko-Muko,dan Kabupaten Rejang Lebong serta Jumlah Penduduk di Provinsi Bengkulu.

3.3 Metode Analisis Data

3.3.1 Analisis Subsektor Pertanian dan Komoditas Unggulan 3.3.1.1 Analisis Subsektor Pertanian Unggulan

Metode yang digunakan untuk analisis subsektor pertanian adalah metode Location Quotient (LQ). Location Quotient adalah suatu perbandingan tentang besarnya peranan subsektor secara provinsi. Rumusnya adalah sebagai berikut :

LQ

=

Vi

Yi

/

Vt

/

Yt

Dimana :

Vi = Jumlah PDRB subsektor Pertanian i Kabupaten Lebong Vt = Jumlah total PDRB seluruh subsektor Kabupaten Lebong Yi = Jumlah PDRB subsektor Pertanian i Provinsi Bengkulu Yt = Jumlah total PDRB seluruh subsektor Provinsi Bengkulu Kriteria yang ada adalah :

a. Jika LQ > 1 menunjukkan bahwa daerah yang dianalisis lebih terspesialisasi dalam aktivitas tersebut dibandingkan dengan seluruh daerah dalam hal ini mengimplementasikan bahwa daerah yang diselidiki mempunyai potensi ekspor untuk memenuhi kebutuhan lainnya.

(23)

c. Jika LQ = 1 maka subsektor-subsektor tersebut habis dikonsumsi.

3.3.1.2 Analisis Komoditas Unggulan Subsektor Pertanian

Metode yang digunakan untuk analisis komoditas unggulan subsektor pertanian adalah metode Location Quotient (LQ). Location Quotient adalah suatu perbandingan tentang besarnya peranan komoditi pada subsektor pertanian secara provinsi. Rumusnya adalah :

LQ

=

Vi

Yi

/

Vt

/

Yt

Dimana :

Vi = Jumlah komoditi subsektor tanaman bahan pangan I di Kabupaten Lebong Vt = Jumlah total komoditi subsektor tanaman bahan pangan I di Kabupaten Lebong..

Yi = Jumlah komoditi subsektor tanaman bahan pangan I di Provinsi Bengkulu. Yt = Jumlah total komoditi subsektor tanaman bahan pangan di Provinsi Bengkulu. Kriteria yang ada adalah :

a. Jika LQ > 1 menunjukkan bahwa daerah yang dianalisis lebih terspesialisasi dalam pengembangan komoditi subsektor tanaman bahan pangan tersebut. b. Jika LQ < 1 maka peranan komoditi subsektor tanaman bahan pangan

didaerah tersebut lebih kecil dari peranan su bsektor tersebut secara provini. c. Jika LQ = 1 maka komoditi subsektor tanaman bahan pangan tersebut habis

dikonsumsi.

3.3.1.3 Analisis Subsektor Unggulan dengan Metode Dynamic LQ

Metode yang digunakan untuk mengklasifkasikan subsektor basis dan nonbasis dengan metode Dynamic LQ, secara matematis didapat dengan rumus :

DLQ

=

[

(

1

+

gij

)/(

1

+

gj

)

(

1

+

Gin

)/(

1

+

Gn

)

]

t

Keterangan :

DLQ : Indeks Dynamic Location Quotient sektor ke I di wilayah analisis gij : Rata-rata Laju Pertumbuhan PDRB sektor ke i di wilayah analisis gj : Rata-rata Laju Pertumbuhan PDRB di wilayah analisis

(24)

Gn : Rata-rata Laju Pertumbuhan PDRB di wilayah acuan T : Kurun waktu penelitian

Adapun indikator DLQ yaitu sebagai berikut :

a. DLQ > 1, artinya sektor tersebut adalah sektor basis pada masa yang akan datang.

b. DLQ ≤ 1, artinya sektor tersebut termasuk sektor nonbasis pada masa yang akan datang.

Perubahan posisi sektor dianalisis dengan menggunakan Location Quotient (LQ) dan Dynamic Location Quotient (DLQ), dengan rincian sebagai berikut (Widodo, 2006):

Metode Klasifkasi LQ > 1 dan DLQ >

1 Subsektor tetap menjadi basis dimasa sekarang maupun masa yang akan datang.

LQ > 1 dan DLQ ≤

1 Subsektor tersebut mengalamiperubahan posisi dari basis menjadi nonbas

LQ ≤ 1 dan DLQ >

1 Subsektor tersebut mengalamiperubahan posisi dari basis menjadi nonbasis di masa yang akan datang.

(25)

3.3.2 Analisis Kinerja Subsektor-Subsektor Pertanian (dengan Metode SS)

Analisis yang digunakan untuk menentukan kinerja subsektor-subsektor pertanian di Kabupaten Lebong adalah analisis Shift Share (SS). Komponen kinerja subsektor dalam analisis Shift Share meliputi komponen pertumbuhan nasional (KPN), komponen pertumbuhan proporsional (KPP), dan komponen pertumbuhan pangsa wilayah (KPPW). Dalam praktikum ini komponen pertumbuhan wilayah yang digunakan hanya komponen pertumbuhan proporsional (KPP) dan komponen pertumbuhan pangsa wilayah (KPPW).

Analisis komponen pertumbuhan wilayah menggunakan model analisis shift share. Untuk melihat kinerja subsektor pertanian tersebut diperoleh dari persamaan berikut :

KPP

=

Ri

Ra

KPPW

=

ri

Ri

Ri

=

Yi

Yit

0

Ra

=

Y

Yt

0

ri

=

yi

yit

0

Keterangan :

KPP = Komponen Pertumbuhan Proporsional KPPW = Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah

Ri – Ra = Persentase perubahan PDRB subsektor pertanian kabupaten yang disebabkan

komponen pertumbuhan nasional.

ri – Ri = Persentase perubahan PDRB subsektor pertanian kabupaten yang di sebabkan

komponen pertumbuhan pangsa wilayah.

(26)

yit = subsektor ke-i pada tahun analisis wilayah analisis (provinsi)

3.3.3 Analisis Prioritas Pengembangan subsektor-subsektor Pertanian

Analisis prioritas pengembangan subsektor-subsektor pertanian di Kabupaten Lebong adalah gabungan hasil perhitungan LQ dan SS. Dengan kriteria sebagai berikut :

a) Apabila LQ > 1, PP bernilai positif dan PPW bernilai positif, maka subsektor pertanian tersebut sebagai prioritas pengembangan utama.

b) Apabila LQ > 1, PP bernilai positif dan PPW bernilai negatif, maka subsektor pertanian tersebut sebagai prioritas pengembangan kedua.

c) Apabila LQ > 1, PP bernilai negatif dan PPW bernilai positif, maka subsektor pertanian tersebut sebagai prioritas pengembangan kedua.

d) Apabila LQ > 1, PP bernilai negatif dan PPW bernilai negative, maka subsektor pertanian tersebut sebagai prioritas pengembangan alternatif.

3.3.4 Analisis Klasifkasi subsektor Pertanian Berdasarkan Tipologi Klassen

Metode yang digunakan untuk menganalisis subsektor pertanian adalah dengan menggunakan pendekatan Tipologi Klassen. Untuk mengetahui klasifkasi subsektor Pertanian Daerah Kabupaten Lebong digunakan kriteria sebagai berikut :

a. Jika Ri ≥ Rn dan Ki ≥ kn : Subsektor unggul/prima b. Jika Ri ≥ Rn dan Ki < kn : Subsektor berkembang c. Jika Ri < Rn dan Ki ≥ kn : Subsektor Potensial d. Jika Ri < Rn dan Ki < kn : Subsektor terbelakang

Dimana :

Ri : Pertumbuhan PDRB Kabupaten Rn : Pertumbuhan PDRB Provinsi Ki : Kontribusi PDRb Kabupaten Kn : Kontribusi PDRB Provinsi

(27)

Untuk menganalisis data yaitu menggunakan indeks dari Jefery G. Williamson atau indeks ketimpangan atau kesenjangan Wiliamson, sebagai berikut :

IW

=

(

Yi

Y

)

(

fi

n

)

Y

Dimana :

IW = Indeks Wiliamson

Yi = PDRB perkapita Kabupaten I (Lebong, Muko-muko dan Rejang Lebong) Y = PDRB perkapita rata-rata Provinsi Bengkulu

Fi = Jumlah penduduk di Kabupaten i (Lebong, Muko-muko dan Rejang Lebong) n = Jumlah penduduk Provinsi Bengkulu

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Subsektor Pertanian dan Komoditas Unggulan di Kabupaten Lebong

4.1.1 Subsektor Pertanian Unggulan di Kabupaten Lebong

(28)

pertambangan, industry, listrik, bangunan, pedagangan, transportasi, keuangan dan jasa-jasa. Sektor pertanian terbagi lagi dalam lima subsektor yaitu subsektor bahan tanaman pangan, perkebunan, perikanan, peternakan dan kehutanan.

Variabel yang menjadi acuan dalam melihat subsektor pertanian uanggulan di Kabupaten Lebong adalah terkhusus kepada lima subsektor pertanian saja. Dalam hitungan LQ apabila nilai LQ > 1 maka subsektor tersebut merupakan sektor unggulan dan dapat menghasilkan barang dan jasa yang dapat diekspor ke daerah lain dan dapat memenuhi daerahnya sendiri. Sedangkan apabila LQ < 1 maka, subsektor tersebut tidak termasuk dalam sektor unggulan, karena sektor tersebut hanya mampu memenuhi kebutuhan daerahnya sendiri. Apabila besarnya LQ = 1, maka pangsa pasar derah tersebut sebanding dengan pangsa daerah yang lebih luas (Provinsi Bengkulu) sehingga tidak bisa dijadikan sektor unggulan.

Subsektor yang besar LQ > 1 dapat dikembangkan sehingga dapat mendorong perekonomian daerah. Untuk mengetahui besarnya nilai LQ masing-masing subsektor di Kabupaten Lebong digunakan PDRB atas dasar harga konstan subsektor pertanian dari tahun 2009 sampai 2013.

Dapat dilihat dari nilai LQ > 1 pada tahun 2009 sampai 2013 hanya ada 1 subsektor yang dapat diunggulkan atau subsektor basis di Kabupaten Lebong, yaitu subsektor Tanaman Bahan Pangan. Sedangkan empat subsektor lainnya sejak tahun 2009 sampai dengan 2013 belum pernah sekalipun menjadi sektor unggulan di Kabupaten Lebong. Ke empat subsektor tersebut yaitu subsektor perkebunan, peternakan, perikanan, dan kehutanan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat ada tabel 3.

Tabel 3. Hasil Analisis LQ Subsektor Pertanian Unggulan Kabupaten Lebong Tahun 2009-2013

(29)

Tanaman Sumber : BPS Provinsi Bengkulu, Atas Harga Konstan Tahun 2009-2013 (data diolah)

Berdasarkan tabel 1. subsektor tanaman bahan pangan dari tahun 2009 sampai tahun 2013 selalu mengalami peningkatan. Peningkatan tertinggi terjadi pada tahun 2012 yaitu sebesar 0,05 terhadap tahun 2013. Berdasarkan kondisi ini dapat disimpulakan bahwa subsektor yang menjadi subsektor basis atau unggulan merupakan subsektor kuat disebabkan nilai LQnya yang lebih dari satu (LQ<1). Hal tersebut merupakan konsekuensi dari perluasan lahan pertanian di Kabupaten Lebong dan menunjukkan bahwa subsektor tersebut potensial dalam menunjang kecenderungan ekspor ke daerah (kabupaten) lain. Sedangkan yang menajadi subsektor non basis yaitu subsektor-subsektor yang nilai LQnya kurang dari satu (LQ<1) sehingga menyebabkan subsektor-subsektor ini mempunyai kecenderungan untut impor dari daerah (kabupaten) lain. Oleh karena itu, dengan adanya ekspor maka Kabupaten Lebong akan memperoleh pendapatan. Dengan adanya arus pendapatan dari luar kabupaten ini menyebabkan kenaikan konsumsi dan investasi pertanian di Kabupaten Lebong.

4.1.2 Komoditas-komoditas unggulan subsektor Kabupaten Lebong

(30)

perikanan, peternakan, perikanan dan kehutanan. Setiap subsektor pertanian tersebut memiliki komoditas yang berbeda-beda. Menurut hasil LQ > 1, subsektor unggulan di Kabupaten Lebong yaitu subsektor tanaman bahan pangan. Subsektor ini terbagi dalam empat komoditi pertanian yaitu padi sawah dan padi ladang, palawija, sayur-sayuran dan buah-buahan. Dari hasil perhitungan LQ, yang menjadi komoditi unggulan dalam subsektor tanaman bahan pangan tahun 2009 sampai 2013 yaitu komoditi padi sawah dan padi ladang dengan besar LQ lebih dari 1 (LQ > 1), dimana rata-rata LQnya adalah 1,72. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada table.4

Tabel 4. Hasil Analisis LQ Komoditas Tanaman Bahan Pangan Unggulan Kabupaten Lebong Tahun 2009-2013 (Jumlah Produksi)

Tahun PS & PLKomoditi Subsektor Tanaman Bahan PanganPalawija Buah-buahan Sayuran

2009 1,865279725 0,061230319 1,156398684 0,03417935

Sumber : BPS Provinsi Bengkul, Kabupaten Lebong dalam Angka Tahun 2009-2010 (data diolah)

(31)

sebesar 1,83 .

Dari hasil rata-rata LQ, komoditi padi sawah dan ladang tetap menjadi komoditi unggulan (LQ > 1) di Kabupaten Lebong yaitu sebesar 1,72. Hal ini menunjukkan bahwa Kabupaten Lebong mampu mengekspor produksi padi ladang dan sawah ke daerah (kabupaten) lain dan mencukupi kebutuhan padi sawah dan ladang di daerah itu sendiri. Sedangkan untuk komoditi tidak unggul (LQ < 1) yaitu buah-buahan, sayur-sayuran dan palawija, Kabupaten Lebong hanya mencukupi daerah sendiri dan cenderung mengimpor dari daerah (kabupaten) lain.

4.1.3 Penentuan Subsektor Pertanian Unggulan dengan Metode Dynamic LQ

Penentuan komoditas unggulan dengan metode dynamic LQ bertujuan untuk mengidentifkasi perubahan posisi subsektor pertanian pada masa sekarang dan yang akan datang. Identifkasi perubahan posisi subsektor pertanian di Kabupaten Lebong tersebut lebih jelas dapat pada table. 5 berikut.

Tabel 5. Subsektor Pertanian Unggulan dengan Metode Dynamic LQ Subsektor Pertanian Rata-rata LQ Rata-rata DLQ

Tanaman Bahan

Sumber : BPS Provinsi Bengkulu, Atas Harga Konstan Tahun 2009-2013 (data diolah)

(32)

yang akan datang karena nilai LQ kurang dari 1 dan DLQ lebih dari 1.

4.2 Kinerja Subsektor-subsektor Pertanian di Kabupaten Lebong

Perhitungan komponen SS PDRB subsektor pertanian kab/kota lebong atas dasar harga konstan tahun 2009 dan tahun 2013.

Tabel 6. Kinerja Subsektor-subsektor Pertanian di Kabupaten Lebong

Subsekt

Keb 0.184981 0.11985 -0.1160 5

0.003798742

Ter 0.184981 0.066276 -0.0856

8 -0.0194047

Sumber : BPS Provinsi Bengkulu, Atas Harga Konstan Tahun 2009-2013 (data diolah)

(33)

Ada 2 komponen pertumbuhan wilayah yang dijadikan alat untuk mengukur pertumbuhan subsektor pertanian, yaitu: 1. Komponen Pertumbuhan Proporsional (KPP), Pergeseran yang menunjukkan perubahan relatif (naik/turun) kinerja suatu sektor di Kabupaten Lebong terhadap sektor yang sama Propinsi Bengkulu. Jika nilai pergeseran positif, berarti subsektor tersebut di Kabupaten Lebong lebih cepat kinerja pertumbuhannya dibanding subsektor yang sama di subsektor provinsi Bengkulu. Jika nilai pergeseran negatif, berarti subsektor tersebut di Kabupaten Lebong lebih lambat kinerja pertumbuhannya dibanding subsektor yang sama di subsektor provinsi Bengkulu. 2. Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah (KPPW), Pergeseran yang menunjukkan tingkat daya saing suatu subsektor tertentu di Kabupaten Lebong dibanding tingkat propinsi Bengkulu. Jika nilai pergeseran positif, berarti subsektor tersebut di Kabupaten Lebong lebih berdaya saing dibanding subsektor yang sama di subsektor provinsi Bengkulu. Jika nilai pergeseran negatif, berarti subsektor tersebut di Kabupaten Lebong kurang berdaya saing dibanding subsektor yang sama di subsektor provinsi Bengkulu.

Berdasarkan Data perhitungan tabel shiftshare (ss) didapat nilai KPP bahan Pangan sebesar -0.05966 (bernilai negatif) yang artinya kinerja subsektor bahan pangan di kabupaten lebong pertumbuhannya lebih lambat dibandingkan dengan subsektor bahan pangan di provinsi Bengkulu ;KPP subsektor perkebunan sebesar 0,11985 (bernilai positif) yang artinya kinerja subsektor perkebunan di kabupaten lebong pertumbuhannya lebih cepat dibandingkan dengan subsektor perkebunan di provinsi Bengkulu ; KPP subsektor peternakan sebesar 0,066267 (bernilai positif) yang artinya kinerja subsektor peternakan di kabupaten lebong pertumbuhannya lebih cepat dibandingkan dengan subsektor peternakan di provinsi Bengkulu ; KPP subsektor perikanan sebesar -0,12535 (bernilai negatif) yang artinya kinerja subsektor perikanan di kabupaten lebong pertumbuhannya lebih lambat dibandingkan dengan subsektor perikanan di provinsi Bengkulu ;KPP subsektor Kehutanan sebesar -0,16065 (bernilai negatif) yang artinya kinerja subsektor Kehutanan di kabupaten lebong pertumbuhannya lebih lambat dibandingkan dengan subsektor Kehutanan di provinsi Bengkulu.

(34)

di kabupaten lebong pertumbuhan sumberdayanya lebih berdaya saing dibandingkan dengan subsektor bahan pangan di provinsi Bengkulu ; KPPW subsektor perkebunan sebesar -0,11605 (bernilai negatif) yang artinya subsektor perkebunan di kabupaten lebong pertumbuhan sumberdayanya kurang berdaya saing dibandingkan dengan subsektor perkebunan di provinsi Bengkulu ; KPPW subsektor peternakan sebesar -0,08568 (bernilai negatif) yang artinya subsektor peternakan di kabupaten lebong pertumbuhan sumberdayanya kurang berdaya saing dibandingkan dengan subsektor peternakan di provinsi Bengkulu ; KPPW Perikanan sebesar 0,162448 (bernilai positif) yang artinya subsektor Perikanan di kabupaten lebong pertumbuhan sumberdayanya lebih berdaya saing dibandingkan dengan subsektor Perikanan di provinsi Bengkulu ; KPPW subsektor Kehutanan sebesar -0,01205 (bernilai negatif) yang artinya subsektor perkebunan di kabupaten lebong pertumbuhan sumberdayanya kurang berdaya saing dibandingkan dengan subsektor perkebunan di provinsi Bengkulu.

Maka KPP yang bernilai positif dari subsektor pertanian di kabupaten lebong adalah Perkebunan dan Peternakan.KPP yang bernilai negatif dari subsektor pertanian di kabupaten lebong adalah Bahan Pangan,Perikanan,dan Kehutanan.Sedangkan KPPW yang bernilai positif dari subsektor pertanian di kabupaten lebong adalah Bahan Pangan dan Perikanan. KPPW yang bernilai negatif dari subsektor pertanian di kabupaten lebong adalah Perkebunan,Peternakan,dan Kehutanan.

4.3 Klasifkasi Subsektor-subsektor Pertanian di Kabupaten Lebong Menurut Tipologi Klassen

Hasil perhitungan laju pertumbuhan subsektor dan kontribusi terhadap PDRB Kabupaten Lebong dan Provinsi Bengkulu selanjutnya dibandingkan untuk memperoleh posisi subsektor tersebut dalam klasifkasi Tipologi Klassen. Dan kriteria dalam pengklasifkasian tipologi klassen adalah sebagai berikut :

Tabel 7. Klasifkasi Subsektor Pertanian Berdasarkan Tipologi Klassen. Kontribusi PDRB

Pertumbuhan PDRB Ki ≥ Kn Ki ≤ Kn Ri ≥ Rn Unggul atau Prima Berkembang

(35)

Sumber : BPS Provinsi Bengkulu, Atas Harga Konstan Tahun 2009-2013 (data diolah)

Keterangan :

Ri = Pertumbuhan PDRB Kabupaten Lebong Rn = Pertumbuhan PDRB Provinsi Bengkulu Ki = Kontribusi PDRB Kabupaten Lebong Kn = Kontribusi PDRB Provinsi Bengkulu.

Dari hasil perhitungan didapat bahwa hasil klasifkasi subsektor pertanian di Kabupaten Lebong adalah sebagai berikut :

Tabel 8. Hasil Klasifkasi Subsektor Pertanian di Kabupaten Lebong tahun 2013 Berdasarkan Tipologi Klassen.

No Subsektor Pertanian Klasifkasi

1 Tanaman Bahan Pangan Unggul atau Prima 2 Perkebunan Potensial

3 Peternakan Terbelakang

4 Kehutanan Potensial

5 Perikanan Berkembang

Sumber : BPS Provinsi Bengkulu, Atas Harga Konstan Tahun 2009-2013 (data diolah)

Berdasarkan hasil pada tabel 5, bahwa di Kabupaten Lebong klasifkasi untuk subsektor-subsektor pertaniannya adalah sebagai berikut :

a. Subsektor Tanaman Bahan Pangan

Subsektor tanaman bahan pangan merupakan subsektor yang unggul atau prima di Kabupaten Lebong, dimana pertumbuhan PDRB (Ri kab.Lebong ) 5,78% lebih besar dari pada pertumbuhan PDRB (Rn prov.Bengkulu) 1,54% dan kontribusi PDRB (Ki kab. Lebong) 53,73% lebih besar dari kontribusi PDRB (Kn Prov. Bengkulu) 19,58%.

b. Subsektor Perkebunan

(36)

kab. Lebong) 17,81% lebih besar dari kontribusi PDRB (Kn Prov. Bengkulu) 8,86%.

c. Subsektor Peternakan

Subsektor peternakan merupakan subsektor yang terbelakang di Kabupaten Lebong, dimana pertumbuhan PDRB (Ri kab.Lebong ) 4,02% lebih kecil dari pada pertumbuhan PDRB (Rn prov.Bengkulu) 6,54% dan kontribusi PDRB (Ki kab. Lebong) 2,89% lebih kecil dari kontribusi PDRB (Kn Prov. Bengkulu) 4,15%.

d. Subsektor Kehutanan

Subsektor kehutanan merupakan subsektor yang berkembang di Kabupaten Lebong, dimana pertumbuhan PDRB (Ri kab.Lebong ) 3.01% lebih besar dari pada pertumbuhan PDRB (Rn prov.Bengkulu) 0,68% dan kontribusi PDRB (Ki kab. Lebong) 0,20% lebih kecil dari kontribusi PDRB (Kn Prov. Bengkulu) 1,18%.

e. Subsektor Perikanan

Subsektor perikanan merupakan subsektor yang potensial di Kabupaten Lebong, dimana pertumbuhan PDRB (Ri kab.Lebong ) 0,30% lebih kecil dari pada pertumbuhan PDRB (Rn prov.Bengkulu) 1,53% dan kontribusi PDRB (Ki kab. Lebong) 4,86% lebih besar dari kontribusi PDRB (Kn Prov. Bengkulu) 4,56%.

(37)

Gambar 1. Posisi Perkembangan Perekonomian Subsektor Pertanian di Kabupaten Lebong menurut Tipologi Klassen.

Dari grafk Tipologi Klassen dapat dilihat bahwa ada dua subsektor yang tergolong subsektor yang cepat maju dan cepat berkembang dilihat dari perekonomiannya yaitu subsektor tanaman bahan makanan dan perkebunan. Subsektor yang tergolong ke dalam perekonomian cepat maju dan cepat berkembang adalah subsektor yang memiliki nilai pertumbuhan dan nilai kontribusi PDRB di atas rata-rata wilayah acuan (Kuadran I). Subsektor tanaman bahan makanan yang tergolong dalam subsektor prima atau unggul, juga merupakan subsektor yang cepat maju dan cepat berkembang di Kabupaten Lebong, sedangkan subsektor perkebunan yang merupakan subsektor potensial diketahui melalui grafk bahwa pertumbuhannya juga tegolong cepat maju dan cepat berkembang.

(38)

peternakan termasuk kedalam subsektor yang memiliki pertumbuhan maju tapi tertekan artinya, subsektor ini pertumbuhan perekonomiannya cenderung netral atau diatas rata-rata wilayah acuan, namun masih sulit untuk lebih dikembangkan di Kabupaten Lebong sehingga subsektor ini diklasifkasikan ke dalam subsektor terbelakang.

Untuk pertumbuhan perekonomian subsektor pertanian di Kabupaten Lebong, tidak ada yang tergolong ke dalam berkembang cepat. Hal ini terlihat bahwa di Kabupaten Lebong tidak ada subsektor yang memiliki nilai di atas rata-rata nilai kontribusi PDRB wilayah acuan dan dibawah rata-rata-rata-rata pertumbuhan PDRB wilayah acuan.

Untuk pertumbuhan perekonomian subsektor pertanian yang tergolong relatif tertinggal yaitu subsektor perikanan dan kehutanan. Hal ini dapat dilihat melalui grafk, bahwa nilai pertumbuhan dan kontribusi PDRB kedua subsektor tersebut berada dibawah nilai rata-rata pertumbuhan dan nilai rata-rata kontribusi PDRB wilayah acuan. Walau dibandingkan dengan klasifkasi subsektor perikanan yaitu berkembang, namun pertumbuhan perekonomian subsektor ini masih relatif tertinggal. Hal ini dapat terjadi karena di Kabupaten Lebong subsektor perikanan tidak dapat mencukupi kebutuhan para konsumennya. Untuk subsektor kehutanan yang diklasifkasikan potensial juga masih dalam pertumbuhan perekonomian relatif tertinggal. Hal ini menunjukkan bahwa subsektor kehutanan memiliki potensi (berpotensial) untuk meningkatkan pertumbuhan perekonomiannya di Kabupaten Lebong.

4.4 Indeks Kesenjangan Ekonomi antar Daerah Kabupaten Lebong, Kabupaten Muko-muko dan Kabupaten Rejang Lebong

(39)

dengan menggunakan indeks ketimpangan Wiliamson. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 9. sebagai berikut :

Tabel 9. Indeks Williamson Wilayah Pembangunan di Provinsi Bengkulu tahun 2009-2013

Tahun IW

26=25/10

2009 0,22962079 2010 0,28991291 2011 0,30199754 2012 0,31164708 2013 0,31881844

Sumber : BPS Provinsi Bengkulu, Atas Harga Konstan Tahun 2009-2013 (data diolah)

Angka indeks ketimpangan Williamson yang semakin kecil atau mendekati nol menunjukkan ketimpangan yang semakin kecil atau makin merata. Sebaliknya bila angka yang ada semakin mendekati satu berarti terjadi ketimpangan yang semakin besar.

Tabel 6. menunjukkan angka indeks ketimpangan PDRB perkapita antar daerah kabupaten tahun 2009 – 2013. Ketimpangan yang terjadi antar kabupaten mengalami peningkatan yang tidak terlalu besar. Namun dapat dilihat bahwa peningkatan tersebut dapat di prediksi pada tahun-tahun berikutnya mungkin akan semakin mendekati satu. Hal ini berarti pada setiap kabupaten pembangunan perekonomian di tiap wilayah tidak merata. Hal ini juga dapat dilihat bahwa saat ini Kabupaten Muko-muko merupakan kabupaten yang tingkat pembangunannya lebih cepat dibandingkan dengan Kabupaten Lebong atau Kabupaten Rejang Lebong.

(40)

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

5.1 Kesimpulan

Dari semua analisis yang dilakukan dipraktikum Perencenaan Pembangunan Wilayah Pertanian dengan Daerah Analisis Kabupaten Lebong, Acuan Provinsi Bengkulu , dan Daerah Pembanding Kabupaten Muko-Muko serta Kabupaten Rejang Lebong dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Dari angka PDRB atas dasar harga konstan tahun 2000 selama kurun waktu 2009 sampai 2013 dapat diketahui bahwa subsektor pertanian yang menjadi unggulan di Kabupaten Lebong dengan ketentuan LQ lebih dari 1 yaitu subsektor tanaman bahan pangan. Sedangkan ke empat subsektor lainnya menjadi subsektor tidak unggul.

2. Komoditi unggulan subsektor tanaman bahan pangan di Kabupaten Lebong dari tahun 2009 sampai 2013 yaitu komoditi padi sawah dan padi ladang. Sedangkan tiga komoditi lainnya menjadi subsektor tidak unggul.

3. Subsektor tanaman bahan pangan tetap menjadi basis baik dimasa sekarang maupun dimasa yang akan datang. Karena LQ lebih dari 1 dan DLQ lebih dari 1. Subsektor perkebunan, peternakan, dan kehutanan tetp menjadi nonbasis baik di masa sekarang dan masa yang akan datang, karena nilai LQ kurang dari 1 dan DLQ kurang dari 1. Sedangkan susektor perikanan dapat mengalami perubahan posisi dari non basis menjadi basis di masa yang akan datang, kerena nilai LQ kurang dari 1 dan DLQ lebih dari 1.

(41)

KPPW yang bernilai negatif dari subsektor pertanian di Kabupaten Lebong adalah Perkebunan,Peternakan,dan Kehutanan ketiga subsektor tersebut mengalami daya saing yang kurang terhadap subsektor yang lain.

5. Berdasarkan data Analisis LQ yang didapat dari praktikum sebelumnya yaitu subsektor yang memiliki nilai LQ yang lebih yang lebih dari satu ( LQ > 1) atau subsektor yang dapat diunggulkan di Kabupaten Lebong, yaitu subsektor Tanaman Bahan Pangan saja. Dari tabel karakteristik prioritas pengembangan subsektor pertanian didapat hubungan subsektor bahan pangan dengan KPP bernilai negatif dan KPPW bernilai positif sehingga prioritas pengembangan untuk bahan pangan berada di urutan kedua. Maka tidak ada subsektor pertanian yang menjadi prioritas pengembangan yang utama di kabupaten Lebong .

6. Berdasarkan analisis tipologi klassen,Subsektor-subsektor pertanian yang diamati pada Kabupaten Lebong dan Provinsi Bengkulu, Subsektor yang unggul/prima yaitu Tabama (tanaman bahan pangan), Subektor Potensial yaitu Perkebunan dan Kehutanan, Subsektor Berkembang yaitu Perikanan dan Subsektor Terbelakang yaitu Peternakan

7. Nilai Indeks Williamson mengandung arti bahwa ketimpangan atau kesenjangan yang terjadi di tiga kabupaten yaitu Kabupaten Lebong, Kabuaten Muko-muko dan Kabupaten Rejang Lebong semakin membesar atau semakin tidak merata.

5.2 Implikasi Kebijakan

Pemerintah Kabupaten Lebong dalam hal ini selaku penggerak pembangunan daerah agar dapat memberikan perhatian terhadap subsektor-subsektor dan komoditi yang mempunyai keunggulan kompetitif sehingga dapat memberikan nilai tambah terhadap pertumbuhan PDRB.

(42)

perekonomian masayarakat sehingga dapat memberikan nilai tambah terhadap pertumbuhan PDRB.

Sebaiknya Pemerintah Daerah Kabupaten Lebong, harus memperhatikan subsektor yang mengalami laju pertumbuhannya relatif tidak berkembang. Untuk mengupayakan Distribusi subsektor yang dinilai tidak berkembang mampu bersaing dengan subsektor-subsektor lainnya untuk mempengaruhi laju pertumbuhan dengan meningkatkan pendapatan daerah tersebut.

(43)

DAFTAR PUSTAKA

Arsyad, L. 1999. Pengantar Perencanaan dan Pembangunan Ekonomi Daerah. BPFE, Yogyakarta.

Badan pusat statistik, 2014. Provinsi Bengkulu dalam Angka 2014. ________________, 2013. Provinsi Lebong dalam Angka 2013

Dumairy, 1996. Ekonomi Pembangunan.Jakarta: UI Pers

Emilia dan Imelia.2006. Modul Ekonomi Regional. Jurusan Ilmu Ekonomi, FE.Universitas Jambi :

Jambi

Glasson, J. 1990. Pengantar Perencanaan Regional. Terjemahan Paul Sitohang. Jakarta: LPFEUI.

Hijau. Jurnal Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Vol.1 Nomor 2 Desember 2005.

Jhingan, M.L.2000. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan, Jakarta : PT. Raja Grafndo Persada

Miraza. B.H. 2005. Peran Kebijakan Publik dalam Perencanaan Wilayah. Wahana Mudrajad Kuncoro.2004.Otonomi dan Pembangunan Daerah : Reformasi,

Perencanaan, Strategi, dan Peluang, Penerbit Erlangga, Jakarta.

Restiatum .2009.Ekonomi Regional : Teori dan Aplikasi Medan : PT. Bumi Aksara. Sandy. I.M. 1992. Pembangunan Wilayah. Monograf. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

(44)

Tarigan, Robinson. 2003. Ekonomi Regional, Teori dan Aplikasi (edisi revisi). Bumi Aksara, Jakarta.

L

A

M

(45)

Gambar

Tabel 1. Matriks Tipologi Klassen.
Tabel 2. Matriks Pengembangan
Tabel 4. Hasil Analisis LQ Komoditas Tanaman Bahan Pangan Unggulan KabupatenLebong Tahun 2009-2013 (Jumlah Produksi)
Tabel 6. Kinerja Subsektor-subsektor Pertanian di Kabupaten Lebong
+4

Referensi

Dokumen terkait

Jumlah kerusakan lamun akibat pemijakan oleh dewasa sebanding dengan pemijakan oleh anak-anak, dengan biomassa daun lamun yang terlepas lebih tinggi daripada akar dan rimpang

Berdasarkan hasil analisis LQ dan Shift Share, dapat disimpulkan bahwa sektor pertanian merupakan sektor basis, sehingga merupakan sektor unggulan, tetapi memiliki

Untuk lebih meningkatkan produksi dan produktifitas pengolahan ikan pindang sehingga dapat dijadikan Produk Unggulan Daerah Kabupaten Pasuruan, disarankan kepada pengolah ikan

LAPORAN AKHIR PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT UNGGULAN UNIVERSITAS LAMPUNG SOSIALISASI DAN FOCUS GROUP DISCUSSION (FGD) DAMPAK DESTRUCTIVE FISHING TERHADAP KEBERLANJUTAN SEKTOR

U ntuk fluida tertentu, besarnya G aya tarik yang  dibutuhkan berbanding lurus dengan luas fluida yang nempel dengan pelat (   A ), laju fluida (   ) dan berbanding terbalik

• Teridentifikasinya sektor ekonomi kreatif unggulan dan berpotensi untuk ditetapkan sebagai fokus pengembangan ekonomi kreatif di Kabupaten Bandung dari 15 kategori

Seluruh wilayah kota berada pada LQ yang tinggi yang berarti sektor ini masih menjadi sektor unggulan di daerah kota, dan sebaliknya sebagian besar daerah

Terdapat beberapa alasan penting yang mendukung pengembangan cabai, seperti menjadi komoditas unggulan dengan nilai ekonomi yang tinggi, digunakan secara luas oleh konsumen rumah tangga