• Tidak ada hasil yang ditemukan

Fenomena Neet (Not In Education, Employment, Or Training) Pada Masyarakat Jepang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Fenomena Neet (Not In Education, Employment, Or Training) Pada Masyarakat Jepang"

Copied!
74
0
0

Teks penuh

(1)

FENOMENA NEET (Not in Education, Employment, or Training)

PADA MASYARAKAT JEPANG

Judul penelitian ini adalah fenomena NEET (Not in Education,

Employment, or Training) di masyarakat Jepang. Masalah yang dibahas dalam

penelitian ini adalah seperti apa NEET yang terjadi di masyarakat Jepang dan

bagaimana upaya dalam mencegah dampak masalah NEET dalam masyarakat

Jepang.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengertian NEET dan

jenis-jenis NEET tersebut. Adapun tujuan lain dari skripsi ini adalah untuk

mengetahui dampak yang ditimbulkan NEET terhadap kehidupan sosial

masyarakat di Jepang dan upaya penanganan NEET.

NEET adalah singkatan dari Not in Education, Employment, or Training)

yang berarti masyarakat yang tergolong sebagai orang yang tidak memiliki

pekerjaan, tidak menikah, tidak terikat studi atau pekerjaan rumah tangga. NEET

juga dikenal sebagai mugyousha (orang yang tidak bekerja atau pengangguran)

yang tentunya parasit bagi oranglain karena ketidakmauannya untuk belajar,

bekerja, ataupun berusaha sehingga mereka digolongkan sebagai sampah

masyarakat. NEET di Jepang terjadi pada kalangan orang yang ekonomi

keluarganya mapan.

Alasan mengapa masyarakat Jepang lebih memilih menjadi seorang NEET

karena di Jepang sering di jumpai orangtua yang terlalu memanjakan atau over

protected. Kemudian NEET juga yang tinggal bersama orangtua akan

ketergantungan secara permanen bahkan ketika NEET berusia sekitar 40 tahun

(2)

tidak merasa bahwa keadaannya tidak membuat keluarga merasa terbebani akan

dirinya. Alasan orangtua rela melakukan itu meskipun tahu bahwa mereka bukan

anak-anak lagi adalah karena mereka kaya sehingga mampu mendidik anak-anak

mereka sendiri. Alasan lainnya adalah karena kedua orangtua dan anak-anak

mereka berbagi cinta pasif atau amae.

Peningkatan NEET menimbulkan keresahan masyarakat. Hal itu

disebabkan karena upaya pemerintah mengalokasikan dana yang diambil dari

pajak masyarakat dengan jumlah yang cukup besar. Pemerintah mengalokasikan

dana untuk membangun organisasi-organisasi dan lembaga-lembaga pelatihan

bagi NEET.

Seorang NEET bisa dari kaum perempuan dan kaum laki-laki, namun

sebagian besar adalah laki-laki. Klasifikasi NEET adalah orang-orang pada usia

15-34 tahun yang tidak bekerja, tidak berperan dalam rumah tangga, tidak

terdaftar di sekolah atau pelatihan kerja. NEET dengan tipe parasit yang selalu

mengutamakan bersenang-senang dengan teman-temannya daripada bekerja dan

menghabiskan energi dan waktu demi hobi dan selalu menggantungkan diri pada

orangtuanya disebut Yankee Kata . NEET dengan tipe penyendiri yang lebih

senang mengurung diri dikamar, menarik diri dari pergaulan sosial daripada

bekerja dan biasanya banyak mengalami kebosanan hidup yang pada akhirnya

memilih untuk bunuh diri disebut Hikikomori Kata. NEET dengan tipe ragu-ragu

yang kehidupannya tidak mengalami kemajuan karena tidak mengalami kemajuan

karena tidak dapat menentukan pekerjaan dan jalur karir yang cocok bagi dirinya

disebut Tachisukumu Kata. NEET dengan tipe gagal yang sudah pernah

(3)

keinginan untuk kembali bekerja dan takut untuk mencoba kembali karena tidak

punya rasa kepercayaan diri lagi disebut Tsumazuki Kata.

Dampak yang ditimbulkan oleh NEET adalah dampak diri sendiri,

keluarga, masyarakat, dan pemerintah. Dampak yang terjadi pada diri sendiri

adalah tersisihkan dari lingkungan sosial ini disebabkan oleh kebiasaan seorang

NEET yang tidak mau terbuka terhadap lingkungan sosial. Dampak yang terjadi

pada keluarga adalah seorang NEET yang tinggal bersama orangtua akan

ketergantungan secara permanen dan hidup dari pensiunan orangtuanya. Dampak

yang terjadi pada masyarakat adalah NEET yang dianggap sebagai kumpulan

orang yang tidak hanya dapat membahayakan stabilitas negara, tetapi juga

merusak tatanan masyarakat Jepang yang tertata rapi. Dampak yang terjadi pada

pemerintah adalah pemerintah Jepang mengimpor tenaga kerja asing untuk

bekerja di industri Jepang, sehingga tambahan pemasukan negara dari pajak

penghasilan.

Upaya penanganan masalah NEET ini adalah upaya dari masyarakat dan

upaya dari pemerintah. Upaya dari masyarakat adalah mendidik seorang NEET

dengan pendidikan informal di dalam masyarakat yang mencakup Personal Skills

Education, Social Skills Education, Environmental Skills dan

Vocational/Occupational Skills Education. Upaya dari pemerintah adalah

mengadakan program pelatihan khusus dan bekerja sama dengan perusahaan

pemerintah maupun swasta. Lewat program tersebut para NEET diberikan

pengarahan, konseling dan pengenalan dunia kerja bahkan mereka juga

ditawarkan job training yang diharapkan bisa menumbuhkan rasa percaya diri

(4)

要旨

日本社会

に ほ ん し ゃ か い

でのNEET (Not in Education, Employment, or Training)

本論文の主題は「日本社会でのNEET (Not in Education, Employment,

or Training)

Education, Employment, or Training」の

(5)
(6)
(7)

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Dudung. 1999. Metode Penelitian Sejarah. Jakarta: PT Logos

Wacana Ilmu

Azwar, Saifuddin. 1998. Metode Penelitian. Yogyakarta : Pustaka Pelajar

Husaini Usman & Purnomo Setiady Akbar. 1996 Metode Penelitian Sosial.

Jakarta: PT. Bumi Aksara

Kuswarno, Engkus. 2009. Fenomenologi ( Fenomena pengemis kota Bandung).

Bandung: Widya Padjajaran

Mayumi Negishi & Akemi Nakamura.2006. ”NEETs Get Career Help, But at a

Price”,The Japan Times

Nasution, M. Arif. 1996. Metode Penelitian. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Nouki Futagami. 2005.希 望 の 二 - ト ・ 現 場 か ら の メ ッ セ ー ジ, Tokyo: The

Japan Times

Reiko Kosugi. 2006. フリータートニート, Tokyo: The Japan Times

Saleha, Amaliatun. 2006. Parasite Single, Sebuah Fenomena Sosial Kontemporer

di Jepang. (Skripsi). Bandung: Universitas Padjajaran

Sayidiman Suryohadiprojo. 1982. Manusia dan Masyarakat Jepang Dalam

Perjuangan Hidup. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia dan Pustaka

Bradjaguna

(8)

Stephanie, Iswinda. 2010. Analisis Program Bantuan Pemerintah Terhadap

Menurunnya Jumlah Homeless di Jepang Tahun 2007. (Skripsi Sarjana).

Jakarta: Universitas Indonesia

William, Eleroy Curtis. 1896. The Yankees of The East, Sketches of Modern

Japan. New York

Waluya, Bagja. 2007. Sosiologi: Menyelami Fenomena Sosial di Masyarakat,

Bandung: PT. Setia Purna Inves

Sumber dari Internet

September 2015

tanggal 12 Desember 2015

(9)

12 Desember 2015

https://id.wikipedia.org/wiki/Fenomenologi diakses tanggal 29 September 2015

diakses tanggal 9 Desember 2015)

diakses tanggal 21 Desember 2015

http://www.academia.edu/12281332/FENOMENA_PARASITE_SINGLE_DI_JE

PANG diakses 29 September 2015

http://id.wikipedia.org/wiki/demografi Jepang diakses tanggal 21 Desember 2015

(10)

id.m.wikipedia.org/wiki/Jepang diakses tanggal 18 Desember 2015

id.m.wikipedia.org/wiki/Sejarah diakses tanggal 18 Desember 2015

(11)

BAB III

DAMPAK DAN PENANGANAN NEET DALAM KEHIDUPAN SOSIAL

MASYARAKAT JEPANG

3.1 Dampak NEET

Negara maju seperti Jepang juga tidak luput dari masalah sosial seperti

masalah NEET.Hal ini cukup menjadi perhatian bagi masyarakat maupun

pemerintah Jepang.Karena masalah NEET memiliki dampak terhadap NEET itu

sendiri, keluarga, masyarakat maupun pemerintah.Adapun dampak-dampak

tersebut adalah:

3.1.1 Diri Sendiri

Dampak yang terjadi pada diri seorang NEET antara lain:

1. Hidup Tersisihkan dari Lingkungan Sosial.

Kehidupan yang dijalankan para penderita NEET ini yang menjadikan

seseorang NEET tersebut dapat tersisihkan dari lingkungan sosial ini disebabkan

oleh kebiasaan seorang NEET yang tidak mau terbuka terhadap lingkungan sosial

dan bahkan ada yang sampai tidak peduli apa yang sedang berkembang di

lingkungan daerah tempat tinggal mereka sehingga masyarakat di lingkungan

(12)

2. Menjadi Tidak Mandiri (Ketergantungan) karena Selama

Hidupnya Bergantung Kepada Orangtua.

Keberadaan seorang NEET didalam lingkungan keluarga tidak begitu di

permasalahkan hal itu disebabkan karena orangtua keluarga dari seorang NEET

dapat menjaminin segala keperluan yang dibutuhkan dari penghasilan yang

diperoleh orangtua. Dan orangtua nya pun merasakan mampu mengatasi itu semua

sehingga seorang NEET itu akan selalu bergantung hidupnya kepada orangtua

mereka.

3. Dapat mengakibatkan gangguan mental.

Seseorang NEET tidak semuanya dapat menikmati kehidupan

sehari-harinya yang dimana selalu menghabiskan waktu dengan hal yang tidak berguna

dan bahkan tidak menemukan orang yang kehidupannya sama dengan dirinya

sehingga ada yang merasa bosan bahkan hampir putus asa karena didalam

kehidupannya tidak pernah ada kemajuan. Sehingga hal itu menjadi suatu masalah

bagi dirinya yang lama-kelamaan menjadi bahan beban pikiran NEET yang dapat

mengakibatkan gangguan psikologis bahkan gangguan mental.

Walaupun pada awalnya NEET masih berhubungan dan berinteraksi

dengan orang-orang selain keluarganya, tetapi karena teman-teman lainnya

bekerja, bersekolah, atau melakukan kegiatan lainnya lambat laun ia kehilangan

hubungan teman-teman dan orang-orang diluar lingkungan keluarganya. Pada

akhirnya NEET, menghabiskan sebagian besar waktunya di dalam kamar

rumahnya, bermain game atau menonton televisi, dan hampir tidak pernah

(13)

yang tidak mau menjalin, atau tidak mampu, menjalin relasi dengan oranglain.

Mengapa mereka tidak ingin, atau tidak mampu, menjalin relasi dengan

oranglain? Salah satu alasannya adalah karena mereka bisa hidup tanpa menjalin

hubungan pribadi dengan orang lain sebab mereka tergantung kepada orangtua

mereka, yang rela membantu dan melindungi mereka.

3.1.2 Keluarga

Keluarga merupakan tempat pertama kali anak dididik dan ditempah. Cara

pendidikan yang diterapkan oleh orang tua akan sangat berpengaruh pada

perkembangan anak di masa yang akan datang. Namun cara mendidik disini tidak

terlalu otoriter, tegas, permisif, maupun demokratis melainkan cara pendidikan

tersebut digunakan secara seimbang dan sesuai kebutuhan. Apabila orang tua

terlalu otoriter dan tegas maka anak dan remaja akan berusaha mencari – cari

celah utuk melakukan pemberontakan maupun perlawanan-perlawanan dalam

bentuk yang lain dari anak sebagai sikap protes atas tindakan orang tuanya.

Pekerjaan orang tua akan sangat berpengaruh kepada perkembangan remaja.

Orang tua yang sibuk untuk mencari nafkah di luar rumah dan kurang

memperhatikan perkembangan anaknya akan menyebabkan kurangnya perhatian

yang akan diterima oleh remaja tersebut . Kalau ditinjau lebih jauh, sebenarnya

lingkungan keluarga dan tempat kerja juga merupakan faktor pendukung yang

menyebabkan sesorang menjadi NEET. NEET yang tinggal bersama orangtua

akan ketergantungan secara permanen bahkan ketika NEET berusia sekitar 40

tahun mereka akan hidup dari pensiun orangtuanya. Di Jepang sering kali

(14)

anaknya, sehingga anaknya menjadi terbiasa menggantungkan hidup pada

orangtuanya. Sehingga si anak itu tersendiri tidak merasa bahwa keadaannya

sekarang tidak membuat keluarga merasa terbebani akan dirinya. Mengapa

orangtua rela melakukan itu, meskipun tahu bahwa mereka bukan kanak-kanak

lagi ? Alasannya adalah karena mereka kaya sehingga mampu mendidik

anak-anak mereka sendiri. Alasan lainnya adalah karena kedua orangtua dan anak-anak-anak-anak

mereka berbagi cinta pasif atau amae. Orang tua yang terlalu permisif maka

membuat sang anak akan berusaha mencari-cari perhatian dengan segala tingkah

lakunya yang sebagaian besar pada akhirnya baik disadari maupun tidak oleh

remaja mereka akan menjurus ke dalam penyimpangan sosial maupun ada yang

lebih parah ke dalam tindak kriminalitas.

Oleh karena itu , orangtua hendaknya dapat memberikan langkah konkret

yang dapat dilakukan oleh orang tua guna mencegah dan menangani masalah

NEET ini yaitu (1) kasih sayang, (2) kebebasan, (3) pergaulan anak, (4)

pengawasan pada media, (5) bimbingan, (6) pembelajaran agama, (7) dukungan

pada hobi, dan (8) orang tua sebaga tempat berkeluh kesah. Adapun penjelasan

lebih rinci dari peran orang tua tersebut adalah sebagai berikut.

(1) Pemberian kasih sayang dan perhatian dari orang tua dalam hal

apapun.

(2) Adanya pengawasan dari orang tua yang tidak mengekang. Contohnya:

orang tua boleh saja membiarkan dia melakukan apa saja yang masih sewajarnya,

dan apabila menurut pengawasan orang tua dia telah melewati batas yang

(15)

yang harus ditanggungnya bila dia terus melakukan hal yang sudah melewati batas

tersebut.

(3) Biarkanlah dia bergaul dengan teman yang sebaya, yang hanya beda

umur 2 atau 3 tahun baik lebih tua darinya. Karena apabila orang tua membiarkan

dia bergaul dengan teman main yang sangat tidak sebaya dengannya, yang gaya

hidupnya sudah pasti berbeda, maka dia pun bisa terbawa gaya hidup yang

mungkin seharusnya belum perlu dia jalani.

(4) Pengawasan yang perlu dan intensif terhadap media komunikasi seperti

tv, internet, radio, handphone, dll agar si anak tidak tergantung terhadap semua

hal itu.

(5) Perlunya bimbingan kepribadian di sekolah, karena disanalah tempat

anak lebih banyak menghabiskan waktunya selain di rumah.

(6) Perlunya pembelajaran agama yang dilakukan sejak dini, seperti

beribadah dan mengunjungi tempat ibadah sesuai dengan iman kepercayaannya.

(7) Orang tua perlu mendukung hobi yang dia inginkan selama itu masih

positif untuk dia. Jangan pernah orang tua mencegah hobinya maupun kesempatan

dia mengembangkan bakat yang dia sukai selama bersifat positif. Karena dengan

melarangnya dapat menggangu kepribadian dan kepercayaan dirinya.

(8) Orang tua harus menjadi tempat bertukar pikiran yang nyaman untuk

anak anda, sehingga anda dapat membimbing dia ketika ia sedang menghadapi

(16)

3.1.3 Masyarakat

Munculnya NEET di Jepang serta peningkatannya dari tahun ke tahunnya

tentunya menimbulkan keresahan masyarakat. Apalagi ditambah upaya

pemerintah mengalokasikan dana yang diambil dari pajak masyarakat dengan

jumlah yang cukup besar untuk membangun organisasi-organisasi dan

lembaga-lembaga pelatihan bagi NEET, yang diharapkan dapat mengurangi jumlah NEET.

Kenyataan bahwa NEET terdiri dari orang-orang yang tidak bersekolah,

tidak bekerja, tidak pula berusaha mencari kerja, dan bahkan secara tidak

langsung menggunakan pajak masyarakat, membuat NEET dipandang rendah oleh

masyarakat, dan menjadi sebuah fenomena yang meresahkan masyarakat. NEET

dianggap sebagai kumpulan orang yang tidak hanya dapat membahayakan

stabilitas negara, tetapi juga merusak tatanan masyarakat Jepang yang tertata rapi,

karena perilaku dan gaya hidupnya yang tidak sesuai dengan norma-norma dan

nilai-nilai yang dipegang teguh oleh masyarakat Jepang. Suatu fakta menunjukkan

bahwa masyarakat Jepang dewasa ini telah kehilangan batasan-batasan

masyarakat yang dahulu merupakan suatu keterpaksaan, sebelum adanya

pertumbuhan ekonomi yang cepat. Dengan kata lain, masyarakat Jepang saat ini

telah kehilangan tatanan dan diisi dengan amoralitas yang seringkali

menyebabkan perilaku yang tak bermoral. Karena kurangnya batasan masyarakat

dan moralitas sosial, masyarakat cenderung berperilaku bebas dan tidak peduli

terhadap orang lain. Kurangnya batasan masyarakat dan moralitas sosial ini dapat

diamati secara nyata di daerah urban dan dengan sedikit perbedaan, di daerah semi

(17)

mencari pekerjaan, sehingga akibatnya orang-orang tua hidup sendiri dengan

komunitasnya, batasan ini masih sangat kuat.

Grafik Pendapat Masyarakat Jepang Terhadap NEET

Sumber :http://www.socwork.net/sws/view/200/485

3.1.4 Pemerintah

Jepang adalah masyarakat dengan pola sekolah untuk bekerja, berbasiskan

riwayat pendidikan. Orang Jepang bersaing ketat di bidang pendidikan karena

pendidikan yang bagus akan mengiring mereka ke pekerjaan bagus. Kualitas

pendidikan di Jepang memang tak perlu dipertanyakan lagi, jika melihat

berhasilnya Jepang untuk menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas.

Salah satu yang paling berperan dalam meningkatkan kualitas sumber daya

manusia adalah kurikulum pendidikan di negara tersebut. Perubahan tersebut mau

tidak mau membawa dampak perubahan permintaan kualifikasi dan kompetensi

(18)

yaitu dengan menggunakan sistem 6-3-3 (6 tahun SD, 3 tahun SMP, tiga tahun

SMA) dan Perguruan Tinggi. Pendidikan Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah

Pertama digolongkan sebagai Compulsory Education dan Sekolah Menengah Atas

digolongkan sebagai Educational Board.

Sepertinya untuk menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas tidak

hanya bergantung pada sistem pendidikan itu sendiri, tapi setiap sistem dan orang

di dalamnya. Jadi, Jepang dalam menghasilkan sumber daya manusia yang

berkualitas pun tidak semata-mata dengan hasil instan tapi dengan proses yang

hampir sama dengan negara maju lain pada umumnya. Karena seperti yang

dikatakan sebelumya proses kurikulum di Jepang pun tidak lepas dari kata

bongkar pasang, tapi dengan loyalitas para pengajar dan tingkat kedisiplinan

pelajar akhirnya dapat menciptakan banyak sumber daya manusia yang

berkualitas. Akan tetapi, tidak semua pemuda Jepang sendiri yang sudah

menyelesaikan program pendidikan berniat mencari pekerjaan tetap itu

dikarenakan tidak adanya tuntutan dari keluarga sehingga populasi NEET itu

sendiri semakin bertambah tiap tahunnya. Seperti diketahui secara tidak langsung

kehidupan kaum usia lanjut di Jepang disokong oleh orang-orang yang masih

produktif yang berusia sekitar 15-65 tahun dalam sistem tenaga kerja dan pensiun.

Kalau tahun 1970-an 9,7 orang usia produktif menanggung satu orang manula, di

era 1995 sampai tahun 2000, 4,8 orang usia produktif menanggung seorang

manula, maka diperkirakan tahun 2015 mendatang satu orang manula akan

ditanggung oleh 2,4 orang usia produktif. Dengan data ini bisa diperkirakan

bahwa di masa yang akan datang kehidupan kaum muda Jepang yang masih

(19)

kaitannya dalam hal ini. Seperti yang ditulis Satoshi Kawamoto dalam Beyond

Shoshika : Serious Effects of Low Fertility and Promotion of New

Policies, banyak perusahaan menekan jumlah pekerja regular dan menggantinya

dengan pekerja non-reguler yang dapat diberhentikan sewaktu-waktu, sehingga

para pekerja kontrak ini tidak memiliki pendapatan yang cukup dan terpaksa

menunda kesempatan pernikahan karena alasan finansial.

Masalah Jepang tentang komposisi penduduk yang tidak seimbang ini

tentu menimbulkan permasalahan lain yang tidak mudah dihadapi Jepang di masa

yang akan datang. Masalah biaya kesehatan dan dana pensiun juga dapat berimbas

bagi perekonomian Jepang. Pemerintah hingga saat ini sedang kesusahan

mengatasi hal tersebut. Tidak adanya regenerasi menimbulkan berkurangnya para

pemuda yang seharusnya menjadi generasi harapan bangsa sekaligus

menyusutnya jumlah usia produktif yang mampu menyumbang pajak bagi negara.

Dengan ketidakseimbangan populasi usia produktif dengan populasi lansia, beban

ekonomi yang harus ditanggung oleh orang-orangyang berada pada usia produktif

menjadi semakin besar. Populasi generasi muda yang semakin sedikit akan sangat

berpengaruh pada masa depan Jepang.

Artikel newsvote.bbc.co.uk menyebutkan, pemerintah Jepang mengimpor

tenaga kerja asing untuk bekerja di industri Jepang, sehingga tambahan

pemasukan negara dari pajak penghasilan.Pemerintah menghimbau agar lebih

banyak wanita dan pensiunan untuk kembali bekerja dalam rangka mengisi

kekosongan di perusahaan.Pertumbuhan ekonomi yang lamban mengakibatkan

jumlah yang tidak bekerja jadi banyak. Defenisi NEET berubah menjadi ke anak

(20)

tidak bekerja semakin bertambah dan bahkan banyak yang meninggalkan sekolah,

akhirnya muncullah NEET. Tahun 2003, perekonomian Jepang mulai membaik,

perusahaan Jepang sudah sudah mengajak anak muda untuk bekerja lagi tapi

masih banyak masalah yang tersisa yaitu: Kesempatan untuk pekerjaan yang stabil

akan terus berlanjut bagi yang berpendidikan rendah, dan NEET yang saat ini

diusia akhir 20an masuk ke usia 30an membuat masalah baru.

NEET yang berawal dari tahun 1990-an itu kini sudah beranjak tua mereka

tidak bisa bekerja sebagai pegawai reguler. Sehingga jumlah NEET tiap tahunnya

semakin akan terus bertambah. Oleh karena itu, NEET di Jepang tahun 1997

berjumlah 80.000 jiwa berlanjut sampai tahun 2000 mencapai 400.000 jiwa dan

selama tiga tahun naik lima kali lipat. Di kemudian hari Jepang akan mengalami

krisis, utamanya dalam tenaga kerja dan keberlangsungan generasi penerus

Jepang. Fenomena krisis tenaga kerja memang sudah terjadi, dengan maraknya

tenaga kerja asing di Jepang. Akan tetapi, hal itu kemudian menimbulkan masalah

lain, yaitu kurangditerimanya para pekerja asing itu di tengah masyarakat Jepang.

Dengan ketidakseimbangan populasi usia produktif dengan populasi lansia, beban

ekonomi yang harus ditanggung oleh orang-orangyang berada pada usia produktif

menjadi semakin besar. Populasi generasi muda yang semakin sedikit akan sangat

berpengaruh pada masa depan Jepang.

3.2 Upaya Penanganan NEET

Masalah ekonomi yang dialami Jepang membuat banyak

perusahaan-perusahaan yang mengalami kebangkrutan sehingga harus melakukan PHK

(21)

salah satunya adalah masalah sosial seperti NEET. Akibat dari resesi ekonomi

pertumbuhan NEET semakin meningkat. Pertumbuhan NEET ini menandai

kurangnya tingkat kesejahteraan sosial dalam masyarakat Jepang karena

seseorang atau kelompok yang menjadi masyarakat negara Jepang tidak berada

dalam kondisi sejahtera yang meliputi kesehatan maupun keadaan ekonomi

(Stephanie, 2010:28). Hal ini tentu tidak dapat dibiarkan begitu saja, oleh karena

itu para NEET membutuhkan bantuan untuk mendukung dan membantu merka

agar mendapat kehidupan yang lebih baik. Berikut ini adalah beberapa bentuk

upaya yang diberikan kepada para NEET.

3.2.1 Masyarakat

Menurut Mariko Fujimoto, direktur riset di Lembaga Penelitian Hakuhodo

Inc. Institute of Life and Living, berkata bahwa kemunculan NEET

dilatarbelakangi salah satunya oleh masalah ekonomi. Sepuluh sampai 12 tahun

terakhir ini, menurut Fujimoto, merupakan periode yang turbulen bagi ekonomi

negara matahari terbit itu meski jepang masih termasuk negara terkaya di dunia.

Bagi masyarakat NEET adalah sekumpulan anak-anak manja yang terbiasa

hidup enak dan tidak mau susah, karena banyak di antar mereka juga bukan

anak-anak orang kaya. Persoalan NEET bukan sekedar anak-anak-anak-anak manja yang tidak

mau berjuang, tapi lebih dari itu. Ada persoalan yang membuat mereka menarik

diri dari masyarakat dan memilih tinggal di rumah daripada mencari pekerjaan

(22)

Masalah NEET menjadi masalah yang cukup menarik perhatian dan

memprihatinkan. Maka dari itu, sebagian masyarakat yang peduli kepada para

NEET dapat mendidik seorang NEET dalam pendidikan inforrmal baik di dalam

keluarga maupun masyarakat yang mencakup:

1. Personal Skills Education

Yaitu pola pendidikan kecakapan yang perlu diberikan kepada

anak didik agar dapat mengembangkan kemampuan berdialog

secara baik dengan diri sendiri untuk mengaktualisasikan jati

dirinya sebagai manusia.

2. Social Skills Education

Yaitu pendidikan kecakapan yang perlu diberikan kepada anak

didik agar dapat mengembangkan kemampuan berdialog untuk

bergaul secara baik dengan sesama manusia.

3. Environmental Skills

Yaitu pendidikan kecakapan yang perlu diberikan kepada anak

didik agar dapat mengembangkan kemampuan berdialog secara

baik dengan lingkungan alam sekitarnya, untuk menikmati

keindahannya dan menjaganya dari kerusakan-kerusakan karena

ulahnya sendiri atau oleh manusia lainnya, serta kemampuan untuk

menjaga diri dari pengaruh-pengaruhnya.

4. Vocational atau Occupational Skills Education

Yaitu pendidikan kecakapan yang perlu diberikan kepada anak

didik agar dapat mengembangkan kemampuan untuk menguasai

(23)

ini bukan hanya merupakan pekerjaan utama yang akan ditekuni

sebagai mata pencaharian yaitu menjadi bekal untuk bekerja

mencari nafkah yang halal yang merupakan salah satu kewajiban

dalam menempuh perjalanan hidupnya di kelak kemudian hari.

Jenis pekerjaan tertentu dapat juga merupakan pekerjaan yang

hanya sekedar sebagai hobi.

Yang penting menurut Prof.Tanakashi adalah masyarakat tidak

memandang sebelah mata para NEET ini. “ Tidak ada gunanya menyalahkan

NEET dan memberitahu mereka supaya berhenti bersikap seperti anak kecil. Yang

paling penting adalah supaya masyarakat berubah dan lebih dekat sengan

anak-anak muda ini.”

3.2.2 Pemerintah

Pasar tenaga kerja menjadi sangat kompetitif dan sangat tidak stabil bagi

anak muda.Banyak perusahaan yang lebih memilih mempekerjakan pegawai

paruh waktu agar tidak usah menerikan asuransi dan pesangon. Di lain pihak,

bukan hanya resesi yang menyebabkan sulitnya lapangan pekerjaan, tapi ada juga

masalah ketidakselarasan antara dunia pendidikan dan industri.

Ada lulusan-lulusan yang oversupply, misalnya dari jurusan teknik, sains

lingkungan, kajian Asia, ekonomi dan sosiologi. Para lulusan juga tidak terlatih

dan tidak dipersiapkan untuk kebutuhan industri. Hal ini menyulitkan Jepang yang

(24)

Olahraga, Sains dan teknologi, Nariaki Nakayama mengatakan bahwa kompetisi

pendidikan yang ketat juga berkontribusi dalam menghasilkan NEET ini.

“ Dulu kita mengajarkan di sekolah bahwa kompetisi itu tidak baik. Tapi

nyatanya begitu kita bekerja, kita dihadapkan pada kompetisi super ketat, dan

anak-anak juga bingung karenanya. Bukankah pendidikan saat ini menghasilkan

gelombang NEET yang besar ?” ujarnya. Apalagi ditambah upaya pemerintah

mengalokasikan dana yang diambil dari pajak masyarakat dengan jumlah yang

cukup besar untuk membangun organisasi-organisasi dan lembaga-lembaga

pelatihan bagi NEET, yang diharapkan dapat mengurangi jumlah NEET. Untuk

mengantisipasi bertambahnya NEET, pemerintah Jepang berupaya mengadakan

program pelatihan khusus untuk para NEET bekerja sama dengan perusahaan

pemerintah maupun swasta. Lewat program tersebut para NEET diberikan

pengarahan, konseling, dan pengenalan dunia kerja, bahkan mereka juga

ditawarkan job training yang diharapkan bisa menumbuhkan rasa percaya diri

mereka untuk terjun ke dunia kerja.

Prof. Akira Takanashi dari Shinshu University pernah mengatakan bahwa

fenomena NEET merupakan pemberontakan anak muda terhadap tatanan

masyarakat secara diam-diam. Jika dulu pada periode 1960-1970an para

mahasiswa memberontak secara sadar dan melakukan protes, karakteristik dari

NEET sekarang ini adalah mereka tidak sadar telah melakukan protes

(25)

Ia menambahkan bahwa masyarakat, termasuk industri dan pendidikan,

bertanggungjawab memecahkan fenomena ini. “Sekolah sangat kurang

memberikan informasi pendidikan kerja.” katanya.

Pemerintah Jepang sendiri pada 2005 sudah membentuk satu komite untuk

membangun strategi dalam menolong anak muda menjadi lebih mandiri dan bisa

menyelesaikan masalah-masalah mereka. Ada juga usulan untuk membangun

sekolah dimana anak-anak muda bisa mendapatkan keterampilan dasar, dengan

format seperti ‘training camp’. Kalangan industri juga sudah memiliki perhatian

terhadap masalah NEET. Kenzaburo Mogi, vice chairman dari Kikkoman

Corporation, mangatakan bahwa industri juga turut bertanggungjawab karena

tidak mampu menyediakan lapangan kerja yang cukup.“ Industri seharusnya

melakukan sesuatu bersama dengan pemerintah, miaslnya dengan melakukan

pelatihan,” ujar Mogi, meski ia mengakui perusahaan tempat ia bernaung belum

memiliki program untuk NEET.

Sementara itu, Kei Kudo dengan “Master & Pupil”

yang dibentuk 2001 berusaha membantu anak muda mendapatkan pekerjaan lewat

pelatihan kerja serta pelayanan konseling. Namun program di “Master & Pupil”

ini tidak gratis karena biaya tiap peserta per bulannya sekitar 50.000 yen per bulan

atau sekitar Rp. 10.000.000 meski setengahnya disubsidi oleh pemerintah.

Pelatihan yang diberikan di antaranya pelatihan untuk sektor pertanian, informasi

(26)

Sejauh ini menurut Kudo, sudah ada sekitar 10.000-15.000 orang yang

sudah mendapatkan pelatihan dan bekerja di kantor pemerintah atau swasta.

“Organisasi kami masih terbatas dalam menjangkau NEET dan menyediakan

aktivitas dan kesempatan untuk mereka. Kami percaya dan merekomendasikan

bahwa membangun jaringan dengan komunitas akan membantu para NEET ,”ujar

Kudo. Yang penting menurut Prof. Tanakashi adalah masyarakat tidak

memandang sebelah mata para NEET ini. “Tidak ada gunanya menyalahkan

NEET dan memberitahu mereka supaya berhenti bersikap seperti anak kecil. Yang

paling penting adalah supaya masyarakat berubah dan lebih dekat dengan

(27)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

1. Masalah NEET bukanlah masalah baru dalam masyarakat Jepang. Istilah

NEET ini pertama kali muncul di Inggris pada tahun 1990-an yang

ditujukan pada para pengangguran berusia antara 16-18 tahun yang tidak

mau bersosialisasi dalam negara Jepang. Munculnya NEET di Jepang serta

peningkatannya dari tahun ke tahun menimbulkan keresahan masyarakat.

Di Jepang yang masuk dalam klasifikasi NEET adalah orang-orang pada

usia 15-34 tahun yang tidak bekerja, tidak berperan dalam rumah tangga,

tidak terdaftar di sekolah atau pelatihan kerja. Pertumbuhan ekonomi yang

lemah di Jepang pun termasuk salah satu pengaruh berkembangnya NEET

di Jepang. Masalah NEET ini awalnya dianggap sebagai masalah keluarga

dan pribadi masing-masing sehingga semakin banyak jenis-jenis NEET

yang berkembang di masyarakat yaitu yankee kata, hikikomori kata,

tachisukumu kata, dan tsumazuki kata. Yang dimana jenis-jenis itu

memiliki dampak yang berbeda-beda akibat dari penyebab yang berbeda

pula.

2. Masalah sosial seperti NEET ini menimbulkan beberapa dampak terhadap

NEET itu sendiri, keluarga, masyarakat dan pemerintah. Dampak terhadap

diri mereka sendiri yaitu, mereka tersisihkan dari lingkungan sosial,

menjadi tidak mandiri karena selama hidupnya bergantung dengan

(28)

keluarga yaitu NEET yang tinggal bersama orangtua akan ketergantungan

secara permanen bahkan ketika NEET berusia sekitar 40 tahun mereka

akan hidup dari pensiun orangtuanya. Bagi masyarakat keberadaan NEET

dianggap sebagai kumpulan orang yang tidak hanya dapat membahayakan

stabilitas negara, tetapi juga merusak tatanan masyarakat Jepang yang

tertata rapi karena perilaku dan gaya hidupnya tidak sesuai dengan

norma-norma dan nilai-nilai yang dipegang teguh oleh masyarakat Jepang.

Kemudian bagi pemerintah sendiri tentu menjadi beban dan semakin

menambah masalah yang harus segera mereka atasi. Berbagai cara

dilakukan untuk mengatasi para NEET ini. Sebagian masayarakat yang

peduli terhadap NEET dapat mendidik seorang NEET dalam pendidikan

informal baik di lingkungan masyarakat maupun keluarga yaitu Personal

Skills Education, Social Skills Education, Environmental Skills,dan

Vocational/Occupational Skills Education. Pemerintah juga

mengalokasikan dana yang diambil dari pajak masyarakat dengan jumlah

yang cukup besar untuk membangun organisasi-organisasi dan

lembaga-lembaga pelatihan bagi NEET yang diharapkan dapat mengurangi jumlah

NEET. Serta diberikan pengarahan, konseling,dan pengenalan dunia kerja

bahkan mereka juga ditawarkan job training yang diharapkan bisa

menumbuhkan rasa percaya diri mereka untuk terjun ke dunia kerja

(29)

4.2 Saran

1. Bagi masyarakat Jepang yang merasa kesulitan seperti masalah sosial dan

sebagainya, sebaiknya jangan langsung memutuskan untuk menjadi NEET.

Berusaha terlebih dahulu untuk mencari solusi dari masalah yang dihadapi

seperti mencari teman baru di luar rumah, jangan mudah putus asa

terhadap keadaan, jangan terburu-buru untuk memutuskan tidak bergaul

dan tidak bersosialisasi seakan asyik dengan dunia sendiri.

2. Untuk orangtua yang membiarkan anaknya tinggal bersama dengan mereka

sebaiknya mengajak anak mereka untuk mencari pekerjaan diluar rumah

dan lebih bersosialisasi lagi terhadap lingkunngan.

3. Bagi masyarakat lainnya jangan memandang sebelah mata para NEET ini

karena tidak ada gunanya menyalahkan NEET dan memberitahu mereka

supaya berhenti bersikap seperti anak kecil, sebaliknya supaya masyarakat

berubah dan lebih dekat dengan anak-anak muda ini.

4. Pemerintah juga harus sekuat tenaga untuk mengurangi jumlah NEET yang

(30)

BAB II

TINJAUAN UMUM TERHADAP FENOMENA NEET DI MASYARAKAT

JEPANG

2.1. Struktur Penduduk Jepang

Komposisi penduduk adalah dimana suatu negara yang mempunyai

wilayah yang luas dan memiliki banyak penduduk di dalam suatu negara tersebut,

dari banyaknya penduduk tersebut akan dikelompokkan berdasarkan kriteria

tertentu. Biasanya dalam pengelompokkan itu kriteria yang di ambil kebanyakan

adalah umur, jenis kelamin, mata pencaharian dan tempat tinggal.Semua itu di

kelompokkan agar tidak terjadi masalah-masalah sepele yang timbul.

Struktur penduduk terdiri dari 3 jenis, yaitu :

1. Piramida Penduduk Muda:Suatu wilayah yang memiliki angka kelahiran

yang tinggi dan angka kematian yang rendah sehingga daerah ini mengalami

pertumbuhan penduduk yang cepat. Piramida ini dicirikan sebagian besar

penduduk masuk dalam kelompok umur muda. Contohnya adalah

negara-negara yang sedang berkembang, misalnya Indonesia, Malaysia, Filipina,

(31)

2. Piramida Stationer: Bentuk piramida ini menggambarkan keadaan

penduduk yang tetap (statis) sebab tingkat kematian rendah dan tingkat

kelahiran tidak begitu tinggi. Piramida penduduk yang berbentuk system

ini terdapat pada negara-negara yang maju seperti Swedia, Belanda dan

Skandinavia. (2013:mynameisridwan.wordpress.com)

3. Piramida Penduduk Tua: Suatu wilayah memiliki angka kelahiran yang

menurun dengan cepat dan tingkat kematian yang rendah. Piramida ini

juga dicirikan dengan jumlah kelompok umur muda lebih sedikit

dibanding kelompok umur tua. Apabila angka kelahiran jenis kelamin pria

besar, maka suatu Negara bisa kekurangan penduduk Contohnya adalah

negara-negara yang sudah maju, misalnya Amerika Serikat, Inggris dan

(32)

Perubahan komposisi penduduk yang terjadi di Jepang seperti lebih

disebabkan oleh penurunan angka fertilitas secara drastis bukan pada

meningkatnya angka kematian. Di antara negara-negara maju, Jepang merupakan

negara yang angka fertilitas totalnya sangat rendah. Rendahnya angka fertilitas

Jepang disebabkan karena meningkatnya jumlah orang yang tidak bekerja, belum

menikah, dan meningkatnya usia pernikahan pertama serta meningkatnya usia

melahirkan. Masalah Jepang tentang komposisi penduduk yang tidak seimbang ini

tentu menimbulkan permasalahan lain yang tidak mudah dihadapi Jepang di masa

yang akan datang. Masalah biaya kesehatan dan dana pensiun juga dapat berimbas

bagi perekonomian Jepang. Pemerintah hingga saat ini sedang kesusahan

mengatasi hal tersebut. Tidak adanya regenerasi menimbulkan berkurangnya para

pemuda yang seharusnya menjadi generasi harapan bangsa sekaligus

menyusutnya jumlah usia produktif yang mampu menyumbang pajak bagi negara.

Selain itu, di Jepang banyak ditemui pemandangan dimana orang tua

bekerja di masa pensiunnya. Selain demi menyukseskan program pemerintah, bagi

mereka, bekerja supaya tidak menjadi beban bagi orang lain. Menjadi petugas

kebersihan; pelayan loket karcis; petugas keamanan; menyeberangkan jalan; sopir

taksi.Maka, tidak perlu heran jika pekerjaan pelayanan publik di Jepang rata-rata

diisi oleh para lansia.

Rasio Ketergantungan

Rasio Ketergantungan (Dependency Ratio) adalah perbandingan antara

jumlah penduduk berumur 0-14 tahun, ditambah dengan jumlah penduduk 65

(33)

1. Rasio Ketergantungan Muda adalah perbandingan jumlah penduduk umur

0-14 tahun dengan jumlah penduduk umur 15 – 64 tahun.

2. Rasio Ketergantungan Tua adalah perbandingan jumlah penduduk umur

65 tahun ke atas dengan jumlah penduduk di usia 15-64 tahun.

Grafik 1 Perkiraan Angka Jumlah Penduduk di Jepang Hingga Tahun

2050

Sumber

Rasio ketergantungan (dependency ratio) dapat digunakan sebagai

indikator yang secara kasar dapat menunjukkan keadaan ekonomi suatu negara

apakah tergolong negara maju atau negara yang sedang berkembang. Dependency

ratio merupakan salah satu indikator demografi yang penting.Semakin tingginya

persentase dependency ratio menunjukkan semakin tingginya beban yang harus

ditanggung penduduk yang produktif untuk membiayai hidup penduduk yang

belum produktif dan tidak produktif lagi.Sedangkan persentase dependency

(34)

ditanggung penduduk yang produktif untuk membiayai penduduk yang belum

produktif dan tidak produktif lagi.Tingkat kelahiran dan kematian di Jepang sejak

tahun 1950 mulai mengalami perubahan. Tingkat kelahiran turun drastis pada

tahun 1966 yang bertepatan pada tahun kuda api pada zodiak cina. Anak

perempuan yang lahir pada tahun itu menurut takhayul dipercaya membawa nasib

buruk.

Grafik 2 Jumlah Populasi Perempuan dan Laki-Laki di Jepang Tahun 2000-

2012

(35)

Grafik 3 Jumlah Angka Pertumbuhan di Jepang Tahun 1950 – 2008

Sumber:http://id.wikipedia.org/wiki/demografi Jepang

1. Birth rates data 1950-2004:

and Sex Ratio of Live Birth (1872--2004)

2. Death rates data 1950-2004:

Rate by Sex and Sex Ratio of Death (1872--2004)

(36)

Grafik 4 Angka Kelahiran dan Kematian di Jepang

Sumber

Laporan Koresponden Tribunnews.com di TRIBUNNEWS.COM, TOKYO

Jumlah pe

tahun lalu, sehingga menjadi hanya 126.434.964 jiwa saja. Penurunan ini terjadi

selaman lima tahun berturut-turut dan bahkan sejak 2009 menurun terus hingga

kini. Demikian diungkapkan kementerian dalam negeri

Penurunan jumlah penduduk rata-rata 10 persen di berbagai daerah.

Namun khusus

(MIAC), Rabu

(25/6/2014).

di

(37)

Jumlah yang meninggal tahun lalu mencapai 1.267.838 jiwa berdasarkan

survei per 1 Januari 2014. Jumlah tersebut meningkat 955 orang dibandingkan

tahun 2013. Jumlah yang meninggal bertambah terus, tujuh tahun berturut-turut.

Sementara yang lahir malah semakin berkurang juga. Kini hanya 237.450

bayi lahir per tahun.Jumlah populasi usia 65 tahun tinggi sekali mencapai 24,98

persen dari jumlah populasi. Usia muda dan pekerja antara 15 sampai 64 tahun

menunjukkan terus pengurangan selama 14 tahun terakhir ini dan kini hanya

mencapai 61,98 persen.

Umumnya penduduk

Kansai, jumlahnya 50,93 persen. Khusus yang berdomisilimeningkat

0,24 persen, sedangkan di wilayah lain jumlah penghuninya menurun.Penurunan

jumlah penduduk di daerah, masing-masing sebagai berikut: di Aomori dan Akita

(berurut, menurun 1,23 persen dan 1,02 persen). Di Yamagata (menurun 0,96

persen). Paling parah (level perkotaan) paling banyak penurunan di Kota Yubari

Hokkaido, menurun 4,02 persen. Kota Yubari adalah kota yang memiliki buah

melon paling enak dan paling mahal di dunia.Untuk level pedesaan, khususnya

Desa Onagawa di perfektur Miyagi, menurun 6,64 persen.Demikian pula untuk

perfektur Nara khususnya Desa Nosegawa menurun cukup besar mencapai 6,26

(38)

Angka kelahiran di Jepang merosot pada 2014, berdasarkan catatan Kementerian Kesehatan dengan hanya 1.001.000 bayi lahir pada 2014 atau lebih rendah 9.000 dibandingkan 2013.

“Penurunan ini adalah yang keempat kalinya dalam empat tahun dan

terjadi di tengah meningkatnya angka kematian.

Sejumlah pihak mengatakan bahwa pada 2050 populasi Jepang hanya akan

mencapai 97 juta atau 30 juta lebih sedikit dari sekarang.

Para pakar memperingatkan dampak penurunan angka kelahiran ini akan

merugikan Jepang dalam banyak aspek.

Menurunnya jumlah populasi berusia 15-65 diprediksi akan menurunkan

tingkat pertumbuhan dan pendapatan perkapita Jepang.

Penurunan jumlah anak-anak ini tidak bisa dihindari karena "jumlah

wanita dengan usia reproduksi juga menurun", kata seorang pejabat di

Kementerian Kesehatan yang dikutip oleh Kyodo News.

Pada bulan April data pemerintah menunjukkan populasi Jepang menyusut

selama tiga tahun, dengan jumlah orang tua yang terdiri dari 25%.

Pemerintah memperingatkan bahwa proporsi orang berusia 65 atau lebih

(39)

Penurunan populasi disebabkan oleh berbagai alasan, diantaranya:

1. Meningkatnya biaya melahirkan dan membesarkan anak.

2. Meningkatnya jumlah wanita karir.

3. Menunda untuk menikah.

4. Meningkatnya jumlah orang yang belum menikah.

5. Perubahan lingkungan masyarakat dan sosial.

2.2 Latar Belakang dan Perkembangan NEET

Masalah NEET bukanlah masalah baru dalam masyarakat Jepang. NEET

merupakan singkatan dari Not in Education, Employment, or Training. Dimana

istilah muncul pertama kali di Inggris pada tahun 90-an yang ditujukan untuk para

pengangguran berusia antara 16-18 tahun yang tidak mau bersosialisasi dalam

negara Jepang. NEET ini berbeda dengan freeter (istilah untuk pengangguran

yang sedang berusaha untuk mencari pekerjaan tetap). Istilah ini belakangan

menyebar ke berbagai negar maju lainnya termasuk untuk mencari pekerjaan

tetap) atau ronin (bekas pegawai pemerintahan yang sedang menganggur), karena

orang-orang yang tergolong NEET sama sekali tidak mempunyai hasrat untuk

(40)

Tabel 1 Jumlah NEET Menurut Beberapa Lembaga Survey di Jepang

Sumber

2.2.1 Sejarah NEET di Jepang

Istilah NEETini pada awalnya dipakai di Inggris pada tahun 1997.NEET mulai

muncul di Jepang pada tahun 1997, bertepatan dengan krisis moneter.Pada tahun

mulai munculnya NEET di Inggris, negara tersebut sejak awal langsung

menyadari masalah tersebut sebagai masalah negara. Sedangkan di Jepang,

walaupun fenomena NEET sudah ada sejak awal 1990, masalah NEET awalnya

dianggap sebagai masalah keluarga dan pribadi masing-masing. Munculnya NEET

di Jepang serta peningkatannya dari tahun ke tahun tentunya menimbulkan

keresahan masyarakat. Di Jepang para NEET dikenal juga sebagai

mugyousha(orang yang tidak bekerja atau pengangguran). Ironisnya bila NEET

dinegara lain banyak terjadi di kalangan tidak mampu, justru NEET di Jepang

(41)

2.2.2 Perkembangan NEET di Jepang

Sedangkan di Jepang, walaupun fenomena NEET sudah ada sejak awal

1990, masalah NEET awalnya dianggap sebagai masalah keluarga dan pribadi

masing-masing.NEET mulai muncul di Jepang pada tahun 1997, bertepatan

dengan krisis moneter. Di Jepang, yang masuk dalam klasifikasi NEET adalah

orang-orang pada usia 15-34 tahun yang tidak bekerja, tidak berperan dalam

rumah tangga, tidak terdaftar di sekolah atau pelatihan kerja. NEET di Jepang

tahun 1997 sebanyak 80.000 jiwa sehinnga tahun 2000 mencapai 400.000 jiwa

dan selama 3 tahun naik lima kali lipat. Tahun 2000, orang-orang yang tidak

bekerja semakin bertambah dan bahkan banyak yang meninggalkan sekolah,

akhirnya muncullah NEET.

Kemudian pada Tahun 2003 ketika presentasi NEET di Jepang semakin

meningkat, masyarakat Jepang pada akhirnya menilai NEET sebagai sebuah

masalah yang dapat mengancam perekonomian negara. Hingga tahun 2004, NEET

tercatat berjumlah 640.000 orang berdasarkan Dokumen Putih Buruh dan

(42)
(43)

Sumber:http://www.news.bbc.co.uk/2/hi/asia-pacific/3701748.stm

Pertumbuhan ekonomi yang lemah (Low Growth) di Jepang pun termasuk

salah satu pengaruh berkembangnya NEET di Jepang sehingga terjadi kebuntuan

pasar tenaga kerja (Clogged Labor Markets) yang terjadi di Jepang. Kebutuhan

tenaga kerja yang berkualitas sangat diutamakan dalam prosedur penerimaan

tenaga kerja di Jepang oleh karena itu pendidikan sangat dipertimbangkan.Tetapi

disini berbanding terbalik dikarenakan ketidak sesuaian lulusan sekolah atau

perguruan tinggi yang dibutuhkan (Education Mismatch).Sehingga persaingan

semakin ketat yang berkualitas akan lebih unggul seiring dengan berkembangnya

ilmu pengetahuan dan teknologi akan muncul inovasi-inovasi yang membuat

proses produksi akan mengurangi jumlah tenaga kerja karena seluruh dunia akan

(44)

2.3 Jenis-Jenis NEET

2.3.1 Yankee Kata ( Tipe Parasit )

Yankee memiliki beberapa arti yang saling berkaitan, terutama digunakan

untuk orang dari

umum dipakai untuk menyebut orang dari Amerika Serikat. Di dalam negeri

Amerika Serikat, istilah Yankee dipakai untuk penduduk dari bagian timur laut

Amerika Serikat, atau secara spesifik dipakai untuk orang dari

menunjuk kepada keturunan-keturuna

sudah ketahuan bagaimana model NEET ini, NEET tipe yang selalu

mengutamakan bersenang-senang dengan teman-temanya daripada bekerja,

menghabiskan energi dan waktu demi hobi dan selalu mengantungkan diri pada

orangtuanya (parasit freeter). Dan NEET jenis ini lebih suka menghabiskan waktu

bersama teman-temannya dan tidak melanjutkan pendidikan setelah ia keluar dari

sekolah di tengah jalan.

Ciri-ciri Yankee:

1. Memiliki sifat berfoya-foya dan terkesan sok idealis.

2. Menolak nilai-nilai tradisional Jepang (seperti kesenioritasan, sistem kerja

keras seumur hidup dan tuntutan loyalitas terhadap perusahaan.

3. Menginginkan pekerjaan yang fleksibel, memberikan banyak waktu luang

dan memungkinkan mereka untuk memakai pakaian dan gaya rambut

(45)

Faktor penyebab Yankee :

1. Gaya hidup, yaitu gaya hidup pemalas, suka berfoya-foya dan

hanya fokus terhadap kesenangan.

2. Kurangnya kebebasan atau sistem kerja yang terlalu mengikat

dalam perusahaan. Dan beberapa kaum muda lebih memilih keluar

dari pekerjaan tetap untuk lebih memilih menjadi freeter agar bisa

menikmati kebebasan dalam hidup.

2.3.2 Hikikomori Kata ( Tipe Penyendiri dan Anti Sosial )

NEET dengan tipikal hikikimori lebih senang mengurung diri dikamar

sambil bermain game, nonton, menghabiskan waktunya dengan bermain internet

dan menarik diri dari pergaulan sosial lainnya daripada bekerja.NEET tipe ini

biasanya banyak mengalami kebosanan hidup.Banyak kasus yang mengatakan

tipeNEETseperti ini pada akhirnya memilih untuk bunuh diri.Menurut psikiate

usia 20-an akhir, berupa mengurung diri sendiri di dalam rumah sendiri dan tidak

ikut serta di dalam masyarakat selama enam bulan atau lebih, tetapi perilaku

tersebut tampaknya tidak berasal dari masalah psikologis lainnya sebagai sumber

utama. Kemudian The Japanese Ministry of Health, Labour and Welfare

mendefenisikan hikikomori sebagai seorang individu yang menolak meninggalkan

rumah orangtuanya dan mengasingkan diri dari anggota keluarga selama lebih

dari enam bulan

Kerja, dan Kesejahteraan Jepang, definisi hikikomori adalah orang yang menolak

(46)

terus menerus berada di dalam rumah untuk satu periode yang melebihi enam

bulan.

Pada tahun 1990-an, ketika fenomena ini belum dikenal luas, Tamaki Saito

dibanjiri permintaan tolong para orangtua yang ingin membantu anak-anak

mereka yang mengasingkan diri. Saat itu, kebanyakan pelakunya adalah anak

lelaki, berusia rata-rata 15 tahun, dari keluarga kelas menengah, menarik diri

dalam jangka waktu bulanan sampai tahunan. Pemicunya ada beragam.Bisa

karena nilai sekolah yang jelek atau patah hati. Atau tak kuat dan tak mampu

menanggung harapan serta tuntutan besar orang tua dan masyarakat.

1.

Ciri-ciri Hikikomori:

2.

Menghabiskan waktu sehari atau setiap hari hanya berada di dalam

rumah.

3. Kebanyakan berasal dari golongan berusia 20-29 tahun (ada pula

kasus dari orang berusia 40 tahunan).

Jumlah laki-laki hikikomori lebih banyak daripada perempuan.

4. Kebanyakan berasal dari orang tua berpendidikan perguruan tinggi.

5.

6.

Secara jelas menghindari situasi sosial.

7.

Terganggu kegiatannya misal pekerjaan/sekolah,hubungan sosial,

hubungan sesama manusia.

(47)

8.

9.

Lamanya mengurung diri sedikitnya 6 bulan.

Alasan penyebab terjadinya hikikomori:

Tidak ada gangguan mental yang menyebabkannya anti sosial.

1. Banyak masalah yang ada di sekolah, tempat kerja dan sebagainya.

Biasanya berkaitan dengan ijime (bully) baik itu penganiayaan

secara tindakan maupun melalui ucapan. Hal ini yang paling

banyak ditemukan di kehidupan sehari-hari.

2. Tidak selarasnya hubungan antara orangtua yang terkadang

menyebabkan tindak kekerasan pada anak. Banyak nya

permasalahan seperti ini korban menjadi depresi dan berbagai

macam perasaan negatif yang melanda dirinya yang terkadang

menyebabkan trauma sehingga korban mengambil tindakan

mengambil keputusan untuk menjadi hikikomori.

3. Dengan kecanggihan teknologi sekarang ini, merupakan penyebab

juga semakin maraknya hikikomori terutama kemudahan dalam

mengakses internet, telah menyebabkan banyak remaja mengalami

ketergantungan teknologi yang sangat meluas. Semua aktivitas

pertemanan dilakukan di dunia maya. Bahkan untuk berbelanja pun

dilakukan secara online. Memang dengan kecanggihan teknologi

sekarang semua menjadi serba instan, tanpa bepergian pun

(48)

Menurut penelitian yang dilakukan

penduduk hikikomori di Jepang pada tahun 2005 mencapai lebih dari 1,6 juta

orang. Bila penduduk semi-hikikomori (orang jarang keluar rumah) ikut dihitung,

maka semuanya berjumlah lebih dari 3 juta orang. Total perhitungan NHK hampir

sama dengan perkiraan Zenkoku Hikikomori KHJ Oya no Kai sebanyak

1.636.000 orang.

Menurut survei

1,2% penduduk Jepang pernah mengalami hikikomori: 2,4% di antara penduduk

berusia 20 tahunan pernah sekali mengalamihikikomori (1 di antara 40).

Dibandingkan perempuan, laki-laki hikikomori jumlahnya empat kali lipat.Satu di

antara 20 anggota keluarga yang orang tuanya berpendidikan perguruan tinggi

pernah mengalami hikikomori. Tidak ada hubungannya antara keluarga

berkecukupan atau tidak berkecukupan secara ekonomi.

2.3.3 Tachisukumu Kata ( Tipe Ragu-ragu)

Jenis ini merupakan orang-orang yang disebut NEET yang kehidupannya

tidak mengalami kemajuan karena ia tidak dapat menentukan pekerjaan dan jalur

karir yang cocok bagi dirinya. Pada awalnya mereka berusaha mengejar cita-cita

mereka, namun akhirnya terjebak dalam situasi yang tidak menguntungkan bagi

dirinya. NEET dengan tipikal Tachisukumu merupakan tipe anak muda yang

sudah lulus perguruan tinggi, tapi masih bingung memutuskan masa depannya.

Mereka ragu-ragu memilih bekerja atau melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi

(49)

tahu memutuskan apa yang akan dia lakukan dengan masa depannya serta

termasuk bagi seseorang yang pernah gagal dalam hidup seperti bisnis bangkrut

atau membuat usaha tapi gagal,sehingga mereka takut mencoba lagi.

2.3.4 Tsumazuki Kata ( Tipe Gagal )

Jenis ini ditujukan kepada NEET yang sudah pernah mengalami kegagalan

dalam hidup (yang sudah pernah bekerja sebelumya), dalam hal ini seperti bisnis

yang bangkrut atau usaha-usaha lainnya yang pada akhirnya gagal dan sejak saat

itu trauma sehingga tidak memiliki keinginan untuk bekerja kembali dan takut

untuk mencoba bangkit kembali dari keterpurukan (mendapat pekerjaan) karena

tidak punya rasa kepercayaan diri lagi. Tipe yang setiap mencari pekerjaan

mendapat kegagalan dan tidak bisa bersaing. Kegagalan yang pernah dialami

orang tersebut mulai dari diberhentikan dari pekerjaan, ditolak orang yang

(50)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Manusia dan kebudayaan merupakan salah satu ikatan yang

tidak biasadipisahkan dalam kehidupan ini. Manusia sebagai makhluk Tuhan

yang paling sempurna menciptakan kebudayaan mereka sendiri dan

melestarikannya secara turun menurun.Budaya tercipta dari kegiatan sehari hari

dan juga dari kejadian – kejadian yang sudah diatur oleh Yang Maha Kuasa.

Menurut Ienaga Saburo dalam Situmorang (2009 : 2-3 )kebudayaan dalam

arti luas dan arti sempit. Dalam arti luas adalah seluruh cara hidup manusia

(ningen no seikatsu no itonami kata).Kebudayaan ialah keseluruhan hal yang

bukan alamiah. Sedangkan dalam arti sempit kebudayaan adalah terdiri dari ilmu

pengetahuan, sistem kepercayaan dan seni. Oleh karena itu kebudayaan dalam

arti luas ialah segala sesuatu yang bersifat konkrit yang diolah manusia untuk

memenuhi kebutuhannya.Sedangkan kebudayaan dalam arti sempit ialah sama

dengan budaya yang berisikan sesuatu yang tidak kentara atau bersifat semiotik.

Dari kebudayaan yang mamadukan ilmu pengetahuan, sistem kepercayaan

dan seni lahirlah kejadian-kejadian baru di kalangan masyarakat yang disebut

dengan fenomena.

Pada dasarnya fenomenologi adalah suatu tradisi pengkajian yang

(51)

oleh Little John bahwa fenomenologi adalah suatu tradisi untuk mengeksplorasi

pengalaman manusia.

Dalam konteks ini ada asumsi bahwa manusia aktif memahami dunia

disekelilingnya sebagai sebuah pengalaman hidupnya dan aktif

menginterpretasikan pengalaman tersebut. Asumsi pokok fenomenologi adalah

manusia secara aktif menginterpretasikan pengalamannya dengan memberikan

makna atas sesuatu yang dialaminya. Oleh karena itu interpretasi merupakan

proses aktif untuk memberikan makna atas sesuatu yang dialami manusia. Dengan

kata lain pemahaman adalah suatu tindakan kreatif, yakni tindakan menuju

pemaknaan. Fenomenologi menjelaskan fenomena perilaku manusia yang dialami

dalam kesadaran. Fenomenologi mencari pemahaman seseorang dalam

membangun makna dan konsep yang bersifat intersubjektif. Oleh karena itu,

penelitian fenomenologi harus berupaya untuk menjelaskan makna dan

pengalaman hidup sejumlah orang tentang suatu konsep atau gejala. Natanson

menggunakan istilah fenomenologi merujuk kepada semua pandangan sosial yang

menempatkan kesadaran manusia dan makna subjektifnya sebagai focus untuk

memahami tindakan sosial

Sejak dahulu Jepang dikenal oleh seluruh negara sebagai negara yang

memiliki reputasi yang baik dalam mendorong anak-anak mudanya agar dengan

lancar dapat berpindah dari dunia sekolah ke dunia kerja.

Sekolah di Jepang menerapkan program Shuusoku Assen (就 職)yaitu

(52)

berikutnya untuk menjalani aktivitas pencarian kerja, sehingga pada saat mereka

lulus mereka telah mendapatkan pekerjaan tetap. Jepang juga menggunakan

sistem Shinki Gakusotsu Shuusoku – Saiyou, dimana setiap tahun perusahaan-

perusahaan membuka lowongan pekerjaan untuk mereka yang baru saja lulus.

Dalam masyarakat Jepang, ada suatu perasaan terkungkung dan rasa cemas

yang samar-samar, atau rasa tidak percaya terhadap masa depan sebagai akibat

kehancuran apa yang disebut bubble economy atau ekonomi gelembung. Akan

tetapi terjadinya bubble economy (ekonomi gelembung) serta munculnya deflasi

di Jepang pada awal tahun 1990 mengakibatkan jumlah perusahaan yang bersedia

mempekerjakan anak muda yang baru saja lulus menurun secara drastis.

Khususnya persentase jumlah tawaran kerja yang diberikan kepada anak muda

yang dalam waktu dekat akan lulus, turun hingga seperdelapan dari sebelumnya.

Tingkat pengangguran pun meningkat, terutama pada anak muda laki-laki berusia

15-34 tahun.Pengangguran di Jepang pada waktu itu terbagi menjadi dua, yaitu

orang yang tidak bekerja tetapi sedang mencari kerja atau Shitsugyousha (失業者

Sebutan NEET pertama kali muncul di Inggris pada Tahun 1997. Pada

tahun mulai munculnya NEET di Inggris, negara tersebut sejak awal langsung )

dan orang yang tidak bekerja dan tidak mencari kerja atau Hiroudouryoku (非労

動力).Sebagian besar merupakan pelajar atau mahasiswa, dan ibu rumah

tangga.Namun akhir-akhir ini Hiroudouryoku yang tidak termasuk dalam

keduanya meningkat pesat. Orang-orang yang termasuk dalam kategori terakhir

tersebut pada akhirnya disebut NEET ( Not in Education, Employment or

(53)

menyadari masalah tersebut sebagai masalah negara. Sedangkan di Jepang,

walaupun fenomena NEET sudah ada sejak awal 1990, masalah NEET awalnya

dianggap sebagai masalah keluarga dan pribadi masing-masing. Kemudian pada

Tahun 2003 ketika presentasi NEET di Jepang semakin meningkat, masyarakat

Jepang pada akhirnya menilai NEET sebagai sebuah masalah yang dapat

mengancam perekonomian negara. Hingga tahun 2004, NEET tercatat berjumlah

640.000 orang berdasarkan Dokumen Putih Buruh dan Ekonomi (Roudou Keizai

Hakusho).

Munculnya NEET di Jepang serta peningkatannya dari tahun ke tahun

tentunya menimbulkan keresahan masyarakat. Kenyataan bahwa NEET terdiri

dari orang-orang yang tidak bersekolah, tidak bekerja, tidak pula berusaha

mencari pekerjaan, dan bahkan secara tidak langsung menggunakan pajak

masyarakat, membuat NEET dipandang rendah oleh masyarakat, dan menjadi

sebuah fenomena yang meresahkan masyarakat. NEET dianggap sebagai

kumpulan orang yang tidak hanya dapat membahayakan stabilitas negara, tetapi

juga merusak tatanan masyarakat Jepang yang tertata rapi, karena perilaku dan

gaya hidupnya yang tidak sesuai dengan norma-norma dan nilai-nilai yang

dipegang teguh oleh masyarakat Jepang. (Nouki Futagami, 2005:12). Suatu fakta

menunjukkan bahwa masyarakat Jepang dewasa ini telah kehilangan

batasan-batasan masyarakat, yang dahulu merupakan suatu keterpaksaan, sebelum adanya

pertumbuhan ekonomi yang cepat. Moralitas masyarakat saat ini merupakan hasil

perubahan rasa penilaian yang selalu menekankan pada keuntungan ekonomi

daripada kelayakan sosial. Dengan kata lain, masyarakat Jepang saat ini telah

(54)

perilaku yang tak bermoral. Karena kurangnya batasan masyarakat dan moralitas

sosial, masyarakat cenderung berperilaku bebas dan tidak peduli terhadap orang

lain. Kurangnya batasan masyarakat dan moralitas sosial ini dapat diamati secara

nyata di daerah urban dan dengan sedikit perbedaan, di daerah semi urban. Hanya

di daerah pedesaan, yang orang mudanya telah pindah ke kota untuk mencari

pekerjaan, sehingga akibatnya orang-orang tua hidup sendiri dengan

komunitasnya, batasan ini masih sangat kuat. Janti dalam Manabu (2006:181),

mengatakan ”Orang-orang tua di daerah menderita akibat fenomena yang

disebutkasoka (kekurangan penduduk), yang dimulai sejak dimulainya

pertumbuhan ekonomi yang sangat cepat”.

Berdasarkan uraian diatas, penulis merasa tertarik untuk menganalisis

tentang Fenomena NEET dewasa ini yang mempengaruhi kehidupan masyarakat

Jepang. Penulis mencoba menuangkannya dalam skripsi yang diberi judul

“ Fenomena NEET ( Not in Education, Employment or Training) Pada

Masyarakat Jepang”

1.2 Perumusan Masalah

Di Jepang para NEET dikenal juga sebagai mugyousha (orang yang tidak

bekerja atau pengangguran). Ironisnya bila NEET dinegara lain banyak terjadi di

kalangan tidak mampu, justru NEET di Jepang terjadi pada kalangan orang yang

(55)

NEET ini berbeda dengan freeter (istilah untuk pengangguran yang

sedangberusaha untuk mencari pekerjaan tetap) atau ronin (bekas pegawai

pemerintah yang sedang menganggur), karena orang-orang yang tergolong

sebagai NEETsama sekali tidak punya hasrat untuk bekerja. NEET mulai muncul

di Jepang pada tahun 1997, bertepatan dengan krisis moneter.

Saat itu ada sekitar 80 ribu anak muda yang sudah lulus sekolah namun

memilih untuk menganggur tanpa melanjutkan kuliah atau mencari pekerjaan,

padahal saat itu lapangan pekerjaan masih terbuka luas dan persaingan belum

seketat sekarang ini.

Pada tahun 2000 angka itu mengalami peningkatan lima kali lipat menjadi

400 ribu orang. Tahun 2003, jumlah populasi NEET di Jepang sudah mencapai

520 ribu orang danjumlah itu mengalami kelipatan pada tahun 2010.

Meningkatnya jumlah NEET ini menjadi masalah serius

Berdasarkan keterangan di atas maka timbul beberapa pertanyaan antar

lain :

yang dibahas di

pemerintahan Jepang, mengingat hal ini berdampak besar bagi perkembangan

ekonomi dan sosial negara itu di masa mendatang.

1. Bagaimana proses terjadinya NEET di Jepang ?

2. Bagaimana dampak yang ditimbulkan oleh NEET terhadap kehidupan

(56)

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan

Dalam setiap penelitian diperlukan adanya pembatasan masalah agar

pembahasan tidak terlalu melebar sehingga menyulitkan pembaca untuk

memahami pokok permasalahan yang dibahas. Dalam penulisan skripsi ini penulis

membatasi permasalahannya hanya menjelaskan fenomena NEET pada

masyarakat Jepang khususnya bagaimana latar belakang, perkembangan, dampak

serta upaya yang dilakukan untuk menanggulangi masalah sosial ini.

Agar supaya pembahasan memiliki akurasi data yang jelas, maka penulis

pada bab II akan menjelaskan mengenai pengertian dan perkembangan, latar

belakang munculnya NEET di Jepang, serta jenis-jenis NEET .

1.4 Tinjauan Pustaka Dan Kerangka Teori

1.4.1 Tinjauan Pustaka

Sosiologi pada umumnya dikenal sebagai ilmu pengetahuan tentang

masyarakat. Masyarakat adalah sekelompok individu yang mempunyai hubungan,

memiliki kepentingan beersama, dan memiliki budaya. Sosiologi hendak

mempelajari masyarakat, perilaku masyarakat, dan perilaku sosial manusia

dengan mengamati perilaku kelompok yang dibangunnya. Sebagai sebuah ilmu,

sosiologi merupakan pengetahuan kemasyarakatan yang tersusun dari hasil-hasil

pemikiran ilmiah dan dapat di control secara kritis oleh orang lain atau umum

melahirkan budaya baru dan menghasilkan fenomena. Dewasa ini dimana

aktivitas, teknologi dan kebudayaan yang masuk menimbulkan berbagai macam

(57)

berkembangnya kehidupan masyarakat. Fenomena adalah rangkaian peristiwa

serta bentuk keadaan yang dapat diamati dan dinilai lewat kaca mata ilmiah atau

lewat disiplin ilmu tertentu. Fenomena terjadi di semua tempat yang bisa diamati

oleh manusia .

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, fenomena diartikan sebagai

hal-hal yang dinikmati oleh panca indra dan dapat ditinjau secara ilmiah ( Kamus

Besar Bahasa Indonesia : 1997 )

1.4.2. Kerangka Teori

Dalam pengerjaan penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan

penelitian fenomenologi. Fenomenologi berusaha mencari pemahaman bagaimana

manusia menkonstruksi makna dan konsep penting dalam kerangka

intersubjektivitas ( pemahaman kita mengenai dunia dibentuk oleh hubungan kita

dengan orang lain) ( Kuswarno, 2009 : 2 )

Penulis berpendapat menurut teori Fenomenologi ialah setiap manusia

membutuhkan saling berkomunikasi dan berhubungan dengan orang lain.

Kalau ditinjau lebih jauh, sebenarnya lingkungan keluarga dan tempat kerja

juga merupakan faktor pendukung yang menyebabkan sesorang menjadi NEET.

Di Jepang sering kali dijumpai orang tua yang terlalu memanjakan atau over

protected terhadap anaknya, sehingga anaknya menjadi terbiasa menggantungkan

hidup pada orangtuanya.

Penulis juga menggunakan pendekatan penelitian sosiologis, karena dalam

pendekatan ini mencakup golongan sosial yang berperan, jenis hubungan sosial,

(58)

sebagainya ( Dudung Abdurrahman, 1999:11). Menurut Weber dalam

Abdurrahman (1999:11) tujuan penelitian adalah memahami arti subjektif dan

perilaku sosial, bukan semata-mata menyelidiki arti objektifnya. Penulis

menggunakan pendekatan ini adalah untuk mengetahui latar belakang, kehidupan

serta dampak NEET terhadap masyarakat Jepang.

Didalam kehidupan masyarakat dimanapun juga, keluarga merupakan unit

yang mempunyai peranan yang sangat besar, itu disebabkan karena keluarga

(yakni keluarga batih), mempunyai fungsi yang sangat penting dalam kehidupan

bermasyarakat. Sebagai unit terkecil dalam masyarakat, keluarga mempunyai

peranan-peranan tertentu, antaralain:

1. Keluarga berperan sebagai pelindung bagi pribadi-pribadi yang menjadi

anggota, dimana ketentraman dan ketertiban diperoleh dalam wadah

tersebut.

2. Keluarga merupakan unit sosial ekonomis yang secara materil memenuhi

kebutuhan-kebutuhan anggotanya.

3. Keluarga menumbuhkan dasar-dasar bagi kaidah-kaidah pergaulan hidup.

4. Keluarga merupakan wadah dimana manusia mengalami proses

sosialisasi awal, yakni suatu proses dimana manusia mempelajari dan

mematuhi kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.

Gambaran situasi kehidupan keluarga pada umumnya mencakup berbagai

macam aspekyang menjadi hal-hal pokok dalam kehidupan keluarga adalah pola

hubungan dalam keluarga, dan faktor-faktor eksternal (faktor-faktor yang berasal

Gambar

Grafik  Pendapat Masyarakat Jepang Terhadap NEET
Grafik 1 Perkiraan Angka Jumlah Penduduk di Jepang Hingga Tahun
Grafik 2 Jumlah Populasi Perempuan dan Laki-Laki di Jepang Tahun 2000-
Grafik 3 Jumlah Angka Pertumbuhan di Jepang Tahun 1950 – 2008
+3

Referensi

Dokumen terkait

Jenis komik yang dikaji dalam penelitian ini lebih tepat diberikan pada anak usia 11 tahun – remaja mengingat permasalahan yang disajikan dalam komik ini lebih abstrak dan

Oleh itu, fokus kajian ini menumpukan kepada iklan-iklan televisyen terbitan KKMM yang mengandungi nilai murni berdasarkan 16 nilai mumi yang dikemukakan oleh KPM (1994) dan

Nilai koefisien regresi menunjukkan bahwa variabel kualitas produk mempunyai pengaruh terhadap kepuasan konsumen Kedai Kopi Postmo di Alaya Samarinda dan masih ada

 Seseorang atau kelompok yang tidak bertanggung jawab yang mempunyai kemampuan lebih dalam bidang IT juga dapat melakukan penyadapan informasi-informasi penting melalui jaringan

Analisis Pengaruh Struktur Modal Terhadap Kinerja Perusahaan yang Tergabung Dalam Indeks Kompas 100.. Analisis Laporan Keuangan Untuk Menilai Kinerja Keuangan PT

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa strategi bersaing yang tepat untuk digunakan dalam persaingan dengan usaha warnet lainnya yaitu: Ermina 2 Net harus membuat

Purnomo, Cindy Joto, 2013, Pengaruh Kesadaran Wajib Pajak, Kualitas Pelayanan, Sanksi Perpajakan terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi di Surabaya, Tax &

“Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Group Investigation untuk Meningkatkan Hasil Belajar IPS Siswa Kelas IV SD Negeri 56 Pekanbaru”.. Jurnal Primary PGSD