Nintoku-ryo Kofun Panjang 486 Meter
Hanzei-ryo Kofun Panjang 148 Meter
Gobyoyama Kofun Panjang 186 Meter
Itasuke Kofun
Replika kofun yang berada di Honshu
DAFTAR PUSTAKA
Endraswara, Suwardi. 2008. Metode Penelitian Sastra. Yogyakarta:Medpress Esquire
Indonesia, Edisi September 2009
Ihromi T.O, 2006.Pokok-Pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Yayasan obor Indonesia
Ishida,Ichiro. 1961. Manusia dan Kebudayaan Jepang.Jakarta: PT Dian Rakyat
Kaelan. 2005. Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat. Yogyakarta : Paradigma.
Kodansha Ensiklopedia of Japan. 1983. Tokyo: Kodansha
Koentjaraningrat. 1974. Kebudayaan Mentalited dan Pembangunan. Jakarta : Gramedia
--- , 1976. Metode-Metode Penelitian Masyarakat.Jakarta : Gramedia
---. 2004. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : Radar Jaya Offest.
Machali, Roehayah, 2002. Pedoman bagi penerjemah. Jakarta : PT. Grasindo
Matsubara, Saburo, 1987, History of Japanise Art, Jakarta, Kementerian Luar Negeri Jepang
Nasution, M.Arif, 2001. Meode Penelitian. Jakarta: Gramedia
Suharman, Yohanes B jurahman, 2002, Sejarah Jepang Awal Sampai Feodalisme, Salatiga, Widya Sari Press
Surajaya, I Ketut. 2001. Pengantar Sejarah Jepang 1. Jakarta: Universitas Indonesia
Suryohadiprojo, Sayidiman,1982. Manusia dan Masyarakat Jepang Dalam
Perjuangan Hidup.Jakarta : UI
Sudjiman, Panuti H.M, danAart vanzoest.1996. Serbaserbin Semiotika. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama
Sumber internet
BAB III
ANALISA FUNGSI DAN MAKNA HANIWA DALAM KOFUN PADA ZAMAN YAMATO
3.1 Fungsi haniwa
Haniwa merupakan benda peninggalan yang banyak ditemukan pada zaman
Yamato. Selain bentuknya yang khas, haniwa ini menarik karena penempatannya
yang ditemukan tidak di lingkungan rumah warga melainkan ditemukan di sekeliling
kuburan para raja atau bangsawan yang disebut dengan kofun.
Haniwa adalah arca-arca dari tanah liat berbentuk silinder yang berlubang,
yang banyak ditemukan di kuburan besar di Jepang. Selama periode kofun ( era
makam tua di Jepang ) pada 250-600 M. Haniwa berkembang dalam berbagai bentuk,
mereka ditempatkan di pinggir makam dan memiliki fungsi spesifik, dan dijadikan
objek ritual. Ada kesepakatan umum bahwa haniwa dimaksudkan untuk dilihat,
bahwasannya haniwa tidak dikubur dibawah tanah bersama jasad, melainkan haniwa
berada diatas makam dan melingkari makam untuk menandai bahwa makam tersebut
merupakan makam kolosal atau makam para orang berpengaruh di zaman tersebut.
namun haniwa jarang dilihat warga karena makam tersebut dikelilingi parit dan
makam tersebut biasanya keramat dan hanya segelintir orang yang melakukan proses
Kepercayaan animisme ( dari
kepercayaan kepada makhluk halus dan
mula-mula muncul di kalanga
Kepercayaan animisme mempercayai bahwa setiap benda di
kawasan tertentu,
mesti dihormati agar semangat tersebut tidak mengganggu manusia, malah membantu
mereka dari semangat dan roh jahat dan juga dalam kehidupan seharian mereka.
Bagian dari kepercayaan ini adalah adanya roh-roh orang yang telah meninggal,
kepercayaan ini mempercayai jika roh orang yang telah meninggal dapat masuk ke
tubuh suatu benda tertentu.
Shinto sebagai agama asli bangsa jepang, agama tersebut memiliki sifat yang
cukup unik. Proses terbentuknya upacara keagamaanya maupun ajaran-ajaranya
memperlihatkan perkembangan yang sangat ruwet. Pertumbuhan dan perkembangan
agama serta kebudayaan jepang memang mmperlihatkan kecendrungan yang
asimilatif. Sejarah jepang memeperlihatkan bahwa bangsa jepang telah menerima
beberapa pengaruh baik kultural maupun spiritual dari luar. Semua pengaruh itu tidak
menghilangkan tradisi asli, dengan pengaruh-pengaruh dari luar tersebut justru
memperkaya kehidupan spiritual bangsa Jepang.
Antara tradisi-tradisi asli dengan pengaruh-pengaruh dari luar senantiasa
dipadukan menjadi suatu bentuk tradisi baru yang jenisnya hampir sama. Dan dalam
melainkan suatu kelangsungan dan kelanjutan. Dalam bidang spiritual, pertemuan
antara tradisi asli jepang dengan pengaruh-pengaruh luar itu telah membawa
kelahiran suatu agama Shinto, agama asli jepang.
Haniwa pada awalnya digunakan untuk mendefenisikan perimeter makam
suci, memisahkan dan melindungi roh almarhum dari gangguan roh jahat. Dengan
perkembangan model Haniwa berbentuk patung manusia, ritual khusus diadakan dan
diatur demi menghormati Almarhum. Jenis-jenis Haniwa mewakili dari kehidupan
Almarhum sebagai sosok yang dilayani dan dihormati semasa Hidup, dan
menunjukkan status tinggi dan kekayaan penghuni makam.
Masyarakat Jepang pada era Yamato beragama shinto menganut kepercayaan
animisme, Mereka percaya bahwa penempatan haniwa pada makam yang
bersangkutan dapat membantu roh tersebut di alam kematian, dan merupakan media
pelindung bagi para arwah agar terhindar dari kejahatan. Masyarakat pada Era
Yamato meyakini bahwa haniwa memiliki kekuatan dari para Dewa dan mampu
menjaga arwah-arwah yang telah meninggal agar tidak diganggu oleh kejahatan yang
muncul di alam arwah. Oleh karena itu banyak haniwa memiliki rupa berbentuk
sososk dukun pada zaman Yamato, karena dianggap dukun memiliki kekuatan yang
paling tinggi untuk menyampaikan kekuatan para dewa kepada arwah yang wafat
tersebut. Haniwa juga dipercaya memiliki kekuatan magis yang dapat mebatasi dunia
nyata dan alam kematian. Pada zaman Yamato haniwa-haniwa dibuat oleh
masyarakat sebagai bentuk penghormatan kepada bangsawan yang telah meninggal
Disisi lain, masyarakat era yamato percaya Haniwa berfungsi untuk membuat
roh merasa nyaman dengan kehidupannya yang baru sebab haniwa dapat dijadikan
teman di alam arwah dan media untuk menjalin kehidupannya yang baru. Berbagai
haniwa diletakkan disekeliling kofun dengan maksud para Raja dan bangsawan tidak
mengganggu orang-orang yang ditinggalkan, karena acapkali mereka ingin kembali
ke dunia manusia karena mereka menikmati kehidupan mereka yang kaya dan
berkuasa yang tidak mereka dapatkan di dunia arwah.
Haniwa memiliki jenis dan bentuk yang beragam tapi memiliki fungsi yang
sama. Pada intinya, Haniwa-haniwa tersebut awalnya dijadikan sebagai pengganti
orang yang dijadikan sebagai tumbal oleh kaisar yang berkuasa. Di seluruh makam
para raja atau bangsawan diletakkan haniwa yang dimaksudkan agar yang telah
meninggal tersebut dapat tenang dialamnya karena masyarakat pada zaman Yamato
percaya bahwa haniwa memiliki kekuatan yang dapat melindungi para arwah dari
3.2 Makna Haniwa
3.2.1 Haniwa manusia
Haniwa berbentuk sosok wanita, berusia 6-7
abad, terbuat dari gerabah merah. Potongan
tanah liat melekat dan melingkar dileher
menunjukan sisa-sisa kalung yang
mengindikasikan dia mewakili Miko, gadis
yang melayani dalam ritual Shinto.
Ini adalah sosok manusia dengan mata dan mulut
terbuka yang berdiri di atas stoples. Dia
memakai topi runcing yang menggantung diatas
telinga dan bahunya. Dia memakai tunik dan
celana panjang yang diikat di bawah lutut.
Tanganya yang kecil dibandingkan dengan
seluruh tubuhnya. Ada koma berbentuk objek di
depan tunik. Dia melambangkan sosok seorang tokoh agama pada zaman Yamato.
Haniwa yang ditemukan di sekitar kofun,
patung-patung ini adalah sosok pria dan wanita,
perempuan memiliki gaya potongan rambut dan
memakai anting-anting, kedua mata dan mulut yang
dibentuk oleh lubang sederhana, hidung dibuat dari
bagian atas kepala. Haniwa ini melambangkan sosok
pria dan wanita yang merupakan masyarakat pada
zaman yamato.
[image:12.612.109.250.88.279.2]http://asia.haifa.ac.
Figur manusia ini diperkirakan berasal dari
abad-3. Haniwa ini melambangkan seorang pemimpin
militer yang dianggap sangat penting pada zaman
Yamato, yang memimpin para pasukan tentara. Haniwa
ini tidak banyak ditemukan disetiap kofun, karena
masyarakat yamato percaya bahwa haniwa pemimpin
Haniwa ini adalah seorang prajurit tentara pada
zaman yamato yang menggunakan pakaian seragam
resmi serta dilengkapi dengan senjata dan penutup
kepalanya. Haniwa ini sangat banyak ditemukan disetiap
kofun. Tentara atau prajurit merupakan suatu pekerjaan
yang dianggap tinggi di zaman Yamato. Haniwa
bermakna sebagai lambang perjuangan dan keberanian
dari para tentara yang rela berkorban demi masyarakat dan Negara di zaman Yamato.
Haniwa yang dianggap memiliki kemampuan
spiritual atau yang dikenal dengan sebutan dukun.
Seorang dukun dianggap memiliki kekuatan yang
melebihi manusia biasa, pada zaman Yamato sosok
Haniwa dianggap sebagai perwakilan dewa. Pakaian
yang digunakan adalah pakaian yang biasa dipakai
pada saat mereka memimpin upacara keagamaan atau
Haniwa ini menggambarkan pertunjukan tari,
hal ini tampak dari kedua telapak tangan yang saling
menyentuh yang merupakan salam penghormatan.
Haniwa tarian ini bermakna sebagai lambang
kebersamaan dan hiburan kepada orang-orang yang
ditinggalkan oleh para raja yang telah meninggal dan
sekaligus cara untuk mengusir roh-roh jahat yang
akan menggaggu makam para raja tersebut.
3.2.2 Makna Haniwa Bangunan Rumah dan Kapal
Haniwa ini adalah sebuah rumah
yang biasanya diletakan di tengah kofun.
Haniwa ini adalah konsep awal dari
rumah-rumah yang biasa ada pada zaman yamato
yang dibuat secara artistik dan indah.
Haniwa ini pada zaman tersebut bermakna
sebagai tempat tinggal roh para raja atau
bangsawan di alam kematian, sehingga
Haniwa kapal pada zaman yamato ini
sangat penting perananya. Haniwa ini merupakan
simbol kendaraan yang dipergunakan para roh raja
sebagai media untuk mencapai alam syurga.
Masyarakat percaya dengan adanya haniwa kapal
ini raja akan tenang di syurga.
3.3.3 Makna Hewan
Kuda merupakan objek yang paling
banyak digunakan dalam pembuatan haniwa. Hal
tersebut dikarenakan kuda dianggap sebagai
hewan yang pemberani dan memiliki jasa besar
dalam pertempuran. Haniwa kuda ini berasal dari
kepercayaan zaman yamato bahwa kuda sebagai hewan tunggangan para Kami,
masyarakat yamato mempersembahkan haniwa kuda sebagai bentuk bagian dari doa.
Haniwa monyet ini tidak diketahui
maksudnya, dari satu sudut dia muncul untuk
memutar kepalanya seolah-olah ingin berbicara
kepada orang-orang yang masih hidup dan dari sisi
lain, monyet tersebut kelihatan siaga dan waspada
seolah bahaya di dekatnya. (Saburo Matsubara,
BAB lV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
1. Pada zaman Yamato masyarakat diperintahkan oleh seorang kaisar, namun yang
menjalankan roda pemerintahanya adalah kepala para klan (goozoku) yang
merupakan pembantu kaisar. Mata pencaharian masyarakat pada zaman Yamato
adalah pembuat barang tembikar, tukang kayu, tukang besi, penggunaan alat pemintal
untuk memintal benang menjadi kain, dan pertanian.
2. Kepercayaan masyarakat jepang pada zaman yamato terbentuk dari kepercayaan
religius sebagai unsur-unsur agama shinto. Shinto adalah agama asli Jepang yang
memiliki simbol, ritus, dan perayaan agama yang sarat dengan mistik yang berpusat
pada pemujaan animstik gejala-gejala alam, gunung-gunung, air dan seluruh proses
penguburan. Keberadaan agama yang tidak jauh dari hal-hal mistik inilah yang
melahirkan kehidupan sosial masyarakat Jepang yang didasari pada Matsurigito yang
berarti pemerintahan atau upacara keagamaan.
3. Salah satu wujud kebudayaan Masyarakat pada zaman Yamato adalah Haniwa
yaitu arca-arca kecil yang terbuat dari tanah liat yang dibakar dengan udara
beroksigen rendah menghasilkan warna kuning mengkilap yang terdapat pada kofun
atau kuburan para bangsawan pada zaman yamato. Haniwa mempunyai kekuatan
magis yang mampu melindungi arwah yang ada didalam kubur dari segala kejahatan.
4. Jenis-jenis haniwa adalah berbentuk seperti figur manusia, hewan, mebel atau
alat-alat yang dipakai dalam kehidupan sehari-hari. Dalam masyarakat Jepang pada zaman
yamato, haniwa memiliki makna dan fungsi yang sangat penting. Haniwa merupakan
patung yang di jadikan sebagai pelindung bagi para bangsawan yang telah meninggal,
agar selalu terhindar dar segala macam pengaruh jahat dan pengaruh buruk.
5. Haniwa hanya digunakan oleh para kaisar atau raja-raja, satu orang kaisar untuk
satu kofun, tidak dipergunakan bagi masyarakat biasa, karena haniwa mempunyai
ritual agama dan mempunyai kekuatan magis yang di percayai sebagai penghormatan
bagi masyarakat biasa terhadap kaisar atau raja-raja yang telah meninggal.
6. Penempatan haniwa pada kofun di zaman Yamato dimaksudkan untuk
memisahkan dunia kehidupan antara yang telah meninggal dan mereka yang masih
hidup, juga sebagai media agar para roh mendapat tempat yang nyaman dan tidak
diganggu atau bercampur dengan roh-roh jahat di alam kematianya.
7. Beragam jenis haniwa yang memiliki fungsi dan tujuan yang sama yaitu pemisah
antara orang yang telah meninggal dan orang yang masih hidup, dimaksudkan
sebagai penangkal atau penolak bagi arwah-arwah yang telah meninggal tersebut agar
tidak kembali ke dunia nyata dan mengganggu orang yang masih hidup. Untuk itu
4.2 Saran
Kebudayaan masyarakat jepang sangat banyak jumlahnya. Setiap kebudayaan
yang ada tersebut memilik fungsi dan makna masing-masing. Kita sebagai pelajar
Sastra Jepang ada baiknya kita juga mengetahui budaya-budaya yang ada di Jepang.
Diharapkan bagi para mahasiswa lainya untuk melanjutkan penelitan dengan fokus
masalah yang berbeda terhadap haniwa. Agar pengetahuan kita akan kebudayaan
orang Jepang menjadi semakin luas.
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG HANIWA DALAM KOFUN PADA ZAMAN YAMATO
2.1 Zaman Yamato
Zaman Yamato dibagi menjadi dua yaitu zaman Kofun (250 M – 550 M) dan zaman Asuka (550 M – 710 M). Pemberian nama Yamato didasarkan atas daerah
kekuasaan negeri Yamato. Daerah kekuasaannya meliputi Honshū bagian selatan dan
Kyūshū bagian utara. Saat itu Jepang terdiri dari daerah-daerah yang diperintah oleh
gabungan-gabungan keluarga yang disebut Uji (klan). Kepalanya disebut Uji no kami
atau Ujigami. Nantinya akan disebut Tennō. Masyarakat dalam organisasi klan itu
adalah golongan bangsawan. Tiap klan mempunyai golongan pekerja dan budak.
Bertani padi menjadi dasar perekonomian saat itu.
Setelah mengalami perpecahan zaman dan kekacauan politik selama tiga
setengah abad, Cina kembali menjadi negara kesatuan. Keadaan politik di Cina
tersebut membuat Jepang meniru sistem politik di Cina mengenai pemusatan
kekuasaan. Tahun 593 M terjadi peristiwa penting dalam sejarah politik Jepang.
Susunan masyarakat Jepang yang berinti pada Uji harus diubah karena pertambahan
penduduk yang tidak dapat dipertahankan lebih lama lagi dan harus mengalami
593 M, Shotoku Taishi diangkat menjadi Sesshō (penasehat bagi Tennō yang belum dewasa) bagi Tennō puteri Suiko. Dengan demikian Taishi memegang pimpinan
negara. Ia mengubah susunan jabatan-jabatan tinggi di istana yang saat itu dijabat
oleh kepala-kepala klan turun-temurun, diganti dengan susunan baru. Siapa saja dapat
memangku suatu jabatan sesuai dengan kecakapan dan jasanya.
Tahun 604 M disusun 17 aturan. Dalam peraturan itu antara lain
disebutkan supaya agama Buddha dihormati, keluhan rakyat harus diperhatikan dan
mendapat penyelesaian yang adil, petani-petani harus diperlakukan dengan baik, dan
sebagainya. Tetapi apa yang diusahakan Taishi tersebut baru berupa cita-cita yang
tidak dapat dengan segera dilaksanakan, yaitu cita-cita membentuk Jepang menjadi
negara nasional. Baru pada tahun 645 M konsepsi tersebut terwujud. Pada tahun itu,
keluarga dari klan Soga yang punya pengaruh besar dalam pemerintahan Tennō sejak
tahun 587 M, dijatuhkan oleh pangeran Naka no Oe dengan bantuan Fujiwara.
Setelah itu diadakan pembaharuan-pembaharuan dalam lapangan politik dan sosial
yang berlangsung hingga 702 M. Gerakan pembaharuan itu dikenal dengan sebutan
Reformasi Taika. Yang jadi tangan kanan Naka no Oe dalam perebutan kekuasaan dengan keluarga Soga ialah Fujiwara (no) Kamatari Dalam tahun 661 M, Naka no
Oe naik tahta sebagai Tennō bergelar Tennō Tenji.
Asas-asas pembaharuan itu dijalankan dengan berangsur-angsur selama
beberapa puluh tahun dan seringkali peraturan-peraturan pembaharuan tinggal di atas
kertas. Seluruh negeri dan rakyat ditaruh langsung di bawah kekuasaan Tennō. Tanah
Semua penduduk didaftarkan untuk tujuan pembagian tanah dan pemungutan pajak.
Daerah negara dibagi dalam kuni (propinsi) dan kori atau gun (distrik). Pemerintahan
disusun dengan mencontoh kepada Cina, pemerintah pusat mengangkat
pegawai-pegawai untuk menyelenggarakan administrasi pemerintahan. Dalam rangka
pembaharuan-pembaharuan itu, disusun undang-undang bernama Ritsu-ryō (Ritsu
adalah kitab undang-undang hukum pidana dan Ryō terdiri dari undang-undang
hukum tatanegara dan hukum sipil). Disusun menurut contoh undang-undang dinasti
Tang di Cina. Penyusunan kitab-kitab, undang-undang itu baru selesai pada tahun
701 M dan terkenal dengan sebutan Taihō Ritsu-ryō (pada tahun 718 M sebagian diubah dan diberi nama baru Yōrō Ritsu-ryō). Undang-undang itu dengan perubahannya menjadi dasar hukum Jepang hingga sekarang.
Pembaharuan-pembaharuan menghasilkan suatu susunan yang tampak dari luar
sebagai pembentukan pemerintahan pusat, tetapi sebenarnya memupuk susunan
aristokrasi baru. Pembaharuan itu tidak mendapat perlawanan karena tidak
menghapuskan sama sekali hak-hak istimewa yang tertumpuk pada golongan lapisan
atas dari masyarakat. Orang-orang lapisan atas itu masih tetap dalam kedudukan yang
menguntungkan, hanya dalam bentuk yang berubah, sedangkan kedudukan rakyat
jelata pada umumnya tidak bertambah baik. Dalam pembaharuan susunan
pemerintahan itu, keluarga dari klan Fujiwara mencapai kedudukan, yang
menggenggam kekuasaan yang sebenarnya di dalam negara. Dasar dari kedudukan itu
diletakkan oleh Fujiwara Kamatari, tangan kanan Naka no Oe ketika meruntuhkan
dengan mencontoh Cina, tidak semuanya yang dari Cina ditiru. Anggapan mengenai
Tennō sebagai keturunan Dewi Matahari tidak berubah.
Pada zaman Asuka nama negara diganti dari Yamato atau Wa menjadi Nihon
atau Nippon. Zaman Asuka (550 M – 710 M) berlangsung ketika pusat pemerintahan
berada di Asuka (sekarang Nara).
2.2 Masyarakat Pada Zaman Yamato
Selama empat abad Yamato dapat menaklukkan sebagian besar tanah Jepang
bagian utara Honshu dan Kyushu selatan masih belum ditaklukkan.
Peperangan-peperangan yang sering dilakuakan itu memberikan watak kemiliteran kepada
masyarakat Yamato. Tiap daerah yang ditaklukkan pada umumnya tidak dirampas,
kecuali daerah-daerah yang didiami bangsa Ainu. Kepala-kepala daerah itu mengakui
Tenno sabagai Suzerein. Sampai tahun 645M belum terbentuk kerajaan Jepang dengan pemerintahan yang dipusatkan. Jepang terdiri dari daerah-daerah yang
diperintah oleh gabungan-gabungan keluarga, gabungan keluarga itu disebut klan dan
bersifat patriachal. Angggota-anggota tiap klan mengakui mempunyai leluhur yang
sama, yang biasanya disebut Ujigami (klan dewa). Kepala klan berfungsi sebagai
pendeta tertinggi terhadap dewa klan dan fungsi sakral itu memberikan kekuasaan
politik padanya. Kepala klan dan keluarganya yang langsung (menurut garis
keturunan yang lurus) biasanya mempunyai gelar-gelar yang turun temurun, yang
Masyarakat yang tersusun dalam organisasi klan itu adalah golongan
bangsawan.tiap klan mempunyai tanah sendiri dan rakyat yang diperintah terdiri dari
golongan krya (pekerja), dan sejumlah budak- budak. Golongan krya diatur didalam
organisasi –organisasi yang disebut be atau tomo. Pekerjaan yang dilakuakan tiap
anggota tiap kelompok tetap dan turun temurun. Mereka itu merupakan dasar bagi
perekonomian tiap-tiap klan. Klan yang terkemuka ialah klan yang di kepalai oleh
Tenno. Walaupun gelar tenno disamakan dengan sebutan kaisar, hal itu tidak boleh
diartikan bahwa Tenno-Tenno yang terdahulu sudah memerintah sebagai kaisar atau
raja. Ia itu harus dianggap sebagai seorang yang terkemuka diantara sesamanya (yaitu
kepala-kepala klan), fungsinya yang terutama bersifat sakral. Baru pada kira-kira
tahun 400M kedudukan Tenno benar-benar teguh, yaitu pada masa pemerintahan
Tenno Nintoku (menurut sejarah jepang: 310-399 M) Tenno yang ke 16. Walaupun
kekuasaan Yamato diperintahkan oleh kaisar, namun yang menjalankan roda
pemerintahan adalah kepala para klan (Goozoku), yang merupakan pembantu kaisar.
Sistem ini berlangsung sampai abad ke-7 (I Ketut Surajaya, 1993:6).
Struktur Masyarakat pada zaman ini mencerminkan adanya struktur
kelas-kelas dalam masyarakat. Keturunan Tenno merupakan kelas-kelas yang tertinggi,
sedangkan Goozoku dan masyarakat biasa berada dibawah Tenno, tanah dimiliki
oleh Tenno dan Goozoku secara langsung. Para penghuni tanah memiliki kewajiban
mengolah tanah dan membuat bermacam-macam perlengkapan yang dibutuhkan oleh
Kehidupan sosial masyarakat Jepang Matsurigoto yang berarti pemerintahan
atau upacara keagamaan. Awal periode zaman Yamato, kepercaan masyarakat
sebagian besar bersifat animistik dan pemujaan terhadap alam. Kepercayaan rakyat
Jepang pada zaman ini terbentuk dari kepercayaan religius, sebagai unsur-unsur
agama Shinto. Agama shinto adalah agama asli Jepang. Agama shinto terpusat pada
pemujaan animistik, gejala-gejala alam, gunung, air, dan seluruh proses penguburan
dijadikan objek pemujaan. Simbol, ritus, dan perayaan keagamaan didalam kehidupan
kuil-kuil sarat dengan mistik. Shinto merupakan jalan kami (dewa) yang menyatu dan
menjadi bagian hidup yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan orang Jepang. Kata
Shinto tersusun dari dua ideograph yaitu (shin) yang disamakan artinya dengan kami
diartikan dewa atau kedewaan. Dan ( do atau to) yang disamakan dengan mishi yang
berarti jalan. Secara harfiah dapat diartikan sebagai jalan kami. Kami adalah objek
sembahyang dalam agama Shinto, dalam agama shinto segala sesuatu dipandang
sebagai kami atau paling tidak mempunyai potensi untuk menjadi kami (sutrisno,
1993:119).
2.2.1 Stuktur Masyarakat
Periode sejarah Jepang dimulai sekitar abad ke-4 sampai abad ke-6 masehi.
Zaman ini ditandai dukungan terhadap tahta Yamato yang semakin kuat dengan
pembangunan Kofun (250 M- 710 M), pemberian nama Yamato didasarkan pada
selatan dan Kyushu bagian utara. Saat itu Jepang terdiri dari daerah-daerah yang
diperintahkan oleh gabungan-gabungan keluarga yang disebut UJi (klan), kepala Uji
disebut Uji no Kami atau Ujigami, dan akhirnya disebut Tenno. Masyarakat dalam
organisasi klan itu adalah golongan bangsawan seperti klan otomo, klan Mononobe,
dan klan Soga. Setiap klan yang berkuasa mempunyai golongan pekerja dan budak.
Kekuasaan tertinggi pada zaman Yamato di perintahkan oleh seorang Kaisar, namun
walau kaisar adalah pemimpin tertinggi di Negara Jepang yang menjalankan
pemerintahan bukan lah kaisar melainkan kepala para klan (Goozoku), yang
merupakan pembantu kaisar. Sistem pemerintahan ini berlangsung sampai
pertengahan abad ke-7 (i ketut Surajaya, 1993 :6). Struktur masyarakat pada zaman
Yamato terdiri dari susunan kelas-kelas dalam masyarakat. Keturunan Tenno adalah
kelas tertinggi dalam suku Yamato, kemudian Goozoku yang berada dibawah Tenno
dan sekaligus sebagai pembantu Tenno yang menjalankan pemerintahan, tanah yang
berada dalam kekuasaan Yamato dimiliki oleh Tenno dan Goozoku secara langsung.
Para penghuni tanah yaitu masyarakat kalangan bawah di Yamato berkewajiban
mengolah tanah dan hasil dari pengolahan tanah dan pertanian diserahkan kepada
pihak istana. Selain mengolah tanah masyarakat kelas bawah juga di tuntut untuk
membuat bermacam-macam kebutuhan istana dan kebutuhan para bangsawan yang
berkuasa.
Mata pencaharian masyarakat pada zaman Yamato hampir sama dengan
masyarakat zaman Yayoi, diantaranya pembuat barang tembikar, tukang kayu, tukang
pertanian, karena dengan bertani mereka mulai bergerak menuju hidup yang lebih
layak dan lebih maju. Dengan kuatnya pengaruh pemerintahan pada zaman itu
desa-desa yang penduduknya bertani mulai berubah menjadi Negara-negara kecil, senjata
yang dulu hanya digunakan untuk mempermudah pekerjaan, kemudian mulai
dikembangkan menjadi alat-alat untuk berperang,dan kemudian mulai dibangunm nya
banteng-benteng pertahanan disetiap daerah nya.
Dengan perkembangan peradaban di Yamato maka kehidupan masyarakatpun
mulai meningkat, yaitu ditandai dengan dibangun nya rumah-rumah pemukiman,
bentuk rumah pada zaman Yamato yaitu bentuk rumah berlantai tinggi yang didirikan
pada tiang-tiang yang tinggi, gaya rumah berlantai tinggi ini pada mulanya hanya
diperuntukkan bagi kalangan atas dan bangsawan saja, namun kemudian rakyat biasa
mulai membangun rumah dengan bentuk yang sama.
2.2.2 Kepercayaan Masyarakat
Kepercayaan masyarakat pada zaman Yamato adalah terdiri dari unsur-unsur
agama Shinto. Agama Shinto percaya kepada banyak dewa, Bagi masyarakat Jepang
kuno, tuhan mereka adalah banyak, yang diantaranya memiliki cirri-ciri manusia,
seperti halnya dewa-dewa orang yunani kuno. Dewa orang Jepang kuno menghuni
setiap tempat alam yang kuat, seperti sungai, angin, api, gunung, dan khususnya
matahari sebagai tempat seluruh kehidupan bergantung. Kepercayaan terhadap
perkembangannya mengajarkan tidak hanya menyembah kekuatan alam saja, tetapi
juga mengajarkan untuk menyembah leluhur mereka. Lebih dari itu, karena Shinto
mengajarkan bahwa pada dasarnya setiap manusua itu baik, Shinto juga mengajar
manusia untuk mempercayai setiap dorongan yang berasal dari hati mereka. Lama-
kelamaan Shinto menggabungkan pemujaan terhadap dewa Matahari dengan tradisi
pemujaan bahwa para Kaisar Jepang adalah keturunan dewa Matahari dan
menyatakan bahwa kaisar adalah Dewa. Kata Shinto tersusun dari dua kata yaitu
(shin) yang disamakan artinya dengan kami diartikan dewa atau kedewaan. Dan (do atau to) yang disamakan artinya dengan mishi yang bearti jalan.jadi dapat diartikan
bahwa Shinto merupakan jalan kami.
Awal periode zaman Yamato, kepercayaan masyaraakat sebagian besar
bersifat animistik dan pemujaan terhadap alam. Agama Shinto terpusat pada
pemujaan animistik, gejala-gejala alam, gunung-gunung, air, dan seluruh proses
penguburan dijadikan objek pemujaan. Para leluhur yang tetomistik ( aliran yang
percaya bahwa suatu binatang atau benda yang mempunyai hubungan darah dengan
suatu keluarga atau kelompok social tertentu dank arena itu memakai lambing),
dimasukkan ke dalam Kami atau dewa (Edwin O. Reischaver 1982:286). Dewa-dewa
dipuja dengan mengadakan korban, doa, dan pesta yang diadakan di tempat suci.
Tempat-tempat suci ini dipersembahkan kepada leluhur kekaisaran. Dalam ajaran
Pada saat Jepang disatukan oleh kaisar Yamato, hubungan Jepang dengan
Negara tetangga nya seperti Korea dan Cina semakin erat. Negara Korea merupakan
daerah penting karena merupakan daerah perlintasan kebudayaan agama yang
mendapat pengaruh dari cina. Menurut sejarah Jepang dalam Nihon Shiki, Budhisme
masuk ke Jepang sekitar abad ke-6 yaitu sekitar 552 M, minat para bangsawan Jepang
terhadap agama Budha pertama masuk nya budha ke Jepang ada yang menolak dan
ada juga yang menerima. Kaisar menerima agama budha tersebut dan klan Shoga
berpendapat bahwa Jepang seharusnya mengikuti contoh Negara lain, yaitu menerima
agama Budha dengan tangan terbuka. Namun berbeda dengan klan Monotabe dan
klan Nakatomi yang berpendapat bahwa itu adalah penghinaan terhadap Tuhan
mereka jika menerima agama Budha. Dengan masuk dan berkembangnya agama
Budha di Jepang membuat agama Shinto menjadi kurang kuat, tetapi agama Shinto
tidak punah walaupun pengaruh agama Budha semakin meningkat. Tidak satu agama
pun dari keduanya memerintahkan seseorang agar keluar dari agamanya sehingga
kedua penganut agama itu dapat hidup berdampingan dan bahkan hingga kini.
2.2.3 Kebudayaan Pada Zaman Yamato
Kebudayaan pada zaman Yamato merupakan perkembangan kebudayaan pada
zaman sebelumnya dan kebudayaan yang masuk dari Cina dan Korea. Setiap periode
kebudayaan memiliki ciri-ciri yang membedakannya, seperti kebudayaan periode
kehidupan masyarakat yang masih mengembara, berburu hewan, serta memancing,
corak hias tembikar dan hiasan pinggir berbentuk lidah api menunjukkan cita rasa
yang halus dan semangat hidup dari masyarakatnya. Daya cipta dan kesederhanaan
masyarakat Jomon terungkap jelas pada bejana-bejana tembikar yang dikenal sebagai
gerabah Joomon. Kesannya kadang-kadang sederhana, kadang-kadang mencolok juga
memperlihatkan vitalitas seakan terlukis debaran jantung orang-orang yang hidup
dalam perjuangan tak henti-hentinya melawan alam yang tidak kenal belas kasihan.
Sedangkan periode Yayoi diketahui dari kebudayaan yang erat kaitannya
dengan pertanian dan cara menanam padi disawa, dengan berkembangnya budaya
bertani di Jepang maka kehidupan masyarakatnya sudah mulai menetap dan produksi
pertanian semakin bertambah, kemudian periode Kofun diketahui dari cirri-ciri
dengan adanya kuburan besar, kuburan besar itu merupakan makam dari bangsawan
Jepang yang mempunyai kekuasaan didaerahnya.
Pada zaman Yamato arsitektur yang paling populer di zaman ini adalah
kuburan kuno (kofun). Kofun adalah kuburan kuno untuk mengubur mayat dalam peti
mati. Kofun adalah makam kaisar atau bangsawan dengan tanah yang dibuat
membukit yang menempati lokasi yang berbentuk perpaduan lingkaran dan persegi
empat seperti lubang kunci. Dari kata kofun ini menjadi dasar penamaan pada zaman
ini (zaman kofun). Untuk keluarga Tenno dan keluarga bangsawan dibuat bukit-bukit
kuburan. Kuburan untuk Tenno disebut Misasagi. Kuburan untuk Nintoku Tenno
(meninggal sekitar 400M). Mempunyai ukuran yang sangat besar. Kuburan itu
dari 100 kaki dikelilingi parit dan luasnyya (terhitung paritnya) kira-kira 80 acres (1
acre=4047m2). Di dalamnya terdapat cermin, perunggu,pedang, zirah, helm dan ikat
pinggang dari perunggu atau besi, manik-manik kecil berbentuk bulan sabit itu
sebesar kuku dan disebut Magatama.
Disekitar kofun biasanya terdapat Haniwa yaitu barang-barang yang terbuat
dari tanah liat yang ditempatkan dengan teratur disekeliling makam. Biasanya
Haniwa ini berupa orang, binatang piaraan, perabot rumah tangga, perkakas, dan
dapat memberikan gambaran tentang kehidupan pada masa ini.
Hasil karya masyarakat pada zaman Yamato yaitu dalam pembuatan kofun
menimbulkan teknologi atau kebudayaan kebendaan yang mempunyai kegunaan yang
dipercaya melindungi masyarakat dari lingkungan alamnya. Periode budaya kofun
yang dimulai pada abad ke-3M, merupakan kelanjutan dari akhir zaman Yayoi,
kelanjutan ini dipandang dari sudut arkeologi dan benda- benda peninggalan seperti
alat pertanian, cermin, dan pedang yang ditemukan di dalam kofun.
Pola-pola dasar kebudayaan kofun sudah diletakkan pada zaman Yayoi, yakni
sekitar abad ke-3 SM sampai abad ke-3M. Pembuatan kofun oleh dinasti Yamato
merupakan sebuah simbol kekuasaannya. Simbol adalah suatu tanda dimana relasi
diantara tanda dengan denotatumnya ditentukan oleh suatu pengaturan yang berlaku
umum dan juga ditentukan oleh suatu konveksi atau kesepakatan umum, (Ady Rosa
Menurut Jurahman (2002:02) pada periode kofun, Jepang telah dipersatukan
dibawaah dinasti Yamato, dan kebudayaan ini berhubungan erat dengan masuknya
kebudayaan Korea yang merupakan jalur masuknya unsur kebudayaan yang berasal
dari Cina.
2.3 Defenisi kofun
Kofun adalah gundukan tanah yang dibuat dengan membentuk sebuah kuburan. Kuburan ini merupakan produk zaman Yamato yang muncul pada abad ke-3
M. periode kofun ini merupakan kelanjutan dari periode akhir Yayoi. Kofun yang ada
pada zaman Yamato merupakan makam-makam dari raja dan bangsawan yang berada
disekeliling keluarga istana, kofun yang dibuat oleh kaisar Yamato menunjukkan
bahwa pada saat itu kaisar telah memulai membentuk suatu sistem sosial politik
untuk mengendalikan rakyat dan bangsa lain. (www.wikipedia.com)
2.3.1 Kofun di jepang
Kofun (gundukan kuno) mengacu pada gundukan pemakaman besar pembangun di Yamato setelah pertengahan abad ketiga dan dibedakan dari funkyu-bo
(gundukan bukit) dari periode yayoi. Banyak jenis gundukan dibangun tetapi ciri khas
dari kofun periode adalah “lubang kunci makam”yang di kenal dengan sebutan zenpo
Kyoto-Nara-Osaka ). Dari sana bangunan makam menyebar ke Kyushu bagian Utara melalui
wilayah Laut pedalaman pada awal abad keempat. Makam awal memiliki gundukan
baik berbentuk bulat maupun yang berbentuk lubang kunci. Makam lubang kunci
pada bagian depan berbentuk persegi panjang sedangkan bagian belakang berbentuk
gundukan bulat (前方後円墳). Gundukan depan mungkin awalnya berfungsi sebagai tempat untuk upacara penguburan, pemakaman biasanya berada di gundukan
belakang.
Dari pertengahan zaman yayoi hingga ke awal periode yamato, gundukan
agak besar ( funkyubo ) biasanya berbentuk bukit atau membentang dari china ke
shikoku di bagian barat dataran kanto di timur laut. Biasanya berbentuk persegi dan
dikelilingi parit dan selokan, mirip dengan yang ditemukan di China dan Asia utara.
Sebelum gundukan berbentuk lubang kunci menjadi standar pemakaman bangsawan
era yamato, maka sebelumnya berbagai bentuk gundukan makam ditemukan
diseluruh Jepang.
Pada akhir zaman yayoi, beberapa gundukan menjadi lebih besar ( antara
panjang 40-80 meter ) dan beberapa dari akhir gundukan pada abad kedua diketahui
telah berevolusi bentuk lubang kunci ( misalnya hashihaka dan hokenoyama dan
kurozuka ) mirip dengan gundukan khusus zaman yamato. Ditemukan sejumlah gundukan batu makam di prefektur Chiba dan prefektur Nara. Gundukan awal yang
dibangun pada puncak bukit yang terdapat di prefektur Chiba dan Nara, biasanya
ditempati oleh jasad pemimpin para komunitas pertanian dibawah kendali mereka,
Gundukan bulat hadir dari periode awal Yamato, ditempati oleh bangsawan
biasa, oleh keluarga abad ke 6 awal pemimpin dimakamkan di gundukan dan lubang
liangnya berkerumun disekeliling bukit. Gundukan berbentuk standar, Gundukan
besar lubang kunci terkenal tidak muncul sampai akhir zaman Yayoi atau awal
periode Yamato, awal diantara mereka muncul di sudut barat daya dari perbatasan
yamato dekat Gunung Katsuragi dan ditimur laut dari kaki gunung Miwa, akhirnya
mereka menyebar disepanjang sungai yamat, dan kemudian jauh ke ujung Jepang
seperti Echizen, Izumo. Gundukan Lubang Kunci di Kyushu yang terbesar adalah
Mesahozuka dan Osahozuka terletak dalam kawasan Saitobaru ) menurut para Ahli
berasal dari abad pertengahan ke 3. Gundukan makam berbentuk lubang kunci
dibangun secara berurutan, sering berbaris atau berdasarkan tingkat status, dan
menjadi gundukan standar untuk penguasa peringkat tertinggi dan raja serta selir.
Biasanya Gundukan makam tersebut dibangun oleh para prajurit dan Abdi kaisar,
serta dibantu oleh masyarakat setempat, karena masyarakat menghormati pemimpin
mereka.
Selama hampir 400 Tahun antara abad 2 sebelum masehi samapai abad ke 3
masehi, tokoh-tokoh berpengaruh di seluruh kepulauan Jepang memberikan
kontribusi yang sangat besar dalam pembangunan kuburan mereka, yang dikenal
sebagai kofun. Bentuknya bervariasi dalam hal ukuran dan bentuk.
Zenpō koen fun ( makam depan bulat, belakang persegi berbentuk lubang kunci)前方
子円墳
Zenpō kohō fun ( makam depan persegi belakang persegi berbentuk lubang kunci ) 前
方子方墳
Enpun ( makam lingkaran ) 円墳
Hōfun ( makam persegi ) 方墳
Membandingkan contoh ukuran terbesar setiap jenis, Zenpo-koen-adalah yang
terbesar, diikuti oleh zenpō, kohō, enpun dan hōfun.
Gambar : Kofun Hirarki ( Ilustrasi asli oleh Prof.Tsude Hiroshi ), mengambil
pemberitahuan dari perbedaan ukuran antara 4 buah makam dan berpendapat bahwa
bentuk gundukan pemakaman mewakili garis keturunan dan status dari orang yang
dimakamkan, dengan ukuran yang menunjukkan kekuasaan. Dia berhipotesis bahwa
tokoh-tokoh berpengaruh didaerah diseluruh kepulauan Jepang memiliki
prinsip-prinsip tertentu dalam membangun makam mereka, dan teori ini disebut
“Zenpo-koho-fun “. Penggalian oleh laboraturium sejarah Jepang yang dilakukan oleh Universitas Osaka dan Dewan Pendidikan Kota Fujidera menegaskan bahwa Kofun
Nonaka adalah hofun terkecil dengan ukuran 37 meter persegi.
2.3.2 Isi Kofun
Pada tiap kofun banyak ditemukan bermacam-macam benda seperti cermin,
pedang zirah, hiasan kepangkatan, dan perhiasan pribadi seperti anting-anting, gelang,
mahkota, sepatu dan juga tengkorak kepala manusia. Ada kalanya ditemukan bukti,
kuda dikuburkan hidup-hidup bersama tuannya yang sudah meninggal. Yang paling
khas dari artifak-artifak yang ditemukan didalam kofun adalah Haniwa.
2.4 Haniwa
Haniwa adalah arca –arca kecil yang terbuat dari tanah liat yang dibakar
dengan udara beroksigen yang rendah menghasilkan warna kuning mengkilap.
Haniwa berbentuk besar, memiliki rongga, memiliki slinder gerabah yang
menonjol di atas tanah untuk menandai makam tersebut. Mereka ada yang berbentuk
seperti bangunan, hewan, atau figur manusia yang menjabat sebagai pelindung dan
tanda status individu yang terkubur di didalamnya
2.4.1 Sejarah haniwa
Haniwa (hani berarti “tanah liat” dan wa berarti “lingkaran”) muncul pertama kali di kofun di daratan kansai. Khususnya ada sebuah Haniwa berbentuk rumah di
atas bekas tempat itu, sementara yang lainya berpencar dengan pola terpusat di tengah
makam. Pola penempatan haniwa pada makam biasa dilihat di Gunma. Haniwa
rumah terbesar ada di tengah makam, kemudian yang lainnya melingkar dimakam
tersebut. Pola penempatan Haniwa ini seragam dengan pola penempatan Haniwa pada
kofun-kofun lainya, dimana haniwa terbesar diletakan di tengah, kemudian haniwa
lainnya tersebar di sekeliling kofun. Diperkirakan bahwa Haniwa dikembangkan dari
kendi berbenuk yang digunakan dalam pemakaman dizaman Yayoi, yang mungkin
digunakan untuk menunjang sesajian. Haniwa kuno ini adalah keramik dengan model
dari papan atau belitan tanah liat dan dibakar pada temperatur rendah oleh pengrajin
yang sama dengan pembuatan peralatan sehari-hari. Kemudian Haniwa berkembang
dalam bentuk slinder sederhana dan digunakan untuk peralatan arsitektur dan militer,
meliputi perisai dengan dekorasi pola irisan, helm, alat upacara dan ada juga
Fungsi Haniwa masih merupakan sesuatu yang menjadi bahan berdebatan.
Penjelasan tentang kegunaanya di abad ke 8 dapat dilakukan dengan menilai wacana
di Nihon shoki (sejarah Jepang). Pada sejarah Jepang diceritakan bahwa seorang
kaisar, meminta agar seseorang yang diambil dari para warga pengrajin tanah liat
menghasilkan tiruan orang dan kuda untuk digunakan ketimbang yang hidup.
Tidak ada bukti untuk mendukung ide tentang kirban tersebut. Namun selama
dinasti Shang kuno di Ching (1523-1027 SM ) terdapat sejumlah orang yang terbunuh
dikubur bersama dengan para penguasa. Ketika Nihon Shoki ditulis dalam tahun 720,
orang Jepang mencoba mendirikan kebudayaan mereka dengan mengikuti
kebudayaan Cina yang mungkin ada hubungannya dengan ide untuk Mengganti orang
hidup dengan tiruannya. Selain itu, juga dikatakan bahwa Haniwa dimaksudkan untuk
menjaga bumi agar mencegah erosi.
Dibandingkan dengan teori-teori yang lain, maka teori yang paling masuk akal
adalah Haniwa mempunyai fungsi yaitu untuk memisahkan dunia kematian dengan
dunia kehidupan, dan untuk memelihara jenazah dan memberikan roh mereka tempat
yang nyaman yang mereka kenal.
Haniwa kuno yang dihasilkan di Kansai sangat terbatas jenisnya. Seolah
pengrajin tanah liat harus mengikuti standar yang sempit agar memungkinkan ruang
kecil untuk kreatifitas. Namun mereka menghasilkan Karya-karya yang bagus dan
Haniwa pada zaman Yamato atau disebut juga dengan era Kofun hanya
digunakan para raja-raja dan bagi anggota keluarga kaisar pada waktu itu. Hasil karya
masyarakat pada zaman Yamato yaitu dalam pembuatan Haniwa menimbulkan
teknologi atau kebudayaan kebendaan yang mempunyai kegunaan utama dalam
melindungi masyarakat terhadap lingkungan alamnya.Maksud dari teknologi itu
adalah jumlah keseluruhan teknik yang dimiliki oleh masyarakat, yaitu keseluruhan
cara bertindak dan berbuat dalam hubungan pengumpulan bahan mentah, memproses
bahan-bahan itu untuk dibuat menjadi alat-alat kerja yang selanjutnya hal ini
dipandang sebagai peninggalan arkelogi dan dapat dinilai dari benda-benda
peninggalannya.Unsur-unsur kebudayaan tersebut pada umumnya berasal dari abad
ke-4 hingga abad ke-6. Unsur-unsur kebudayaan universal meliputi sistim religi
upacara keagamaan, organisasi kemasyarakatan, sistim pencarian hidup dan sistim
teknologi dan peralatan (Suharman, 1993:12 ).
Pada intinya, Haniwa muncul pada zaman Yamato. Haniwa-haniwa tersebut
pada awalnya dijadikan sebagai pengganti orang yang dijadikan sebagai tumbal oleh
kaisar yang berkuasa. Di seluruh makam para raja atau bangsawan diletakkan haniwa
yang dimaksudkan agar yang telah meninggal tersebut dapat tenang dialamnya karena
masyarakat pada zaman Yamato percaya bahwa haniwa memiliki kekuatan yang
2.4.2 Jenis-jenis haniwa
Haniwa memiliki beragam jenis dan bentuk, haniwa-haniwa ini ada
yang bercorak manusia, hewan, mebel, alat-alat yang dipakai dalam kegiatan
sehari-hari, yang paling banyak ditemui pada setiap kofun adalah Haniwa figur berbentuk
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Keberadaan kekuasaan Yamato di Jepang berkaitan dengan adanya
perpindahan dari suku-suku bangsa penunggang kuda di Asia Timur pada abad ke-3
dan ke-4 M. Menurut Ishida (1961:4) dinasti Yamato didirikan oleh salah satu
penguasa suku bangsa Tungus dari daratan Asia yang mengembara dengan
penunggang kuda. Pada permulaan abad ke-5 M, kelompok penunggang kuda yang
dilengkapi dengan alat-alat militer melintasi selat Tsushima untuk menduduki pulau
Kyusu di Jepang, di sana mereka telah menaklukkan kelompok-kelompok kepala
suku dari suku bangsa Wa dan akhirnya mereka mendirikan negara pusat Yamato di
Jepang bagian barat.
Masyarakat pada zaman Yamato diperintahkan oleh seorang kaisar, namun
yang menjalankan roda pemerintahannya adalah kepala para klan (goozoku) yang
merupakan pembantu kaisar. Sistem pemerintahan seperti ini berlangsung sampai
abad pertengahan. Mata pencaharian masyarakat pada zaman Yamato hampir sama
dengan masyarakat pada zaman Yayoi, diantaranya adalah pembuat barang tembikar,
tukang kayu, tukang besi, penggunaan alat pemintal untuk memintal benang menjadi
kain, dan yang paling utama adalah pertanian, karena dengan bertani mereka mulai
bergerak menuju ketingkat peradaban yang lebih baik. Struktur masyarakat pada
merupakan kelas tertinggi, sedangkan goozoku dan masyarakat biasa berada di bawah
Tenno, tanah dimiliki oleh Tenno dan Goozoku, rakyat biasa hanyalah penggarap tanah. Para penghuni tanah yaitu rakyat biasa memiliki kewajiban mengolah tanah
dan membuat bermacam-macam perlengkapan yang dibutuhkan oleh pihak istana.
Kepercayaan masyarakat Jepang pada zaman Yamato terbentuk dari
kepercayaan religius sebagai unsur-unsur agama Shinto. Shinto adalah agama asli
Jepang yang memiliki simbol, ritus, dan perayaan keagamaan yang sering dilakukan
di dalam kuil-kuil yang sarat dengan mistik. Awal periode zaman Yamato,
kepercayaan masyarakat sebagian besar bersifat animistik dan pemujaan terhadap
alam. Agama Shinto berpusat pada pemujaan animistik gejala-gejala alam,
gunung-gunung, air, dan seluruh proses penguburan dijadikan objek pemujaan yang percaya
bahwa suatu binatang atau benda yang mempunyai hubungan darah sebagai keluarga
atau suatu kelompok sosial tertentu dan karena itu memakai lambang, dimasukkan
kedalam kami atau dewa (O Reischaver 1982:286).
Kekuasaan pemerintahan Yamato yang berkembang pesat di Jepang,
menimbulkan keinginan untuk memulai kontak dengan daratan Asia, dengan adanya
kontak dengan daratan Asia maka mulai diperkenalkan ide-ide dan teknik-teknik baru
di Jepang. Budhisme masuk dari Cina dan India, ilmu organisasi pemerintahan, serta
bentuk tulisan Cina namun masing-masing disesuaikan dengan kondisi Jepang.
Selama abad ke-4 dan ke-5, terjadi perkembangan peradaban baru di Jepang. Jepang
dipimpin oleh sistem kekaisaran yang turun temurun sampai sekarang. Para kaisar
kuatnya pengaruh kaisar pada zaman Yamato sekita abad ke-5 ditunjukkan dengan
ditemukannya kuburan besar yang disebut Kofun dari masa kaisar Oojin sampai
kaisar Nintoku.
Kofun adalah gundukan tanah yang dibuat dengan membentuk sebuah kuburan. Kuburan ini merupakan produk zaman Yamato yang muncul pada abad ke-3
M. Periode kofun ini merupakan kelanjutan dari periode akhir Yayoi. Kofun yang ada
pada zaman Yamato merupakan makam-makam dari raja dan bangsawan yang berada
disekeliling keluarga istana, kofun yang dibuat oleh kaisar Yamato menunjukkan
bahwa pada saat itu kaisar telah memulai membentuk suatu sistem sosial politik
untuk mengendalikan rakyat dan bangsa lain. Periode kofun banyak dipengaruhi dari
budaya yang datang dari Cina dan Korea yang membawa penambahan-penambahan
budaya baru. Pada zaman Yamato, periode kofun terbagi atas tiga periode yaitu
periode awal kofun (abad ke-3), periode pertengahan kofun (abad ke-5), dan periode
akhir kofun (abad ke-6). Bentuk kofun pada periode awal dan periode pertengahan
dikenal berbentuk seperti lubang kunci / gundukan didepan persegi dan gundukan
belakang berbentuk bundar (zenpoo koen fun), tetapi pada periode akhir kofun bentuk
kofun mengalami perubahan bentuk menjadi bentuk petak (hoofun), karena pada
periode akhir ini ajaran agama budha masuk ke Jepang dan mendapat perhatian
khusus oleh pikhak istana. Tiap kofun selalu dikelilingi parit, dan ukurannya luar
biasa besar. Setiap kofun memiliki ukuran yang berbeda-beda besar nya.
Pada tiap kofun banyak ditemukan bermacam-macam benda seperti cermin,
mahkota, sepatu dan juga tengkorak kepala manusia. Ada kalanya ditemukan bukti,
kuda dikuburkan hidup-hidup bersama tuannya yang sudah meninggal. Yang paling
khas dari artifak-artifak yang ditemukan didalam kofun adalah Haniwa. Haniwa
adalah arca-arca kecil yang terbuat dari tanah liat yang dibakar dengan udara
beroksigen yang rendah yang menghasilkan warna kuning mengkilap. Haniwa
berasal dari kata Hani= tanah liat dan Wa= lingkaran (kodansha 1983:97). Biasanya
haniwa tersusun melingkari permukaan kubur (bukit kubur), haniwa-haniwa ini ada yang bercorak manusia, hewan, mebel, alat-alat yang dipakai dalam kegiatan
sehari-hari dan lain-lain.
Dari perbedaan besar kecilnya ukuran kofun, haniwa yang diletakkan didalam
kofun tersebut berbeda-beda bentuk dan jenisnya, dan haniwa yang diletakkan ditengah-tengah makam adalah haniwa rumah terbesar dan haniwa jenis lainnya
diletakkan melingkar disekeliling kofun.
Dalam latar belakang diatas, maka penulis hanya membatasi kajian haniwa
dan kofun pada zaman Yamato, untuk itu penulis tertarik membahas nya dalam skripsi
dengan mengambil judul
“Haniwa dalam Kofun Pada Zaman Yamato”
1.2 Perumusan Masalah
Awal periode zaman yamato, kepercayaan masyarakat sebagian besar bersifat
animistik dan pemujaan terhadap alam. Agama Shinto berpusat pada pemujaan
dijadikan objek pemujaan yang percaya bahwa suatu binatang atau benda yang
mempunyai hubungan darah sebagai keluarga suatu kelompok sosial tertentu karena
itu memakai lambing, dimasukan ke dalam kami atau dewa (O Reischaver 1982:286).
Haniwa merupakan istilah untuk barang tembikar berbentuk slinder dan
dipahat berlubang untuk menghiasi permukaan gundukan kofun. Terdapat keyakinan
dalam diri masyarakat pada zaman yamato bahwa haniwa memiliki kekuatan magis
yang dapat melindungi roh raja-raja yang telah meninggal. Dengan latar belakang
tersebut, dapat dilihat adanya keterikatan antara haniwa dengan kofun sehingga
memilik fungsi religi dan makna melalui ajaran kepercayaan pada zaman tersebut.
Berdasarkan pernyataan di atas, apabila dituangkan ke dalam bentuk
pertanyaan, maka permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi, yaitu:
1. Apa saja jenis-jenis haniwa yang terdapat di sekitar kofun?
2. Bagaimana Fungsi dan makna haniwa yang terdapat di sekitar kofun?
1.3 Ruang Lingkup Pembahasan
Berdasarkan masalah yang telah dikemukakan sebelumnya, maka penulis
menganggap perlu adanya pembatasan masalah karena dalam setiap penelitian
diperlukan adanya pembatasan masalah agar pembahasan tidak terlalu melebar,
Sebagaimana diketahui bahwa kofun pada zaman Yamato di jepang
merupakan gudang berharga dengan kata lain tempat yang memberikan informasi
yang berhubungan dengan kebudayaan, adat dan kehidupan kaum elit di jepang pada
zaman Yamato. Disekitar kofun banyak ditemukan benda-benda seni yang
mengagumkan. Pembuatan kofun yang terjadi pada zaman yamato menunjukan
kekuasaan politiknya kepada masyarakat dan bangsa lain dengan membuat kofun, di
dalam kofun banyak yang ditemukan benda-benda yang terbuat dari tembikar salah
satunya haniwa. Untuk membatasi ruang lingkup dalam pembahasanya, maka dalam
penulisan ini hanya akan membahas jenis-jenis haniwa di sekitar kofun dan fungsi
serta makna haniwa yang terdapat disekitar kofun.
1. 4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori
a. Tinjauan Pustaka
Menganalisa data pada umumnya ataupun isi dari suatu kebudayaan
masyarakat tertentu, sebaiknya kita mengetahui terlebih dahulu unsur-unsur
kebudayaan universal(cultural universal). Kebudayaan universal adalah unsur-unsur
yang ada dalam semua kebudayaan di seluruh dunia,baik yang kecil,yang
bersahaja,terisolasi maupun yang besar dan kompleks dengan suatu jaringan jaringan
hubungan yang luas. Menurut Suryohadiprojo (1982:192), kebudayaan adalah hasil
Menurut Koentjaraningrat (2004:181) kebudayaan dengan kata dasar budaya,
berasal dari bahasa sangsekerta: buddhayah, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang
berarti budi atau akal. Jadi Koentjaningrat, mendefenisikan budaya sebagai daya budi
yang berupa cipta, karsa, dan rasa. Sedangkan kebudayaan adalah hasil cipta, karsa
dan rasa itu. Koentjaraningrat (2004:5-8) menyatakan bahwa kebudayaan itu
mempunyai tiga wujud:
a. Wujud kebudayaan sebagai suatu yang kompleks dari ide-ide, gagasan-
gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya.
b. wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola
dari manusia dalam masyarakat.
c. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.
Menurut Yolanda (2007:51) yang sebelumnya meneliti budaya kofun pada
zaman Yamato di Jepang, mengatakan bahwa zaman kofun adalah nama masa di
Jepang yang lebih dikenal dengan zaman Yamato, karena pada zaman kofun ini orang
yang berkuasa memerintah negara Jepang yaitu kaisar Yamato. Zaman kofun ini
dimulai dengan ditanadai oleh adanya pembuatan kuburan-kuburan yang sangat besar
dan mega. Kofun merupakan gundukan tanah yang dibuat diatas bukit atau gundukan
tanah besar yang menyerupai bukit-bukit kecil. Kuburan ini dibuat khusus untuk
menyimpan jenazah para penguasa atau bangsawan Jepang. Masyarakat biasa apabila
Berdasarkan penelitian terdahulu yang membahas tentang budaya kofun
maka penulis lebih memfokuskan pada Haniwa Dalam Kofun Pada Zaman Yamato.
b. Kerangka Teori
Dalam melakukan sebuah penelitian, penulis memerlukan kerangka teori
sebagai landasan dalam penulisan skripsi, hal ini bertujuan agar penulis menjadi
terarah dalam melakukan penulisan dalam penelitian.Dalam hal ini penulis
menggunakan pendekatan fungsional,pendekatan semiotik makna dan pendekatan
history.Untuk mendukung dari penelitian ini penulis juga akan menyinggung segi
religi.
Menurut Malinowski dalam Ihromi (2006:59) pandangan fungsionalisme
terhadap kebudayaan mempertahankan bahwa setiap pola kelakuan yang sudah
menjadi kebiasaan, setiap kepercayaan dan sikap yang merupakan bagian dari
kebudayaan dalam suatu masyarakat, memenuhi beberapa kebutuhan dasar atau
beberapa kebutuhan yang timbul dari kebutuhan dasar yaitu kebutuhan sekunder dari
para warga suatu masyarakat. Pendekatan yang fungsional mempunyai suatu nilai
praktis yang penting. Pendekatan teori fungsionalisme dapat secara bermanfaat
diterapkan dalam analisa mekanisme kebudayaan-kebudayaan secara tersendiri.
Masyarakat zaman yamato memiliki kepercayaan Shinto yang bersifat
animstik pemujaan terhadap alam. Kepercaan rakyat Jepang pada zaman ini terbentuk
membuat masyarakat pada zaman yamato percaya haniwa memliki kekutan magis
dan memiliki fungsi kepercayaan.
Penulis juga menggunakan konsep yang berhubungan dengan religi yang
bertujuan untuk menganalisa dengan lebih baik terhadap keterkaitanya dengana
keberadaan haniwa di dalam kofun. Konsep religi menurut Koentjaraningrat (1974 :
137), yaitu sistem kepercayaan yang mengandung keyakinan dan bertujuan mencari
hubungan antara manusia dengan Tuhan, dewa-dewa atau makhluk halus yang
mendiami alam gaib.
Sudjiman dan Aart van zoest (1992 :5 ) mendefenisikan semiotik adalah studi
tentang tanda dan segala yang berhubungan denganya: cara berfungsinya, hubungan
dengan tanda-tanda lain, pengirimanya dan penerimaanya oleh mereka yang
mempergunakanya. Tanda bisa terdapat dimana-mana, misalnya: lampu lalu lintas,
bendera, karya sastra, bangunan dan lain-lain. Hal ini disebabkan manusia adalah
Homo Semiotikus, yaitu manusia mencari arti pada barang-barang dan gejala-gejala
yang mengelilinginya.
Teori Semiotik oleh Ferdinand De Satsstre dalam ojmori.cim, dalam teori ini
semiotik dibagi menjadi dua bagian (dikotomi) yaitu penanda (signifier) dan pertanda
( signified ). Penanda dilihat sebagai bentuk/wujud fisik dapat dikenal melalui wujud
karya arsitektur, sedangkan pertanda dilihat sebagai makna yang terungkap melalui
konsep, fungsi dan/atau nilai-nilai yang terkandung dalam didalam karya arsitektur.
konvensi , bisa disebut dengan signifikasi. Semiotika signifikasi adalah sistem tanda
yang mempelajari relasi elemen tanda dalam sebuah sistem berdasarkan aturan dan
konvensi terentu. Kesepakatan sosial diperlukan untuk dapat memaknai tanda
tersebut.
Selain itu, penulis juga akan menyinggung tentang zaman Yamato dan sejarah
haniwa sehingga dalam penelitian ini penulis juga akan menggunakan pendekatan
historis. Menurut Kaelan (2005 : 61), sejarah adalah pengetahuan yang tepat terhadap
apa yang terjadi.Sedangkan menurut Nevin dalam Kaelan (2005 : 61), sejarah adalah
deskripsi yang terpadu dari keadaan-keadaan,kejadian-kejadian atau fakta-fakta yang
terjadi pada masa lampau yang ditulis berdasarkan penelitian serta studi yang kritis
untuk mencari kebenaran.
1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian
a. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan pokok permasalahan yang telah di kemukakan sebelumnya,
maka tujuan penelitian adalah sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui jenis-jenis haniwa yang terdapat di sekitar kofun.
b. Untuk mengetahui bagaimana fungsi dan makna haniwa yang terdapat di sekitar
b. Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan bermanfaat dan berguna bagi pihak-pihak
tertentu,yaitu:
1.Bagi peneliti sendiri dapat menambah wawasan mengenai haniwa dalam
kofun Pada Zaman yamato
2.Memberikan informasi kepada masyarakat luas pada umumnya dan
mahasiswa Sastra Jepang pada khususnya mengenai haniwa dalam kofun pada
zaman yamato.
1.6 Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini menyangkut tentang
metode penelitian,sumber data,teknik pengumpulan data,serta metode dan teknik
analisa data.Dalam penulisan ini penulis menggunakan metode deskriptif.
Menurut Koentjaraningrat (1976:30) penelitian yang bersifat deskriptif yaitu
memberikan gambaran secermat mungkin mengenai suatu individu, keadaan, gejala
atau kelompok tertentu dalam memecahkan masalah penelitian mengumpulkan,
menyusun, mengklasifikasikan, mengkaji dan menginterprestasikan data. Menurut
Endraswara (2008:5) metode penelitian yang menggunakan metode deskrptif
merupakan sebuah penelitian terurai dalam bentuk kata-kata atau gambar jika
kuantitatif. Endraswara (2008:5) kembali menjabarkan bahwa penelitian kualitatif
merupakan penelitian yang tidak menggunakan angka-angka, tetapi mengutamakan
kedalaman penghayatan terhadap interaksi antar konsep yang sedang dikaji secara
empiris. Dengan metode tersebut diatas, penulis akan menganalisa haniwa dalam
kofun pada zaman yamato melalu gambar-gambarnya.Untuk dapat mendeskripsikan
suatu masalah dengan tepat dan akurat serta penelitian yang berkesinambungan maka
sebagai pendukung digunakan metode kepustakaan.Studi kepustakaan merupakan
suatu aktifitas yang sangat penting dalam kegiatan penelitian yang ditunjukan untuk
mewujudkan jalan memecahkan permasalahan penelitian. Beberapa aspek penting
perlu dicari dan digali, meliputi:masalah, teori, konsep dan penarikan kesimpulan dan
saran (Nasution,2001:14).
Dengan kata lain, studi kepustakaan (library research) adalah pengumpulan
data dengan cara membaca buku-buku atau referensi yang berkaitan dengan materi
yang akan dibahas. Data yang diperoleh dari referensi tersebut kemudian dianalisa
untuk mendapatkan kesimpulan serta saran.Dalam penelitian ini,peneliti juga
menggunakan metode terjemahan (translation method) yaitu metode yang berkenaan
dengan rencana pelaksanaan (analisis, pengalihan, penyelesaian) penerjemahan
(Machali,2000:48). Karena data dan sumber bacaan yang diperoleh ada sebagian
menggunakan teks bahasa inggris.
Dalam metode ini,penulis memanfaatkan sumber-sumber yang didapatkan
dari koleksi pribadi dan koleksi buku diperpustakaan USU, perpustakaan pusat dan
jepang di Medan serta jurnal-jurnal ataupun artikel-artikel yang dimuat di majalah
maupun internet sebagai sumber data.
Langkah-langkah dalam penulisan skripsi ini adalah:
a.Mengumpulkan data dengan teknik studi pustaka untuk kemudian
menentukan masalah .
b.Menggunakan metode penerjemahan semantis untuk menerjemahkan
referensi-referensi dari bahasa asing.
c.Merangkum hasil dalam sebuah laporan
ABSTRAK
Skripsi ini berjudul Haniwa dalam kofun pada zaman Yamato. Skripsi ini
memiliki tujuan untuk mengetahui apa saja jenis-jenis haniwa dan bagaimana fungsi
serta makna haniwa yang terdapat di sekitar kofun yang ada pada zaman Yamato.
Zaman Yamato dibagi menjadi dua yaitu zaman Kofun (250 M - 550 M ) dan
zaman Asuka (550 M – 710 M). Pemberian nama Yamato didasarkan atas daerah
kekuasaan negeri Yamato.
Masyarakat pada zaman Yamato diperintahkan oleh seorang kaisar, namun
yang menjalani roda pemerintahanya adalah kepala klan (goozoku) yang merupakan
pembantu kaisar. Struktur masyarakat pada zaman ini menunjukan adanya kelas-kelas
dalam masyarakat. Keturunan Tenno merupakan kelas tertinggi, sedangkan goozoku
dan masyarakat biasa berada dibawah tenno, tanah dimiliki oleh tenno dan goozoku,
rakyat biasa hanyalah penggarap tanah. Para penghuni tanah yaitu rakyat biasa
memiliki kewajiban mengolah tanah dan membuat bermacam-macam perlengkapan
yang dibutuhkan oleh pihak istana.
Kofun adalah gundukan tanah yang dibuat dengan membentuk sebuah kuburan. Kuburan ini merupakan produk zaman Yamato yan muncul pada abad ke-3
M. Kofun yang ada pada zaman Yamato merupakan makam dari raja-raja dan
bangsawan yang telah meninggal.
Banyak jenis gundukan dibangun tetapi ciri khas dari kofun pada zaman
Pada tiap kofun banyak ditemukan bermacam-macam benda, yang paling khas
dari benda-benda tersebut adalah Haniwa. Haniwa (hani berarti “tanah liat” dan wa
berarti lingkaran”) muncul pertama kali di daratan Kansai.
Haniwa adalah arca-arca yang terbuat dari tanah liat yang menghasilkan
warna kuning mengkilap yang terdapat pada kofun. Haniwa memiliki beragam jenis
dan bentuk. Ada yang bercorak manusia, hewan , mebel, dan alat-alat yang dipakai
dalam kehidupan sehari-hari, yang paling banyak ditemui pada setiap kofun adalah
haniwa manusia, rumah, kapal dan hewan yang memiliki makna masing-masing.
Kepercayaan masyarakyat Jepang pada zaman Yamato terbentuk dari
kepercayaan religius, sebagai unsur-unsur agama Shinto yang bersifat animistik
pemujaan terhadap alam. Masyarakat percaya haniwa memiliki kekuatan magis.
Haniwa pada awalnya digunakan untuk mendefinisikan parameter makam
suci, memisahkan dan melindungi roh orang yang telah mati dari gangguan roh jahat.
Ritual khusus diadakan untuk menghormati orang mati. Jenis-jenis haniwa mewakili
dari kehidupan almarhum sebagai sosok yang dilayani dan dihormati semasa hidup.
Disisi lain, masyarakat Yamato percaya haniwa berfungsi untuk membuat roh merasa
nyaman dengan kehidupanya yang baru sebab haniwa dapat dijadikan teman di alam
Haniwa figur Manusia melambangkan sosok seorang tokoh-tokoh yang ada
pada zaman Yamato. Haniwa rumah dan kapal melambangkan sebuah bangunan
rumah dan kapal yang dipergunakan di zaman tersebut sebagai tempat tinggal dan
kendaraan, sedangkan makna haniwa hewan melambangkan hewan-hewan yang
HANIWA DALAM KOFUN PADA ZAMAN YAMATO YAMATO JIDAI NO KOFUN NI ARU HANIWA
SKRIPSI
Skripsi ini diajukan Kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat
ujian sarjana dalam bidang llmu Sastra Jepang
Oleh :
ALFREDDIAZ MUHAMMAD 110708011
DEPARTEMEN SASTRA JEPANG FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
KATA PENGANTAR
Puji syukur Penulis panjatkan ke hadirat Allah Swt, karena atas berkat rahmat
dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “ Haniwa dalam
kofun pada zaman Yamato“ sebagai syarat untuk memenuhi ujian akhir Strata 1
Program Studi Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.
Penulis menyadari bahwa apa yang tertulis dalam tugas skripsi ini masih jauh
dari kesempurnaan baik dari segi materi maupun penulisan. Demi kesempurnaan,
Penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca untuk
ke arah perbaikan.
Dalam skripsi ini telah banyak menerima bantuan dari berbagai pihak yang
sangat bernilai harganya. Untuk itu penulis mengucapkan banyak terimakasih banyak
sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Dr. Syahron Lubis, MA, selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Sumatera Utara.
2. Bapak Drs.Eman Kusdiyana, M.Hum, selaku Ketua Jurusan Departemen Sastra
Jepang Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Prof. Hamzon Situmorang M.S.Ph.D, selaku Dosen Pembimbing 1 yang
telah bersedia meluangkan waktu dan pikiran untuk membimbing kepada penulis
4. Bapak Drs. Amin Sihombing, selaku Dosen Pembimbing 2 yang telah bersedia
meluangkan waktu dan pikiran untuk membimbing kepada penulis dalam
menyelesaikan Skripsi ini.
5. Seluruh Staf Pengajar pada program studi Sastra Jepang, yang dengan ikhlas
memberikan bimbingan dan pengarahan kepada penulis selama menjadi mahasiswa.
6. Dari semuanya, yang teristimewa buat orangtua, Ayahanda Zainal Bachri,
Husniadi (alm) dan Ibunda Desmawati penulis yang telah memberikan semangat,
dukungan, materi, doa, serta kasih sayang yang begitu besar kepada penulis sehingga
dapat menyelesaikan Skripsi ini dengan baik. Juga terima kasih buat saudara tercinta
Eko Kurniawan, S.E dan Dhani ihsandro yang telah meluangkan waktu memberikan
semangat dan motivasi kepada Penulis.
7. Buat para sahabat Aotake 2011, para sahabat Imib Usu semuanya yang selalu
memberi semangat, dukungan dan doa serta persahabatan yang tulus kepada penulis.
8. Buat sahabat terbaik saya Krai, Patma, Item, Reren, Katul, Macang, Bobi, Mamak
kanciu, Bred terimakasih atas semangat yang kalian berikan selama ini. Arigatou.
9. Seluruh Alumni, Senior dan junior penulis,dan kawan-kawan semuanya yang
namanya tidak bisa penulis sebutkan satu persatu terima kasih atas bantuannya
selama ini.
10. Buat wanita spesial yang mengisi hati Saya selama ini, Deswira terimakasih atas
Motivasi yang tiada henti-hentinya.
11. Buat Mas Joko, Admin jurusan yang telah banyak membantu penulis dan
Akhirnya kepada Allah swt diri ini bersujud dan mengucapkan rasa syukur
yang tak terhingga karena atas izin-Nya penulis mampu menyelesaikan Skripsi ini.
Dengan segala kerendahan hati penulis membuat Skripsi ini semoga bermanfaat bagi
pembaca dan penulis.
Medan, Januari 2016
Penulis
( ALFREDDIAZ MUHAMMAD )
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah ... 1
1.2 Perumusan Masalah ... 4
1.3 Ruang Lingkup Pembahasan ... 5
1.4 Tinjauan Pusataka dan Kerangka Teori ... 6
1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 10
1.6 Metode Penelitian ... 11
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HANIWA DALAM KOFUN PADA ZAMAN YAMATO 2.1 Zaman Yamato ... 14
2.2 Masyarakat Pada Zaman Yamato ... 17
2.2.1 Struktur Masyarakat ... 19
2.2.2 Kepercayaan Masyarakat ... 21
2.2.3 Kebudayaan Pada Zaman Yamato ... 23
2.3 Definisi Kofun ... 26
2.3.1 Kofun di Jepang ... 26
2.3.2 Isi Kofun ... 30
2.4 Haniwa ... 30
2.4.1 Sejarah Haniwa ... 31
2.4.2 Jenis-jenis Haniwa ... 34
3.2 Makna Haniwa ... 39
3.2.1 Haniwa Manusia ... 39
3.2.2 Haniwa Bangunan Rumah dan Kapal ... 42
3.2.3 Makna Hewan ... 43
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 4.1