• Tidak ada hasil yang ditemukan

Estimation of Carbon Stock in the Post-Fire Area and Unburned Area in Coal Mining Reclamation Areas PT Bukit Asam, Tanjung Enim, South Sumatera

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Estimation of Carbon Stock in the Post-Fire Area and Unburned Area in Coal Mining Reclamation Areas PT Bukit Asam, Tanjung Enim, South Sumatera"

Copied!
103
0
0

Teks penuh

(1)

DI AREAL REKLAMASI TAMBANG BATUBARA

PT BUKIT ASAM, TANJUNG ENIM,

SUMATERA SELATAN

EVI RUMINDAH SINAGA

DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ii

PENDUGAAN KARBON TERSIMPAN PADA LAHAN

PASCA TERBAKAR DAN LAHAN TIDAK TERBAKAR

DI AREAL REKLAMASI TAMBANG BATUBARA

PT BUKIT ASAM, TANJUNG ENIM,

SUMATERA SELATAN

EVI RUMINDAH SINAGA

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada

Departemen Silvikultur

DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(3)

iii Terbakar dan Lahan Tidak Terbakar Di Areal Reklamasi Tambang Batubara PT Bukit Asam, Tanjung Enim, Sumatera Selatan. Dibimbing oleh IRDIKA MANSUR dan LAILAN SYAUFINA.

Tumbuhan menyerap gas karbon diokasida (CO2) dari udara melalui

proses fotosintesis, yang selanjutnya diubah menjadi karbohidrat, kemudian disebarkan ke seluruh tubuh tanaman dan akhirnya ditimbun dalam tubuh tanaman. Oleh karena itu, pengukuran jumlah karbon tersimpan dalam tubuh tanaman pada suatu lahan dapat menggambarkan banyaknya CO2 di atmosfer yang

diserap oleh tanaman. Penelitian ini bertujuan untuk menduga potensi karbon tersimpan pada lahan pasca terbakar dan lahan tidak terbakar di areal reklamasi tambang batubara di PT Bukit Asam Tanjung Enim Sumatera Selatan.

Penelitian dilakukan di Perusahaan Tambang Batubara PT Bukit Asam, Tanjung Enim, Sumatera Selatan. Areal yang digunakan untuk penelitian adalah areal pasca terbakar yang berada pada lokasi Kelawas Tengah Utara (KTU) dan areal yang tidak terbakar yang berada pada lokasi Limoa. Pada masing-masing areal dibuat 5 plot berukuran 20 x 20 m. Penelitian dilakukan dengan mengukur diameter dan tinggi pohon secara keseluruhan. Selain itu, semua tumbuhan bawah dan serasah diambil pada sub plot berukuran 2 x 2 m serta ditimbang berat basahnya. Data-data hasil pengukuran dimasukkan ke dalam rumus persamaan biomassa, untuk memperoleh data biomassanya. Data biomassa digunakan untuk menduga karbon tersimpan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa karbon tersimpan di atas permukaan tanah (pohon, serasah, dan tumbuhan bawah) adalah 21,79 ton/ha pada lokasi yang terbakar dan 95,34 ton/ha pada lokasi yang tidak terbakar. Karbon tersimpan pada vegetasi tingkat pohon adalah 21,32 ton/ha pada lokasi yang terbakar dan 94,68 ton/ha pada lokasi yang tidak terbakar. Karbon tersimpan pada serasah adalah 0,17 ton/ha pada lokasi yang terbakar dan 0,37 ton/ha pada lokasi yang tidak terbakar. Karbon tersimpan pada vegetasi tingkat tumbuhan bawah adalah 0,30 ton/ha pada lokasi yang terbakar dan 0,29 ton/ha pada lokasi yang tidak terbakar. Proporsi karbon tersimpan di atas permukaan tanah adalah pohon : serasah : tumbuhan bawah = 97,84% : 0,78% : 1,38% di lokasi yang terbakar dan 99,31% : 0,39% : 0,30% di lokasi yang tidak terbakar.

(4)

iv

SUMMARY

EVI RUMINDAH SINAGA. Estimation of Carbon Stock in the Post-Fire Area and Unburned Area in Coal Mining Reclamation Areas PT Bukit Asam, Tanjung Enim, South Sumatera. Supervised by IRDIKA MANSUR and LAILAN SYAUFINA.

Plants absorb carbon dioxide gas (CO2) from the air through the process of

photosynthesis, converted into carbohydrates, then distributed throughout the plant and finally store in the plant. Therefore, the measurement of the amount of carbon stock in the plant in an area could describe the amount of CO2 in the

atmosphere that has been absorbed by the plant. The purpose of this research is to estimate carbon stock potential in the post-fire area and unburned area in Coal Mining Reclamation Areas PT Bukit Asam, Tanjung Enim, South Sumatera.

This research was conducted in Coal Mining Company PT Bukit Asam. Post-fire area was used in this research is located at Kelawas Tengah Utara (KTU) site, while unburned area is at Limoa site. At each area, five plots measuring 20 x 20 m were made. This research was conducted by measuring the diameter and height of trees as a whole. Beside that, all the understorey plants and litter were taken on sub plots size of 2 x 2 m and freshly weighted. These data were calculated using a biomass equation to obtain the value of the biomass. The value of the biomass was then used to estimate carbon stock in the plant.

The results showed that carbon stock of above ground plant materials (trees, litter, and understorey) was 21,79 ton/ha in post-fire area and 95,34 ton/ha in unburned area. The carbon stock of trees level was 21,32 ton/ha in post-fire area and 94,68 ton/ha in unburned area. The carbon stock of litter was 0,17 ton/ha in post-fire area and 0,37 ton/ha in unburned area. The carbon stock of understorey level was 0,30 ton/ha in post-fire area and dan 0,29 ton/ha in unburned area. The proportion of carbon stock in above ground plant materials was trees: litter: understorey = 97,84% : 0,78% : 1,38% in post-fire area and 99,31% : 0,39% : 0,30% in unburned area.

(5)

v Terbakar dan Lahan Tidak Terbakar di Areal Reklamasi Tambang Batubara PT Bukit Asam, Tanjung Enim, Sumatera Selatan

Nama : Evi Rumindah Sinaga NIM : E44080026

Menyetujui: Komisi Pembimbing

Ketua, Anggota

Dr Ir Irdika Mansur, MForSc Dr Ir Lailan Syaufina, MSc NIP 19660523 199002 1 001 NIP 19640613 198903 2 001

Mengetahui:

Ketua Departemen Silvikultur Fakultas KehutananIPB,

Prof Dr Ir Nurheni Wijayanto, MS NIP 19601024 198403 1 009

(6)

vi

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Pendugaan Karbon Tersimpan pada Lahan Pasca Terbakar dan Lahan Tidak Terbakar di Areal Reklamasi Tambang Batubara PT Bukit Asam, Tanjung Enim, Sumatera Selatan” adalah benar-benar hasil karya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, November 2012

(7)

vii segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi yang berjudul “Pendugaan Karbon Tersimpan pada Lahan Pasca Terbakar dan Lahan Tidak Terbakar di Areal Reklamasi Tambang Batubara PT Bukit, Asam Tanjung Enim, Sumatera Selatan” ini merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu pada saat penyusunan proposal, pelaksanaan kegiatan penelitian, dan pada saat penyelesaian skripsi. Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkannya. Kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan untuk perbaikan penelitian selanjutnya.

Bogor, November 2012

(8)

viii

UCAPAN TERIMA KASIH

Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan penghargaan dan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1 Bapak Dr Ir Irdika Mansur, MForSc selaku dosen pembimbing pertama dan Ibu Dr Ir Lailan Syaufina, MSc selaku dosen pembimbing kedua, yang telah banyak memberikan pengarahan, bimbingan, serta masukan selama pelaksanaan penelitian, maupun saat penyusunan skripsi ini.

2 Kedua orang tua tersayang (Bungaran Sinaga dan Riana Nainggolan, SPd), beserta abang dan kakak tercinta (Jerry Victer Sorry Tua Sinaga, SSos, Sherly Yunita Sinaga, AMd, Friska Lusiana Sinaga, SE dan Hetty Afrida Sinaga, AMd), yang telah memberikan motivasi, semangat, dan doanya, sehingga dapat menjalankan perkuliahan dan dapat menyelesaikan skripsi ini.

3 Seluruh tenaga pendidik dan kependidikan di Departemen Silvikultur dan Fakultas Kehutanan IPB yang memberikan bantuan dan dukungan selama ini kepada penulis

4 Pihak Direksi dan segenap staf PT Bukit Asam yang telah memberikan kesempatan penulis untuk melakukan penelitian tugas akhir.

5 Keluarga Besar Persekutuan Mahasiswa Kristen (PMK) dan Komisi Pelayanan Anak (KPA) Institut Pertanian Bogor, atas semangat dan dukungan doa kepada penulis.

6 Teman-teman silvikultur 45 atas segala bantuan dan semangat yang telah diberikan kepada penulis.

7 Teman-teman Pondok Putri No. 49 Saci, Febi, Ganis, Heni, Erti, Dian, Gusti, Kiki, Refly dan Kristina atas doa, dukungan, bantuan dan semangat yang diberikan kepada penulis.

(9)

ix kelima dari lima bersaudara dari pasangan Bungaran Sinaga dan Riana Nainggolan, SPd. Penulis lulus pendidikan di SMA Negeri 2 Lahat pada tahun 2008, kemudian penulis diterima di Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi IPB (USMI) pada tahun yang sama.

Selama menjalani pendidikan di IPB, penulis aktif dalam sejumlah organisasi kemahasiswaan yakni sebagai anggota Komisi Pelayanan Anak Persekutuan Mahasiswa Kristen IPB, anggota divisi (divisi Bussines development dan divisi information and communication) Himpunan Profesi Tree Grower Community (TGC) Departemen Silvikultur dalam dua periode (periode 2009-2010

dan periode 2010-2011). Kegiatan praktek yang telah dilakukan oleh penulis dalam bidang kehutanan yaitu Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di Gunung Sawal dan Pangandaran pada tahun 2010, kemudian Praktek Pengelolaan Hutan (PPH) pada tahun 2011 di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW), Sukabumi, Bandung, Cianjur, dan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS). Pada tahun 2012, penulis melaksanakan Praktek Kerja Profesi (PKP) di PT Adaro Indonesia, Kalimantan Selatan.

(10)

x

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang ... 1

1.2 Tujuan penelitian ... 2

1.3 Manfaat penelitian ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biomassa ... 3

2.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi biomassa ... 3

2.3 Karbon tersimpan di daratan ... 4

2.4 Pengembangan persamaan nekromassa untuk pohon mati ... 5

2.5 Kerapatan kayu (wood density) dari beberapa jenis kayu ... 5

2.6 Kebakaran dan dampaknya ... 6

2.6.1 Kebakaran hutan dan lahan ... 6

2.6.2 Faktor penyebab kebakaran hutan dan lahan di Indonesia .. 7

2.6.3 Dampak kebakaran hutan dan lahan ... 8

2.7 Kualitas tempat tumbuh (tanah) ... 11

III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 3.1 Lokasi ... 12

3.2 Iklim dan curah hujan ... 12

3.3 Tanah ... 12

3.4 Reklamasi ... 13

3.4.1 Kegiatan penanaman (revegetasi) ... 13

3.4.2 Pengadaan bibit ... 13

3.5 Sejarah dan cadangan batubara ... 14

3.5.1 Sejarah PTBA ... 14

3.5.2 Cadangan batubara ... 15

(11)

xi

4.4 Prosedur penelitian ... 16

4.4.1 Lokasi penelitian ... 16

4.4.2 Penentuan sampling plot penelitian ... 17

4.4.3 Pelaksanaan penelitian di lapangan ... 17

4.4.4 Analisis data ... 19

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Karakteristik vegetasi ... 22

5.2 Karbon tersimpan atas permukaan pada lokasi penelitian ... 24

5.2.1 Karbon tersimpan pada vegetasi tingkat pohon ... 24

5.2.2 Karbon tersimpan pada serasah ... 28

5.2.3 Karbon tersimpan pada vegetasi tingkat tumbuhan bawah .. 29

5.3 Kualitas tempat tumbuh ... 31

VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ... 36

6.2 Saran ... 36

DAFTAR PUSTAKA ... 37

(12)

xii

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Kerapatan kayu (wood density) dari beberapa jenis kayu ... 6

2 Indeks nilai penting (INP) pada lokasi yang terbakar ... 22

3 Indeks nilai penting pada lokasi yang tidak terbakar ... 23

4 Karbon tersimpan tiap jenis pohon ... 25

5 Korelasi antara karbon dengan tinggi dan karbon dengan diameter pada berbagai jenis pohon di lahan pasca tambang ... 27

6 Hasil analisis regresi antara karbon dengan tinggi dan karbon dengan DBH pada berbagai jenis pohon di lahan pasca tambang ... 27

7 Karbon tersimpan pada serasah ... 28

8 Karbon tersimpan pada tumbuhan bawah ... 30

(13)

xiii 1 Segitiga api ... 7 2 (a) Jenis-jenis tanaman yang dikembangkan di persemaian PTBA dan

(b) proses pengadaan bibit dengan cara kultur jaringan ... 14 3 (a) Penambangan terbuka di Tambang Air Laya dan (b) kantor PTBA . 15 4 Desain plot penelitian; a = ukuran 2 x 2 m, b = ukuran 5 x 5 m, c =

ukuran 10 x 10 m, n = banyaknya plot ... 17 5 Pengukuran pohon: (a) keliling pohon dan (b) tinggi pohon ... 18 6 Hubungan regresi antara karbon dan diameter pada berbagai jenis

pohon di lahan pasca tambang ... 27 7 Karbon pada lokasi yang terbakar dan karbon pada lokasi yang tidak

(14)

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Data persen

(%) C-organik yang digunakan dalam penelitian ... 40

2 Persamaan regresi berdasarkan parameter diameter pada keseluruhan

lokasi ... 40 3 Persamaan regresi berdasarkan parameter tinggi pada keseluruhan

lokasi ... 40 4 Persamaan regresi berdasarkan parameter diameter di lahan pasca

terbakar ... 41 5 Persamaan regresi berdasarkan parameter tinggi di lahan pasca

terbakar ... 41 6 Persamaan regresi berdasarkan parameter diameter di lahan tidak

terbakar ... 41 7 Persamaan regresi berdasarkan parameter tinggi di lahan tidak

(15)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Perubahan iklim telah menjadi isu penting dunia saat ini. Perubahan iklim ini terjadi karena terganggunya keseimbangan energi antara bumi dan atmosfer akibat meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca (GRK), terutama karbondioksida (CO2). Menurut Hairiah et al. (2007), saat ini konsentrasi GRK sudah mencapai

tingkat yang membahayakan iklim bumi dan keseimbangan ekosistem. Konsentrasi GRK di atmosfer meningkat sebagai akibat adanya pengelolaan lahan yang kurang tepat, antara lain adanya pembakaran vegetasi hutan dalam skala luas pada waktu yang bersamaan dan adanya pengeringan lahan gambut. Kegiatan-kegiatan tersebut umumnya dilakukan pada awal alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian. Kebakaran hutan maupun lahan serta gangguan lahan lainnya telah menempatkan Indonesia dalam urutan ketiga negara penghasil emisi CO2

terbesar di dunia (Indonesia berada di bawah Amerika Serikat dan China), dengan jumlah emisi yang dihasilkan mencapai dua miliar ton CO2 per tahunnya atau

menyumbang 10% dari emisi CO2 di dunia (Hairiah et al. 2007).

(16)

2

peraturan perundangan lingkungan serta persyaratan lainnya. Salah satu bentuk kegiatan kepedulian PTBA terhadap lingkungan adalah dengan melakukan reklamasi hutan.

Reklamasi hutan merupakan salah satu cara untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Tumbuhan menyerap gas karbon dioksida (CO2) dari udara melalui

proses fotosintesis, yang selanjutnya diubah menjadi karbohidrat, kemudian disebarkan ke seluruh tubuh tanaman dan akhirnya ditimbun dalam tubuh tanaman. Proses penimbunan C dalam tubuh tanaman hidup dinamakan proses sekuestrasi (C-sequestration). Oleh sebab itu, mengukur jumlah karbon yang tersimpan dalam tubuh tanaman pada suatu lahan dapat menggambarkan banyaknya CO2 di atmosfer yang diserap oleh tanaman. Jumlah karbon tersimpan

antara lahan berbeda-beda, tergantung pada keanekaragaman dan kerapatan tumbuhan yang ada, jenis tanahnya serta pengelolaannya. Penyimpanan karbon pada suatu lahan menjadi lebih besar bila kondisi kesuburan tanahnya baik, karena biomasa pohon meningkat (Hairiah et al. 2007).

Terdapat beberapa perusahaan tambang di Indonesia yang belum melakukan pengukuran karbon tersimpan, khususnya untuk areal reklamasi. Salah satu perusahaan tersebut adalah PT Bukit Asam. Oleh karena itu, diperlukan pengukuran banyaknya karbon yang tersimpan pengukuran dalam setiap lahan khususnya areal reklamasi di PT Bukit Asam.

1.2 Tujuan penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menduga potensi karbon tersimpan pada lahan pasca terbakar dan lahan tidak terbakar di areal reklamasi tambang batubara di PT Bukit Asam, Tanjung Enim, Sumatera Selatan.

1.3 Manfaat penelitian

(17)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Biomassa

Biomassa didefinisikan sebagai total berat kering dari seluruh makhluk hidup yang dapat didukung pada masing-masing tingkat rantai makanan (Sutaryo 2009). Menurut Sutaryo (2009), terdapat 4 cara utama untuk menghitung biomassa yaitu pertama, metode destructive (dengan pemanenan). Metode ini dilaksanakan dengan memanen seluruh bagian tumbuhan termasuk akarnya, mengeringkannya dan menimbang berat biomassanya. Meskipun metode ini terhitung akurat untuk menghitung biomassa pada cakupan area kecil, metode ini terhitung mahal dan sangat memakan waktu. Kedua, metode non-destructive (tanpa pemanenan). Metode ini merupakan cara dengan melakukan pengukuran tanpa melakukan pemanenan. Metode ini antara lain dilakukan dengan mengukur tinggi atau diameter pohon dan menggunakan persamaan alometrik untuk mengekstrapolasi biomassa. Ketiga, pendugaan melalui penginderaan jauh. Penggunaan teknologi penginderaan jauh umumnya tidak dianjurkan terutama untuk proyek-proyek dengan skala kecil. Kendala yang umumnya adalah karena teknologi ini relatif mahal dan secara teknis membutuhkan keahlian tertentu yang mungkin tidak dimiliki oleh pelaksana proyek. Hasil penginderaan jauh dengan resolusi yang tinggi diperlukan untuk mendapatkan estimasi biomassa dengan tingkat keakuratan yang baik, tetapi hal ini akan menjadi metode alternatif dengan biaya yang besar. Keempat, pembuatan model yang digunakan untuk menghitung estimasi biomassa dengan frekuensi dan intensitas pengamatan in situ atau penginderaan jauh yang terbatas. Umumnya, model empiris ini didasarkan pada jaringan dari sample plot yang diukur berulang, yang mempunyai estimasi biomassa yang sudah menyatu atau melalui persamaan alometrik yang mengkonversi volume menjadi biomassa.

2.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi biomassa

(18)

4

relatif semakin berkurang. Kelembaban udara relatif bisa mempengaruhi laju fotosintesis. Hal ini disebabkan kelembaban udara relatif yang tinggi akan memiliki tekanan udara uap air parsial yang lebih tinggi dibandingkan dengan tekanan udara parsial CO2 sehingga memudahkan uap air berdifusi melalui

stomata. Akibatnya, laju fotosintesis akan menurun. Selain curah hujan dan suhu yang mempengaruhi besarnya biomassa yang dihasilkan adalah umur dan kerapatan tegakan, komposisi dan struktur tegakan, serta kualitas tempat tumbuh (Irawan 2009).

2.3 Karbon tersimpan di daratan

Menurut Hairiah et al. (2007), karbon tersimpan pada ekosistem daratan dikelompokkan dalam 3 komponen pokok, yaitu: (1) biomasa yaitu masa dari bagian vegetasi yang masih hidup berupa tajuk pohon, tumbuhan bawah atau gulma dan tanaman semusim, (2) nekromasa yaitu masa dari bagian pohon yang telah mati baik yang masih tegak di lahan (batang atau tunggul pohon), atau telah tumbang/tergeletak di permukaan tanah, tonggak atau ranting dan daun gugur (serasah) yang belum terlapuk, dan (3) bahan organik tanah yaitu sisa makhluk hidup (tanaman, hewan dan manusia) yang telah mengalami pelapukan baik sebagian maupun seluruhnya dan telah menjadi bagian dari tanah. Ukuran partikel biasanya lebih kecil dari 2 mm.

Berdasarkan keberadaannya di alam, ketiga komponen tersebut dapat dibedakan menjadi 2 kelompok (Hairiah et al. 2007) yaitu:

a. Karbon di atas permukaan tanah yang meliputi: (1) biomasa pohon, yang memiliki proporsi terbesar penyimpanan C di daratan. (2) biomassa tumbuhan bawah, yang meliputi semak belukar yang berdiameter batang <5 cm, tumbuhan menjalar, rumput-rumputan atau gulma. Estimasi biomassa tumbuhan bawah dilakukan dengan mengambil bagian tanaman (melibatkan perusakan). (3) nekromasa, yang meliputi batang pohon mati baik yang masih tegak atau telah tumbang dan tergeletak di permukaan tanah. (4) serasah, yang meliputi bagian tanaman yang telah gugur berupa daun dan ranting yang terletak di permukaan tanah.

(19)

oleh akar-akar besar (diameter >2 mm), sedangkan pada tanah pertanian lebih didominasi oleh akar-akar halus yang lebih pendek daur hidupnya. (2) Bahan organik tanah, yang berupa sisa tanaman, hewan dan manusia yang ada di permukaan dan di dalam tanah. Sebagian atau seluruhnya dirombak oleh organisme tanah sehingga melapuk dan menyatu dengan tanah.

2.4 Pengembangan persamaan nekromasa untuk pohon mati

Menurut Manuri et al. (2011), pohon mati dibagi ke dalam 4 tingkat keutuhan yaitu: A berupa pohon mati tanpa daun, B berupa pohon mati tanpa daun dan ranting, C berupa pohon mati tanpa daun, ranting dan cabang dan D berupa pohon mati yang sudah patah sehingga tidak diketahui batas bebas cabang, termasuk tunggul. Persamaan alometrik atau rumus untuk menduga nilai total biomasa pohon mati juga dapat dibedakan berdasarkan pengelompokkan tersebut. Pohon Mati A = (∑BBt + ∑BC + ∑ BR) x Faktor Dekomposisi

Pohon Mati B = (∑BBt + ∑BC) x Faktor Dekomposisi Pohon Mati C = ∑BBt x Faktor Dekomposisi

Penghitungan faktor dekomposisi memerlukan penelitian dan analisis lanjutan mengenai kandungan bahan organik di laboratorium dari berbagai sampel batang, cabang dan ranting dari pohon mati yang dibandingkan dengan kandungan biomassa dari sampel pohon hidup yang memiliki jenis yang sama. Jika penelitian tersebut belum tersedia, penghitungan biomasa pohon mati dapat menggunakan rumus alometrik pohon hidup dan mengintegrasikan faktor koreksi sesuai tingkat keutuhan pohon. SNI pengukuran cadangan karbon menggunakan faktor koreksi yaitu pada pohon mati A: dikalikan 0,9, pada pohon Mati B: dikalikan 0,8, dan pohon mati C: dikalikan 0,7 (Manuri et al. 2011).

2.5 Kerapatan kayu (wood density) dari beberapa jenis kayu

(20)

6

jenis adalah nilai relatif. Kerapatan kayu (wood density) dari beberapa jenis kayu dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Kerapatan kayu (wood density) dari beberapa jenis kayu (Anonim 2012)

Jenis Wood Density

(kg/m3)

WD rata-rata (g/cm3) Moisture content (%)

Lagerstroemia speciosa 580-810 0,70 15

Gmelina arborea 400-560 0,48 15

Pareserianthes falcataria 240-490 0,37 15

Peronema canescens 360-730 0,55 15

Acacia mangium 530-660 0,60 15

Acacia auriculiformis 490-840 0,67 15

Melaleuca quinquenervia 700-750 0,73 15

Bridelia ovata 590-910 0,75 15

Microcos oligoneura 460-570 0,52 12

2.6 Kebakaran dan dampaknya 2.6.1 Kebakaran hutan dan lahan

Kebakaran hutan merupakan fenomena alam yang terjadi sejak ribuan tahun silam di berbagai pelosok bumi. Api telah digunakan sebagai alat untuk mempersiapkan lahan yang paling murah dan sederhana untuk keperluan perladangan, pertanian menetap, perkebunan maupun kehutanan. Menurut Syaufina (2008), baik pembakaran yang disengaja maupun kebakaran liar memiliki sifat-sifat dasar yang sama. Perbedaannya terletak pada faktor penyebab terjadinya api. Pada kasus pembakaran disengaja, faktor utama yang menyebabkan terjadinya api adalah manusia. Pada kasus kebakaran liar, api dapat berasal dari alam atau penjalaran dari kegiatan pembakaran yang disengaja.

(21)

Gambar 1 Segitiga api

2.6.2 Faktor penyebab kebakaran hutan dan lahan di Indonesia

Menurut Syaufina (2008), ada dua faktor penyebab kebakaran hutan dan lahan Indonesia, yaitu:

a. Faktor Alam

Kebakaran hutan dan lahan yang dapat terjadi secara alami antara lain disebabkan oleh beberapa faktor, seperti petir, letusan gunung berapi, atau batu bara yang terbakar. Pada negara subtropis, faktor alam memegang peranan penting dalam menyebabkan kebakaran. Hal itu didukung oleh kondisi iklim dan jenis bahan bakar hutan yang memungkinkan untuk terbakar, misalnya kelembaban yang rendah.

b. Faktor manusia

Hampir seratus persen kebakaran hutan dan lahan di Indonesia disebabkan oleh perbuatan manusia, baik secara sengaja maupun tidak sengaja. Terdapat beberapa faktor yang melatarbelakangi kejadian kebakaran di Indonesia yang sebagaian besar terkait dengan akar permasalahan sosial ekonomi. Hal itu diperjelas oleh hasil penelitian ICRAF/CIFOR mengenai penyebab kebakaran hutan di Indonesia yang mengambil studi kasus kebakaran tahun 1997/1998 di mana penyebab terjadinya kebakaran hutan dan lahan adalah faktor sosial ekonomi.

Penelitian ICRAF/CIFOR di sepuluh lokasi penelitian dalam enam provinsi (Sumatera dan Kalimantan yang terdiri atas Lampung, Jambi, Sumatera Selatan, Riau, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Timur) menunjukkan bahwa penyebab langsung kebakaran hutan dan lahan di Indonesia adalah (a) api digunakan dalam pembukaan lahan; (b) api digunakan sebagai senjata dalam permasalahan konflik tanah; (c) api menyebar secara tidak sengaja; dan (d) api yang berkaitan dengan ekstraksi sumber daya alam. Sementara itu, penyebab tidak langsung kebakaran hutan dan lahan meliputi (a) penguasaan lahan; (b) alokasi penggunaan lahan; (c)

Oksigen

Bahan

(22)

8

insentif/disinsentif ekonomi; (d) degradasi hutan dan lahan; (e) dampak dari perubahan karakteristik kependudukan; dan (f) lemahnya kapasitas kelembagaan.

2.6.3 Dampak kebakaran hutan dan lahan

Dampak kebakaran hutan dan lahan ada yang menguntungkan dan ada yang merugikan. Dampak kebakaran hutan dan lahan baik yang menguntungkan maupun yang merugikan menurut Syaufina (2008) adalah sebagai berikut:

A. Dampak kebakaran yang menguntungkan

Api telah digunakan oleh manusia sejak ribuan tahun silam. Pada saat itu manusia menggunakan api sebagai alat bantu yang sangat bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari. Selain untuk membersihkan lahan yang paling murah dan cepat, api juga dapat menyuburkan lahan perladangan. Faktanya, kebakaran hutan dan lahan tidak selalu berdampak buruk bagi lingkungan. Namun, masih perlu kajian lebih lanjut mengenai sejauh mana dan seberapa besar keuntungan dari terjadinya kebakaran hutan dan lahan tersebut jika dibandingkan dengan kerugian yang ditimbulkannya, sehingga dituntut bersikap bijak dalam mengkaji dan menilai kerusakan akibat kebakaran hutan dan lahan.

Pada negara maju, pembakaran terkendali (controlled burning) dilakukan secara periodik guna mengurangi potensi bahan bakar sehingga dapat menghindarkan kebakaran yang lebih besar. Api juga digunakan dalam pengelolaan margasatwa untuk memperbaiki keadaan habitat dan menyediakan sumber makanan yang baik bagi satwa. Selain itu, kegiatan pembakaran juga digunakan untuk memusnahkan hama dan penyakit apabila serangannya sudah tidak terkendali. Pembakaran terkendali ini juga perlu dibekali pengetahuan yang memadai mengenai teknik pembakaran, waktu pembakaran, dan perilaku api.

(23)

B. Dampak kebakaran yang merugikan

Kebakaran hutan dan lahan juga memberikan dampak yang merugikan bagi lingkungan. Hal itu jelas terlihat dan dapat dirasakan pada saat terjadi kebakaran hutan besar tahun 1982/1983 dan tahun 1997/1998. Hampir semua media masa memberitakan permasalahan lingkungan yang timbul akibat kebakaran berupa kabut asap dan kerugian ekonomi, termasuk kerusakan ekosistem dan komponen-komponennya. Dampak kebakaran hutan dan lahan yang merugikan menurut Syaufina (2008), meliputi:

1. Dampak kebakaran terhadap tanah

Kebakaran hutan dan lahan akan mengubah fungsi tanah dalam menyerap dan menyimpan cadangan air. Tanah berinteraksi dengan ekosistem lainnya melalui suplai air di udara, sumber hara, dan menyangga tumbuhan secara mekanis. Kebakaran akan berdampak pada sifat fisik, kimia, dan biologi tanah dengan tahapan yang berbeda, tergantung pada beberapa faktor, seperti karakteristik tanah, intensitas dan lamanya kebakaran, waktu dan intensitas hujan setelah terjadinya kebakaran, serta sifat bahan bakar.

Kebakaran akan mempengaruhi suhu tanah, struktur tanah, serta kemampuan tanah untuk menyerap dan menyimpan air. Selain itu, bobot isi (bulk

density) akan meningkat yang selanjutnya akan menurunkan porositas dan laju

(24)

10

Sistem kimia tanah yang terdiri atas komponen-komponen organik dan nonorganik berinteraksi secara kontinu dengan melibatkan bahan organik, kapasitas tukar kation (KTK), kapasitas buffer, dan pH tanah. Bahan organik ditemukan di atas maupun di bawah permukaan tanah. Jumlah bahan organik yan dihasilkan oleh tumbuhan bervariasi, tergantung pada tipe vegetasi yang tumbuh. Hasil penelitian Setiyono (2004) yang menganalisis sifat kimia tanah pada tegakan Acacia mangium yang terbakar di daerah Parungkuda, Sukabumi, menunjukkan bahwa kandungan C-organik meningkat secara nyata setelah kebakaran. Hal itu disebabkan oleh pembakaran komponen utama berupa selulosa dan hemiselulosa serta lignin yang berubah menjadi senyawa karbondioksida dan karbonat. Karbondioksida akan dilepas dalam bentuk gas saat terjadi kebakaran, sedangkan karbonat berakumulasi pada abu dan jatuh di permukaan tanah yang akan menambah kandungan karbonat tanah. Hasil analisis tanah yang dilakukan Syaufina et al. (2005) dalam Syaufina (2008) pada lahan terbakar di hutan sekunder Jasinga, Bogor menunjukkan bahwa tiga hari setelah pembakaran, kandungan Mg, K, dan Na menurun dengan nyata. Sementara itu, setelah satu minggu terjadi peningkatan Na dan penurunan KTK secara signifikan. Terjadi peningkatan C-organik, N-total, K, dan Na secara signifikan dalam periode dua minggu. Selanjutnya, setelah tiga minggu terjadi peningkatan C-organik, N-total, K, dan Na secara signifikan.

2. Dampak kebakaran terhadap vegetasi

Dampak paling nyata akibat kebakaran terlihat pada vegetasi. Panas yang dihasilkan dalam suatu kebakaran dapat menyebabkan kematian vegetasi. Jika panas yang dihasilkan masih memungkinkan vegetasi untuk hidup maka akan menyisakan luka-luka akibat kebakaran yang akan merangsang pertumbuhan hama dan penyakit atau menghasilkan cacat permanen. Akibatnya, riap hutan akan berkurang dan fungsi lindung hutan akan hilang. Bagi semai/anakan pohon (memiliki jaringan tanaman yang masih muda), api akan menyebabkan kematian secara langsung. Hal itu menjadi penting bagi para pengelola hutan untuk menentukan seberapa parah dampak kebakaran terhadap vegetasi (Syaufina 2008).

(25)

ditunjukkan dengan adanya sifat adaptif vegetasi terhadap api yang dikenal dengan istilah fire adaptive traits (DeBano et al. 1998 dalam Syaufina 2008). Menurut Syaufina (2008), adanya kebakaran menyebabkan berkurangnya jumlah jenis, namun terdapat jenis-jenis tertentu yang muncul, khususnya jenis pioneer pada areal bekas kebakaran. Hasil penting dari penelitian Pangaribuan (2003) adalah ditemukannya sifat adaptif tumbuhan Pinus merkusii Jungh et de Vriese terhadap kebakaran. Hal itu terlihat dengan adanya jenis permudaan pinus yang lebih banyak yaitu 180 individu/ha pada areal terbakar dibanding pada tegakan yang tidak terbakar yaitu 40 individu/ha.

2.7 Kualitas tempat tumbuh (tanah)

Menurut Hanafiah (2005), fungsi utama tanah adalah sebagai media tumbuh tanaman. Indikator kecukupan air dan nutrisi yang dapat disediakan tanah dicerminkan oleh kualitas pertumbuhan dan produksi tanaman yang tumbuh di atasnya. Menurut Soepardi (1983), tanah dari setiap tempat berbeda. Perbedaan tanah tersebut telah menyusun suatu klasifikasi, dimana tanah dianggap terdiri dari berbagai tanah dengan sifat dan ciri khas masing-masing. Oleh karena itu, suatu tanah mempunyai sifat dan ciri khas yang membedakannya dari tanah lain.

(26)

BAB III

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

3.1 Lokasi

Pertambangan PT Bukit Asam (PTBA) unit pertambangan Tanjung Enim terletak di Desa Tanjung Enim Kecamatan Lawang Kidul, Kabupaten Muara Enim, Provinsi Sumatera Selatan. Kedudukan Wilayah Kerja Kuasa Penambangan (WKKP) PTBA berada 220 km di sebelah Barat Daya Ibukota Proponsi Sumatera Selatan, yaitu Palembang. Daerah WKKP yang terletak di Proponsi Sumatera Selatan ini berada di dua wilayah kabupaten, yaitu Kabupaten Muara Enim dan Kabupaten Lahat. Posisi geografis lokasi WKKP terletak pada posisi 3º40’-3º45’LS dan 103º40’-103º48’BT. Batas-batas daerah perencanaannya meliputi: sebelah Utara dibatasi oleh Kecamatan Muara Enim, sebelah Timur dibatasi oleh Kecamatan Lawang Kidul, sebelah Selatan dibatasi oleh Kecamatan Tanjung Agung, sebelah Barat dibatasi oleh Kecamatan Merapi di Kabupaten Lahat (PTBA 2004).

3.2 Iklim dan curah hujan

Keadaan iklim di daerah kegiatan pertambangan ditandai dengan adanya musim kemarau dan musim hujan. Hal ini sama seperti kondisi wilayah di Indonesia pada umumnya. Berdasarkan klasifikasi Schmidt dan Ferguson, tipe iklim di wilayah Kabupaten Muara Enim dan Kabupaten Lahat mempunyai tipe iklim A. Sebaran curah hujan bulanan dengan nisbah rata-rata jumlah bulan kering dan rata-rata bulan basah adalah 5,5%. Bulan kering adalah bulan dengan curah hujan <60 mm dan bulan basah adalah bulan dengan curah hujan >100 mm, sedangkan bulan lembab merupakan bulan dengan curah hujan antara 60–100 mm. Suhu udara maksimum di daerah penelitian adalah berkisar 33,90C pada bulan Februari dan suhu udara minimum adalah 20,80C di bulan November. Kelembaban udara maksimum berkisar antara 95–98% dan kelembaban udara minimum adalah 35-46% (PTBA 2004).

3.3 Tanah

(27)

ketebalan agak dangkal (30–40 cm). Jenis tanah ini berwarna coklat tua sampai merah (7,5 YR) tekstur liat dan lempung berliat. Tanah latosol menunjukkan tekstur halus (liat dan liat berlempung), struktur remah, warna coklat sampai coklat kemerahan. Tanah ini mempunyai ketebalan agak dalam sampai dalam yaitu berkisar antara 51–100 cm (PTBA 2004).

3.4 Reklamasi

3.4.1 Kegiatan penanaman (revegetasi)

Kegiatan penanaman di PTBA dilakukan dalam 2 tahap, yaitu penanaman jenis pionir dan pengayaan jenis lokal (3 tahun setelah penanaman jenis pionir). Jenis pionir yang dikembangkan di PTBA yaitu sengon (Falcataria moluccana), johar (Cassia siamea), dan kayu putih (Melaleuca cajuputi). Kegiatan penanaman dimulai dengan pembuatan lubang tanaman dengan ukuran 30 x 30 x 30 cm dengan jarak tanam 4 x 4 m. Lubang tanam diisi dengan bokashi sebanyak ¼ dari volume lubang tanam lalu dilakukan penanaman jenis pionir. Pemberian bokashi ini dimaksudkan untuk menambah bahan organik tanah (BOT) yang dapat meyediakan hara bagi tanaman dan meningkatkan aktivitas mikroba tanah. Setelah tanaman pionir berumur 3 tahun maka dilakukan pengayaan dengan jenis lokal antara lain: merbau, karet, gmelina, angsana, tembesu, beringin, glodokan, dan jenis tanaman buah. Tujuan kegiatan pengayaan ini adalah agar struktur dan komposisi tegakan di lahan yang sudah direklamasi menyerupai rona awal.

PTBA juga melakukan kegiatan penyulaman apabila persentase hidup bibit di lapangan <50%. Kegiatan penyulaman biasanya dilakukan 1 tahun setelah penanaman awal. Penanaman pada lahan yang curam dilakukan dengan cara penaburan LCC (legume cover crop). Hal ini bertujuan agar tanah tidak mudah tererosi. Jenis LCC yang dikembangkan adalah Calopogonium mucunoides dan Centrosema pubescens, yang didatangkan dari luar Tanjung Enim (PTBA 2004).

3.4.2 Pengadaan bibit

(28)

14

kelengkeng (Nephelium longanum) dan lain-lain. Jenis-jenis tanaman yang dikembangkan di persemaian PTBA (Gambar 2a) antara lain johar, sengon, kayu putih, merbau (Intsia bijuga), karet (Hevea brasiliensis), gmelina (Gmelina arborea), angsana (Pterocarpus indicus), tembesu (Fragraea fragrans), beringin

(Ficus benjamina), glodokan (Polyalthea longifolia), dan sengon buto (Enterolobium cyclocarpum). Perbanyakan tanaman beringin, glodokan, dan tembesu dilakukan dengan teknik stek pucuk, sedangkan untuk teknik perbanyakan jenis johar, angsana,sengon, sengon buto, merbau, gmelina, dan kayu putih dilakukan secara generatif (biji).

Media yang digunakan di bedeng tabur adalah campuran pasir dan arang sekam dengan perbandingan 2:1. Media yang digunakan di dalam polibag adalah campuran tanah (top soil), kompos, dan pasir dengan perbandingan 3:1:1. Selain melalui stek, biji, dan pembelian dari supplier, pengadaan bibit di PTBA juga dilakukan dengan cara kultur jaringan (Gambar 2b). Kultur jaringan perusahaan ini mulai dikembangkan tahun 2010. Pengadaan bibit melalui kultur jaringan dikhususkan untuk jenis-jenis tertentu yang memiliki nilai ekonomi tinggi, seperti jati (Tectona grandis), manggis (Garcinia mangostana) dan gaharu (Aquilaria malaccensis) (PTBA 2004).

Gambar 2 (a) Jenis-jenis tanaman yang dikembangkan di persemaian PTBA dan (b) proses pengadaan bibit dengan cara kultur jaringan

3.5 Sejarah dan cadangan batubara 3.5.1 Sejarah PTBA

Sejarah pertambangan batubara di Tanjung Enim dimulai sejak zaman kolonial Belanda tahun 1919 dengan menggunakan metode penambangan terbuka

(29)

(open pit mining) di wilayah operasi pertama, yaitu di Tambang Air Laya (Gambar 3a). Pada tahun 1923 mulai beroperasi dengan metode penambangan bawah tanah (underground mining) hingga 1940, sedangkan produksi untuk kepentingan komersial dimulai pada 1938. Pada 1950, Pemerintah RI kemudian mengesahkan pembentukan Perusahaan Negara Tambang Arang Bukit Asam (PN TABA). Pada 1981, PN TABA kemudian berubah status menjadi Perseroan Terbatas dengan nama PT Tambang Batubara Bukit Asam (Persero), yang selanjutnya disebut Perseroan. Pada tahun 1990, Pemerintah menetapkan penggabungan Perum Tambang Batubara dengan Perseroan, dalam rangka meningkatkan pengembangan industri batubara di Indonesia. Pada 23 Desember 2002, Perseroan mencatatkan diri sebagai perusahaan publik di Bursa Efek Indonesia dengan kode “PTBA”. Kantor PTBA dapat dilihat pada Gambar 3b.

Gambar 3 (a) Penambangan terbuka di Tambang Air Laya dan (b) kantor PTBA

3.5.2 Cadangan batubara

Perseroan memegang hak Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi sebagai berikut: Tambang batubara Tanjung Enim seluas 66.414 ha yang meliputi Kabupaten Muara Enim dan Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan. Selain itu, Perseroan juga memegang hak IUP di lokasi Peranap, Indragiri Hulu Riau dengan nomor keputusan 09/IUP/545-02/ IV/2010, 27 Apr 2010 seluas 18.230 ha dan di lokasi kecamatan Palaran, kota madya Samarinda (melalui anak perusahaan PT International Prima Coal) dengan nomor keputusan 454/375/HK-KS/VII/2010, 19 Jul 2010 seluas 3.238 ha. Pada bulan Desember 2008, total sumber daya batubara (resources) Perseroan mencapai 7,3 miliar ton yang tersebar di seluruh kegiatan pertambangan (KP) tersebut di atas (PTBA 2011).

(30)

BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN

4.1 Waktu dan tempat penelitian

Penelitian dilaksanakan selama dua bulan yaitu pada bulan Februari sampai dengan Maret 2012 di Perusahaan Tambang Batubara PT Bukit

Asam (PTBA), Tanjung Enim, Sumatera Selatan, serta di laboratorium Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.

4.2 Alat dan bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini ialah kompas, GPS, pita meter, patok, phi band, haga hypsometer, tali rafia, timbangan, kantung plastik, kertas label, golok, oven, kamera digital, tally sheet, alat tulis, ring tanah, serta laptop yang dilengkapi dengan beberapa pelangkat lunak (software) untuk analisis data. Beberapa perangkat lunak yang digunakan yaitu Microsoft Office Excel 2007, Statistical Package for the Social Sciensis 16 (SPSS 16), serta Minitab 14. Bahan

yang digunakan ialah tegakan pohon dan sampel-sampel tanah di areal reklamasi tambang batubara PTBA.

4.3 Metode pengambilan data

Data yang digunakan dalam kegiatan penelitian berupa data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diambil secara langsung dari lapangan yang meliputi data tinggi total pohon, diameter pohon 1,3 m di atas tanah (DBH), berat basah dan berat kering tumbuhan bawah serta serasah pada setiap plot penelitian. Data sekunder berupa kondisi umum wilayah, data iklim (curah hujan, suhu, kelembaban), jenis tanah, vegetasi, peta lahan atau penyebaran petak, dan peta areal reklamasi PTBA.

4.4 Prosedur penelitian 4.4.1 Lokasi penelitian

(31)

tahun 2011. Walupun pada lokasi KTU pernah terjadi kebakaran, banyak tumbuhan bawah yang tumbuh pada lokasi tersebut. Hal ini disebabkan banyaknya cahaya yang masuk pada areal terbakar, sehingga memungkinkan banyaknya tumbuhan bawah yang tumbuh pada areal pasca terbakar.

Secara umum, jenis yang banyak terdapat pada lokasi pasca terbakar adalah kayu putih dan acacia daun lebar (Acacia mangium). Selain itu, terdapat juga jenis keliat (Microcos tomentosa), sungkay (Peronema canescens), dan sengon. Pada lokasi yang tidak terbakar, jenis yang mendominasi adalah akasia daun kecil (Acacia auriculiformis). Selain itu, terdapat juga jenis keliat, gmelina, concong belut (Bridelia ovata), bungur (Lagerstroemia speciosa), dan sungkay.

4.4.2 Penentuan sampling plot penelitian

Plot penelitian yang digunakan adalah plot bujur sangkar atau persegi panjang. Pada masing-masing areal (pasca kebakaran dan tidak terbakar) dibuat 5 plot dengan ukuran 20 x 20 m. Kemudian, di dalam plot-plot tersebut dibuat sub plot berukuran 2 x 2 m, 5 x 5 m, 10 x 10 m, dan 20 x 20 m (Gambar 4).

c b a

a

b c

Gambar 4 Desain plot penelitian; a = ukuran 2 x 2 m, b = ukuran 5 x 5 m, c = ukuran 10 x 10 m, n = banyaknya plot

4.4.3 Pelaksanaan penelitian di lapangan

Pelaksanaan penelitian di lapangan dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Pengukuran dimensi pohon

Pohon di dalam plot diukur secara keseluruhan atau sensus baik pancang, tiang, dan pohon. Dimensi yang diukur adalah keliling pohon dengan

20 m

2

0

m

(32)

18

menggunakan pita meter (Gambar 5a) dan tinggi pohon yang diukur dengan menggunakan haga hypsometer (Gambar 5b).

Gambar 5 Pengukuran pohon: (a) keliling pohon dan (b) tinggi pohon

b. Pengambilan contoh tumbuhan bawah dan serasah

Semua tumbuhan bawah dan serasah di atas permukaan tanah yang terletak di dalam sub plot ukuran 2 x 2 m diambil dan ditimbang berat basahnya (BB). Tumbuhan bawah meliputi semak belukar, tumbuhan menjalar, rumput-rumputan atau gulma. Serasah berupa daun dan ranting yang telah jatuh di atas permukaan tanah.

c. Pengambilan contoh tanah

Contoh tanah yang diambil menggunakan 2 (dua) metode yaitu:

1. Contoh tanah terusik (komposit). Cara ini dilakukan dengan menggunakan bor tanah sehingga menyebabkan perubahan/kerusakan pada bentuk alaminya, terutama ruang/pori tanah. Tiap petak diambil 5 (lima) contoh tanah kemudian dicampurkan dan diambil 200 g. Begitu juga dilakukan pada petak selanjutnya dengan cara yang sama. Contoh tanah terusik yang sudah diambil dikirim ke laboratorium Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor untuk dianalisis sifat-sifat tanah berupa tekstur, pH, C-organik, Ca, Mg, K, dan KTK.

2. Contoh tanah tidak terusik (utuh). Cara ini dilakukan dengan menggunakan ring tanah yang dimasukkan ke dalam tanah, sehingga meminimumkan

(33)

perubahan/kerusakan pada bentuk alaminya terutama ruang/pori tanah. Tiap petak diambil 2 (dua) contoh ring tanah pada kedalaman 0–20 cm. Contoh tanah tidak terusik yang sudah diambil, kemudian dianalisis bobot isi tanahnya di laboratorium Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.

d. Penurunan kadar air

Penurunan kadar air dilakukan pada tumbuhan bawah dan serasah, serta pada contoh tanah tidak terusik. Penurunan kadar air pada tumbuhan bawah dan serasah dilakukan dengan cara mengeringkan bahan tersebut dalam oven pada suhu 80ºC selama 48 jam untuk memperoleh data berat kering (BK). Jika berat basah contoh yang akan dikeringkan kurang dari 200 g maka berat tersebut adalah berat basahnya. Jika berat basahnya lebih dari 200 g maka berat basah yang diambil adalah sebanyak 200 g.

Pada contoh tanah tidak terusik, penurunan kadar air dilakukan dengan cara mengeringkan bahan tersebut dalam oven pada suhu 105ºC selama 24 jam. Cara kerja penetapan bobot isi menurut Sitorus et al (1980) yaitu contoh tanah utuh di lapangan diambil dengan menggunakan ring tanah. Kedua, contoh tanah ditimbang berikut ring tanahnya (X satuannya g). Ketiga, ring tanah yang kosong ditimbang (Y satuannya g). Keempat, menetapkan kadar air tanahnya (Z satuannya g) dan langkah kelima adalah menghitung bobot isi (bulk density) tanahnya.

e. Pendugaan biomassa dan karbon

Pendugaan biomassa dan karbon dilakukan hanya pada atas permukaan tanah. Data-data primer yang diperoleh di lapangan, dimasukkan ke dalam rumus persamaan biomassa, sehingga diperoleh besar biomassanya. Besar biomassa inilah yang nantinya akan diperoleh kandungan karbon tersimpan dengan menggunakan rumus pendugaan karbon.

4.4.4 Analisis data

(34)

20

a. Komposisi jenis

Menurut Soerianegara dan Indrawan (2002), kerapatan tegakan, frekuensi, dominansi dan INP dihitung dengan menggunakan rumus:

Kerapatan suatu spesies (K) =

Kerapatan relatif suatu spesies (KR) =

x 100%

Frekuensi suatu spesies (F) =

Frekuensi relatif suatu spesies (FR) = F

F x 100%

Dominansi suatu spesies (D) = BDS

Dominansi relatif suatu spesies (DR) = D

D x 100%

INP = KR + FR (pada tingkat pancang)

INP = KR + FR + DR (pada tingkat tiang dan pohon)

b. Pengukuran biomassa

Pengukuran biomassa dilakukan pada pohon, tumbuhan bawah dan serasah. Biomassa pada pohon dapat dihitung dengan menggunakan rumus:

Biomassa = Volume pohon x WD Keterangan: WD = wood density (g/cm3)

Volume Pohon = Volume batang pohon x angka bentuk 0,7 (cm3) Pada penelitian ini, nilai wood density menggunakan data yang didapatkan dari website (Tabel 1). Pada pengukuran biomassa tumbuhan bawah dan serasah, pengukuran diawali dengan menghitung kadar airnya. Menurut Lubis (2011), kadar air dihitung dengan menggunakan rumus:

% KA = {(BBc - BKc)/BKc}× 100%

Keterangan: KA = kadar air (%)

BBc = berat basah contoh (g) BKc = berat kering contoh (g)

Setelah mendapatkan kadar air, kemudian dihitung berat kering biomassa tumbuhan bawah dan serasahnya dengan rumus:

(35)

Keterangan: BKT = berat kering tanur/biomassa (g) BB = berat basah (g)

KA = kadar air (%)

c. Pendugaan Karbon

Berdasarkan SNI No 7724 (2011), karbon diduga melalui biomassa yaitu dengan menggunakan rumus:

Cb = B x % C organik

Keterangan: Cb = kandungan karbon dari biomassa (kg)

B = total biomassa (kg)

% C organik = nilai persentase kandungan karbon, sebesar 0,47 atau menggunakan nilai persen karbon yang diperoleh dari hasil pengukuran di laboratorium. Pada penelitian ini, nilai % C organik menggunakan nilai hasil penelitian sebelumnya (Lampiran 1).

d. Pengukuran bobot isi dan bahan organik tanah

Pada contoh tanah tidak terusik, yang dianalisis adalah bobot isi tanah. Menurut Sitorus et al. (1980), bobot isi dapat dihitung dengan menggunakan rumus:

Bobot isi (BI) = / g/cm3

Keterangan: X = contoh tanah dengan tabung (g) Y = tabung kosong (g)

Z = kadar air tanah (g)

volume tanah dalam ring (Vt) = ¼πd2t (cm3)

Menurut Lubis (2011), kandungan bahan organik tanah dapat dihitung dari C-organik dengan rumus:

(36)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Karakteristik vegetasi

[image:36.595.109.531.437.743.2]

Analisis vegetasi dilakukan untuk mengetahui komposisi dan struktur tumbuhan yang menggambarkan kerapatan (K), kerapatan relatif (KR), frekuensi (F), frekuensi relatif (FR), dominasi (D), dominasi relatif (DR) dan indeks nilai penting (INP). Menurut Soegianto (1994) dalam Sandika (2008), parameter kuantitatif yang dapat digunakan untuk menyatakan tingkat dominansi (tingkat penguasaan) jenis-jenis dalam suatu komunitas tumbuhan adalah INP. Sutisna (1981) dalam Sandika (2008) juga menyatakan bahwa suatu jenis dapat dikatakan berperan jika nilai INP pada tingkat semai/tumbuhan bawah dan pancang lebih dari 10%, sedangkan untuk tingkat tiang dan pohon lebih dari 15%. Berdasarkan hasil analisis vegetasi, jenis yang terdapat pada lahan pasca terbakar yaitu kayu putih, keliat, sengon, dan akasia daun lebar, sedangkan pada lahan tidak terbakar yaitu keliat, concong belut, akasia daun kecil, dan gmelina. INP pada lahan pasca terbakar dan tidak terbakar dapat dilihat pada Tabel 2 dan Tabel 3.

Tabel 2 Indeks nilai penting pada lahan pasca terbakar

Nama Jenis Jumlah K(ind/ha) KR(%) F FR(%) D (m2/ha) DR(%) INP(%)

1. Tingkat pancang Kayu putih

(M. cajuputi) 5 400 83,33 0,4 66,67 - - 150,00 Keliat

(M. tomentosa) 1 80 16,67 0,2 33,33 - - 50,00

Total 6 480 100,00 0,6 100,00 - - 200,00

2. Tingkat tiang Kayu Putih

(M. cajuputi) 6 120 75,00 0,6 60,00 17554,14 64,00 199,00 Sengon

(F.moluccana) 1 20 12,50 0,2 20,00 5732,48 20,90 53,40 Akasia daun lebar

(A. mangium) 1 20 12,50 0,2 20,00 4141,72 15,10 47,60

Total 8 160 100,00 1,0 100,00 27428,34 100,00 300,00

3. Tingkat pohon Akasia daun lebar

(A. mangium) 11 55 100,00 1,0 100,00

43032,25 100,00 300,00

Total 11 55 100,00 1,0 100,00 43032,25 100,00 300,00

K = kerapatan; KR = kerapatan relatif; F = frekuensi; FR = frekuensi relatif; D = dominasi; DR = dominasi relatif; INP = indeks nilai penting

(37)

yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman keliat, sedangkan di lahan tidak terbakar tanaman concong belut memiliki indeks nilai penting yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman keliat. Hal ini menunjukkan bahwa tanaman kayu putih mendominasi pada satuan luas 5 x 5 m (tingkat pancang) di lahan pasca terbakar, dan tanaman concong belut yang mendominasi pada satuan luas 5 x 5m di lahan tidak terbakar. Pada tingkat tiang di lahan pasca terbakar menunjukkan bahwa tanaman kayu putih memiliki indeks nilai penting yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman lain, sedangkan di lahan tidak terbakar tanaman akasia daun kecil memiliki indeks nilai penting yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman lain. Hal ini menunjukkan bahwa tanaman kayu putih putih mendominasi pada satuan luas 10 x 10 m (tingkat tiang) di lahan pasca terbakar, dan tanaman akasia daun lebar yang mendominasi pada satuan luas 10 x 10 m di lahan tidak terbakar.

Tabel 3 Indeks nilai penting pada lahan tidak terbakar

Nama Jenis Jumlah K(ind/ha) KR (%) F FR(%) D (m2/ha) DR(%) INP(%)

1. Tingkat pancang Keliat

(M. tomentosa) 2 160 14,29 0,2 20,00 - - 34,29 Congcong belut

(B. ovata) 12 960 85,71 0,8 80,00 - - 165,71

Total 14 1120 100,00 1,0 100,00 - - 200,00

2. Tingkat tiang Akasia daun kecil

(A.auriculiformis) 2 40 66,67 0,4 66,67 10375,80 74,68 208,02 Gmelina

(G. arborea) 1 20 33,33 0,2 33,33 3517,52 25,32 91,98

Total 3 60 100,00 0,6 100,00 13893,32 100,00 300,00

3. Tingkat pohon Akasia daun kecil

(A.auriculiformis) 53 265 100,00 1,0 100,00 209840,80 100,00 300,00

Total 53 265 100,00 1,0 100,00 209840,80 100,00 300,00

K = kerapatan; KR = Kerapatan relatif; F = frekuensi; FR = frekuensi relatif; D = dominasi; DR = dominasi relatif; INP = indeks nilai penting

(38)

24

dengan tanaman akasia daun lebar pada lahan pasca terbakar yaitu sebesar 55 individu/ha. Perbedaan nilai kerapatan masing-masing jenis disebabkan adanya perbedaan penyebaran dan daya adaptasi terhadap lingkungan (Arrijani et al. 2006).

5.2 Karbon tersimpan atas permukaan pada lokasi penelitian

Menurut Hairiah et al. (2011), salah satu cara untuk mengendalikan perubahan iklim adalah mengurangi emisi gas rumah kaca (CO2, CH4, N2O)

dengan mempertahankan keutuhan hutan alami dan meningkatkan kerapatan populasi pepohonan di luar hutan. Pengukuran jumlah karbon tersimpan dalam tubuh tanaman hidup pada suatu lahan dapat menggambarkan banyaknnya CO2 di

atmosfer yang diserap oleh tanaman. Karbon tersimpan yang diukur pada penelitian ini adalah karbon di atas permukaan yang meliputi karbon tersimpan pada vegetasi tingkat pohon, serasah dan vegetasi tingkat tumbuhan bawah.

5.2.1 Karbon tersimpan pada vegetasi tingkat pohon

(39)
[image:39.595.113.527.105.342.2]

Tabel 4 Karbon tersimpan tiap jenis pohon

Nama Jenis

Jumlah individu

Rata-rata diameter (cm)

Rata-rata tinggi (m)

Karbon (ton/ha) a. Lahan pasca terbakar

Akasia daun lebar (A. mangium) 35 16,97 11,29 16,35

Kayu Putih (M. cajuputi) 52 9,60 9,38 4,33

Keliat (M. tomentosa) 22 6,34 7,32 0,35

Sungkay (P. canescens) 6 4,67 7,00 0,06

Sengon (F. moluccana) 1 19,11 16,00 0,24

Total 116 21,32

b. Lahan tidak terbakar

Akasia daun kecil (A. auriculiformis) 67 28,00 18,13 93,35

Keliat (M. tomentosa) 14 7,28 6,55 0,37

Gmelina (G. arborea) 6 10,03 8,33 0,64

Sungkay (P. canescens) 1 15,29 9,50 0,13

Congcong belut (B. ovata) 15 3,97 5,62 0,13

Bungur (L. speciosa) 1 8,28 7,50 0,05

Total 104 94,68

Hasil penelitian Gintings (1997) dalam Masripatin et al. (2011), karbon tersimpan di atas permukaan tanah pada hutan tanaman akasia daun lebar umur 6 tahun di Benakat, Sumatera Selatan adalah 91,2 ton/ha, serta karbon tersimpan di atas permukaan tanah pada hutan tanaman sungkay umur 10–25 tahun di Benakat, Sumatera Selatan dan stasiun penelitian hutan tanjungan Lampung adalah berkisar antara 35,7–71,8 ton/ha. Hasil penelitian Gintings (1997) dan Siregar et al. (2006) dalam Masripatin et al. (2011), karbon tersimpan di atas permukaan tanah pada hutan tanaman sengon umur 14–25 tahun di Jawa Timur dan Jawa Barat adalah berkisar antara 112,8–122,7 ton/ha. Hasil-hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa karbon tersimpan baik pada hutan tanaman akasia daun lebar, sungkay maupun sengon lebih besar dibandingkan dengan kandungan karbon tersimpan pada jenis akasia daun lebar, sungkay dan sengon di lokasi penelitian. Hal ini diduga karena perbedaan umur dan jumlah tegakan yang terdapat pada masing-masing lokasi. Selain itu disebabkan juga oleh perbedaan kondisi lingkungan pada masing-masing lokasi.

(40)

26

Menurut Hairiah et al. (2007), jumlah karbon tersimpan ditentukan oleh keragaman dan kerapatan tumbuhan, jenis tanah, dan cara pengelolaan. Walaupun total jumlah individu pada lahan tidak terbakar lebih sedikit dibandingkan dengan lahan tidak terbakar, tetapi rata-rata diameter dan tinggi pada lahan tidak terbakar lebih besar dibandingkan lahan pasca terbakar. Hal inilah yang mempengaruhi kerapatan individu pada luasan plot penelitian, sehingga dapat dikatakan bahwa kerapatan individu pada lahan tidak terbakar lebih tinggi dibandingkan dengan lahan pasca terbakar.

Kerapatan kayu (wood density) juga mempengaruhi besarnya karbon tersimpan pada pohon. Berdasarkan tabel kerapatan kayu (Tabel 1) terlihat bahwa jenis-jenis individu pada lahan tidak terbakar memiliki kerapatan kayu yang lebih tinggi dibandingkan dengan jenis-jenis individu pada lahan pasca terbakar. Salah satu jenis yang terdapat pada lahan tidak terbakar memiliki kerapatan kayu tertinggi yaitu jenis concong belut dengan kerapatan kayu sebesar 0,73 g/cm3. Menurut Novita (2010), potensi biomassa dapat mempengaruhi potensi selulosa, lignin, zat ekstraktif dan hemiselulosa yang pada akhirnya mempengaruhi kandungan karbon tersimpan pada pohon. Selain itu, beberapa faktor yang mempengaruhi biomassa tegakan hutan antara lain: umur tegakan hutan, perkembangan vegetasi, komposisi dan struktur tegakan, serta faktor iklim seperti suhu dan curah hujan. Perbedaan umur tegakan juga mempengaruhi perbedaan kandungan karbon tersimpan pada kedua lokasi tersebut. Tegakan pada lahan tidak terbakar telah ditanam sejak tahun 1997 (berumur 15 tahun), sedangkan pada lahan pasca terbakar baru ditanam sejak tahun 2006 (berumur 6 tahun), sehingga menyebabkan kandungan karbon tersimpan pada lahan tidak terbakar lebih tinggi dibandingkan dengan lahan pasca terbakar.

(41)
[image:41.595.100.512.60.804.2]

Tabel 5 Korelasi antara karbon dengan tinggi dan karbon dengan diameter pada berbagai jenis pohon di lahan pasca tambang

Parameter  Koefisien korelasi

Karbon‐Tinggi pohon  0,74**

Karbon‐Diameter pohon  0,91**

** nyata atau signifikan pada taraf 5%

Berdasarkan hasil analisis regresi, diperoleh beberapa persamaan regresi dengan R-square yang berbeda-beda (Lampiran 2, 3, 4, 5, 6, 7). Persamaan diperoleh dari hasil analisis kuadratik. Persamaan regresi ini didasarkan pada parameter tinggi dan diameter setinggi dada (DBH). Hasil analisis regresi dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Hasil analisis regresi antara karbon dengan tinggi dan karbon dengan DBH

pada berbagai jenis pohon di lahan pasca tambang

Persamaan regresi R‐square (%) 

C = ‐0,542 – 1,859 DBH + 0,3570 DBH2 93,40 

C = 43,36 – 16,39 T + 1,493 T2  60,50 

C = ‐0,276 – 0,8035 DBH + 0,2360 DBH2 95,30 

C = 92,18 – 28,31 T + 2,084 T2  48,60 

C = 4,31 – 3,023 DBH + 0,4118 DBH2 96,60 

C = 19,17 – 9,72 T + 1,226 T2  54,20 

C = karbon (kg); DBH = diameter setinggi dada (cm); T = tinggi pohon (m)

Tabel 6 menunjukkan bahwa persamaan regresi yang dapat digunakan berdasarkan nilai R-square tertinggi (96,60%) adalah C = 4,31 – 3,023 DBH + 0,4118 DBH2, dengan hubungan regerasinya dapat dilihat pada gambar 6.

Gambar 6 Hubungan regresi antara karbon dan diameter pada berbagai jenis pohon di lahan pasca tambang

Diameter (cm)

Karbon (kg)

0 10 20 30 40 50 60

1400

1200

1000

800

400 600

200

C = 4,31 – 3,023 DBH + 0,4118 DBH2

(42)

28

R-square menunjukkan keragaman Y yang dapat dijelaskan oleh peubah X. Pada persamaan regresi ini, peubah X menunjukkan DBH dan peubah Y menunjukkan kandungan karbonnya. Hal ini menunjukkan bahwa 96,60% dari kandungan karbon tersimpan pada suatu pohon dapat dijelaskan oleh DBH dari pohon tersebut.

5.2.2 Karbon tersimpan pada serasah

[image:42.595.107.513.357.700.2]

Menurut Hairiah et al. (2011), serasah meliputi bagian tanaman yang telah gugur berupa daun dan ranting-ranting yang terletak di permukaan tanah. Biomassa serasah memberikan sumbangan yang relatif kecil dibandingkan dengan pohon. Hal ini disebabkan ukuran bentuk dan berat serasah jauh lebih kecil dibandingkan dengan pohon. Karbon tersimpan pada serasah dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Karbon tersimpan pada serasah

Plot Bagian tanama

n

Berat kering daun (kg)

C tersimpan

pada daun (kg) Berat kering

ranting (kg)

C tersimpan pada ranting (kg)

a. Lahan pasca terbakar

1 Serasah 0,08 0,02 0,05 0,02

2 Serasah 0,28 0,08 0,14 0,04

3 Serasah 0,11 0,03 0,09 0,03

4 Serasah 0,02 0,01 0,13 0,04

5 Serasah 0,10 0,03 0,14 0,04

Total (kg) 0,60 0,18 0,54 0,16

Total (ton/ha) 0,30 0,09 0,27 0,08

b. Lahan tidak terbakar

1 Serasah 0,32 0,09 0,52 0,16

2 Serasah 0,28 0,08 0,17 0,05

3 Serasah 0,18 0,05 0,04 0,01

4 Serasah 0,21 0,06 0,17 0,05

5 Serasah 0,38 0,11 0,21 0,06

Total (kg) 1,36 0,41 1,11 0,33

Total (ton/ha) 0,68 0,20 0,56 0,17

(43)

mempengaruhi besarnya biomassa dan kandungan karbon tersimpan baik pada daun maupun ranting. Menurut Nilamsari (2000), serasah daun lebih sering gugur dibandingkan dengan serasah lain karena bentuk daun yang lebar dan tipis sehingga mudah digugurkan.

Berdasarkan lokasi, kandungan karbon baik pada serasah daun maupun serasah ranting pada lahan tidak terbakar lebih tinggi dibandingkan dengan lahan pasca terbakar. Menurut Tresnawan (2002) dalam Novita (2010), adanya variasi produksi serasah dipengaruhi oleh faktor kompetisi cahaya dan kerapatan tajuk. Adanya celah yang disebabkan oleh kebakaran akan mempercepat cahaya matahari ke lantai hutan yang merangsang kegiatan metabolisme dekomposer untuk mempercepat perombakan bahan organik menjadi CO2, sehingga

menyebabkan kandungan serasah pada lahan pasca terbakar lebih sedikit dibandingakan dengan lahan tidak terbakar. Hal ini akan mempengaruhi besarnya biomassa dan kandungan karbon tersimpan pada kedua lokasi tersebut.

5.2.3 Karbon tersimpan pada vegetasi tingkat tumbuhan bawah

(44)

30

[image:44.595.108.513.226.504.2]

Tabel 8 menunjukkan bahwa kandungan karbon tersimpan pada tumbuhan bawah di lahan pasca terbakar lebih tinggi yaitu sebesar 0,30 ton/ha dibandingkan dengan lahan tidak terbakar yaitu sebesar 0,29 ton/ha. Hal ini disebabkan oleh celah yang ditimbulkan dari kebakaran tersebut, sehingga mempengaruhi besarnya biomassa dan kandungan karbon tersimpan pada tumbuhan bawah tersebut. Tumbuhan bawah dalam pertumbuhannya, sangat memerlukan sinar matahari untuk berfotosintesis dan perkecambahan (Novita 2010).

Tabel 8 Karbon tersimpan pada tumbuhan bawah

PLOT Bagian tanaman Berat kering (kg) C tersimpan (kg)

a. Lahan pasca terbakar

1 Tumbuhan bawah 0,47 0,12

2 Tumbuhan bawah 0,27 0,07

3 Tumbuhan bawah 0,37 0,10

4 Tumbuhan bawah 0,69 0,18

5 Tumbuhan bawah 0,53 0,14

Total (kg) Total (ton/ha)

2,33 0,61

1,17 0,30

b. Lahan tidak terbakar

1 Tumbuhan bawah 0,38 0,10

2 Tumbuhan bawah 0,17 0,04

3 Tumbuhan bawah 0,76 0,20

4 Tumbuhan bawah 0,75 0,19

5 Tumbuhan bawah 0,19 0,05

Total (kg) Total (ton/ha)

2,24 0,58

1,12 0,29

(45)

Gambar 7 Karbon pada lahan pasca terbakar (a), dan karbon pada lokasi yang

tidak terbakar (b)

Pada Gambar 7 terlihat bahwa kandungan karbon tersimpan pada pohon mendominasi kandungan karbon tersimpan di atas permukaan tanah baik di lahan pasca terbakar maupun pada lahan tidak terbakar. Pada lahan pasca terbakar, persentase kandungan karbon pada pohon sebesar 97,84% (21,32 ton/ha), serasah sebesar 0,78% (0,17 ton/ha), dan tumbuhan bawah sebesar 1,38% (0,30 ton/ha). Pada lahan tidak terbakar, persentase kandungan karbon pada pohon sebesar 99,31% (94,68 ton/ha), serasah sebesar 0,39% (0,37 ton/ha), dan tumbuhan bawah sebesar 0,30% (0,29 ton/ha). Ini menunjukkan bahwa serasah dan tumbuhan bawah menyumbangkan kandungan karbon tersimpan di atas permukaan yang sangat kecil dibandingkan dengan kandungan tersimpan pada pohon. Hal ini karena pohon mampu menyerap CO2 melalui proses fotosintesis dan didukung

dengan ukuran bentuk batang pohon yang besar, sehingga mampu menyimpan karbon tersimpan yang besar. Menurut Hairiah et al. (2011), proporsi terbesar penyimpanan C di daratan umumnya terdapat pada komponen pepohonan.

5.3 Kualitas Tempat Tumbuh

Berdasarkan komposisi partikel tanah pada Tabel 9, tekstur tanah pada kedua lokasi hampir semuanya memiliki kelas tekstur liat kecuali untuk kelas tekstur pada plot 3 di lahan pasca terbakar yaitu lempung berliat dan kelas tekstur pada plot 3 di lahan tidak terbakar yaitu lempung liat berdebu. Hal ini akan meyebabkan tanah di kedua lokasi ini memiliki sistem aerasi dan drainase yang kurang optimal. Aerasi dan drainase akan mempengaruhi proses sirkulasi air, udara, dan hara di dalam tanah. Jika aerasi dan drainasenya kurang baik, maka akan mempengaruhi pertumbuhan vegetasinya, sehingga akan mempengaruhi besar biomassanya. Menurut Lubis (2011), faktor pendukung atau parameter

Pohon 97,84% Tumbu

han bawah 1,38%

Serasah 0,78%

a

Pohon 99,31% Tumbu

han bawah 0,30%

Serasah 0,39%

(46)

32

untuk menilai kondisi hutan adalah kualitas tempat tumbuh. Jika sifat-sifat tanahnya baik maka kualitas tempat tumbuhnya juga baik sehingga akan mempengaruhi kondisi hutannya.

[image:46.595.105.524.383.705.2]

Menurut Hairiah et al. (2011), penyimpanan karbon pada suatu lahan menjadi lebih besar bila kondisi kesuburan tanahnya baik, karena biomassa pohon meningkat. Hasil analisis tanah yang terdiri dari sifat fisik tanah (tekstur dan bobot isi) dan sifat kimia tanah (pH, C-organik, Ca, Mg, K, dan KTK) pada lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 11. Tekstur tanah dapat mempengaruhi tingkat kesuburan tanah. Hal ini karena tekstur tanah akan menentukan ukuran dan jumlah pori-pori tanah yang berpengaruh pada siklus air dan udara di dalam tanah. Tanah yang didominasi pasir akan lebih banyak mempunyai pori-pori makro, tanah yang didominasi debu akan banyak mempunyai pori-pori meso, sedangkan yang didominasi liat akan banyak mempunyai pori-pori mikro atau tidak porous (Hanafiah 2005).

Tabel 9 Hasil analisis sifat-sifat tanah pada lokasi penelitian

Lokasi  Tekstur  pH 1:1  Walkley  & Black 

N NH4OAc pH 7.0  

Bobot  Isi 

Bahan  Orga‐

nik  H2O 

 

C‐ organik 

Ca Mg K KTK 

(%) (me/100 g) (%)  %

a. Lahan pasca terbakar (KTU) 

Plot 1  Liat  4,30sm  2,07s 0,72sr 1,21s 0,35s 17,05s  1,68  3,60

Plot 2  Liat  4,10sm  0,48sr 3,24r 1,21s 0,15r 15,86r  1,70  0,84

Plot 3  Lempung  berliat 

4,30sm  0,40sr  0,33sr  1,11s  0,35s  11,91r  1,59  0,70

Plot 4  Liat  4,20sm  1,12r 1,82sr 4,00t 0,36s 16,28r  1,51  1,95

Plot 5  Liat  4,00sm  1,04r 1,07sr 1,90s 0,23r 15,28r  1,51  1,81

Rata‐ rata 

  4,18sm  1,02r  1,44sr  1,89s  0,29r  15,28r  1,60  1,78

b. Lahan tidak terbakar (LIMOA) 

Plot 1  Liat  4,40sm  1,20r 3,11r 7,80t 0,18r 16,67r  1,57  2,09

Plot 2  Liat  4,30sm  1,52r 3,38r 8,26st 0,25r 18,99s  1,62  2,64

Plot 3  Lempung  liat  berdebu 

4,60m  5,43st  4,58r  8,30st  0,20r  21,32s  1,59  9,45

Plot 4  Liat  3,90sm  5,43st 1,85sr 4,14t 0,32s 19,77s  1,32  9,45

Plot 5  LIat  3,80sm  5,75st 4,49r 4,15t 0,32s 19,56s  1,43  10,01

Rata‐ rata 

  4,2sm  3,87t  3,48r  6,53t  0,254 

r

19,26s  1,51  6,73

(47)

Berdasarkan Tabel 9 dan kriteria penilaian sifat kimia tanah (Lampiran 8), terlihat bahwa nilai rata-rata pH untuk lahan pasca terbakar adalah 4,18 yang tergolong sangat masam dengan kisaran nilai pH antara 4,00–4,30, sedangkan pada lahan tidak terbakar nilai rata-rata pH adalah 4,20 yang tergolong sangat masam dengan kisaran nilai pH antara 3,80–4,60. Hal ini menunjukkan pH pada lahan pasca terbakar dan lahan tidak terbakar sama-sama tergolong sangat masam. Menurut Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (1991), penyebab utama dari reaksi tanah menjadi masam adalah karena keberadaan Al yang tinggi dan dibarengi oleh kehilangan basa-basa akibat curah hujan yang tinggi. Kelarutan Al yang tinggi dapat bersifat meracun bagi tanaman. Keracunan Al menyebabkan gangguan terhadap akar tanaman baik fisiologi maupun morfologinya. Gangguan sistem perakaran ini, akan menghambat serapan hara dan air sehingga terjadilah gangguan pertumbuhan dari penurunan produksi pada tanah masam. Pada kedua lokasi penelitian menunjukkan pH yang sangat masam. Hal ini diduga adanya keberadaan Al yang tinggi pada tanah di kedua lokasi tersebut yang akan menyebabkan gangguan pada sistem perakaran, sehingga akan menghambat serapan hara dan air yang akan menyebabkan gangguan pertumbuhan. Jika terjadi gangguan pertumbuhan maka biomassa dan kandungan karbon tersimpannya menurun.

(48)

34

pertumbuhan tanaman yaitu sebagai granulator yaitu memperbaiki struktur tanah,sumber unsur hara N, P, S, unsur mikro dan lain-lain, menambah kemampuan tanah untuk menahan air, menambah kemampuan tanah untuk menahan unsur-unsur hara (KTK tanah menjadi tinggi), dan sumber energi bagi mikroorganisme.

Kalsium (Ca) rata-rata untuk lahan pasca terbakar adalah 1,44 me/100 g yang tergolong sangat rendah dengan kisaran antara 0,33–3,24 me/100 g, sedangkan Ca rata-rata pada lahan tidak terbakar sebesar 3,48 me/100 g yang tergolong rendah dengan kisaran antara 1,85–4,58 me/100 g. Menurut Hanafiah (2005), Ca berperan dalam struktur dan permeabilitas membran, terutama karena fungsinya sebagai pengikat antar molekul-molekul fosfolipid-fospolipid/protein penyusunnya, dan sebagai aktivator beberapa enzim.

Magnesium (Mg) rata-rata untuk lahan pasca terbakar adalah 1,89 me/100 g yang tergolong sedang dengan kisaran antara 1,11–4,00 me/100 g, sedangkan Mg rata-rata pada lahan tidak terbakar sebesar 6,53 me/100 g yang tergolong tinggi dengan kisaran antara 4,14–8,26 me/100 g. Menurut Hanafiah (2005), Mg berfungsi sebagai penyusun klorofil dan aktivator enzim-enzim dalam reaksi fotosintesis, respirasi dan sintesis DNA/RNA, serta sebagai pemicu penyediaan energi kimia dari ATP yang dibutuhkan dalam berbagai reaksi, seperti pada proses fermentasi glukosa.

Kalium (K) rata-rata pada lahan pasca terbakar adalah 0,29 me/100 g yang tergolong rendah dengan kisaran antara 0,15–0,36 me/100 g, sedangkan kalium rata-rata pada lahan tidak terbakar sebesar 0,254 me/100 g yang tergolong rendah dengan kisaran antara 0,18–0,32 me/100 g(s). Menurut Hanafiah (2005), K berfungsi sebagai aktivator enzim dalam proses fotosintesis dan respirasi, translokasi karbohidrat, sintesis protein dan pati. Selain itu K juga berperan dalam proses buka tutup stomata, karena fungsinya dalam pengaturan potensi osmotik sel-sel.

(49)

kemampuan permukaan koloid tanah menyerap dan mempertukarkan kation (Ca, Mg, K, Na, NH4, Al, Fe, dan H) yang dinyatakan dalam me/100 g koloid. Secara

umum dikatakan bahwa semakin tinggi kadar liat semakin tinggi pula KTK (Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi 1991). Jenis partikel tanah akan berpengaruh terhadap pertukaran kation-kation dalam tanah. Tanah yang didominasi oleh partikel liat akan memiliki kemampuan menjarap kation-kation lebih banyak, karena partikel liat memiliki lebih banyak pori-pori mikro tempat berlangsungnya pertukaran kation-kation tanah, sedangkan jenis partikel pasir pertukaran kationnya akan sulit terjadi. Semakin tinggi nilai KTK maka serapan kation-kation hara akan semakin meningkat (Sugirahayu 2011).

Bulk density (bobot isi) menunjukkan bobot massa tanah pada kondisi

(50)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

1. Karbon tersimpan di atas permukaan tanah di areal reklamasi PT Bukit Asam, Tanjung Enim, Sumatera Selatan adalah 21,79 ton/ha pada lahan pasca terbakar dan 95,34 ton/ha pada lahan tidak terbakar.

2. Pendugaan karbon di areal reklamasi PT Bukit Asam, Tanjung Enim, Sumatera Selatan, baik pada lahan pasca tebakar maupun tidak terbakar lebih baik menggunakan parameter diameter dibandingkan menggunakan parameter tinggi. Karbon tersimpan dapat diduga dengan persamaan C = 4,31 - 3,023 DBH + 0,4118 DBH2.

3. Kebakaran berpengaruh terhadap kandungan karbon tersimpan pada atas permukaan tanah di laha

Gambar

Tabel 1  Kerapatan kayu (wood density) dari beberapa jenis kayu (Anonim 2012) 3
Tabel 2  Indeks nilai penting pada lahan pasca terbakar
Tabel 4  Karbon tersimpan tiap jenis pohon
Tabel 5  Korelasi antara karbon dengan tinggi dan karbon dengan diameter pada berbagai jenis pohon di lahan pasca tambang
+7

Referensi

Dokumen terkait

42 No Peneliti Judul Penelitian Variabel yang digunakan Hasil 5 Iramani (2007) Analisis Struktur Kepemilikan dan Rasio Industri Relatif Sebagai Prediktor Model

Predictors: (Constant), Lingkerja, Kompensasi, Jjgkarir Dari uji ANOVA diperoleh F hitung sebesar 33.123 dengan tingkat signifikansi 0,000, karena tingkat probabilitas

Dengan tingginya jumlah pasien GE tersebut, maka akan dilakukan analisis time series pada penderita GE di bagian unit rekam medis rawat inap RSUD Dr.. Untuk

Wachid, S.TP., MSc selaku KA Prodi Jurusan Ilmu dan Teknologi Pangan sekaligus Dosen Pembimbing II yang selalu memberikan dukungan, pengarahan, motivasi yang

Jenis Barang /Nama Barang Kode Barang Kondisi

3.2.4 Banyaknya Pencari Kerja yang Terdaftar Menurut Tingkat Pendidikan dan Jenis Kelamin di Kabupaten Bolaang Mongondow / Number of Registered Job Seekers by

20402109049, Mahasiswa, Jurusan Pendidikan Matematika pada Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Alauddin Makassar, setelah meneliti dan mengoreksi secara seksama proposal skripsi

Agar keakuratan pelayanan pemesanan lapangan prima futsal lebih terjamin dengan banyaknya jumlah pemesan yang berkunjung, dan lebih tepat dalam waktu yang relatif lebih singkat