• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

6.2 Saran

Beberapa saran yang dapat direkomendasikan dari hasil penelitian ini adalah :

1. Kepada dokter diharapkan lebih memberikan penjelasan dan pemahaman kepada pasien DM tipe 2 tentang pentingnya perilaku self care dan manfaatnya kepada pasien DM tipe 2 yang memiliki tingkat pendidikan dan status ekonomi rendah terutama mengenai kontrol gula darah dan perawatan kaki.

2. Kepada Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan diharapkan lebih melakukan pendekatan kepada pasien DM tipe 2 dengan cara membuat kegiatan seperti diskusi kelompok, senam DM, penyuluhan tentang perilaku self care agar pasien DM tipe 2 mengerti tentang pentingnya perilaku self care.

3. Kepada keluarga pasien DM tipe 2 agar lebih memperhatikan keluarganya yang menderita DM untuk melakukan perilaku self care terutama kontrol gula darah dan perawatan kaki.

4. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai dasar penelitian lanjutan tentang perilaku self care bagi peneliti selanjutnya.

6

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Diabetes Melitus 2.1.1. Definisi

Diabetes secara harfiah artinya “mengalirkan”, yang menunjukkan pengeluaran urin dalam jumlah besar pada penyakit ini. Melitus artinya “manis”, urin pasien dengan diabetes melitus terasa manis karena banyaknya glukosa yang manik ke dalam urin (Sherwood, 2011). DM adalah penyakit metabolisme yang merupakan suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang karena adanya peningkatan kadar glukosa darahdi atas nilai normal. Penyakit ini disebabkan gangguan metabolisme glukosa akibat kekurangan insulin baik secara absolut maupun relatif (Guyton, 2009).

DM adalah suatu penyakit kronik yang terjadi ketika tubuh tidak mampu memproduksi hormon insulin atau tidak dapat menggunakan insulin dengan efektif. Insulin merupakan hormone yang diproduksi di kelenjar pankreas yang membawa glukosa yang berasal dari makanan masuk ke dalam sel tubuh yang akan dikonversi menjadi energi untuk digunakan oleh otot dan jaringan dalam menjalankan fungsinya. Seseorang dengan DM tidak dapat mengabsorbsi glukosa dan menyalurkan hasilnya ke sirkulasi darah (hiperglikemia) yang menyebabkan kerusakan jaringan tubuh dalam waktu yang lama. Kerusakan ini menyebabkan ketidakseimbangan dan komplikasi (IDF, 2013).

Menurut PERKENI (2011) dan ADA (2012) Diabetes Melitus adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, gangguan kerja insulin, atau keduanya, yang menimbulkan berbagai komplikasi kronik pada mata, ginjal, saraf, dan pembuluh darah. Sedangkan menurut World Health Organization (WHO) (1999) DM sebagai suatu kelainan metabolik yang disebabkan oleh berbagai etiologi dan dimanifestasikan dengan keadaan hiperglikemia kronis dan terjadi dan terjadi

7

gangguan metabolisme karbohidrat, lemak, protein yang disebabkan oleh gangguan sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya.

2.1.2. Epidemiologi

Menurut IDF (2013), terdapat 382 juta penderita DM di dunia dan akan meningkat menjadi 592 juta pada tahun 2035 dimana 80 % terdapat di negara dengan pendapatan rendah atau sedang. 175 juta orang menderita DM dan tidak terdiagnosa dan lebih dari 79.000 anak-anak menderita DM tipe 1 pada tahun 2013. Usia rata-rata penderita DM antara 40-59 tahun dengan jumlah 184 juta di tahun 2013 meningkat menjadi 264 juta pada tahun 2035. Pada tahun 2013 terdapat 198 juta laki-laki dan 184 juta perempuan penderita DM meningkat menjadi 303 juta laki-laki dan 288 juta perempuan pada tahun 2035. Menurut distribusinya pada tahun 2013, penderita DM di daerah urban sebanyak 246 juta dan 136 juta di daerah rural meningkat menjadi 347 juta di daerah urban dan 145 juta di daerah rural pada tahun 2035. Penderita DM di Indonesia pada tahun 2013 sebanyak 8,5 juta jiwa dan diprediksikan meningkat menjadi 14,1 juta jiwa pada tahun 2035 dengan usia 20-79 tahun.

WHO memprediksi adanya peningkatan jumlah penderita diabetes yang cukup besar pada tahun -tahun mendatang. WHO memprediksi kenaikan jumlah penderita DM di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Meskipun terdapat perbedaan prevalensi, data dari WHO maupun IDF menunjukkan adanya peningkatan jumlah penderita DM sebanyak 2 -3 kali di Indonesia pada tahun 2030.

Prevalensi DM di Indonesia berdasarkan wawancara yang terdiagnosis dokter sebesar 1,5 persen. DM terdiagnosis dokter atau gejala sebesar 2,1 persen. Prevalensi DM yang terdiagnosis dokter tertinggi terdapat di DI Yogyakarta (2,6%), DKI Jakarta (2,5%), Sulawesi Utara (2,4%) dan Kalimantan Timur (2,3%). Prevalensi DM yang terdiagnosis dokter atau gejala, tertinggi terdapat di Sulawesi Tengah (3,7%), Sulawesi Utara (3,6%), Sulawesi Selatan (3,4%) dan Nusa Tenggara Timur 3,3 persen. Lampung merupakan propinsi dengan gejala

8

DM terendah dengan DM terdiagnosis dokter sebanyak 0,7% dan terdiagnosis dokter atau gejala 0,8%. Sedangkan prevalensi DM di Sumatera Utara yang terdiagnosis dokter sebesar 1,8% dan terdiagnosis dokter atau gejala 2,3% (RISKESDAS, 2013).

2.1.3. Klasifikasi

ADA (2010) mengklasifikasikan DM menjadi empat jenis yaitu DM tipe 1, DM tipe 2, DM yang berhubungan dengan keadaan atau sindrom lain, dan DM gestasional. Pengelompokan ini berdasarkan pada diagnosis keadaan pasien dan banyak dari penderita DM ini tidak masuk dalam satu kelas saja.

a. DM tipe 1

Disebut juga DM tergantung insulin (Insulin Dependent Diabetes Mellitus [IDDM] ), disebabkan oleh destruksi sel beta pankreas menyebabkan defisiensi insulit absolut yang disebabkan oleh proses autoimun atau idiopatik. 5% sampai 10% penderita diabetes termasuk dalam tipe ini. Sel-sel beta pankreas yang normalnya menghasilkan insulin dihancurkan oleh proses autoimun. Diperlukan suntikan insulin untuk mengontrol kadar gula darah.

Menurut laporan Konsensus Nasional Pengelolaan DM Tipe 1 (2009) insiden DM tipe 1 sangat bervariasi baik antar negara maupun di dalam suatu negara. Insidens tertinggi terdapat di Finlandia yaitu 43/100.000 dan insidens yang rendah di Jepang yaitu 1,5-2/100.000 untuk usia kurang 15 tahun. Insidens DM tipe-1 lebih tinggi pada ras kaukasia dibandingkan ras-ras lainnya. Berdasarkan data dari rumah sakit terdapat dua puncak insidens DM tipe-1 pada anak yaitu pada usia 5-6 tahun dan 11 tahun. Patut dicatat bahwa lebih dari 50 % penderita baru DM tipe-1 berusia >20 tahun. Faktor genetik dan lingkungan sangat berperan dalam terjadinya DM tipe-1. Walaupun hampir 80 % penderita DM tipe-1 baru tidak mempunyai riwayat keluarga dengan penyakit serupa, namun faktor genetik diakui berperan dalam patogenesis DM tipe-1. Faktor genetik dikaitkan dengan pola HLA tertentu, tetapi sistim HLA bukan merupakan faktor satu-satunya ataupun faktor dominan pada patogenesis DM tipe-1. Sistim HLA berperan sebagai suatu susceptibility gene atau faktor kerentanan.

9

Diperlukan suatu faktor pemicu yang berasal dari lingkungan (infeksi virus, toksin dll) untuk menimbulkan gejala klinis DM tipe-1 pada seseorang yang rentan.

b. DM tipe 2

Disebut juga DM tidak tergantung insulin (Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus [NIDDM] ). DM tipe 2 disebabkan karena berkurangnya sekresi insulin secara progresif yang menyebabkan terjadinya resistensi insulin. 90% sampai 95% penderita DM termasuk dalam tipe ini.

Perkiraan jumlah pasien DM tipe 2 di dunia pada tahun 2010 sebanyak 285 juta jiwa dari total populasi dunia sebanyak 7 miliar jiwa dan meningkat sebanyak 439 juta jiwa pada tahun 2030 dari total populasi dunia sebanyak 8,4 miliar jiwa. Kenaikan insidensi pasien DM tipe 2 juga terjadi di Asia Tenggara. Total populasi di Asia Tenggara pada rentang usia 20-79 tahun sebanyak 838 juta jiwa pada tahun 2010. Dari total populasi tersebut, terdapat 58,7 juta jiwa (7,6%) pasien DM tipe 2. Jumlah tersebut meningkat pada tahun 2030, yaitu dari total populasi pada rentang usia 20-79 tahun sebanyak 1,2 miliar, terdapat 101 juta (9,1%) pasien DM tipe 2 (Yuanita, et al., 2014).

c. DM yang berhubungan dengan keadaan atau sindrom lainnya Merupakan DM yang disebabkan karena defek genetic fungsi sel beta, gangguan kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas (seperti fibrosis kistik), obat- obatan atau zat kimia (seperti pada penatalaksanaan AIDS atau setelah transplantasi organ).

d. DM Gestasional (Gestational Diabetes Mellitus [GDM])

Merupakan DM yang terjadi selama kehamilan. DM jenis ini akan berdampak terhadap pertumbuhan janin yang kurang baik. DM gestasioanl merupakan DM yang benar-benar terjadi akibat kehamilan dan baru terdeteksi saat kehamilan.

GDM didefinisikan berupa setiap kelainan kadar glukosa yang ditemukan pertama kali pada saat kehamilan. GDM didiagnosa pada sekitar 4% dari semua kehamilan di Amerika Serikat. Selama kehamilan, plasenta dan hormon plasenta menimbulkan resistensi insulin yang paling mencolok pada trimester ketiga. Penilaian resiko timbulnya GDM dianjurkan dimulai pada kunjungan prenatal

10

pertama. Wanita yang beresiko tinggi harus segera diskrining. Pemeriksaan dapat ditangguhkan pada wanita beresiko rendah hingga minggu ke-24 sampai minggu ke-28 gestasi (Nolte dan Karam, 2010).

Tabel 2.1. Klasifikasi Diabetes Melitus I. Diabetes Melitus Tipe 1

(Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut): A. Melalui Proses Imunologik

B. Idiopatik

II. Diabetes Melitus Tipe 2

(Bervariasi mulai terutama yang predominan resistensi insulin disertai defesiensi insulin relatif sampai yang predominan gangguan sekresi insulin bersama resistensi insulin)

III. Diabetes Melitus Tipe Lain A. Defek Genetik fungsi sel Beta :

- Kromosom 12, HNF-1α (dahulu MODY 3) - Kromosom 7, glukokinase (dahulu MODY 2) - Kromosom 20, HNF-4α (dahulu MODY 1)

- Kromosom 13, insulin Promoter factor-1 (IPF-1, dahulu MODY4) - Kromosom 17, HNF-1β (dahulu MODY 5)

- Kromosom 2, Neuro D1 (dahulu MODY 6) - DNA Mitochondria, dan lainnya

B. Defek genetik kerja insulin : resistensi insulin tipe A leprechaunism, sindrom Rhabson Mendenhall, diabetes lipoatrofik, lainnya

C. Penyakit eksokrin Pankreas : Pankreatitis, trauma/pankreatektomi, neoplasma, fibrosis kistik, hemokromatosis, pankreatopati fibro kalkulus, lainnya D. Endokrinopati : akromegali, sindrom cushing, feokromotositoma,hipertiroidisme somatostatinoma, aldosteronoma, lainnya E. Karena obat/zat kimia : vacor, pentamidin, asam nikotinat, glukokortikoid, hormone tiroid, diazoxid, agonis β edrenergic, tiazid, dilantin, interferon alfa, lainnya

F. Infeksi : rubella congenital, CMV, lainnya

G. I u ologi jara g : si dro Stiff- a , antibody anti reseptor insulin lainnya

H. Sindrom genetik lain : Sindrom Down, Sindrom Klinefelter, sindrom Turner,

si dro Wolfra ’s, Ataksia Friedrei h’s, Chorea Huti gto , si dro Laure e- Moon-Biedl, Distrofi Miotonik, Porfiria, Sindrom Prader Willi, lainnya

IV Diabetes kehamilan

11

2.1.4. Faktor Resiko

Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan peningkatan DM, yaitu : a. Faktor Genetik

Resiko seseorang untuk mederita DM tipe 2 lebih besar jika orang tersebut mempunyai orangtua yang menderita DM (ADA, 2013). Orang yang memiliki riwayat keluarga menderita DM beresiko lima kali lebih besar menderita DM tipe 2 dibandingkan dengan orang yang tidak memiliki riwayat keluarga menderita DM (Wuwungan et al., 2012).

Riwayat dalam keluarga serta faktor keturunan dapat menjadi penyebab yang penting terhadap kejadian penyakit DM karena pola familial yang kuat mengakibatkan terjadinya kerusakan sel-sel beta pankreas yang memproduksi insulin, sehingga terjadi kelainan dalam sekresi insulin maupun kerja insulin (Suriani N, 2012).

b. Obesitas

Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Sunjaya, menemukan bahwa individu yang mengalami obesitas mempunyai resiko 2,7 kali lebih besar untuk terkena diabetes melitus dibandingkan dengan individu yang tidak mengalami masalah obesitas. Obesitas sentral berdasarkan lingkar pinggang lebih berperan sebagai faktor resiko DM dibandingkan dengan obesitas umum berdasarkan Indeks Masa Tubuh (IMT) (Farida et al., 2010).

Obesitas menyebabkan respon sel beta pankreas terhadap peningkatan glukosa darah berkurang, selain itu reseptor insulin pada sel di seluruh tubuh termasuk di otot berkurang jumlah dan keaktifannya (kurang sensitif). Akibat kondisi tersebut menyebabkan terjadinya peningkatan kadar glukosa darah (Soegondo, 2009). Resistensi insulin paling sering dihubungkan dengan obesitas. Pada obesitas sel-sel lemak juga ikut gemuk dan sel seperti ini akan menghasilkan beberapa zat yang digolongkan sebagai adipositokin yang jumlahnya lebih banyak dari keadaan pada waktu itu gemuk. Zat-zat itulah yang menyebabkan resistensi terhadap insulin (Hartini, 2009).

12

c. Aktifitas Fisik

Meskipun faktor keturunan memiliki pengaruh dalam menentukan seseorang berisiko terkena DM atau tidak, gaya hidup juga memiliki peran besar terhadap risiko terjadinya DM Tipe 2. Penelitian yang dilakukan di Poliklinik Penyakit Dalam Rumah Sakit Dr. Kariadi Semarang menunjukkan bahwa salah satu faktor yang berhubungan dengan kejadian DM Tipe 2 yaitu aktivitas fisik olahraga (Wicaksono, 2011). Oleh karena itu, pencegahan diabetes bagi yang berisiko dapat dilakukan dengan membiasakan hidup sehat dan berolahraga secara teratur (Adib, 2011).

d. Usia

Terdapat hubungan antara umur penderita dengan kejadian DM tipe 2.

Orang yang berumur ≥ 45 tahun delapan kali lebih beresiko menderita DM tipe 2 dibandingkan orang yang berumur kurang dari 45 tahun (Wuwungan et al, 2012). Umur berhubungan secara bermakna dengan DM dimana umur 55-64 tahun adalah kelompok yang paling beresiko. Semakin tua semakin tinggi kecenderungan terkena DM (Nainggolan et al, 2013). Kelompok usia 36-45 tahun beresiko 1,30 kali memiliki kadar gula darah tinggi, usia 45-46 tahun beresiko 1,52 kali memiliki kadar gula darah tinggi dibandingkan dengan usia < 35 tahun (Syafei, 2010).

Semakin bertambah usia, kemungkinan terkena DM semakin besar. Ketika masih berumur dibawah 30 tahun, kemungkinan DM hanya ditemukan kurang lebih satu persen. Artinya dari 100 penduduk yang berusia dibawah 30 tahun kemungkinan satu orang yang terkena DM. Bila dia atas 40 tahun, kemungkinan terkena DM menjadi delapan persen. Di atas 50 tahun, kemungkinan terkena DM naik sampai 20%. Di atas 60 tahun, menjadi 25% (Tandra, 2014).

e. Hipertensi

Hipertensi adalah satu faktor penyebab terjadinya terkena penyakit DM. Hipertensi dan DM merupakan masalah kesehatan yang berkaitan erat dan keduanya perlu mendapatkan penanganan secara seksama. Hipertensi merupakan salah satu faktor utama kematian akibat diabetes dan penyakit kardiovaskular

13

(Nainggolan et al, 2013). Hipertensi diduga merupakan salah satu faktor yang berperan dalam terjadinya komplikasi makrovaskular dan mikrovaskular pada DM (Kurniawan I, 2010).

Penderita DM tipe 2 pada umumnya memiliki kondisi yang disebut dengan resistensi insulin, yaitu kondisi di mana seseorang memiliki jumlah insulin yang cukup untuk mengubah glukosa, namun tidak bekerja sebagaimana mestinya. Insulin yang ada, tidak digunakan untuk mengubah glukosa, dan mengakibatkan kadar glukosa dalam darah naik, yang mengakibatkan diabetes. Insulin yang tidak bekerja ini tidak akan di rombak menjadi apa pun, akan tetap berada dalam bentuk insulin. Insulin berlebih inilah yang menyebabkan terjadinya hipertensi pada pasien DM (National Diabetes Services Scheme, 2010).

f. Jenis Kelamin

Perempuan lebih banyak menderita DM dibandingkan dengan laki-laki (Efendi, 2012).

2.1.5. Patogenesis

Semua tipe Diabetes Melitus, sebab utamanya adalah hiperglikemi atau tingginya gula darah dalam tubuh yang disebabkan sekresi insulin, kerja dari insulin atau keduanya (Ignativicius & Workman, 2006).

Defisiensi insulin dapat terjadi melalui 3 jalan, yaitu (ADA, 2012) :

1. Rusaknya sel-sel pancreas. Rusaknya sel beta ini dapat dikarenakan genetik, imunologis atau dari lingkungan seperti virus. Karakteristik ini biasanya terdapat pada DiabetesMelitus tipe 1.

2. Penurunan reseptor glukosa pada kelenjar pankreas. 3. Kerusakan reseptor insulin di jaringan perifer.

Apabila di dalam tubuh terjadi kekurangan insulin, maka dapat mengakibatkan (Ignativicius dan Workman, 2006; Smeltzer et al, 2008) :

1. Menurunnya transpor glukosa melalui membran sel, keadaan ini mengakibatkan sel-sel kekurangan makanan sehingga meningkatkan metabolisme lemak dalam tubuh. Manifestasi yang muncul adalah penderita Diabetes Melitus selalu merasa

14

2. lapar atau nafsu makan meningkat atau yang biasa disebut poliphagia. 3. Meningkatnya pembentukan glikolisis dan glukoneogenesis, karena proses

ini disertai nafsu makan meningkat atau poliphagia sehingga dapat mengakibatkan terjadinya hiperglikemi. Kadar gula darah tinggi mengakibatkan ginjal tidak mampu lagi mengabsorpsi dan glukosa keluar bersama urin, keadaan ini yang disebut glukosuria. Manifestasi yang muncul yaitu penderita sering berkemih atau poliuria dan selalu merasa haus atau polidipsi.

4. Menurunnya glikogenesis, dimana pembentukan glikogen dalam hati dan otot terganggu.

5. Meningkatkan glikogenolisis, glukoneogenesis yang memecah sumber selain karbohidrat seperti asam amino dan laktat

6. Meningkatkan lipolisis, dimana pemecahan trigliserida menjadi gliserol dan asam lemak bebas

7. Meningkatkan ketogenesis (merubah keton dari asam lemak bebas

8. Proteolisis, dimana merubah protein dan asam amino dan dilepaskan ke otot.

2.1.6. Patofisiologi

Kelainan dasar yang terjadi pada DM tipe 2 yaitu : 1). Resistensi insulin pada jaringan lemak, otot, dan hati menyebabkan respon reseptor terhadap insulin berkurang sehingga ambilan, penyimpanan, dan penggunaan glukosa pada jaringan tersebut menurun; 2). Kenaikan produksi glukosa oleh hati mengakibatkan kondisi hiperglikemia; 3). Kekurangan sekresi insulin oleh pankreas yang menyebabkan turunnya kecepatan transport glukosa ke jaringan, lemak, otot, dan hepar (Guyton dan Hall, 2007).

Resistensi insulin adalah kondisi dimana sensitivitas insulin menurun. Sensitivitas insulin adalah kemampuan dari hormone insulin untuk menurunkan kadar gula darah dengan cara menekan produksi glukosa hepatik dan menstimulasi pemanfaatan glukosa di dalam otot skelet dan jaringan adiposa.

15

masih dapat melakukan kompensasi bahkan sampai overkompensasi, insulin disekresi secara berlebihan sehingga terjadi kondisi hiperinsulinemia dengan tujuan normalisasi kadar gula darah. Mekanisme kompensasi yang terjadi terus

menerus menyebabkan kelelahan sel pankreas (exhaustion) yang disebut

dekompensasi, mengakibatkan produksi insulin yang menurun secara absolute. Kondisi resistensi insulin diperberat oleh produksi insulin yang menurun akibatnya kadar glukosa darah semakin meningkat sehingga memenuhi kriteria diagnosis DM (Waspadji dalam Soegondo, 2009).

2.1.7. Kriteria Diagnosis

Diagnosis dari DM harus didasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa darah. Penegakan diagnosis DM harus memperhatikan asal bahan darah yang diambil dan cara pemeriksaan yang dipakai. Penegakan diagnosis berdasarkan pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa dengan cara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Penggunaan bahan darah utuh (whole blood), vena ataupun kapiler tetap dapat dipergunakan dengan memperhatikan angka- angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO, sedangkan untuk tujuan pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler (PERKENI, 2011).

Berbagai keluhan dapat ditemukan pada pasien DM. PERKENI (2011) membagi keluhan DM menjadi dua jenis yaitu :

1. Keluhan klasik DM berupa : poliuria, polidipsi, polifagia dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.

2. Keluhan lain dapat berupa : lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita.

Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara:

1. Jika keluhan klasik ditemukan (poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan) maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu > 200 mg/dL (11,1 mmol/L) sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM.

16

Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir.

2. Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL (7,0 mmol/L) dengan adanya keluhan klasik. Puasa diartikan pasien tak mendapat kalori

tambahan sedikitnya 8 jam.

3. Tes toleransi glukosa oral (TTGO) dengan kadar gula plasma 2 jam pada TTGO 200 mg/dL (11,1 mmol/L). TTGO yang dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 g glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air. Meskipun TTGO dengan beban 75 g glukosa lebih sensitif dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa, namun pemeriksaan ini memiliki keterbatasan tersendiri. TTGO sulit untuk dilakukan berulang-ulang dan dalam praktek sangat jarang dilakukan karena membutuhkan persiapan khusus.

HbA1C merupakan hemoglobin yang dibentuk oleh penempelan non- enzimatik glukosa pada kelompok amino N-terminal dari hemoglobin A rantai . Kadar normal HbA1C adalah < 6,5% (Guerin, 2013). Pemeriksaan kadar HbA1c

(≥ 6,5%) oleh ADA 2011 sudah dimasukkan menjadi salah satu kriteria diagnosis

DM, jika dilakukan pada sarana laboratorium yang telah terstandardisasi dengan baik. Kadar HbA1C normal pada yang bukan penderita DM antara 4% sampai dengan 6%. Pemeriksaan hemoglobin terglikasi (HbA1C), disebut juga glycohemoglobin atau disingkat sebagai A1C, merupakan salah satu pemeriksaan darah yang penting untuk mengevaluasi pengendalian gula darah. HbA1C adalah zat yang terbentuk dari reaksi kimia antara glukosa dan hemoglobin (bagian dari sel darah merah). Ketika gula darah tidak terkontrol (yang berarti kadar gula darah tinggi) maka gula darah akan berikatan dengan hemoglobin (terglikasi). Oleh karena itu, rata-rata kadar gula darah dapat ditentukan dengan cara mengukur kadar HbA1C. Bila kadar gula darah tinggi dalam beberapa minggu, maka kadar HbA1C akan tinggi pula. Ikatan HbA1C yang terbentuk bersifat stabil dan dapat bertahan hingga 2-3 bulan (sesuai dengan usia sel darah merah). Kadar HbA1C akan mencerminkan rata-rata kadar gula darah dalam jangka waktu 2-3 bulan sebelum pemeriksaan.

17

Tabel 2.2. Kriteria Diagnostik DM 1. A1C ≥ 6,5 % atau

2. Kadar Glukosa Darah Sewaktu (plasma vena) > 200 mg/dl atau 3. Kadar Glukosa Darah Puasa > 126 mg/dl atau

4. Kadar Glukosa Plasma > 200 mg/dl pada 2 jam sesudah beban glukosa 75 gr pada TTGO

Sumber : ADA (2010)

Gambar 2.1. Langkah – Langkah Diagnostik DM dan Toleransi Glukosa Terganggu

18

2.1.8. Gejala Klinis

Gejala klinis DM tipe 2 dapat digolongkan menjadi gejala akut dan kronik (Perkeni, 2011) :

1. Gejala Akut Penyakit Diabetes Melitus

Gejala penyakit Diabetes Melitus dari satu penderita ke penderita lain bervariasi, bahkan mungkin tidak menunjukkan gejala apa pun sampai saat tertentu. Permulaan gejala yang ditunjukkan meliputi serba banyak (poli) yaitu banyak makan (poliphagi), banyak minum (polidipsi) dan banyak kencing (poliuri). Keadaan tersebut, jika tidak segera diobati maka akan timbul gejala banyak minum, banyak kencing, nafsu makan mulai berkurang/berat badan turun dengan cepat (turun 5 – 10 kg dalam waktu 2

– 4 minggu), mudah lelah, dan bila tidak lekas diobati, akan timbul rasa mual, bahkan penderita akan jatuh koma yang disebut dengan koma diabetik.

2. Gejala Kronik Diabetes Melitus

Gejala kronik yang sering dialami oleh penderita DM adalah kesemutan, kulit terasa panas, atau seperti tertusuk-tusuk jarum, rasa tebal di kulit, kram, mudah mengantuk, mata kabur, biasanya sering ganti kacamata, gatal di sekitar kemaluan terutama wanita, gigi mudah goyah dan mudah lepas kemampuan seksual menurun, bahkan impotensi dan para ibu hamil sering mengalami keguguran atau kematian janin dalam kandungan, atau dengan bayi berat lahir lebih dari 4 kg.

2.1.9. Tatalaksana

Menurut PERKENI (2011), tujuan penatalaksanaan DM adalah meningkatkan kualitas hidup penderita DM. Penatalaksanaan ini dikenal dengan empat pilar penatalaksanaan DM, yaitu : edukasi, terapi gizi medis, latihan jasmani, dan intervensi farmakologis.

Pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani selama beberapa waktu (2-4 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum mencapai sasaran, dilakukan intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik

19

oral (OHO) dan atau suntikan insulin. Pada keadaan tertentu, OHO dapat segera diberikan secara tunggal atau langsung kombinasi, sesuai indikasi. Dalam keadaan dekompensasi metabolik berat, misalnya ketoasidosis, stres berat, berat badan

Dokumen terkait