• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

6.2. Saran

Dari seluruh proses dalam menyelesaikan penelitian ini, maka dapat diungkapkan beberapa saran yang mungkin dapat bermanfaat bagi semua pihak yang berperan dalam penelitian ini. Adapun saran tersebut, yaitu:

1. Disarankan penelitian ini dapat menjadi masukan bagi pihak RSUP H.Adam Malik Medan, khususnya bagian kardiologi, guna mengambil

langkah - langkah untuk mendiagnosis gagal jantung kongestif berdasarkan gambaran klinis pasien.

2. Disarankan kepada pihak RSUP H.Adam Malik Medan, khususnya yang bertanggung jawab dalam kelengkapan data rekam medis, seperti dokter dan paramedis untuk melengkapi data rekam medis serta menulis dengan rapi dan jelas sehingga pembaca dapat memahami dengan benar dan tepat. 3. Disarankan kepada masyarakat untuk lebih mengerti dan mengetahui

gambaran-gambaran gagal jantung kongestif sehingga masyarakat dapat melakukan deteksi dini terhadap penyakit gagal jantung kongestif.

4. Disarankan kepada masyarakat untuk lebih memahami dan melakukan upaya pencegahan terhadap terjadinya penyakit jantung koroner dan hipertensi, serta melakukan pemeriksaan bagi yang memiliki risiko sehingga angka kejadian gagal jantung kongestif dapat diturunkan.

5. Bagi penelitian selanjutnya disarankan agar lebih memperluas cakupan penelitiannya, khususnya dalam jumlah sampel dan lokasi penelitian sehingga dapat lebih bermanfaat dalam perkembangan ilmu pengetahuan di bidang kedokteran dan kesehatan.

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Jantung

2.1.1. Anatomi Jantung

Jantung terletak di rongga toraks di antara paru – paru. Lokasi ini dinamakan mediastinum (Scanlon, 2007). Jantung memiliki panjang kira-kira 12 cm (5 in.), lebar 9 cm (3,5 in.), dan tebal 6 cm (2,5 in.), dengan massa rata – rata 250 g pada wanita dewasa dan 300 g pada pria dewasa. Dua pertiga massa jantung berada di sebelah kiri dari garis tengah tubuh (Tortora, 2012). Pangkal jantung berada di bagian paling atas, di belakang sternum, dan semua pembuluh darah besar masuk dan keluar dari daerah ini (Scanlon, 2007). Apeks jantung yang dibentuk oleh ujung ventrikel kiri menunjuk ke arah anterior, inferior, dan kiri, serta berada di atas diafragma.

Membran yang membungkus dan melindungi jantung disebut perikardium. Perikardium menahan posisi jantung agar tetap berada di dalam mediastinum, namum tetap memberikan cukup kebebasan untuk kontraksi jantung yang cepat dan kuat. Perikardium terdiri dari dua bagian, yaitu perikardium fibrosa dan perikardium serosa. Perikardium fibrosa terdiri dari jaringan ikat yang kuat, padat, dan tidak elastis. Sedangkan perikardium serosa lebih tipis dan lebih lembut dan membentuk dua lapisan mengelilingi jantung. Lapisan parietal dari perikardium serosa bergabung dengan perikardium fibrosa. Lapisan viseral dari perikardium serosa, disebut juga epikardium, melekat kuat pada permukaan jantung. Di antara perikardium parietal dan viseral terdapat cairan serosa yang diproduksi oleh sel perikardial. Cairan perikardial ini berfungsi untuk mengurangi gesekan antara lapisan – lapisan perikardium serosa saar jantung berdenyut. Rongga yang berisi cairan perikardial disebut sebagai kavitas perikardial.

Dinding jantung terdiri dari tiga lapisan, yaitu epikardium (lapisan paling luar), miokardium (lapisan bagian tengah), dan endokardium (lapisan paling dalam). Seperti yang telah disebutkan di atas, lapisan epikardium merupakan lapisan viseral perikardium serosa yang disusun oleh mesotelium dan jaringan ikat

lunak, sehingga tekstur permukaan luar jantung terlihat lunak dan licin. Miokardium merupakan jaringan otot jantung yang menyusun hampir 95% dinding jantung. Miokardium bertanggung jawab untuk pemompaan jantung. Meskipun menyerupai otot rangka, otot jantung ini bekerja involunter seperti otot polos dan seratnya tersusun melingkari jantung. Lapisan terdalam dinding jantung, endokardium, merupakan lapisan tipis endotelium yang menutupi lapisan tipis jaringan ikat dan membungkus katup jantung.

Jantung mempunyai empat ruangan. Dua ruangan penerima di bagian superior adalah atrium, sedangkan dua ruangan pemompa di bagian inferior adalah ventrikel. Atrium kanan membentuk batas kanan dari jantung (Tortora, 2012) dan menerima darah dari vena kava superior di bagian posterior atas, vena kava inferior, dan sinus koroner di bagian lebih bawah. Atrium kanan ini memiliki ketebalan sekitar 2 – 3 mm (0,08 – 0,12 in.). Dinding posterior dan anteriornya sangat berbeda, dinding posteriornya halus, sedangkan dinding anteriornya kasar karena adanya bubungan otot yang disebut pectinate muscles. Antara atrium kanan dan kiri ada sekat tipis yang dinamakan septum interatrial. Darah mengalir dari atrium kanan ke ventrikel kanan melewati suatu katup yang dinamakan katup trikuspid atau katup atrioventrikular (AV) kanan.

Ventrikel kanan membentuk pemukaan anterior jantung dengan ketebalan sekitar 4 – 5 mm (0,16 – 0,2 in.) dan bagian dalamnya dijumpai bubungan - bubungan yang dibentuk oleh peninggian serat otot jantung yang disebut trabeculae carneae. Ventrikel kanan dan ventrikel kiri dipisahkan oleh septum interventrikular. Darah mengalir dari ventrikel kanan melewati katup pulmonal ke arteri besar yang dinamakan trunkus pulmonal. Darah dari trunkus pulmonal kemudian dibawa ke paru – paru. Atrium kiri memiliki ketebalan yang hampir sama dengan atrium kanan dan membentuk hampir keseluruhan pangkal dari jantung. Darah dari atrium kiri mengalir ke ventrikel kiri melewati katup bikuspid (mitral) atau katup AV kiri. Ventrikel kiri merupakan bagian tertebal dari jantung, ketebalan sekitar 10 – 15 mm (0,4 – 0,6 in.) dan membentuk apeks dari jantung. Sama dengan ventrikel kanan, ventrikel kiri mempunyai trabeculae carneae dan chordae tendineae yang menempel pada muskulus papilaris. Darah dari ventrikel

kiri ini akan melewati katup aorta ke ascending aorta. Sebagian darah akan mengalir ke arteri koroner dan membawa darah ke dinding jantung (Tortora, 2012).

Gambar 2.1. Struktur anatomi jantung bagian dalam

Sumber: Tortora, G.J., Derrickson, B., 2012. The Cardiovascular System: The Heart. In: Roesch, B., et al., eds. Principles of Anatomy and Physiology. 13th ed. USA: John Wiley & Sons, 763

2.1.2. Fisiologi Jantung a. Siklus Jantung

Siklus jantung terdiri dari periode sistol (kontraksi dan pengosongan isi) dan diastol (relaksasi dan pengisian jantung). Atrium dan ventrikel mengalami siklus sistol dan diastol yang terpisah. Kontraksi terjadi akibat penyebaran eksitasi ke seluruh jantung, sedangkan relaksasi timbul setelah repolarisasi jantung.

Selama diastol ventrikel dini, atrium juga masih berada dalam keadaan diastol. Karena aliran masuk darah yang kontinu dari sistem vena ke dalam atrium, tekanan atrium sedikit melebihi tekanan ventrikel walaupun kedua bilik tersebut melemas. Karena perbedaan tekanan ini, katup AV terbuka, dan darah mengalir langsung dari atrium ke dalam ventrikel selama diastol ventrikel.

berkontraksi. Pada akhir diastol ventrikel, nodus sinoatrium (SA) mencapai ambang dan membentuk potensial aksi. Impuls menyebar ke seluruh atrium dan menimbulkan kontraksi atrium. Setelah eksitasi atrium, impuls berjalan melalui nodus AV dan sistem penghantar khusus untuk merangsang ventrikel. Ketika kontraksi ventrikel dimulai, tekanan ventrikel segera melebihi tekanan atrium. Perbedaan tekanan yang terbalik inilah yang mendorong katup AV tertutup.

Setelah tekanan ventrikel melebihi tekanan atrium dan katup AV sudah menutup, tekanan ventrikel harus terus meningkat sampai tekanan tersebut cukup untuk membuka katup semilunar (aorta dan pulmonal). Dengan demikian, terdapat periode waktu singkat antara penutupan katup AV dan pembukaan katup aorta. Karena semua katup tertutup, tidak ada darah yang masuk atau keluar dari ventrikel selama waktu ini. Interval ini disebut sebagai periode kontraksi ventrikel isometrik (Sherwood, 2001). Pada saat tekanan ventrikel kiri melebihi 80 mmHg dan tekanan ventrikel kanan melebihi 8 mmHg, katup semilunar akan terdorong dan membuka. Darah segera terpompa keluar dan terjadilah fase ejeksi ventrikel. Pada akhir sistolik, terjadi relaksasi ventrikel dan penurunan tekanan intraventrikular secara cepat. Peningkatan tekanan di arteri besar menyebabkan pendorongan darah kembali ke ventrikel sehingga terjadi penutupan katup semilunar. Tidak ada lagi darah yang keluar dari ventrikel selama siklus ini, namun katup AV belum terbuka karena tekanan ventrikel masih lebih tinggi dari tekanan atrium. Dengan demikian, semua katup sekali lagi tertutup dalam waktu singkat yang dikenal sebagai relaksasi ventrikel isovolumetrik (Guyton, 2006).

b. Curah Jantung dan Kontrolnya

Curah jantung (cardiac output) adalah volume darah yang dipompa oleh tiap – tiap ventrikel per menit (bukan jumlah total darah yang dipompa oleh jantung). Selama satu periode waktu tertentu, volume darah yang mengalir melalui sirkulasi paru ekivalen dengan volume darah yang mengalir melalui sirkulasi sistemik. Dengan demikian, curah jantung dari kedua ventrikel dalam keadaan normal identik, walaupun apabila diperbandingkan denyut demi denyut, dapat terjadi variasi minor. Dua faktor penentu curah jantung adalah kecepatan

denyut jantung (denyut per menit) dan volume sekuncup (volume darah yang dipompa per denyut). Kecepatan denyut jantung rata – rata adalah 70 kali per menit, yang ditentukam oleh irama sinus SA, sedangkan volume sekuncup rata – rata adalah 70 ml per denyut, sehingga curah jantung rata – rata adalah 4.900 ml/menit atau mendekati 5 liter/menit.

Kecepatan denyut jantung terutama ditentukan oleh pengaruh otonom pada nodus SA. Nodus SA dalam keadaan normal adalah pemacu jantung karena memiliki kecepatan depolarisasi spontan tertinggi. Ketika nodus SA mencapai ambang, terbentuk potensial aksi yang menyebar ke seluruh jantung dan menginduksi jantung berkontraksi. Hal ini berlangsung sekitar 70 kali per menit, sehingga kecepatan denyut rata – rata adalah 70 kali per menit. Jantung dipersarafi oleh kedua divisi sistem saraf otonom, yang dapat memodifikasi kecepatan serta kekuatan kontraksi. Saraf parasimpatis ke jantung yaitu saraf vagus mempersarafi atrium, terutama nodus SA dan nodus atrioventrikel (AV). Pengaruh sistem saraf parasimpatis pada nodus SA adalah menurunkan kecepatan denyut jantung, sedangkan pengaruhnya ke nodus AV adalah menurunkan eksitabilitas nodus tersebut dan memperpanjang transmisi impuls ke ventrikel. Dengan demikian, di bawah pengaruh parasimpatis jantung akan berdenyut lebih lambat, waktu antara kontraksi atrium dan ventrikel memanjang, dan kontraksi atrium melemah.

Sebaliknya, sistem saraf simpatis, yamg mengontrol kerja jantung pada situasi – situasi darurat atau sewaktu berolahraga, mempercepat denyut jantung melalui efeknya pada jaringan pemacu. Efek utama stimulasi simpatis pada nodus SA adalah meningkatkan keceptan depolarisasi, sehingga ambang lebih cepat dicapai. Stimulasi simpatis pada nodus AV mengurangi perlambatan nodus AV dengan meningkatkan kecepatan penghantaran. Selain itu, stimulasi simpatis mempercepat penyebaran potensial aksi di seluruh jalur penghantar khusus.

Komponen lain yang menentukan curah jantung adalah volume sekuncup. Terdapat dua jenis kontrol yang mempengaruhi volume sekuncup, yaitu kontrol intrinsik yang berkaitan dengan seberapa banyak aliran balik vena dan kontrol ekstrinsik yang berkaitan dengan tingkat stimulasi simpatis pada jantung. Kedua faktor ini meningkatkan volume sekuncup dengan meningkatkan kontraksi otot

jantung. Hubungan langsung antara volume diastolik akhir dan volume sekuncup membentuk kontrol intrinsik atas volume sekuncup, yang mengacu pada kemampuan inheren jantung untuk mengubah volume sekuncup. Semakin besar pengisian saat diastol, semakin besar volume diastolik akhir dan jantung semakin teregang. Semakin teregang jantung, semakin meningkat panjang serat otot awal sebelum kontraksi. Peningkatan panjang menghasilkan gaya yang lebih kuat, sehingga volume sekuncup menjadi lebih besar. Hubungan antara volume diastolik akhir dan volume sekuncup ini dikenal sebagai hukum Frank-Starling pada jantung.

Secara sederhana, hukum Frank-Starling menyatakan bahwa jantung dalam keadaan normal memompa semua darah yang dikembalikan kepadanya, peningkatan aliran balik vena menyebabkan peningkatan volume sekuncup. Tingkat pengisian diastolik disebut sebagai preload, karena merupakan beban kerja yang diberikan ke jantung sebelum kontraksi mulai. Sedangkan tekanan darah di arteri yang harus diatasi ventrikel saat berkontraksi disebut sebagai afterload karena merupakan beban kerja yang ditimpakan ke jantung setelah kontraksi di mulai. Selain kontrol intrinsik, volume sekuncup juga menjadi subjek bagi kontrol ekstrinsik oleh faktor – faktor yang berasal dari luar jantung, diantaranya adalah efek saraf simpatis jantung dan epinefrin (Sherwood, 2011).

c. Tekanan Darah

Tekanan darah adalah tekanan hidrostatik yang diakibatkan karena penekanan darah pada dinding pembuluh darah. Tekanan darah sistolik adalah tekanan darah tertinggi yang dicapai arteri selama sistol, sedangkan tekanan darah diastolik adalah tekanan darah terendah yang dicapai arteri selama diastol. Tekanan arteri rata – rata (mean arterial pressure) adalah tekanan rata – rata yang bertanggung jawab mendorong darah maju ke jaringan selama seluruh siklus jantung (Tortora, 2012). Perkiraan tekanan arteri rata – rata dapat dihitung dengan menggunakan rumus berikut:

Tekanan arteri rata – rata = tekanan darah diastolik + 1/3 (tekanan darah sistolik – tekanan darah diastolik)

Pengaturan tekanan arteri rata – rata bergantung pada dua kontrol utamanya, yaitu curah jantung dan resistensi perifer total. Kontrol curah jantung bergantung pada pengaturan kecepatan denyut jantung dan volume sekuncup, sementara resistensi perifer total terutama ditentukan oleh derajat vasokonstriksi arteriol.

Pengaturan jangka pendek tekanan darah terutama dilakukan oleh reflex baroreseptor. Baroreseptor sinus karotikus dan lengkung aorta secara terus – menerus memantau tekanan arteri rata – rata. Kontrol jangka panjang tekanan darah melibatkan pemeliharaan volume plasma yang sesuai melalui kontrol keseimbangan garam dan air oleh ginjal ( Sherwood, 2001).

Gambar 2.2. Faktor – faktor yang meningkatkan tekanan arteri rata – rata

Sumber: Tortora, G.J., Derrickson, B., 2012. The Cardiovascular System: Blood Vessels and Hemodynamics. In: Roesch, B., et al., eds. Principles of Anatomy and Physiology. 13th ed. USA: John Wiley & Sons, 817

2.2. Gagal Jantung Kongestif 2.2.1. Definisi

Gagal jantung kongestif adalah sindroma klinis kompleks yang merupakan hasil dari gangguan fungsional atau struktural jantung dimana terjadi gangguan pengisian ventrikel atau pemompaan darah (Figueroa, 2006).

2.2.2. Etiologi

Tabel 2.1. Penyebab gagal jantung kiri

A.Gangguan kontraktilitas 1. Infark miokardium

2. Iskemia miokard sementara

3. Kelebihan beban volume yang kronik : regurgitasi mitral dan aorta 4. Kardiomiopati dilatasi

B.Kelebihan beban tekanan (pressure overload) 1. Stenosis aortik

2. Hipertensi yang tidak terkendali

Sumber: Sumber: Lilly, L.S., ed. Pathophysiology of Heart Disease. 5th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 225

Tabel 2.2. Penyebab gagal jantung kanan

Penyebab jantung Gagal jantung kiri Stenosis katup pulmonal Infark ventrikel kanan Penyakit parenkim paru

Penyakit paru obstruksi kronis Penyakit paru interstisial

Adult respiratory distress syndrome Infeksi paru kronis atau bronkiektasis Penyakit vaskular paru

Emboli paru

Hipertensi pulmonal primer

Sumber: Sumber: Lilly, L.S., ed. Pathophysiology of Heart Disease. 5th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 226

2.2.3. Klasifikasi

Klasifikasi gagal jantung yang paling banyak digunakan adalah klasifikasi menurut New York Heart Association (NYHA). Klasifikasi NYHA berdasarkan simptom pasien yang didapat dari anamnesis dan bukan berdasarkan pengukuran objektif.

Klasifikasi NYHA juga dapat memprediksi mortalitas. Menurut satu studi, tafsiran mortalitas satu tahun pada pasien gagal jantung kelas II, III, dan IV NYHA berturut – turut adalah 7%, 15%, dan 28% (Gopal, 2009).

Tabel 2.3. Klasifikasi gagal jantung menurut New York Heart Association

Kelas Simptom

I Tidak ada pembatasan aktivitas fisik

II Pembatasan ringan pada aktivitas fisik, dispnea dan kelelahan pada aktivitas fisik sedang, seperti menaiki tangga dengan cepat III Pembatasan pada aktivitas fisik, dispnea muncul pada aktivitas

fisik minimal

IV Pembatasan berat pada aktivitas fisik, simptom muncul bahkan pada saat istirahat

Sumber: Lilly, L.S., ed. Pathophysiology of Heart Disease. 5th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 233

2.2.4. Faktor Risiko

Berdasarkan suatu studi klinis, Ditentukan bahwa setiap 1 dari 5 orang akan mengalami gagal jantung di kehidupannya. Beberapa faktor risiko yang paling sering untuk gagal jantung kongestif di antaranya adalah : umur, hipertensi, aktivitas fisik, diabetes, obesitas, merokok, penyakit metabolic, riwayat keluarga gagal jantung kongestif, pembesaran ventrikel kiri, penyakit arteri koronaria, kolesterol tinggi, konsumsi alkohol dan infeksi pada jantung (O’Brien,2013).

2.2.5. Patofisiologi

Gagal jantung kongestif tidak hanya mengindikasikan ketidakmampuan jantung untuk mempertahankan aliran oksigen yang adekuat, tetapi juga

Determinan dari curah jantung adalah kecepatan denyut jantung dan volume sekuncup. Volume sekuncup ditentukan oleh preload (volume yang masuk ke ventrikel kiri), kontraktilitas, dan afterload (impedansi aliran dari ventrikel kiri). Variabel ini penting dalam memahami patofisiologi dari gagal jantung.

Preload biasanya dinyatakan sebagai volume akhir diastolik dari ventrikel kiri dan secara klinis dapat dinilai dengan mengukur tekanan atrium kanan. Kontraktilitas menggambarkan pemompaan oleh otot jantung dan biasanya dinyatakan sebagai fraksi ejeksi.

Afterload adalah tahanan yang harus dilawan oleh jantung untuk memompa darah keluar, biasanya dinilai dengan mengukur tekanan arteri rata – rata. Gangguan jantung pada gagal jantung kongestif dapat dievaluasi dari variabel – variabel di atas. Jika curah jantung menurun, kecepatan denyut jantung atau volume sekuncup harus berubah untuk mempertahankan perfusi normal. Jika volume sekuncup tidak bisa dipertahankan, maka kecepatan denyut jantung harus meningkat untuk mempertahankan curah jantung (Figueroa, 2006).

Gambar 2.3. Determinan dari curah jantung

Sumber: Figueroa, M.S., Peters, J.I., 2006. Congestive Heart Failure: Diagnosis, Pathophysiology, Therapy, and Implications for Respiratory Care, University of Texas Health Science Center.

Akan tetapi, patofisiologi dari gagal jantung kongestif tidak hanya mencakup abnormalitas struktural jantung, tetapi juga mencakup respon kardiovaskular terhadap perfusi yang menurun dengan cara pengaktivasian dari sistem neurohumoral (Jessup, 2003). Sistem renin-angiotensin akan teraktivasi

untuk meningkatkan preload dengan cara menstimulasi retensi garam dan air, meningkatkan vasokonstriksi, dan memperbesar kontraksi jantung.

Pada awalnya, respon ini mencukupi kebutuhan, namun aktivasi berkepanjangan akan mengakibatkan kehilangan miosit dan perubahan pada miosit dan matriks ekstraselular yang masih ada. Miokardium yang tertekan akan mengalami perubahan bentuk dan dilatasi sebagai respon dari hal tersebut. Proses ini juga merusak fungsi paru, ginjal, otot, pembuluh darah, dan beberapa organ lainnya.

Perubahan bentuk jantung sebagai dekompensasi juga menyebabkan beberapa komplikasi, seperti regurgitasi mitral akibat peregangan dari anulus katup dan aritmia jantung akibat perubahan bentuk atrium. Pasien dengan peningkatan tekanan diastolik akhir akan mengalami edema paru dan dispnea (Figueroa, 2006).

2.2.6. Gejala Klinis

Pada gagal jantung tahap akhir dapat ditemukan pola pernafasan hiperpnea dan apnea yang disebut sebagai pernafasan Cheyne-Stokes. Beberapa faktor yang menyebabkan pernafasan ini adalah hiperventilasi akibat kongesti paru dan hipoksia. Hiperventilasi menyebabkan kadar CO2 arteri menjadi rendah dan memicu apnea sentral (Gopal, 2009).

2.2.7. Diagnosis

Diagnosis dibuat berdasarkan kriteria framingham

Tabel 2.4. Kriteria Framingham untuk diagnosis gagal jantung kongestif

Kriteria Mayor

Paroksismal nokturnal dispnea Distensi vena leher

Ronki paru Kardiomegali Edema paru akut Gallop S3

Peningkatan tekanan vena jugularis ( > 16 cmH2O) Refleks hepatojugular

Kriteria Minor

Edema ekstremitas Batuk malam hari Dyspnea d’ effort Hepatomegali Efusi Pleura

Penurunan kapasitas vital sepertiga dari normal Takikardia ( > 120 kali/menit)

Mayor atau Minor

Penurunan berat badan > 4,5 kg dalam 5 hari pengobatan

Sumber: Braunwald, E., 2005. Heart Failure and Cor Pulmonale. In: Kasper, D.L et al., eds. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 16th ed. USA: McGraw-Hill, 1371

Diagnosis gagal jantung kongestif ditegakkan bila minimal ada 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor (Braunwald, 2005).

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Penyakit jantung adalah penyebab kematian nomor satu di dunia. Menurut data WHO, sebanyak 17,8 orang meninggal akibat penyakit jantung dan lebih dari 80 persen penderita penyakit jantung terdapat di negara yang berpenghasilan rendah dan menengah (WHO, 2008).

Jantung merupakan organ yang terpenting dalam sistem sirkulasi. Tugas jantung adalah memompa darah ke seluruh tubuh untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh pada setiap saat, baik saat beristirahat maupun saat bekerja atau menghadapi beban. Sejak tahun 1968 sebagian besar penderita penyakit jantung jatuh kepada kondisi gagal jantung (Barita dkk, 2001).

Pada tahun 2000 sekitar 6,5 juta pasien di Eropa, lima juta pasien di Amerika dan dua juta pasien di Jepang mengalami gagal jantung kongestif. Setiap tahunnya, kasus baru gagal jantung kongestif terdiagnosis, sehingga menyebabkan penyakit ini menjadi penyakit jantung yang tinggi insidennya.

Secara keseluruhan, prevalensi gagal jantung telah didapatkan dari berbagai studi, seperti studi framingham , U.S National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES). Dari studi tersebut didapati bahwa prevalensi populasi yang mengalami gagal jantung kongestif sebanyak 3-20 kasus per 1000 populasi dan meningkat sebanyak 100 kasus per 1000 populasi pada usia di atas 65 tahun. Di inggris, prevalensi gagal jantung sebanyak 8-16 kasus per 1000 populasi dan meningkat sebanyak 40-60 kasus per 1000 pada usia di atas 70 tahun (McMurray, 2002).

Kondisi gagal jantung sering menimbulkan gejala sesak nafas, terutama sewaktu melakukan aktivitas fisik dan sering terjadi pada stadium awal penyakit. Sesak nafas sewaktu melakukan aktivitas fisik menunjukkan sensitivitas 84% hingga 100% untuk menegakkan diagnosis gagal jantung. Di samping itu, sesak nafas sewaktu berbaring menunjukkan sensitivitas 22% hingga 50%. Pasien

dengan gagal jantung memerlukan tambahan bantal untuk tidur di malam hari, yang bertujuan untuk menghindari sesak nafas sewaktu berbaring (Gopal, 2009).

Penyakit jantung koroner dan hipertensi merupakan penyebab tersering dari penyakit gagal jantung kongestif. Pada usia tua, penyakit katup jantung, terutama stenosis aorta dan regurgitasi mitral merupakan penyebab tersering dari gagal jantung kongestif. Kardiomiopati dan hipertrofi otot jantung merupakan penyebab gagal jantung yang lebih jarang (Rick, 1997).

Masalah gagal jantung banyak dijumpai sebagai akibat berbagai penyakit yang mendasarinya. Meski di Indonesia belum ada data yang tepat mengenai gagal jantung. Namun, di RS Cipto Mangunkusumo secara kasar didapati gambaran tentang jumlah pasien gagal jatung yang berobat ke Poli Penyakit Dalam dan Instalasi Gawat Darurat dengan klasifikasi NYHA (New York Heart Association) kelas III-IV adalah sebanyak 40 orang, dalam kurun waktu 2 bulan, yaitu bulan Juni hingga Juli 2006 (Lukman, 2007).

Berdasarkan data – data yang dikemukakan di atas, banyaknya penyakit jantung pasien yang jatuh menjadi kondisi gagal jantung dan masih kurangnya laporan mengenai gambaran gagal jantung kongestif di Indonesia. Oleh karena itu,

Dokumen terkait