• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

4.2 Saran

1. Bagi masyarakat Jepang yang merasa kesulitan seperti masalah sosial dan sebagainya, sebaiknya jangan langsung memutuskan untuk menjadi NEET. Berusaha terlebih dahulu untuk mencari solusi dari masalah yang dihadapi seperti mencari teman baru di luar rumah, jangan mudah putus asa terhadap keadaan, jangan terburu-buru untuk memutuskan tidak bergaul dan tidak bersosialisasi seakan asyik dengan dunia sendiri.

2. Untuk orangtua yang membiarkan anaknya tinggal bersama dengan mereka sebaiknya mengajak anak mereka untuk mencari pekerjaan diluar rumah dan lebih bersosialisasi lagi terhadap lingkunngan.

3. Bagi masyarakat lainnya jangan memandang sebelah mata para NEET ini karena tidak ada gunanya menyalahkan NEET dan memberitahu mereka supaya berhenti bersikap seperti anak kecil, sebaliknya supaya masyarakat berubah dan lebih dekat dengan anak-anak muda ini.

4. Pemerintah juga harus sekuat tenaga untuk mengurangi jumlah NEET yang ada di Jepang.

BAB II

TINJAUAN UMUM TERHADAP FENOMENA NEET DI MASYARAKAT JEPANG

2.1. Struktur Penduduk Jepang

Komposisi penduduk adalah dimana suatu negara yang mempunyai wilayah yang luas dan memiliki banyak penduduk di dalam suatu negara tersebut, dari banyaknya penduduk tersebut akan dikelompokkan berdasarkan kriteria tertentu. Biasanya dalam pengelompokkan itu kriteria yang di ambil kebanyakan adalah umur, jenis kelamin, mata pencaharian dan tempat tinggal.Semua itu di kelompokkan agar tidak terjadi masalah-masalah sepele yang timbul.

Struktur penduduk terdiri dari 3 jenis, yaitu :

1. Piramida Penduduk Muda:Suatu wilayah yang memiliki angka kelahiran yang tinggi dan angka kematian yang rendah sehingga daerah ini mengalami pertumbuhan penduduk yang cepat. Piramida ini dicirikan sebagian besar penduduk masuk dalam kelompok umur muda. Contohnya adalah negara-negara yang sedang berkembang, misalnya Indonesia, Malaysia, Filipina, dan India (2013:mynameisridwan.wordpress.com)

2. Piramida Stationer: Bentuk piramida ini menggambarkan keadaan penduduk yang tetap (statis) sebab tingkat kematian rendah dan tingkat kelahiran tidak begitu tinggi. Piramida penduduk yang berbentuk system ini terdapat pada negara-negara yang maju seperti Swedia, Belanda dan Skandinavia. (2013:mynameisridwan.wordpress.com)

3. Piramida Penduduk Tua: Suatu wilayah memiliki angka kelahiran yang menurun dengan cepat dan tingkat kematian yang rendah. Piramida ini juga dicirikan dengan jumlah kelompok umur muda lebih sedikit dibanding kelompok umur tua. Apabila angka kelahiran jenis kelamin pria besar, maka suatu Negara bisa kekurangan penduduk Contohnya adalah negara-negara yang sudah maju, misalnya Amerika Serikat, Inggris dan Jepang. (2013:mynameisridwan.wordpress.com)

Perubahan komposisi penduduk yang terjadi di Jepang seperti lebih disebabkan oleh penurunan angka fertilitas secara drastis bukan pada meningkatnya angka kematian. Di antara negara-negara maju, Jepang merupakan negara yang angka fertilitas totalnya sangat rendah. Rendahnya angka fertilitas Jepang disebabkan karena meningkatnya jumlah orang yang tidak bekerja, belum menikah, dan meningkatnya usia pernikahan pertama serta meningkatnya usia melahirkan. Masalah Jepang tentang komposisi penduduk yang tidak seimbang ini tentu menimbulkan permasalahan lain yang tidak mudah dihadapi Jepang di masa yang akan datang. Masalah biaya kesehatan dan dana pensiun juga dapat berimbas bagi perekonomian Jepang. Pemerintah hingga saat ini sedang kesusahan mengatasi hal tersebut. Tidak adanya regenerasi menimbulkan berkurangnya para pemuda yang seharusnya menjadi generasi harapan bangsa sekaligus menyusutnya jumlah usia produktif yang mampu menyumbang pajak bagi negara.

Selain itu, di Jepang banyak ditemui pemandangan dimana orang tua bekerja di masa pensiunnya. Selain demi menyukseskan program pemerintah, bagi mereka, bekerja supaya tidak menjadi beban bagi orang lain. Menjadi petugas kebersihan; pelayan loket karcis; petugas keamanan; menyeberangkan jalan; sopir taksi.Maka, tidak perlu heran jika pekerjaan pelayanan publik di Jepang rata-rata diisi oleh para lansia.

Rasio Ketergantungan

Rasio Ketergantungan (Dependency Ratio) adalah perbandingan antara jumlah penduduk berumur 0-14 tahun, ditambah dengan jumlah penduduk 65 tahun keatas dibandingkan dengan jumlah penduduk usia 15-64 tahun.

1. Rasio Ketergantungan Muda adalah perbandingan jumlah penduduk umur 0-14 tahun dengan jumlah penduduk umur 15 – 64 tahun.

2. Rasio Ketergantungan Tua adalah perbandingan jumlah penduduk umur 65 tahun ke atas dengan jumlah penduduk di usia 15-64 tahun.

Grafik 1 Perkiraan Angka Jumlah Penduduk di Jepang Hingga Tahun 2050

Sumber

Rasio ketergantungan (dependency ratio) dapat digunakan sebagai indikator yang secara kasar dapat menunjukkan keadaan ekonomi suatu negara apakah tergolong negara maju atau negara yang sedang berkembang. Dependency

ratio merupakan salah satu indikator demografi yang penting.Semakin tingginya

persentase dependency ratio menunjukkan semakin tingginya beban yang harus ditanggung penduduk yang produktif untuk membiayai hidup penduduk yang belum produktif dan tidak produktif lagi.Sedangkan persentase dependency

ditanggung penduduk yang produktif untuk membiayai penduduk yang belum produktif dan tidak produktif lagi.Tingkat kelahiran dan kematian di Jepang sejak tahun 1950 mulai mengalami perubahan. Tingkat kelahiran turun drastis pada tahun 1966 yang bertepatan pada tahun kuda api pada zodiak cina. Anak perempuan yang lahir pada tahun itu menurut takhayul dipercaya membawa nasib buruk.

Grafik 2 Jumlah Populasi Perempuan dan Laki-Laki di Jepang Tahun 2000- 2012

Grafik 3 Jumlah Angka Pertumbuhan di Jepang Tahun 1950 – 2008

Sumber:http://id.wikipedia.org/wiki/demografi Jepang

1. Birth rates data 1950-2004: and Sex Ratio of Live Birth (1872--2004)

2. Death rates data 1950-2004: Rate by Sex and Sex Ratio of Death (1872--2004)

Grafik 4 Angka Kelahiran dan Kematian di Jepang

Sumber

Laporan Koresponden Tribunnews.com di TRIBUNNEWS.COM, TOKYO

Jumlah pe tahun lalu, sehingga menjadi hanya 126.434.964 jiwa saja. Penurunan ini terjadi selaman lima tahun berturut-turut dan bahkan sejak 2009 menurun terus hingga kini. Demikian diungkapkan kementerian dalam negeri

Penurunan jumlah penduduk rata-rata 10 persen di berbagai daerah. Namun khusus (MIAC), Rabu (25/6/2014). di MIAC.

Jumlah yang meninggal tahun lalu mencapai 1.267.838 jiwa berdasarkan survei per 1 Januari 2014. Jumlah tersebut meningkat 955 orang dibandingkan tahun 2013. Jumlah yang meninggal bertambah terus, tujuh tahun berturut-turut.

Sementara yang lahir malah semakin berkurang juga. Kini hanya 237.450 bayi lahir per tahun.Jumlah populasi usia 65 tahun tinggi sekali mencapai 24,98 persen dari jumlah populasi. Usia muda dan pekerja antara 15 sampai 64 tahun menunjukkan terus pengurangan selama 14 tahun terakhir ini dan kini hanya mencapai 61,98 persen.

Umumnya penduduk Kansai, jumlahnya 50,93 persen. Khusus yang berdomisilimeningkat 0,24 persen, sedangkan di wilayah lain jumlah penghuninya menurun.Penurunan jumlah penduduk di daerah, masing-masing sebagai berikut: di Aomori dan Akita (berurut, menurun 1,23 persen dan 1,02 persen). Di Yamagata (menurun 0,96 persen). Paling parah (level perkotaan) paling banyak penurunan di Kota Yubari Hokkaido, menurun 4,02 persen. Kota Yubari adalah kota yang memiliki buah melon paling enak dan paling mahal di dunia.Untuk level pedesaan, khususnya Desa Onagawa di perfektur Miyagi, menurun 6,64 persen.Demikian pula untuk perfektur Nara khususnya Desa Nosegawa menurun cukup besar mencapai 6,26 persen.

Angka kelahiran di Jepang merosot pada 2014, berdasarkan catatan Kementerian Kesehatan dengan hanya 1.001.000 bayi lahir pada 2014 atau lebih rendah 9.000 dibandingkan 2013.

“Penurunan ini adalah yang keempat kalinya dalam empat tahun dan terjadi di tengah meningkatnya angka kematian.

Sejumlah pihak mengatakan bahwa pada 2050 populasi Jepang hanya akan mencapai 97 juta atau 30 juta lebih sedikit dari sekarang.

Para pakar memperingatkan dampak penurunan angka kelahiran ini akan merugikan Jepang dalam banyak aspek.

Menurunnya jumlah populasi berusia 15-65 diprediksi akan menurunkan tingkat pertumbuhan dan pendapatan perkapita Jepang.

Penurunan jumlah anak-anak ini tidak bisa dihindari karena "jumlah wanita dengan usia reproduksi juga menurun", kata seorang pejabat di Kementerian Kesehatan yang dikutip oleh Kyodo News.

Pada bulan April data pemerintah menunjukkan populasi Jepang menyusut selama tiga tahun, dengan jumlah orang tua yang terdiri dari 25%.

Pemerintah memperingatkan bahwa proporsi orang berusia 65 atau lebih diperkirakan mencapai hampir 40% dari populasi pada tahun 2060 nanti.”

Penurunan populasi disebabkan oleh berbagai alasan, diantaranya:

1. Meningkatnya biaya melahirkan dan membesarkan anak. 2. Meningkatnya jumlah wanita karir.

3. Menunda untuk menikah.

4. Meningkatnya jumlah orang yang belum menikah. 5. Perubahan lingkungan masyarakat dan sosial.

2.2 Latar Belakang dan Perkembangan NEET

Masalah NEET bukanlah masalah baru dalam masyarakat Jepang. NEET merupakan singkatan dari Not in Education, Employment, or Training. Dimana istilah muncul pertama kali di Inggris pada tahun 90-an yang ditujukan untuk para pengangguran berusia antara 16-18 tahun yang tidak mau bersosialisasi dalam negara Jepang. NEET ini berbeda dengan freeter (istilah untuk pengangguran yang sedang berusaha untuk mencari pekerjaan tetap). Istilah ini belakangan menyebar ke berbagai negar maju lainnya termasuk untuk mencari pekerjaan tetap) atau ronin (bekas pegawai pemerintahan yang sedang menganggur), karena orang-orang yang tergolong NEET sama sekali tidak mempunyai hasrat untuk bekerja.

Tabel 1 Jumlah NEET Menurut Beberapa Lembaga Survey di Jepang

Sumber

2.2.1 Sejarah NEET di Jepang

Istilah NEETini pada awalnya dipakai di Inggris pada tahun 1997.NEET mulai

muncul di Jepang pada tahun 1997, bertepatan dengan krisis moneter.Pada tahun mulai munculnya NEET di Inggris, negara tersebut sejak awal langsung menyadari masalah tersebut sebagai masalah negara. Sedangkan di Jepang, walaupun fenomena NEET sudah ada sejak awal 1990, masalah NEET awalnya dianggap sebagai masalah keluarga dan pribadi masing-masing. Munculnya NEET di Jepang serta peningkatannya dari tahun ke tahun tentunya menimbulkan keresahan masyarakat. Di Jepang para NEET dikenal juga sebagai

mugyousha(orang yang tidak bekerja atau pengangguran). Ironisnya bila NEET

dinegara lain banyak terjadi di kalangan tidak mampu, justru NEET di Jepang terjadi pada kalangan orang yang ekonomi keluarganya mapan.

2.2.2 Perkembangan NEET di Jepang

Sedangkan di Jepang, walaupun fenomena NEET sudah ada sejak awal 1990, masalah NEET awalnya dianggap sebagai masalah keluarga dan pribadi masing-masing.NEET mulai muncul di Jepang pada tahun 1997, bertepatan dengan krisis moneter. Di Jepang, yang masuk dalam klasifikasi NEET adalah orang-orang pada usia 15-34 tahun yang tidak bekerja, tidak berperan dalam rumah tangga, tidak terdaftar di sekolah atau pelatihan kerja. NEET di Jepang tahun 1997 sebanyak 80.000 jiwa sehinnga tahun 2000 mencapai 400.000 jiwa dan selama 3 tahun naik lima kali lipat. Tahun 2000, orang-orang yang tidak bekerja semakin bertambah dan bahkan banyak yang meninggalkan sekolah, akhirnya muncullah NEET.

Kemudian pada Tahun 2003 ketika presentasi NEET di Jepang semakin meningkat, masyarakat Jepang pada akhirnya menilai NEET sebagai sebuah masalah yang dapat mengancam perekonomian negara. Hingga tahun 2004, NEET tercatat berjumlah 640.000 orang berdasarkan Dokumen Putih Buruh dan Ekonomi (Roudou Keizai Hakusho).

Sumber:http://www.news.bbc.co.uk/2/hi/asia-pacific/3701748.stm

Pertumbuhan ekonomi yang lemah (Low Growth) di Jepang pun termasuk salah satu pengaruh berkembangnya NEET di Jepang sehingga terjadi kebuntuan pasar tenaga kerja (Clogged Labor Markets) yang terjadi di Jepang. Kebutuhan tenaga kerja yang berkualitas sangat diutamakan dalam prosedur penerimaan tenaga kerja di Jepang oleh karena itu pendidikan sangat dipertimbangkan.Tetapi disini berbanding terbalik dikarenakan ketidak sesuaian lulusan sekolah atau perguruan tinggi yang dibutuhkan (Education Mismatch).Sehingga persaingan semakin ketat yang berkualitas akan lebih unggul seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi akan muncul inovasi-inovasi yang membuat proses produksi akan mengurangi jumlah tenaga kerja karena seluruh dunia akan mengalami proses globalisasi.

2.3 Jenis-Jenis NEET

2.3.1 Yankee Kata ( Tipe Parasit )

Yankee memiliki beberapa arti yang saling berkaitan, terutama digunakan

untuk orang dari umum dipakai untuk menyebut orang dari Amerika Serikat. Di dalam negeri Amerika Serikat, istilah Yankee dipakai untuk penduduk dari bagian timur laut Amerika Serikat, atau secara spesifik dipakai untuk orang dari menunjuk kepada keturunan-keturuna sudah ketahuan bagaimana model NEET ini, NEET tipe yang selalu mengutamakan bersenang-senang dengan teman-temanya daripada bekerja, menghabiskan energi dan waktu demi hobi dan selalu mengantungkan diri pada orangtuanya (parasit freeter). Dan NEET jenis ini lebih suka menghabiskan waktu bersama teman-temannya dan tidak melanjutkan pendidikan setelah ia keluar dari sekolah di tengah jalan.

Ciri-ciri Yankee:

1. Memiliki sifat berfoya-foya dan terkesan sok idealis.

2. Menolak nilai-nilai tradisional Jepang (seperti kesenioritasan, sistem kerja keras seumur hidup dan tuntutan loyalitas terhadap perusahaan.

3. Menginginkan pekerjaan yang fleksibel, memberikan banyak waktu luang dan memungkinkan mereka untuk memakai pakaian dan gaya rambut sesuka mereka.

Faktor penyebab Yankee :

1. Gaya hidup, yaitu gaya hidup pemalas, suka berfoya-foya dan hanya fokus terhadap kesenangan.

2. Kurangnya kebebasan atau sistem kerja yang terlalu mengikat dalam perusahaan. Dan beberapa kaum muda lebih memilih keluar dari pekerjaan tetap untuk lebih memilih menjadi freeter agar bisa menikmati kebebasan dalam hidup.

2.3.2 Hikikomori Kata ( Tipe Penyendiri dan Anti Sosial )

NEET dengan tipikal hikikimori lebih senang mengurung diri dikamar

sambil bermain game, nonton, menghabiskan waktunya dengan bermain internet dan menarik diri dari pergaulan sosial lainnya daripada bekerja.NEET tipe ini biasanya banyak mengalami kebosanan hidup.Banyak kasus yang mengatakan tipeNEETseperti ini pada akhirnya memilih untuk bunuh diri.Menurut psikiate

usia 20-an akhir, berupa mengurung diri sendiri di dalam rumah sendiri dan tidak ikut serta di dalam masyarakat selama enam bulan atau lebih, tetapi perilaku tersebut tampaknya tidak berasal dari masalah psikologis lainnya sebagai sumber utama. Kemudian The Japanese Ministry of Health, Labour and Welfare mendefenisikan hikikomori sebagai seorang individu yang menolak meninggalkan rumah orangtuanya dan mengasingkan diri dari anggota keluarga selama lebih dari enam bulan Kerja, dan Kesejahteraan Jepang, definisi hikikomori adalah orang yang menolak untuk keluar dari rumah, dan mengisolasi diri mereka dari masyarakat dengan

terus menerus berada di dalam rumah untuk satu periode yang melebihi enam bulan.

Pada tahun 1990-an, ketika fenomena ini belum dikenal luas, Tamaki Saito dibanjiri permintaan tolong para orangtua yang ingin membantu anak-anak mereka yang mengasingkan diri. Saat itu, kebanyakan pelakunya adalah anak lelaki, berusia rata-rata 15 tahun, dari keluarga kelas menengah, menarik diri dalam jangka waktu bulanan sampai tahunan. Pemicunya ada beragam.Bisa karena nilai sekolah yang jelek atau patah hati. Atau tak kuat dan tak mampu menanggung harapan serta tuntutan besar orang tua dan masyarakat.

1.

Ciri-ciri Hikikomori:

2.

Menghabiskan waktu sehari atau setiap hari hanya berada di dalam rumah.

3. Kebanyakan berasal dari golongan berusia 20-29 tahun (ada pula kasus dari orang berusia 40 tahunan).

Jumlah laki-laki hikikomori lebih banyak daripada perempuan.

4. Kebanyakan berasal dari orang tua berpendidikan perguruan tinggi.

5.

6.

Secara jelas menghindari situasi sosial.

7.

Terganggu kegiatannya misal pekerjaan/sekolah,hubungan sosial, hubungan sesama manusia.

8.

9.

Lamanya mengurung diri sedikitnya 6 bulan.

Alasan penyebab terjadinya hikikomori:

Tidak ada gangguan mental yang menyebabkannya anti sosial.

1. Banyak masalah yang ada di sekolah, tempat kerja dan sebagainya. Biasanya berkaitan dengan ijime (bully) baik itu penganiayaan secara tindakan maupun melalui ucapan. Hal ini yang paling banyak ditemukan di kehidupan sehari-hari.

2. Tidak selarasnya hubungan antara orangtua yang terkadang menyebabkan tindak kekerasan pada anak. Banyak nya permasalahan seperti ini korban menjadi depresi dan berbagai macam perasaan negatif yang melanda dirinya yang terkadang menyebabkan trauma sehingga korban mengambil tindakan mengambil keputusan untuk menjadi hikikomori.

3. Dengan kecanggihan teknologi sekarang ini, merupakan penyebab juga semakin maraknya hikikomori terutama kemudahan dalam mengakses internet, telah menyebabkan banyak remaja mengalami ketergantungan teknologi yang sangat meluas. Semua aktivitas pertemanan dilakukan di dunia maya. Bahkan untuk berbelanja pun dilakukan secara online. Memang dengan kecanggihan teknologi sekarang semua menjadi serba instan, tanpa bepergian pun sekarang kita dapat melakukan aktivitas tertentu.

Menurut penelitian yang dilakukan penduduk hikikomori di Jepang pada tahun 2005 mencapai lebih dari 1,6 juta orang. Bila penduduk semi-hikikomori (orang jarang keluar rumah) ikut dihitung, maka semuanya berjumlah lebih dari 3 juta orang. Total perhitungan NHK hampir sama dengan perkiraan Zenkoku Hikikomori KHJ Oya no Kai sebanyak 1.636.000 orang.

Menurut survei 1,2% penduduk Jepang pernah mengalami hikikomori: 2,4% di antara penduduk berusia 20 tahunan pernah sekali mengalamihikikomori (1 di antara 40). Dibandingkan perempuan, laki-laki hikikomori jumlahnya empat kali lipat.Satu di antara 20 anggota keluarga yang orang tuanya berpendidikan perguruan tinggi pernah mengalami hikikomori. Tidak ada hubungannya antara keluarga berkecukupan atau tidak berkecukupan secara ekonomi.

2.3.3 Tachisukumu Kata ( Tipe Ragu-ragu)

Jenis ini merupakan orang-orang yang disebut NEET yang kehidupannya tidak mengalami kemajuan karena ia tidak dapat menentukan pekerjaan dan jalur karir yang cocok bagi dirinya. Pada awalnya mereka berusaha mengejar cita-cita mereka, namun akhirnya terjebak dalam situasi yang tidak menguntungkan bagi dirinya. NEET dengan tipikal Tachisukumu merupakan tipe anak muda yang sudah lulus perguruan tinggi, tapi masih bingung memutuskan masa depannya. Mereka ragu-ragu memilih bekerja atau melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi lagi. NEET dengan personaliti yang sering ragu-ragu akan keputusannya dan tidak

tahu memutuskan apa yang akan dia lakukan dengan masa depannya serta termasuk bagi seseorang yang pernah gagal dalam hidup seperti bisnis bangkrut atau membuat usaha tapi gagal,sehingga mereka takut mencoba lagi.

2.3.4 Tsumazuki Kata ( Tipe Gagal )

Jenis ini ditujukan kepada NEET yang sudah pernah mengalami kegagalan dalam hidup (yang sudah pernah bekerja sebelumya), dalam hal ini seperti bisnis yang bangkrut atau usaha-usaha lainnya yang pada akhirnya gagal dan sejak saat itu trauma sehingga tidak memiliki keinginan untuk bekerja kembali dan takut untuk mencoba bangkit kembali dari keterpurukan (mendapat pekerjaan) karena tidak punya rasa kepercayaan diri lagi. Tipe yang setiap mencari pekerjaan mendapat kegagalan dan tidak bisa bersaing. Kegagalan yang pernah dialami orang tersebut mulai dari diberhentikan dari pekerjaan, ditolak orang yang dicintai, tidak naik kelas, dan hal-hal lain yang menyangkut sebuah kegagalan.

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Manusia dan kebudayaan merupakan salah satu ikatan yang tidak biasadipisahkan dalam kehidupan ini. Manusia sebagai makhluk Tuhan yang paling sempurna menciptakan kebudayaan mereka sendiri dan melestarikannya secara turun menurun.Budaya tercipta dari kegiatan sehari hari dan juga dari kejadian – kejadian yang sudah diatur oleh Yang Maha Kuasa.

Menurut Ienaga Saburo dalam Situmorang (2009 : 2-3 )kebudayaan dalam arti luas dan arti sempit. Dalam arti luas adalah seluruh cara hidup manusia (ningen no seikatsu no itonami kata).Kebudayaan ialah keseluruhan hal yang bukan alamiah. Sedangkan dalam arti sempit kebudayaan adalah terdiri dari ilmu pengetahuan, sistem kepercayaan dan seni. Oleh karena itu kebudayaan dalam arti luas ialah segala sesuatu yang bersifat konkrit yang diolah manusia untuk memenuhi kebutuhannya.Sedangkan kebudayaan dalam arti sempit ialah sama dengan budaya yang berisikan sesuatu yang tidak kentara atau bersifat semiotik.

Dari kebudayaan yang mamadukan ilmu pengetahuan, sistem kepercayaan dan seni lahirlah kejadian-kejadian baru di kalangan masyarakat yang disebut dengan fenomena.

Pada dasarnya fenomenologi adalah suatu tradisi pengkajian yang digunakan untuk mengeksplorasi pengalaman manusia. Seperti yang dikemukakan

oleh Little John bahwa fenomenologi adalah suatu tradisi untuk mengeksplorasi pengalaman manusia.

Dalam konteks ini ada asumsi bahwa manusia aktif memahami dunia disekelilingnya sebagai sebuah pengalaman hidupnya dan aktif menginterpretasikan pengalaman tersebut. Asumsi pokok fenomenologi adalah manusia secara aktif menginterpretasikan pengalamannya dengan memberikan makna atas sesuatu yang dialaminya. Oleh karena itu interpretasi merupakan proses aktif untuk memberikan makna atas sesuatu yang dialami manusia. Dengan kata lain pemahaman adalah suatu tindakan kreatif, yakni tindakan menuju pemaknaan. Fenomenologi menjelaskan fenomena perilaku manusia yang dialami dalam kesadaran. Fenomenologi mencari pemahaman seseorang dalam membangun makna dan konsep yang bersifat intersubjektif. Oleh karena itu, penelitian fenomenologi harus berupaya untuk menjelaskan makna dan pengalaman hidup sejumlah orang tentang suatu konsep atau gejala. Natanson menggunakan istilah fenomenologi merujuk kepada semua pandangan sosial yang menempatkan kesadaran manusia dan makna subjektifnya sebagai focus untuk memahami tindakan sosial

Sejak dahulu Jepang dikenal oleh seluruh negara sebagai negara yang memiliki reputasi yang baik dalam mendorong anak-anak mudanya agar dengan lancar dapat berpindah dari dunia sekolah ke dunia kerja.

Sekolah di Jepang menerapkan program Shuusoku Assen (就 職)yaitu program dimana sekolah menuntut para murid yang hendak lulus di tahun

berikutnya untuk menjalani aktivitas pencarian kerja, sehingga pada saat mereka lulus mereka telah mendapatkan pekerjaan tetap. Jepang juga menggunakan sistem Shinki Gakusotsu Shuusoku – Saiyou, dimana setiap tahun perusahaan- perusahaan membuka lowongan pekerjaan untuk mereka yang baru saja lulus.

Dalam masyarakat Jepang, ada suatu perasaan terkungkung dan rasa cemas yang samar-samar, atau rasa tidak percaya terhadap masa depan sebagai akibat kehancuran apa yang disebut bubble economy atau ekonomi gelembung. Akan tetapi terjadinya bubble economy (ekonomi gelembung) serta munculnya deflasi di Jepang pada awal tahun 1990 mengakibatkan jumlah perusahaan yang bersedia mempekerjakan anak muda yang baru saja lulus menurun secara drastis.

Dokumen terkait