• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II SEJARAH DAN PERKEMBANGAN AGAMA BUDDHA DI JEPANG PADA ZAMAN YAMATO SAMPAI ZAMAN EDO

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II SEJARAH DAN PERKEMBANGAN AGAMA BUDDHA DI JEPANG PADA ZAMAN YAMATO SAMPAI ZAMAN EDO"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB II

SEJARAH DAN PERKEMBANGAN AGAMA BUDDHA DI JEPANG PADA ZAMAN YAMATO SAMPAI ZAMAN EDO

2.1 Masuknya Agama Buddha di Jepang

Ketika penyerahan hadiah sebagai simbol dimulainya hubungan diplomatik dari Korea secara resmi diberikan kepada Jepang pada tahun 538, kubu kerajaan terbagi menjadi dua pihak, yaitu pihak yang mendukung masuknya agama Buddha dan pihak yang tidak menyetujuinya. Pihak yang menentang hal tersebut menganggap bahwa Dewa asing yang baru muncul di negara mereka akan mempengaruhi ajaran pemujaan terhadap Dewa-dewa pribumi. Kelompok anti-Buddha dipimpin oleh keluarga Mononobe, yang merupakan sebuah keluarga militer. Keluarga pendeta, Nakatomi, juga ikut menjadi bagian dari kelompok anti-Buddha. Di lain pihak, ada Klan Soga, yang terdiri dari administrator-administrator dan diplomat-diplomat negara, mendukung penuh masuknya pengaruh tersebut. Perselisihan ini berlangsung kira-kira selama 50 tahun, dan nasib akan berkembangnya agama baru mulai diragukan, dan terancam punah akibat serangan dari pihak militer, serta masyarakat yang masih memegang teguh kepercayaan akan pemujaan terhadap dewa-dewa lokal.

Di sisi yang lain, gelombang imigran-imigran, pengrajin dan misionaris dari Korea yang masuk ke Jepang memperkuat pengaruh agama Buddha. Tidak hanya itu, mereka membawa berbagai macam pengetahuan, seperti ilmu medis, kesenian dan sains Cina (terutama tulisan dan astronomi), yang selalu diidentikkan dengan ajaran Buddha, dan bahkan lama kelamaan hal-hal yang tadinya dianggap orisinil (ajaran Shinto) mulai menjadi hal yang kolot di kalangan masyarakat akibat pengaruh ajaran Buddha. Dengan demikian, terlepas dari tekanan pihak oposisi, agama baru ini perlahan-lahan menarik hati masyarakat, dan tidak sedikit bangsawan yang menerimanya, walaupun pada umumnya mereka tidak berani untuk mengakuinya di depan publik. pihak anti-Buddha

(2)

lama-2 kelamaan melemah, dan kelompok militer tersebut menyerah pada tahun 587. Berakhirnya konflik dengan dibangunnya sebuah kuil Buddha yang megah oleh Soga no Umako, anggota dari klan Soga. Kuil ini dinamai Hoko-ji. Pembangunan kuil dan lembaga lainnya membuat meningkatnya impor patung-patung dan naskah-naskah, yang disertai dengan kedatangan misionaris dan pengrajin. Keterlibatan mereka dibantu dengan organisasi-organisasi amal untuk publik, ini menandakan dimulainya peradaban Jepang.

2.2 Agama Buddha pada Masa Pemerintahan Shotoku Taishi

Pangeran Shotoku yang memulai karirnya sebagai seorang bupati di umur 19 tahun, dan didukung oleh berbagai kalangan. Dia dianggap sebagai orang yang paling berpengaruh dalam sejarah perkembangan peradaban Jepang. Pangeran Shotoku juga dikenal dengan statement perbandingannya tentang 3 agama besar di Jepang, yaitu Shinto sebagai akar yang menggambarkan karakter dan tradisi orisinil bangsa, Khonghucu sebagai batang dan cabang yang memperkenalkan sistem institusi, kode etis, dan pendidikan, serta ajaran Buddha yang memekarkan pendirian keagamaan dan spiritual. Selama 10 tahun pertama dia berkuasa, pemerintahannya berfokus dalam pembaharuan hubungan diplomatik dan administrasi dengan Korea, lalu diperluas dengan dibangunnya hubungan dengan kerajaan Cina, dimana pada tahun 607 dia mengirim utusan ke sana, dan ini merupakan era dimana dimulainya hubungan resmi Jepang dengan Cina. Tujuan utama dari pengiriman utusan tersebut adalah untuk mempelajari lebih dalam tentang agama, sains, dan institusi pemerintahan. Pelajar-pelajar yang dikirim ke Cina kembali dengan ditemani oleh biksu-biksu dan pelajar asing. yang berkontribusi dalam mengajarkan ilmu tentang agama dan sains, selain itu, Pangeran Shotoku juga merupakan penguasa pertama yang mencetuskan pembangunan jalan, serta memajukan agrikultur. Pangeran Shotoku juga membuat pernyataan tentang agama Buddha sebagai agama nasional Jepang, serta membangun institusi Buddha Agung, atau yang biasa disebut dengan Tenno-ji.

(3)

3

2.3 Agama Buddha pada Zaman Nara

Kaisar Shomu merupakan penguasa di zaman Nara yang menerapkan ajaran-ajaran Buddha di pemerintahannya, yakni dengan memanfaatkan institusi-institusi agama Buddha dalam upacara-upacara adat, dan menggunakan kuil-kuil Buddha sebagai lahan untuk mengembangkan sumber daya alam negara. Dia juga membangun sebuah kuil terpusat bernama Todai-ji. Kuil-kuil Buddha ini tidak hanya digunakan sebagai tempat pemujaan saja, melainkan digunakan sebagai sekolah, rumah sakit, dan tempat pengungsian, oleh karena itu, pendeta-pendeta Buddha tidak hanya berperan sebagai pemuka agama saja, tetapi banyak yang merangkap menjadi guru sekolah, dokter, serta insinyur pembangunan.

Keadaan ini mendorong stabilitas kekayaan yayasan-yayasan keagamaan. Dalam hal ini, kekayaan tersebut dapat dengan bebas digunakan untuk kepentingan sosial dan pendidikan, namun pada akhir abad ke-8, sistem ini terbukti melahirkan kecenderungan untuk melakukan aksi korupsi di kalangan pendeta. Akumulasi kekayaan dan kekuasaan di pemerintahan dan hirarki organisasi-organisasi Buddha menyebabkan degenerasi di setiap fase kehidupan kependetaan dan kebangsawanan mereka. Ketika para bangsawan berusaha untuk memperkuat dominasi kelompok mereka, pendeta-pendeta Buddha menyalahgunakan hak istimewa untuk kepentingan perluasan kekuasaan.

2.4 Agama Buddha pada Zaman Heian

Pemindahan ibukota dari Nara menuju Kyoto dilakukan dengan tujuan melepaskan sistem pemerintahan dari institusi-institusi keagamaan yang tadinya berkuasa pada zaman Nara. Pada masa inilah sebuah birokrasi yang terorganisir menjadi pusat kekuasaan dan kekayaan negara, serta institusi-institusi agama Buddha mengambil kesempatan dengan membentuk sistem hierarki yang memonopoli ajaran-ajaran yang dianggap rumit dan misterius, dan mulai lahirnya beberapa cabang-cabang ajaran Buddha.

Saicho, seorang pendeta Buddha keturunan imigran Cina, yang menghabiskan waktunya untuk bermeditasi di kuil kaki Gunung Hiei (yang

(4)

4 nantinya akan menjadi pusat institusi agama paling terkenal di sepanjang sejarah agama Buddha Jepang), tertarik dengan keputusan pemerintah pusat untuk memindahkan ibukota demi mencapai pembaharuan politik, dan juga demi mencapai tujuan religius pribadinya. Saicho diutus oleh pemerintah ke Cina pada tahun 804 berkat kepandaiannya dalam bidang keagamaan. Dia pulang dengan membawa berbagai macam kitab-kitab suci dan risalah-risalah dari sekolah Buddha Cina bernama Tendai. Hal ini membuat institusi keagamaannya yang berdiri di Gunung Hiei berkembang pesat, bahkan institusi Buddha Tendai ini berperan penting dalam pengurusan negara. Doktrin ajaran Lotus of Truth yang dibawa oleh Saicho dari sekolah Tendai di Cina mempunyai prinsip bahwa semua cabang ajaran Buddha tidak berkontradiksi antara satu dengan yang lainnya, dan dapat dipersatukan dalam satu sistem yang sempurna. Prinsip ini juga memudahkan asimilasi Tendai dengan Shinto. (Anesaki, 1963)

Seorang pendeta bernama Kukai juga turut ikut membangun sebuah cabang ajaran Buddha lainnya. Ajaran ini dikenal dengan nama Shingon. Kukai merupakan seorang anak bangsawan yang telah belajar berbagai macam ajaran, diantaranya adalah Khonghucu dan Taoisme. Walaupun begitu, dia tidak pernah puas dengan pengetahuannya akan kedua ajaran tersebut. Pada saat berumur 22 tahun, dia memeluk agama Buddha. Kukai juga pergi ke Cina untuk menambah pengetahuannya, dan belajar disana selama 2 tahun, sampai akhirnya dia membawa pulang sebuah bentuk ajaran Buddha Cina bernama Shingon. Kukai dipercaya telah membangun sebuah biara di Gunung Koya. Setelah Saicho wafat, pada tahun 823 dia dipanggil untuk menjadi kepala pendeta di kekaisaran. (Anesaki, 1963)

Institusi-institusi inilah yang mendukung perluasan kekuasaan klan Fujiwara. Sampai pada akhirnya, seiring berjalannya waktu, penyalahgunaan agama, pengabaian administrasi pemerintahan dan pendidikan, penimbunan kekayaan yang dilakukan oleh pihak-pihak dari kuil, dan kegiatan-kegiatan negatif lainnya memaksa kedamaian dan kemegahan tidak bertahan lama. Agama Buddha pada masa ini tidak memberikan kontribusi yang berarti dalam bidang

(5)

5 keagamaan maupun pendidikan bagi masyarakat. Pada akhir abad ke-10 Fujiwara-no-Michinaga mengambil alih klan Fujiwara, dan menjadi bupati selama lebih dari 30 tahun, dan ditandai dengan kemegahan kehidupan di kalangan pejabat. Pada pertengahan abad ke-11, kondisi politik kembali berubah, dimana kekuasaan kembali ke tangan kaisar. Pemerintahan kaisar Shirakawa pada tahun 1078-1129 yang diwarnai dengan kerusuhan oleh pendeta-prajurit dari masing-masing cabang ajaran Buddha, perang saudara yang pecah di ibukota mengakhiri kefanaan kehidupan beragama.

Peperangan ini memberikan sedikit kecerahan kepada prajurit-prajurit yang ada di beberapa provinsi di luar ibukota. Pemimpin mereka kemungkinan besar adalah pemimpin provinsi yang diutus oleh pemerintah pusat, atau kepala suku yang bertanggung jawab atas tanah provinsi yang dimiliki oleh bangsawan atau kuil Buddha. Seiring berjalannya waktu, properti-properti ini menjadi pemasukan tambahan bagi penguasa provinsi tersebut. Para kepala suku ini hidup erat dengan pengikut mereka, dan membudidayakan kehidupan militer yang disiplin, serta menanamkan kesetiaan dan keberanian. Di pertengahan abad ke-12, mereka mulai menyadari kekuatan di posisi yang mereka pegang. Mereka tidak lagi hidup di bawah tekanan pemerintah pusat ataupun klan Fujiwara. Terdapat 2 klan militer terkenal yang lahir pada masa, yakni klan Taira dan Minamoto. Pertikaian di antara keduanya berakhir pada tahun 1185, ketika klan Minamoto melancarkan serangan terakhir dan memenangkan peperangan.

2.5 Agama Buddha pada Zaman Kamakura

Pemerintahan militer yang dipimpin oleh klan Minamoto merupakan sistem kepimpinan yang jauh berbeda dengan kehidupan mewah para administrator negara pada zaman Heian. Agama Buddha kehilangan kehormatan mereka sebagai agama negara, ritual-ritual keagamaan mulai dianggap sebagai hal yang sepele akibat hilangnya dukungan politik dari pemerintahan pusat. Hal ini tidak hanya mempengaruhi politik, tetapi juga mempengaruhi moral, sosial, dan keagamaan dalam waktu yang bersamaan.

(6)

6 Perubahan besar dalam keagamaan yang terjadi adalah bangkitnya kesadaran akan ajaran pribumi, yang mendorong pejuang-pejuang dan para petani untuk menentang bangsawan-bangsawan yang ada di Miyako. Klan Minamoto menjunjung tinggi ajaran yang mereka berikan dan orang-orang mengikuti ajaran tersebut, maka hal ini menandakan lahirnya pembaharuan terhadap pemujaan Shinto. Walaupun begitu, Pemisahan ajaran Shinto dari pengaruh-pengaruh Buddha dan Khonghucu merupakan hal yang tidak mungkin, akibatnya, pada zaman ini lahir beragam kombinasi-kombinasi ajaran dan ritual keagamaan.

Penanaman prinsip moral yang diadopsi oleh pimpinan Minamoto terdiri dari pemujaan terhadap dewa yang lahir dari klan tersebut, kesetiaan terhadap ajaran etis Khonghucu, dan aspirasi dari ajaran Buddha. Ajaran Khonghucu menanamkan sifat kesetiaan terhadap pimpinan klan, dan hal ini didukung dengan adanya ajaran tentang dewa klan, ketaatan terhadap tradisi, dan mematuhi keinginan dari yang berkuasa. Sebagai tambahan, prinsip spiritual yang dimiliki ajaran Buddha membantu para pejuang dalam pelatihan penguasaan diri dan meditasi. Kombinasi ini melekat di cara berpikir para pejuang dari klan Minamoto. Pada masa ini ajaran Buddha tidak lagi menonjolkan ritual-ritual keagamaan yang megah, melainkan berfokus pada pelatihan-pelatihan yang mengutamakan kesalehan dan kesederhanaan.

Pada zaman ini muncul 3 aliran agama Buddha, yakni Amida Buddha, Zen, dan Nichiren. Amida Buddha memberikan pengaruh besar terhadap karya-karya lukisan dan pahatan dengan mencitrakan kesalehan ajaran Buddha, gambaran tentang orang yang memiliki kekuatan di atas kemampuan manusia, dunia luar yang bahagia, makhluk luar angkasa yang memainkan musik di antara awan-awan, dan lain-lain. Nichiren merupakan ajaran yang menentang keras ritualisme dan sentimentalisme yang dimiliki oleh pemuka-pemuka agama Buddha di Miyako. Sehingga, tidak heran apabila ajaran ini dapat diterima dengan mudah oleh para prajurit dan kaum petani. Zen diperkenalkan bersamaan dengan kebangkitan pemimpin-pemimpin kemiliteran sebagai penguasa.

Amida Buddha merupakan ajaran yang memuja Buddha Amita, seorang dewa yang telah membuka gerbang menuju surga tanpa berbagai macam pelatihan

(7)

7 ataupun pengetahuan. Ajaran Amita, apabila dibandingkan dengan aliran-aliran Buddha yang ada sebelumnya, tidak begitu menonjolkan kerumitan ritual-ritual ataupun meditasi. Dengan demikian, pertentangan yang ditimbulkan ajaran ini bertolak belakang dengan kebanyakan ajaran Buddha yang menunjukkan “Jalan Kebijaksanaan”, sebuah ajaran yang menuntut seseorang untuk melalui berbagai macam pelatihan yang berat. Di sisi yang lain, Amida Buddha hanya menuntut seseorang untuk semata-mata menaruh kepercayaan terhadap rahmat Buddha Amita, dengan demikian ajaran ini menunjukkan “Jalan Menuju Kemurnian”.

Nichiren dapat diartikan sebagai “Teratai Matahari”, yang melambangkan kombinasi antara ideal Buddha dan Shinto. Matahari dianggap sebagai sinar dan kehidupan, sementara Teratai menggambarkan kemurnian dan kesempurnaan. Nichiren lahir pada tahun 1222, dan merupakan anak seorang nelayan di bagian tenggara Jepang. Ketika berumur 30 tahun, dia berkeyakinan bahwa ajaran Buddhisme yang sebenarnya adalah ajaran sekolah Tendai yang dibawa dan dikembangkan oleh Saicho dari Cina, dan cabang-cabang ajaran Buddha lainnya merupakan ajaran-ajaran yang sesat. Doktrin yang dia implementasikan pada ajarannya merupakan metode yang simple, yakni bermeditasi seraya menyuarakan Namu Myo-Horengo-kyo (pemujaan terhadap Lotus of Perfect Truth). Dia juga melakukan melakukan orasi publik yang menjelek-jelekkan cabang-cabang Buddha lainnya. Hasilnya, dia diasingkan oleh pemerintah atas permintaan masyarakat dan pendeta-pendeta Buddha dari berbagai sekte.

Zen merupakan salah satu ajaran Buddhisme yang mendapatkan pengaruh dari ajaran Taoisme di Cina. Pada umumnya, terdapat 3 pelatihan biksu Buddha, yakni ajaran moral, pelatihan spiritual, dan jalan menuju kebijaksanaan, namun Zen sendiri berfokus kepada pelatihan meditasi yang menitikberatkan ketenangan, dan perenungan dari ajaran Taoisme. Orang yang berkontribusi dalam pengenalan Zen di Jepang adalah Yeisai, seorang biksu dari Hiei, yang tidak puas dengan ilmu yang dia dapatkan dan melakukan perjalanan 2 kali ke Cina. Setelah menguasai ajaran Zen, dia membawanya ke Jepang pada tahun 1191, dan membangun biara-biara di Kyushu dan Miyako, untuk melatih prinsip dan metode

(8)

8 Zen. Seorang biksu yang juga berasal dari Hiei bernama Dogen, turut ikut mengembangkan Zen di Jepang.

Ajaran-ajaran ini sangat berbeda dengan Kristen yang mulai masuk pada tahun 1549. Ketika diskusi panas terjadi antara misionaris-misionaris Kristen dan orang-orang Jepang (mayoritas pendeta Buddha), perbedaan drastis antara ajaran Kristen dan ajaran Buddha dikemukakan. Pertanyaan-pertanyaan primitif seperti “Bagaimana seorang dewa yang mahakuasa membiarkan kejahatan-kejahatan muncul dimana-mana? Bukankah terlalu kejam apabila seseorang dihukum di neraka selamanya?”. Dan perbedaan yang paling signifikan adalah ajaran Buddha menyangkal bahwa seorang dewa adalah seorang manusia yang nyata, sebagaimana dalam ajaran Kristen. Pada tahun 1587, Toyotomi Hideyoshi mengeluarkan perintah pengusiran terhadap semua misionaris Yesuit yang berkedudukan sebagai pendeta Kristen, atau yang dinamakan Bateren Tsuiho-rei. Dia memerintahkan agar mereka meninggalkan Jepang dalam 20 hari. Pelarangan terhadap agama Kristen berlanjut hingga zaman Edo.

Pada zaman Kamakura tidak ada ajaran yang dapat memenuhi kebutuhan spiritual bagi orang-orang dari kaum militer, yakni ajaran yang memiliki ketegasan. Hal inilah yang nantinya akan dikembangkan oleh Tokugawa Ieyasu dengan menggunakan sistem bakufu pada zaman Edo.

2.6 Agama Buddha pada Zaman Edo

Pada tahun 1600, Tokugawa Ieyasu memenangkan perang Sekigahara, mengalahkan kubu Mitsunari Ishida, dan pada tahun 1603 dia menjadi Shogun. Penobatan ini menandai dimulainya zaman Edo. Pada masa ini, Ieyasu Tokugawa lebih berfokus kepada menghidupkan kembali dan mengembangkan peninggalan-peninggalan zaman dahulu. Pemerintah juga menjalankan kebijaksanaan perlindungan terhadap kuil-kuil Buddha, yang sebenarnya tidak sepenuhnya dimaksudkan untuk kepentingan penyebaran ajaran agama tersebut, melainkan sebagai alat yang berguna untuk melawan pengaruh Kristen dan sebagai penghormatan terhadap warisan kuno. Oleh sebab itu, tidak sedikit propagandis Kristen yang dijatuhi hukuman berat, hanya karena dianggap tidak mematuhi

(9)

9 sistem tersebut. Setiap keluarga wajib tergolong dalam sebuah ajaran Buddha, dan pendeta-pendeta Buddha punya hak untuk memeriksa dan menggali kehidupan serta pemikiran masyarakat. Ketika Buddha menjadi agama negara, walaupun dibeda-bedakan oleh berbagai sekte, para pendetanya hidup di bawah perlindungan kaum yang berkuasa. Walaupun pemerintahan Tokugawa pada awalnya melarang keras masuknya pengaruh-pengaruh dari luar negeri, pada abad ke-18, Shogun Yoshimune (1716-1745) mengurangi larangan budaya asing, dan memperkenalkan sains barat, yang mendorong perkembangan intelektual kehidupan masyarakat.

Meskipun Buddha didukung penuh oleh pemerintahan Ieyasu, dia mengadopsi ajaran Khonghucu dari sekolah bernama Shushi, dan mengangkatnya sebagai ajaran ortodoks untuk dijadikan dasar sistem moral. Sistem ini pernah dibudidayakan oleh pendeta-pendeta Buddha Zen pada abad ke-14, dan sesuai dengan target Ieyasu yang ingin membangun sebuah basis ajaran moral dan etika bagi kelas Samurai, yang pada masa ini mulai dipercaya sebagai administrator-administrator negara. Sistem moral ini nantinya akan melekat di kehidupan dan prinsip samurai selama berabad-abad. Walaupun Khonghucu mempunyai hak istimewa di kalangan kelas Samurai, ajarannya tetap memiliki kekurangan, yaitu ajaran yang memiliki sentimen-sentimen religius. Lama-kelamaan, ajaran Khonghucu mulai membaur dengan ajaran Shinto, dimana Shinto juga membutuhkan pengajaran tentang filosofi. Pada akhirnya Shinto dan Khonghucu membangun sebuah persekutuan ajaran dimana masing-masing ajaran memiliki peranan, dan sekolah Shushi juga turut mengadopsi penggabungan ajaran tersebut.

2.7 Akhir Masa Pemerintahan Tokugawa

Pada masa pemerintahan Tokugawa Ieharu, kapal-kapal pedagang dari Eropa dan Amerika tiba di perairan Jepang, yang meggoyahkan sistem sakoku Jepang. Pada tahun 1780, penjelajah-penjelajah dari Rusia tiba di pantai timur dari daerah hutan Siberia, sebelum pada akhirnya tiba di Hokkaido. Pada tahun 1792 dan 1804 mereka kembali ke Jepang, tepatnya di kota Nagasaki, dan meminta hak istimewa untuk melakukan kegiatan perdagangan, akan tetapi di tolak oleh

(10)

10 pemerintahan Tokugawa. Penolakan ini menandakan terjadinya konflik yang berlangsung selama beberapa dekade.

Memasuki era pemerintahan Tokugawa Ienari (Shogun 1787-1837), pada tahun 1806-1807 sebuah kapal angkatan laut Rusia menyerang pemukiman-pemukiman di daerah Hokkaido, Sakhalin, dan Etorofu. Setahun kemudian Inggris turut ikut melancarkan serangan. Kapal perang Phaeton memasuki pelabuhan Nagasaki, dan mengancam akan menyerang Belanda. Pada tahun 1818 sebuah kapal Inggris berlabuh di pelabuhan Uraga. Pemerintahan bakufu dengan cepat menolak ajakan mereka untuk menjalin hubungan perdagangan. Untuk menghindari konflik berkelanjutan akibat penolakan mereka, pemerintahan Tokugawa pada tahun 1825 mengeluarkan perintah untuk mengusir semua kapal asing yang memasuki perairan Jepang. Hasilnya, pada tahun 1837 ketika kapal dagang Amerika, The Morrison, tiba di Jepang dengan maksud bernegosiasi secara damai, mereka mendapatkan jawaban di luar dugaan mereka, yakni sebuah tembakan meriam yang diarahkan ke perairan sebagai sebuah tembakan peringatan.

Pemerintahan Tokugawa Ienari menandai puncak kejayaan pemerintahan Tokugawa, dimana pembangunan struktur sosial oleh pemerintah dan mempertahankan status kelas Samurai cenderung menimbulkan tuntutan-tuntutan akan kebebasan dari berbagai pihak. Perubahan pertama yang terjadi adalah naiknya status sosial dari masyarakat biasa, terutama kelas pedagang, yang dihasilkan dari budaya barat melalui perdagangan Belanda. Sistem strata yang ditegakkan pada masa pemerintahan Tokugawa Ienari merupakan sistem yang kaku. Tempat tinggal, makanan dan pakaian masyarakat ditetapkan oleh pemerintah menurut kelas mereka masing-masing. Tidak hanya itu, cara berjalan, duduk dan berbicarapun diatur oleh pemerintah. Akumulasi kekayaan juga ditetapkan oleh pemerintah. Hal ini cenderung berpengaruh terhadap kelas pedagang, dimana mereka dapat melampaui batas kekayaan mereka dengan mudah dibandingkan kelas lain, dan biasanya mereka akan dihukum karenanya. Sistem ini memburuk ketika Ienari tidak menjalani peraturan yang berlaku dan memulai kehidupan yang diwarnai dengan kemewahan dan kegiatan berfoya-foya.

(11)

11 Pada tahun 1853, Matthew Perry tiba di Jepang dari Amerika dengan membawa pesan singkat, yakni mendesak Jepang agar menyutujui hubungan perdagangan antar kedua negara, atau perang. Dia kembali pada tahun 1854 dengan armada kapal besar (9 kapal dan 3 kapal pengawal). Pemerintahan bakufu kali ini mengizinkan kapal mereka untuk berlabuh sebuah pelabuhan yang terletak di antara Shimoda dan Hakodate, dan mereka juga mendapat kesempatan untuk bernegosiasi untuk dapat melakukan aktifitas perdagangan di Jepang. Pertemuan ini dikenal dengan “Perjanjian Kanagawa”, dimana negara-negara eropa seperti Prancis, Inggris, Belanda dan Rusia juga mendapatkan hak mereka untuk dapat melakukan aktifitas perdagangan. (Gordon, 2003)

Pada tahun 1857, ditengah kekacauan yang diakibatkan oleh bangsa-bangsa asing, terjadi beragam perselisihan tentang pemilihan shogun berikutnya, dimana shogun pada masa ini, Iesada, merupakan pemimpin muda yang lemah dan sering jatuh sakit. Terlebih lagi dia tidak memiliki ahli waris yang nantinya dapat mengambil alih pemerintahan bakufu. Tokoh yang berperan penting di pemerintahan Jepang pada masa ini adalah penasihat keshogunan, Hotta Masayoshi. Keputusan untuk memilih shogun yang akan menggantikan Iesada ada di tangannya. Karena Iesada tidak memiliki keturunan, maka jalan satu-satunya adalah untuk mengangkat shogun dari ruang lingkup gosanke (3 cabang keluarga Tokugawa yang menduduki wilayah Mito, Kii, dan Satsuma), yaitu Tokugawa Iemochi yang berumur 12 tahun dari wilayah Kii. Setelah Iemochi wafat pada umur 20 tahun, Hotta memutuskan untuk berkunjung ke Kyoto untuk mendapatkan pengesahan Kaisar Komei terkait perjanjian dengan Amerika, namun Kaisar Komei tidak menyetujui perjanjian tersebut, dan dia menolak untuk mendukung bakufu. Sikap anti-asingnya ini didukung penuh oleh Tokugawa Nariaki, yang merupakan penguasa wilayah Mito, dan dia juga mendukung anak Nariaki, Yoshinobu, untuk diangkat sebagai shogun berikutnya. Setelah pernyataan tersebut keluar dari kaisar, Hotta memutuskan untuk pensiun, pemerintahan Tokugawa tidak lagi dapat mengharapkan dukungan dari kekaisaran, dan kedudukan bakufu dalam pemerintahan negarapun mulai jatuh.

(12)

12 Terdapat 3 kelompok yang berusaha untuk mendapatkan kekuasaan politik setelah Hotta pensiun. Kelompok yang masih memegang teguh prinsip keshogunan terdiri dari beberapa anggota dewan dari beberapa wilayah kecil. Di pihak lain, mereka ditentang oleh kekuatan-kekuatan elit, yakni daimyo-daimyo yang berada di pihak kekaisaran. Kelompok ini menggunakan retorika anti-asing dan pro-kaisar, sambil perlahan-lahan menarik kewenangan politik dibawah kekuasaan mereka. Kelompok ketiga adalah kelompok shishi. Kelompok ini terdiri dari samurai-samurai loyalis, dan biasanya merupakan pria-pria muda yang tadinya mempelajari ajaran-ajaran Khonghucu sambil melatih ketangkasan berpedang mereka.

Pada tahun 1863, para loyalis meyakinkan Kaisar Komei untuk meminta bakufu dengan segera mengusir kaum asing. Pemerintah bakufupun mengirim shogun ke Kyoto untuk membahas hal tersebut. Dalam pertemuan ini, salah satu penguasa dari wilayah Satsuma berada di pihak bakufu, walaupun dia merupakan salah satu anggota kekaisaran. Dia tahu persis bahwa pengusiran kaum asing merupakan hal yang tidak mungkin dapat terjadi, dan dia meninggalkan Kyoto diam-diam di tengah negosiasi tersebut. Debat di kekaisaran, dengan mudah dimenangkan oleh pihak anti-asing dan para loyalis, dan mau tidak mau, pihak shogun harus kembali ke Edo dan terpaksa melaksanakan perintah pengusiran pihak asing pada tanggal 25 Juni 1863.

Pemerintahan bakufu menyadari bahwa pasukan mereka tidak akan dapat melaksanakan perintah tersebut, dan pada akhirnya merekapun dengan sengaja melewatkan batas waktu yang ditentukan oleh kaisar. Walaupun begitu, di wilayah Choshu, pasukan loyalis menembakkan meriam ke kapal-kapal Amerika dan Prancis. Merekapun membalas dengan menghancurkan beberapa senjata di daerah pantai, dan konflik ini berlangsung selama beberapa minggu. Untuk menghindari hal-hal negatif yang dapat mempengaruhi perjanjian dengan Amerika, pemerintah bakufu dan pasukan Satsuma bekerja sama untuk mengusir loyalis dari Choshu dan pihak anti-bakufu dari Kyoto.

Pemerintah bakufu bergerak ke daerah pantai, dibawah pimpinan daimyo dari wilayah Aizu. Mereka menjanjikan pengusiran pihak asing secepatnya,

(13)

13 dengan menutup pelabuhan Yokohama. Pihak kekaisaran menerima perjanjian ini dengan tangan terbuka, dan mereka berada dibawah kendali bakufu, tetapi konflik yang lain kembali muncul di tahun berikutnya. Pada tahun 1864, para samurai loyalis dari seluruh Jepang pergi ke Choshu, dimana mereka diberikan tempat tinggal dan mulai bersatu. Dari sana, mereka berangkat ke Kyoto dan berencana untuk menangkap kaisar dan membebaskannya dari kendali Tokugawa, namun disana mereka dikepung dan dikalahkan oleh gabungan pasukan dari Satsuma dan Aizu. Pemerintah bakufu memanfaatkan situasi ini dan melakukan perjalanan menuju Choshu. Disana, mereka akan membiarkan daerah kekuasaan Choshu tetap hidup, dengan syarat daimyo dari wilayah itu harus menghukum mati pemimpin pasukan yang menyerang Kyoto, dan eksekusipun dilakukan.

Puas dengan kemenangan yang mereka dapatkan di Choshu, pasukan bakufu kembali ke Edo, dan pihak koalisi Tokugawa-kekaisaran memegang kendali politik negara. Pada tahun 1866, Tokugawa Yoshinobu resmi menjadi shogun. Loyalis-loyalis dari wilayah Choshu telah kehilangan kekuatan akibat kekalahan mereka pada tahun 1864, tetapi pemerintah bakufu belum sepenuhnya mengalahkan mereka. Samurai-samurai yang selamat terus mengorganisir pasukan dengan menggunakan senjata-senjata dari barat dan kemampuan militer mereka. Di wilayah Satsuma, aktifitas perdagangan terus mendorong perkembangan finansial, dan hal ini membuat mereka dapat membeli persenjataan serta kapal-kapal dari pedagang Inggris dan membangun pasukan yang hebat. Banyaknya samurai-samurai ataupun masyarakat biasa di kedua domain, kebencian terhadap klan Tokugawa, dan keuntungan dapat melepaskan diri dari pengawasan bakufu membuat kedua fraksi menjadi sekutu.

Orang yang memiliki peran penting dalam persatuan ini adalah Sakamoto Ryoma, seorang samurai dari wilayah Tosa (yang merupakan anggota kekaisaran) diam-diam bersekutu dengan Satsuma dan Choshu. Kedua domain berjanji untuk saling melindungi apabila pihak bakufu menyerang salah satu dari mereka. Pihak bakufu, pada tahun 1866 pergi ke wilayah Choshu setelah mengetahui domain tersebut kembali memiliki kekuatan. Ketika pihak bakufu meminta pertolongan domain Satsuma dalam peperangan tersebut, mereka menolak untuk mengirim

(14)

14 pasukan, dan pihak bakufu kalah dengan memalukan. Rumor bahwa bakufu dikalahkan oleh domain Choshu dengan cepat menyebar ke masyarakat.

Tujuan utama Sakamoto Ryoma adalah mengganti sistem pemerintahan bakufu dengan model pemerintahan Inggris, yakni sistem bikameral. Sistem ini adalah wujud institusional dari lembaga perwakilan yang terdiri dari pejabat-pejabat negara, dewan-dewan yang diwakili oleh orang-orang biasa, dan diusahakan untuk tidak mengangkat samurai sebagai pejabat negara.

Pada bulan November tahun 1867, Tokugawa Yoshinobu telah diyakinkan untuk menyetujui rencana ini. Dia turun dari takhtanya dan “mengembalikan” kekuasaan ke tangan kaisar. Walaupun begitu, dia tetap berharap klan Tokugawa dapat terus memainkan peran penting di kepemerintahan, bahkan dengan berkurangnya kekuatan Tokugawa, domain Satsuma dan Choshu tidak puas dengan keputusan yang diambil oleh pemerintah. Pada Desember 1867, mereka berangkat ke Kyoto dan mengambil alih istana kekaisaran. Pada awal tahun 1868, pemerintah resmi mengumumkan “restorasi” kekuasaan bagi kaisar, dan bakufu secara resmi dihapuskan.

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil penelitian didapatkan 6 tema terkait konsep diri yaitu (1) kehidupan yang dijalani pengguna NAPZA, (2) perubahan setelah menggunakan NAPZA, (3) respon

*ah+a ilsaah terus dipelajari karena ia diperlukan sebagai orientasi dan sekaligus arahan! *uah pemikirannya akan dapat dipakai sebagai a#uan dasar dalam penentuan nilai

Dengan demikian, teori Syah}ru>r tersebut, tidak hanya berimplikasi terhadap hukum Islam dalam bidang kesetaraan gender dan agama, melainkan juga dalam bidang-bidang yang

Renstra FAI-UMY 2016-2021 ini merupakan kesinambungan dari berbagai kebijakan dan program Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta 2011-2015 yang

Dari hasil uji-coba terhadap sistem pengenalan individu berbasis warna iris dengan dukungan algorima yang telah disebutkan di atas menunjukkan bahwa sistem yang dikembangkan

Hanya saja udang ini dapat hidup bersama (berssimbiosis) dengan hewan-hewan lain seperti ikan gobi, anemon, spons, ekhinodermata dengan hubungan timbal balik yang sangat baik dan

Suasana belajar yang kondusif dan ara guru dengan siswa telah Media dan sumber belajar tidak hanya di dalam kelas saja, tetapi juga di luar kelas dengan

Hal ini disebabkan semakin kekanan jumlah proton makin bertambah sehingga daya tarik menarik inti terhadap elektron valensi (terluar) semakin kuat, walaupun dengan jumlah kulit