BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN
6.2 Saran
Pada penelitian yang dilakukan ini, dijumpai beberapa keterbatasan. Adapaun saran dari peneliti adalah sebagai berikut :
1. Bagi dokter maupun tenaga kesehatan (operator) agar dapat mendokumentasikan data pasien lebih maksimal sehingga dapat memberikan hasil yang maksimal pula untuk penelitian berikutnya. 2. Bagi pasien agar dapat meminimalkan faktor resiko untuk menderita
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Batu Saluran Kemih
2.1.1 Proses Pembentukan Batu Saluran Kemih
Batu saluran kemih merupakan agregat dari polycrystalline yang terbentuk dari berbagai jenis kristaloid dan matriks organik. Pembentukan batu saluran kemih dipengaruhi oleh saturasi urin. Saturasi urin bergantung pada pH urin, ion-ion, konsentrasi zat terlarut, dan lain-lain.
Pengaruh konsentrasi zat terlarut pada pembentukan batu sangat jelas. Semakin tinggi konsentrasi dari suatu ion, maka kemungkinan ion tersebut untuk mengendap semakin tinggi. Ketika konsentrasi ion meningkat, ion akan mencapai suatu titik spesifik yang disebut dengan solubility product (Ksp). Konsentrasi ion yang meningkat melebihi titik ini akan menyebabkan dimulainya proses perkembangan kristal dan nukleasi.
Teori nukleasi menjelaskan bahwa batu saluran kemih terbentuk dari kristal-kristal atau benda asing yang terkandung dalam urin yang jenuh. Teori lain yaitu teori inhibitor kristal menegaskan bahwa batu saluran kemih terbentuk karena rendahnya konsentrasi ion-ion inhibitor alami dari batu saluran kemih tersebut seperti magnesium, sitrat dan pirofosfat. Akan tetapi, teori inhibitor kristal ini masih diperdebatkan karena banyak orang yang mengalami defisiensi ion-ion inhibitor tersebut tetapi tidak mengalami pembentukan batu saluran kemih dan yang mempunyai kelebihan ion-ion inhibitor tersebut malah terbentuk batu saluran kemih (Stoller, 2008).
Komponen utama pembentuk batu saluran kemih adalah kristalin. Terdapat beberapa tahapan dalam proses pembentukan kristal yaitu nukleasi, growth, dan agregasi. Nukleasi mengawali proses pembentukan batu. Nukleasi dipengaruhi oleh berbagai substansi seperti matriks proteinaceous, benda asing, dan partikel lain. Nukleasi heterogen (epitaxy) merupakan jenis nukleasi yang umum terjadi pada pembentukan batu saluran kemih. Hal ini disebabkan karena nukleasi heterogen membutuhkan jumlah energi yang lebih sedikit dibandingkan dengan
nukleasi homogen. Sebuah tipe kristal akan menjadi nidus atau sarang untuk nukleasi kristal lain. Sebagai contoh, kristal asam urat akan menjadi sarang untuk nukleasi kalsium oksalat (Stoller, 2008).
Jumlah komponen matriks pada batu saluran kemih bervariasi, tergantung pada jenis batu. Komponen matriks biasanya hanya 2-10% dari berat batu tersebut. Komponen matriks yang paling dominan adalah protein dengan sedikit hexose dan hexosamine. Peran matriks pada inisiasi pembentukan batu saluran kemih masih belum dimengerti dengan sempurna. Matriks dapat berperan sebagai sarang untuk agregasi atau sebagai perekat alami komponen-komponen kristal kecil (Stoller, 2008).
Gambar 2.1. Tahapan pembentukan batu saluran kemih Sumber : EAU-EBU update series. Basavaraj, D. P128
Growth adalah langkah selanjutnya dalam pembentukan batu saluran kemih. Proses Growth atau pertumbuhan kristal dimulai dengan pembentukan gugus-gugus oleh kristal-kristal nukleasi. Langkah selanjutnya adalah agregasi kristal. Pada proses ini, kristal-kristal bergabung menjadi sebuah partikel yang lebih besar. Jarak antar partikel yang dekat akan meningkatkan gaya tarik dan menyebabkan agregasi partikel yang lebih lanjut (Basavaraj et al., 2007).
2.1.2 Jenis Batu Saluran Kemih 2.1.2.1 Batu Kalsium
Kalsifikasi dapat berlangsung dan berakumulasi pada duktus kolektivus, menghasilkan batu saluran kemih. Kira-kira 80-85% dari seluruh kejadian batu saluran kemih adalah batu kalsium. Batu kalsium sering terjadi karena kenaikan kadar kalsium dalam urin, kenaikan kadar asam urat dalam urin, naiknya kadar oksalat atau menurunnya sitrat dalam urin (Stoller, 2008).
Hiperkalsiuria adalah kelainan yang paling sering menyebabkan terjadinya pembentukan batu kalsium. Tingginya kadar kalsium dalam urin menyebabkan urin jenuh akan garam kalsium dan menurunkan aktivitas inhibitor. Defenisi paling ketat mengklasifikasikan hiperkalsiuria lebih dari 200mg kalsium urin per hari. Penambahan kadar kalsium akibat hiperabsorbsi usus terhadap kalsium menyebabkan kenaikan sementara kadar kalsium serum, dimana hal ini menghasilkan peningkatan filtrasi kalsium pada ginjal. Karena peningkatan absorbsi kalsium di usus diimbangi oleh kenaikan ekskresi melalui ginjal, maka kadar kalsium serum bertahan pada angka normal (Pearle et al., 2012).
2.1.2.2 Batu Struvite
Griffith dalam tulisannya menyatakan bahwa batu struvite pertama kali ditemukan pada abad ke-18 oleh seorang ahli geologi asal Swedia bernama Ulex. Batu struvite mengandung magnesium, ammonium, dan fosfat. Nama struvit sendiri diambil dari seorang diplomat Rusia bernama Von Stuve.
Batu struvit pada umumnya ditemukan pada wanita dan sering rekuren dalam waktu singkat. Batu struvit sering dihubungkan dengan infeksi yang disebabkan oleh bakteri pemecah urea yang dapat menyebabkan alkalinasi urin hingga mencapat pH lebih dari 7,2 dimana pada pH inilah kristal magnesium, amonium, dan fosfat akan mengendap (Stoller , 2008).
Bakteri-bakteri seperti Proteus mirabilis dan Ureaplasma urealyticum mensekresi enzim urease yang menghidrolisis urea menjadi ion amonium dan karbon dioksida. Reaksi ini menyebabkan pH urin naik. Untuk membentuk batu struvit, urin harus mengandung amonium dan ion trivalent fosfat pada saat yang bersamaan. Namun, ion trivalent fosfat tidak ada pada keadaan urin yang asam.
Oleh karena itu, ada keadaan fisiologis, struvite tidak akan mengendap. Pada keadaan patologis, dimana terdapat bakteri yang menghasilkan urease, urea akan dipecah menjadi amonia dan asam karbonat. Selanjutnya, amonia akan bercampur dengan air untuk menghasilkan ammonium hidroksida pada kondisi basa, dan akan menghasilkan bikarbonat dan ion karbonat. Alkalinisasi urin oleh reaksi urease tadi menghasilkan NH4, yang akan membentuk ion karbonat dan ion trivalent fosfat. Zat inilah yang akan membentuk batu struvite (Sellaturay, 2011).
Gambar 2.2. Skema pembentukan batu struvite
Sumber : Campbell-Walsh Urology 10th Edition. Urinary Lithiasis. Pearle, M. 45;1283
2.1.2.3 Batu Asam Urat
Batu asam urat merupakan jenis batu saluran kemih yang lazim ditemukan pada pria dengan angka kejadian 5% dari seluruh kejadian batu. Pasien dengan gout, penyakit proliferatif, penurunan berat badan yang cepat serta riwayat penggunaan obat-obat sitotoksik memiliki insiden yang tinggi pada batu asam urat. Tidak semua pasien dengan batu asam urat mengalami hiperurisemia. Naiknya kadar asam urat disebabkan oleh kurangnya cairan dan konsumsi purin yang berlebihan.
Gambar 2.3. Skema pembentukan batu asam urat
Sumber : Campbell-Walsh Urology 10th Edition. Urinary Lithiasis. Pearle, M.45;1277
Hiperurikosuiria menjadi faktor predisposisi pada pembentukan batu asam urat dan batu kalsium oksalat karena menyebabkan supersaturasi urin. Pasien dengan kadar asam urat dalam urin dibawah 600mg/hari memiliki batu yang lebih sedikit dari pasien yang memiliki kadar asam urat diatas 1000mg/hari dalam urin. Batu asam urat dapat dihasilkan secara kongenital, didapat, atau idiopatik. Kelainan kongenital yang berhubungan dengan batu asam urat melibatkan transpor asam urat di tubulus ginjal atau metabolisme asam urat menyebabkan hiperurikosuria. Kelainan didapat dapat berupa diare kronik, menurunnya volume urin, penyakit myeloproliferatif, tingginya konsumsi protein hewani, dan obat-obatan yang menyebabkan 3 faktor di atas (Pearle et al., 2012).
2.1.3 Manifestasi Klinis dan Evaluasi Pasien Batu Saluran Kemih
Manifestasi klinis dari batu saluran kemih biasanya adalah nyeri. Nyeri bergantung pada lokasi batu. Kolik ginjal dan nyeri ginjal nonkolik adalah dua tipe nyeri utama pada ginjal. Kolik ginjal biasanya disebabkan peregangan ureter dan sistem pengumpul, sedangkan nyeri ginjal nonkolik disebabkan distensi kapsul ginjal. Obstruksi pada saluran kemih adalah penyebab utama terjadinya kolik ginjal. Gejala kolik ginjal akut bergantung pada lokasi dari batu saluran kemih. Daerah-daerah seperti renal calyx, renal pelvis, upper and midureter dan distal ureter merupakan daerah yang sering berhubungan dengan kolik ginjal yang terjadi.
Obstruksi pada renal calyx menyebabkan nyeri yang dalam dan tumpul pada daerah flank atau punggung dengan intensitas yang bervariasi dari berat ke
ringan. Nyeri sering muncul pada konsumsi cairan yang berlebihan. Obstruksi pada renal pelvic dengan diameter batu lebih dari 1 cm biasanya terjadi pada ureteropelvic junction. Nyeri akan muncul pada sudut costovertebra dan bervariasi dari rasa tumpul sampai rasa tajam yang tidak tertahankan. Nyeri ini sering merambat ke flank dan ke daerah kuadran ipsilateral abdomen (Stoller, 2008).
Obstruksi pada proksimal ureter akan menimbulkan nyeri pada sudut kostobertebra yang intens dan merambat sepanjang dermatom dari saraf spinal yang terpengaruh. Pada obstruksi ureter bagian atas, nyeri akan menjalar ke regio lumbal, sedangkan obstruksi pada midureter akan menyebabkan nyeri yang menjalar ke kaudal dan anterior menuju abdomen bagian tengah dan bawah.
Selain nyeri, pasien juga akan mengakui bahwa mereka mengalami kencing darah atau urin berwarna seperti teh. Infeksi juga bisa terjadi pada pasien batu saluran kemih. Batu yang mengobstruksi saluran kemih akan memicu terjadinya pyonephrosis (Stoller, 2008).
Evaluasi awal pada pasien dengan batu saluran kemih harus mencakup riwayat kesehatan lengkap dan pemeriksaan fisik. Gejalan khas kolik ginjal akut adalah nyeri kolik pada punggung yang intermiten yang bisa menjalar ke abdomen bagian bawah atau ke selangkangan. LUTS atau Lower Urinary Track Symptoms sering muncul pada kasus batu yang sudah mencapai ureter (Miller et al., 2007).
Pemeriksaan fisik secara menyeluruh adalah komponen yang penting untuk mengevaluasi pasien yang dicurigai menderita batu saluran kemih. Pasien biasanya mengeluh mengalami kolik ginjal aku yang berat. Kolik ginjal biasanya mereda setelah pasien mengubah posisinya. Ini merupakan tanda untuk mendiferensiasi pasien dengan peritonitis dimana pasien ini takut untuk mengubah posisinya.
Pemeriksaan lanjutannya adalah pemeriksaan radiologi. CT scan merupakan pilihan untuk pasien dengan kolik ginjal akut. Pemeriksaannya cepat dan lebih murah dari IVP (Intravenous Pyelography). Pemeriksaan IVP juga merupakan pilihan radiologi. IVP , selain memberikan gambaran adanya batu saluran kemih, juga memberikan gambaran anatomis saluran kemih. Tomografi ginjal menjadi pilihan jika tampilan miring (oblique view) tidak mampu membantu
penegakan diagnosa. Pemeriksaan USG juga dapat menjadi pilihan dengan efektifitas yang hampir sama dengan IVP dalam menegakkan diagnosa. Retrograde pyelography dilakukan untuk menggambarkan saluran kemih atas dan mengetahui letak batu yang kecil-kecil. Pemeriksaan MRI tidak dianjurkan karena tidak efektif dalam menegakkan diagnosa (Stoller, 2008).
Tabel 2.1 Faktor penting yang perlu diidentifikasi dari riwayat pasien.
Penyakit sistemik Hiperparatiroidisme primer, RTA, Cystinuria, Gout, Diabetes mellitus, IBD, Ginjal yang tidak adekuat.
Kelainan anatomis Horseshoe kidney, Urinary
diversion, Obstruksi pada ureteropelvic junction, Solitary kidney.
Riwayat penyakit ginjal ISK atau Pyelonefritis, Riwayat batu ginjal keluarga, Penyakit batu sebelumnya.
Obat-obatan yang berhubungan dengan penyakit batu saluran kemih
Carbonic anhydrase inhibitors, Ephedrine, Guaifenesin, Kalsium dengan vitamin D, Triamterene, Indinavir atau sulfadiazine.
Sumber : BMJ 2007. Management of kidney stones. Miller, N. 334;468
2.1.4 Penatalaksanaan Batu Saluran Kemih 2.1.4.1 Observasi Konservatif
Kebanyakan batu saluran kemih akan keluar sendiri tanpa pemberian intervensi. Keluarnya batu secara spontan tergantung pada ukuran, bentuk, lokasi, dan edema ureter terkait. Batu dengan ukuran 4-5mm mempunyai 40-50% kemungkinan keluar secara spontan. Sebagai perbandingan, batu dengan ukuran lebih dari 6mm mempunyai kemungkinan kurang dari 5% untuk dapat keluar secara
spontan. Tapi ini tidak menjamin bahwa batu dengan ukuran 1cm tidak mungkin untuk keluar spontan atau batu dengan ukuran 1-2mm dapat pasti keluar secara spontan.
2.1.4.2 Extracorporeal Shockwave Lithotripsy (ESWL)
Pemilihan metode terapi yang tepat merupakan hal yang kompleks, tidak hanya berpengaruh pada angka bebas batu, juga pada kemungkinan terapi ulang, dan juga komplikasi. Hasil terapi ESWL bergantung pada berbagai macam faktor seperti ukuran, lokasi, komposisi batu, dan anatomi dari collecting system pasien. ESWL umumnya sangat efektif untuk batu dengan diameter 1,5-2cm. ESWL tidak dianjurkan untuk penatalaksanaan batu staghorn atau bercabang. Untuk terapi pada kutub bawah ginjal, ESWL dibatasi untuk batu berukuran kurang dari 10mm. Batu yang lebih besar seharusnya diterapi dengan ureteroscopy atau percutaneous nephrolithotomy.
Kesuksesan ESWL memecah batu bervariasi tergantung komposisi batu. Cystine dan brushite merupakan batu yang paling resisten terhadat ESWL, diikuti dengan tingkat resistensi yang menurun yaitu kalsium oksalat monohidrat, struvite, kalsium oksalat dihidrat, dan batu asam urat. Walaupun kandungan batu tidak dapat diketahui sebelum pelaksanaan terapi, tetapi faktor ini harus menjadi pertimbangan untuk pengambilan keputusan pada pasien yang sudah pernah dianalisis batunya (Pearle, 2012).
2.1.4.3 Ureteroscopy Stone Extraction
Terapi ini sangat efektif untuk batu pada ureter bagian bawah. Penggunaan ureteroscope kaliber kecil dan dilatasi balon meningkatkan angka bebas batu secara dramatis. Angka bebas batu berkisar antara 66%-100% tergantung pada beban batu dan lokasi, lamanya batu, riwayat operasi retroperitoneal, dan pengalaman operator. Batu dengan ukuran kurang dari 8mm dapat dikeluarkan secara utuh.
2.2 Percutaneous Nephrolithotomy (PCNL)
PCNL dapat diaplikasikan untuk hampir semua batu ginjal. PCNL cenderung diaplikasikan pada batu yang sudah bersarang lama di ginjal atau pada batu yang dianggap terlalu besar untuk ESWL.
2.2.1 Prosedur PCNL
Pelaksanaan PCNL lebih dianjurkan kepada pasien dibawah pengaruh anestesi umum karena pasien harus berbaring dengan posisi yang tidak nyaman sampai hampir tiga jam. Teknik operatif standard PCNL terbagi menjadi tiga langkah utama yaitu percutaneous puncture of pelvi-calyceal system, development of tracks dan fragmentation and/or removal of stone.
Langkah pertama yaitu tusukan perkutan dapat dilakukan dengan mudah dengan dipandu USG. Tusukan diawali dengan jarum tipis berukurang 21G atau 22G dibawah iga ke-12. Kedalaman tusukan dan keberhasilan mencapai target calyx dikonfirmasi dengan C-arm fluoroscopic imaging. Kesuksesan tusukan pertama ini dipastikan ketika cairan berwarna biru mengalir keluar melalui jarum. Tusukan kedua dilakukan dengan jarum berukuran 18G, diinsersi hanya pada sebelah tusukan jarum pertama (Wong, 2009).
Dua buah kawat pemandu harus diinsersi ke sistem pelvi-calyceal. Kawat kedua berfungsi sebagai pengaman apabila kawat pertama secara tidak sengaja terlepas ke sistem kolektivus.
Langkah kedua yaitu untuk mendilatasi sebuah jalur dari kulit menuju parenkim ginjal sampai ke sistem kolektivus dan untuk memasang working sheath. Dengan panduan fluoroskop, fascial dilators diinsersi melalui kawat pemandu. Setelah mendilatasikan jalur sesuai yang diinginkan, sebuah Amplatz sheath diselipkan ke dilator menuju ke sistem kolektivus sebagai sebuah tampon untuk menghentikan pendarahan dari jalur yang baru dikembangkan. Secara bersamaan, Amplatz sheath juga berperan sebagai saluran untuk instrumen dan sebuah kanal untuk irigasi.
Langkah ketiga adalah untuk memasukkan sebuah nefroskop via Amplatz sheath ke sistem pelvy-calyceal untuk mengetahui lokasi batu. Nefroskop standar dengan lensa berbentuk batang yang kaku menyediakan penglihatan yang bagus dan memperbolehkan penggunaan instrumen yang kuat dan kaku untuk menghancurkan batu. Irigasi yang berkesinambungan dengan normal salin yang hangat dipersiapkan untuk mengisi sistem pelvi-calyceal dengan cairan dengan aliran masuk dari endoskop sedangkan aliran keluar dari Amplatz sheath. Sistem ini
menghasilkan sebuah aliran cairan yang sangat cepat untuk membersihkan pecahan batu dan darah dari pandangan endoskop (Wong, 2009).
Gambar 2.4. Tusukan jarum pertama dan jarum kedua.
Sumber : The Hong Kong Medical Diary. Percutaneous Nephrolithotomy. Wong, B. Vol.14. No.10;16
Gambar 2.5. Dua buah kawan pemandu di insersi ke sistem pelvi-calyceal
Sumber : The Hong Kong Medical Diary. Percutaneous Nephrolithotomy. Wong, B. Vol.14. No.10;16
Gambar 2.6. Amplatz sheath diinsersikan ke sistem kolektivus
Sumber : The Hong Kong Medical Diary. Percutaneous Nephrolithotomy. Wong, B. Vol.14. No.10;17
Gambar 2.7. Nefroskopi dan ekstraksi batu dengan C-arm fluoroskop sebagai pengkonfirmasi pembersihan.
Sumber : The Hong Kong Medical Diary. Percutaneous Nephrolithotomy. Wong, B. Vol.14. No.10;16
Perawatan pasca operatif berupa pemeriksaan darah lengkap dan pemeriksaan X-ray pada ginjal, buli-buli dan ureter harus dilakukan untuk mengevaluasi komplikasi dan sisa-sisa batu (Mousavi-Bahar et al., 2011).
2.2.2 Indikasi dan Kontraindikasi PCNL
Nugroho et al. dalam tulisannya menyatakan indikasi tindakan PCNL adalah sebagai berikut :
Batu pielum simpel dengan ukuran lebih dari 2cm
Batu kaliks ginjal, terutama batu kaliks inferior dengan ukuran 2cm Batu multipel
Batu pada ureteropelvic junction dan ureter proksimal
Batu ginjal besar, terutama staghorn membutuhkan waktu yang lebih lama
Batu pada solitary kidney.
Hanya ada satu kontraindikasi absolut PCNL yaitu pada pasien yang memiliki kelainan perdarahan atau pembekuan darah (Nugroho et al., 2011). 2.2.3 Komplikasi PCNL
Untuk urologist yang paling berpengalaman sekalipun, komplikasi masih bisa muncul. Pendarahan merupakan komplikasi yang paling signifikan pada PCNL. PCNL juga bisa menyebabkan absorbi larutan irigasi. Oleh karena itu, larutan irigasi yang fisiologis merupakan sebuah keharusan. Cedera pada kolon merupakan komplikasi yang tidak umum (Matlaga et al., 2012).
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Percutaneous Nephrolithotomy (PCNL) merupakan salah satu tindakan minimal invasif di bidang urologi yang bertujuan mengangkat batu ginjal dengan menggunakan akses perkutan untuk mencapai sistem pelviokalises. Prosedur ini sudah diterima secara luas sebagai suatu prosedur untuk mengangkat batu ginjal karena relatif aman, efektif, murah, nyaman dan memiliki morbiditas yang rendah, terutama bila dibandingkan dengan operasi terbuka (Nugroho dkk, 2011).
PCNL pertama kali ditemukan sekitar lebih dari tiga dekade yang lalu, tepatnya pada tahun 1976 dimana Fernstrom dan Johansson pertama kali memperkenalkan sebuah jalur secara perkutan untuk mengeluarkan batu yang berada di ginjal (Wong, 2009). Pada awal dekade 1980-an, prosedur PCNL sangat populer sebagai terapi batu ginjal, namun sejak ditemukannya Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL), penggunaannya menurun. Dalam perkembangan selanjutnya ditemukan beberapa kelemahan tindakan ESWL, sehingga PCNL kembali populer digunakan sebagai penanganan batu ginjal (Nugroho dkk, 2011).
Menurut Abdelhafez (2013) yang melakukan penelitian di suatu rumah sakit di negara Jerman, PCNL itu efektif dengan angka bebas batu rata-ratanya berkisar 76-84% dan bahkan bisa lebih tinggi lagi.
Dalam penelitian yang dilakukan Srivastava dan Chipde (2013) di India, angka bebas batu atau Stone Free Rates (SFR) pada pasien non lower polar caliceal calculi mencapai 94% dan pada pasien lower polar caliceal stones mencapai 86,2%.
Angka bebas batu PCNL di Indonesia sendiri pada kasus batu staghorn mencapai angka 84,2%. Pada kasus batu ginjal berukuran 10-20 mm, angka bebas batu PCNL mencapai 85-89% (Nugroho, 2011).
Komplikasi PCNL menurut Vorrakitpokatorn dkk (2006) terbagi dua yaitu intraoperasi dan pascaoperasi. Komplikasi intraoperasi dapat berupa hipotermi (56,2%), perubahan sistem kardiovaskular (57,1%) dan perdarahan sedangkan
komplikasi pascaoperasi berupa perubahan status elektrolit (tetapi tidak signifikan), infeksi dan perdarahan.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk meneliti tentang pelaksanaan Percutaneous Nephrolithotomy (PCNL) di Medan, terutama di RSUP H. Adam Malik Medan.
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan pertanyaan peneliti sebagai berikut: Bagaimana pelaksanaan terapi Percutaneous Nephrolitothomy di RSUP H. Adam Malik Medan pada tahun 2013-2014?
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui dan memberikan informasi tentang pelaksanaan terapi PCNL yang dilakukan di RSUP H. Adam Malik Medan pada tahun 2013-2014. 1.3.2 Tujuan Khusus
Yang menjadi tujuan khusus pada penelitian ini antara lain:
1. Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan terapi PCNL di RSUP H. Adam Malik Medan.
2. Untuk mengetahui jumlah pasien yang menjalani terapi PCNL di RSUP H. Adam Malik Medan.
3. Untuk mengetahui perlu tidaknya transfusi pasca pelaksanaan PCNL di RSUP H. Adam Malik Medan.
4. Untuk mengetahui angka keberhasilan pelaksanaan terapi PCNL di RSUP H. Adam Malik Medan.
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Bagi Tenaga Medis
Sebagai evaluasi dan bahan referensi terhadap pelaksanaan PCNL di RSUP H. Adam Malik Medan.
1.4.2 Bagi Masyarakat
Memberikan informasi tentang pelaksanaan terapi PCNL di RSUP H. Adam Malik Medan.
1.4.3 Bagi Peneliti
Adapun manfaat bagi peneliti adalah sebagai berikut, yaitu:
1.Meningkatkan kemampuan peneliti dalam penulisan karya tulis ilmiah, 2.Meningkatkan kemampuan peneliti dalam menelaah suatu karya tulis
ilmiah, dan
ABSTRAK
Pendahuluan: Percutaneous Nephrolithotomy (PCNL) merupakan salah satu tindakan minimal invasif di bidang urologi yang bertujuan mengangkat batu ginjal dengan menggunakan akses perkutan untuk mencapai sistem pelviokalises. Prosedur ini sudah diterima secara luas sebagai suatu prosedur untuk mengangkat batu ginjal karena relatif aman, efektif, murah, nyaman dan memiliki morbiditas yang rendah, terutama bila dibandingkan dengan operasi terbuka. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana karakteristik pasien dan tingkat keberhasilan terapi PCNL pada pasien batu saluran kemih di RSUP H. Adam Malik Medan.
Metode: Penelitian ini bersifat deskriptif dengan rancangan penelitian potong lintang. Data penelitian diperoleh dari data sekunder rekam medis rumah sakit yang mencakup 21 pasien dari tahun 2013 sampai 2014 yang menjalani terapi PCNL sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi.
Hasil: Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa mayoritas pasien batu saluran kemih yang menjalani terapi PCNL adalah berada pada usia lebih dari 40 tahun yaitu kelompok usia >60 tahun sebesar 33,3%, mayoritas berjenis kelamin laki-laki dengan 52,4%,lokasi terbanyak yaitu batu pielum sebesar 42,9%, dengan yang membutuhkan transfusi sebesar 14,3%, lama pelaksanaan rata-rata selama 125 menit, lama perawatan rata-rata selama 5 hari, dan stone free rate sebesar 79,2%. Kesimpulan: PCNL merupakan terapi batu saluran kemih yang relatif aman dan efektif untuk batu kompleks.
ABSTRACT
Introduction: Percutaneous Nephrolithotomy (PCNL) is a urological minimally