• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab 6. Kesimpulan dan Saran

2. Saran

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan mengenai fungsi fisik pasien nyeri kronis kanker payudara di RSUP.H. Adam Malik Medan, peneliti mengajukan saran-saran berikut.

a. Bagi pelayanan keperawatan

Peneliti ini membuktikan bahwa dimensi aktivitas fisik ini memiliki kontribusi sedikit terhadap fungsi fisik. Diharapkan kepada praktisi keperawatan

b. Bagi peneliti keperawatan Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi untuk menambah wawasan tentang fungsi fisik pasien nyeri kronis kanker payudara dan dapat digunakan sebagai masukan bagi peneliti selanjutnya.

6

BAB

TINJAUAN PUSTAKA

1. Kanker Payudara

1.1 Pengertian Kanker Payudara

Kanker payudara merupakan tumor (kanker) ganas yang bermula dari sel-sel payudara (Gary dkk, 2009). Kebanyakan kanker payudara bermula dalam sel-sel yang ada pada pembuluh-pembuluh atau duct (kanker duktal), meski sebagian juga bermula pada lobula-lobula (kanker lobula), dan sejumlah kecil bermula pada jaringan yang lain (Pamungkas, 2011). Menurut Gengatharan (2014) kanker payudara adalah tumor ganas yang dimulai pada sel-sel payudara dan sel-sel kanker yang dapat tumbuh menjadi invasif jaring sekitar atau bermetastasis ke daerah yang jauh dari tubuh. Menurut Mulyani dan Nuryani (2013) kanker payudara merupakan keganasan yang berasal dari kelenjar, saluran kelenjar, dan jaringan penunjang tidak termasuk kulit payudara.

Kanker payudara adalah tumor ganas yang merupakan salah satu penyakit yang menyerang kelenjar kulit yang berada diluar rongga dada (Jong, 2005).

1.2 Gejala Klinis Nyeri Kronis Kanker Payudara

Gejala umum kanker payudara ini memang tidak khas dan bisa berupa benjolan pada payudara yang tidak terasa nyeri pada salah satu bagian payudara (Purba, 2004). Benjolan pada payudara mula-mula kecil, semakin lama akan semakin besar, lalu melengket pada kulit atau menimbulkan perubahan pada kulit atau pada puting susu (Kardiyudiani, 2012).

Perubahan pada kulit menyebabkan puting payudara tertarik kedalam (retraksi), serta berwarna merah mudah atau kecoklatan sampai edema, sehingga terlihat seperti kulit jeruk, mengerut, atau timbul borok pada payudara, bentuk atau arah puting dapat berubah, misalnya puting payudara tertekan kedalam. Selain gejala itu, gejala lainnya timbul nyeri kronis (Handayani, 2011)..

Gejala nyeri kronis ini terjadi akibat terkenanya struktur otot dan tulang akibat metastasis. Sindrom nyeri yang paling sering ditemukan adalah metastasis ke tulang. Hal ini disebabkan serabut eferen yang bermielin dan tidak bermielin terdapat pada tulang terutama pada periosteum. Neuron yang berada pada tulang mengeluarkan neuropeptid seperti serotonin, bradikinin, prostaglandin E1, prostaglandin E2, prostaglandin F3, kalsitonin dan substansi P yang mana zat tersebut berperan dalam modulasi nyeri dan metabolisme tulang. Prostaglandin F2 mengakibatkan nosiseptor lebih peka dan akan menimbulkan hiperalgesia dan alodinia. Metastasis ke tulang dapat terjadi melalui hematogen dengan lokasi yang tersering adalah kolumna vertebralis, pelvis, tulang iga, skapula, humerus dan

8

1.3 Klasifikasi Kanker Payudara

Kanker payudara diklasifikasi menjadi dua bagian yaitu kanker payudara invasif dan kanker payudara non-invasif sebagai berikut:

1.3.1 Kanker payudara invasif

Ariestine (2010) menyatakan 80% kanker payudara merupakan invasive

ductal carcinoma. Invasive ductal carcinoma adalah kanker payudara invasif

yang merupakan sel kanker yang merusak saluran dan dinding kelenjar susu, serta menyerang lemak dan jaringan konektif payudara disekitarnya (Suprianto, 2010).

1.3.2 Kanker payudara non-invasif

Kanker payudara non-invasive merupakan sel kanker yang terkunci dalam saluran susu, serta tidak menyerang lemak dan jaringan konektif payudara disekitarnya. Kanker payudara non-invasive ada dua yaitu

intraduktal dan lobular carsinoma in situ. Ductal Carcinoma in situ

merupakan kanker payudara non-invasif yang paling sering terjadi (90%) (Suprianto, 2010). Lesi resiko tinggi yang diketahui bisa muncul menjadi kanker payudara adalah Atypical ductal hyperplasia (ADH) dan Lobular

dinding lobula dan wanita yang mengalami hal ini akan mendapat resiko kanker payudara dikemudian hari (Pamungkas, 2011).

1.4.2 Ductal Carcinoma In Situ (DCIS)

Ductal carcinoma in situ (DCIS) merupakan tipe kanker non-invasif dan pengobatan yang paling umum dilakukan adalah mastektomi dengan angka kesembuhan 98% atau 99% (Brunner & Suddarth, 2002).

1.4.3 Invasive Lobular Carcinoma (ILC)

Invasive lobular carcinoma (ILC) mulai terjadi didalam kelenjar susu (lobules) pada payudara, tetapi sering menyebar kebagian tubuh lain. Terjadi

10-15% dari seluruh kejadian kanker payudara (Suprianto, 2010). 1.4.4 invasive ductal carcinoma (IDC)

Invasive ductal carcinoma (IDC) merupakan tipe kanker payudara yang paling umum terjadi, sekitar 80% kasus IDC dari seluruh diagnosis kanker payudara yang terjadi didalam saluran susu pada payudara (Mulyani dan Nuryani, 2013)

1.5 Stadium Kanker Payudara 1.5.1 Stadium 0

Stadium 0 disebut Ductal carsinoma in situ atau non-invasive cancer yaitu kanker tidak menyebar keluar dari pembuluh/saluran payudara dan kelenjar-kelenjar (lobules) susu pada payudara (Mulyani & Nuryani, 2013).

10

1.5.2 Stadium I

Stadium I tumor masih sangat kecil dan tidak menyebar serta tidak ada titik pada pembuluh getah bening (Brunner & Suddarth, 2002).

1.5.3 Stadium IIA

Stadium IIA diameter tumor lebih kecil atau sama dengan 2cm dan telah ditemukan pada titik-titik pada saluran getah bening di ketiak (axillary limph

nodes) dan diameter tumor antara 2-5cm tidak lebih dari 5cm tapi belum

menyebar (Ariestine, 2010). 1.5.4 Stadium IIIA

Stadium IIIA diameter tumor 5 cm dan telah menyebar pada titik-titik pada pembuluh getah bening ketiak, ke dinding dada atau menyebabkan pembengkakan bisa juga luka bernanah di payudara dapat didiagnosis sebagai

inflammatory breast cancer dan tumor telah menyebar lebih dari 10 titik

disaluran getah bening dibawah tulang selangka (Mulyani & Nuryani, 2013). 1.5.5 Stadium IV

Stadium IV sel kanker sudah bermetastasis ke lokasi yang jauh atau menyebar ke organ lain seperti tulang, paru-paru, liver atau tulang rusuk (Handayani, 2011).

1.6 Penatalaksanaan Kanker Payudara 1.6.1 Pembedahan

Tumor primer biasanya dihilangkan dengan pembedahan dan pembedahan dapat dilakukan dengan lumpektomi dimana tindakan pembedahan dengan mengangkat tumor (benjolan) bersama jaringan normal payudara disekitarnya dan prosedur penyelamatan payudara dapat dilakukan dengan anestesis (bius) lokal ataupun total (Pamungkas, 2011). 30% pasien dengan kelenjar limfe aksila negatif melakukan tindakan diseksi menunjukkan hasil positif secara histologi (Ariestine, 2010).

1.6.2 Kemoterapi

Kemoterapi adalah salah satu bagian dari penanganan penderita kanker dengan menggunakan suatu agen kimia yang dapat menghentikan atau menghambat pertumbuhan sel-sel kanker tersebut (Pamungkas, 2011). Berdasarkan hasil penelitian Kardiyudiani, (2012) lebih dari 50% penderita kanker mendapat tindakan pengobatan dengan kemoterapi dan efeknya bagi banyak penderita sangat efektif. Cara kerja obat kemoterapi adalah dengan membunuh sel-sel kanker, pemberiannya dapat dilakukan dengan injeksi/infus, atau oral dalam bentuk pil (Mulyani & Nuryani, 2013).

12

Macam kemoterapi menurut Rahmawati (2009) yaitu: a. Zat alkilasi

Berkhasiat kuat terhadap sel-sel yang sedang membelah akibat gugus alkilnya yang reaktif, sehingga dapat merintangi penggandaan DNA dan pembelahan sel, misal : klorambusil dan siklofosfamid. b. Antimetabolit

Mengganggu sintesis DNA dengan jalan antagonisme saingan, misal : merkaptopurin.

c. Antimitotika

Zat ini menghindari pembelahan sel pada tingkat metafase, jadi merintangi pembelahan inti, misal : paklitaksel dan vinblastin. d. Antibiotika

Beberapa jenis antibiotika dari jenis jamur Streptomyces juga berkhasiat sitotoksik disamping kerja antibakterinya, misal : doksorubisin, bleomisin dan daunorubisin.

e. Imunomodulansia

Zat ini berdaya mempengaruhi secara positif reaksi biologis dari tubuh terhadap tumor, misal : sitokin atau limfokin dan siklosporin.

1.6.3 Radioterapi

Terapi radiasi dengan sinar-X dengan intensitas tinggi untuk membunuh sel kanker yang tidak terangkat saat pembedahan dan bertujuan untuk menyembuhkan atau mengecilkan kanker pada stadium dini (Ariestine, 2010). Hasil penelitian Wulandari (2012) yang dilakukan pada 34 pasien kanker payudara yang menjalani terapi, di dapat hasil angka harapan hidup dua tahun pasien kanker payudara sebesar 64,7%.

Pasien kanker payudara dapat mengalami nyeri kronis yang disebabkan lamanya nyeri yang dialami lebih dari enam bulan dan menetap sepanjang periode tertentu.

14

2 Nyeri Kronis

2.1 Pengertian Nyeri Kronis

Nyeri kronis adalah nyeri konstan atau intermiten yang menetap sepanjang periode tertentu, berlangsung lama, intensitas bervariasi, dan biasanya berlangsung lebih dari enam bulan (Saragih, 2011). Defenis standar nyeri kronis didukung oleh

Asosiasi International untuk Studi Pain menyatakan bahwa nyeri kronis yang terus

berlanjut dan berlangsung selama 6 bulan (Apkarian, Baliki, dan Geha, 2010). Nyeri kronik dapat mempengaruhi fungsi pada berbagai dimensi (Potter & Perry, 2010).

Pada kondisi tertentu, seseorang dapat dikatakan mengalami nyeri kronik meskipun keluhan nyeri belum mencapai masa 6 bulan, tetapi nyeri kronik dapat ditetapkan pada suatu keadaan saat seseorang merasakan nyeri yang lebih dari waktu 6 bulan (Usman, 2009). Nyeri kronis bisa berasal dari nyeri akut yang tidak tertangani dengan baik, namun seringkali dengan penyebab yang tidak jelas atau tidak terdeteksi dan nyeri kronik memerlukan penatalaksanaan khusus yang bersifat multidispliner (Moeliono, 2008).

Nyeri kronis biasanya bagian dari situasi yang lebih kompleks dan dapat muncul dari lokasi viscera, jaringan miofasial, atau penyebab-penyebab

pengobatan yang dijalani tidak dapat menurunkan intensitas nyeri yang dirasakan (Sarafino & Smith, 2011 dalam Hanum, 2012).

2.2 Nyeri Kronis Kanker Payudara

Nyeri Kronis kanker payudara merupakan kombinasi dari beberapa komponen nyeri akut, intermiten (berselang/hilang-muncul/sementara), kronis dan nyeri kronis kanker dapat muncul pada tempat/situs primer kanker sebagai akibat akspansi tumor, penekanan/kompresi saraf atau infiltrasi oleh tumor, obstruksi maligna, atau infeksi pada ulkus maligna (Rospond, 2008).

Bishop (2005 dalam Putri & Sukmarini, 2013) melaporkan bahwa 90% pasien kanker payudara mengeluhkan gejala utamanya adalah nyeri kanker. Usman (2009) mengatakan bahwa pasien kanker payudara yang mengalami nyeri kronik dapat disebabkan oleh perkembangan dari sel tumor, dan kecemasan dan rasa tidak berdaya yang dialami oleh pasien dapat menjadi penyebab nyeri dan memperberat rasa nyeri.

Nyeri kanker memiliki beberapa karakteristik yang membedakan dengan nyeri kronis non-kanker, karakteristik nyeri kronis antara lain intensitas bersifat tidak tetap, durasinya dapat bertahan lama hingga lebih enam bulan, lokasi dan kualitasnya sering berubah-ubah sejalan dengan proses penyakit dan pengobatannya (Strong & Bennett, 2002 dalam Putri & Sukmarini, 2013). Pasien kanker payudara akan mengalami nyeri nosiseptif (nyeri akut) atau nyeri neuropatik (nyeri kronis) maupun keduanya (Putri & Sukmarini, 2013). Menurut

16

sebagai akibat dari kompresi saraf oleh tumor, trauma yang ditimbulkan dari tindakan diagnostik, pembedahan cedera pada sistem saraf yang diakibatkan oleh pengobatan.

2.3 Penanganan Nyeri Kronis Kanker Payudara

Penanganan nyeri kronis mencakup pendekatan farmakologis dan non-farmakologis. Pendekatan ini diseleksi berdasarkan pada kebutuhan dan tujuan pasien secara individu (Brunner & Suddarth, 2002).

2.3.1 Farmakologi

Penggunaan farmakologi merupakan cara yang paling sering digunakan untuk mengatasi nyeri kronis (Hanum, 2012). Pengobatan yang umum digunakan untuk mengobati nyeri dengan kategori ringan hingga sedang pada sistem muskuloskeletal adalah acetaminophen dan nonsteroidal

anti-inflamamatory drugs (NSAIDs), apabila nyeri kronis yang dialami

tergolong kedalam kategori sedang hingga parah diatasi dengan obat opioid

analgesic, seperti morphine sulfate atau oxycodone (Hanum, 2012).

2.3.2 Non-Farmakologi

a. Stimulasi dan Massage Kutaneus

dilakukan massage didapat hasil dengan menggunakan uji Wilconxon

Signed Test p ≤0,05.

b. Terapi Es

Terapi es (dingin) dapat merupakan strategi untuk meredakan nyeri dan bekerja dengan menstimulasi reseptor tidak nyeri (non-reseptor). Hasil penelitian Rosyid dan Putra, (2010) dengan menggunakan uji Wilconxon

Signed Test didapat nilai P=0,07 dengan 6 responden dilakukan terapi es

dapat menurunkan prostaglandin, yang memperkuat sensitivitas reseptor nyeri dan subkutan lain dengan menghambat proses inflamasi.

c. Terapi Stimulasi Saraf Elekris Transkutan

Stimulasi Saraf Elekris Transkutan (TENS) menggunakan unit yang memakai baterai dengan elektroda yang dipasang pada kulit untuk menghasilkan sensasi kesemutan, menggetar atau mendengung pada area nyeri.

Hasil penelitian Rosyid dan Putra, (2010) menyatakan bahwa terapi TENS dapat menghilangkan nyeri kronik dan menurunkan nyeri dengan menstimulasi reseptor tidak nyeri (non-reseptor) pada 6 responden didapat nilai dengan menggunakan uji Wilconxon Signed Test p=0,02.

d. Distraksi

Distraksi dapat menurunkan persepsi nyeri dengan menstimulasi sistem kontrol desenden, mengakibatkan lebih sedikit stimuli nyeri yang

18

Rampengan, Rondonuwu dan Onibala, (2014) melakukan penelitian terhadap 15 responden setelah dilakukan teknik distraksi tidak terdapat pasien yang mengalami nyeri dengan menggunakan uji Wicoxon

pada tingkat kemaknaan 95% (α=0,05), dengan nilai P sebesar 0,001 atau

dengan kata lain nilai P<0,05 e. Teknik Relaksasi

Relaksasi otot skeletal dapat menurunkan nyeri dengan merilekskan ketegangan otot yang menunjang nyeri. Sumiati, Kadrianti & Basri (2012) melakukan penelitian terhadap 20 responden dilakukan teknik relaksasi tidak terdapat pasien yang mengalami nyeri dengan nilai P=0,000.

f. Imajinasi Terbimbing

Imajinasi terpimpin merupakan teknik relaksasi yang dapat memberikan kontrol pada pasien sehingga memberikan kenyamanan, meningkatkan relaksasi pada pasien. Aprianto (2012) melakukan penelitian terhadap 10 responden dilakukan terapi imajinasi terpimpin didapat � value 0,015 dapat meningkatkan relaksasi pada pasien (Aprianto, 2012).

hipnosis terdapat penurunan intensitas nyeri yang signifikan pada pasien dengan p value 0,000.

2.4 Pengukuran Nyeri

Tipe pengukuran nyeri ada 3 yaitu self-report measure, observational measure, dan pengukuran fisiologis menurut Rospond (2008). Self-report merupakan standar gold yang digunakan untuk mengukur nyeri karena konsisten terhadap defenisi/makna nyeri. Menurut Wati, Pudjiadi dan Latiet (2012 dalam Renovaldi, Novayelinda dan Rahmalia, 2014), secara umum teknik self-report merupakan metode yang paling sering dipakai dalam penilaian nyeri. Pengukuran ini didasarkan pada persepsi nyeri dari pasien, dan persepsi tersebut dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor termasuk faktor kejujuran dari pasien. Pasien diminta unutk menilai sendiri rasa nyeri yang dirasakan apakah nyeri yang berat (sangat berat), kurang nyeri dan nyeri sedang. Menggunakan buku harian merupakan cara lain unutk memperoleh informasi baru tentang nyerinya jika nyerinya terus menerus atau menetap atau kronik. Cara ini sangat membantu untuk mengukur pengaruh nyeri terhadap kehidupan pasien tersebut. Pengukuran nyeri dalam self-report yaitu skala pengukuran nyeri (misalnya visual analog scale/VAS, visual rating scala/VRS, numeric rating scale/NRS), McGill Pain Quesioner, Diary).

Observational measure merupakan metode lain dari pengukuran nyeri, biasanya mengandalkan pada seseorang terapis untuk mencapai kesempurnaan dalam pengukuran dari berbagai aspek pengalaman nyeri dan biasanya berkaitan

20

dengan tingkah laku penderita. Pengukuran ini relatif mahal karena membutuhkan waktu observasi yang lama (Renovaldi et al, 2014).

Pengukuran fisiologis merupakan pengukuran nyeri dimana nyeri dapat menyebabkan perubahan biologis pada denyut nadi, respirasi, keringat dan perubahan lainnya yang berkaitan dengan respon stress. Pengukuran biologis ini dapat digunakan sebagai pengukuran tidak langsung pada nyeri akut, tetapi respon biologis pada nyeri akut dapat distabilkan dalam beberapa waktu. Pengukuran fisiologis berguna dalam keadaan dimana pengukuran secara observasi lebih sulit dilakukan. Pada pengukuran fisiologis yang termasuk dalam pengukuran fisiologis adalah pemeriksaan denyut nadi, pernafasan, (Respond, 2008).

Pengukuran nyeri dilihat dari tanda-tanda karakteristik yang ditimbulkan menurut Tamsuri (2007) yaitu:

a. nyeri ringan umumnya memiliki gejala yang tidak dapat terdeteksi b. nyeri sedang atau moderat memiliki karakteristik : Peningkatan

frekuensi pernafasan, peningkatan tekanan darah, peningkatan kekuatan otot, dilatasi pupil.

c. nyeri berat memiliki karakteristik : Muka pucat, otot mengeras, penurunan frekuensi nafas dan tekanan darah, kelelahan dan

3. Fungsi Fisik

3.1 Pengertian Fungsi Fisik

Fungsi fisik merupakan kemampuan atau kapasitas untuk melakukan berbagai aktivitas fisik yang normal bagi seseorang dalam kondisi sehat yang baik (Stewart & Kamberg, 1992 dalam haryati, 2009). The Promis Assessment Center (2013) menyatakan fungsi fisik merupakan kemampuan seseorang untuk melaksanakan kegiatan yang memerlukan tindakan fisik, perawatan diri (kegiatan hidup sehari-hari), untuk kegiatan yang lebih kompleks, berjalan. Fungsi fisik berarti kemampuan atau kapasitas untuk melakukan berbagai aktivitas fisik yang normal bagi seseorang dalam kondisi kesehatan yang baik (stewart, 1992 dalam haryati, 2009). Fungsi fisik dapat dijelaskan dalam tiga dimensi yaitu aktivitas perawatan diri, meliputi mandi, berpakaian, makan, aktivitas mobilisasi, meliputi berhubungan dengan berpergian ke sekeliling dalam dan luar rumah dan dimasyarakat dan aktivitas fisik untuk berjalan mengangkat benda (Bianchi, 1995 dalam haryati, 2009).

3.2 Dimensi Fungsi Fisik

3.2.1 Aktivitas Perawatan Diri

Perawatan diri atau kebersihan diri (personal hygine) merupakan perawatan diri sendiri yang dilakukan untuk mempertahankan kesehatan baik secara fisik maupun psikologis. Pemenuhan perawatan diri dipengaruhi berbagai faktor diantaranya budaya nilai sosial pada individu atau keluarga

22

(Hidayat, 2009). Menurut Rospond (2008) dalam penelitiannya mengatakan bahwa ketidakmampuan fungsi fisik pasien disebabkan oleh nyeri, misalnya perubahan aktivitas kehidupan sehari-hari atau kemampuan merawat diri sendiri.

3.2.2 Aktivitas Mobilisasi

Mobilitas merupakan kemampuan individu untuk bergerak secara bebas, mudah dan teratur dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan aktivitas guna mempertahankan kesehatannya (Hidayat 2009). Aktivitas mobilisasi meliputi mampu berjalan sajauh satu blok pada tanah datar saat, mampu berjalan manaiki dan menuruni dua anak tangga, mampu berjalan dalam jarak yang dekat misalnya disekitar rumah, mampu naik dan turun dari tempat tidur (The

Promis Assessment center). Aktivitas mobilisasi meliputi aktivitas yang

berhubungan dengan berpergian ke sekeliling dalam dan luar rumah dan dimasyarakat (Bianchi, 1995 dalam Haryati, 2009).

Jenis mobilitas menurut Hidayat (2009) : a. Mobilitas penuh

Mobilisasi penuh merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak secara penuh dan bebas sehingga dapat melakukan interaksi sosial dan

Mobilisasi sebagian merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak dengan batasan jelas dan tidak mampu bergerak secara bebas karena dipengaruhi oleh gangguan saraf motorik

3.2.3 Aktivitas fisik

Aktifitas fisik merupakan gerakan menggunakan otot rangka. Aktivitas fisik juga merupakan gejala yang ditimbulkan akibat pengobatan kanker. Aktivitas fisik meliputi:

a. mampu melakukan pekerjaan halaman seperti menyapu halaman, mencabut rumput

b. melakukan kegiatan berat

c. mampu membungkuk dan mengutip pakaian dari atas lantai atau benda lain

mampu mendorong pintu yang berat.

d. mampu mendorong dan membuka pintu yang berat

e. mampu mencapai dan menurunkan sesuatu yang berada di atas kepala Anda (misalkan sebuah kaleng susu)

f. kesehatan sekarang membatasi Anda dalam bekerja selama delapan jam

(The Promis Assessment center).

3.3Faktor-faktor yang Mempengaruhi Fungsi Fisik Kanker payudara 3.3.1 Nyeri

Pasien kanker payudara yang mengalami nyeri akan merasakan tidak berdaya dalam melakukan pengobatan karena adanya keluhan fisik seperti karena nyeri, mual dan muntah sehingga prosedur pengobatan yang buruk

24

akan mengakibatkan fungsi fisik dalam melakukan aktivitas harian terhambat. keluhan fisik yang dialami membuat pasien merasa tidak berdaya untuk menjalani pengobatan menyebabkan perilaku kepatuhan pengobatan yang buruk dan fungsi fisik dalam melakukan aktivitas harian terhambat (Pederson et al, 2010).

3.3.2 Kecemasan

Pasien yang mengalami kecemasan terhadap yang tidak diketahui atau kecemasan yang mengambang kecemasan yang berkaitan dengan kerusakan integritas tubuh, kecemasan terhadap prosedur pemeriksaan, perawatan yang lama, bed rest dan adanya keluhan fisik lain seperi nyeri, mual dan muntah , gangguan kecemasan yang tidak ditangani dapat menyebabkan perilaku kepatuhan pengobatan yang buruk dan fungsi fisik dalam melakukan aktivitas harian terhambat. Dampak buruk lainnya pasien akan mengalami depresi jika kecemasan yang berkepanjangan pada penderita kanker payudara (Pederson et al, 2010).

3.3.3 Stadium

Saat penderita kanker payudara mengetahui bahwa kanker yang dideritanya sudah mencapai stadium lanjut, terdapat tiga fase reaksi

psikoterapeutik seperti keramahan, penuh pengertian, simpatik, menyediakan waktu untuk berbagi lebih dirasakan sebagai pengobatan dibandingkan dengan tindakan teknis seperti pengobatan kemoterapi selama perawatan (Hawari, 2004).

3.3.4 Kemoterapi

Kemoterapi merupakan proses pemberian obat-obat anti kanker dapat secara oral dan intravenous (diinfuskan) (Mulyani & Nuryani, 2013).Kemoterapi merupakan proses pemberian obat dengan tujuan untuk memperlemah dan menghancurkan sel kanker dalam tubuh, termasuk sel-sel pada tempat kanker aslinya dan beberapa sel-sel kanker yang mungkin menyebar ke bagian lain dari tubuh tersebut (Pamungkas, 2011).

Kemoterapi mempunyai efek toksik pada sum-sum tulang yang disebut mie losupresi. Sel-sel darah sangat cepat bergenerasi, sehingga ikut dihancurkan oleh obat kemoterapi yang mengakibatkan neutropenia, trombositopenia, dan anemia. Pasien yang menjalani kemoterapi adjuvant menunjukkan bahwa fungsi fisik mengalami penurunan selama kemoterapi (Haryati, 2009). Efek kemoterapi dapat memperburuk kemampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhan dan menjalankan aktivitasnya sehari-hari akibat penyakit kanker payudara yang dialami (Melia, Putrayasa & Azis, 2011). 3.3.5 Kanker

26

yang baru dalam hidupnya. Kanker merupakan penyakit yang kompleks yang manisfestasinya bervariasi dan sel jaringan sudah tubuh menjadi ganas yang ditandai oleh pembelahan sel dan cepat dan tidak terkendali membentuk sel sejenis dengan sel asalnya, namun dalam bentuk primitif dan tidak sempurna (Ensiklopedia, 1990:121 dalam Prastiwi, 2012).

3.4 Pengukuran Fungsi Fisik

Stewart dan Kamberg (1992, dalam Haryati, 2009) menyatakan bahwa fungsi fisik menilai kemampuan seseorang untuk melaksanakan kegiatan yang memerlukan tindakan fisik, mulai dari perawatan diri (kegiatan sehari-hari), untuk kegiatan yang lebih kompleks yang membutuhkan suatu kombinasi dari ketrampilan. Pengukuran fungsi fisik dengan menggunakan PROMIS SF v1.0-Physical Function. Pengukuran fungsi fisik dengan menggunakan PROMIS SF v1.0-Physical Function menilai kemampuan pasien nyeri kronis pada pasien kanker payudara . setiap item Promis menilai untuk melakukan berbagai kegiatan seperti aktivitas perawatan diri meliputi mandi, menggunakan kamar mandi, aktivitas mobilisasi meliputi aktivitas yang berhubungan dengan berpergian sekeliling dalam dan luar, dan aktivitas fisik meliputi kemampuan berjalan, mengangkat benda. Instrumen mengukur fungsi fisik pasien nyeri kronis kanker

instrumen telah dilakukan dengan kriteria yang sama dengan responden

penelitian dengan Cronbach α = 0,92-0,96.

3.5 Fungsi Fisik Pasien Nyeri Kronis Kanker Payudara

Penelitian mengatakan sebagian penderita kanker payudara mengalami potensi yang hilang dalam hal gangguan fungsi fisik atau dalam aktifitas harian dan rasa nyeri Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar (66,7%) mengalami gangguan fungsi fisik atau dalam melakukan aktifitas harian. 53,33% meninggalkan pekerjaan karena rasa nyeri (Palu & Nurdin, 2014).

Pasien kanker payudara memiliki kemungkinan lebih besar untuk meninggal akibat kondisi kesehatan secara keseluruhan buruk jika kemampuan mereka aktivitas sehari-hari terpengaruh oleh penyakit yang dideritanya atau pengobatan. Hal itu terungkap dalam studi yang terbaru yang mengamati 2.202 penderita kanker payudara di Callifornia resiko akibat kanker payudara adalah bagi mereka yang memiliki keterbatasan fisik yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk

Dokumen terkait