• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

4.2 Saran

Kebudayaan masyarakat jepang sangat banyak jumlahnya. Setiap kebudayaan yang ada tersebut memilik fungsi dan makna masing-masing. Kita sebagai pelajar Sastra Jepang ada baiknya kita juga mengetahui budaya-budaya yang ada di Jepang. Diharapkan bagi para mahasiswa lainya untuk melanjutkan penelitan dengan fokus masalah yang berbeda terhadap haniwa. Agar pengetahuan kita akan kebudayaan orang Jepang menjadi semakin luas.

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG HANIWA DALAM KOFUN PADA ZAMAN YAMATO

2.1 Zaman Yamato

Zaman Yamato dibagi menjadi dua yaitu zaman Kofun (250 M – 550 M) dan zaman Asuka (550 M – 710 M). Pemberian nama Yamato didasarkan atas daerah kekuasaan negeri Yamato. Daerah kekuasaannya meliputi Honshū bagian selatan dan

Kyūshū bagian utara. Saat itu Jepang terdiri dari daerah-daerah yang diperintah oleh

gabungan-gabungan keluarga yang disebut Uji (klan). Kepalanya disebut Uji no kami atau Ujigami. Nantinya akan disebut Tennō. Masyarakat dalam organisasi klan itu adalah golongan bangsawan. Tiap klan mempunyai golongan pekerja dan budak. Bertani padi menjadi dasar perekonomian saat itu.

Setelah mengalami perpecahan zaman dan kekacauan politik selama tiga setengah abad, Cina kembali menjadi negara kesatuan. Keadaan politik di Cina tersebut membuat Jepang meniru sistem politik di Cina mengenai pemusatan kekuasaan. Tahun 593 M terjadi peristiwa penting dalam sejarah politik Jepang. Susunan masyarakat Jepang yang berinti pada Uji harus diubah karena pertambahan penduduk yang tidak dapat dipertahankan lebih lama lagi dan harus mengalami perubahan. Perubahan susunan masyarakat itu merubah pula susunan politik. Tahun

593 M, Shotoku Taishi diangkat menjadi Sesshō (penasehat bagi Tennō yang belum dewasa) bagi Tennō puteri Suiko. Dengan demikian Taishi memegang pimpinan negara. Ia mengubah susunan jabatan-jabatan tinggi di istana yang saat itu dijabat oleh kepala-kepala klan turun-temurun, diganti dengan susunan baru. Siapa saja dapat memangku suatu jabatan sesuai dengan kecakapan dan jasanya.

Tahun 604 M disusun 17 aturan. Dalam peraturan itu antara lain disebutkan supaya agama Buddha dihormati, keluhan rakyat harus diperhatikan dan mendapat penyelesaian yang adil, petani-petani harus diperlakukan dengan baik, dan sebagainya. Tetapi apa yang diusahakan Taishi tersebut baru berupa cita-cita yang tidak dapat dengan segera dilaksanakan, yaitu cita-cita membentuk Jepang menjadi negara nasional. Baru pada tahun 645 M konsepsi tersebut terwujud. Pada tahun itu, keluarga dari klan Soga yang punya pengaruh besar dalam pemerintahan Tennō sejak tahun 587 M, dijatuhkan oleh pangeran Naka no Oe dengan bantuan Fujiwara. Setelah itu diadakan pembaharuan-pembaharuan dalam lapangan politik dan sosial yang berlangsung hingga 702 M. Gerakan pembaharuan itu dikenal dengan sebutan Reformasi Taika. Yang jadi tangan kanan Naka no Oe dalam perebutan kekuasaan dengan keluarga Soga ialah Fujiwara (no) Kamatari Dalam tahun 661 M, Naka no Oe naik tahta sebagai Tennō bergelar Tennō Tenji.

Asas-asas pembaharuan itu dijalankan dengan berangsur-angsur selama beberapa puluh tahun dan seringkali peraturan-peraturan pembaharuan tinggal di atas kertas. Seluruh negeri dan rakyat ditaruh langsung di bawah kekuasaan Tennō. Tanah pertanian dibagi antara rakyat atas dasar peraturan yang sama (sistem Kōchikōmin).

Semua penduduk didaftarkan untuk tujuan pembagian tanah dan pemungutan pajak. Daerah negara dibagi dalam kuni (propinsi) dan kori atau gun (distrik). Pemerintahan disusun dengan mencontoh kepada Cina, pemerintah pusat mengangkat pegawai-pegawai untuk menyelenggarakan administrasi pemerintahan. Dalam rangka pembaharuan-pembaharuan itu, disusun undang-undang bernama Ritsu-ryō (Ritsu adalah kitab undang-undang hukum pidana dan Ryō terdiri dari undang-undang hukum tatanegara dan hukum sipil). Disusun menurut contoh undang-undang dinasti Tang di Cina. Penyusunan kitab-kitab, undang-undang itu baru selesai pada tahun 701 M dan terkenal dengan sebutan Taihō Ritsu-ryō (pada tahun 718 M sebagian diubah dan diberi nama baru Yōrō Ritsu-ryō). Undang-undang itu dengan perubahannya menjadi dasar hukum Jepang hingga sekarang.

Pembaharuan-pembaharuan menghasilkan suatu susunan yang tampak dari luar sebagai pembentukan pemerintahan pusat, tetapi sebenarnya memupuk susunan aristokrasi baru. Pembaharuan itu tidak mendapat perlawanan karena tidak menghapuskan sama sekali hak-hak istimewa yang tertumpuk pada golongan lapisan atas dari masyarakat. Orang-orang lapisan atas itu masih tetap dalam kedudukan yang menguntungkan, hanya dalam bentuk yang berubah, sedangkan kedudukan rakyat jelata pada umumnya tidak bertambah baik. Dalam pembaharuan susunan pemerintahan itu, keluarga dari klan Fujiwara mencapai kedudukan, yang menggenggam kekuasaan yang sebenarnya di dalam negara. Dasar dari kedudukan itu diletakkan oleh Fujiwara Kamatari, tangan kanan Naka no Oe ketika meruntuhkan kekuasaan kelurga dari klan Soga. Walaupun pembaharuan-pembaharuan dilakukan

dengan mencontoh Cina, tidak semuanya yang dari Cina ditiru. Anggapan mengenai Tennō sebagai keturunan Dewi Matahari tidak berubah.

Pada zaman Asuka nama negara diganti dari Yamato atau Wa menjadi Nihon atau Nippon. Zaman Asuka (550 M – 710 M) berlangsung ketika pusat pemerintahan berada di Asuka (sekarang Nara).

2.2 Masyarakat Pada Zaman Yamato

Selama empat abad Yamato dapat menaklukkan sebagian besar tanah Jepang bagian utara Honshu dan Kyushu selatan masih belum ditaklukkan. Peperangan-peperangan yang sering dilakuakan itu memberikan watak kemiliteran kepada masyarakat Yamato. Tiap daerah yang ditaklukkan pada umumnya tidak dirampas, kecuali daerah-daerah yang didiami bangsa Ainu. Kepala-kepala daerah itu mengakui Tenno sabagai Suzerein. Sampai tahun 645M belum terbentuk kerajaan Jepang dengan pemerintahan yang dipusatkan. Jepang terdiri dari daerah-daerah yang diperintah oleh gabungan-gabungan keluarga, gabungan keluarga itu disebut klan dan bersifat patriachal. Angggota-anggota tiap klan mengakui mempunyai leluhur yang sama, yang biasanya disebut Ujigami (klan dewa). Kepala klan berfungsi sebagai pendeta tertinggi terhadap dewa klan dan fungsi sakral itu memberikan kekuasaan politik padanya. Kepala klan dan keluarganya yang langsung (menurut garis keturunan yang lurus) biasanya mempunyai gelar-gelar yang turun temurun, yang diatur menurut hierarki.

Masyarakat yang tersusun dalam organisasi klan itu adalah golongan bangsawan.tiap klan mempunyai tanah sendiri dan rakyat yang diperintah terdiri dari golongan krya (pekerja), dan sejumlah budak- budak. Golongan krya diatur didalam organisasi –organisasi yang disebut be atau tomo. Pekerjaan yang dilakuakan tiap anggota tiap kelompok tetap dan turun temurun. Mereka itu merupakan dasar bagi perekonomian tiap-tiap klan. Klan yang terkemuka ialah klan yang di kepalai oleh Tenno. Walaupun gelar tenno disamakan dengan sebutan kaisar, hal itu tidak boleh diartikan bahwa Tenno-Tenno yang terdahulu sudah memerintah sebagai kaisar atau raja. Ia itu harus dianggap sebagai seorang yang terkemuka diantara sesamanya (yaitu kepala-kepala klan), fungsinya yang terutama bersifat sakral. Baru pada kira-kira tahun 400M kedudukan Tenno benar-benar teguh, yaitu pada masa pemerintahan Tenno Nintoku (menurut sejarah jepang: 310-399 M) Tenno yang ke 16. Walaupun kekuasaan Yamato diperintahkan oleh kaisar, namun yang menjalankan roda pemerintahan adalah kepala para klan (Goozoku), yang merupakan pembantu kaisar. Sistem ini berlangsung sampai abad ke-7 (I Ketut Surajaya, 1993:6).

Struktur Masyarakat pada zaman ini mencerminkan adanya struktur kelas-kelas dalam masyarakat. Keturunan Tenno merupakan kelas-kelas yang tertinggi, sedangkan Goozoku dan masyarakat biasa berada dibawah Tenno, tanah dimiliki oleh Tenno dan Goozoku secara langsung. Para penghuni tanah memiliki kewajiban mengolah tanah dan membuat bermacam-macam perlengkapan yang dibutuhkan oleh pihak istana.

Kehidupan sosial masyarakat Jepang Matsurigoto yang berarti pemerintahan atau upacara keagamaan. Awal periode zaman Yamato, kepercaan masyarakat sebagian besar bersifat animistik dan pemujaan terhadap alam. Kepercayaan rakyat Jepang pada zaman ini terbentuk dari kepercayaan religius, sebagai unsur-unsur agama Shinto. Agama shinto adalah agama asli Jepang. Agama shinto terpusat pada pemujaan animistik, gejala-gejala alam, gunung, air, dan seluruh proses penguburan dijadikan objek pemujaan. Simbol, ritus, dan perayaan keagamaan didalam kehidupan kuil-kuil sarat dengan mistik. Shinto merupakan jalan kami (dewa) yang menyatu dan menjadi bagian hidup yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan orang Jepang. Kata Shinto tersusun dari dua ideograph yaitu (shin) yang disamakan artinya dengan kami diartikan dewa atau kedewaan. Dan ( do atau to) yang disamakan dengan mishi yang berarti jalan. Secara harfiah dapat diartikan sebagai jalan kami. Kami adalah objek sembahyang dalam agama Shinto, dalam agama shinto segala sesuatu dipandang sebagai kami atau paling tidak mempunyai potensi untuk menjadi kami (sutrisno, 1993:119).

2.2.1 Stuktur Masyarakat

Periode sejarah Jepang dimulai sekitar abad ke-4 sampai abad ke-6 masehi. Zaman ini ditandai dukungan terhadap tahta Yamato yang semakin kuat dengan pembangunan Kofun (250 M- 710 M), pemberian nama Yamato didasarkan pada daerah kekuasaan negeri Yamato. Daerah kekuasaannya meliputi Honshu bagian

selatan dan Kyushu bagian utara. Saat itu Jepang terdiri dari daerah-daerah yang diperintahkan oleh gabungan-gabungan keluarga yang disebut UJi (klan), kepala Uji disebut Uji no Kami atau Ujigami, dan akhirnya disebut Tenno. Masyarakat dalam organisasi klan itu adalah golongan bangsawan seperti klan otomo, klan Mononobe, dan klan Soga. Setiap klan yang berkuasa mempunyai golongan pekerja dan budak. Kekuasaan tertinggi pada zaman Yamato di perintahkan oleh seorang Kaisar, namun walau kaisar adalah pemimpin tertinggi di Negara Jepang yang menjalankan pemerintahan bukan lah kaisar melainkan kepala para klan (Goozoku), yang

merupakan pembantu kaisar. Sistem pemerintahan ini berlangsung sampai pertengahan abad ke-7 (i ketut Surajaya, 1993 :6). Struktur masyarakat pada zaman Yamato terdiri dari susunan kelas-kelas dalam masyarakat. Keturunan Tenno adalah kelas tertinggi dalam suku Yamato, kemudian Goozoku yang berada dibawah Tenno dan sekaligus sebagai pembantu Tenno yang menjalankan pemerintahan, tanah yang berada dalam kekuasaan Yamato dimiliki oleh Tenno dan Goozoku secara langsung. Para penghuni tanah yaitu masyarakat kalangan bawah di Yamato berkewajiban mengolah tanah dan hasil dari pengolahan tanah dan pertanian diserahkan kepada pihak istana. Selain mengolah tanah masyarakat kelas bawah juga di tuntut untuk membuat bermacam-macam kebutuhan istana dan kebutuhan para bangsawan yang berkuasa.

Mata pencaharian masyarakat pada zaman Yamato hampir sama dengan masyarakat zaman Yayoi, diantaranya pembuat barang tembikar, tukang kayu, tukang besi, pembuat atau memintal benang menjadi kain, dan yang paling utama adalah

pertanian, karena dengan bertani mereka mulai bergerak menuju hidup yang lebih layak dan lebih maju. Dengan kuatnya pengaruh pemerintahan pada zaman itu desa-desa yang penduduknya bertani mulai berubah menjadi Negara-negara kecil, senjata yang dulu hanya digunakan untuk mempermudah pekerjaan, kemudian mulai dikembangkan menjadi alat-alat untuk berperang,dan kemudian mulai dibangunm nya banteng-benteng pertahanan disetiap daerah nya.

Dengan perkembangan peradaban di Yamato maka kehidupan masyarakatpun mulai meningkat, yaitu ditandai dengan dibangun nya rumah-rumah pemukiman, bentuk rumah pada zaman Yamato yaitu bentuk rumah berlantai tinggi yang didirikan pada tiang-tiang yang tinggi, gaya rumah berlantai tinggi ini pada mulanya hanya diperuntukkan bagi kalangan atas dan bangsawan saja, namun kemudian rakyat biasa mulai membangun rumah dengan bentuk yang sama.

2.2.2 Kepercayaan Masyarakat

Kepercayaan masyarakat pada zaman Yamato adalah terdiri dari unsur-unsur agama Shinto. Agama Shinto percaya kepada banyak dewa, Bagi masyarakat Jepang kuno, tuhan mereka adalah banyak, yang diantaranya memiliki cirri-ciri manusia, seperti halnya dewa-dewa orang yunani kuno. Dewa orang Jepang kuno menghuni setiap tempat alam yang kuat, seperti sungai, angin, api, gunung, dan khususnya matahari sebagai tempat seluruh kehidupan bergantung. Kepercayaan terhadap matahari ini disebut Shinto, yang berarti “jalan dewa”. Shinto dalam

perkembangannya mengajarkan tidak hanya menyembah kekuatan alam saja, tetapi juga mengajarkan untuk menyembah leluhur mereka. Lebih dari itu, karena Shinto mengajarkan bahwa pada dasarnya setiap manusua itu baik, Shinto juga mengajar manusia untuk mempercayai setiap dorongan yang berasal dari hati mereka. Lama- kelamaan Shinto menggabungkan pemujaan terhadap dewa Matahari dengan tradisi pemujaan bahwa para Kaisar Jepang adalah keturunan dewa Matahari dan menyatakan bahwa kaisar adalah Dewa. Kata Shinto tersusun dari dua kata yaitu (shin) yang disamakan artinya dengan kami diartikan dewa atau kedewaan. Dan (do atau to) yang disamakan artinya dengan mishi yang bearti jalan.jadi dapat diartikan bahwa Shinto merupakan jalan kami.

Awal periode zaman Yamato, kepercayaan masyaraakat sebagian besar bersifat animistik dan pemujaan terhadap alam. Agama Shinto terpusat pada pemujaan animistik, gejala-gejala alam, gunung-gunung, air, dan seluruh proses penguburan dijadikan objek pemujaan. Para leluhur yang tetomistik ( aliran yang percaya bahwa suatu binatang atau benda yang mempunyai hubungan darah dengan suatu keluarga atau kelompok social tertentu dank arena itu memakai lambing), dimasukkan ke dalam Kami atau dewa (Edwin O. Reischaver 1982:286). Dewa-dewa dipuja dengan mengadakan korban, doa, dan pesta yang diadakan di tempat suci. Tempat-tempat suci ini dipersembahkan kepada leluhur kekaisaran. Dalam ajaran Shinto memusatkan diri kepada penghormatan terhadap kaisar. Kaisar tidak hanya sebagai pemimpin Negara tetapi juga sebagai pendeta utama bagi seluruh rakyatnya.

Pada saat Jepang disatukan oleh kaisar Yamato, hubungan Jepang dengan Negara tetangga nya seperti Korea dan Cina semakin erat. Negara Korea merupakan daerah penting karena merupakan daerah perlintasan kebudayaan agama yang mendapat pengaruh dari cina. Menurut sejarah Jepang dalam Nihon Shiki, Budhisme masuk ke Jepang sekitar abad ke-6 yaitu sekitar 552 M, minat para bangsawan Jepang terhadap agama Budha pertama masuk nya budha ke Jepang ada yang menolak dan ada juga yang menerima. Kaisar menerima agama budha tersebut dan klan Shoga berpendapat bahwa Jepang seharusnya mengikuti contoh Negara lain, yaitu menerima agama Budha dengan tangan terbuka. Namun berbeda dengan klan Monotabe dan klan Nakatomi yang berpendapat bahwa itu adalah penghinaan terhadap Tuhan mereka jika menerima agama Budha. Dengan masuk dan berkembangnya agama Budha di Jepang membuat agama Shinto menjadi kurang kuat, tetapi agama Shinto tidak punah walaupun pengaruh agama Budha semakin meningkat. Tidak satu agama pun dari keduanya memerintahkan seseorang agar keluar dari agamanya sehingga kedua penganut agama itu dapat hidup berdampingan dan bahkan hingga kini.

2.2.3 Kebudayaan Pada Zaman Yamato

Kebudayaan pada zaman Yamato merupakan perkembangan kebudayaan pada zaman sebelumnya dan kebudayaan yang masuk dari Cina dan Korea. Setiap periode kebudayaan memiliki ciri-ciri yang membedakannya, seperti kebudayaan periode Jomon diketahui dari cirri pada bejana tembikar dengan hiasan tali tambang, dan

kehidupan masyarakat yang masih mengembara, berburu hewan, serta memancing, corak hias tembikar dan hiasan pinggir berbentuk lidah api menunjukkan cita rasa yang halus dan semangat hidup dari masyarakatnya. Daya cipta dan kesederhanaan masyarakat Jomon terungkap jelas pada bejana-bejana tembikar yang dikenal sebagai gerabah Joomon. Kesannya kadang-kadang sederhana, kadang-kadang mencolok juga memperlihatkan vitalitas seakan terlukis debaran jantung orang-orang yang hidup dalam perjuangan tak henti-hentinya melawan alam yang tidak kenal belas kasihan.

Sedangkan periode Yayoi diketahui dari kebudayaan yang erat kaitannya dengan pertanian dan cara menanam padi disawa, dengan berkembangnya budaya bertani di Jepang maka kehidupan masyarakatnya sudah mulai menetap dan produksi pertanian semakin bertambah, kemudian periode Kofun diketahui dari cirri-ciri dengan adanya kuburan besar, kuburan besar itu merupakan makam dari bangsawan Jepang yang mempunyai kekuasaan didaerahnya.

Pada zaman Yamato arsitektur yang paling populer di zaman ini adalah kuburan kuno (kofun). Kofun adalah kuburan kuno untuk mengubur mayat dalam peti mati. Kofun adalah makam kaisar atau bangsawan dengan tanah yang dibuat membukit yang menempati lokasi yang berbentuk perpaduan lingkaran dan persegi empat seperti lubang kunci. Dari kata kofun ini menjadi dasar penamaan pada zaman ini (zaman kofun). Untuk keluarga Tenno dan keluarga bangsawan dibuat bukit-bukit kuburan. Kuburan untuk Tenno disebut Misasagi. Kuburan untuk Nintoku Tenno (meninggal sekitar 400M). Mempunyai ukuran yang sangat besar. Kuburan itu termasuk kuburan terbesar didunia. Panjangnya kira-kira 1700kaki, tingginya lebih

dari 100 kaki dikelilingi parit dan luasnyya (terhitung paritnya) kira-kira 80 acres (1 acre=4047m2). Di dalamnya terdapat cermin, perunggu,pedang, zirah, helm dan ikat pinggang dari perunggu atau besi, manik-manik kecil berbentuk bulan sabit itu sebesar kuku dan disebut Magatama.

Disekitar kofun biasanya terdapat Haniwa yaitu barang-barang yang terbuat dari tanah liat yang ditempatkan dengan teratur disekeliling makam. Biasanya Haniwa ini berupa orang, binatang piaraan, perabot rumah tangga, perkakas, dan dapat memberikan gambaran tentang kehidupan pada masa ini.

Hasil karya masyarakat pada zaman Yamato yaitu dalam pembuatan kofun menimbulkan teknologi atau kebudayaan kebendaan yang mempunyai kegunaan yang dipercaya melindungi masyarakat dari lingkungan alamnya. Periode budaya kofun yang dimulai pada abad ke-3M, merupakan kelanjutan dari akhir zaman Yayoi, kelanjutan ini dipandang dari sudut arkeologi dan benda- benda peninggalan seperti alat pertanian, cermin, dan pedang yang ditemukan di dalam kofun.

Pola-pola dasar kebudayaan kofun sudah diletakkan pada zaman Yayoi, yakni sekitar abad ke-3 SM sampai abad ke-3M. Pembuatan kofun oleh dinasti Yamato merupakan sebuah simbol kekuasaannya. Simbol adalah suatu tanda dimana relasi diantara tanda dengan denotatumnya ditentukan oleh suatu pengaturan yang berlaku umum dan juga ditentukan oleh suatu konveksi atau kesepakatan umum, (Ady Rosa dalam Ikip Padang Press,1996:107).

Menurut Jurahman (2002:02) pada periode kofun, Jepang telah dipersatukan dibawaah dinasti Yamato, dan kebudayaan ini berhubungan erat dengan masuknya kebudayaan Korea yang merupakan jalur masuknya unsur kebudayaan yang berasal dari Cina.

2.3 Defenisi kofun

Kofun adalah gundukan tanah yang dibuat dengan membentuk sebuah kuburan. Kuburan ini merupakan produk zaman Yamato yang muncul pada abad ke-3 M. periode kofun ini merupakan kelanjutan dari periode akhir Yayoi. Kofun yang ada pada zaman Yamato merupakan makam-makam dari raja dan bangsawan yang berada disekeliling keluarga istana, kofun yang dibuat oleh kaisar Yamato menunjukkan bahwa pada saat itu kaisar telah memulai membentuk suatu sistem sosial politik untuk mengendalikan rakyat dan bangsa lain. (www.wikipedia.com)

2.3.1 Kofun di jepang

Kofun (gundukan kuno) mengacu pada gundukan pemakaman besar pembangun di Yamato setelah pertengahan abad ketiga dan dibedakan dari funkyu-bo (gundukan bukit) dari periode yayoi. Banyak jenis gundukan dibangun tetapi ciri khas dari kofun periode adalah “lubang kunci makam”yang di kenal dengan sebutan zenpo kofun. Gundukan makam awal periode Kofun dibangun di daerah Kinai (

Kyoto-Nara-Osaka ). Dari sana bangunan makam menyebar ke Kyushu bagian Utara melalui wilayah Laut pedalaman pada awal abad keempat. Makam awal memiliki gundukan baik berbentuk bulat maupun yang berbentuk lubang kunci. Makam lubang kunci pada bagian depan berbentuk persegi panjang sedangkan bagian belakang berbentuk gundukan bulat (前方後円墳). Gundukan depan mungkin awalnya berfungsi sebagai tempat untuk upacara penguburan, pemakaman biasanya berada di gundukan belakang.

Dari pertengahan zaman yayoi hingga ke awal periode yamato, gundukan agak besar ( funkyubo ) biasanya berbentuk bukit atau membentang dari china ke shikoku di bagian barat dataran kanto di timur laut. Biasanya berbentuk persegi dan dikelilingi parit dan selokan, mirip dengan yang ditemukan di China dan Asia utara. Sebelum gundukan berbentuk lubang kunci menjadi standar pemakaman bangsawan era yamato, maka sebelumnya berbagai bentuk gundukan makam ditemukan diseluruh Jepang.

Pada akhir zaman yayoi, beberapa gundukan menjadi lebih besar ( antara panjang 40-80 meter ) dan beberapa dari akhir gundukan pada abad kedua diketahui telah berevolusi bentuk lubang kunci ( misalnya hashihaka dan hokenoyama dan kurozuka ) mirip dengan gundukan khusus zaman yamato. Ditemukan sejumlah gundukan batu makam di prefektur Chiba dan prefektur Nara. Gundukan awal yang dibangun pada puncak bukit yang terdapat di prefektur Chiba dan Nara, biasanya ditempati oleh jasad pemimpin para komunitas pertanian dibawah kendali mereka, tapi belum termasuk makam para kaisar dan keluarga kekaisaran Yamato.

Gundukan bulat hadir dari periode awal Yamato, ditempati oleh bangsawan biasa, oleh keluarga abad ke 6 awal pemimpin dimakamkan di gundukan dan lubang liangnya berkerumun disekeliling bukit. Gundukan berbentuk standar, Gundukan besar lubang kunci terkenal tidak muncul sampai akhir zaman Yayoi atau awal periode Yamato, awal diantara mereka muncul di sudut barat daya dari perbatasan yamato dekat Gunung Katsuragi dan ditimur laut dari kaki gunung Miwa, akhirnya mereka menyebar disepanjang sungai yamat, dan kemudian jauh ke ujung Jepang seperti Echizen, Izumo. Gundukan Lubang Kunci di Kyushu yang terbesar adalah Mesahozuka dan Osahozuka terletak dalam kawasan Saitobaru ) menurut para Ahli berasal dari abad pertengahan ke 3. Gundukan makam berbentuk lubang kunci dibangun secara berurutan, sering berbaris atau berdasarkan tingkat status, dan menjadi gundukan standar untuk penguasa peringkat tertinggi dan raja serta selir.

Dalam dokumen Haniwa dalam kofun pada zaman Yamato (Halaman 18-61)

Dokumen terkait