• Tidak ada hasil yang ditemukan

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

6.2 Saran

6.2Saran

Saran yang dapat diberikan dalam penyempurnaan mengenai penelitian ini adalah kebakaran hutan memiliki pengaruh terhadap potensi simpanan karbon yaitu dapat mengurangi karbon tersimpan pada permukaan tanah, sehingga pentingnya dilakukan tindakan pengendalian kebakaran hutan.

DAFTAR PUSTAKA

[Anonim]. 2012. Wood density. [terhubung berkala]. www.worldagroforestry.org [14 September 2012].

[PTBA] Perseroan Terbatas Bukit Asam. 2004. ANDAL PTBA. Palembang: PT Bukit Asam

[PTBA] Perseroan Terbatas Bukit Asam. 2011. Profil PT Bukit Asam. [terhubung berkala]. www.ptba.co.id [16 September 2012].

[PTBA] Perseroan Terbatas Bukit Asam. 2011. Lokasi PT Bukit Asam. [terhubung berkala]. http://ptba.co.id/id/about/location [16 September 2012].

[SNI] Standar Nasional Indonesia No 7724. 2011. Pengukuran dan penghitungan cadangan karbon-Pengukuran lapangan untuk penaksiran cadangan karbon hutan (ground based forest carbon accounting). Jakarta: Badan Standardisasi Nasional.

Adinugroho WC, Syahbani I, Rengku MT, Arifin Z, Mukhaidil. 2006. Teknik Estimasi Kandungan Karbon Hutan Sekunder Bekas Kebakaran 1997/1998 di PT Inhutani I, Batu Ampat, KALTM. Samboja: Loka Penelitian dan Pengembangan Satwa Primata.

Arrijani, Setiadi D, Guhardja E, Qayim I. 2006. Analisis vegetasi hulu DAS Cianjur Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Biodiversitas 7(2):147-153.

Hairiah K, Rahayu S. 2007. Pengukuran ‘Karbon Tersimpan’ di Berbagai Macam Penggunaan Lahan. Bogor: World Agroforestry Centre.

Hairiah K, Ekadinata A, Sari RR, Rahayu S. 2011. Pengukuran Cadangan Karbon dari Tingkat Lahan ke Bentang Lahan. Bogor: World Agroforestry Centre.

Hanafiah KA. 2005. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Hardjowigeno S. 1995. Ilmu Tanah Edisi Revisi. Jakarta: Penerbit Akademika. Irawan DJ. 2009. Pendugaan kandungan karbon pada tegakan jati (Tectona

grandis) tidak terbakar dan pasca kebakaran permukaan di KPH Malang, Perum Perhutani Unit II Jawa Timur [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

38

Lubis RS. 2011. Pendugaan korelasi antara karakteristik tanah terhadap cadangan karbon (carbon stock) pada hutan sekunder [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Manuri S, Putra CAS, Saputra AD. 2011. Pengukuran dan Penghitungan Karbon Hutan. Palembang: Merang REDD Pilot Project, German International Cooperation-GIZ.

Masripatin N, Ginoga K, Pari G, Dharmawan WS, Siregar CA, Wibowo A, Puspasari D, Utomo AS, Sakuntaladewi N, Lugina M. 2011. Cadangan Karbon pada Berbagai Tipe Hutan dan Jenis Tanaman di Indonesia. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan.

Nilamsari D. 2000. Produktivitas, penghancuran, dan kandungan hara serasah pada tegakan pinus (Pinus merkusii), puspa (Schima wallichii) dan agathis (Agathis loranthifolia) di DAS Cipereu hutan pendidikan Gunung Walat, Sukabumi [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Novita. 2010. Potensi karbon terikat di atas permukaan tanah pada hutan ambut

bekas tebangan di Merang Sumatera Selatan [tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Nuryawan. 2008. Determinasi berat jenis zat kayu [skripsi]. Sumatera Utara: Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.

Pangaribuan HPO. 2003. Studi ekosistem api pada tegakan Pinus merkusii Jungh et de Vriese di Aek Nauli, Sumatera Utara [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Putra EI, Mulyana D, Saharjo BH, Syaufina L, Purnama ES, Wardana, Sari S, Supriatna AH, Rifai IA, Willujeng CU. 2012. Penghitungan Biomassa

dalam Penyerapan CO2 di Areal Reklamasi PT Bukit Asam (Persero) Tbk.

Bogor: Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Sandika AMP. 2008. Suksesi vegetasi pada areal bekas tambang timah di Kabupaten Belitung, Provinsi Kepulauan Bangka-Belitung [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Setiyono D. 2004. Dampak kebakaran vegetasi terhadap sifat kimia tanah (studi kasus di areal hutan tanaman Gunung Salak, Parangkuda, Sukabumi, Jawa Barat) [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Sitorus SRP, Haridjaja O, Brata KR. 1980. Penuntun Praktikum Fisika Tanah.

Bogor: Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.

Soepardi G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Bogor: Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.

Sugirahayu L. 2011. Perbandingan simpanan karbon pada beberapa penutupan lahan di kabupaten paser, Kalimantan Timur berdasarkan sifat fisik dan sifat kimia tanahnya [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Sumanagara DA, Widjajanto H. 2010. Masalah dan solusi yang dihadapi BUMN pertambangan di era otonomi daerah. Di dalam: Hardinsyah, Fuah AM, editor. Prosiding Seminar Sosialisasi Peranan dan Kedudukan BUMN dalam Kerangka Otonomi Daerah; Bogor, 25 Des 2005. Bogor: Institut Pertanian Bogor. hlm 14-27.

Sutaryo D. 2009. Perhitungan Biomassa. Bogor: Wetlands International Indonesia Programme.

Syaufina L. 2008. Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia. Bogor: Bayumedia Publishing.

Wasis B. 2006. Perbandingan kulaitas tempat tumbuh antara daur pertama dengan daur kedua pada hutan tanaman Acacia mangium Willd [disertasi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Lampiran 1 Data persen (%) C-organik yang digunakan dalam penelitian (Putra et al. 2012) Jenis C-organik (%) Acacia mangium 43,37 Acacia auriculiformis 44,90 Melaleuca cajuputi 39,51 Falcataria moluccana 39,66 Peronema canescens 39,75 Lagerstroemia speciosa 46,91 Bridelia ovata 40,59 Microcos tomentosa 37,58 Gmelina arborea 51,46

Lampiran 2 Persamaan regresi berdasarkan parameter diameter pada keseluruhan lokasi

2.1 Persamaan regresi

C = -0,542 – 1,859 DBH + 0,3570 DBH 2, dengan R-square sebesar 93,4%. 2.2 Analisis ragam Derajat bebas(db) Jumlah kuadrat (JK) Kuadrat

tengah (KT) F-hitung Nilai p

Regresi 2 6777991 3388995 1537,54 0,000

Sisaan 217 478304 2204

Total 219 7256295

2.3 Uji t

Derajat bebas(db) Jumlah kuadrat (JK) F-hitung Nilai p

Linier 1 5998667 1039,82 0,000

kuadratik 1 779323 353,57 0,000

Jika nilai p < 0,05 (α = 5%), maka berpengaruh nyata

Lampiran 3 Persamaan regresi berdasarkan parameter tinggi pada keseluruhan lokasi

3.1 Persamaan regresi

C = 43,36 – 16,39 T + 1,493 T2, dengan R-square sebesar 60,5%. 3.2 Analisis ragam Derajat bebas(db) Jumlah kuadrat (JK) Kuadrat

tengah (KT) F-hitung Nilai p

Regresi 2 4389797 2194899 166,16 0,000

Sisaan 217 2866497 13210

Total 219 7256295

3.3 Uji t

Derajat bebas(db) Jumlah kuadrat (JK) F-hitung Nilai p

Linier 1 3936574 258,51 0,000

kuadratik 1 453223 34,31 0,000

39

Lampiran 4 Persamaan regresi berdasarkan parameter diameter di lahan pasca terbakar

4.1 Persamaan regresi

C = -0,276 – 0,8035 DBH + 0,2360 DBH2, dengan R-square sebesar 95,3%. 4.2 Analisis ragam Derajat bebas(db) Jumlah kuadrat (JK) Kuadrat

tengah (KT) F-hitung Nilai p

Regresi 2 874985 437493 1137,33 0,000

Sisaan 113 43467 385

Total 115 918452

4.3 Uji t

Derajat bebas(db) Jumlah kuadrat (JK) F-hitung Nilai p

Linier 1 764912 567,93 0,000

kuadratik 1 110073 286,15 0,000

Jika nilai p < 0,05 (α = 5%), maka berpengaruh nyata

Lampiran 5 Persamaan regresi berdasarkan parameter tinggi di lahan pasca terbakar

5.1 Persamaan regresi

C = 92,18 – 28,31 T + 2,084 T2, dengan R-square sebesar 48,6%. 5.2 Analisis ragam Derajat bebas(db) Jumlah kuadrat (JK) Kuadrat

tengah (KT) F-hitung Nilai p

Regresi 2 446770 223385 53,52 0,000

Sisaan 113 471682 4174

Total 115 918452

5.3 Uji t

Derajat bebas(db) Jumlah kuadrat (JK) F-hitung Nilai p

Linier 1 306271 57,03 0,000

kuadratik 1 140499 33,66 0,000

Jika nilai p < 0,05 (α = 5%), maka berpengaruh nyata

Lampiran 6 Persamaan regresi berdasarkan parameter diameter di lahan tidak terbakar

6.1 Persamaan regresi

C = 4,31 – 3,023 DBH + 0,4118 DBH2, dengan R-square sebesar 96,6 %. 6.2 Analisis ragam Derajat bebas(db) Jumlah kuadrat (JK) Kuadrat

tengah (KT) F-hitung Nilai p

Regresi 2 5002165 2501082 1421,16 0,000

Sisaan 101 177748 1760

6.3 Uji t

Derajat bebas(db) Jumlah kuadrat (JK) F-hitung Nilai p

Linier 1 4314460 508,49 0,000

kuadratik 1 687705 390,77 0,000

Jika nilai p < 0,05 (α = 5%), maka berpengaruh nyata

Lampiran 7 Persamaan regresi berdasarkan parameter tinggi di lahan tidak terbakar

7.1 Persamaan regresi

C = 19,17 – 9,72 T + 1,226 T2, dengan R-square sebesar 54,2 %. 7.2 Analisis ragam Derajat bebas(db) Jumlah kuadrat (JK) Kuadrat

tengah (KT) F-hitung Nilai p

Regresi 2 2808156 1404078 59,79 0,000

Sisaan 101 2371757 23483

Total 103 5179913

7.3 Uji t

Derajat bebas(db) Jumlah kuadrat (JK) F-hitung Nilai p

Linier 1 2663819 107,99 0,000

kuadratik 1 144337 6,15 0,015

Jika nilai p < 0,05 (α = 5%), maka berpengaruh nyata

Lampiran 8 Kriteria penilaian karakteristik tanah (Hardjowigeno 1995)

Sifat tanah Sangat

rendah

Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi C (%) < 1,00 1,00–2,00 2,01–3,00 3,01–5,00 > 5,00 N (%) < 0,10 0,10–2,00 0,21–0,50 0,51–0,75 > 0,75 C/N < 5,00 5,00–10,00 11,00–15,00 16,00–25,00 >25,00 P2O5 HCL (mg/100g) < 10,00 10,00–20,00 21,00–40,00 41,00–60,00 >60,00 P2O5 Bray I (ppm) < 10,00 10,00–15,00 16,00–25,00 26,00–35,00 >35,00 P2O5 Olsen (ppm) < 10,00 10,00–25,00 26,00–45,00 46,00–60,00 >60,00 K2O HCL (Me/100g) < 10,00 10,00–20,00 21,00–40,00 41,00–60,00 >60,00 KTK (Me/100g) < 5,00 5,00–16,00 17,00–24,00 25,00–40,00 >40,00 K (me/100g) < 0,10 0,10–0,20 0,30–0,50 0,60–1,00 > 1,00 Na (me/100g) < 0,10 0,10–0,30 0,40–0,70 0,80–1,00 > 1,00 Mg (me/100g) < 0,40 0,40–1,00 1,10–2,00 2,10–8,00 > 8,00 Ca (me/100g) < 2,00 2,00–5,00 6,00–10,00 11,00–20,00 >20,00 Kejenuhan basa (%) < 20,00 20,00–35,00 36,00–50,00 51,00–70,00 >70,00 Kejenuhan Al (%) < 10,00 10,00–20,00 21,00–30,00 31,00–60,00 >60,00

Sangat masam Masam Agak masam Netral Agak alkalis Alkalis

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Perubahan iklim telah menjadi isu penting dunia saat ini. Perubahan iklim ini terjadi karena terganggunya keseimbangan energi antara bumi dan atmosfer akibat meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca (GRK), terutama karbondioksida (CO2). Menurut Hairiah et al. (2007), saat ini konsentrasi GRK sudah mencapai tingkat yang membahayakan iklim bumi dan keseimbangan ekosistem. Konsentrasi GRK di atmosfer meningkat sebagai akibat adanya pengelolaan lahan yang kurang tepat, antara lain adanya pembakaran vegetasi hutan dalam skala luas pada waktu yang bersamaan dan adanya pengeringan lahan gambut. Kegiatan-kegiatan tersebut umumnya dilakukan pada awal alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian. Kebakaran hutan maupun lahan serta gangguan lahan lainnya telah menempatkan Indonesia dalam urutan ketiga negara penghasil emisi CO2

terbesar di dunia (Indonesia berada di bawah Amerika Serikat dan China), dengan jumlah emisi yang dihasilkan mencapai dua miliar ton CO2 per tahunnya atau menyumbang 10% dari emisi CO2 di dunia (Hairiah et al. 2007).

Ekosistem hutan dapat membantu mengurangi konsentrasi karbon (C) di atmosfir melalui proses fotosintesis. Namun ironisnya, hutan yang semestinya diharapkan dapat menjadi solusi dari permasalahan global ini, semakin lama semakin berkurang keberadaannnya. Salah satu perusakan pada hutan adalah kegiatan pertambangan. Pertambangan di Indonesia berkembang pesat hingga saat ini. Industri pertambangan Indonesia berada pada tahap pertumbuhan sehingga menarik bagi investor asing. Selain itu, Indonesia juga mempunyai kondisi geologi potensial yang memungkinkan ditemukannya cadangan bahan tambang berkelas dunia. Menurut Sumanagara et al. (2005), salah satu lokasi cadangan bahan tambang berkelas dunia adalah tambang batubara di PT Bukit Asam (PTBA) yang terletak di desa Tanjung Enim Kecamatan Lawang Kidul, Kabupaten Muara Enim, Provinsi Sumatera Selatan. PTBA dalam menjalankan kegiatannya senantiasa peduli terhadap lingkungan baik secara fisik maupun sosial. Wujud kepedulian PTBA terhadap lingkungan diwujudkan dalam pencegahan, pemulihan, pelestarian, perlindungan lingkungan dan penaatan

peraturan perundangan lingkungan serta persyaratan lainnya. Salah satu bentuk kegiatan kepedulian PTBA terhadap lingkungan adalah dengan melakukan reklamasi hutan.

Reklamasi hutan merupakan salah satu cara untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Tumbuhan menyerap gas karbon dioksida (CO2) dari udara melalui proses fotosintesis, yang selanjutnya diubah menjadi karbohidrat, kemudian disebarkan ke seluruh tubuh tanaman dan akhirnya ditimbun dalam tubuh tanaman. Proses penimbunan C dalam tubuh tanaman hidup dinamakan proses sekuestrasi (C-sequestration). Oleh sebab itu, mengukur jumlah karbon yang tersimpan dalam tubuh tanaman pada suatu lahan dapat menggambarkan banyaknya CO2 di atmosfer yang diserap oleh tanaman. Jumlah karbon tersimpan antara lahan berbeda-beda, tergantung pada keanekaragaman dan kerapatan tumbuhan yang ada, jenis tanahnya serta pengelolaannya. Penyimpanan karbon pada suatu lahan menjadi lebih besar bila kondisi kesuburan tanahnya baik, karena biomasa pohon meningkat (Hairiah et al. 2007).

Terdapat beberapa perusahaan tambang di Indonesia yang belum melakukan pengukuran karbon tersimpan, khususnya untuk areal reklamasi. Salah satu perusahaan tersebut adalah PT Bukit Asam. Oleh karena itu, diperlukan pengukuran banyaknya karbon yang tersimpan pengukuran dalam setiap lahan khususnya areal reklamasi di PT Bukit Asam.

1.2 Tujuan penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menduga potensi karbon tersimpan pada lahan pasca terbakar dan lahan tidak terbakar di areal reklamasi tambang batubara di PT Bukit Asam, Tanjung Enim, Sumatera Selatan.

1.3 Manfaat penelitian

Penelitian ini diharapkan memberikan informasi kepada perusahaan tambang tentang metode pendugaan karbon di areal reklamasi. Penelitian ini juga dapat memberikan informasi tentang karbon yang tersimpan pada areal reklamasi tambang batubara di PT Bukit Asam, Tanjung Enim, Sumatera Selatan.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Biomassa

Biomassa didefinisikan sebagai total berat kering dari seluruh makhluk hidup yang dapat didukung pada masing-masing tingkat rantai makanan (Sutaryo 2009). Menurut Sutaryo (2009), terdapat 4 cara utama untuk menghitung biomassa yaitu pertama, metode destructive (dengan pemanenan). Metode ini dilaksanakan dengan memanen seluruh bagian tumbuhan termasuk akarnya, mengeringkannya dan menimbang berat biomassanya. Meskipun metode ini terhitung akurat untuk menghitung biomassa pada cakupan area kecil, metode ini terhitung mahal dan sangat memakan waktu. Kedua, metode non-destructive (tanpa pemanenan). Metode ini merupakan cara dengan melakukan pengukuran tanpa melakukan pemanenan. Metode ini antara lain dilakukan dengan mengukur tinggi atau diameter pohon dan menggunakan persamaan alometrik untuk mengekstrapolasi biomassa. Ketiga, pendugaan melalui penginderaan jauh. Penggunaan teknologi penginderaan jauh umumnya tidak dianjurkan terutama untuk proyek-proyek dengan skala kecil. Kendala yang umumnya adalah karena teknologi ini relatif mahal dan secara teknis membutuhkan keahlian tertentu yang mungkin tidak dimiliki oleh pelaksana proyek. Hasil penginderaan jauh dengan resolusi yang tinggi diperlukan untuk mendapatkan estimasi biomassa dengan tingkat keakuratan yang baik, tetapi hal ini akan menjadi metode alternatif dengan biaya yang besar. Keempat, pembuatan model yang digunakan untuk menghitung estimasi biomassa dengan frekuensi dan intensitas pengamatan in situ atau penginderaan jauh yang terbatas. Umumnya, model empiris ini didasarkan pada jaringan dari sample plot yang diukur berulang, yang mempunyai estimasi biomassa yang sudah menyatu atau melalui persamaan alometrik yang mengkonversi volume menjadi biomassa.

2.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi biomassa

Biomassa tegakan hutan dipengaruhi oleh umur tegakan hutan, sejarah perkembangan vegetasi, komposisi dan struktur tegakan. Faktor iklim seperti suhu dan curah hujan merupakan faktor yang mempengaruhi laju peningkatan karbon dan biomassa pohon. Semakin tinggi suhu akan menyebabkan kelembaban udara

relatif semakin berkurang. Kelembaban udara relatif bisa mempengaruhi laju fotosintesis. Hal ini disebabkan kelembaban udara relatif yang tinggi akan memiliki tekanan udara uap air parsial yang lebih tinggi dibandingkan dengan tekanan udara parsial CO2 sehingga memudahkan uap air berdifusi melalui stomata. Akibatnya, laju fotosintesis akan menurun. Selain curah hujan dan suhu yang mempengaruhi besarnya biomassa yang dihasilkan adalah umur dan kerapatan tegakan, komposisi dan struktur tegakan, serta kualitas tempat tumbuh (Irawan 2009).

2.3 Karbon tersimpan di daratan

Menurut Hairiah et al. (2007), karbon tersimpan pada ekosistem daratan dikelompokkan dalam 3 komponen pokok, yaitu: (1) biomasa yaitu masa dari bagian vegetasi yang masih hidup berupa tajuk pohon, tumbuhan bawah atau gulma dan tanaman semusim, (2) nekromasa yaitu masa dari bagian pohon yang telah mati baik yang masih tegak di lahan (batang atau tunggul pohon), atau telah tumbang/tergeletak di permukaan tanah, tonggak atau ranting dan daun gugur (serasah) yang belum terlapuk, dan (3) bahan organik tanah yaitu sisa makhluk hidup (tanaman, hewan dan manusia) yang telah mengalami pelapukan baik sebagian maupun seluruhnya dan telah menjadi bagian dari tanah. Ukuran partikel biasanya lebih kecil dari 2 mm.

Berdasarkan keberadaannya di alam, ketiga komponen tersebut dapat dibedakan menjadi 2 kelompok (Hairiah et al. 2007) yaitu:

a. Karbon di atas permukaan tanah yang meliputi: (1) biomasa pohon, yang memiliki proporsi terbesar penyimpanan C di daratan. (2) biomassa tumbuhan bawah, yang meliputi semak belukar yang berdiameter batang <5 cm, tumbuhan menjalar, rumput-rumputan atau gulma. Estimasi biomassa tumbuhan bawah dilakukan dengan mengambil bagian tanaman (melibatkan perusakan). (3) nekromasa, yang meliputi batang pohon mati baik yang masih tegak atau telah tumbang dan tergeletak di permukaan tanah. (4) serasah, yang meliputi bagian tanaman yang telah gugur berupa daun dan ranting yang terletak di permukaan tanah.

b. Karbon di dalam tanah meliputi: (1) biomasa akar, yang keberadaannya bisa cukup lama dalam tanah. Pada tanah hutan, biomasa akar lebih didominasi

5

oleh akar-akar besar (diameter >2 mm), sedangkan pada tanah pertanian lebih didominasi oleh akar-akar halus yang lebih pendek daur hidupnya. (2) Bahan organik tanah, yang berupa sisa tanaman, hewan dan manusia yang ada di permukaan dan di dalam tanah. Sebagian atau seluruhnya dirombak oleh organisme tanah sehingga melapuk dan menyatu dengan tanah.

2.4 Pengembangan persamaan nekromasa untuk pohon mati

Menurut Manuri et al. (2011), pohon mati dibagi ke dalam 4 tingkat keutuhan yaitu: A berupa pohon mati tanpa daun, B berupa pohon mati tanpa daun dan ranting, C berupa pohon mati tanpa daun, ranting dan cabang dan D berupa pohon mati yang sudah patah sehingga tidak diketahui batas bebas cabang, termasuk tunggul. Persamaan alometrik atau rumus untuk menduga nilai total biomasa pohon mati juga dapat dibedakan berdasarkan pengelompokkan tersebut. Pohon Mati A = (∑BBt + ∑BC + ∑ BR) x Faktor Dekomposisi

Pohon Mati B = (∑BBt + ∑BC) x Faktor Dekomposisi Pohon Mati C = ∑BBt x Faktor Dekomposisi

Penghitungan faktor dekomposisi memerlukan penelitian dan analisis lanjutan mengenai kandungan bahan organik di laboratorium dari berbagai sampel batang, cabang dan ranting dari pohon mati yang dibandingkan dengan kandungan biomassa dari sampel pohon hidup yang memiliki jenis yang sama. Jika penelitian tersebut belum tersedia, penghitungan biomasa pohon mati dapat menggunakan rumus alometrik pohon hidup dan mengintegrasikan faktor koreksi sesuai tingkat keutuhan pohon. SNI pengukuran cadangan karbon menggunakan faktor koreksi yaitu pada pohon mati A: dikalikan 0,9, pada pohon Mati B: dikalikan 0,8, dan pohon mati C: dikalikan 0,7 (Manuri et al. 2011).

2.5 Kerapatan kayu (wood density) dari beberapa jenis kayu

Haygreen et al. (1996) dalam Nuryawan (2008) mendefinisikan berat jenis sebagai perbandingan antara kerapatan kayu dengan kerapatan air pada 4ºC. Air memiliki kerapatan 1 g/cm3 pada suhu standar tersebut, sehingga dapat dikatakan bahwa nilai kerapatan dan berat jenis kayu adalah sama. Oleh karena itu, berat jenis dapat dihitung secara langsung dengan membagi berat (dalam g) dengan volume (dalam cm3). Namun berat jenis tidak mempunyai satuan karena berat

jenis adalah nilai relatif. Kerapatan kayu (wood density) dari beberapa jenis kayu dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Kerapatan kayu (wood density) dari beberapa jenis kayu (Anonim 2012)

Jenis Wood Density

(kg/m3)

WD rata-rata (g/cm3) Moisture content (%)

Lagerstroemia speciosa 580-810 0,70 15 Gmelina arborea 400-560 0,48 15 Pareserianthes falcataria 240-490 0,37 15 Peronema canescens 360-730 0,55 15 Acacia mangium 530-660 0,60 15 Acacia auriculiformis 490-840 0,67 15 Melaleuca quinquenervia 700-750 0,73 15 Bridelia ovata 590-910 0,75 15 Microcos oligoneura 460-570 0,52 12

2.6 Kebakaran dan dampaknya 2.6.1 Kebakaran hutan dan lahan

Kebakaran hutan merupakan fenomena alam yang terjadi sejak ribuan tahun silam di berbagai pelosok bumi. Api telah digunakan sebagai alat untuk mempersiapkan lahan yang paling murah dan sederhana untuk keperluan perladangan, pertanian menetap, perkebunan maupun kehutanan. Menurut Syaufina (2008), baik pembakaran yang disengaja maupun kebakaran liar memiliki sifat-sifat dasar yang sama. Perbedaannya terletak pada faktor penyebab terjadinya api. Pada kasus pembakaran disengaja, faktor utama yang menyebabkan terjadinya api adalah manusia. Pada kasus kebakaran liar, api dapat berasal dari alam atau penjalaran dari kegiatan pembakaran yang disengaja.

Menurut Syaufina (2008), proses pembakaran terjadi apabila ada tiga unsur utama, yaitu bahan bakar, oksigen, dan panas (Gambar 1). Jika salah satu dari ketiganya tidak ada, maka proses pembakaran tidak akan terjadi. Prinsip tersebut dikenal dengan prinsip segitiga api yang menjadi kunci utama dalam mempelajari kebakaran hutan dan lahan sekaligus dalam upaya pengendalian kebakaran. Bahan bakar hutan merupakan seluruh bahan vegetatif yang dapat ditemukan di dalam hutan yang terdiri atas susunan selulosa, hemiselulosa, dan lignin, serta kandungan komponen ekstraktif dan mineral. Bahan bakar dan oksigen tersedia di hutan dalam jumlah berlimpah dan dipengaruhi oleh susunan bahan bakarnya, sedangkan sumber panas penyalaan sangat bergantung pada kondisi alami suatu daerah dan kegiatan manusia.

7

Gambar 1 Segitiga api

2.6.2 Faktor penyebab kebakaran hutan dan lahan di Indonesia

Menurut Syaufina (2008), ada dua faktor penyebab kebakaran hutan dan lahan Indonesia, yaitu:

a. Faktor Alam

Kebakaran hutan dan lahan yang dapat terjadi secara alami antara lain disebabkan oleh beberapa faktor, seperti petir, letusan gunung berapi, atau batu bara yang terbakar. Pada negara subtropis, faktor alam memegang peranan penting dalam menyebabkan kebakaran. Hal itu didukung oleh kondisi iklim dan jenis bahan bakar hutan yang memungkinkan untuk terbakar, misalnya kelembaban yang rendah.

b. Faktor manusia

Hampir seratus persen kebakaran hutan dan lahan di Indonesia disebabkan oleh perbuatan manusia, baik secara sengaja maupun tidak sengaja. Terdapat beberapa faktor yang melatarbelakangi kejadian kebakaran di Indonesia yang sebagaian besar terkait dengan akar permasalahan sosial ekonomi. Hal itu diperjelas oleh hasil penelitian ICRAF/CIFOR mengenai penyebab kebakaran hutan di Indonesia yang mengambil studi kasus kebakaran tahun 1997/1998 di mana penyebab terjadinya kebakaran hutan dan lahan adalah faktor sosial ekonomi.

Penelitian ICRAF/CIFOR di sepuluh lokasi penelitian dalam enam provinsi (Sumatera dan Kalimantan yang terdiri atas Lampung, Jambi, Sumatera Selatan, Riau, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Timur) menunjukkan bahwa penyebab langsung kebakaran hutan dan lahan di Indonesia adalah (a) api digunakan dalam pembukaan lahan; (b) api digunakan sebagai senjata dalam permasalahan konflik tanah; (c) api menyebar secara tidak sengaja; dan (d) api yang berkaitan dengan ekstraksi sumber daya alam. Sementara itu, penyebab tidak langsung kebakaran hutan dan lahan meliputi (a) penguasaan lahan; (b) alokasi penggunaan lahan; (c)

Oksigen

Bahan

insentif/disinsentif ekonomi; (d) degradasi hutan dan lahan; (e) dampak dari perubahan karakteristik kependudukan; dan (f) lemahnya kapasitas kelembagaan.

2.6.3 Dampak kebakaran hutan dan lahan

Dampak kebakaran hutan dan lahan ada yang menguntungkan dan ada yang merugikan. Dampak kebakaran hutan dan lahan baik yang menguntungkan maupun yang merugikan menurut Syaufina (2008) adalah sebagai berikut:

A. Dampak kebakaran yang menguntungkan

Api telah digunakan oleh manusia sejak ribuan tahun silam. Pada saat itu manusia menggunakan api sebagai alat bantu yang sangat bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari. Selain untuk membersihkan lahan yang paling murah dan cepat, api juga dapat menyuburkan lahan perladangan. Faktanya, kebakaran hutan dan lahan tidak selalu berdampak buruk bagi lingkungan. Namun, masih perlu kajian lebih lanjut mengenai sejauh mana dan seberapa besar keuntungan dari terjadinya kebakaran hutan dan lahan tersebut jika dibandingkan dengan kerugian yang ditimbulkannya, sehingga dituntut bersikap bijak dalam mengkaji dan menilai kerusakan akibat kebakaran hutan dan lahan.

Pada negara maju, pembakaran terkendali (controlled burning) dilakukan secara periodik guna mengurangi potensi bahan bakar sehingga dapat menghindarkan kebakaran yang lebih besar. Api juga digunakan dalam pengelolaan margasatwa untuk memperbaiki keadaan habitat dan menyediakan sumber makanan yang baik bagi satwa. Selain itu, kegiatan pembakaran juga digunakan untuk memusnahkan hama dan penyakit apabila serangannya sudah tidak terkendali. Pembakaran terkendali ini juga perlu dibekali pengetahuan yang memadai mengenai teknik pembakaran, waktu pembakaran, dan perilaku api.

Abu hasil proses pembakaran terbukti dapat meningkatkan pH tanah hutan yang umumnya bersifat masam. Selain itu, kandungan mineral yang tinggi dapat menjadi sumber nutrisi bagi tanaman yang akan tumbuh di atasnya. Sumbangan nutrisi ini tidak berlangsung lama, terlebih jika terjadi hujan yang membuat proses pencucian mudah terjadi.

9

B. Dampak kebakaran yang merugikan

Kebakaran hutan dan lahan juga memberikan dampak yang merugikan bagi lingkungan. Hal itu jelas terlihat dan dapat dirasakan pada saat terjadi kebakaran hutan besar tahun 1982/1983 dan tahun 1997/1998. Hampir semua media masa

Dokumen terkait