• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

6.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka peneliti dapat memberikan saran untuk perbaikan sebagai berikut:

1. Pekerja disarankan untuk memeriksakan keluhan gangguan kulit yang dirasakannya kepada dokter kulit.

2. Perusahaan melakukan sosialisasi kepada pekerja mengenai bahaya asam formiat bila kontak dengan bagian tubuh.

54

vynil atau neoprene dan menutupi lengan, sepatu boot, serta baju lengan

panjang dan celana panjang.

4. Perusahaan mewajibkan pekerja memakai APD secara lengkap, jika tidak digunakan akan dikenakan sanksi. Hal ini untuk mengurangi terjadinya keluhan gangguan kulit yang dirasakan pekerja.

5. Pekerja sebaiknya mengatur sikap kerja yang aman dan nyaman, serta berhati- hati saat bekerja agar lateks yang sudah mengandung asam formiat tidak berserak dan terkena bagian tubuh pekerja.

6. Untuk penelitian selanjutnya sebaikanya melakukan pemeriksaan kulit dengan melibatkan dokter spesialis kulit untuk mengetahui jenis penyakit kulit yang dirasakan pekerja.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Penyakit Akibat Kerja (PAK)

Penyakit akibat kerja adalah penyakit yang timbul oleh atau didapat pada waktu melakukan pekerjaan (Irianto, 2013). Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI Nomor: PER-01/MEN/1981 tentang Kewajiban Melapor Penyakit Akibat Kerja bahwa yang dimaksud dengan penyakit akibat kerja (PAK) adalah setiap penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan atau lingkungan kerja.

Dalam Keputusan Presiden No. 22 Tahun 1993 terdapat 31 jenis penyakit akibat kerja, 29 dari 31 jenis penyakit akibat kerja adalah penyakit akibat kerja yang bersifat internasional; penyakit demikian mengikuti standar Organisasi Perburuhan Internasional (Suma’mur, 2009).

Di tempat kerja terdapat faktor-faktor yang menjadi penyebab penyakit akibat kerja sebagai berikut (Suma’mur, 2009).

1. Faktor fisis , seperti:

a. Suara yang dapat mengakibatkan tuli akibat kerja;

b. Radiasi sinar rontgen atau sinar radioaktif, yang menyebabkan antara lain penyakit susunan darah dan kelainan kulit. Radiasi sinar infra merah dapat mengakibatkan katarak (cataract) pada lensa mata, sedangkan sinar ultra violet menjadi sebab konjungtivitis fotoelektrika (conjunctivitis photoelectrica);

8

c. Suhu yang terlalu tinggi menyebabkan heat stroke (pukulan panas), kejang panas (heat cramps) atau hiperpireksia (hyperpyrexia), sedangkan suhu terlalu rendah antara lain menimbulkan frostbite;

d. Tekanan udara tinggi menyebabkan penyakit kaison (caisson disease); e. Penerangan lampu yang buruk dapat menyebabkan kelainan pada indera

penglihatan atau kesilauan yang memudahkan terjadinya kecelakaan. 2. Faktor kimiawi, yaitu antara lain:

a. Debu yang menyebabkan pnemokoniosis (pneumoconiosis), diantaranya silikosis, asbestosis dan lainnya;

b. Uap yang diantaranya menyebabkan demam uap logam (metal fume fever), dermatosis (penyakit kulit) akibat kerja, atau keracunan oleh zat toksis uap formaldehida;

c. Gas, misalnya keracunan oleh CO, H2S dan lainnya;

d. Larutan zat kimia yang misalnya menyebabkan iritasi pada kulit;

e. Awan atau kabut, misalnya racun serangga (insecticides), racun jamur dan lainnya yang menimbulkan keracunan.

3. Faktor biologis, misalnya bibit penyakit antraks atau brusella (brucella) yang menyebabkan penyakit akibat kerja pada pekerja penyamak kulit;

4. Faktor fisiologis/ergonomis, yaitu antara lain kesalahan konstruksi mesin, sikap badan yang tidak benar dalam melakukan pekerjaan dan lain-lain yang dapat menimbulkan kelelahan fisik dan gangguan kesehatan bahkan lambat laun dapat terjadi perubahan fisik tubuh pekerja atau kecacatan.

9

5. Faktor mental-psikologis yang terlihat misalnya pada hubungan kerja atau hubungan industrial yang tidak baik, misalnya dengan timbulnya depresi atau penyakit psikosomatis.

2.2Penyakit Kulit Akibat Kerja

Kulit merupakan bagian tubuh manusia yang cukup sensitif terhapat berbagai macam penyakit. Penyakit kulit akibat kerja atau dermatosis akibat kerja adalah semua kelainan kulit yang disebabkan oleh pekerjaan. Penyakit tersebut terjadi pada saat atau setelah tenaga kerja bekerja melakukan pekerjaan atau disebabkan oleh faktor-faktor yang ada pada lingkungan kerja. Penyakit ini merupakan 50-60% dari seluruh penyakit akibat kerja, sebagian besar disebabkan karena pekerja kontak dengan bahan-bahan yang dipergunakan, diolah, atau dihasilkan oleh pekerjaan itu.

2.2.1 Penyebab penyakit kulit akibat kerja

Penyakit kulit akibat kerja disebabkan oleh kontak langsung kulit dengan agen penyebab. Banyak penyebab yang dapat menimbulkan penyakit kulit akibat kerja pada saat melakukan pekerjaan. Agen penyebab penyakit kulit tersebut antara lain berupa agen-agen fisik, kimia, maupun biologis (Anies, 2014).

Penyebab dermatosis akibat kerja digolongkan sebagai berikut (Sum’mur, 2009) :

1. Faktor fisis, yaitu tekanan, tegangan, gesekan, kelembaban, panas, suhu dingin, sinar matahari, sinar X, dan sinar elekromagnetis lainnya;

10

2. Bahan yang berasal dari tanaman atau tumbuhan, yaitu daun, ranting, kayu, akar, umbi, bunga, getah, debu dan lainnya;

3. Makhluk hidup, yaitu bakteri, virus, jamur, cacing, serangga, kutu dan sejenisnya, serta hewan lainnya dan bahan yang berasal dari padanya;

4. Zat atau bahan kimia, yaitu asam dan garan zat kimia anorganis, persenyawaan kimia organis hidrokarbon, oli, ter, zat pewarna dan lainnya.

Dari semua penyebab tersebut, faktor kimiawi merupakan faktor bahaya yang paling penting, karena zat atau bahan kimia banyak digunakan berbagai industri dalam proses produksinya. Dermatosis akibat kerja ditimbulkan oleh 2 mekanisme, yaitu iritasi atau perangangan primer yang penyebabnya disebut dengan iritan primer, dan melalui sensitisasi atau perentanan kulit yang penyebabnya disebut pemeka (sentisitizer).

Perangsang primer adalah zat atau bahan kimia yang menimbulkan dermatosis oleh efeknya yang langsung pada kulit normal dilokasi terjadinya kontak bahan tersebut dengan kulit dalam jumlah dan kekuatan yang cukup lama. Iritan primer memberikan rangsangan kepada kulit, dengan jalan melarutkan lemak kulit, mengambil air dari lapisan kulit, mengoksidasi dan atau mereduksi susunan kimia kulit, sehingga keseimbangan kulit terganggu dan akibatnya timbul dermatosis.

Sensitisizer atau perentan kulit adalah senyawa kimia yang tidak menimbukan perubahan-perubahan pada kulit saat pertama kontak, tetapi kemudian mengakibatkan perubahan khas di lokasi kontak atau lokasi lain di kulit, setelah 5 atau 7 hari sejak kontak yang pertama. Sensitisasi biasanya

11

disebabkan oleh zat kimia organis dengan struktur molekul lebih sederhana yang bergabung dengan zat putih telur untuk membentuk antigen.

2.2.2 Jenis Penyakit Kulit Akibat Kerja

Sebagaimana penyakit akibat kerja pada umumnya, dermatosis akibat kerja pun sering sangat khas menurut jenis pekerjaan dan lingkungan kerja. Berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, terdapat 2 (dua) jenis kelompok penyakit kulit akibat kerja, yaitu: 1. Penyakit kulit (dermatosis) yang disebabkan oleh penyebab fisis, kimiawi dan biologis, dan 2. Penyakit kulit epitelioma primer yang disebabkan oleh ter, pic, bitumen, minyak mineral, antrasen atau persenyawaannya, produk atau residu dari zat tersebut (Suma’mur, 2009).

Menurut Waldron (1990) dan Anies (2006) yang dikutip oleh Anies (2014), Penyakit kulit akibat kerja yang ditimbulkan oleh penyebab fisis, kimiawi dan biologis, antara lain sebagai berikut:

1. Dermatitis kontak iritan primer, adalah dermatosis akibat kerja yang paling sering ditemukan. Bentuk akut ditandai dengan eritema, edema, papula, vesikel, atau bula, yang biasanya terdapat pada tangan, lengan bawah, dan wajah. Bentuk kronik tidak khas, mrip dengan kebanyakan dermatosis yang lain dan penyebabnya tidak mudah dikenali.

2. Dermatitis (ekzema) kontak alergi, baik akut maupun kronis mempunyai cirri- ciri klinis yang sama dengan ekzema bukan akibat kerja.

12

4. Dermatosis solaris akut. Penyakit kulit ini dianggap sebagai penyakit kulit

akibat kerja, jika sangat dipermudah oleh zat-zat fotodinamik yang digunakan dalam pekerjaan tersebut.

5. Kanker kulit akibat kerja. Biasanya berupa kanker sel skuamosa atau sel basal. Kanker akibat kerja cenderung terjadi pada permukaan kulit yang paling banyak terpapar terhadap karsinogen.

6. Penyakit kulit menular akibat kerja. Paling sering adalah penyakit zoonotik, kandidiasis, tuberkolosis verukosa.

2.3Keluhan Gangguan Kulit Akibat Kerja

Keluhan gangguan kulit akibat kerja merupakan kelainan pada kulit yang dirasakan oleh pekerja pada saat bekerja ataupun selesai bekerja. Keluhan gangguan kulit ini merupakan gejala dari suatu penyakit akibat kerja. Keluhan gangguan kulit yang dirasakan oleh pekerja dapat memberi gambaran tentang jenis penyakit kulit apa yang berisiko diderita oleh pekerja. Keluhan gangguan kulit ini dapat berupa rasa gatal, rasa terbakar, kemerahan, bengkak, lepuh kecil pada kulit, kulit mengelupas, kulit kering, kulit bersisik, penebalan pada kulit dan lain sebagainya.

Menurut Chowdhug dan Maibach (2004) yang dikutip oleh Bangun (2012), kelainan kulit yang terjadi, ditentukan oleh tiga faktor. Faktor yang pertama adalah faktor yang berasal dari bahan iritannya, berupa ukuran molekul, daya larut, konsentrasi bahan tersebut, serta pH. Faktor yang kedua adalah faktor yang berasal dari lingkungan berupa lama kontak, kekerapan (terus-menerus terpapar atau berselang), temperatur, tekanan, dan trauma fisik. Faktor yang ketiga

13

adalah faktor yang berasal dari masing-masing individu berupa usia, jenis kelamin, ras, penyakit kulit yang sedang/pernah diderita, dan daerah kulit yang terpapar.

Menurut Gilles, et.al., (1990) yang dikutip oleh Suryani (2011), Faktor- faktor yang berpegaruh terhadap timbulnya penyakit kulit akibat kerja antara lain, ras, keringat, terdapat penyakit kulit lain, Personal Hygiene, dan tindakan menggunakan APD.

Berdasarkan sumber yang menjelaskan tentang faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya penyakit kulit di atas, maka dapat disimpulkan faktor- faktor yang dominan menyebabkan terjadinya penyakit kulit yaitu bahan kimia, lama kontak, masa kerja, usia, jenis kelamin, ras, riwaya penyakit kulit sebelumnya, personal hygiene dan penggunaan APD.

2.4Pengolahan Getah Karet (Lateks)

Getah karet (Lateks) dapat diolah menjadi sheet dan crepe. Pabrik pengolahan karet PTPN III Kebun Sei Silau mengolah hasil karetnya menjadi Sheet. Sheet adalah produk karet alam berupa lembran-lembaran yang telah diasap, bersih dan liat, bebas dari buluk (jamur), tidak saling melekat, warnanya jernih, tidak bergelembung udara, dan bebas dari akibat pengolahan yang kurang sempurna (Djoehana, 2012).

14

2.4.1 Proses Pengolahan

Gambar 2.1 Bagan Proses Pengolahan Lateks 1) Penerimaan lateks

Lateks hasil penyadapan diangkut dengan tangki yang ditarik truk pabrik. Di pabrik, lateks diterima dan dicampur dalam bak penerimaan.

2) Pengenceran lateks

Pengenceran lateks atau memperlemah kadar karet adalah menurunkan kadar karet yang terkandung dalam lateks sampai diperoleh kadar karet baku sesuai dengan yang diperlukan dalam pembuatan sheet, yaitu sebesar 13%, 15%, 16% atau 20% sesuai dengan kondisi dan peralatan setempat.

Maksud dari pengenceran lateks adalah:

1. Untuk melunakkan bekuan, sehingga tenaga gilingan tidak terlalu berat, 2. Memudahkan penghilangan gelembung udara atau gas yang terdapat dalam

lateks,

3. Memudahkan meratanya koagulan (asam pembeku) yang dibubuhkan untuk proses koagulasi. Penerimaan Lateks Pengenceran Lateks Pembekuan Lateks Penggilingan Pengasapan dan Pengeringan Sortasi Pengepakan

15

3) Pembekuan Lateks

Pembekuan atau koagulasi bertujuan untuk mempersatukan (merapatkan) butir-butir karet yang terdapat dalam cairan lateks, supaya menjadi satu gumpalan atau koagulum. Untuk membuat koagulum ini, lateks perlu dibubuhkan obat pembeku (koagulan) seperti asam semut atau asam cuka. Menurut penelitian, terjadinya proses koagulasi adalah karena terjadinya penurunan pH. Lateks segar mempunya pH 6,5. Supaya dapat terjadi penggumpalan, pH harus diturunkan sampai 4,7. Penurunan pH ini terjadi dengan membubuhkan asam semut (asam formiat) 1% atau asam cuka 2% kedalam lateks yang telah diencerkan.

Cara pembekuan dalam bak pembekuan adalah sebagai berikut:

1. Tangki yang telah diisi lateks yang telah diencerkan diaduk beberapa kali. Buanglah busa-busa yang timbul dengan alat pembuang busa. Pengadukan pertama cukup 4 kali bolak-balik.

2. Bubuhkan kedalam lateks yang telah diencerkan tersebut asam semut (asam formiat) atau sam cuka sesuai dengan yang diperlukan. Tiap liter lateks Kadar Karet Baku 16% memerlukan 60 cc asam semut 1% atau asam cuka 2%. Adukklah agar asam tersebut merata di dalam larutan lateks. Pengadukan dilakukan 6-10 kali bolak-balik.

3. Buanglah busa yang timbul dengan segera.

4. Pasanglah sekat-sekat dengan cepat tetapi teratur mulai dari bagian tengah menuju pinggir sedemikian rupa, sehingga tiap ruang di antara sekat terisi lateks yang tingginya sama.

16

5. Biarkan lateks membeku selama 2-3 jam. Bila telah membeku, tambahkan air bersih kedalam tangki sampai permukaan bekuan sedikit terendam.

6. Setelah sekat-sekat diangkat, akan diperoleh lembaran-lembaran koagulum yang siap untuk digiling.

4) Penggilingan

Koagulum dari bak pembekuan diangkat, dan melalui talang didorong menuju sebuah meja yang terletak di muka gilingan pertama. Dari meja ini koagulum meluncur ke gilingan pertama, kemudian menuju gilingan kedua, dan seterusnya serta berakhir setelah keluar dari gilingan gambar.

Lembar-lembar yang keluar dari gilingan gambar dimasukkan kedalam bak pencucian untuk membersihkan serum yang masih melekat pada lembaran. Setelah dicuci bersih, lembaran-lembaran karet basah digantungkan pada rak-rak penggantung untuk dibiarkan agar air yang masih ada pada lembaran menetes. Lama penggantungan kira-kira 1-2 jam.

Proses ini berguna untuk:

a. Menggiling lembaran-lembaran koagulum menjadi lembaran-lembaran karet yang mempunyai ukuran panjang, lebar dan tebalnya tertentu.

b. Untuk mengeluarkan serum yang terdapat didalam koagulum. c. Untuk membuang busa yang teringgal.

d. Untuk memberi gambaran (print, batikan kembang) pada permukaan lembar karet.

17

Proses ini berguna untuk mendapatkan lembaran karet yang sungguh- sungguh kering. Di samping itu, lembaran juga perlu diawetkan agar tahan terhadap kerusakan. Proses ini juga untuk memberi warna coklat terang yang diinginkan. Untuk Pengasapan dan pengeringan digunakan kamar asap dengan suhu tidak boleh kurang dari 40ºC.

Setelah lembaran karet mencapai kekeringan sesuai dengan yang ditentukan, dapur dimatikan dan kamar dibiarkan dingin. Lembaran-lembaran karet yang berwarna coklat, yang disebut Ribbed Smoked Sheet, dikeluarkan dan diangkut ke ruang sortasi.

6) Sortasi

Pelaksanaan sortasi ini dimaksudkan untuk memisahkan lembaran- lembaran karet berdasarkan tingkat (grade) kualitasnya.

7) Pengepakan

Sebelum dibungkus, lembar karet dilipat untuk memudahkan mengaturnya dalam peti waktu pengepakan. Setelah itu, dilakukan pengepresan. Setelah pengepresan, peti tidak boleh dibuka terlebih dahulu agar bentuk kubus yang diharapkan dari tumpukan sheet dapat dipertahankan. Peti baru bisa dibuka keesokan harinya.

Sebagai pembungkus, bandela digunakan lembaran-lembaran karet yang sama jenis (grade)-nya. Setelah sheet dibungkus, bandela kemudian dilabur dengan memakai campuran talk dan perekat, kemudian diberi merk/tanda sesuai dengan peraturan.

18

2.5Asam Formiat

Asam formiat atau sering juga disebut asam semut dengan rumus molekul HCOOH memiliki berat molekul 46,03, titik didih 101°C, titik nyala 69ºC, titik lebur 8ºC, berat jenis (air=1) 1,19. Asam formiat berupa cairan yang jernih dan tidak berwarna, mudah larut dalam air, berbau merangsang, dam masih bereaksi asam pada pengenceran.

Konsumen asam formiat terbesar adalah industri karet, dalam industri ini asam formiat digunakan sebagai koagulan getah karet. Selain industri karet, asam fomiat juga digunakan pada industri tekstil dalam hal proses dyeing dan finishing sebagai conditioner. Sedangkan dalam industri kulit, asam formiat digunakan untuk menetralisir kapur. Dalam jumlah yang sedikit, asam formiat juga digunakan sebagai intermediat bahan-bahan farmasi dan bahan kimia lainnya.

2.5.1 Efek Pada Kesehatan

Asam formiat merupakan bahan iritan cair organik. Bahan iritan adalah bahan yang karena reaksi kimia dapat menimbulkan kerusakan, peradangan atau sensitisasi bila kontak dengan permukaan tubuh yang lembab seperti kulit, mata, dan saluran pernafasan. Kerusakan yang terjadi dapat berupa luka, peradangan, iritasi (gatal-gatal), dan sensitisasi (Cahyono, 2004).

Menurut SIKer Nas (2011) bahaya utama asam formiat terhadap kesehatan yaitu iritasi jika kontak dengan kulit, bersifat iritan dan korosif jika terkena mata, dan mengiritasi jika tertelan. Organ sasarannya yaitu sistem pernafasan, paru- paru, kulit, ginjal, hati, mata, dan sistem saraf pusat.

19

1. Paparan jangka pendek a. Terhirup

Menghirup kabut bahan dapat menimbulkan iritasi ringan pada saluran napas, yang ditandai dengan batuk, tersedak, dan napas pendek. Menghirup cairan atau semprotan bahan ini dapat menyebabkan kerusakan membran mukosa saluran napas dan iritasi saluran napas. b. Kontak dengan kulit

Dapat mengiritasi kulit, menyebabkan luka bakar. Peradangan kulit ditandai dengan rasa gatal, kulit bersisik, kemerahan, dan kadang-kadang melepuh.

c. Kontak dengan mata

Bersifat iritan dan korosif jika terkena mata. Peradangan pada mata ditandai dengan kemerahan, mata berair, dan gatal. Cairan atau semprotan bahan ini dapat menyebabkan kerusakan jaringan membran mukosa mata. Dapat menyebabkan penglihatan menjadi kabur.

d. Tertelan

Menyebabkan luka korosif lokal, nyeri kerongkongan, rasa seperti terbakar, nyeri perut, kram perut, muntah, diare. Menelan cairan bahan ini dapat menyebabkan kerusakan membran mukosa mulut .

2. Paparan jangka panjang a. Terhirup

20

b. Kontak dengan kulit

Paparan berulang atau jangka panjang dapat menyebabkan iritasi kulit berat (dermatitis).

c. Kontak dengan mata

Paparan berulang atau jangka panjang dapat menyebabkan iritasi mata kronis.

d. Tertelan

Kerusakan ginjal yang ditandai dengan adanya albumin dan darah pada urin.

Menurut Occupational Safety & Health Administration (2006) jalur masuk asam formiat yaitu inhalasi, oral, kulit dan/atau kontak mata dengan organ sasaran mata, kulit, dan saluran pernafasan. Gejala yang timbul bila kontak dengan bagian tersebut berupa kulit terasa seperti terbakar, dermatitis, lakrimasi (keluarnya air mata), rhinorrhea ( keluarnya lendir tipis dari hidung), batuk, dyspnea (kesulitan bernafas), dan mual.

Menurut NIOS Pocket Guide to Chemical Hazards (2011) bila asam formiat kontak dengan mata, kulit, dan saluran pernafasan dapat menimbulkan efek pada kesehatan berupa iritasi mata, iritasi kulit, iritasi hidung dan tenggorokan. Gejala yang timbul yaitu kulit terasa seperti terbakar, lecet,

lakrimasi (keluarnya air mata), penglihatan kabur, kemerahan pada mata,

rhinorrhea (keluarnya lendir tipis dari hidung), dyspnea (kesulitan bernafas),

mual, edema paru, asidosis metabolik, dan ketidaksadaran. sakit tenggorokan,

21

2.6 Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Timbulnya Keluhan Gangguan Kulit Akibat Asam Formiat

Berdasarkan teori yang ada, faktor-faktor yang dapat menyebabkan terjadinya keluhan gangguan kulit yaitu bahan kimia, lama kontak, masa kerja, umur, jenis kelamin, ras, riwayat penyakit kulit sebelumnya, personal hygiene dan penggunaan APD. Pada penelitian ini, faktor-faktor yang dominan berpengaruh terhadap keluhan gangguan kulit pada pekerja yaitu umur, masa kerja, unit kerja, riwayat penyakit kulit, dan penggunaan APD.

a. Umur

Umur merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya keluhan gangguan gangguan kulit pada seseorang. Pekerja dengan umur usia lanjut memiliki kulit yang sudah berubah strukturnya. Kulit mereka kurang elastis, dan sudah kehilangan lapisan lemak di atasnya sehingga kulit mereka menjadi kering dan terlihat tipis. Hal ini menyebabkan kulit mereka lebih rentan mengalami gangguan kulit.

Akan tetapi sebaliknya, hasil penelitian yang dilakukan suryani (2011) menunjukkan bahwa rata-rata umur pekerja yang mengalami dermatitis kontak yaitu 23 tahun yang mana masih tergolong masih muda. Menurut NIOSH (2006) yang dikutip oleh Suryani (2011) pekerja umur 15-24 tahun merupakan umur dengan insiden penyakit kulit akibat kerja tertinggi. Salah satu faktor penyebabnya yaitu bahwa pekerja yang lebih muda mempunyai pengalaman yang lebih sedikit dibandingkan pekerja yang lebih tua, sehingga kontak bahan kimia lebih sering terjadi pada pekerja yang lebih muda.

22

b. Masa Kerja

Masa kerja adalah lamanya seseorang terpajan dengan kemungkinan sumber yang dapat menyebabkan terjadinya keluhan gangguan kulit. Menurut Suma’mur (2009) semakin lama seseorang dalam bekerja maka semakin banyak dia telah terpapar bahaya yang ditimbulkan oleh lingkungan kerja tersebut.

c. Unit Kerja

Berdasarkan penelitian Adillah (2012), spesifikasi pekerjaan yang dilakukan pekerja terbukti memiliki hubungan dengan kejadian dermatitis kontak. Pekerja yang pekerjaannya berhubungan langsung dengan bahan kimia akan lebih

rentan terkena penyakit kulit. d. Riwayat Penyakit Kulit/ Riwayat Alergi

Alergi yaitu suatu reaksi atau perubahan tubuh yang berlebihan terhadap suatu bahan tertentu. Pekerja yang mempunyai riwayat alergi pada kulit cenderung terkena dermatosis daripada yang tidak mempunyai riwayat alergi karena fungsi perlindungan kulit sudah berkurang akibat penyakit kulit yang pernah diderita sebelumnya.

3. Penggunaan alat pelindung diri (APD)

Penggunaan alat pelindung diri sangat penting bagi pekerja untuk melindungi dirinya dari risiko bahaya yang dapat timbul di tempat kerja baik itu penyakit akibat kerja (PAK) maupun kecelakaan kerja. perlindungan tubuh atau permukaan kulit berupa baju kerja, sarung tangan kerja dan sepatu kerja dapat digunakan untuk mencegah:

23

2) Penyebaran zat kimia melalui kulit.

3) Penyebaran panas atau dingin atau sinar radiasi.

APD yang digunakan sebaiknya memenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut:

1) Alat pelindung diri harus dapat melindungi terhadap bahaya-bahaya dimana pekerja terpajan.

2) Alat atau pakaian pelindung diri harus ringan dan efisien dalam memberiperlindungan.

3) Sebagai pelengkap terhadap tubuh harus fleksibel namun efektif.

4) Pekerja yang memakai alat pelindung diri harus tidak terhalang gerakannya maupun tanggapan panca indranya.

5) Alat pelindung diri harus tahan lama.

6) Alat pelindung diri harus tidak memiliki efek samping (bahaya tambahan karena pemakaian) baik oleh karena bentuknya, konstruksi, bahan atau mungkin penyalahgunaan.

Jenis APD yang biasa digunakan antara lain: sarung tangan, masker, pelindung mata, pakaian kerja, topi pengaman, dan sepatu kerja. APD standar untuk bahan kimia berbahaya adalah:

1. Pelindung kepala dikenal sebagai safety helmet yang bertujuan untuk melindungi kepala dari benda jatuh dan melindungi dari arus listrik serta melindungi kepala dari benturan.

24

pelindung dan jenis kacanya yang dapat menahan sinar ultraviolet sampai

Dokumen terkait