BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.3. Saran Hasil penelitian ini menyatakan bahwa bahwa (keadilan, kepatuhan Wajib Pajak, pengetahuan Wajib Pajak, sistem perpajakan, diskriminasi) berpengaruh baik secara parsial maupun secara simultan terhadap variabel dependen yaitu persepsi Wajib Pajak mengenai etika tax offenses, tax fraud, dan tax evasion. Dengan demikian, berdasarkan kesimpulan diatas maka peneliti memberikan beberapa saran diantaranya adalah: 1. Dalam penelitian berikutnya sangat diharapkan akan menggunakan variabel yang lebih banyak dan lebih variatif, karena dapat dilihat bahwa variabel-variabel yang digunakan peneliti berpengaruh secara parsial maupun secara simultan. Oleh karena itu mungkin masih banyak variabel- variabel lain yang mempengaruhi etika tax offenses, tax fraud, dan tax evasion. Dan sangat diharapkan untuk penelitian yang selanjutnya bisa memperoleh responden yang jauh lebih banyak lagi, dan dilakukan penyebaran kuesioner dibeberapa KPP yang terdaftar di dalam satu kanwil secara bersamaan. 2. Diskriminasi perpajakan harus sesegera mungkin ditanggulangi, ini merupakan suatu masalah yang abstrak namun nyata dampaknya. Dengan demikian, diskriminasi harus benar-benar dihilangkan untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak dan ini seharusnya menjadi pukulan yang keras bagi pihak pemerintah dan Wajib Pajak. 3. Sudah banyak penelitian yang dilakukan dibidang perpajakan, maka seharusnya pemerintah sesegera mungkin membenahi diri dan menunjukkan kepada masyarakat bahwa mereka mampu memberikan kinerja yang lebih baik, dengan cara menjadikan hasil penelitian ini sebagai bahan evaluasi dan kemudian mengambil tindakan korektif. 4. Untuk meminimalisir terjadinya etika tax offenses, tax fraud, dan tax, maka sistem perpajakan di Indonesia yaitu self assessment system harus sesegera mungkin dibenahi, dan meningkatkan kontrolnya agar menjadi lebih baik dalam penerapannya. 5. Sangat besar harapan peneliti kepada pemerintah agar pemerintah sendiri mampu memberikan berbagai pandangan dan motivasi kepada seluruh masyarakat untuk memahamkan mereka bahwa etika tax offenses, tax fraud, dan tax merupakan suatu tindakan yang sangat tidak etis. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Keadilan Pajak Menurut Anondo (2013), syarat keadilan adalah “pemungutan pajak dilaksanakan secara adil baik dalam peraturan maupun realisasi pelaksanaannya”. Keadilan dalam perpajakan merupakan faktor utama yang akan mendasari setiap Wajib Pajak mau mematuhi peraturan perpajakan. Penelitian yang telah dilakukan oleh Suryani pada tahun 2013 lalu, menghasilkan sebuah kesimpulan bahwa keadilan memiliki hubungan yang positif terhadap etika penggelapan pajak. Hal ini relevan dengan hipotesis yang telah ia nyatakan, dan bahkan relevan dengan penelitian yang dilakukan oleh McGee (2008), Nickerson, et al (2009), Suminarsasi (2011). Hasil penelitian menyatakan bahwa keadilan mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap penggelapan pajak. Asas keadilan dalam prinsip Perundang-Undangan Perpajakan maupun dalam hal pelaksanaannya harus dipegang teguh, walaupun keadilan itu sangat relatif. Menurut Richard dan Peggy dalam buku Public Finance in Theory and Practice terdapat dua macam asas keadilan pemungutan pajak, adalah sebagai berikut: 1. Benefit Principle Dalam sistem perpajakan yang adil, setiap Wajib Pajak harus membayar pajak sejalan dengan manfaat yang dinikmatinya dari pemerintah. Pendakatan ini disebut revenue and expenditure approach. 2. Ability Principle Dalam pendekatan ini menyatakan agar pajak dibebankan kepada Wajib Pajak atas dasar kemampuan membayar. Masalah keadilan dalam pemungutan pajak, dibebankan antara lain sebagai berikut: 1. Keadilan horizontal Pemungutan pajak adil secara horizontal apabila beban pajaknya sama atas semua Wajib Pajak yang memperoleh penghasilan yang sama dengan jumlah tanggungan yang sama, tanpa membedakan jenis penghasilan atau sumber penghasilan. 2. Keadilan vertikal Keadilan dapat dirumuskan (horizontal dan vertikal) bahwa pemungutan pajak adil, apabila orang yang dalam kondisi ekonomis yang sama dikenakan pajak yang sama, demikian sebaliknya. Seperti yang dikemukakan Mansury, Pajak Penghasilan hendaknya dipungut sesuai dengan asas keadilan, maka diperlukan syarat keadilan sebagai berikut: 1. Syarat keadilan horizontal, antara lain sebagai berikut: a. Definisi Penghasilan Memuat semua tambahan kemampuan ekonomis termasuk ke dalam pengertian definisi penghasilan. b. Globality Seluruh tambahan kemampuan ekonomis merupakan ukuran dari keseluruhan kemampuan membayar (the global ability to pay). Oleh karena itu, penghasilan dijumlahkan menjadi satu sebagai objek pajak. c. Net Income Ability to pay yaitu jumlah neto setelah dikurangi semua biaya yang tergolong dalam biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan. d. Personal exemption Pengurangan yang diberikan kepada Wajib Pajak Orang Pribadi berupa Penghasilan Tidak kena Pajak (PTKP). e. Equal treatment for the equals Pengenaan pajak dengan perlakuan yang sama diartikan bahwa seluruh penghasilan dikenakan pajak dengan tarif yang sama tanpa membedakan jenis atau sumber penghasilan. 2. Syarat keadilan vertikal, antara lain sebagai berikut: a. Unequal treatment for the unequals Besarnya tarif dibedakan oleh jumlah seluruh penghasilan atau jumlah seluruh tambahan kemampuan ekonomis (bukan perbedaan jenis atau sumber penghasilan). b. Progression Wajib Pajak yang penghasilannya besar, harus membayar pajak yang besar dengan persentase tarif yang besar. Dengan demikian, dari paparan mengenai keadilan pajak diatas dapat dipahami bahwa setiap Wajib Pajak akan memperoleh keadilan yang sama dalam perlakukan pengenaan pajak, baik dari segi tarif, pelayanan, cara pemungutan dan penerapan Undang-Undang Perpajakan. Maka dari itu, setiap Wajib Pajak juga berhak untuk memperoleh berbagai fasilitas dan pemanfaatan infrastruktur negara secara adil sebagai bentuk apresiasi dari partisipasi dan kontribusi mereka yang telah melakukan kewajiban mereka untuk membayar pajak. 2.2. Kepatuhan Wajib Pajak 1. Pengertian Kepatuhan Wajib Pajak Kepatuhan Wajib Pajak dikemukakan oleh Nowak (dalam Zain : 2004) sebagai “Suatu iklim kepatuhan dan kesadaran pemenuhan kewajiban perpajakan, tercermin dalam situasi dimana: • Wajib Pajak paham atau berusaha untuk memahami semua ketentuan Peraturan Perundang-Undangan Perpajakan. • Mengisi formulir pajak dengan lengkap dan jelas. • Menghitung jumlah pajak yang terutang dengan benar. • Membayar pajak yang terutang tepat pada waktunya. Menurut Keputusan Menteri Keuangan No.544/KMK.04/2000, bahwa kriteria kepatuhan Wajib Pajak adalah: • Tepat waktu dalam menyampaikan SPT untuk semua jenis pajak dalam 2 tahun terakhir. • Tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali telah memperoleh izin untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak. • Tidak pernah dijatuhi hukuman karena melakukan tindak pidana dibidang perpajakan dalam jangka waktu 10 tahun terakhir. • Dalam 2 tahun terakhir menyelenggarakan pembukuan dan dalam hal terhadap Wajib Pajak pernah dilakukan pemeriksaan, koreksi pada pemeriksaan yang terakhir untuk masing-masing jenis pajak yang terutang paling banyak 5%. • Wajib Pajak yang laporan keuangannya untuk 2 tahun terakhir diaudit oleh Akuntan Publik dengan pendapat wajar tanpa pengecualian, atau pendapat dengan pengecualian sepanjang tidak mempengaruhi laba rugi fiskal. 2. Pentingnya Kepatuhan Wajib Pajak dalam Meningkatkan Penerimaan Pajak Masalah kepatuhan Wajib Pajak adalah masalah penting di seluruh dunia, baik bagi negara maju maupun di negara sedang berkembang. Karena jika Wajib Pajak tidak patuh maka akan menimbulkan keinginan untuk melakukan tindakan penghindaran, pengelakan, penyelundupan dan pelalaian pajak. Pada akhirnya tindakan tersebut akan menyebabkan penerimaan pajak negara akan berkurang. Setiap Wajib Pajak diharapkan memiliki tingkat kepatuhan yang tinggi untuk melakukan pembayaran pajak. Hal ini dikarenakan negara sangat membutuhkan pembayaran pajak yang dilakukan oleh Wajib Pajak sebagai penerimaan bagi negara. Kepatuhan Wajib Pajak yang tinggi akan mampu meningkatkan penerimaan negara di bidang perpajakan. Hal ini selaras dengan sebuah penelitian yang telah di lakukan bahwa kepatuhan Wajib Pajak akan meminimalisir etika penggelapan pajak. Tetapi harus dipahami bahwa setiap Wajib Pajak yang memiliki tingkat kepatuhan yang tinggi tentunya juga memiliki pengetahuan yang tinggi pula mengenai perpajakan. Penelitian sebelumnya, yang dilakukan oleh Suryani (2013), tidak menggunakan variabel kepatuhan Wajib Pajak sebagai alat ukur untuk menilai tindakan etika penggelapan pajak. Tetapi dapat dianalogikan bahwa setiap Wajib Pajak yang patuh, maka tidak akan melakukan penggelapan pajak dan tentunya mereka sangat berperan aktif di dalam meningkatkan penerimaan negara di sektor perpajakan. 2.3. Pengetahuan Wajib Pajak Pengetahuan Wajib Pajak mengenai perpajakan secara keseluruhan merupakan sesuatu yang sangat diharapkan. Palil (2005) dalam Witono (2008) menemukan bahwa pengetahuan Wajib Pajak tentang pajak yang baik akan dapat memperkecil adanya tax evasion. Hal senada juga ditemukan oleh Kassipillai, ia mengatakan pengetahuan tentang pajak merupakan hal yang sangat penting bagi berjalannya SAS. Pengetahuan tentang peraturan pajak akan mempengaruhi sikap Wajib Pajak terhadap kewajiban pajak. Hal serupa juga dinyatakan Vogel (1974), Spicer dan Lounstedh (1976), Song dan Yarbourgh (1978), Laurin (1976), Kinsey dan Grasmick (1993). Mereka menemukan bahwa pengetahuan pajak akan bertambah dengan panjangnya masa pendidikan yang dilakukan dan kursus, walaupun secara tidak langsung tidak ditemukan adanya kaitan dengan sikap Wajib Pajak (dalam Palil 2005), Song dan Yarbrough, 1978 dikemukakan hasil penelitian bahwa semakin tinggi pengetahuan akan peraturan pajak, semakin tinggi pula nilai etika terhadap pajak. Robert et al (1991) menyatakan bahwa pengetahuan tentang peraturan pajak akan mempengaruhi tax fairness (Palil, 2004). Christensen et al (1994) dan Wartick (1994) bahwa pengetahuan yang semakin baik dari preparer maupun individu akan memiliki persepsi yang baik terhadap sistem pajak. Menurut Rahayu dan Fallan (2010 : 141) menyatakan bahwa: Pentingnya aspek perpajakan bagi Wajib Pajak sangat mempengaruhi sikap Wajib Pajak terhadap sistem perpajakan yang adil. Dengan kualitas pengetahuan yang semakin baik akan memberikan sikap memenuhi kewajiban dengan benar melalui adanya sistem perpajakan suatu negara yang dianggap adil. Kesadaran Wajib Pajak akan meningkat bilamana dalam masyarakat muncul persepsi positif terhadap pajak. Dengan meningkatnya pengetahuan perpajakan masyarakat melalui pendidikan perpajakan baik formal maupun non formal akan berdampak positif terhadap pemahaman dan kesadaran Wajib Pajak dalam membayar pajak. Dengan penyuluhan perpajakan secara intensif dan kontinyu akan meningkatkan pemahaman Wajib Pajak tentang kewajiban membayar pajak sebagai wujud gotong royong nasional dalam menghimpun dana untuk kepentingan pembiayaan pemerintahan dan pembangunan nasional. Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa pengetahuan setiap Wajib Pajak mengenai perpajakan, mulai dari sistem perpajakan sampai dengan Undang-Undang Perpajakan, akan memberikan motivasi untuk menjadi seorang Wajib Pajak yang patuh dalam membayar pajak. Maka dari itu, setiap Wajib Pajak berhak memperoleh pemahaman yang sama dan mendalam mengenai sistem perpajakan di Indonesia. Hal ini menjadi kewajiban juga bagi Pemerintah untuk memberikan pemahaman kepada Wajib Pajak, mulai dari melakukan berbagai penyuluhan, sosialisasi dan penataran lainnya. Setiap Wajib Pajak yang mampu memahami perpajakan secara mutlak, maka akan memahami pula bahwa penggelapan pajak itu tidak boleh dilakukan. Dengan demikian, pemahaman mengenai perpajakan ini akan memperkecil pelaksanaan tax offenses, tax evasion, dan tax fraud juga akan di minimalisir. 2.4. Sistem Perpajakan Menurut Purwono (2011 : 12), hingga saat ini ada 3 sistem yang diaplikasikan dalam pemungutan pajak, diantaranya adalah sebagai berikut: a. Official Assesment System Melalui sistem ini banyak pajak ditentukan oleh fiskus dengan mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak (SKP Rampung). Jadi, dapat dikatakan bahwa Wajib Pajak bersifat pasif. Tahapan-tahapan dalam menghitung dan memperhitungkan pajak yang terutang ditetapkan oleh fiskus yang terutang dalam SKP. Selanjutnya Wajib Pajak baru aktif ketika melakukan penyetoran pajak terutang berdasarkan ketetapan SKP tersebut. Indonesia pernah menggunakan sistem ini pada kurun waktu awal kemerdekaan dengan mengadopsi atau tetap memberlakukan beberapa peraturan perpajakan buatan Belanda hingga tahun 1997, ketika diperkenalkan sitem Menghitung Pajak Sendiri (MPS) dan Menghitung Pajak Orang lain (MPO) yang oleh sebahagian ahli disebut dengan Semi Self Assesment System. b. Self Assesment System Sistem ini mulai diaplikasikan bersamaan dengan reformasi perpajakan tahun 1983 setelah terbitnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 1984. Dalam memori penjelasan Undang-Undang tersebut bahwa anggota masyarakat Wajib Pajak diberi kepercayaan untuk melaksanakan kegotongroyongan melalui sistem menghitung, memperhitungkan, dan membayar sendiri pajak yang terutang (self assesment), sehingga melalui sistem ini administrasi perpajakan diharapkan dapat dilaksanakan dengan lebih rapi, terkendali, sederhana, dan mudah dipahami oleh anggota masyarakat Wajib Pajak.Selain itu, Wajib Pajak juga diwajibkan untuk melaporkan secara teratur jumlah pajak yang terutang dan yang telah dibayar sebagaimana yang ditentukan dalam Peraturan Perundang-Undangan Perpajakan. Pemerintah, dalam hal ini aparat perpajakan, sesuai dengan fungsinya berkewajiban melakukan pembinaan, penelitian, dan pengawasan terhadap pelaksanaan kewajiban perpajakan Wajib Pajak berdasarkan ketentuan yang digariskan dalam Peraturan Perundang-Undangan Perpajakan. c. Withholding Tax System Dengan sistem ini pemungutan dan pemotongan pajak dilakukan melalui pihak ketiga. Untuk waktu sekarang, sistem ini tercermin pada pelaksanaan pengenaan Pajak penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai. Contohnya adalah pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan Pajak Penghasilan Pasal 23 oleh pihak lain, atau pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 dan Pajak Pertambahan Nilai. Apabila dicermati dengan seksama, ketiga sistem ini digunakan secara terintegrasi pada pemungutan sistem pemungutan pajak di Indonesia. Self Assesment System berlaku ketika Wajib Pajak melaksanakan administrasi perpajakan yang menjadi kewajibannya (menghitung, memperhitungkan, dan menyetor pajak terutang). Pada saat yang bersamaan, jika posisi Wajib Pajak adalah pemungut atau pemotong karena berkedudukan sebagai pemberi kerja atau pihak yang berwenang memungut pajak, maka Withholding Tax System juga digunakan. Sedangkan Official Assesment System berlaku ketika fiskus melakukan pemeriksaan dan menerbitkan surat ketetapan pajak (SKP) atas laporan Wajib Pajak. Namun demikian, hingga saat ini Indonesia menerapkan Self Assesment System dalam pemungutan pajak. 2.5. Diskriminasi 1. Pengertian Diskriminasi Menurut Wikipedia (2010), diskriminasi merujuk kepada pelayanan yang tidak adil terhadap individu tertentu, di mana layanan ini dibuat berdasarkan karakteristik yang diwakili oleh individu tersebut. Diskriminasi merupakan suatu kejadian yang biasa dijumpai dalam masyarakat manusia, ini disebabkan karena kecenderungan manusia untuk membeda-bedakan yang lain. Ketika seseorang diperlakukan secara tidak adil karena karakteristik suku, antargolongan, kelamin, ras, agama dan kepercayaan, aliran politik, kondisi fisik atau karateristik lain yang diduga merupakan dasar dari tindakan diskriminasi. Diskriminasi langsung, terjadi saat hukum, peraturan atau kebijakan jelas-jelas menyebutkan karakteristik tertentu, seperti jenis kelamin, ras, dan sebagainya, dan menghambat adanya peluang yang sama. Diskriminasi tidak langsung, terjadi saat peraturan yang bersifat netral menjadi diskriminatif saat diterapkan di lapangan. 2. Diskriminasi dalam Bidang Perpajakan Diskriminasi dalam bidang perpajakan adalah adanya suatu perlakuan tidak adil yang dilakukan oleh pihak fiskus kepada Wajib Pajak. Diskriminasi dapat dilakukan karena adanya suatu bentuk hubungan istimewa ataupun karena sesuatu hal lainnya. Diskriminasi dalam bidang perpajakan dapat menimbulkan ketidakadilan antara satu pihak dengan pihak lainnya. Misalnya, penerapan tarif yang dilakukan berbeda-beda dapat menyebabkan ketidakadilan selain itu adanya penerapan sistem yang memberikan pelayanan yang berbeda-beda tergantung dari besarnya pajak yang dibayarkan. Hal ini merupakan sebuah pelanggaran besar yang seharusnya tidak dilakukan. Apabila masalah diskriminasi dapat diselesaikan di bidang perpajakan, maka penerimaan pajak juga akan meningkat. Setiap Wajib Pajak berhak memperoleh perlakuan yang sama. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Suryani (2013), diskriminasi memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap etika penggelapan pajak. Hal ini dibuktikan dengan penyebaran kuesioner yang telah dilakukan oleh peneliti, kemudian dilakukan pengujian terhadap kuesioner tersebut dan ternyata diskriminasi di bidang perpajakan berbanding lurus dengan etika penggelapan pajak. Analoginya adalah ketika Wajib Pajak merasa bahwa terdapat diskriminasi di dalam bidang perpajakan tentunya mereka enggan untuk melakukan pembayaran pajak. Diskriminasi menyebabkan Wajib Pajak merasa diperlakukan secara tidak adil, selain itu adanya penerapan sistem yang memihak dan bahkan berbagai Peraturan Perpajakan di terapkan secara tidak baik. Tentunya, Wajib Pajak akan berpikir untuk apa taat membayar pajak, jikalau mereka tidak memperoleh perlakuan yang baik. Dengan demikian, ketika diskriminasi di bidang perpajakan meningkat maka tingkat penggelapan pajak juga akan meningkat secara signifikan. 2.6. Tax Offenses (Perlawanan Pajak) Dalam penjelasan Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) telah dinyatakan bahwa pajak merupakan salah satu sarana dan hak tiap wajib pajak untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan negara dan pembangunan. Dalam penerapannya banyak sekali kendala-kendala yang dialami oleh badan perpajakan dalam memungut pajak dari setiap wajib pajak, selain karena kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pajak karena maraknya kasus korupsi yang dilakukan oleh pegawai pajak. Tax offenses adalah upaya perlawanan dari Wajib Pajak baik secara pasik atau aktif tidak melaporkan dan tidak membayar pajak terhutang sesuai dengan Undang-Undang baik dilakukan sendiri oleh Wajib Pajak maupun bekerjasama dengan orang lain. 2.7. Tax Fraud (Penggelapan Pajak) Masri (2012:5), menjelaskan pembahasan mengenai penggelapan pajak adalah sebagai berikut: “Usaha-usaha memperkecil jumlah pajak dengan melanggar ketentuan-ketentuan pajak yang berlaku”. Penggelapan pajak, cenderung dilakukan oleh Wajib Pajak yang memiliki penghasilan dalam jumlah yang tidak besar dan umumnya adalah Wajib Pajak orang pribadi. Hal ini dilakukan karena: a. Tidak punya kemampuan untuk mencari celah Undang-Undang Pajak. b. Apabila dokter/profesional bebas menyembunyikan sebahagian pendapatannya, kecil kemungkinan diketahui oleh fiskus kerena pencatatan penghasilannya dilakukan oleh pihak Wajib Pajak itu sendiri. c. Penghasilan para profesional bebas sulit dilacak oleh fiskus karena biaya yang dibayar oleh pasien kepada dokter tidak mengurangi penghasilan kena pajak seseorang. Biaya tersebut dianggap sebagai konsumsi. 2.8. Tax Evasion (Penghindaran Pajak Secara Illegal) Dalam penjelasan Undang-unang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) telah dinyatakan bahwa pajak merupakan salah satu sarana dan hak tiap wajib pajak untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan negara dan pembangunan. Namun bagi pelaku bisnis pajak dianggap sebagai beban investasi. Wajar bila perusahaan/pengusaha berusaha untuk menghindari beban pajak dengan melakukan perencanaan pajak yang efektif. Menurut Arnold dan McIntyre (1995), penghindaran pajak merupakan upaya penghindaran atau penghematan pajak yang masih dalam kerangka memenuhi ketentuan perundangan (lawful fashion). Penghindaran pajak dibedakan menjadi dua, yaitu: a. Penghindaran pajak secara legal Penghindaraan pajak melalui celah ketidaklengkapan Undang- Undang pajak sehingga dianggap tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku (Tax Avoidance). b. Penghindaran pajak secara ilegal Penghindaran pajak dengan cara yang bertentangan dengan Undang-Undang perpajakan sehingga diancam sanksi administratif maupun sanksi pidana (Tax Evasion). 2.9. Penelitian Terdahulu Table 2.1 Penelitian Terdahulu Penelitian (Tahun) Judul Penelitian Variabel Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian Persamaan Perbedaan Irma Suryani Rahman (2013) Pengaruh keadilan, sistem perpajakan, diskriminasi, dan kemungkinan terdeteksinya kecurangan terhadap persepsi Wajib Pajak Mengenai Etika Penggelapan Pajak (Tax Evasion). 1. Keadilan (X1) 2. Sistem Perpajakan (X2) 3. Diskriminasi (X3) 4. Kemungkinan Terdeteksinya Kecurangan (X4) 5. Etika Penggelapan Pajak (Y) 1. Variabel independen yang sama yaitu Keadilan, Sistem Perpajakan, Diskriminasi dan Kemungkinan Terdeteksinya Kecurangan. 2. Proses pengambilan sampel dengan metode convenience nonprobability sampling. 3. Menggunakan skala likert untuk pengukuran variable. 1. Ruang lingkup pengambilan sampel dalam penelitian ini pada KPP di Jakarta dan lebih dari satu KPP. 2. Variabel Independen lebih kompleks jika dibandingkan dengan penelitian terdahulu. Penggelapan pajak merupakan sesuatu yang seharusnya dapat diatasi. Variabel independen dari penelitian ini berpengaruh terhadap persepsi Wajib Pajak mengenai etika penggelapan pajak, terkecuali sistem perpajakan dan kemungkinan terdeteksinya kecurangan memiliki pengaruh negatif. Penelitian ini memberikan banyak pertimbangan untuk mengatasi berbagai penggelapan pajak. Fadjar O.P. Siahaan The Influence of Tax Fairness Variabel Independen: Terdapat variabel independen yang sama 1. Terdapat variabel Hasil dari penelitian ini adalah terdapat pengaruh Expert Staff in Indonesian Supreme Audit Institution Airlangga University Surabaya Indonesia (2012) and Communication on Voluntary Compliance: Trust as an Intervening Variable 1. Tax Fairness 2. Communication 3. Trust Variabel Dependen: 1. Tax Compliance yaitu Tax Fairness. independen yang berbeda yaitu Communication and Trust. 2. Lokasi penelitian berbeda. 3. Adanya variabel Communication and Trust. yang langsung dan signifikan yang tampak pada variabel independen Tax fairness terhadap kepatuhan Wajib Pajak (Tax Compliance), dan tidak terdapat pengaruh langsung dan signifikan yang tampak pada variabel independen Communication terhadap Kepatuhan Wajib Pajak. Suminarsasi dan Supriyadi (2011) Pengaruh Keadilan, Sistem Perpajakan, dan Diskriminasi terhadap Persepsi Wajib Pajak Mengenai Etika Penggelapan Pajak. 1. Keadilan (X1) 2. Sistem Perpajakan (X2) 3. Diskriminasi (X3) 4. Etika Penggelapan Pajak (Y) 1. Variabel independen yang sama yaitu Sistem Perpajakan dan Diskriminasi. 2. Proses pengambilan sampel dengan metode convenience nonprobability sampling. 3. Menggunakan skala likert untuk pengukuran variabel. 1. Ruang lingkup pengambilan sampel dalam penelitian ini pada KPP di Jakarta. 2. Variable independen yaitu Kecenderungan Personal. Penggelapan pajak dipandang sebagai suatu hal yang etis dan juga tidak etis, hasil dari penelitian ini hanya mendukung dua dimensi saja, yaitu sistem perpajakan dan diskriminasi, sehingga variable keadilan belum bisa dibuktikan. Ayu dan Hastuti (2009) Persepsi Wajib Pajak: Dampak Pertentangan Diametral Pada Variabel Independen: Kecurangan, Keadilan, Ketepatan 1. Variabel Independen yaitu Kemungkinan Terdeteksi 1. Ruang lingkup penelitian ini dilakukan Pada Wajib Pajak di Berdasarkan pengujian yang dilakukan dengan regresi liner ditemukan bahwa kemungkinan Tax Evasion Wajib Pajak Dalam Aspek Kemungkinan Terdeteksinya Kecurangan, Keadilan, Ketepatan Pengalokasian, Teknologi Sistem Perpajakan dan Kecenderungan Personal (Studi Wajib Pajak Orang Pribadi). Pengalokasian, dan Teknologi Informasi Sistem Perpajakan Variabel Dependen: Penggelapan Pajak (Tax Evasion) Kecurangan. 2. Variabel Dependen Penggelapan Pajak (Tax Evasion). 3. Data dianalisis Dalam dokumen Faktor-Faktor yang Menyebabkan Wajib Pajak Melakukan Tax Offenses, Tax Fraud, dan Tax Evasion (Studi Empiris di KPP Pratama Medan-Polonia) (Halaman 74-133)