• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

B. Saran

1. Gambaran berbagai kemelut nasional negara-negara muslim yang terkena imbas proyek globalisasi memang pelik. Globalisasi juga berdampak pada terciptanya ketidakadilan terhadap Islam dalam berbagai bentuk, seperti subordinasi, marginalisasi, stereotype atau pelabelan, dan lain sebagainya. Sebagai contoh kasus bagaimana Amerika dan sekutunya telah melabelkan keidentikan gerakan fundamentalisme Islam dengan terorisme. Hal tersebut, secara langsung maupun tidak langsung, semakin menyudutkan posisi Islam di mata internasional. Namun demikian globalisasi tetaplah suatu keniscayaan. Globalisasi harus dihadapi secara bijak oleh umat Islam. Umat Islam memang telah banyak dirugikan, namun harus ada strategi yang cerdas untuk menghadapi tantangan ini. Mungkin bukanlah sesuatu hal yang salah jika segala keuntungan globalisasi ini Adidaya gunakan oleh umat Islam, semisal kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan itu umat Islam dapat membangun potensi dan kualitas diri dan menyebarkan syiar dan dakwah Islam melalui jalur teknologi informasi yang cepat. Globalisasi yang mebuka lebar-lebar pintu imigrasi, juga dapat dijadikan ajang untuk mendakwahkan Islam kesegala penjuru

dunia. Selain itu strategi yang lebih penting adalah membangun persatuan dan kesatuan antar sesama muslim. Data OKI menyebutkan bahwa negara-negara Islam sebenarnya menguasai hampir sekitar 70% Sumber Daya Alam dunia. Lantas mengapa Negara-negara Islam tidak bisa menjadi kekuatan ekonomi dan menandingi globalisasi? Mungkin jawabannya akan beragam, yang jelas jika dilihat dari kebijakan-kebijakan pemerintahan negara-negara Islam, tidak ada maindset yang seragam untuk menggabungkan kekuatan ekonomi maupun politik.

2. Mengutip pernyataan Bahtiar Effendi, hubungan antara Islam dengan nasionalisme tidak mesti bersifat diametral. Menjadi seorang muslim yang baik, tidak berarti menjadi seorang yang anti-nasionalisme. Dari segi ajaran, Islam itu memang tidak mengenal batas-batas geografis. Jadi kalau dikatakan transnasional, transbangsa, transsuku, transdaerah, doktrin Islam memang demikian. Dari segi wilayah kekuasaan, Islam memang luas mencakup wilayah transnasional. Ketika diletakkan dalam konteks ajaran dan doktrin agama, sebenarnya tidak ada masalah karena memang ajaran Islam bersifat transnasional. Secara doktrin, orang Islam memang tidak mengenal batas-batas kewilayahan, kebangsaan, negara, bendera, dan macam-macam simbol lainnya. Kalau batasan-batasan khilafah itu diletakkan dalam konteks doktrin agama saja, tentu tidak ada persoalan. Tapi kalau batasan-batasan khilafah itu diletakkan dalam kerangka nation-state yang lain, yang lebih besar, maka nation-nya akan menjadi nation

Islam. State-nya adalah wilayah mana saja yang bisa dikuasai umat Islam. Jadi semacam macro nation-state. Maka pandangan seperti itu bukan

persoalan agama lagi, tapi sudah persoalan politik. Kalau soalnya politik, maka siapa saja bisa berbeda, dan tidak ada aturan yang baku. Terlepas dari perbedaan itu, penulis yakin bahwa semuanya didasarkan pada rasa cinta terhadap Islam. Hanya saja ada pihak yang ingin ajaran Islam diformalkan, yang lain ingin lebih diletakkan dalam konteks kekinian. 3. Agar Hizbut Tahrir tetap memperjuangkan Islam secara konsisten dengan

tidak menggunakan cara-cara kekerasan. Namun kiranya HT dapat mengendalikan sikap Xenophobisme yang amat menonjol. Mungkin HT perlu berkaca juga bahwa data-data yang mereka peroleh sebagian besar diperoleh dari hasil penelitian lembaga di Barat seperti UNDP, UNESCO, dan lain-lain. Hizbut Tahrir tidak dapat independent meneliti secara ilmah. Hizbut Tahrir dalam hal ini masih bergantung pada sarana-sarana penelitian Barat, angka-angka kuantitatif yang dikeluarkan Barat, dan juga ketergantungan terhadap asumsi-asumsi Barat itu sendiri terhadap globalisasi. Mungkin kedepan diharapkan HT pun secara mandiri berperan dalam hal penelitian mengenai globalisasi. Karena jika suaranya lantang sekali menentang Barat, maka seharusnya sudah ada fondasi yang kuat berupa penguasaan teknologi, dan sumber daya manusia yang setidaknya maju kedepan mengungguli Barat.

4. Agar umat Islam dan negara-negara Muslim mampu mengantisipasi aspek-aspek negatif dari globalisasi serta memanfaatkan berbagai peluang positif yang terdapat di dalamnya, maka umat Islam dan negara-negara Muslim harus bersatu dan membentuk satu front mengahadapi globalisasi, seraya memperkenalkan Islam sebagai opsi spiritual yang berketuhanan, yang

mampu mengembangkan kehidupan manusia yang berimbang antara kepentingan materi dan rohani, kepentingan dunia dan ukhrawi.

Daftar Pustaka

Abdurrahman,Hafidz. Islam: Politik dan Spiritual. Singapura: Lisan al-Haq, 1998.

Adi, M. Ramdhan. Globalisasi: Sekenario Mutakhir Kapitalisme. Bogor: Al-Azhar Press, 2005.

Ahmed, Akbar S. Islam Sebagai Tertuduh: “Kambing Hitam” di Tengah Kekerasan Global. Penerjemah Agung Prihantono. Bandung: Arasy PT Mizan Pustaka, 2004.

Ali Jabir,Hussein bin Muhsin bin. Membentuk Jama’atul Muslimin. Penerjemah Abu Fahmi. Jakarta: Gema lnsani Press, 1991

al-Khaththath, Muhammad. “Khilafah dan Gerakan Transnasional.” al-Wa’ie VII, No. 84 (Agustus 2007): h. 9-12.

al-Khaththath, Muhammad. Menuju Iman Produktif. Bogor: PSKII,2001

an-Nabhani, Taqiyuddin. Konsepsi Politik Hizbut Tahrir(Edisi Mu’tamadah). Penerjemah M. Shiddiq Al-Jawi. Jakarta: Hizbut Tahrir Indonesia Press, 2006, h. 38.

Azra, Azyumardi. Pergolakan Politik Islam. Jakarta: Paramadina, 1996.

Basyaib, Hamid, ed. Membela Kebebasan: Percakapan Tentang Demokrasi Liberal. Jakarta: Pustaka Alvabet, 2006.

Budiman, Arief. Pembangunan dalam Krisis: Teori Pembangunan Dunia Ketiga. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996.

Cahyono, Edi. “Menentang Globalisasi-Imperialisme: Pengantar Ekonomi-Politik Perburuhan.” Jurnal ALNI Indonesia, vol. I. no. 2 (September 2003): h. 57-66.

Dahlan, Muhidin M, ed. Postkolonialisme: Sikap Kita Terhadap Imperialisme.

Yogyakarta: Jendela, 2001.

Esposito, John L. Ancaman Islam: Mitos atau Realitas ?. Penerjemah Alwiyah Abdurrahman dan MISSI. Bandung: Mizan,1996.

Esposito, John L. Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Moderen. Jakarta: Mizan, 2001.

Fakih, Dr. Mansour. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi. Yogyakarta: Insist Press, 2002.

Fredericks, Salim. Invasi Politik dan Budaya. Penerjemah Abu Faiz. Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2002.

Gunawan, Jamil. dkk, ed. Desentralisasi, Globalisasi, dan Demokrasi Lokal. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2005.

Halliday, Fred. The World at 2000. New York: PALGRAVE, 2001.

Herman, Chris. Anti Kapitalisme. Penerjemah Julian dan Setiabudi. Jakarta: Teplok Press, 2000.

Hizbut Tahrir. Mengenal Hizbut Tahrir: Partai Politik Islam Ideologis. Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2002.

Hunter, Shireen T. Politik Kebangkitan Islam: Keragaman dan Kesatuan. Penerjemah Ajat Sudrajat. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001.

Hussain Abdullah, Muhammad. Studi Dasar-dasar Pemikiran Islam. Penerjemah Zamroni. Bogor: Pustaka Thariqul Izzah.

Jam’iah Al-Islah Al-Ijtima’I. Globalisasi dalam Timbangan Islam. Penerjemah Wahid Ahmadi. Solo: Era Intermedia, 2002.

LP3ES. Anak Bangsa Menggugat: Nasionalisme, Kemandirian, dan Kewirausahaan. Jakarta: Pustaka LP3ES, 2003.

Magenda, Dr. Burhan D. “Globalisasi dan Tata Dunia Baru di Bidang Politik, Ideologi, Hankam, Ekonomi, dan Sosial Budaya.” Jurnal PASKAL, vol. I. no. 6 (April 2003): h. 1-10.

Mahendra,Yusril Ihza. Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam: Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) dan Partai Jama’at-Islami (Pakistan). Jakarta: Paramadina, l999.

Masson, Paul. “Globalization Fact and Figures.” Khilafah Magazine, 10 Januari 2002.

Muhammad, Farouk. “Pengaruh Globalisasi Terhadap Keamanan Nasional.”

Jurnal PASKAL, vol.I no. 6 (April 2003): h. 52-70.

Pontoh, Coen Husain. Globalisasi: Dari Perdebatan Teori Menuju Gerakan Massa. Jakarta: C-Books, 2003.

Pusat Studi Khazanah Ilmu-ilmu Islam (PSKII). Materi Dasar Islam. Bogor: PSKII, 2001.

Rais,M. Amien. Cakrawala Islam: Antara Cita dan Fakta. Bandung: Mizan,1999.

Ritzer, George dan Goodman, Douglas J. Teori Sosiologi Modern. Penerjemah Alimandan. Jakarta: Kencana, 2003.

Seda, Drs. Frans. “Globalisasi dan Nasionalisme dari Perspektif Politik: Dampaknya Bagi Politik dan Kesatuan Bangsa dan Negara Indonesia.” Dalam Hinca IP Pandjaitan, S.H., M.H., ed. Globalisasi dan Nasionalisme Perspektif Hukum, Politik, Ekonomi, dan Budaya: Proseding Diskusi Panel. Jakarta: Laboratorium Fakultas Hukum Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, 1998: h. 11-25.

Shiddiq al-Jawi, Muhammad. “Pangkal Kerapuhan Kapitalisme.” al Wa’ie VII, No.83 (Juli 2007): h. 13-17.

Strahmn, Rudolf H. Kemiskinan Dunia Ketiga: Menelaah Kegagalan Pembangunan di Negara Berkembang. Penerjemah Rudy Bagindo, dkk. Jakarta: Pustaka Cidesindo, 1999.

Taher,Tarmizi. Radikalisme Agama. Jakarta: PPIM, 1998.

Ubaedillah, A. dan Rozak Abdul, ed. Pendidikan Kewargaan (Civic Education) Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani. Jakarta: Indonesian Centre for Civic Education (ICCE) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006.

Wadjdi,Farid. “Demokrasi dan Negara Korporasi.” al-Wa’ie VII, No. 83. (Juli 2007): h.3-4

Winarno, Budi. Globalisasi: Wujud Imperialisme Baru Peran Negara dalam Pembangunan. Yogyakarta: Tajidu Press, 2004.

Yatim, M.A., Dr. Badri. Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Rajawali Press, 2004. Yusanto, M. Ismail. “Kebangkitan Islam Menantang Modernisasi dan Globalisasi:

Perjuangan Hizbut Tahrir di Indonesia,” Makalah presentasi pada:

Konferensi Internasional Modenization and National Identity in East Asia: Globalization and The Revival of Religion diselenggarakan oleh Center for Interdiciplinary Study of Monotheistic Religions (CISMOR, Kyoto Jepang, November 2005.

Yusanto,M. Ismail. “Nasionalisme: Penyebab Utama Kehancuran Khilafah.” al-Wa’ie VII, No. 84 (Agustus 2007 ): h.41-44.

Zuhri, Saefuddin, ed. Menjemput Kembalinya Sang Khalifah. Jakarta: NizhamPress, 2007.

Dokumen dari Internet

Baharun, Mohammad. “Format Pemikiran Islam Pasca Perang Irak.” Artikel diakses pada 28 Oktober 2007 dari

http://www.republika.co.id/suplemen/cetak_detail.asp?mid=5&id=134499 &kat_id=105&kat_id1=147&kat_id2=291

Hizbut Tahrir. “Kaleidoskop Aktivitas Politik dan Dakwah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).” Artikel diakses dari http://www.hizbut-tahrir.or.id/modules.php?name=News&file=article&sid=429

Hizbut Tahrir. “Landasan Pemikiran Hizbut Tahrir.” Artikel diakses pada 2

November 2007 dari http://www.khilafah1924.org/index.php?option=com_content&task=view

&id=41&Itemid=2

Hizbut Tahrir. “Links Hizbut Tahrir.” Artikel di akses pada 2 November 2007 dari http://www.khilafah1924.org/index.php?option=com_content&task=view &id=41&Itemid=2

Romli, Mohamad Guntur. “Gamal Al-Banna dan Revivalisme Islam.” Artikel diakses pada 15 November 2007 dari

http://www.islamemansipatoris.com/cetak-artikel.php?id=77

Waheed, Dr. Imran. “Tanda-tanda Kehancuran Peradaban Barat.” Artikel diakses

pada 22 November 2007 dari

http://hayatulislam.multiply.com/journal/item/137/Makalah_Pembicara_K KI_2007_2Tanda-Tanda_Kehancuran_Peradaban_Barat

Wikipedia. “Global Warming”. Artikel diakses pada 16 Desember 2007 dari

http://en.wikipedia.org/wiki/Global_warming

Yusanto, Muhammad Ismail. “Mengkampanyekan Syari'ah dan Khilafah Islam dari Indonesia Sampai Amerika.”Artikel diakses pada 2 November 2007 dari

http://www.khilafah1924.org/index.php?option=com_content&task=view &id=41&Itemid=2

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau

merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 01 Januari 2008

B. Seputar Teori Khilafah Islamiyah 1. Definisi Khilafah Islamiyah

Istilah khilafah Islamiyah memiliki beberapa pengertian yaitu perwakilan, pergantian, atau jabatan khalifah. Istilah ini sebenarnya berawal dari kata Arab “khalf” yang berarti wakil, pengganti, dan penguasa, dan ada yang mengemukakan bahwa kata “kh-l-f (فﻼ ) dalam berbagai bentuknya mengandung makna yang menyempit yaitu berselisih, menyalahi janji, yang kemudian melahirkan kata khilafah dan khalifah.91

Dalam sejarah Islam istilah khilafah pertama kali digunakan ketika Abu Bakar menjabat sebagai khalifah pertama setelah Nabi Muhammad Saw meninggal dunia. Dalam pidato pelantikannya Abu Bakar menyebut dirinya sebagai Khalifah Rasulillah dalam pengertian pengganti Rasulullah dalam mengurusi bidang kenegaraan.

Dalam perkembangannya, konsep khilafah menjadi ciri dari golongan Sunni. Rukun utama dalam pengangkatannya adalah ijma’ yaitu konsensus atau kesepakatan bersama dan bay’ah atau sumpah setia umat kepada khalifah agar berpegang teguh kepada syariah.

Setidaknya ada tiga teori mengenai dasar-dasar pembentukan khilafah yaitu: pertama, khilafah wajib hukumnya berdasarkan syariah atau berdasarkan atas wahyu, pendapat ini didukung leh Abu Hasan al-Asyari.

Kedua, mendirikan khilafah hukumnya fardu kifayah atau wajib kolektif

91

Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir: Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997) Cet. Keempat, h. 361-363. Dalam kamus tersebut makna kata yang berasal dari kata kh-lf (فﻼ )sebagai berikut. Berselisih ( ﻹا) Menyalahi janji ( ا ) dan

berdasarkan ijma dan konsensus, pendapat ini didukung oleh al-Maududi. Dan

ketiga, mendirikan kekhilafahan kewajibannya harus disandarkan pada pertimbangan akal sebagaimana yang dikemukakan oleh kaum Mu’tazilah.92

Dasar untuk melegitimasi sistem pemerintahan Islam yang disebut Khilafah Islamiyah, termaktub dalam ayat-ayat al-Quran. Ayat-ayat tersebut oleh sebagian tokoh agama, alim ulama, atau para fuqaha diinterpretasikan atau ditafsirkan sebagai ayat yang bersifat politis. Ayat al-Quran yang dimaksud antara lain:

1. al-Quran surah al-Baqarah/2:30

ْ أ اﻮ ﺎ ﺔ ضْرﺄْا ﺎ إ ﺔﻜ ﺎ ْ ﻚ ر لﺎ ْذإو

ﻚ سﺪ و كﺪْ ْ و ءﺎ ﺪ ا ﻚ ْ و ﺎﻬ ﺪ ْ ْ ﺎﻬ

ﺎ ْ أ إ لﺎ

( )

نﻮ ْ ﺎ

Artinya: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat:

sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah dimuka bumi “.

Mereka berkata: “mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”.

2. al-Quran Surah al-An’am/6:165

تﺎ رد ﺾْ قْﻮ ْ ﻜﻀْ رو ضْرﺄْا ﺎ ْ ﻜ يﺬ ا ﻮهو

ْ آﻮ ْ

( )

ر رﻮ إو بﺎ ْا ﺮ ﻚ ر نإ ْ آﺎ اء ﺎ

Artinya: “Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebagian kamu atas sebagian (yang lain) beberapa

92

Kamaruzzaman, Relasi Islam dan Negara: Perspektif Modernis dan Fundamentalis, (Magelang: Indonesiatera, 2001), h. 30-31.

derajat, untuk menguji mu tentang apa yang diberikan-Nya kepada mu.Sesungguhnya Tuhan mu amat cepat siksanya, dan sesungguhnya Dia maha pengampun lagi maha penyayang”.

3. al-Quran Surah an-Nur/24: 55

ضْرﺄْا ْ ﻬ ْ ْ تﺎ ﺎﺼ ا اﻮ و ْ ﻜْ اﻮ اء ﺬ ا ا ﺪ و

ْ ﻬ ﻰﻀ ْرا يﺬ ا ﻬ د ْ ﻬ ﻜ و ْ ﻬ ْ ْ ﺬ ا ْ ْ ا ﺎ آ

ْ أ ْ ﻬ ْﻮ ﺪْ ْ ْ ﻬ ﺪ و

ﺮ آ ْ و ﺎ ْ نﻮآﺮْ ﺎ وﺪ ْ ﺎ

ﻚ ذ ﺪْ

ه ﻚ وﺄ

( )

نﻮ ﺎ ْا

Artinya: “ Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman dan beramal saleh diantara kamu bahwa Dia akan menganugrahkan kepada mereka khalifah di bumi, sebagaimana dianugrahkan-Nya kepada orang-orang yang sebelum mereka.

4. al-Quran Surah Fathir/35:39

ﺪ ﺰ ﺎ و ﺮْآ ْ ﺮ آ ْ ضْرﺄْا ﺎ ْ ﻜ يﺬ ا ﻮه

ﺮ ﺎﻜْا

( ٩)

ﺎ إ ْ هﺮْآ ﺮ ﺎﻜْا ﺪ ﺰ ﺎ و ﺎ ْ ﺎ إ ْ ﻬ ر ﺪْ ْ هﺮْآ

ارﺎ

Artinya: “ Dialah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di muka bumi barang siapa yang kafir maka (akibat) kekafirannya menimpa dirinya sendiri dan kekafiran orang-orang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kemurkaan pada sisi Tuhannya…”

Ayat-ayat di atas ditafsirkan sebagai ayat politik yang kemudian dijadikan dalil mengenai wajibnya kekhilafahan karena di dalamnya mengandung kata “khalf” ( ) dalam berbagai bentuknya.

Menurut Dawam Raharjo, khalifah (ﺔ ) yakni kepala negara dalam pemerintahan islam, memang merupakan istilah Quran. Tetapi dalam al-Quran kata ini memiliki banyak arti atau interpretasi. Oleh karenanya ayat-ayat yang mengandung pengertian khalifah tersebut tidak dapat dijadikan dasar hukum mengenai wajibnya mendirikan suatu khalifah atau kekuasaan politik. Menurut Dawam, Allah telah mengisyaratkan satu konsep tentang manusia, yaitu sebagai khalifah. Khalifah adalah sebuah fungsi yang diemban manusia berdasarkan amanat yang diterimanya dari Allah Swt. Amanat ini pada intinya adalah tugas mengelola bumi secara bertangung jawab, dengan menggunakan akal yang telah dianugrahkan Allah kepadanya.93

Sementara itu Quraish Shihab seorang ulama Tafsir Quran Indonesia, dalam memahami kata khalifah dalam Q.S al-Baqarah /2:30 mengemukakan unsur-unsur kekhalifahan yang dimaksud adalah:

4. Bumi atau wilayah

5. Khalifah (yang diberi kekuasaan politik atau mandataris)

6. Hubungan antara pemilik kekuasaan dengan wilayah dan hubungan dengan pemberi kekuasaan.94

Sementara itu At-Tabarri dalam menafsirkan kata khalifah sebagai suatu kaum yang anggota-anggotanya mengganti para pendahulunya.

Abu A’-la Al-Mududi yang menggagas teori teodemokrasi dalam Islam memandang kekhalifahan menuntut adanya ketaatan antara yang diberi (manusia) dengan yang memberi (Tuhan).

Maududi juga menekankan bahwa kekhalifahan harus berisi

93

M. Dawam Raharjo, Ensiklopedi al-Quran: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci ,(Jakarta: Paramadina, 1996), h.363-364.

94

kepatuhan, dan kepatuhan itu tidak lain adalah kepada sang pencipta dan sistem pemerintahan yang memalingkan diri dari Allah Swt menjadi sistem yang lepas dan bebas memerintah dengan dan untuk dirinya sendiri adalah pemberontakan atau kudeta melawan sang Pencipta.95

Sementara Muhammad Rasyid Ridha seorang ulama dan politikus kenamaan mendefinisikan Khilafah, Imamah, dan Imarah sebagai tiga kalimat yang bermakna satu, yaitu kepemimpinan negara Islam yang meliputi kemaslahatan dunia dan agama.96

Taqiyuddin an-Nabhani memaknai khalifah sebagai seseorang yang diserahi tugas untuk memimpin umat lebih lanjut ia menegaskan:

Khalifah adalah orang yang mewakili umat dalam urusan pemerintahan dan kekuasaan, serta dalam menetapkan hukum-hukum syara, karena Islam telah menjadikan pemerintahan dan kekuasaan tersebut menjadi milik umat khalifah hanyalah orang yang diangkat oleh kaum Muslimin karena itu, faktanya adalah bahwa khalifah merupakan wakil umat dalam masalah pemerintahan dan kekuasaan serta dalam menetapkan hukum syara, oleh karena itu tidak ada seorang khalifah pun kecuali setelah bai’at umat.97

2. Khilafah Islamiyah dalam Lintasan Sejarah

Sejarah kekhilafahan dimulai sejak Nabi Muhammad Saw wafat. Setelah Rasulullah wafat dan lama setelahnya istilah-istilah yang dimunculkan untuk sebutan kepada pemimpin Umat Islam adalah: Khalifah, Imam, Amirul

95

Abdul A’la al-Maududi, Al-Khilafah wa-al Mulk, (Terj.) Khilafah dan Kerajaan, (Bandung: Mizan,1996), h. 58.

96

Al-Hasjmy, Dimana Letaknya Negara Islam, (Bina Ilmu, 1984) h.153.

97

Taqiyuddin an-Nabhani, Nidhamul hukumi Fil Islam (Terj.) Sitem Pemerintahan Islam: Doktrin Sejarah Empirik, (Bangil Jatim: Al-Izzah, 1997) h.65.

mukminin, Hakkimul mukminin (penguasa orang-orang mukmin), Raisul mukminin (pemimpin kaum muslimin), Sultanul Muslimin (penguasa kaum muslimin),98 dan ada juga yang menggunakan sebutan Amir, sementara yang lain menggunakan kata Syah sebagaimana yang terjadi di Iran.

Praktek kekhalifahan selama enam abad pertama Islam dapat di bagi ke dalam tiga periode utama: (1) Khulafa ar-Rasyidun di Madinah (632-661 M); (2)kekhalifahan Bani Umayyah (661-750M) di Damaskus; dan (3) kekhalifahan Bani Abbasiyyah (750-1258 M) di Baghdad.99 Sedangkan sisanya adalah zaman Utsmaniyyah Turki di Istambul (1299-1924M).

Dalam sejarah Islam tercatat yang pertama mengguanakan kata khalifah secara resmi adalah Abu Bakar as-Shiddiq (632-634 M), tugas yang diembannya adalah penguasa temporal (dunia) dan penguasa religius (akhirat) tugas yang sama juga dilakukan kepada Umar bin Khattab (634-644 M), Usman bin Affan (644-656 M), dan Ali bin Abi Thalib (656-661 M) yang selanjutnya dikenal sebagai al-Khulafa al-Rasyiddin. Dimana pemilihan khalifah bisa dikatakan sangat demokratis untuk ukuran saat itu. Sepanjang sejarah peradaban Islam, masa kekhalifahan adalah masa kemajuan Islam. Pada masa itu tidak ada sistem politik Islam yang baku. Kekhilafahan di jalankan sesuai dengan konteks situasi kondisi politik pada zaman kekhilafahan masing-masing. Hal itu dapat digambarkan dari perjalanan politik masing-masing khalifah.

Selama 2 tahun kekuasaan yang dijalankan khalifah Abu Bakar, sebagaimana masa Rasulullah, bersifat sentral; kekuasaan legislatif, eksekutif

98

Ibid., h. 106.

99

John L.Esposito, Ancaman Islam: Mitos atau Realitas?, Alih bahasa: Alwiyyah Abdurrahman, (Bandung: Mizan, 1996), h.41.

dan yudikatif terpusat di tangan khalifah. Meskipun demikian, Abu Bakar selalu mengajak sahabat-sahabat besarnya bermusyawarah. Sedangkan Umar ibn Khathab yang memperkenalkan istilah Amir al-Mu’minin (komandan orang-orang beriman) menjalankan roda pemerintahan dengan memisahkan lembaga yudikatif dengan lembaga ekselutif. Untuk itu ia membentuk lembaga peradilan. Selama 10 tahun Umar melakukan ekspansi kekuasaan di sekitar jazirah Arab, Palestina, Syiria, dan sebagian besar wilayah Persia dan Mesir. Banyak kebijakan baru yang di jalankan seperti pengaturan administrasi yang mencontoh administrasi yang sudah berkembang terutama di Persia. Untuk menjaga keamanan dan ketertiban , jawatan kepolisian di bentuk , demikian pula jawatan pekerjaan umum. Umar juga mendirikan Bait al-Mal , menempa mata uang dan menciptakan tahun Hijrah.100

Pada masa Usman yang terkenal lemah lembut, jasanya tampak dalam membangun bendungan untuk menjaga arus banjir yang besar dengan mengatur pembagian air kekota-kota. Dia juga membangun jalan-jalan , jembatan-jembatan, masjid-masjid dan memperluas mesjid Nabi di Madinah. Namun selama 12 tahun berkuasa, banyak rakyat kecewa terutama pada kebijakan sang Khalifah yang mengangkat keluarga dalam kedudukan tinggi dalam pemerintahan.

Pada masa Ali ibn Abi Thalib, situasi politik sedang tidak stabil. Namun beliau tetap menjalankan roda pemerintahan secara demokratis. Selama 6 tahun masa pemerintahannya Ali menghadapi banyak pergolakan poltik. Setelah menduduki jabatan khalifah Ali memecat para gubernur yang

100

Dr. Badri Yatim M.A., Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Rajawali Press, 2004), h. 38.

diangkat oleh Usman. Beliau juga menarik kembali tanah yang dihadiahkan Usman kepada penduduk dengan menyerahkan hasil pendapatannya kepada negara dan memakai kembali sistem distribusi pajak tahunan di antara orang-orang Islam sebagaimana pernah diterapkan Umar.

Kekhilafahan selanjutnya mengalami pergeseran makna pada masa dinasti Umayyah (651-750 M). Pergeseran tersebut paling tidak bisa di lihat dari dua hal; pertama pemilihan khalifah tidak lagi melalui cara yang ”demokratis” dalam arti melibatkan suara rakyat, tetapi melalui wilayatul ahdi, pengangkatan putra mahkota yang ditentukan sebelumnya oleh khalifah yang berkuasa. Kedua , khalifah lebih terfokus pada masalah politik, sementara masalah agama diserahkan kepada ulama yang menguasai masalah-masalah agama . Berbeda dengan khalifah sebelumnya yang merupakan ahli agama yang menetapkan hukum keagamanan berdasarkan ijtihad mereka baik sendiri maupun bersama-sama. Namun demikian khilafah bani Umayyah mampu melakukan ekspansi besar-besaran baik di Timur maupun Barat, wilayah kekuasaan Islam meliputi Spanyol, Afrika Utara, Syria, Palestina, jazitah Arabia, Irak, sebagian Asia kecil, Persia, Afganistan, daerah yang sekarang disebut Pakistan, Purkmenia, Uzbek, dan Kirgis di Asia Tengah.101

Sistem monarki dalam pemerintahan islam dimulai pada khalifah Muawiyah yang mengangkat putranya Yazid bin Muawiyah dengan jalan kekerasan sebagai waliyul’ahdi (putra mahkota).

Pada masa dinasti Abbasiyah, kebijakan-kebijakan yang diterapkan

Dokumen terkait