• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.2. Saran

Diharapkan mutu tablet allopurinol yang diproduksi oleh PT Mutiara Mukti Farma (MUTIFA) Medan tetap dipertahankan dan sesuai dengan persyaratan monografi yang tertera pada Farmakope Indonesia.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tablet

2.1.1 Tablet secara umum

Tablet merupakan sediaan padat kompak yang dibuat dengan cara kempa cetak, dalam bentuk umumnya tabung pipih, permukaannya rata atau cembung, mengandung obat dengan atau tanpa zat pengisi (Admar, 2007).

Tablet dapat berbeda-beda ukuran, bentuk, berat, kekerasan, ketebalan, daya hancur, dan aspek lainnya tergantung pada cara pemakaian tablet dan metode pembuatannya. Umumnya tablet digunakan pada pemberian obat secara oral (Ansel, 1989).

Untuk membuat tablet diperlukan bahan tambahan berupa: a. Bahan pengisi (diluent)

Bahan ini dimaksudkan untuk memperbesar volume tablet. Zat-zat yang digunakan seperti: saccharum lactis, amylum, calcii phosphas, calcii carbonas.

b. Bahan pengikat (binder)

Bahan ini dimaksudkan agar tablet tidak pecah dan dapat merekat. Zat-zat yang digunakan seperti: mucilago gummi arabici 10-20%, mucilago amyli 10%, larutan gelatin 10-20% (panas), larutan methylcellulose 5%.

c. Bahan penghancur (disintegrator)

Bahan ini dimaksudkan agar tablet dapat hancur dalam lambung. Zat-zat yang digunakan seperti: amilum kering, gelatin, agar-agar, natrium alginat.

d. Bahan pelicin (lubricant)

Bahan ini dimaksudkan agar tablet tidak lekat pada cetakan (matriks). Zat-zat yang digunakan seperti: talcum, magnesii stearas, asam stearat.

Dalam pembuatan tablet, zat berkhasiat dan bahan tambahan, kecuali bahan pelicin dibuat granul (butiran kasar), karena serbuk yang halus tidak mengisi cetakan dengan baik. Dengan dibuat granul akan terjadi “free flowing”, mengisi cetakan secara tetap dan dapat dihindari tablet menjadi “capping” (retak) (Anief, 1987).

2.1.2 Pembagian Tablet

Menurut Ansel (1989), ada beberapa jenis tablet antara lain: a. Tablet Kompresi

Tablet kompresi dibuat dengan sekali tekanan menjadi berbagai bentuk tablet dan ukuran, biasanya ke dalam bahan obatnya, diberi tambahan sejumlah bahan pembantu antara lain:

− Pengencer atau pengisi, yang ditambahkan jika perlu ke dalam formulasi supaya membentuk ukuran tablet yang diinginkan.

− Pengikat atau perekat, yang membantu pelekatan partikel dalam formulasi, memungkinkan granul dibuat dan dijaga keterpaduan hasil akhir tabletnya.

− Penghancuratau bahan yang dapat membantu penghancuran, akan membantu memecah atau menghancurkan tablet setelah pemberian sampai menjadi partikel-partikel yang lebih kecil, sehingga lebih mudah diabsorbsi.

− Zat pelincir, zat yang meningkatkan aliran bahan memasuki cetakan tablet dan mencegah melekatnya bahan ini pada punch dan

die serta membuat tablet-tablet menjadi bagus dan berkilat.

− Bahan tambahan lain seperti zat warna dan zat pemberi rasa. b. Tablet Kompresi Ganda

Tablet kompresi ganda atau tablet berlapis dibuat dengan cara memasukkan satu campuran obat ke dalam cetakan dan ditekan, demikian pula campuran obat sebagai lapisan berikutnya dimasukkan ke dalam cetakan yang sama dan ditekan lagi, untuk membentuk dua atau tiga lapisan tergantung pada jumlah obat yang ditambahkan secara terpisah dalam satu tablet berlapis.

c. Tablet Salut Gula

Tablet ini diberi lapisan gula berwarna dan mungkin juga tidak, lapisan ini larut dalam air dan cepat terurai begitu ditelan. Gunanya melindungi obat dari udara dan kelembaban serta memberi rasa atau untuk menghindarkan gangguan dalam pemakaiannya akibat rasa atau bau bahan obat.

d. Tablet Salut Selaput

Tablet ini disalut dengan selaput tipis dari polimer yang larut atau tidak larut dalam air maupun membentuk lapisan yang meliputi tablet.

e. Tablet Salut Enterik

Tablet ini disalut dengan lapisan yang tidak melarut atau hancur di lambung tapi di usus.

f. Tablet Sublingual

Tablet yang disisipkan di pipi dan di bawah lidah biasanya berbentuk datar, tablet oral yang direncanakan larut dalam kantung pipi atau di bawah lidah untuk diabsorbsi melalui mukosa oral.

Contoh: tablet isosorbit dinitrat g. Tablet Bukal

Disisipkan diantara gusi dan pipi. Contoh: tablet progesteron. h. Tablet Kunyah

Tablet kunyah lembut segera hancur ketika dikunyah atau dibiarkan melarut dalam mulut.

Contoh: antasida. i. Tablet Effervescent

Tablet berbuih dibuat dengan cara kompresi granul yang mengandung garam effervescent atau bahan-bahan lain yang mampu melepaskan gas ketika bercampur dengan air.

Contoh: tablet Ca Sandoz.

2.1.3 Persyaratan Tablet

Menurut Farmakope Indonesia Edisi IV, tablet harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a. Keseragaman Bobot

Tablet harus memenuhi uji keseragaman bobot untuk menjamin keseragaman bobot tiap tablet yang dibuat. Tablet yang bobotnya seragam

diharapkan memiliki kandungan bahan obat yang sama, sehingga mempunyai efek terapi yang sama.

b. Kekerasan

Tablet harus memiliki kekuatan atau kekerasan agar dapat bertahan terhadap berbagai guncangan pada saat pengepakan dan pengangkutan. Uji ini dilakukan dengan menggunakan alat yang disebut Hardness Tester. Tablet diletakkan diantara alat penekan punch dan dijepit dengan memutar sekrup pengatur sampai tanda lampu menyala, lalu ditekan tombol sehingga tablet pecah. Tekanan dapat ditunjukkan melalui skala yang tertera. Umumnya kekuatan tablet berkisar 4-8 kg.

c. Kerenyahan

Uji ini dilakukan untuk mengetahui kerenyahan tablet, karena tablet yang rapuh dan rusak kandungan zat berkhasiatnya berkurang sehingga mempengaruhi efek terapi. Kerenyahan ditandai dengan massa partikel yang berjatuhan dari tablet. Uji ini menggunakan alat yang disebut Roche Friabilator yang terdiri dari sebuah tabung yang berputar, ke arah radial disambungkan sebuah bilah lengkung. Tablet dimasukkan ke dalam drum tersebut, dihidupkan alat maka drum berputar dan tablet bergulir jatuh sampai pada putaran berikutnya dipegang kembali oleh bilah. Pemutaran dilakukan 100 kali dengan persyaratan tablet tidak boleh kehilangan berat lebih dari 0,8%.

d. Waktu Hancur

Uji ini dimaksudkan untuk mengetahui kesesuaian batas waktu hancur yang tertera dalam masing-masing monografi, kecuali pada etiket dinyatakan bahwa tablet dirancang untuk pelepasan kandungan obat secara bertahap dalam jangka waktu tertentu atau melepaskan obat dalam dua periode berbeda atau lebih dengan jarak waktu yang jelas diantara periode pelepasan tersebut. Uji waktu hancur tidak menyatakan bahwa sediaan atau bahan aktifnya terlarut sempurna. Interval waktu hancur yaitu tidak lebih dari 15 menit. Sediaan dinyatakan hancur sempurna bila tidak ada sisa sediaan yang tidak larut tertinggal pada kasa.

e. Disolusi

Uji ini digunakan untuk mengetahui kesesuaian dengan persyaratan disolusi yang tertera dalam monografi pada sediaan tablet kecuali pada etiket dinyatakan bahwa tablet harus dikunyah atau tidak memerlukan uji disolusi.

f. Penetapan Kadar Zat Berkhasiat

Penetapan kadar ini dilakukan untuk mengetahui apakah tablet tersebut memenuhi syarat sesuai dengan etiket. Bila kadar obat tersebut tidak memenuhi syarat, berarti obat tersebut tidak memiliki efek terapi yang baik dan tidak layak dikonsumsi. Penetapan kadar dilakukan dengan menggunakan cara-cara yang sesuai tertera pada monografi antara lain di Farmakope Indonesia.

2.2 Obat Yang Digunakan Pada Pengobatan Penyakit Gout

Pirai (gout) adalah suatu penyakit metabolisme, yang ditandai oleh peninggian kadar asam urat dalam darah (Hiperurisemia). Asam urat merupakan produk akhir penguraian purin pada manusia. Peninggian kadar asam urat dalam darah dapat disebabkan baik oleh peningkatan pembentukan asam urat, maupun oleh pengurangan ekskresinya (Vieweg, 1983).

Hiperurisemia ini mengakibatkan deposisi kristal natrium urat dalam jaringan, terutama pada ginjal dan sendi. Hiperurisemia tidak selalu menyebabkan gout, tetapi gout selalu didahului oleh hiperurisemia. Kebanyakan strategi pengobatan gout adalah menurunkan kadar asam urat sampai di bawah titik jenuh, dengan demikian mencegah terjadinya pembentukan asam urat. Ini dapat dilakukan dengan jalan (1) mempengaruhi sintetis asam urat dengan allopurinol, (2) meningkatkan ekskresi asam urat dengan probenesid atau sulfinpirazon, (3) menghambat masuknya leukosit ke dalam sendi yang terkena dengan kolkisin

(Mycek, 2001).

2.3 Uraian Umum Allopurinol 2.3.1 Tablet Allopurinol

Uraian umum allopurinol menurut Farmakope Indonesia Edisi IV (1995): Rumus Bangun : Allopurinol

Nama Kimia : 1H-Pirazolol (3,4)dipirimidin -4-ol[315-30-0] Rumus Molekul : C5H4N4O

Berat Molekul : 136,11g/mol

Pemerian : Serbuk halus putih hingga hampir putih, berbau lemah. Susut Pengeringan : Suhu 105°C selama tidak kurang dari 0,5%, dilakukan

pengeringan pada suhu 105°C selama 5 jam.

Persyaratan : Allopurinol mengandung tidak kurang dari 93,0% dan tidak lebih dari 107,0% C5H4N4O, dari jumlah yang tertera pada etiket.

Kelarutan : Sangat sukar larut dalam air dan etanol, larut dalam larutan kalium dan natrium hidroksida, praktis tidak larut dalam kloroform dan eter.

Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik, terlindung dari cahaya. Pada suhu tidak lebih dari suhu ruang 30oC.

Penandaan : Pada etiket harus juga tertera kadaluarsa.

Allopurinol adalah obat penyakit pirai (gout) yang dapat menurunkan kadar asam urat dalam darah. Obat ini mengurangi produksi asam urat dengan jalan menghambat secara kompetitif dua langkah terakhir biosintesis asam urat, yang dikatalisir oleh xantin oksidase (Mycek, 2001).

Pengobatan jangka panjang mengurangi frekuensi serangan, menghambat pembentukan tofi, memobilisasi asam urat dan mengurangi besarnya tofi (Setiabudy, 2007).

2.3.2 Farmakokinetik

Allopurinol kira-kira 80% diserap setelah pemakaian oral. Seperti uric acid, allopurinol sendiri dimetabolisme oleh xanthine oxidase. Persenyawaan hasilnya, alloxanthine, mempertahankan kemampuannya untuk menghambat

xanthine oxidase dan mempunyai durasi kerja yang cukup panjang sehingga allopurinol cukup diberikan satu kali sehari (Katzung, 2002).

2.3.3 Farmakodinamika

Obat ini bekerja dengan menghambat xantin oksidase, enzim yang mengubah hipoxantin menjadi xantin dan selanjutnya menjadi asam urat. Melalui mekanisme umpan balik allopurinol menghambat sintetis purin yang merupakan prekursor xantin (Setiabudy, 2007).

2.3.4 Efek Farmakologi

Pemberian allopurinol menimbulkan aktivitas gabungan dari dua senyawa ini. Waktu paruh allopurinol dalam plasma pendek (2 jam), sedangkan waktu paruh oksipurinol panjang (15 jam). Jadi, hambatan efektif xantin oksidase dapat dipelihara dengan dosis sekali sehari. Obat dan metabolitnya diekskresikan ke dalam tinja dan urin (Mycek, 2001).

2.3.5 Efek samping

Terjadi reaksi kulit. Bila kemerahan kulit timbul, obat harus dihentikan karena gangguan mungkin menjadi lebih berat. Selain itu timbul reaksi alergi

seperti demam, kelainan darah, juga gangguan lambung usus, nyeri kepala, pusing dan rambut rontok (Tjay dan Rahardja, 2007).

2.3.6 Indikasi

Profilaksis gout dan batu asam urat serta kalsium oksalat di ginjal.

2.3.7 Kontra indikasi

Bukan pengobatan untuk gout akut, terapi diteruskan jika terjadi serangan ketika sudah memakai allopurinol, dan diatasi serangan secara khusus (Sukandar, 2009).

2.3.8 Dosis

Pada hiperurisemia dengan dosis per hari 100 mg sesudah makan, bila perlu dinaikkan setiap minggu dengan 100 mg sampai maksimum 10 mg/kg/hari. Profilaksis dengan sitostatika: 600 mg sehari dimulai 3 hari sebelum terapi (Tjay,2007).

Dosis awal allopurinol adalah 100 mg sehari, allopurinol dapat dikonsumsi sampai 300 mg/hari tergantung pada respon uric acid serum (Katzung, 2002).

2.4 Disolusi

Disolusi didefinisikan sebagai proses suatu zat padat masuk ke dalam pelarut menghasilkan suatu larutan (proses zat padat melarut).Kecepatan disolusi adalah kecepatan obat mulai melarut dari permukaan padat menjadi bentuk larutan pada saat tablet atau bentuk sediaan padat lainnya dimasukkan ke dalam gelas piala yang berisi air atau ke dalam saluran cerna (Agoes, 2008).

Kecepatan disolusi obat juga merupakan tahap sebelum obat berada dalam darah. Apabila suatu sediaan padat berada dalam saluran cerna, bahan berkhasiat harus terlarut, sesudah itu barulah obat tersebut dapat melewati membran saluran cerna. Obat yang larut baik dalam air akan melarut cepat dan berdifusi secara pasif. Sebaliknya, obat yang kelarutannya kecil, kecepatan melarutnya sediaan tersebut berlangsung lama (Syukri, 2002).

2.4.1 Alat Uji Disolusi

Dari jenis alat, ada dua tipe alat uji disolusi sesuai dengan yang tertera dalam masing-masing monografi:

a. Alat 1 (Metode Basket)

Alat terdiri atas wadah tertutup yang terbuat dari kaca atau bahan transparan lain yang inert, dilengkapi dengan suatu motor atau alat penggerak. Wadah tercelup sebagian dalam penangas sehingga dapat mempertahankan suhu tablet atau kapsul granul atau agregat partikel halus obat dalam larutan obat dalam darah, cairan, dan dalam jaringan lain dalam wadah 37° ± 0,5°C selama pengujian berlangsung. Bagian dari alat termasuk lingkungan tempat alat diletakkan tidak dapat memberikan gerakan, goncangan, atau getaran signifikan yang melebihi gerakan akibat perputaran alat pengaduk. Wadah disolusi dianjurkan berbentuk silinder dengan dasar setengah bola, tinggi 160-175 mm, diameter dalam 98-106 mm, dengan volume sampai 1000 ml. Batang logam berada pada posisi tertentu sehingga sumbunya tidak lebih dari 2 mm, berputar dengan halus

dan tanpa goyangan yang berarti. Suatu alat pengatur mempertahankan kecepatan alat.

b. Alat 2 (Metode Dayung)

Sama seperti alat 1, tetapi pada alat ini digunakan dayung yang terdiri atas daun dan batang sebagai pengaduk. Batang dari dayung tersebut sumbunya tidak lebih dari 2 mm dan berputar dengan halus tanpa goyangan yang berarti. Jarak antara daun dan bagian dalam dasar wadah dipertahankan selama pengujian berlangsung. Daun dan batang logam yang merupakan satu kesatuan dapat disalut dengan suatu penyalut inert yang sesuai. Sediaan dibiarkan tenggelam ke dasar wadah sebelum dayung mulai berputar (Ditjen POM, 1995).

2.4.2 Prosedur Pengujian Disolusi

Pada tiap pengujian, dimasukkan sejumlah volume media disolusi (seperti yang tertera dalam masing-masing monografi) ke dalam wadah, pasang alat dan di biarkan media disolusi mencapai temperatur 37°C. Satu tablet dicelupkan dalam keranjang atau dibiarkan tenggelam ke bagian dasar wadah, kemudian pengaduk diputar dengan kecepatan seperti yang ditetapkan dari media diambil cuplikan pada daerah pertengahan antara permukaan media disolusi dan bagian atas dari keranjang berputar atau dari alat dayung tidak kurang 1 cm dari dinding wadah untuk dianalisis penetapan kadar dari bagian obat yang terlarut. Tablet harus memenuhi syarat seperti yang terdapat pada monografi untuk kecepatan disolusi (Ditjen POM, 1995).

2.4.3 Kriteria Penerimaan Hasil Uji Disolusi

Persyaratan dipenuhi bila jumlah zat aktif yang terlarut dari sediaan yang diuji sesuai dengan tabel penerimaan. Pengujian dilakukan sampai tiga tahap. Pada tahap 1 (S1), 6 tablet diuji. Bila pada tahap ini tidak memenuhi syarat, maka akan dilanjutkan ke tahap berikutnya yaitu tahap 2 (S2). Pada tahap ini 6 tablet tambahan diuji lagi. Bila tetap tidak memenuhi syarat, maka pengujian dilanjutkan lagi ke tahap 3 (S3). Pada tahap ini 12 tablet tambahan diuji lagi. Kriteria penerimaan hasil uji disolusi dapat dilihat sesuai dengan tabel di bawah ini.

Tabel. 2.1. Penerimaan Hasil Uji Disolusi

Keterangan: S1 : Tahap pertama S2 : Tahap kedua S3 : Tahap ketiga

Q : Jumlah zat aktif yang terlarut yang tertera dalam masing-masing monografi. Tahap

Jumlah

Sediaan yang diuji

Kriteria Penerimaan

S1 6 Tiap unit sediaan tidak kurang dari Q + 5%

S2 6

Rata – rata dari 12 unit (S1+ S2) adalah sama dengan atau lebih besar dari Q dan tidak satu unit sediaan yang lebih kecil dari Q – 15%

S3 12

Rata – rata dari 24 unit (S1+ S2+ S3 ) adalah sama dengan atau lebih besar dari Q, tidak lebih dari 2 unit sediaan yang lebih kecil dari Q – 15% dan tidak satupun unit yang lebih kecil dari Q – 25%

Harga Q adalah jumlah zat aktif yang terlarut dalam persen dari jumlah yang tertera pada etiket. Angka 5% dan 15% dalam tabel adalah persentase kadar pada etiket, dengan demikian mempunyai arti yang sama dengan Q. Kecuali dinyatakan lain dalam masing-masing monografi, persyaratan umum untuk penetapan satu titik tunggal ialah terdisolusi 75% dalam waktu 45 menit dengan menggunakan alat 1 pada 100 rpm atau alat 2 pada 50 rpm (Lachman, 1994).

2.4.4 Faktor yang Mempengaruhi Disolusi Zat Aktif

Menurut Syukri (2002), faktor yang mempengaruhi laju disolusi dari bentuk sediaan, antara lain:

a. Faktor yang berkaitan dengan sifat fisikokimia obat

Sifat-sifat fisikokimia obat yang mempengaruhi laju disolusi meliputi: kelarutan zat aktif, bentuk kristal, kompleksasi serta ukuran partikel. Sifat fisikokimia lain seperti kekentalan dapat menimbulkan masalah disolusi. b. Faktor yang berkaitan dengan formulasi sediaan

Formulasi sediaan berkaitan dengan bentuk sediaan, bahan tambahan dan cara pengolahan. Pengaruh bentuk sediaan terhadap laju disolusi tergantung kecepatan pelepasan bahan aktif yang terkandung didalamnya. Penggunaan bahan tambahan sebagai bahan pengisi, pengikat, penghancur dan pelicin dalam proses formulasi dapat menghambat atau mempercepat laju disolusi tergantung bahan tambahan yang digunakan. Cara pengolahan bahan baku, bahan tambahan dan prosedur yang dilakukan dalam formulasi sediaan padat peroral juga berpengaruh terhadap laju disolusi. Waktu pengadukan lama pada granulasi basah dapat menghasilkan

granul-granul besar, keras dan padat sehingga pada proses pencetakan dihasilkan tablet dengan waktu hancur dan disolusi yang lama. Faktor formulasi yang mempengaruhi laju disolusi diantaranya: kecepatan disintegrasi, interaksi obat dengan eksipien (bahan tambahan) dan kekerasan.

c. Faktor yang berkaitan dengan alat uji disolusi dan parameter uji

Faktor ini dipengaruhi oleh lingkungan selama percobaan meliputi: kecepatan pengadukan, suhu medium, pH medium dan metode uji yang digunakan. Pengadukan mempengaruhi penyebaran partikel-partikel dan tebal lapisan difusi sehingga memperluas permukaan partikel yang kontak dengan pelarut. Suhu medium berpengaruh terhadap kelarutan zat aktif. Zat yang kelarutannya tidak tergantung pH, perubahan pH medium disolusi tidak akan mempengaruhi laju disolusi. Pemilihan kondisi pH pada percobaan in vitro penting karena kondisi pH akan berbeda pada lokasi obat di saluran cerna. Metode penentuan laju disolusi yang berbeda dapat menghasilkan laju disolusi sama atau berbeda, tergantung pada metode uji yang digunakan.

2.5 Penetapan Kadar

Penetapan kadar dipilih berdasarkan sifat senyawa. Untuk penetapan kadar dapat dilakukan dengan metode fisikokimia yaitu spektrofotometri UV-Visibel, fluorometri dan konduktometri (Devissaquest, 1993).

Metode yang dipilih dalam penetapan kadar uji disolusi tablet allopurinol yaitu spektrofotometri ultraviolet. Spektrofotometri ultraviolet adalah pengukuran berapa banyak radiasi yang diserap oleh sampel. Metode ini biasanya digunakan

untuk molekul dan ion anorganik atau kompleks di dalam larutan. Spektrum ultraviolet mempunyai bentuk yang lebar dan hanya sedikit informasi tentang struktur yang didapatkan, tetapi spektrum ini sangat berguna untuk pengukuran secara kuantitatif (Dachriyanus, 2004).

Analisis spektrofotometri cukup teliti, cepat dan sangat cocok untuk digunakan pada kadar yang kecil. Senyawa yang dianalisis harus mempunyai gugus kromofor. Pengamatan spektrum bermanfaat, karena dapat membandingkan spektrum sebelum dan sesudah partisi (Sardjoko, 1993).

Umumnya pelarut yang sering dipakai untuk analisis spektrofotometri adalah air, etanol, sikloheksana dan isopropanol. Dalam pemilihan pelarut, yang perlu diperhatikan yaitu polaritas pelarut yang dipakai karena sangat berpengaruh terhadap pergeseran spektrum molekul yang dianalisis (Mulja dan Suharman 1995).

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Obat merupakan zat aktif yang berasal dari nabati, hewani, kimiawi alam maupun sintesis dalam dosis atau kadar tertentu dapat digunakan untuk preventif, rehabilitasi, terapi, diagnosa terhadap suatu keadaan penyakit pada manusia ataupun hewan. Namun zat aktif tersebut tidak dapat dipergunakan begitu saja sebagai obat, terlebih dahulu harus dibuat dalam bentuk sediaan. Oleh karena itu muncul sediaan pil, kapsul, tablet, sirup, supositoria, suspensi, salep, dan lain-lain (Admar, 2007).

Beberapa bahan obat dapat dipakai untuk mengurangi sakit kepala, nyeri, demam, aktivitas kelenjar tiroid, bersin, rinitis, insomnia, keasaman lambung, mabuk perjalanan, dan depresi mental. Sedangkan beberapa obat lain dapat meningkatkan semangat, tekanan darah atau aktivitas kelenjar endokrin. Obat-obatan tertentu dapat melawan infeksi, membasmi cacing di usus atau bertindak sebagai bahan penawar (antidot) dari obat lain (Ansel, 1989).

Obat yang telah memenuhi persyaratan keseragaman bobot, kekerasan, kerenyahan, waktu hancur dan penetapan kadar zat berkhasiat belum dapat menjamin bahwa suatu obat memenuhi efek terapi, karena itu uji disolusi harus dilakukan pada setiap produksi tablet (Ditjen POM, 1995).

Sebelum melakukan uji disolusi, metode analisis yang digunakan harus ditetapkan terlebih dahulu dan dikaji dengan seksama antara lain: komposisi media disolusi, jumlah media dalam ml, waktu dalam menit, kecepatan pengadukan (dalam rotasi per menit = rpm), prosedur penetapan konsentrasi dan toleransi. Setelah pengambilan sampel uji disolusi, dilanjutkan dengan proses analisis penetapan kadar zat aktif dalam sampel (Siregar, 2008).

Faktor yang harus diperhatikan dalam uji disolusi yaitu: ukuran dan bentuk yang akan mempengaruhi laju dan tingkat kelarutan, selain itu sifat media pelarutan juga akan mempengaruhi uji kelarutan. Beberapa kegunaan uji disolusi antara lain: menjamin keseragaman suatu batch, menjamin bahwa obat akan memberikan efek terapi yang diinginkan, dan diperlukan dalam rangka pengembangan suatu obat baru (Ditjen POM, 1995).

Berdasarkan hal tersebut, penulis tertarik untuk memilih judul tentang “Uji Disolusi Tablet Allopurinol Yang Diproduksi Oleh PT Mutiara Mukti Farma (MUTIFA) Medan” dengan menggunakan metode spektrofotometri ultraviolet karena analisis dengan metode ini cepat dan teliti.

1.2 Tujuan Dan Manfaat 1.2.1 Tujuan

Uji disolusi bertujuan untuk mengetahui apakah tablet allopurinol 100 mg yang diproduksi oleh PT Mutiara Mukti Farma (MUTIFA) Medan memenuhi persyaratan sesuai dengan yang ditetapkan oleh Farmakope Indonesia Edisi IV.

1.2.2 Manfaat

Uji disolusi bermanfaat untuk menambah wawasan dari penulis agar dapat mengetahui cara penetapan kadar tablet allopurinol 100 mg dan agar pembaca dapat mengetahui apakah sediaan tersebut layak untuk didistribusikan dan dikonsumsi.

Allopurinol Tablet Dissolution Test Produced By PT Mutiara Mukti Farma (MUTIFA) Medan

ABSTRACT

Allopurinol is a medicine for gout (gout) which can lower uric acid levels in the blood. This drug reduces the production of uric acid by inhibiting competitively the last two steps of uric acid biosynthesis, which dikatalisir by xanthine oxidase. Purpose of this test is to determine whether allopurinol tablets produced Farma PT MutiaraMukti (MUTIFA) Medan dissolution in accordance with the requirements set by the Indonesian Pharmacopoeia Edition IV.

Dissolution test of the 6 pieces of allopurinol 100 mg tablet was conducted using a paddle on medium 900 ml of HCl 0.01 N, a temperature of 37 ± 0.5 º C at a rate of speed of 75 rpm and a time for 45 minutes. Soluble substances specified

Dokumen terkait