FENOMENA NEET (Not in Education, Employment, or Training)
PADA MASYARAKAT JEPANG
Judul penelitian ini adalah fenomena NEET (Not in Education,
Employment, or Training) di masyarakat Jepang. Masalah yang dibahas dalam
penelitian ini adalah seperti apa NEET yang terjadi di masyarakat Jepang dan
bagaimana upaya dalam mencegah dampak masalah NEET dalam masyarakat
Jepang.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengertian NEET dan
jenis-jenis NEET tersebut. Adapun tujuan lain dari skripsi ini adalah untuk
mengetahui dampak yang ditimbulkan NEET terhadap kehidupan sosial
masyarakat di Jepang dan upaya penanganan NEET.
NEET adalah singkatan dari Not in Education, Employment, or Training)
yang berarti masyarakat yang tergolong sebagai orang yang tidak memiliki
pekerjaan, tidak menikah, tidak terikat studi atau pekerjaan rumah tangga. NEET
juga dikenal sebagai mugyousha (orang yang tidak bekerja atau pengangguran)
yang tentunya parasit bagi oranglain karena ketidakmauannya untuk belajar,
bekerja, ataupun berusaha sehingga mereka digolongkan sebagai sampah
masyarakat. NEET di Jepang terjadi pada kalangan orang yang ekonomi
keluarganya mapan.
Alasan mengapa masyarakat Jepang lebih memilih menjadi seorang NEET
karena di Jepang sering di jumpai orangtua yang terlalu memanjakan atau over
protected. Kemudian NEET juga yang tinggal bersama orangtua akan
ketergantungan secara permanen bahkan ketika NEET berusia sekitar 40 tahun
tidak merasa bahwa keadaannya tidak membuat keluarga merasa terbebani akan
dirinya. Alasan orangtua rela melakukan itu meskipun tahu bahwa mereka bukan
anak-anak lagi adalah karena mereka kaya sehingga mampu mendidik anak-anak
mereka sendiri. Alasan lainnya adalah karena kedua orangtua dan anak-anak
mereka berbagi cinta pasif atau amae.
Peningkatan NEET menimbulkan keresahan masyarakat. Hal itu
disebabkan karena upaya pemerintah mengalokasikan dana yang diambil dari
pajak masyarakat dengan jumlah yang cukup besar. Pemerintah mengalokasikan
dana untuk membangun organisasi-organisasi dan lembaga-lembaga pelatihan
bagi NEET.
Seorang NEET bisa dari kaum perempuan dan kaum laki-laki, namun
sebagian besar adalah laki-laki. Klasifikasi NEET adalah orang-orang pada usia
15-34 tahun yang tidak bekerja, tidak berperan dalam rumah tangga, tidak
terdaftar di sekolah atau pelatihan kerja. NEET dengan tipe parasit yang selalu
mengutamakan bersenang-senang dengan teman-temannya daripada bekerja dan
menghabiskan energi dan waktu demi hobi dan selalu menggantungkan diri pada
orangtuanya disebut Yankee Kata . NEET dengan tipe penyendiri yang lebih
senang mengurung diri dikamar, menarik diri dari pergaulan sosial daripada
bekerja dan biasanya banyak mengalami kebosanan hidup yang pada akhirnya
memilih untuk bunuh diri disebut Hikikomori Kata. NEET dengan tipe ragu-ragu
yang kehidupannya tidak mengalami kemajuan karena tidak mengalami kemajuan
karena tidak dapat menentukan pekerjaan dan jalur karir yang cocok bagi dirinya
disebut Tachisukumu Kata. NEET dengan tipe gagal yang sudah pernah
keinginan untuk kembali bekerja dan takut untuk mencoba kembali karena tidak
punya rasa kepercayaan diri lagi disebut Tsumazuki Kata.
Dampak yang ditimbulkan oleh NEET adalah dampak diri sendiri,
keluarga, masyarakat, dan pemerintah. Dampak yang terjadi pada diri sendiri
adalah tersisihkan dari lingkungan sosial ini disebabkan oleh kebiasaan seorang
NEET yang tidak mau terbuka terhadap lingkungan sosial. Dampak yang terjadi
pada keluarga adalah seorang NEET yang tinggal bersama orangtua akan
ketergantungan secara permanen dan hidup dari pensiunan orangtuanya. Dampak
yang terjadi pada masyarakat adalah NEET yang dianggap sebagai kumpulan
orang yang tidak hanya dapat membahayakan stabilitas negara, tetapi juga
merusak tatanan masyarakat Jepang yang tertata rapi. Dampak yang terjadi pada
pemerintah adalah pemerintah Jepang mengimpor tenaga kerja asing untuk
bekerja di industri Jepang, sehingga tambahan pemasukan negara dari pajak
penghasilan.
Upaya penanganan masalah NEET ini adalah upaya dari masyarakat dan
upaya dari pemerintah. Upaya dari masyarakat adalah mendidik seorang NEET
dengan pendidikan informal di dalam masyarakat yang mencakup Personal Skills
Education, Social Skills Education, Environmental Skills dan
Vocational/Occupational Skills Education. Upaya dari pemerintah adalah
mengadakan program pelatihan khusus dan bekerja sama dengan perusahaan
pemerintah maupun swasta. Lewat program tersebut para NEET diberikan
pengarahan, konseling dan pengenalan dunia kerja bahkan mereka juga
ditawarkan job training yang diharapkan bisa menumbuhkan rasa percaya diri
要旨
日本社会
に ほ ん し ゃ か い
でのNEET (Not in Education, Employment, or Training)の
本論文の主題は「日本社会でのNEET (Not in Education, Employment,
or Training)の
Education, Employment, or Training」の
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Dudung. 1999. Metode Penelitian Sejarah. Jakarta: PT Logos
Wacana Ilmu
Azwar, Saifuddin. 1998. Metode Penelitian. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Husaini Usman & Purnomo Setiady Akbar. 1996 Metode Penelitian Sosial.
Jakarta: PT. Bumi Aksara
Kuswarno, Engkus. 2009. Fenomenologi ( Fenomena pengemis kota Bandung).
Bandung: Widya Padjajaran
Mayumi Negishi & Akemi Nakamura.2006. ”NEETs Get Career Help, But at a
Price”,The Japan Times
Nasution, M. Arif. 1996. Metode Penelitian. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Nouki Futagami. 2005.希 望 の 二 - ト ・ 現 場 か ら の メ ッ セ ー ジ, Tokyo: The
Japan Times
Reiko Kosugi. 2006. フリータートニート, Tokyo: The Japan Times
Saleha, Amaliatun. 2006. Parasite Single, Sebuah Fenomena Sosial Kontemporer
di Jepang. (Skripsi). Bandung: Universitas Padjajaran
Sayidiman Suryohadiprojo. 1982. Manusia dan Masyarakat Jepang Dalam
Perjuangan Hidup. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia dan Pustaka
Bradjaguna
Stephanie, Iswinda. 2010. Analisis Program Bantuan Pemerintah Terhadap
Menurunnya Jumlah Homeless di Jepang Tahun 2007. (Skripsi Sarjana).
Jakarta: Universitas Indonesia
William, Eleroy Curtis. 1896. The Yankees of The East, Sketches of Modern
Japan. New York
Waluya, Bagja. 2007. Sosiologi: Menyelami Fenomena Sosial di Masyarakat,
Bandung: PT. Setia Purna Inves
Sumber dari Internet
September 2015
tanggal 12 Desember 2015
12 Desember 2015
https://id.wikipedia.org/wiki/Fenomenologi diakses tanggal 29 September 2015
diakses tanggal 9 Desember 2015)
diakses tanggal 21 Desember 2015
http://www.academia.edu/12281332/FENOMENA_PARASITE_SINGLE_DI_JE
PANG diakses 29 September 2015
http://id.wikipedia.org/wiki/demografi Jepang diakses tanggal 21 Desember 2015
id.m.wikipedia.org/wiki/Jepang diakses tanggal 18 Desember 2015
id.m.wikipedia.org/wiki/Sejarah diakses tanggal 18 Desember 2015
BAB III
DAMPAK DAN PENANGANAN NEET DALAM KEHIDUPAN SOSIAL
MASYARAKAT JEPANG
3.1 Dampak NEET
Negara maju seperti Jepang juga tidak luput dari masalah sosial seperti
masalah NEET.Hal ini cukup menjadi perhatian bagi masyarakat maupun
pemerintah Jepang.Karena masalah NEET memiliki dampak terhadap NEET itu
sendiri, keluarga, masyarakat maupun pemerintah.Adapun dampak-dampak
tersebut adalah:
3.1.1 Diri Sendiri
Dampak yang terjadi pada diri seorang NEET antara lain:
1. Hidup Tersisihkan dari Lingkungan Sosial.
Kehidupan yang dijalankan para penderita NEET ini yang menjadikan
seseorang NEET tersebut dapat tersisihkan dari lingkungan sosial ini disebabkan
oleh kebiasaan seorang NEET yang tidak mau terbuka terhadap lingkungan sosial
dan bahkan ada yang sampai tidak peduli apa yang sedang berkembang di
lingkungan daerah tempat tinggal mereka sehingga masyarakat di lingkungan
2. Menjadi Tidak Mandiri (Ketergantungan) karena Selama
Hidupnya Bergantung Kepada Orangtua.
Keberadaan seorang NEET didalam lingkungan keluarga tidak begitu di
permasalahkan hal itu disebabkan karena orangtua keluarga dari seorang NEET
dapat menjaminin segala keperluan yang dibutuhkan dari penghasilan yang
diperoleh orangtua. Dan orangtua nya pun merasakan mampu mengatasi itu semua
sehingga seorang NEET itu akan selalu bergantung hidupnya kepada orangtua
mereka.
3. Dapat mengakibatkan gangguan mental.
Seseorang NEET tidak semuanya dapat menikmati kehidupan
sehari-harinya yang dimana selalu menghabiskan waktu dengan hal yang tidak berguna
dan bahkan tidak menemukan orang yang kehidupannya sama dengan dirinya
sehingga ada yang merasa bosan bahkan hampir putus asa karena didalam
kehidupannya tidak pernah ada kemajuan. Sehingga hal itu menjadi suatu masalah
bagi dirinya yang lama-kelamaan menjadi bahan beban pikiran NEET yang dapat
mengakibatkan gangguan psikologis bahkan gangguan mental.
Walaupun pada awalnya NEET masih berhubungan dan berinteraksi
dengan orang-orang selain keluarganya, tetapi karena teman-teman lainnya
bekerja, bersekolah, atau melakukan kegiatan lainnya lambat laun ia kehilangan
hubungan teman-teman dan orang-orang diluar lingkungan keluarganya. Pada
akhirnya NEET, menghabiskan sebagian besar waktunya di dalam kamar
rumahnya, bermain game atau menonton televisi, dan hampir tidak pernah
yang tidak mau menjalin, atau tidak mampu, menjalin relasi dengan oranglain.
Mengapa mereka tidak ingin, atau tidak mampu, menjalin relasi dengan
oranglain? Salah satu alasannya adalah karena mereka bisa hidup tanpa menjalin
hubungan pribadi dengan orang lain sebab mereka tergantung kepada orangtua
mereka, yang rela membantu dan melindungi mereka.
3.1.2 Keluarga
Keluarga merupakan tempat pertama kali anak dididik dan ditempah. Cara
pendidikan yang diterapkan oleh orang tua akan sangat berpengaruh pada
perkembangan anak di masa yang akan datang. Namun cara mendidik disini tidak
terlalu otoriter, tegas, permisif, maupun demokratis melainkan cara pendidikan
tersebut digunakan secara seimbang dan sesuai kebutuhan. Apabila orang tua
terlalu otoriter dan tegas maka anak dan remaja akan berusaha mencari – cari
celah utuk melakukan pemberontakan maupun perlawanan-perlawanan dalam
bentuk yang lain dari anak sebagai sikap protes atas tindakan orang tuanya.
Pekerjaan orang tua akan sangat berpengaruh kepada perkembangan remaja.
Orang tua yang sibuk untuk mencari nafkah di luar rumah dan kurang
memperhatikan perkembangan anaknya akan menyebabkan kurangnya perhatian
yang akan diterima oleh remaja tersebut . Kalau ditinjau lebih jauh, sebenarnya
lingkungan keluarga dan tempat kerja juga merupakan faktor pendukung yang
menyebabkan sesorang menjadi NEET. NEET yang tinggal bersama orangtua
akan ketergantungan secara permanen bahkan ketika NEET berusia sekitar 40
tahun mereka akan hidup dari pensiun orangtuanya. Di Jepang sering kali
anaknya, sehingga anaknya menjadi terbiasa menggantungkan hidup pada
orangtuanya. Sehingga si anak itu tersendiri tidak merasa bahwa keadaannya
sekarang tidak membuat keluarga merasa terbebani akan dirinya. Mengapa
orangtua rela melakukan itu, meskipun tahu bahwa mereka bukan kanak-kanak
lagi ? Alasannya adalah karena mereka kaya sehingga mampu mendidik
anak-anak mereka sendiri. Alasan lainnya adalah karena kedua orangtua dan anak-anak-anak-anak
mereka berbagi cinta pasif atau amae. Orang tua yang terlalu permisif maka
membuat sang anak akan berusaha mencari-cari perhatian dengan segala tingkah
lakunya yang sebagaian besar pada akhirnya baik disadari maupun tidak oleh
remaja mereka akan menjurus ke dalam penyimpangan sosial maupun ada yang
lebih parah ke dalam tindak kriminalitas.
Oleh karena itu , orangtua hendaknya dapat memberikan langkah konkret
yang dapat dilakukan oleh orang tua guna mencegah dan menangani masalah
NEET ini yaitu (1) kasih sayang, (2) kebebasan, (3) pergaulan anak, (4)
pengawasan pada media, (5) bimbingan, (6) pembelajaran agama, (7) dukungan
pada hobi, dan (8) orang tua sebaga tempat berkeluh kesah. Adapun penjelasan
lebih rinci dari peran orang tua tersebut adalah sebagai berikut.
(1) Pemberian kasih sayang dan perhatian dari orang tua dalam hal
apapun.
(2) Adanya pengawasan dari orang tua yang tidak mengekang. Contohnya:
orang tua boleh saja membiarkan dia melakukan apa saja yang masih sewajarnya,
dan apabila menurut pengawasan orang tua dia telah melewati batas yang
yang harus ditanggungnya bila dia terus melakukan hal yang sudah melewati batas
tersebut.
(3) Biarkanlah dia bergaul dengan teman yang sebaya, yang hanya beda
umur 2 atau 3 tahun baik lebih tua darinya. Karena apabila orang tua membiarkan
dia bergaul dengan teman main yang sangat tidak sebaya dengannya, yang gaya
hidupnya sudah pasti berbeda, maka dia pun bisa terbawa gaya hidup yang
mungkin seharusnya belum perlu dia jalani.
(4) Pengawasan yang perlu dan intensif terhadap media komunikasi seperti
tv, internet, radio, handphone, dll agar si anak tidak tergantung terhadap semua
hal itu.
(5) Perlunya bimbingan kepribadian di sekolah, karena disanalah tempat
anak lebih banyak menghabiskan waktunya selain di rumah.
(6) Perlunya pembelajaran agama yang dilakukan sejak dini, seperti
beribadah dan mengunjungi tempat ibadah sesuai dengan iman kepercayaannya.
(7) Orang tua perlu mendukung hobi yang dia inginkan selama itu masih
positif untuk dia. Jangan pernah orang tua mencegah hobinya maupun kesempatan
dia mengembangkan bakat yang dia sukai selama bersifat positif. Karena dengan
melarangnya dapat menggangu kepribadian dan kepercayaan dirinya.
(8) Orang tua harus menjadi tempat bertukar pikiran yang nyaman untuk
anak anda, sehingga anda dapat membimbing dia ketika ia sedang menghadapi
3.1.3 Masyarakat
Munculnya NEET di Jepang serta peningkatannya dari tahun ke tahunnya
tentunya menimbulkan keresahan masyarakat. Apalagi ditambah upaya
pemerintah mengalokasikan dana yang diambil dari pajak masyarakat dengan
jumlah yang cukup besar untuk membangun organisasi-organisasi dan
lembaga-lembaga pelatihan bagi NEET, yang diharapkan dapat mengurangi jumlah NEET.
Kenyataan bahwa NEET terdiri dari orang-orang yang tidak bersekolah,
tidak bekerja, tidak pula berusaha mencari kerja, dan bahkan secara tidak
langsung menggunakan pajak masyarakat, membuat NEET dipandang rendah oleh
masyarakat, dan menjadi sebuah fenomena yang meresahkan masyarakat. NEET
dianggap sebagai kumpulan orang yang tidak hanya dapat membahayakan
stabilitas negara, tetapi juga merusak tatanan masyarakat Jepang yang tertata rapi,
karena perilaku dan gaya hidupnya yang tidak sesuai dengan norma-norma dan
nilai-nilai yang dipegang teguh oleh masyarakat Jepang. Suatu fakta menunjukkan
bahwa masyarakat Jepang dewasa ini telah kehilangan batasan-batasan
masyarakat yang dahulu merupakan suatu keterpaksaan, sebelum adanya
pertumbuhan ekonomi yang cepat. Dengan kata lain, masyarakat Jepang saat ini
telah kehilangan tatanan dan diisi dengan amoralitas yang seringkali
menyebabkan perilaku yang tak bermoral. Karena kurangnya batasan masyarakat
dan moralitas sosial, masyarakat cenderung berperilaku bebas dan tidak peduli
terhadap orang lain. Kurangnya batasan masyarakat dan moralitas sosial ini dapat
diamati secara nyata di daerah urban dan dengan sedikit perbedaan, di daerah semi
mencari pekerjaan, sehingga akibatnya orang-orang tua hidup sendiri dengan
komunitasnya, batasan ini masih sangat kuat.
Grafik Pendapat Masyarakat Jepang Terhadap NEET
Sumber :http://www.socwork.net/sws/view/200/485
3.1.4 Pemerintah
Jepang adalah masyarakat dengan pola sekolah untuk bekerja, berbasiskan
riwayat pendidikan. Orang Jepang bersaing ketat di bidang pendidikan karena
pendidikan yang bagus akan mengiring mereka ke pekerjaan bagus. Kualitas
pendidikan di Jepang memang tak perlu dipertanyakan lagi, jika melihat
berhasilnya Jepang untuk menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas.
Salah satu yang paling berperan dalam meningkatkan kualitas sumber daya
manusia adalah kurikulum pendidikan di negara tersebut. Perubahan tersebut mau
tidak mau membawa dampak perubahan permintaan kualifikasi dan kompetensi
yaitu dengan menggunakan sistem 6-3-3 (6 tahun SD, 3 tahun SMP, tiga tahun
SMA) dan Perguruan Tinggi. Pendidikan Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah
Pertama digolongkan sebagai Compulsory Education dan Sekolah Menengah Atas
digolongkan sebagai Educational Board.
Sepertinya untuk menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas tidak
hanya bergantung pada sistem pendidikan itu sendiri, tapi setiap sistem dan orang
di dalamnya. Jadi, Jepang dalam menghasilkan sumber daya manusia yang
berkualitas pun tidak semata-mata dengan hasil instan tapi dengan proses yang
hampir sama dengan negara maju lain pada umumnya. Karena seperti yang
dikatakan sebelumya proses kurikulum di Jepang pun tidak lepas dari kata
bongkar pasang, tapi dengan loyalitas para pengajar dan tingkat kedisiplinan
pelajar akhirnya dapat menciptakan banyak sumber daya manusia yang
berkualitas. Akan tetapi, tidak semua pemuda Jepang sendiri yang sudah
menyelesaikan program pendidikan berniat mencari pekerjaan tetap itu
dikarenakan tidak adanya tuntutan dari keluarga sehingga populasi NEET itu
sendiri semakin bertambah tiap tahunnya. Seperti diketahui secara tidak langsung
kehidupan kaum usia lanjut di Jepang disokong oleh orang-orang yang masih
produktif yang berusia sekitar 15-65 tahun dalam sistem tenaga kerja dan pensiun.
Kalau tahun 1970-an 9,7 orang usia produktif menanggung satu orang manula, di
era 1995 sampai tahun 2000, 4,8 orang usia produktif menanggung seorang
manula, maka diperkirakan tahun 2015 mendatang satu orang manula akan
ditanggung oleh 2,4 orang usia produktif. Dengan data ini bisa diperkirakan
bahwa di masa yang akan datang kehidupan kaum muda Jepang yang masih
kaitannya dalam hal ini. Seperti yang ditulis Satoshi Kawamoto dalam Beyond
Shoshika : Serious Effects of Low Fertility and Promotion of New
Policies, banyak perusahaan menekan jumlah pekerja regular dan menggantinya
dengan pekerja non-reguler yang dapat diberhentikan sewaktu-waktu, sehingga
para pekerja kontrak ini tidak memiliki pendapatan yang cukup dan terpaksa
menunda kesempatan pernikahan karena alasan finansial.
Masalah Jepang tentang komposisi penduduk yang tidak seimbang ini
tentu menimbulkan permasalahan lain yang tidak mudah dihadapi Jepang di masa
yang akan datang. Masalah biaya kesehatan dan dana pensiun juga dapat berimbas
bagi perekonomian Jepang. Pemerintah hingga saat ini sedang kesusahan
mengatasi hal tersebut. Tidak adanya regenerasi menimbulkan berkurangnya para
pemuda yang seharusnya menjadi generasi harapan bangsa sekaligus
menyusutnya jumlah usia produktif yang mampu menyumbang pajak bagi negara.
Dengan ketidakseimbangan populasi usia produktif dengan populasi lansia, beban
ekonomi yang harus ditanggung oleh orang-orangyang berada pada usia produktif
menjadi semakin besar. Populasi generasi muda yang semakin sedikit akan sangat
berpengaruh pada masa depan Jepang.
Artikel newsvote.bbc.co.uk menyebutkan, pemerintah Jepang mengimpor
tenaga kerja asing untuk bekerja di industri Jepang, sehingga tambahan
pemasukan negara dari pajak penghasilan.Pemerintah menghimbau agar lebih
banyak wanita dan pensiunan untuk kembali bekerja dalam rangka mengisi
kekosongan di perusahaan.Pertumbuhan ekonomi yang lamban mengakibatkan
jumlah yang tidak bekerja jadi banyak. Defenisi NEET berubah menjadi ke anak
tidak bekerja semakin bertambah dan bahkan banyak yang meninggalkan sekolah,
akhirnya muncullah NEET. Tahun 2003, perekonomian Jepang mulai membaik,
perusahaan Jepang sudah sudah mengajak anak muda untuk bekerja lagi tapi
masih banyak masalah yang tersisa yaitu: Kesempatan untuk pekerjaan yang stabil
akan terus berlanjut bagi yang berpendidikan rendah, dan NEET yang saat ini
diusia akhir 20an masuk ke usia 30an membuat masalah baru.
NEET yang berawal dari tahun 1990-an itu kini sudah beranjak tua mereka
tidak bisa bekerja sebagai pegawai reguler. Sehingga jumlah NEET tiap tahunnya
semakin akan terus bertambah. Oleh karena itu, NEET di Jepang tahun 1997
berjumlah 80.000 jiwa berlanjut sampai tahun 2000 mencapai 400.000 jiwa dan
selama tiga tahun naik lima kali lipat. Di kemudian hari Jepang akan mengalami
krisis, utamanya dalam tenaga kerja dan keberlangsungan generasi penerus
Jepang. Fenomena krisis tenaga kerja memang sudah terjadi, dengan maraknya
tenaga kerja asing di Jepang. Akan tetapi, hal itu kemudian menimbulkan masalah
lain, yaitu kurangditerimanya para pekerja asing itu di tengah masyarakat Jepang.
Dengan ketidakseimbangan populasi usia produktif dengan populasi lansia, beban
ekonomi yang harus ditanggung oleh orang-orangyang berada pada usia produktif
menjadi semakin besar. Populasi generasi muda yang semakin sedikit akan sangat
berpengaruh pada masa depan Jepang.
3.2 Upaya Penanganan NEET
Masalah ekonomi yang dialami Jepang membuat banyak
perusahaan-perusahaan yang mengalami kebangkrutan sehingga harus melakukan PHK
salah satunya adalah masalah sosial seperti NEET. Akibat dari resesi ekonomi
pertumbuhan NEET semakin meningkat. Pertumbuhan NEET ini menandai
kurangnya tingkat kesejahteraan sosial dalam masyarakat Jepang karena
seseorang atau kelompok yang menjadi masyarakat negara Jepang tidak berada
dalam kondisi sejahtera yang meliputi kesehatan maupun keadaan ekonomi
(Stephanie, 2010:28). Hal ini tentu tidak dapat dibiarkan begitu saja, oleh karena
itu para NEET membutuhkan bantuan untuk mendukung dan membantu merka
agar mendapat kehidupan yang lebih baik. Berikut ini adalah beberapa bentuk
upaya yang diberikan kepada para NEET.
3.2.1 Masyarakat
Menurut Mariko Fujimoto, direktur riset di Lembaga Penelitian Hakuhodo
Inc. Institute of Life and Living, berkata bahwa kemunculan NEET
dilatarbelakangi salah satunya oleh masalah ekonomi. Sepuluh sampai 12 tahun
terakhir ini, menurut Fujimoto, merupakan periode yang turbulen bagi ekonomi
negara matahari terbit itu meski jepang masih termasuk negara terkaya di dunia.
Bagi masyarakat NEET adalah sekumpulan anak-anak manja yang terbiasa
hidup enak dan tidak mau susah, karena banyak di antar mereka juga bukan
anak-anak orang kaya. Persoalan NEET bukan sekedar anak-anak-anak-anak manja yang tidak
mau berjuang, tapi lebih dari itu. Ada persoalan yang membuat mereka menarik
diri dari masyarakat dan memilih tinggal di rumah daripada mencari pekerjaan
Masalah NEET menjadi masalah yang cukup menarik perhatian dan
memprihatinkan. Maka dari itu, sebagian masyarakat yang peduli kepada para
NEET dapat mendidik seorang NEET dalam pendidikan inforrmal baik di dalam
keluarga maupun masyarakat yang mencakup:
1. Personal Skills Education
Yaitu pola pendidikan kecakapan yang perlu diberikan kepada
anak didik agar dapat mengembangkan kemampuan berdialog
secara baik dengan diri sendiri untuk mengaktualisasikan jati
dirinya sebagai manusia.
2. Social Skills Education
Yaitu pendidikan kecakapan yang perlu diberikan kepada anak
didik agar dapat mengembangkan kemampuan berdialog untuk
bergaul secara baik dengan sesama manusia.
3. Environmental Skills
Yaitu pendidikan kecakapan yang perlu diberikan kepada anak
didik agar dapat mengembangkan kemampuan berdialog secara
baik dengan lingkungan alam sekitarnya, untuk menikmati
keindahannya dan menjaganya dari kerusakan-kerusakan karena
ulahnya sendiri atau oleh manusia lainnya, serta kemampuan untuk
menjaga diri dari pengaruh-pengaruhnya.
4. Vocational atau Occupational Skills Education
Yaitu pendidikan kecakapan yang perlu diberikan kepada anak
didik agar dapat mengembangkan kemampuan untuk menguasai
ini bukan hanya merupakan pekerjaan utama yang akan ditekuni
sebagai mata pencaharian yaitu menjadi bekal untuk bekerja
mencari nafkah yang halal yang merupakan salah satu kewajiban
dalam menempuh perjalanan hidupnya di kelak kemudian hari.
Jenis pekerjaan tertentu dapat juga merupakan pekerjaan yang
hanya sekedar sebagai hobi.
Yang penting menurut Prof.Tanakashi adalah masyarakat tidak
memandang sebelah mata para NEET ini. “ Tidak ada gunanya menyalahkan
NEET dan memberitahu mereka supaya berhenti bersikap seperti anak kecil. Yang
paling penting adalah supaya masyarakat berubah dan lebih dekat sengan
anak-anak muda ini.”
3.2.2 Pemerintah
Pasar tenaga kerja menjadi sangat kompetitif dan sangat tidak stabil bagi
anak muda.Banyak perusahaan yang lebih memilih mempekerjakan pegawai
paruh waktu agar tidak usah menerikan asuransi dan pesangon. Di lain pihak,
bukan hanya resesi yang menyebabkan sulitnya lapangan pekerjaan, tapi ada juga
masalah ketidakselarasan antara dunia pendidikan dan industri.
Ada lulusan-lulusan yang oversupply, misalnya dari jurusan teknik, sains
lingkungan, kajian Asia, ekonomi dan sosiologi. Para lulusan juga tidak terlatih
dan tidak dipersiapkan untuk kebutuhan industri. Hal ini menyulitkan Jepang yang
Olahraga, Sains dan teknologi, Nariaki Nakayama mengatakan bahwa kompetisi
pendidikan yang ketat juga berkontribusi dalam menghasilkan NEET ini.
“ Dulu kita mengajarkan di sekolah bahwa kompetisi itu tidak baik. Tapi
nyatanya begitu kita bekerja, kita dihadapkan pada kompetisi super ketat, dan
anak-anak juga bingung karenanya. Bukankah pendidikan saat ini menghasilkan
gelombang NEET yang besar ?” ujarnya. Apalagi ditambah upaya pemerintah
mengalokasikan dana yang diambil dari pajak masyarakat dengan jumlah yang
cukup besar untuk membangun organisasi-organisasi dan lembaga-lembaga
pelatihan bagi NEET, yang diharapkan dapat mengurangi jumlah NEET. Untuk
mengantisipasi bertambahnya NEET, pemerintah Jepang berupaya mengadakan
program pelatihan khusus untuk para NEET bekerja sama dengan perusahaan
pemerintah maupun swasta. Lewat program tersebut para NEET diberikan
pengarahan, konseling, dan pengenalan dunia kerja, bahkan mereka juga
ditawarkan job training yang diharapkan bisa menumbuhkan rasa percaya diri
mereka untuk terjun ke dunia kerja.
Prof. Akira Takanashi dari Shinshu University pernah mengatakan bahwa
fenomena NEET merupakan pemberontakan anak muda terhadap tatanan
masyarakat secara diam-diam. Jika dulu pada periode 1960-1970an para
mahasiswa memberontak secara sadar dan melakukan protes, karakteristik dari
NEET sekarang ini adalah mereka tidak sadar telah melakukan protes
Ia menambahkan bahwa masyarakat, termasuk industri dan pendidikan,
bertanggungjawab memecahkan fenomena ini. “Sekolah sangat kurang
memberikan informasi pendidikan kerja.” katanya.
Pemerintah Jepang sendiri pada 2005 sudah membentuk satu komite untuk
membangun strategi dalam menolong anak muda menjadi lebih mandiri dan bisa
menyelesaikan masalah-masalah mereka. Ada juga usulan untuk membangun
sekolah dimana anak-anak muda bisa mendapatkan keterampilan dasar, dengan
format seperti ‘training camp’. Kalangan industri juga sudah memiliki perhatian
terhadap masalah NEET. Kenzaburo Mogi, vice chairman dari Kikkoman
Corporation, mangatakan bahwa industri juga turut bertanggungjawab karena
tidak mampu menyediakan lapangan kerja yang cukup.“ Industri seharusnya
melakukan sesuatu bersama dengan pemerintah, miaslnya dengan melakukan
pelatihan,” ujar Mogi, meski ia mengakui perusahaan tempat ia bernaung belum
memiliki program untuk NEET.
Sementara itu, Kei Kudo dengan “Master & Pupil”
yang dibentuk 2001 berusaha membantu anak muda mendapatkan pekerjaan lewat
pelatihan kerja serta pelayanan konseling. Namun program di “Master & Pupil”
ini tidak gratis karena biaya tiap peserta per bulannya sekitar 50.000 yen per bulan
atau sekitar Rp. 10.000.000 meski setengahnya disubsidi oleh pemerintah.
Pelatihan yang diberikan di antaranya pelatihan untuk sektor pertanian, informasi
Sejauh ini menurut Kudo, sudah ada sekitar 10.000-15.000 orang yang
sudah mendapatkan pelatihan dan bekerja di kantor pemerintah atau swasta.
“Organisasi kami masih terbatas dalam menjangkau NEET dan menyediakan
aktivitas dan kesempatan untuk mereka. Kami percaya dan merekomendasikan
bahwa membangun jaringan dengan komunitas akan membantu para NEET ,”ujar
Kudo. Yang penting menurut Prof. Tanakashi adalah masyarakat tidak
memandang sebelah mata para NEET ini. “Tidak ada gunanya menyalahkan
NEET dan memberitahu mereka supaya berhenti bersikap seperti anak kecil. Yang
paling penting adalah supaya masyarakat berubah dan lebih dekat dengan
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
1. Masalah NEET bukanlah masalah baru dalam masyarakat Jepang. Istilah
NEET ini pertama kali muncul di Inggris pada tahun 1990-an yang
ditujukan pada para pengangguran berusia antara 16-18 tahun yang tidak
mau bersosialisasi dalam negara Jepang. Munculnya NEET di Jepang serta
peningkatannya dari tahun ke tahun menimbulkan keresahan masyarakat.
Di Jepang yang masuk dalam klasifikasi NEET adalah orang-orang pada
usia 15-34 tahun yang tidak bekerja, tidak berperan dalam rumah tangga,
tidak terdaftar di sekolah atau pelatihan kerja. Pertumbuhan ekonomi yang
lemah di Jepang pun termasuk salah satu pengaruh berkembangnya NEET
di Jepang. Masalah NEET ini awalnya dianggap sebagai masalah keluarga
dan pribadi masing-masing sehingga semakin banyak jenis-jenis NEET
yang berkembang di masyarakat yaitu yankee kata, hikikomori kata,
tachisukumu kata, dan tsumazuki kata. Yang dimana jenis-jenis itu
memiliki dampak yang berbeda-beda akibat dari penyebab yang berbeda
pula.
2. Masalah sosial seperti NEET ini menimbulkan beberapa dampak terhadap
NEET itu sendiri, keluarga, masyarakat dan pemerintah. Dampak terhadap
diri mereka sendiri yaitu, mereka tersisihkan dari lingkungan sosial,
menjadi tidak mandiri karena selama hidupnya bergantung dengan
keluarga yaitu NEET yang tinggal bersama orangtua akan ketergantungan
secara permanen bahkan ketika NEET berusia sekitar 40 tahun mereka
akan hidup dari pensiun orangtuanya. Bagi masyarakat keberadaan NEET
dianggap sebagai kumpulan orang yang tidak hanya dapat membahayakan
stabilitas negara, tetapi juga merusak tatanan masyarakat Jepang yang
tertata rapi karena perilaku dan gaya hidupnya tidak sesuai dengan
norma-norma dan nilai-nilai yang dipegang teguh oleh masyarakat Jepang.
Kemudian bagi pemerintah sendiri tentu menjadi beban dan semakin
menambah masalah yang harus segera mereka atasi. Berbagai cara
dilakukan untuk mengatasi para NEET ini. Sebagian masayarakat yang
peduli terhadap NEET dapat mendidik seorang NEET dalam pendidikan
informal baik di lingkungan masyarakat maupun keluarga yaitu Personal
Skills Education, Social Skills Education, Environmental Skills,dan
Vocational/Occupational Skills Education. Pemerintah juga
mengalokasikan dana yang diambil dari pajak masyarakat dengan jumlah
yang cukup besar untuk membangun organisasi-organisasi dan
lembaga-lembaga pelatihan bagi NEET yang diharapkan dapat mengurangi jumlah
NEET. Serta diberikan pengarahan, konseling,dan pengenalan dunia kerja
bahkan mereka juga ditawarkan job training yang diharapkan bisa
menumbuhkan rasa percaya diri mereka untuk terjun ke dunia kerja
4.2 Saran
1. Bagi masyarakat Jepang yang merasa kesulitan seperti masalah sosial dan
sebagainya, sebaiknya jangan langsung memutuskan untuk menjadi NEET.
Berusaha terlebih dahulu untuk mencari solusi dari masalah yang dihadapi
seperti mencari teman baru di luar rumah, jangan mudah putus asa
terhadap keadaan, jangan terburu-buru untuk memutuskan tidak bergaul
dan tidak bersosialisasi seakan asyik dengan dunia sendiri.
2. Untuk orangtua yang membiarkan anaknya tinggal bersama dengan mereka
sebaiknya mengajak anak mereka untuk mencari pekerjaan diluar rumah
dan lebih bersosialisasi lagi terhadap lingkunngan.
3. Bagi masyarakat lainnya jangan memandang sebelah mata para NEET ini
karena tidak ada gunanya menyalahkan NEET dan memberitahu mereka
supaya berhenti bersikap seperti anak kecil, sebaliknya supaya masyarakat
berubah dan lebih dekat dengan anak-anak muda ini.
4. Pemerintah juga harus sekuat tenaga untuk mengurangi jumlah NEET yang
BAB II
TINJAUAN UMUM TERHADAP FENOMENA NEET DI MASYARAKAT
JEPANG
2.1. Struktur Penduduk Jepang
Komposisi penduduk adalah dimana suatu negara yang mempunyai
wilayah yang luas dan memiliki banyak penduduk di dalam suatu negara tersebut,
dari banyaknya penduduk tersebut akan dikelompokkan berdasarkan kriteria
tertentu. Biasanya dalam pengelompokkan itu kriteria yang di ambil kebanyakan
adalah umur, jenis kelamin, mata pencaharian dan tempat tinggal.Semua itu di
kelompokkan agar tidak terjadi masalah-masalah sepele yang timbul.
Struktur penduduk terdiri dari 3 jenis, yaitu :
1. Piramida Penduduk Muda:Suatu wilayah yang memiliki angka kelahiran
yang tinggi dan angka kematian yang rendah sehingga daerah ini mengalami
pertumbuhan penduduk yang cepat. Piramida ini dicirikan sebagian besar
penduduk masuk dalam kelompok umur muda. Contohnya adalah
negara-negara yang sedang berkembang, misalnya Indonesia, Malaysia, Filipina,
2. Piramida Stationer: Bentuk piramida ini menggambarkan keadaan
penduduk yang tetap (statis) sebab tingkat kematian rendah dan tingkat
kelahiran tidak begitu tinggi. Piramida penduduk yang berbentuk system
ini terdapat pada negara-negara yang maju seperti Swedia, Belanda dan
Skandinavia. (2013:mynameisridwan.wordpress.com)
3. Piramida Penduduk Tua: Suatu wilayah memiliki angka kelahiran yang
menurun dengan cepat dan tingkat kematian yang rendah. Piramida ini
juga dicirikan dengan jumlah kelompok umur muda lebih sedikit
dibanding kelompok umur tua. Apabila angka kelahiran jenis kelamin pria
besar, maka suatu Negara bisa kekurangan penduduk Contohnya adalah
negara-negara yang sudah maju, misalnya Amerika Serikat, Inggris dan
Perubahan komposisi penduduk yang terjadi di Jepang seperti lebih
disebabkan oleh penurunan angka fertilitas secara drastis bukan pada
meningkatnya angka kematian. Di antara negara-negara maju, Jepang merupakan
negara yang angka fertilitas totalnya sangat rendah. Rendahnya angka fertilitas
Jepang disebabkan karena meningkatnya jumlah orang yang tidak bekerja, belum
menikah, dan meningkatnya usia pernikahan pertama serta meningkatnya usia
melahirkan. Masalah Jepang tentang komposisi penduduk yang tidak seimbang ini
tentu menimbulkan permasalahan lain yang tidak mudah dihadapi Jepang di masa
yang akan datang. Masalah biaya kesehatan dan dana pensiun juga dapat berimbas
bagi perekonomian Jepang. Pemerintah hingga saat ini sedang kesusahan
mengatasi hal tersebut. Tidak adanya regenerasi menimbulkan berkurangnya para
pemuda yang seharusnya menjadi generasi harapan bangsa sekaligus
menyusutnya jumlah usia produktif yang mampu menyumbang pajak bagi negara.
Selain itu, di Jepang banyak ditemui pemandangan dimana orang tua
bekerja di masa pensiunnya. Selain demi menyukseskan program pemerintah, bagi
mereka, bekerja supaya tidak menjadi beban bagi orang lain. Menjadi petugas
kebersihan; pelayan loket karcis; petugas keamanan; menyeberangkan jalan; sopir
taksi.Maka, tidak perlu heran jika pekerjaan pelayanan publik di Jepang rata-rata
diisi oleh para lansia.
Rasio Ketergantungan
Rasio Ketergantungan (Dependency Ratio) adalah perbandingan antara
jumlah penduduk berumur 0-14 tahun, ditambah dengan jumlah penduduk 65
1. Rasio Ketergantungan Muda adalah perbandingan jumlah penduduk umur
0-14 tahun dengan jumlah penduduk umur 15 – 64 tahun.
2. Rasio Ketergantungan Tua adalah perbandingan jumlah penduduk umur
65 tahun ke atas dengan jumlah penduduk di usia 15-64 tahun.
Grafik 1 Perkiraan Angka Jumlah Penduduk di Jepang Hingga Tahun
2050
Sumber
Rasio ketergantungan (dependency ratio) dapat digunakan sebagai
indikator yang secara kasar dapat menunjukkan keadaan ekonomi suatu negara
apakah tergolong negara maju atau negara yang sedang berkembang. Dependency
ratio merupakan salah satu indikator demografi yang penting.Semakin tingginya
persentase dependency ratio menunjukkan semakin tingginya beban yang harus
ditanggung penduduk yang produktif untuk membiayai hidup penduduk yang
belum produktif dan tidak produktif lagi.Sedangkan persentase dependency
ditanggung penduduk yang produktif untuk membiayai penduduk yang belum
produktif dan tidak produktif lagi.Tingkat kelahiran dan kematian di Jepang sejak
tahun 1950 mulai mengalami perubahan. Tingkat kelahiran turun drastis pada
tahun 1966 yang bertepatan pada tahun kuda api pada zodiak cina. Anak
perempuan yang lahir pada tahun itu menurut takhayul dipercaya membawa nasib
buruk.
Grafik 2 Jumlah Populasi Perempuan dan Laki-Laki di Jepang Tahun 2000-
2012
Grafik 3 Jumlah Angka Pertumbuhan di Jepang Tahun 1950 – 2008
Sumber:http://id.wikipedia.org/wiki/demografi Jepang
1. Birth rates data 1950-2004:
and Sex Ratio of Live Birth (1872--2004)
2. Death rates data 1950-2004:
Rate by Sex and Sex Ratio of Death (1872--2004)
Grafik 4 Angka Kelahiran dan Kematian di Jepang
Sumber
Laporan Koresponden Tribunnews.com di TRIBUNNEWS.COM, TOKYO
Jumlah pe
tahun lalu, sehingga menjadi hanya 126.434.964 jiwa saja. Penurunan ini terjadi
selaman lima tahun berturut-turut dan bahkan sejak 2009 menurun terus hingga
kini. Demikian diungkapkan kementerian dalam negeri
Penurunan jumlah penduduk rata-rata 10 persen di berbagai daerah.
Namun khusus
(MIAC), Rabu
(25/6/2014).
di
Jumlah yang meninggal tahun lalu mencapai 1.267.838 jiwa berdasarkan
survei per 1 Januari 2014. Jumlah tersebut meningkat 955 orang dibandingkan
tahun 2013. Jumlah yang meninggal bertambah terus, tujuh tahun berturut-turut.
Sementara yang lahir malah semakin berkurang juga. Kini hanya 237.450
bayi lahir per tahun.Jumlah populasi usia 65 tahun tinggi sekali mencapai 24,98
persen dari jumlah populasi. Usia muda dan pekerja antara 15 sampai 64 tahun
menunjukkan terus pengurangan selama 14 tahun terakhir ini dan kini hanya
mencapai 61,98 persen.
Umumnya penduduk
Kansai, jumlahnya 50,93 persen. Khusus yang berdomisilimeningkat
0,24 persen, sedangkan di wilayah lain jumlah penghuninya menurun.Penurunan
jumlah penduduk di daerah, masing-masing sebagai berikut: di Aomori dan Akita
(berurut, menurun 1,23 persen dan 1,02 persen). Di Yamagata (menurun 0,96
persen). Paling parah (level perkotaan) paling banyak penurunan di Kota Yubari
Hokkaido, menurun 4,02 persen. Kota Yubari adalah kota yang memiliki buah
melon paling enak dan paling mahal di dunia.Untuk level pedesaan, khususnya
Desa Onagawa di perfektur Miyagi, menurun 6,64 persen.Demikian pula untuk
perfektur Nara khususnya Desa Nosegawa menurun cukup besar mencapai 6,26
Angka kelahiran di Jepang merosot pada 2014, berdasarkan catatan Kementerian Kesehatan dengan hanya 1.001.000 bayi lahir pada 2014 atau lebih rendah 9.000 dibandingkan 2013.
“Penurunan ini adalah yang keempat kalinya dalam empat tahun dan
terjadi di tengah meningkatnya angka kematian.
Sejumlah pihak mengatakan bahwa pada 2050 populasi Jepang hanya akan
mencapai 97 juta atau 30 juta lebih sedikit dari sekarang.
Para pakar memperingatkan dampak penurunan angka kelahiran ini akan
merugikan Jepang dalam banyak aspek.
Menurunnya jumlah populasi berusia 15-65 diprediksi akan menurunkan
tingkat pertumbuhan dan pendapatan perkapita Jepang.
Penurunan jumlah anak-anak ini tidak bisa dihindari karena "jumlah
wanita dengan usia reproduksi juga menurun", kata seorang pejabat di
Kementerian Kesehatan yang dikutip oleh Kyodo News.
Pada bulan April data pemerintah menunjukkan populasi Jepang menyusut
selama tiga tahun, dengan jumlah orang tua yang terdiri dari 25%.
Pemerintah memperingatkan bahwa proporsi orang berusia 65 atau lebih
Penurunan populasi disebabkan oleh berbagai alasan, diantaranya:
1. Meningkatnya biaya melahirkan dan membesarkan anak.
2. Meningkatnya jumlah wanita karir.
3. Menunda untuk menikah.
4. Meningkatnya jumlah orang yang belum menikah.
5. Perubahan lingkungan masyarakat dan sosial.
2.2 Latar Belakang dan Perkembangan NEET
Masalah NEET bukanlah masalah baru dalam masyarakat Jepang. NEET
merupakan singkatan dari Not in Education, Employment, or Training. Dimana
istilah muncul pertama kali di Inggris pada tahun 90-an yang ditujukan untuk para
pengangguran berusia antara 16-18 tahun yang tidak mau bersosialisasi dalam
negara Jepang. NEET ini berbeda dengan freeter (istilah untuk pengangguran
yang sedang berusaha untuk mencari pekerjaan tetap). Istilah ini belakangan
menyebar ke berbagai negar maju lainnya termasuk untuk mencari pekerjaan
tetap) atau ronin (bekas pegawai pemerintahan yang sedang menganggur), karena
orang-orang yang tergolong NEET sama sekali tidak mempunyai hasrat untuk
Tabel 1 Jumlah NEET Menurut Beberapa Lembaga Survey di Jepang
Sumber
2.2.1 Sejarah NEET di Jepang
Istilah NEETini pada awalnya dipakai di Inggris pada tahun 1997.NEET mulai
muncul di Jepang pada tahun 1997, bertepatan dengan krisis moneter.Pada tahun
mulai munculnya NEET di Inggris, negara tersebut sejak awal langsung
menyadari masalah tersebut sebagai masalah negara. Sedangkan di Jepang,
walaupun fenomena NEET sudah ada sejak awal 1990, masalah NEET awalnya
dianggap sebagai masalah keluarga dan pribadi masing-masing. Munculnya NEET
di Jepang serta peningkatannya dari tahun ke tahun tentunya menimbulkan
keresahan masyarakat. Di Jepang para NEET dikenal juga sebagai
mugyousha(orang yang tidak bekerja atau pengangguran). Ironisnya bila NEET
dinegara lain banyak terjadi di kalangan tidak mampu, justru NEET di Jepang
2.2.2 Perkembangan NEET di Jepang
Sedangkan di Jepang, walaupun fenomena NEET sudah ada sejak awal
1990, masalah NEET awalnya dianggap sebagai masalah keluarga dan pribadi
masing-masing.NEET mulai muncul di Jepang pada tahun 1997, bertepatan
dengan krisis moneter. Di Jepang, yang masuk dalam klasifikasi NEET adalah
orang-orang pada usia 15-34 tahun yang tidak bekerja, tidak berperan dalam
rumah tangga, tidak terdaftar di sekolah atau pelatihan kerja. NEET di Jepang
tahun 1997 sebanyak 80.000 jiwa sehinnga tahun 2000 mencapai 400.000 jiwa
dan selama 3 tahun naik lima kali lipat. Tahun 2000, orang-orang yang tidak
bekerja semakin bertambah dan bahkan banyak yang meninggalkan sekolah,
akhirnya muncullah NEET.
Kemudian pada Tahun 2003 ketika presentasi NEET di Jepang semakin
meningkat, masyarakat Jepang pada akhirnya menilai NEET sebagai sebuah
masalah yang dapat mengancam perekonomian negara. Hingga tahun 2004, NEET
tercatat berjumlah 640.000 orang berdasarkan Dokumen Putih Buruh dan
Sumber:http://www.news.bbc.co.uk/2/hi/asia-pacific/3701748.stm
Pertumbuhan ekonomi yang lemah (Low Growth) di Jepang pun termasuk
salah satu pengaruh berkembangnya NEET di Jepang sehingga terjadi kebuntuan
pasar tenaga kerja (Clogged Labor Markets) yang terjadi di Jepang. Kebutuhan
tenaga kerja yang berkualitas sangat diutamakan dalam prosedur penerimaan
tenaga kerja di Jepang oleh karena itu pendidikan sangat dipertimbangkan.Tetapi
disini berbanding terbalik dikarenakan ketidak sesuaian lulusan sekolah atau
perguruan tinggi yang dibutuhkan (Education Mismatch).Sehingga persaingan
semakin ketat yang berkualitas akan lebih unggul seiring dengan berkembangnya
ilmu pengetahuan dan teknologi akan muncul inovasi-inovasi yang membuat
proses produksi akan mengurangi jumlah tenaga kerja karena seluruh dunia akan
2.3 Jenis-Jenis NEET
2.3.1 Yankee Kata ( Tipe Parasit )
Yankee memiliki beberapa arti yang saling berkaitan, terutama digunakan
untuk orang dari
umum dipakai untuk menyebut orang dari Amerika Serikat. Di dalam negeri
Amerika Serikat, istilah Yankee dipakai untuk penduduk dari bagian timur laut
Amerika Serikat, atau secara spesifik dipakai untuk orang dari
menunjuk kepada keturunan-keturuna
sudah ketahuan bagaimana model NEET ini, NEET tipe yang selalu
mengutamakan bersenang-senang dengan teman-temanya daripada bekerja,
menghabiskan energi dan waktu demi hobi dan selalu mengantungkan diri pada
orangtuanya (parasit freeter). Dan NEET jenis ini lebih suka menghabiskan waktu
bersama teman-temannya dan tidak melanjutkan pendidikan setelah ia keluar dari
sekolah di tengah jalan.
Ciri-ciri Yankee:
1. Memiliki sifat berfoya-foya dan terkesan sok idealis.
2. Menolak nilai-nilai tradisional Jepang (seperti kesenioritasan, sistem kerja
keras seumur hidup dan tuntutan loyalitas terhadap perusahaan.
3. Menginginkan pekerjaan yang fleksibel, memberikan banyak waktu luang
dan memungkinkan mereka untuk memakai pakaian dan gaya rambut
Faktor penyebab Yankee :
1. Gaya hidup, yaitu gaya hidup pemalas, suka berfoya-foya dan
hanya fokus terhadap kesenangan.
2. Kurangnya kebebasan atau sistem kerja yang terlalu mengikat
dalam perusahaan. Dan beberapa kaum muda lebih memilih keluar
dari pekerjaan tetap untuk lebih memilih menjadi freeter agar bisa
menikmati kebebasan dalam hidup.
2.3.2 Hikikomori Kata ( Tipe Penyendiri dan Anti Sosial )
NEET dengan tipikal hikikimori lebih senang mengurung diri dikamar
sambil bermain game, nonton, menghabiskan waktunya dengan bermain internet
dan menarik diri dari pergaulan sosial lainnya daripada bekerja.NEET tipe ini
biasanya banyak mengalami kebosanan hidup.Banyak kasus yang mengatakan
tipeNEETseperti ini pada akhirnya memilih untuk bunuh diri.Menurut psikiate
usia 20-an akhir, berupa mengurung diri sendiri di dalam rumah sendiri dan tidak
ikut serta di dalam masyarakat selama enam bulan atau lebih, tetapi perilaku
tersebut tampaknya tidak berasal dari masalah psikologis lainnya sebagai sumber
utama. Kemudian The Japanese Ministry of Health, Labour and Welfare
mendefenisikan hikikomori sebagai seorang individu yang menolak meninggalkan
rumah orangtuanya dan mengasingkan diri dari anggota keluarga selama lebih
dari enam bulan
Kerja, dan Kesejahteraan Jepang, definisi hikikomori adalah orang yang menolak
terus menerus berada di dalam rumah untuk satu periode yang melebihi enam
bulan.
Pada tahun 1990-an, ketika fenomena ini belum dikenal luas, Tamaki Saito
dibanjiri permintaan tolong para orangtua yang ingin membantu anak-anak
mereka yang mengasingkan diri. Saat itu, kebanyakan pelakunya adalah anak
lelaki, berusia rata-rata 15 tahun, dari keluarga kelas menengah, menarik diri
dalam jangka waktu bulanan sampai tahunan. Pemicunya ada beragam.Bisa
karena nilai sekolah yang jelek atau patah hati. Atau tak kuat dan tak mampu
menanggung harapan serta tuntutan besar orang tua dan masyarakat.
1.
Ciri-ciri Hikikomori:
2.
Menghabiskan waktu sehari atau setiap hari hanya berada di dalam
rumah.
3. Kebanyakan berasal dari golongan berusia 20-29 tahun (ada pula
kasus dari orang berusia 40 tahunan).
Jumlah laki-laki hikikomori lebih banyak daripada perempuan.
4. Kebanyakan berasal dari orang tua berpendidikan perguruan tinggi.
5.
6.
Secara jelas menghindari situasi sosial.
7.
Terganggu kegiatannya misal pekerjaan/sekolah,hubungan sosial,
hubungan sesama manusia.
8.
9.
Lamanya mengurung diri sedikitnya 6 bulan.
Alasan penyebab terjadinya hikikomori:
Tidak ada gangguan mental yang menyebabkannya anti sosial.
1. Banyak masalah yang ada di sekolah, tempat kerja dan sebagainya.
Biasanya berkaitan dengan ijime (bully) baik itu penganiayaan
secara tindakan maupun melalui ucapan. Hal ini yang paling
banyak ditemukan di kehidupan sehari-hari.
2. Tidak selarasnya hubungan antara orangtua yang terkadang
menyebabkan tindak kekerasan pada anak. Banyak nya
permasalahan seperti ini korban menjadi depresi dan berbagai
macam perasaan negatif yang melanda dirinya yang terkadang
menyebabkan trauma sehingga korban mengambil tindakan
mengambil keputusan untuk menjadi hikikomori.
3. Dengan kecanggihan teknologi sekarang ini, merupakan penyebab
juga semakin maraknya hikikomori terutama kemudahan dalam
mengakses internet, telah menyebabkan banyak remaja mengalami
ketergantungan teknologi yang sangat meluas. Semua aktivitas
pertemanan dilakukan di dunia maya. Bahkan untuk berbelanja pun
dilakukan secara online. Memang dengan kecanggihan teknologi
sekarang semua menjadi serba instan, tanpa bepergian pun
Menurut penelitian yang dilakukan
penduduk hikikomori di Jepang pada tahun 2005 mencapai lebih dari 1,6 juta
orang. Bila penduduk semi-hikikomori (orang jarang keluar rumah) ikut dihitung,
maka semuanya berjumlah lebih dari 3 juta orang. Total perhitungan NHK hampir
sama dengan perkiraan Zenkoku Hikikomori KHJ Oya no Kai sebanyak
1.636.000 orang.
Menurut survei
1,2% penduduk Jepang pernah mengalami hikikomori: 2,4% di antara penduduk
berusia 20 tahunan pernah sekali mengalamihikikomori (1 di antara 40).
Dibandingkan perempuan, laki-laki hikikomori jumlahnya empat kali lipat.Satu di
antara 20 anggota keluarga yang orang tuanya berpendidikan perguruan tinggi
pernah mengalami hikikomori. Tidak ada hubungannya antara keluarga
berkecukupan atau tidak berkecukupan secara ekonomi.
2.3.3 Tachisukumu Kata ( Tipe Ragu-ragu)
Jenis ini merupakan orang-orang yang disebut NEET yang kehidupannya
tidak mengalami kemajuan karena ia tidak dapat menentukan pekerjaan dan jalur
karir yang cocok bagi dirinya. Pada awalnya mereka berusaha mengejar cita-cita
mereka, namun akhirnya terjebak dalam situasi yang tidak menguntungkan bagi
dirinya. NEET dengan tipikal Tachisukumu merupakan tipe anak muda yang
sudah lulus perguruan tinggi, tapi masih bingung memutuskan masa depannya.
Mereka ragu-ragu memilih bekerja atau melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi
tahu memutuskan apa yang akan dia lakukan dengan masa depannya serta
termasuk bagi seseorang yang pernah gagal dalam hidup seperti bisnis bangkrut
atau membuat usaha tapi gagal,sehingga mereka takut mencoba lagi.
2.3.4 Tsumazuki Kata ( Tipe Gagal )
Jenis ini ditujukan kepada NEET yang sudah pernah mengalami kegagalan
dalam hidup (yang sudah pernah bekerja sebelumya), dalam hal ini seperti bisnis
yang bangkrut atau usaha-usaha lainnya yang pada akhirnya gagal dan sejak saat
itu trauma sehingga tidak memiliki keinginan untuk bekerja kembali dan takut
untuk mencoba bangkit kembali dari keterpurukan (mendapat pekerjaan) karena
tidak punya rasa kepercayaan diri lagi. Tipe yang setiap mencari pekerjaan
mendapat kegagalan dan tidak bisa bersaing. Kegagalan yang pernah dialami
orang tersebut mulai dari diberhentikan dari pekerjaan, ditolak orang yang
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Manusia dan kebudayaan merupakan salah satu ikatan yang
tidak biasadipisahkan dalam kehidupan ini. Manusia sebagai makhluk Tuhan
yang paling sempurna menciptakan kebudayaan mereka sendiri dan
melestarikannya secara turun menurun.Budaya tercipta dari kegiatan sehari hari
dan juga dari kejadian – kejadian yang sudah diatur oleh Yang Maha Kuasa.
Menurut Ienaga Saburo dalam Situmorang (2009 : 2-3 )kebudayaan dalam
arti luas dan arti sempit. Dalam arti luas adalah seluruh cara hidup manusia
(ningen no seikatsu no itonami kata).Kebudayaan ialah keseluruhan hal yang
bukan alamiah. Sedangkan dalam arti sempit kebudayaan adalah terdiri dari ilmu
pengetahuan, sistem kepercayaan dan seni. Oleh karena itu kebudayaan dalam
arti luas ialah segala sesuatu yang bersifat konkrit yang diolah manusia untuk
memenuhi kebutuhannya.Sedangkan kebudayaan dalam arti sempit ialah sama
dengan budaya yang berisikan sesuatu yang tidak kentara atau bersifat semiotik.
Dari kebudayaan yang mamadukan ilmu pengetahuan, sistem kepercayaan
dan seni lahirlah kejadian-kejadian baru di kalangan masyarakat yang disebut
dengan fenomena.
Pada dasarnya fenomenologi adalah suatu tradisi pengkajian yang
oleh Little John bahwa fenomenologi adalah suatu tradisi untuk mengeksplorasi
pengalaman manusia.
Dalam konteks ini ada asumsi bahwa manusia aktif memahami dunia
disekelilingnya sebagai sebuah pengalaman hidupnya dan aktif
menginterpretasikan pengalaman tersebut. Asumsi pokok fenomenologi adalah
manusia secara aktif menginterpretasikan pengalamannya dengan memberikan
makna atas sesuatu yang dialaminya. Oleh karena itu interpretasi merupakan
proses aktif untuk memberikan makna atas sesuatu yang dialami manusia. Dengan
kata lain pemahaman adalah suatu tindakan kreatif, yakni tindakan menuju
pemaknaan. Fenomenologi menjelaskan fenomena perilaku manusia yang dialami
dalam kesadaran. Fenomenologi mencari pemahaman seseorang dalam
membangun makna dan konsep yang bersifat intersubjektif. Oleh karena itu,
penelitian fenomenologi harus berupaya untuk menjelaskan makna dan
pengalaman hidup sejumlah orang tentang suatu konsep atau gejala. Natanson
menggunakan istilah fenomenologi merujuk kepada semua pandangan sosial yang
menempatkan kesadaran manusia dan makna subjektifnya sebagai focus untuk
memahami tindakan sosial
Sejak dahulu Jepang dikenal oleh seluruh negara sebagai negara yang
memiliki reputasi yang baik dalam mendorong anak-anak mudanya agar dengan
lancar dapat berpindah dari dunia sekolah ke dunia kerja.
Sekolah di Jepang menerapkan program Shuusoku Assen (就 職)yaitu
berikutnya untuk menjalani aktivitas pencarian kerja, sehingga pada saat mereka
lulus mereka telah mendapatkan pekerjaan tetap. Jepang juga menggunakan
sistem Shinki Gakusotsu Shuusoku – Saiyou, dimana setiap tahun perusahaan-
perusahaan membuka lowongan pekerjaan untuk mereka yang baru saja lulus.
Dalam masyarakat Jepang, ada suatu perasaan terkungkung dan rasa cemas
yang samar-samar, atau rasa tidak percaya terhadap masa depan sebagai akibat
kehancuran apa yang disebut bubble economy atau ekonomi gelembung. Akan
tetapi terjadinya bubble economy (ekonomi gelembung) serta munculnya deflasi
di Jepang pada awal tahun 1990 mengakibatkan jumlah perusahaan yang bersedia
mempekerjakan anak muda yang baru saja lulus menurun secara drastis.
Khususnya persentase jumlah tawaran kerja yang diberikan kepada anak muda
yang dalam waktu dekat akan lulus, turun hingga seperdelapan dari sebelumnya.
Tingkat pengangguran pun meningkat, terutama pada anak muda laki-laki berusia
15-34 tahun.Pengangguran di Jepang pada waktu itu terbagi menjadi dua, yaitu
orang yang tidak bekerja tetapi sedang mencari kerja atau Shitsugyousha (失業者
Sebutan NEET pertama kali muncul di Inggris pada Tahun 1997. Pada
tahun mulai munculnya NEET di Inggris, negara tersebut sejak awal langsung )
dan orang yang tidak bekerja dan tidak mencari kerja atau Hiroudouryoku (非労
動力).Sebagian besar merupakan pelajar atau mahasiswa, dan ibu rumah
tangga.Namun akhir-akhir ini Hiroudouryoku yang tidak termasuk dalam
keduanya meningkat pesat. Orang-orang yang termasuk dalam kategori terakhir
tersebut pada akhirnya disebut NEET ( Not in Education, Employment or
menyadari masalah tersebut sebagai masalah negara. Sedangkan di Jepang,
walaupun fenomena NEET sudah ada sejak awal 1990, masalah NEET awalnya
dianggap sebagai masalah keluarga dan pribadi masing-masing. Kemudian pada
Tahun 2003 ketika presentasi NEET di Jepang semakin meningkat, masyarakat
Jepang pada akhirnya menilai NEET sebagai sebuah masalah yang dapat
mengancam perekonomian negara. Hingga tahun 2004, NEET tercatat berjumlah
640.000 orang berdasarkan Dokumen Putih Buruh dan Ekonomi (Roudou Keizai
Hakusho).
Munculnya NEET di Jepang serta peningkatannya dari tahun ke tahun
tentunya menimbulkan keresahan masyarakat. Kenyataan bahwa NEET terdiri
dari orang-orang yang tidak bersekolah, tidak bekerja, tidak pula berusaha
mencari pekerjaan, dan bahkan secara tidak langsung menggunakan pajak
masyarakat, membuat NEET dipandang rendah oleh masyarakat, dan menjadi
sebuah fenomena yang meresahkan masyarakat. NEET dianggap sebagai
kumpulan orang yang tidak hanya dapat membahayakan stabilitas negara, tetapi
juga merusak tatanan masyarakat Jepang yang tertata rapi, karena perilaku dan
gaya hidupnya yang tidak sesuai dengan norma-norma dan nilai-nilai yang
dipegang teguh oleh masyarakat Jepang. (Nouki Futagami, 2005:12). Suatu fakta
menunjukkan bahwa masyarakat Jepang dewasa ini telah kehilangan
batasan-batasan masyarakat, yang dahulu merupakan suatu keterpaksaan, sebelum adanya
pertumbuhan ekonomi yang cepat. Moralitas masyarakat saat ini merupakan hasil
perubahan rasa penilaian yang selalu menekankan pada keuntungan ekonomi
daripada kelayakan sosial. Dengan kata lain, masyarakat Jepang saat ini telah
perilaku yang tak bermoral. Karena kurangnya batasan masyarakat dan moralitas
sosial, masyarakat cenderung berperilaku bebas dan tidak peduli terhadap orang
lain. Kurangnya batasan masyarakat dan moralitas sosial ini dapat diamati secara
nyata di daerah urban dan dengan sedikit perbedaan, di daerah semi urban. Hanya
di daerah pedesaan, yang orang mudanya telah pindah ke kota untuk mencari
pekerjaan, sehingga akibatnya orang-orang tua hidup sendiri dengan
komunitasnya, batasan ini masih sangat kuat. Janti dalam Manabu (2006:181),
mengatakan ”Orang-orang tua di daerah menderita akibat fenomena yang
disebutkasoka (kekurangan penduduk), yang dimulai sejak dimulainya
pertumbuhan ekonomi yang sangat cepat”.
Berdasarkan uraian diatas, penulis merasa tertarik untuk menganalisis
tentang Fenomena NEET dewasa ini yang mempengaruhi kehidupan masyarakat
Jepang. Penulis mencoba menuangkannya dalam skripsi yang diberi judul
“ Fenomena NEET ( Not in Education, Employment or Training) Pada
Masyarakat Jepang”
1.2 Perumusan Masalah
Di Jepang para NEET dikenal juga sebagai mugyousha (orang yang tidak
bekerja atau pengangguran). Ironisnya bila NEET dinegara lain banyak terjadi di
kalangan tidak mampu, justru NEET di Jepang terjadi pada kalangan orang yang
NEET ini berbeda dengan freeter (istilah untuk pengangguran yang
sedangberusaha untuk mencari pekerjaan tetap) atau ronin (bekas pegawai
pemerintah yang sedang menganggur), karena orang-orang yang tergolong
sebagai NEETsama sekali tidak punya hasrat untuk bekerja. NEET mulai muncul
di Jepang pada tahun 1997, bertepatan dengan krisis moneter.
Saat itu ada sekitar 80 ribu anak muda yang sudah lulus sekolah namun
memilih untuk menganggur tanpa melanjutkan kuliah atau mencari pekerjaan,
padahal saat itu lapangan pekerjaan masih terbuka luas dan persaingan belum
seketat sekarang ini.
Pada tahun 2000 angka itu mengalami peningkatan lima kali lipat menjadi
400 ribu orang. Tahun 2003, jumlah populasi NEET di Jepang sudah mencapai
520 ribu orang danjumlah itu mengalami kelipatan pada tahun 2010.
Meningkatnya jumlah NEET ini menjadi masalah serius
Berdasarkan keterangan di atas maka timbul beberapa pertanyaan antar
lain :
yang dibahas di
pemerintahan Jepang, mengingat hal ini berdampak besar bagi perkembangan
ekonomi dan sosial negara itu di masa mendatang.
1. Bagaimana proses terjadinya NEET di Jepang ?
2. Bagaimana dampak yang ditimbulkan oleh NEET terhadap kehidupan
1.3 Ruang Lingkup Pembahasan
Dalam setiap penelitian diperlukan adanya pembatasan masalah agar
pembahasan tidak terlalu melebar sehingga menyulitkan pembaca untuk
memahami pokok permasalahan yang dibahas. Dalam penulisan skripsi ini penulis
membatasi permasalahannya hanya menjelaskan fenomena NEET pada
masyarakat Jepang khususnya bagaimana latar belakang, perkembangan, dampak
serta upaya yang dilakukan untuk menanggulangi masalah sosial ini.
Agar supaya pembahasan memiliki akurasi data yang jelas, maka penulis
pada bab II akan menjelaskan mengenai pengertian dan perkembangan, latar
belakang munculnya NEET di Jepang, serta jenis-jenis NEET .
1.4 Tinjauan Pustaka Dan Kerangka Teori
1.4.1 Tinjauan Pustaka
Sosiologi pada umumnya dikenal sebagai ilmu pengetahuan tentang
masyarakat. Masyarakat adalah sekelompok individu yang mempunyai hubungan,
memiliki kepentingan beersama, dan memiliki budaya. Sosiologi hendak
mempelajari masyarakat, perilaku masyarakat, dan perilaku sosial manusia
dengan mengamati perilaku kelompok yang dibangunnya. Sebagai sebuah ilmu,
sosiologi merupakan pengetahuan kemasyarakatan yang tersusun dari hasil-hasil
pemikiran ilmiah dan dapat di control secara kritis oleh orang lain atau umum
melahirkan budaya baru dan menghasilkan fenomena. Dewasa ini dimana
aktivitas, teknologi dan kebudayaan yang masuk menimbulkan berbagai macam
berkembangnya kehidupan masyarakat. Fenomena adalah rangkaian peristiwa
serta bentuk keadaan yang dapat diamati dan dinilai lewat kaca mata ilmiah atau
lewat disiplin ilmu tertentu. Fenomena terjadi di semua tempat yang bisa diamati
oleh manusia .
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, fenomena diartikan sebagai
hal-hal yang dinikmati oleh panca indra dan dapat ditinjau secara ilmiah ( Kamus
Besar Bahasa Indonesia : 1997 )
1.4.2. Kerangka Teori
Dalam pengerjaan penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan
penelitian fenomenologi. Fenomenologi berusaha mencari pemahaman bagaimana
manusia menkonstruksi makna dan konsep penting dalam kerangka
intersubjektivitas ( pemahaman kita mengenai dunia dibentuk oleh hubungan kita
dengan orang lain) ( Kuswarno, 2009 : 2 )
Penulis berpendapat menurut teori Fenomenologi ialah setiap manusia
membutuhkan saling berkomunikasi dan berhubungan dengan orang lain.
Kalau ditinjau lebih jauh, sebenarnya lingkungan keluarga dan tempat kerja
juga merupakan faktor pendukung yang menyebabkan sesorang menjadi NEET.
Di Jepang sering kali dijumpai orang tua yang terlalu memanjakan atau over
protected terhadap anaknya, sehingga anaknya menjadi terbiasa menggantungkan
hidup pada orangtuanya.
Penulis juga menggunakan pendekatan penelitian sosiologis, karena dalam
pendekatan ini mencakup golongan sosial yang berperan, jenis hubungan sosial,
sebagainya ( Dudung Abdurrahman, 1999:11). Menurut Weber dalam
Abdurrahman (1999:11) tujuan penelitian adalah memahami arti subjektif dan
perilaku sosial, bukan semata-mata menyelidiki arti objektifnya. Penulis
menggunakan pendekatan ini adalah untuk mengetahui latar belakang, kehidupan
serta dampak NEET terhadap masyarakat Jepang.
Didalam kehidupan masyarakat dimanapun juga, keluarga merupakan unit
yang mempunyai peranan yang sangat besar, itu disebabkan karena keluarga
(yakni keluarga batih), mempunyai fungsi yang sangat penting dalam kehidupan
bermasyarakat. Sebagai unit terkecil dalam masyarakat, keluarga mempunyai
peranan-peranan tertentu, antaralain:
1. Keluarga berperan sebagai pelindung bagi pribadi-pribadi yang menjadi
anggota, dimana ketentraman dan ketertiban diperoleh dalam wadah
tersebut.
2. Keluarga merupakan unit sosial ekonomis yang secara materil memenuhi
kebutuhan-kebutuhan anggotanya.
3. Keluarga menumbuhkan dasar-dasar bagi kaidah-kaidah pergaulan hidup.
4. Keluarga merupakan wadah dimana manusia mengalami proses
sosialisasi awal, yakni suatu proses dimana manusia mempelajari dan
mematuhi kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.
Gambaran situasi kehidupan keluarga pada umumnya mencakup berbagai
macam aspekyang menjadi hal-hal pokok dalam kehidupan keluarga adalah pola
hubungan dalam keluarga, dan faktor-faktor eksternal (faktor-faktor yang berasal