• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

6.2 Saran

1. Dinas Kesehatan bekerjasama dengan pihak Puskesmas, Poskesdes, dan Polindes untuk melakukan sosialisasi tentang malaria dan pentingnya menjaga sanitasi lingkungan kepada masyarakat sebagai tindakan preventif malaria.

2. Dinas Kesehatan lebih memperhatikan data iklim yang sudah dirangkum oleh Stasiun BMKG Pinangsori untuk membuat suatu pencegahan pada bulan April dan Mei agar peningkatan kasus pada bulan Juni tidak terjadi. Kemudian waspada pada bulan Oktober agar bulan November dan Desember tidak terjadi peningkatan kasus.

3. Bagi masyarakat diharapkan selalu memakai kelambu berinsektisida saat tidur agar terhindar dari gigitan nyamuk Anopheles yang dapat menularkan parasit malaria.

4. Bagi masyarakat diharapkan membuat modifikasi lingkungan untuk mengurangi persebaran nyamuk lebih banyak berupa irigasi berkala di persawahan (Irnawati, M 2002), atau bisa juga melakukan pengendalian biologi seperti memelihara ikan di sekitar rumah.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Malaria

Menurut Zulkoni (2010), malaria berasal dari kata Italia yaitu mal artinya buruk dan area artinya udara. Jadi secara harfiah malaria berarti penyakit yang sering terjadi pada daerah dengan udara buruk akibat lingkungan yang buruk.

Abad ke-19, Laveran menemukan “bentuk pisang” (banana form) dalam

darah seorang penderita malaria. Setelah itu, diketahui bahwa malaria disebabkan oleh plasmodium yang ditularkan oleh nyamuk (Ross,1897) yang banyak terdapat di daerah rawa (Sorontou, 2013).

Penyakit malaria telah diekanal sejak tahun 1753 dan 1880. Parasit penyabab penyakit malaria ditemukan oleh Laveran. Tahun 1883, morfologi

Plasmodium mulai dipelajari, dengan menggunakan larutan metilen biru untuk

mewarnai parasit malaria. Tahun 1885, Golgi menjelaskan siklus hidup

Plasmodium, yakni siklus skizogoni eritrosik yang disebut siklus golgi. Siklus

parasit tersebut dalam tubuh nyamuk dipelajari oleh Ross dan Bignami (1989). Sorontou (2013) yang mengutip pendapat Manson membuktikan bahwa nyamuk adalah vektor yang menularkan penyakit malaria. Tahun 1984-1954, siklus skizogoni praeritrositik Plasmodium diteliti kembali secara mendalam, dan ditemukan bahwa malaria pada manusia disebabkan oleh empat spesies

Plasmodium, yaitu Plasmodium falciparum, Plasmodium vivax, Plasmodium ovale, dan Plasmodium malariae.

Plasmodium merupakan jenis genus protozoa parasit. Penyakit yang

disebabkan oleh genus ini dikenal sebagai malaria. Parasit ini senantiasa mempunyai dua inang dalam siklus hidupnya, yaitu vektor nyamuk dan inang vertebrata. Sekurang-kurangnya 10 spesies menjangkiti manusia. Spesies lainnya menjangkiti hewan lain, termasuk burung, reptilia, dan hewan pengerat (Achmadi, 2014).

Menurut Zulkoni (2010), Plasmodium yang dapat menimbulkan penyakit pada manusia terdapat 4 jenis, yaitu Plasmodium falciparum, Plasmodium vivax,

Plasmodium ovale, dan Plasmodium malariae. Wilayah tropis merupakan daerah

endemik malaria, meskipun penyakit ini dapat dijumpai di daerah-daerah yang terletak diantara 40o Lintang Selatan dan 60o Lintang Utara. Daerah persebaran

Plasmodium ovale lebih terbatas, yaitu Afrika Timur, Afrika Barat, Filipina dan

Irian Jaya.

2.1.1 Gejala Klinis Malaria

Menurut Sorontou (2013), Gejala klinis utama yang disebabkan oleh parasit Plasmodium malaria yang menginfeksi manusia adalah demam, anemia, dan splenomegali.

2.1.1.1 Demam

Demam yang terjadi secara periodik pada infeksi malaria berhubungan dengan masa pemecahan sejumlah skizon matang yang mengeluarkan merozoit, kemudian memasuki aliran darah yang disebut sporulasi. Demam mulai timbul bersamaan dengan pemecahan skizon darah yang mengeluarkan

bermacam-atau limfosit yang mengeluarkan bermacam-macam sitokin, antara lain TNF

(Tumor Necrosis Factor). TNF dapat dibawa aliran darah ke hipotalamus yang

merupakan pusat pengatur suhu dan terjadi demam.

Proses skizoni pada keempat Plasmodium memerlukan waktu yang berbeda-beda. Skizon setiap kelompok menjadi matang setiap 48 jam pada malaria vivax (tersiana) dan malaria falciparum sehingga periodisitas demamnya bersifat tersiana. Skizon menjadi matang setiap 50 jam pada malaria ovale, sedangkan skizon menjadi matang dengan interval 72 jam pada malaria kuartana yang disebabkan oleh Plasmodium malariae. Demam pada Plasmodium

falciparum dapat terjadi setiap hari, sedangkan Plasmodium vivax dan Plasmodium ovale dalam satu hari, dan Plasmodium malariae dalam 2 hari.

Masa tunas intrinsik berakhir dengan timbulnya serangan pertama (firts

attack). Setiap serangan terjadi atas beberapa serangan demam yang timbulnya

secara periodik, bersamaan dengan spoorulasi. Timbulnya demam bergantung juga pada jumlah parasit (pyrogenic level, fever therhold). Berat infeksi pada individu ditentukan dengan hitung jumlah parasit (parasite count) pada sediaan darah. Demam biasanya bersifat intermitten (febris continu). Serangan demam malaria biasanya dimulai dengan gejala prodormal, yaitu lesu, sakit kepala, tidak nafsu makan, kadang-kadang diesertai dengan mual dan muntah. Serangan demam yang khas terdiri dari beberapa stadium, yaitu :

1. Stadium menggigil, stadium menggigil dimulai dengan perasaan dingin sekali, hingga menggigil. Penderita menutupi seluruh tubuhnya dengan baju tebal dan selimut. Nadi penderita cepat, namun lemah, bibir dan jari tangannya menjadi biru, kulit kering dan pucat, kadang-kadang disertai

muntah. Kejang-kejang sering menyertai gejala ini pada anak. Stadium ini berlangsung 15 menit sampai 1 jam.

2. Stadium puncak demam, dimulai saat klien merasa dingin sekali, kemudian berubah menjadi panas sekali. Muka menjadi merah, kulit kering dan terasa panas seperti terbakar, sakit kepala semakin hebat, disertai mual dan muntah, nadi penuh dan berdenyut keras. Perasaan haus sekali, terutama pada saat suhu tubuh naik sampai 41 0C (106 0F) atau lebih. Stadium ini berlangsung selama 2 samapi 6 jam.

3. Stadium berkeringat, stadium berkeringat ini dimulai dengan penderita berkeringat banyak sehingga tempat tidurnya basah. Suhu tubuh turun dengan cepat, kadang-kadang sampai di bawah ambang normal. Penderita biasanya dapat tidur dengan nyenyak, dan saat terbangun penderita merasa lemah, meskipun sehat. Stadium ini berlangsung 2 sampai 4 jam. Serangan demam yang khas ini sering dimulai pada siang hari dan berlangsung 8-12 jam. Setelah itu, terjadi stadium apireksia. Lama serangan untuk gejala demam ini untuk setiap spesies malaria tidak sama. Gejala infeksi yang timbul kembali setelah serangan pertama biasanya disebut relaps.

Relaps dapat bersifat: a) Rekrudesensi (relaps jangka pendek) yang timbul karena parsit dalam darah (daur eritrosit) menjadi banyak. Demam timbul dalam waktu 8 minggu sesudah serangan pertama hilang; b) Rekurens (relaps jangka panjang) yang timbul karena parasit dari hati (daur eksoeritrosit) masuk ke dalam darah dan sendi banyak sehingga demam timbul lagi dalam 24 minggu atau lebih setelah serangan-serangan pertama hilang. Apabila infeksi malaria tidak

periode laten klinis, walaupun ada mungkin parasitemia (parasit di dalam darah) dan parasit tidak dapat ditemukan dalam darah tepi. Akan tetapi, stadium eksoeritrosit masih bertahan dalam jaringan hati. Serangan demam semakin lama semakin berkurang beratnya kerana tubuh manusia dapat beradaptasi dengan adanya parasit di dalam darah dan respons imun (Sorontou, 2013).

Gejala klinis malaria lainnya adalah badan terasa lemas dan pucat karena kekurangan darah dan berkeringat, nafsu makan menurun, mual-mual yang kadang-kadang juga muntah, sakit kepala yang berat dan terus-menerus khususnya infeksi Plasmodium falciparum, jika gejala menahun terjadi pembesaran limpa. Pada anak-anak, makin muda usia gejala klinisnya makin tidak jelas, yang menonjol adalah mencret (diare dan pucat karena anemia karena adanya riwayat/kunjungan ke/ berasal dari daerah endemis malaria) (Depkes RI, 1999).

2.1.1.2 Anemia

Anemia pada penderita malaria terjadi karena pecahnya sel darah merah yang terinfeksi maupun yang tidak terinfeksi. Plasmodium falciparum menginfeksi semua jenis sel darah merah. Anemia dapat terjadi pada infeksi akut dan kronis. Plasmodium vivax dan Plasmodium ovale yang hanya menginfeksi sel darah merah muda yang jumlahnya hanya 21/2 dari seluruh jumlah sel darah merah, sedangkan Plasmodium Malariae menginfeksi sel darah merah tua yang jumlahnya hanya 1% dari jumlah sel darah merah. Anemia yang disebabkan oleh

Plasmodium ovale, Plasmodium vivax, dan Plasmodium malariae umumnya

Derajad anemia tergantung pada spesies parasit Plasmodium yang menyebabkannya. Anemia terutama tampak jelas pada malaria kronis. Jenis anemia yang disebabkan oleh penyakit malaria adalah anemia hemolitik, anemia hormokrom, dan anemia normositik. Pada serangan akut hemoglobin turun secara mendadak (Sorontou, 2013).

2.1.1.3 Splenomegali

Limpa merupakan organ retikuloendotelial. Plasmodium yang menginfeksi organ ini dapat difagosit oleh sel-sel makrofag dan limfosit. Penambahan sel-sel radang ini dapat menyebabkan limpa membesar. Pembesaran limpa merupakan gejala khas terutama pada malaria kronis. Perubahan pada limpa biasanya disebabkan oleh kongesti, tetapi kemudian limpa berubah berwarna hitam karena pigmen yang ditimbun dalam eritrosit yang mengandung parasit dalam kapiler dan sinusoid hati. Eritrosit yang tampaknya normal dan mengandung parasit dan granula hemozoid tampak dalam histiosit di pulpa dan sel epitel sinusoid hati. Pada malaria kronis, jaringan ikat semakin bertambah sehingga konsistensi limpa menjadi keras (Sorontou, 2013).

2.1.2 Masa Inkubasi

Masa inkubasi adalah rentang waktu sejak sporozoit masuk ke tubuh manusia sampai timbulnya gejala klinis yang ditandai dengan demam. Masa inkubasi bervariasi tergantung spesies plasmodium (lihat Tabel 2.1).

Tabel 2.1 Masa Inkubasi Penyakit Malaria

Jenis Plasmodium Masa Inkubasi (rata-rata)

P. Falciparum 9-14 hari (12)

P. Ovale 16-18 hari (17)

P. Vivax 12-17 hari (15)

P. Malariae 18-40 hari (28)

P. Knowlesi 10-12 hari (11)

Sumber: Permenkes RI No. 5 Tahun 2013

2.1.3 Cara Penularan Penyakit Malaria

Penularan penyakit malaria terjadi secara alamiah dan tidak alamiah: 1. Penularan secara alamiah, malaria ditularkan oleh nyamuk Anopheles

betina. Jumlah nyamuk Anopheles sebanyak 80 spesies, dan kurang dari 16 spesies menjadi vektor penyebar malaria di Indonesia. Bila nyamuk

Anopheles betina yang berinfeksi malaria yang mengandung sporozoid

menggigit manusia sehat, orang tersebut akan menderita malaria.

2. Malaria bawaan (kongenital) terjadi pada bayi yang baru dilahirkan karena ibunya menderita malaria dan penularannya melalui plasenta atau tali pusat. Secara mekanik, penularan terjadi melalui transfusi darah atau jarum suntik dan hal ini banyak terjadi pada para morfinis. Penularan peroral atau melalui mulut merupakan cara penularan yang pernah dibuktikan pada burung dan ayam. Pada umumnya, penularan pada manusia juga berasal dari masusia lain yang sakit malaria. Baik asimtomatik maupun simtomatik (Sorontou, 2013).

2.1.4 Pencegahan Malaria

Pencegahan malaria dilakukan terhadap perorangan maupun masyarakat, dengan cara sebagai berikut:

1. Mengobati penderita dan penduduk yang peka dan pendiam di daerah endemik

2. Mengobati karier malaria menggunakan primakuin, karena agens tersebut mampu memberantas bentuk gametosit malaria, akan tetapi hindari penggunaan obat tersebut secara massal karena efek sampingnya

3. Memberi pengobatan profilaksis pada individu yang akan memasuki daerah endemis malaria

4. Memberantas nyamuk Anopheles yang menjadi vektor penularannya menggunakan insektisida

5. yang sesuai, dengan cara memusnahkan sarang nyamuk Anopheles

6. Menghindarkan diri dari gigitan nyamuk dengan menggunakan kelambu jika tidur, atau menggunakan repelent yang diusapkan pada kulit, jika berada diluar rumah pada malam hari (Sorontou, 2013).

2.2 Epidemilogi Malaria

Menurut Sorontou (2013), epidemiologi malaria adalah ilmu yang bertujuan menganalisis berbagai faktor yang berhubungan erat dengan timbulnya masalah penyakit malaria di masyarakat, terutama yang berkaitan dengan penjamu, agen, dan lingkungan. Penangggulangannya disertai dengan survailens penyakit malaria yang lebih mengarah pada pencegahan dan penanggulangan berbagai faktor yang berkaitan erat dengan timbulnya masalah penyakit malaria di masyarakat secara umum dan secara khusus, terbatas pada sasaran individu ataupun lingkungan keluarga saja.

Epidemiologi malaria adalah ilmu yang mempelajari faktor-faktor yang menentukan distribusi malaria pada masyarakat dan memanfaatkan pengetahuan tersebut untuk menanggulangi penyakit tersebut. Setelah ditemukannya insektisida DDT dalam tahun 1936-1939 maka pada tahun 1955-1969 diintensifkan. Namun usaha tersebut hanya berhasil disebagian belahan dunia. Terbatasnya pengetahuan mengenai biologi parasit, vektor, ekologi manusia dan lingkungan menjadi hambatan untuk menanggulangi malaria (Harijanto, 2009).Pendekatan epidemiologi malaria menggunakan interaksi antara tiga faktor:

Host (penjamu), agens (plasmodium), dan environment (lingkungan). Host terbagi

atas dua bagian yakni host definitif yaitu nyamuk Anopheles betina sebagai vektor, dan host intermediated, yakni manusia. Faktor-faktor yang memengaruhi

host intermediated adalah usia, jenis kelamin, ras, sosial, status, riwayat penyakit

sebelumnya, cara hidup, hereditas atau keturunan, status gizi, dan tingkat imunitas. Faktor tersebut penting diketahui karena memengaruhi risiko untuk terpajan oleh sumber penyakit atau penyakit (Sorontou, 2013).

2.2.1 Penjamu Perantara (Manusia)

Hal yang terpenting adalah keberadaan gametosit dalam tubuh manusia sebagai penjamu perantara, yang kemudian dapat meneruskan daur hidupnya dalam tubuh nyamuk. Manusia ada yang rentan (susceptible), yang dapat ditulari dengan malaria, namun terdapat pula yang lebih kebal dan tidak mudah ditulari malaria. Berbagai bangsa atau ras mempunyai kerentanan yang berbeda-beda atau faktor ras. Pada umumnya pandangan baru ke daerah endemis, lebih rentan terhadap malaria daripada penduduk aslinya. Faktor-faktor yang mempengaruhi

penjamu intermediated (manusia) adalah usia, jenis kelamin, ras, sosial ekonomi, status, riwayat penyakit sebelumnya, cara hidup, hereditas (keturunan), status gizi, dan tingkat imunitas.

a. Usia, merupakan faktor yang penting bagi manusia untuk terjadinya penyakit. Penyakit malaria lebih sering menyerang anak-anak dan lanjut usia, karena mereka lebih rentan terhadap penyakit malaria. Selain itu daya imunitas anak belum sempurna, sedang pada lanjut usia, daya imunitas tubuhnya menurun.

b. Jenis kelamin, penyakit malaria dapat menyerang baik laki-laki maupun perempuan, tanpa terkecuali. Akan tetapi, penyakit malaria yang menginfeksi ibu hamil, terutama parasit malaria falsiparum dapat menyebabkan anemia berat dengan kadar hemoglobin yang kurang dari 5%.

c. Ras, pengaruh perbedaan ras terhadap timbulnya penyakit biasanya disebabkan oleh perbedaan cara hidup, kebiasaan sosial, dan nilai-nilai sosial serta terkadang keturunan dan daerah tempat tinggal.

d. Riwayat penyakit sebelumnya, bagi mereka yang pernah menderita penyakit malaria dan tidak berobat sampai sembuh, penyakit malaria ini akan kambuh atau relaps bila kondisi tubuh menurun.

e. Cara hidup, ini dipengaruhi oleh keadaan sosial ekonomi, tingkat pendidikan, ras atau golongan etnis. Kebiasaan hidup di luar rumah mempunyai peluang lebih besar digigit nyamuk Anopheles dibandingkan di dalam rumah.

f. Sosial ekonomi, keadaan sosial ekonomi erat hubungannya dengan cara hidup. Apabila keadaan sosial ekonominya cukup, cara memilih sandang, papan dan panganpun cukup. Dengan demikian individu tersebut tidak mudah terinfeksi oleh parasit malaria.

g. Hereditas, pengaruh faktor keturunan berkaitan dengan ras atau golongan etnis.

h. Status gizi, faktor gizi sangat mempengaruhi penderita yang terinfeksi oleh parasit malaria. Individu yang memiliki gizi baik akan mempunyai daya imunitas tubuh yang kuat sehingga parasit dapat mati di dalam tubuh. Sebaliknya, jika gizinya buruk, parasit malaria akan berkembang dengan cepat di dalam tubuh dan dapat menyebabkan kematian, terutama malaria berat.

i. Imunitas, faktor imunitas sangat mempengaruhi serangan penyakit malaria, karena bila imunitasnya baik atau sempurna, penyakit malariapun tidak akan berkembang.

Faktor manusia lainnya adalah angka kematian yang tinggi akibat malaria, angka kesembuhan sesudah menderita malaria, status kekebalan populasi terhadap penyakit ini, dan lingkungan hidup serta cara hidup penduduk di daerah malaria (Sorontou,2013).

2.2.2 Host Definitif (Nyamuk Anhopeles)

Nyamuk Anopheles hidup terutama di daerah tropik dan subtropik, namun biasa juga hidup di daerah beriklim sedang dan bahkan di daerah Antartika. Nyamuk Anopheles jarang ditemukan pada ketinggian dataran lebih

dari 2000-2500 m. Sebagian besar nyamuk ditemukan di dataran rendah (Sorontou, 2013).

Faktor yang harus mempengaruhi nyamuk dan harus diperhatikan adalah tempat berkembang biak nyamuk (breeding places), panjang umur nyamuk, dan efektivitas sebagai vektor penular, serta jumlah spoorozoit yang diinokulasi setiap kali menghisap darah penderita donor maupun resipien. Efektivitas vektor untuk menularakan malaria ditentukan oleh kepadatan vektor dekat permukiman manusia, kesukaan menghisap darah manusia atau antropofilik, frekuensi menghisap darah yang bergantung pada suhu, jika suhu panas nyamuk akan sering menggigit manusia, lamanya sporogoni (berkembanganya parasit dalam nyamuk sehingga menjadi infektif), laman Nyamuk di seluruh dunia meliputi kira-kira 2000 spesies, sedangkan hidup nyamuk harus cukup untuk sporogoni dan cara menginfeksinya berdea-beda tergantung pada spesiesnya. Kebiasaan nyamuk Anopheles betina menggigit pada waktu senja dan subuh, dengan jumlahnya yang berdeda-beda bergantung pada spesiesnya (Sorontou, 2013).

Kebiasaan makan dan istirahat nyamuk dapat dibagi menjadi : 1. Endofili, kesukaan nyamuk tinggal dalam rumah atau bangunan 2. Eksofili, kesukaan nyamuk tinggal di luar rumah

3. Endofagi, menggigit dalam rumah atau bangunan 4. Eksofagi, menggigit di luar rumah atau bangunan 5. Antripofili, suka menggigit manusia

Jarak terbang nyamuk terbatas, biasanya tidak lebih dari 2-3 km dari tempat perindukannya (bleeding place). Apabila kecepatan angin kuat, nyamuk dapat terbawa sejauh 30 km. Nyamuk dapat tebawa pesawat terbang atau kapal laut dan menyebarkan penyakit malaria ke daerah yang non endemik (Sorontou, 2013).

2.2.2.1Vektor

Nyamuk jenis ini yang dapat menularkan malaria dalah kira-kira 60 spesies. Di Indonesia menurut pengamatan terakhir ditemukan kembali 80 spesies , sedangkan yang ditemukan sebagai vektor malaria adalah 16 spesies dengan tempat perindukannya yang berbeda-beda. Di Jawa dan Bali Anopheles

sundaicus dan Anopheles aconitus merupakan vektor utama, sedangkan Anopheles subpictus dan Anopheles maculatus merupakan vektor sekunder.

Vektor penting yang ditemukan di Sumatera adalah Anhopeles

sundaicus, Anopheles maculatus, dan Anopheles nigerrimus, sedangkan

sinensis dan letifer merupakan vektor yang tidak penting. Anopheles

sundaicus dan Anopheles subpictus banyak terdapat di daerah pantai,

sedangkan Anopheles aconitus dan Anopheles maculatus banyak terdapat di daerah pedalaman (Sorontou, 2013).

Di dunia terdapat 422 spesies nyamuk dan ada sekitar 67 spesies yang telah dikonfirmasi memiliki kemampuan menularkan penyakit malaria. Di Indonesia sendiri telah diidentifikasi ada 90 spesies, dan 22 (ada yang menyebutnya 16) di antarannya telah dikonfirmasi sebagai nyamuk penular

malaria. Mereka memiliki habitat mulai dari rawa-rawa, pegunungan, sawah, pantai dll (Harijanto, 2009).

Menurut Achmadi (2005), peran nyamuk sebagai vektor penular malaria tergantung kepada beberapa faktor antara lain:

1. Umur nyamuk

Diperlukan waktu untuk perkembangbiakan gametosit dalam tubuh nyamuk menjadi sporosoit yakni bentuk parasit yakni bentuk parasit yang siap menginfeksi manusia sehat. Apabila umur nyamuk lebih pendek dari proses sporogoni, yakni replikasi parasit dalam tubuh nyamuk (sekitar 5-10 hari), maka dapat dipastikan bahwa nyamuk tersebut tidak dapat menjadi vektor. 2. Peluang kontak dengan manusia

Tidak selamanya nyamuk memiliki kesempatan kontak dengan manusia, apalagi nyamuk di daerah hutan. Namun harus diwaspadai pada nyamuk yang memiliki sifat zoofilik, meskipun lebih suka menghisap darah binatang, bila tidak dijumpai ternak juga menggigit manusia. Pada kesempatan inilah nyamuk yang siap dengan sporozit dengan kelenjar ludahnya, menular ke manusia. Peluang kontak dengan manusia, merupakan kesempatan untuk menularkan atau menyuntikkan sporozoit ke dalam darah manusia.

3. Frekuensi menggigit seekor nyamuk

Semakin sering seekor nyamuk yang mengandung menggigit, maka semakin besar kemungkinan dia menularkan penyakit malaria.

Nyamuk yang terlalu banyak parasit dalam perutnya tentu biasanya melebihi kapasitas perut nyamuk itu sendiri, perut biasanya meletus dan mati karenanya.

5. Ketersediaan manusia di sekitar nyamuk

Nyamuk memiliki kebiasaan menggigit di luar maupun di dalam rumah pada malam hari. Setelah menggigit, beristirahat di dalam rumah maupun di luar rumah.

6. Kepadatan nyamuk

Umur nyamuk serta pertumbuhan gametosit di dalam perutnya, dipengaruhi suhu. Suhu lingkungan yang dianggap kondusif berkisar antara 25-30 0C dan kelembaban udara 60-80 %. Kalau kepadatan populasi nyamuk terlalu banyak, sedangkan ketersediaan pakan misalnya populasi hewan atau manusia di sekitar tidak ada, maka akan merugikan populasi nyamuk itu sendiri. Sebaliknya bila pada satu wilayah populasi cukup padat, maka akan meninggalkan kapasitas vektorial yang kemungkinan nyamuk terinfeksi akan lebih banyak.

7. Lingkungan

Faktor lingkungan sangat berperan dalam timbulnya nyamuk sebagai vektor penular penyakit malaria. Faktor-faktor tersebut antara lain, lingkungan fisik, seperti suhu udara yang mempengaruhi panjang pendeknya masa inkubasi ekstrinsik, yakni pertumbuhan fase sporogoni dalam perut nyamuk. Kelembaban udara yang rendah akan memperpendek umur nyamuk. Hujan yang diselingi panas semakin baik untuk kemungkinan perkembangbiakannya, sedangkan pengaruh sinar matahari terhadap pertumbuhan larva nyamuk

berbeda-beda contohnya Anopheles sundaicus lebih suka tempat teduh dan oleh sebab itu pada musim hujan populasi nyamuk ini berkurang. Faktor lain, adalah arus air. Adapun variabel lingkungan lainnya adalah lingkungan kimiawi, sebagai contoh salinitas. Ternyata Anopheles sundaicus memiliki kadar garam dalam air yang kondusif bagi pertumbuhan antara 12%-18%. Lingkungan biologik juga berperan dalam perkembangbiakan vektor penular malaria, misalnya adanya lumut, ganggang berbagai tumbuhan air yang membuat Anopheles sundaicus dapat berkembang biak (Achmadi,2014). 2.2.3 Agent (Parasit Plasmodium)

Agent adalah spesies parasit Plasmodium yang menyebabkan penyakit malaria. Spesies penyakit malaria tetap hidup dan berkembang dan harus ada di dalam tubuh manusia. Penularan malaria bermula dari stadium gametosit dalam tubuh manusia, yang kemudian dapat membentuk stadium infektif atau sporozoid di dalam nyamuk. Sifat spesies parasit berbeda-beda dari satu daerah dan daerah lain. Hal itu dapat mempengaruhi terjadinya manifestasi klinis. Masa infektif

Plasmodium falciparum paling pendek, namun menghasilkan parasitemia paling

tinggi, gejala paling berat, dan masa inkubasi paling pendek.

Gametosit Plasmodium falciparum baru berkembang setelah 8-15 hari sesudah parasit masuk ke dalam darah. Gametosit Plasmodium falciparum menunjukkan periodisitas dan efektivitas yang berkaitan dengan kegiatan menggigit vektor Plasmodium vivax dan Plasmodium ovale. Umumnya, jumlah parasitemia yang diakibatkannya rendah. Saat ini, telah banyak ditemukan

Di Indonesia terdapat 4 spesies Plasmodium, yaitu :

1) Plasmodium vivax, memiliki distribusi geografis terluas, termasuk wilayah

Dokumen terkait