• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

6.2 Saran

SPG Matahari Departemen Store sebaiknya berusaha mengatur pola makannya dengan baik. Apabila SPG Matahari Departemen Store tidak bisa menerapkan jadwal makan yang baik dikarenakan waktu kerja yang tidak memungkinkan, namun SPG Matahari Departemen Store tetap bisa menerapkan frekuensi makan yang baik dengan tetap mengonsumsi 3 kali makan utama setiap hari, menghindari konsumsi makanan yang dapat memicu timbulnya keluhan gejala gastritis, dan memunuhi kecukupan asupan makanan setiap harinya. Manajemen stres juga perlu dilakukan misalnya dengan istirahat yang cukup, rutin berolahraga, dan berekreasi pada hari libur. Selain itu, perusahaan sebaiknya terus melanjutkan dan berinovasi dalam membuat kegiatan-kegiatan yang dapat menjadi sarana hiburan bagi SPG guna mencegah naiknya tingkat stres dan timbulnya keluhan gejala gastritis pada SPG.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pola Makan

Pola makan sering diartikan sebagai kebiasaan makan seseorang setiap harinya. Menurut Baliwati (2004), pola makan adalah susunan jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu. Pembentukan pola makan seseorang didasari oleh faktor-faktor tertentu di lingkungan sekitarnya. Pendapat ahli menyatakan bahwa pola makan merupakan cara yang ditempuh seseorang atau sekelompok orang untuk memilih makanan dan mengonsumsinya sebagai reaksi terhadap pengaruh fisiologis, psikologis, budaya dan sosial (Harper, 1986). Pola makan juga merupakan berbagai informasi yang memberi gambaran mengenai macam dan jumlah bahan makanan yang dimakan oleh setiap orang dan merupakan ciri khas suatu kelompok masyarakat tertentu (Ranti dan Soegeng, 2004).

Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa pola makan adalah cara atau kebiasaan yang dilakukan seseorang atau sekelompok dalam hal mengonsumsi makanan yang dilakukan secara berulang-ulang pada waktu tertentu dalam jangka waktu yang lama serta merupakan reaksi terhadap pengaruh fisiologis, psikologis, budaya dan sosial di lingkungan sekitarnya.

Pola makan terdiri dari gambaran mengenai jumlah, frekuensi, jenis, dan asupan makanan yang dikonsumsi setiap hari. Pola makan adalah cara atau perilaku yang ditempuh seseorang atau sekelompok orang dalam memilih dan menggunakan bahan makanan dalam konsumsi pangan setiap hari yang meliputi

frekuensi makan, asupan makanan, dan jenis makan yang berdasarkan faktor-faktor sosial budaya dimana mereka hidup.

Aktivitas dapat kita laksanakan dengan baik apabila kita menerapkan pola makan yang sehat. Pola makan sehat adalah suatu cara atau usaha dalam pengaturan jumlah, frekuensi dan jenis bahan makanan dengan maksud tertentu seperti mempertahankan kesehatan, status nutrisi, mencegah atau membantu kesembuhan penyakit. Dengan demikian, pola makan yang sehat dapat diartikan sebagai suatu cara atau usaha untuk melakukan kegiatan makan secara sehat.

Pola makan yang sehat selalu mengacu kepada gizi yang seimbang yaitu terpenuhinya semua zat gizi sesuai dengan kebutuhan. Terdapat enam unsur gizi yang harus dipenuhi yaitu karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral dan air. Karbohidrat, lemak dan protein merupakan zat gizi makro sebagai sumber energi, sedangkan vitamin dan mineral merupakan zat gizi mikro sebagai pengatur kelancaran metabolisme tubuh. Kebutuhan zat gizi tubuh hanya dapat terpenuhi dengan pola makan yang bervariasi dan beragam, sebab tidak ada satupun bahan makanan yang mengandung makronutrien dan mikronutrien yang lengakap, maka semakin bervariasi dan semakin lengkap jenis makanan yang kita peroleh maka semakin lengkaplah perolehan zat gizi untuk mewujudkan kesehatan yang optimal.

Pola makan adalah berbagai informasi yang memberikan gambaran mengenai asupan makanan, jenis makanan, jadwal makan dan jenis makanan yang dikonsumsi setiap hari (Persagi, 2006). Penjelasan komponen pola makan tersebut dijelaskan sebagai berikut :

2.1.1 Asupan Makanan

Asupan makanan merupakan jumlah makanan yang dikonsumsi individu dalam sehari. Penilaian asupan makanan biasanya dilihat melalui jumlah zat-zat gizi yang dikonsumsi. Zat-zat gizi yang masuk terdiri dari makronutrient yakni karbohidrat, protein dan lemak serta mikronutrient yang terdiri dari vitamin dan mineral.

Kita harus menyeimbangkan jumlah kalori yang masuk dengan jumlah energi yang dikeluarkan. Makanan yang dikosumsi harus seimbang dengan kebutuhan yang disesuaikan dengan umur dan piramida makanan yaitu karbohidrat 50-60%, lemak 25-30% dan protein 15-20%. Apabila jumlah kalori yang masuk lebih besar dari energi yang dikeluarkan maka akan mengalami kelebihan berat badan.

Menurut Permenkes RI nomor 75 tahun 2013 angka kecukupan gizi untuk perempuan umur 16-49 tahun adalah sebagai berikut :

Tabel 2.1 Angka Kecukupan Energi, Protein, Lemak, Karbohidrat, yang Dianjurkan untuk Perempuan 16-29 Tahun di Indonesia (perorang perhari) Umur BB TB Energi (kkal) Karbohidrat (g) Protein (g) Lemak (g) 16-18 tahun 50 158 2125 292 59 71 19-29 tahun 54 159 2250 309 56 75 30-49 tahun 55 159 2150 323 57 60 2.1.2 Jenis makanan

Di alam terdapat berbagai jenis bahan pangan baik pangan nabati maupun pangan hewani. Diantara beragam jenis bahan pangan tersebut, ada yang kaya akan satu jenis zat gizi dan ada yang kekurangan zat gizi tertentu. Oleh karena itu

manusia memerlukan berbagai macam bahan pangan untuk menjamin agar semua zat gizi yang diperlukan tubuh dapat dipenuhi dalam jumlah yang cukup.

Jenis makanan yang kita konsumsi harus mengandung karbohidrat, protein, lamak dan nutrient spesifik. Karbohidrat kompleks bisa kita penuhi dari gandum, beras, terigu, buah dan sayuran. Jenis karbohidrat yang baik dikonsumsi adalah karbohidrat yang berserat tinggi. Karbohidrat yang berasal dari gula, sirup dan makanan yang manis-manis sebaiknya dikurangi yakni 3-5 sendok makan perhari saja.

Konsumsi protein harus lengkap antara protein nabati dan protein hewani. Sumber protein nabati didapat dari kedelai, tempe dan tahu, sedangkan protein hewani berasal dari ikan, telur, dan daging (sapi, ayam, kambing, kerbau). Sumber vitamin dan mineral terdapat pada vitamin A (hati, susu, wortel dan sayuran), vitamin D (ikan, susu dan kuning telur), vitamin E (minyak, kacang-kacangan dan kedelai), vitamin K (brokoli, bayam dan wortel), vitamin B (gandum, ikan, susu dan telur), serta kalsium (susu, ikan dan kedelai).

Makanan terbagi atas dua jenis yaitu makanan selingan dan makanan utama. Makanan selingan adalah makanan yang dikonsumsi disela-sela waktu makanan utama. Makanan utama terdiri dari makanan pokok, lauk pauk hewani dan nabati, sayur, buah dan minuman. Penjelesan lebih lanjut mengenai dua jenis makanan tersebut dijelaskan dibawah ini :

1) Makanan Utama

Makanan utama adalah makanan yang dikonsumsi seseorang berupa makan pagi, makan siang, dan makan malam yang terdiri dari makanan pokok, seperti nasi, lauk pauk, sayur, buah, dan minuman.

Makanan pokok adalah makanan yang dianggap memegang peranan penting dalam susunan hidangan. Pada umumnya makanan berfungsi sebagai sumber energi (kalori) dalam tubuh dan memberi rasa kenyang. (Soediaoetama, 2004).

2) Makanan Selingan

Makanan selingan adalah makanan kecil yang dibuat sendiri maupun yang dijual di depan rumah atau di toko atau di supermarket. Makanan selingan menurut bentuknya terdiri dari :

a. Makanan selingan bentuk kering seperti kripik pisang, kripik singkong, kacang telur, pop corn dan sebagainya. b. Makanan selingan berbentuk basah seperti lemper, semar,

mendem, tahu isi, pastel, pisang goreng dan sebagainya. c. Makanan selingan berbentuk kuah seperti bakso, mie ayam,

empek-empek, mie ketupat dan sebagainya. 2.1.3 Frekuensi Makan

Frekuensi adalah suatu kejadian yang berkelanjutan atau kejadian yang berulang. Menurut Okviani (2011), Frekuensi makan adalah jumlah makan dalam sehari-hari baik kualitatif maupun kuantitatif. Jadi, frekuensi makan adalah sejumlah pengulangan yang dilakukan dalam hal mengonsumsi makanan baik kualitatif maupun kuantitatif yang terjadi secara berkelanjutan. Frekuensi makan juga dapat diartikan sebagai seberapa seringnya seseorang melakukan kegiatan makan dalam sehari baik makan utama maupun makan selingan.

Frekuensi makan merupakan jumlah waktu makan dalam sehari meliputi makanan lengkap (full meat) dan makan selingan (snack). Makanan lengkap

biasanya diberikan tiga kali sehari (makan pagi, makan siang dan makan malam), sedangkan makanan selingan biasa diberikan antara makan pagi dan makan siang dan antara makan siang dan makan malam.

Frekuensi makan yang dapat memicu munculnya kejadian maag adalah frekuensi makan kurang dari frekuensi yang dianjurkan yaitu makan tiga kali sehari. Secara alamiah makanan diolah dalam tubuh melalui alat-alat pencernaan mulai dari mulut sampai usus halus. Lama makanan dalam lambung tergantung sifat dan jenis makanan. Jika rata-rata umumnya lambung kosong antara 3-4 jam. Maka jadwal makan ini pun harus menyesuaikan dengan kosongnya lambung.

Pada umumnya setiap orang melakukan kegiatan makan makanan utama 3 kali dalam sehari yaitu makan pagi, makan siang, dan makan malam atau sore. Ketiga waktu makan tersebut yang paling penting adalah makan pagi sebab dapat membekali tubuh dengan berbagai zat makanan terutama kalori dan protein yang berguna sebagai cadangan energi untuk melakuakan aktivitas dalam sehari. Berdasarkan penelitian Pereira dari University of Minnesota School of Public Health menyatakan bahwa orang yang makan pagi dapat mengendalikan nafsu makan mereka. Hal itu dapat mencegah mereka makan secara berlebihan saat makan siang atau makan malam. Makan siang diperlukan setiap orang karena sejak pagi merasa lelah akibat melakukan aktivitas. Selain makan utama yang dilakukan tiga kali, makan selingan juga harus dilakukan yakni sekali atau dua kali diantara waktu makan guna menanggulangi rasa lapar, sebab jarak waktu makan yang lama.

2.1.4 Jadwal makan

Dalam pola makan sehari-hari kebiasaan jadwal makan sering tidak teratur seperti terlambat makan atau menunda waktu makan bahkan tidak makan sehingga membuat perut mengalami kekosongan dalam jangka waktu yang lama. Jadwal makan yang tidak teratur tentunya akan dapat menyerang lambung dan berisiko menyebabkan gastritis.

Frekuensi makan dalam sehari terdiri dari tiga makan utama yaitu makan pagi, makan siang, dan makan malam. Jadwal makan sehari dibagi menjadi makan pagi (sebelum pukul 09.00), makan siang (jam 12.00-13.00), dan makan malam (jam 18.00-19.00). Jadwal makan ini disesuaikan dengan waktu pengosongan lambung yakni 3-4 jam sehingga waktu makan yang baik adalah dalam rentang waktu ini sehingga lambung tidak dibiarkan kosong terutama dalam waktu yang lama (Oktavani, 2011).

Lambung yang kosong mengakibatkan kadar asam yang meningkat sehingga dapat mengiritasi lambung dan menimbulkan berbagai keluhan gejala maag. Jenis makanan yang dikonsumsi sebaiknya makanan yang tidak menyebabkan pengeluaran asam lambung secara berlebih serta jadwal makan harus teratur, lebih baik makan dalam jumlah sedikit tapi sering dan teratur daripada makan dalam porsi banyak tapi tidak teratur (Almatsier, 2010).

Jadwal makan malam juga tidak boleh terlalu dekat dengan waktu tidur. Cristina-Maria Kastorini, MSc, ahli gizi dari University of Ioannina di Yunani mengatakan jika seseorang langsung tidur setelah makan malam maka orang tersebut rentan mengalami refluks asam lambung. Kondisi ini menyebabkan asam lambung naik menuju kerongkongan dan memicu rasa tidak nyaman.

2.2 Stres

Stres merupakan suatu fenomena universal yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari dan tidak dapat dihindari serta akan dialami oleh setiap orang. Stres dapat didefinisikan sebagai sebuah keadaan yang kita alami ketika ada sebuah ketidaksesuaian antara tuntutan-tuntutan yang diterima dengan kemampuan untuk mengatasinya (Looker, 2005).

Menurut Mantellow (2007), stres merupakan kumpulan hasil, respon, jalan dan pengalaman yang berkaitan yang disebabkan oleh berbagai stresor, keadaan atau peristiwa yang menyebabkan stres. Istilah stres digunakan untuk menunjukkan adanya suatu reaksi tubuh yang dipaksa, dimana hal tersebut menganggu equilibrium (homeostasis) fisiologi normal (Julie, 2005).

Menurut Greenberg (2004), stres diungkapkan sebagai reaksi fisik, mental, dan kimia dari tubuh terhadap situasi yang menakutkan, mengejutkan, membingungkan, membahayakan dan merisaukan seseorang. Definisi lain menyebutkan bahwa stres merupakan ketidakmampuan mengatasi ancaman yang dihadapi mental, fisik, emosional, dan spiritual manusia, yang pada suatu saat dapat mempengaruhi kesehatan fisik manusia tersebut (Hardjana, 1994).

2.2.1 Etiologi Stres

Kondisi sehat dapat dipertahankan karena individu mempunyai ketahanan tubuh yang baik. Stres terjadi karena tidak adekuatnya kebutuhan dasar manusia yang akan bermanifestasi pada perubahan fungsi fisiologis, kognitif, emosi, dan perilaku (Gunawan, 2007).

Stres dapat terjadi karena terdapat suatu perubahan baik dari kondisi fisik, psikologis, maupun sosial yang dapat muncul pada situasi kerja, di rumah,

kehidupan sosial dan lingkungan luar lainnya (Patel, 1996 dalam Nasir & Muhith, 2011). Kondisi tersebut dapat menyebabkan stres yang disebut sebagai stresor.

Stres yang dialami seseorang mengakibatkan munculnya konsep stresor, yaitu stresor internal dan stresor eksternal (Selye, 1976 dalam Potter & Perry, 2005). Stresor internal berasal dari dalam diri seseorang misalnya demam, penyakit infeksi, trauma fisik, malnutrisi, kelelahan fisik, kekacauan fungsi biologik yang berkelanjutan.

Stresor eksternal berasal dari luar diri seseorang seperti terjadinya perubahan bermakna dalam sutau lingkungan, perubahan peran dan sosial, proses pembelajaran, pekerjaan, hubungan interpersonal, dan penurunan kondisi keuangan. Berdasarkan penjabaran singkat tentang stresor, setiap individu harus beradaptasi dengan stresor yang terjadi pada dirinya dalam rangka bertahan hidup terhadap stresor yang datang dari internal dan eksternal.

2.2.2 Tingkat Stres

Stres dapat dibagi menjadi beberapa tingkatan yaitu : 1. Stres Ringan

Stres ringan adalah stres yang tidak merusak aspek fisiologis dari seseorang. Stres ringan umumnya dirasakan dan dihadapi oleh setiap orang secara teratur seperti lupa, kebanyakan tidur, kemacetan, dan kritik. Situasi seperti ini biasanya berakhir dalam beberapa menit atau beberapa jam dan biasanya tidak akan menimbulkan penyakit kecuali jika dihadapi terus menerus.

2. Stres Sedang

Stres sedang adalah stres yang terjadi lebih lama beberapa jam sampai beberapa hari seperti pada waktu perselisihan, kesepakatan yang belum selesai, sebab kerja yang berlebih, mengharapkan pekerjaan baru, permasalahan keluarga. Situasi seperti ini dapat berpengaruh pada kondisi kesehatan seseorang.

3. Stres Berat

Stres berat merupakan stres kronis yang terjadi beberapa minggu sampai beberapa tahun yang disebabkan oleh beberapa faktor seperti hubungan suami istri yang tidak harmonis, kesulitan finansial, dan penyakit fisik yang lama (Rasmund, 2004).

2.2.3 Dampak Stres

Stres yang dialami oleh individu akan menimbulkan dampak positif atau negatif. Dampak positif stres yakni dapat meningkatkan kemampuan individu dalam proses belajar dan berfikir. Sebaliknya dampak negatif stres dapat berupa gejala fisik maupun psikis dan akan menimbulkan gejala-gejala tertentu. Dampak negatif stres yang dirasakan oleh individu dalam lima gejala, yaitu gejala fisiologis, psikologis, kognitif, interpersonal, dan organisasional. Gejala fisiologis yang dirasakan individu berupa keluhan seperti sakit kepala, sembelit, diare, sakit pinggang, tekanan darah tinggi, kelelahan, sakit perut, maag, berubah selera makan, susah tidur, dan kehilangan semangat. Selain gejala fisiologis, individu yang mengalami stres akan mengalami perubahan gejala emosional berupa perasaan gelisah, cemas, mudah marah, gugup, takut, mudah tersinggung, sedih dan depresi. Gejala kognitif berupa sulit berkonsentrasi, sulit membuat keputusan,

mudah lupa, melamun secara berlebihan dan pikiran kacau. Dampak negatif stres yang mudah diamati dari gejala interpersonal yaitu sikap acuh tak acuh pada lingkungan, apatis, agresif, minder, kehilangan kepercayaan pada orang lain dan mudah menyalahkan orang lain. Selain itu, gejala organisasional berupa meningkatnya keabsenan dalam kerja/kuliah, menurunnya produktifitas dan menurunnya dorongan untuk berprestasi.

2.3 Gastritis

Gastritis berasal dari kata gaster yang artinya lambung dan itis yang berarti inflamasi/peradangan. Gastritis adalah inflamasi pada dinding gaster terutama pada lapisan mukosa gaster (Hadi, 1999). Peradangan pada lambung ini disebabkan karena produksi asam lambung yang berlebih. Menurut Ardiansyah (2012), Gastritis adalah suatu peradangan mukosa lambung yang bersifat akut, kronik, difus atau lokal, dengan karakteristik anoreksia, perasaan penuh di perut (tengah), tidak nyaman pada epigastrium, mual, dan muntah.

Gastritis atau yang secara umum dikenal dengan istilah sakit “maag” adalah suatu peradangan mukosa lambung yang paling sering diakibatkan oleh ketidakteraturan diet, misalnya makan terlalu banyak dan cepat atau makan makanan yang terlalu berbumbu atau terinfeksi oleh penyebab yang lain seperti mikroorganisme penyebab penyakit, alkohol, aspirin, refluks empedu atau terapi radiasi (Yuliarti, 2009).

Secara histologi gastritis dapat dibuktikan dengan adanya inflamasi sel-sel radang pada daerah tersebut. Pada manifestasi klinis dapat dibagi akut dan kronis (Hirlan, 2001). Gastritis akut adalah inflamasi mukosa lambung yang sering

diakibatkan pola diet yang tidak tepat. Sedangkan gastritis kronik adalah inflamasi mukosa lambung yang berkepanjangan yang disebabkan oleh ulkus benigna atau maligna dari lambung dan bakteri Helicobacter Pylori (Brunner dan Suddart, 2002).

Berdasarkan definisi-definisi dari berbagai para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa gastritis adalah suatu peradangan atau perdarahan pada mukosa lambung yang disebabkan oleh faktor iritasi, infeksi, dan ketidakteraturan dalam pola makan. Ketidakteraturan dalam pola makan misalnya jadwal makan yang tidak tepat, asupan makanan yang tidak sesuai, dan makan makanan yang memicu peningkatan asam lambung seperti terlalu banyak bumbu, gas, santan dan pedas.

2.3.1 Klasifikasi Gastritis

Secara garis besar, gastritis dapat dibagi menjadi beberapa macam berdasarkan pada manifestasi klinis, gambaran histopatologi yang khas, distribusi anatomi, dan kemungkinan patogenesis gastritis. Didasarkan pada manifestasi klinis, gastritis dapat dibagi menjadi akut dan kronik. Harus diingat bahwa walaupun dilakukan pembagian menjadi akut dan kronik tetapi keduanya tidak saling berhubungan.

Gastritis akut adalah kelainan klinis yang jelas penyebabnya dengan tanda gejala yang khas, biasanya ditemukan sel inflmasi akut dan neutrofil. Sedangkan gastritis kronik merupakan suatu peradangan bagian permukaan mukosa lambung yang menahun yang disebabkan oleh ulkus dan berhubungan dengan bakteri

a. Gastritis Akut

Gastritis akut merupakan suatu penyakit yang sering ditemukan dan biasanya bersifat jinak dan sembuh sempurna (Suratum, 2010). Gastritis akut merupakan peradangan pada mukosa lambung yang menyebabkan erosi dan pendarahan mukosa lambung akibat terpapar pada zat iritan. Erosi yang terjadi pada gastritis akut tidak sampai mengenai lapisan otot lambung. Penyebab terberat dari gastritis akut adalah makanan yang bersifat asam atau alkali kuat yang dapat menyebabkan mukosa menjadi ganggren atau perforasi. Pembentukan jaringan parut dapat terjadi akibat obstruksi pylorus.

Salah satu bentuk gastritis akut yang manifestasi klinisnya dapat berbentuk penyakit yang berat adalah gastritis erosif atau gastritis hemoragik. Disebut gastritis hemoragik karena pada penyakit ini akan dijumpai perdarahan mukosa lambung dalam berbagai derajat dan terjadi erosi yang berarti hilangnya kontinuitas mukosa lambung pada beberapa tempat, menyertai inflamasi pada mukosa lambung tersebut.

b. Gastritis Kronik

Gastritis kronik merupakan peradangan bagian mukosa lambung yang menahun. Gastritis kronik sering dihubungkan dengan ulkus peptik dan karsinoma lambung tetapi hubungan sebab akibat antara keduanya belum diketahui. Penyakit gastritis kronik menimpa kepada orang yang mempunyai penyakit gastritis yang tidak disembuhkan. Awalnya sudah mempunyai penyakit gastritis dan tidak disembuhkan, maka penyakit gastritis menjadi kronik dan susah untuk disembuhkan. Gastritis kronik terjadi infiltrasi sel-sel radang pada lamina propria dan daerah intra epiteil terutama terdiri dari sel-sel radang kronik yaitu limfosit

dan sel plasma. Gastritis kronis didefenisikan secara histologis sebagai peningkatan jumlah limfosit dan sel plasma pada mukosa lambung. Derajat ringan pada gastritis kronis adalah gastritis superfisial kronis yang mengenai bagian sub epitel di sekitar cekungan lambung. Kasus yang lebih parah juga mengenai kelenjar-kelenjar pada mukosa yang lebih dalam dan hal ini biasanya berhubungan dengan atrofi kelenjar (gastritis atrofi kronis) dan metaplasia intestinal.

Sebagian besar kasus gastritis kronis merupakan salah satu dari dua tipe, yaitu tipe A yang merupakan gastritis autoimun adanya antibodi terhadap sel parietal yang pada akhirnya dapat menimbulkan atropi mukasa lambung, 95% pasien dengan anemia pernisiosa dan 60% pasien dengan gastritis atropik kronik. Biasanya kondisi ini merupakan tendensi terjadinya Ca Lambung pada fundus atau korpus. Tipe B merupakan gastritis yang terjadi akibat Helicobacter Pylory

terdapat inflamasi yang difusi pada lapisan mukosa sampai muskularis sehingga sering menyebabkan perdarahan dan erosi (Suratum, 2010).

Menurut Misnadiarly (2009) gastritis diklasifikasikan menjadi beberapa bentuk yaitu:

a) Gastritis gastropati dengan keluhan umum nyeri pada ulu hati, mual, muntah dan diare. Penyebabnya obat-obatan seperti aspirin, alkohol, trauma pada lambung seperti pengobatan dengan laser, kelainan pembuluh darah pada lambung dan luka akibat operasi.

b) Gastritis spesifik yaitu nyeri pada ulu hati, mual dan muntah. Penyebabnya karena infeksi bakteri, virus, jamur, parasit, nematoda dan adanya penyakit pada saluran pencernaan. Bila disebabkan oleh toksin biasanya disertai

dengan diare, nyeri perut, badan menjadi panas, menggigil, dan kejang otot.

c) Gastritis kronis. Keluhan pada gastritis kronis pada umumnya tidak spesifik berupa perasaan tidak enak pada ulu hati yang disertai mual, muntah dan perasaan penuh dihati. Penyebabnya antara lain: infeksi

C.Pylori, gastropati reaktif, autoimun, adanya tumor pada lambung dan faktor stres.

2.3.2 Gejala Gastritis

Gastritis atau sering disebut maag cukup umum dikenal oleh masyarakat. Meski demikian banyak dari masyarakat yang belum sepenuhnya memahami gejala-gejala gastritis. Dasar diagnosa umum gastritis adalah riwayat rasa tidak enak berulang di ulu hati ½ hingga 1 jam setelah makan (pencernaan) dan timbul terutama pada dini hari. Rasa nyeri akan menghilang dengan diberi makan atau antasida, sekurang-kurangnya untuk sementara. Rasa mual dan muntah sering sekali menyertai rasa nyeri di ulu hati.

Menurut Mansjoer (2001), Penyakit gastritis adalah suatu penyakit luka atau lecet pada mukosa lambung. Seseorang penderita penyakit gastritis akan

Dokumen terkait