• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

6.2. Saran

Adapun saran yang diberikan adalah sebagai berikut:

1. Bagi penelitian selanjutnya dengan masalah yang sama diharapkan agar rancangan penelitian yang lebih memperdalam cakupan penelitiannya dengan sampel yang lebih banyak.

2. Bagi Rumah Sakit selanjutnya dengan masalah yang sama diharapkan agar dapat melengkapi data rekam medis yang lebih valid sehingga untuk penelitian selanjutnya dapat bermanfaat dalam perkembangan ilmu pengetahuan pada umumnya, dibidang kedokteran dan kesehatan pada khususnya.

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sepsis

2.1.1. Definisi

Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS) adalah respon tubuh secara klinis terhadap inflamasi, yang termasuk dua atau lebih dari gejala berikut: Temperatur >38° C atau <36° C, Denyut jantung >90x/menit, Laju pernafasan >20x/menit atau Pa02 <32 mmHG, Hitung lekosit >12.000/mm3 atau <4.000/mm3, atau >10% neutrofil yang imatur (Tazbir, 2012; Perman, Goyal, & Gaieski, 2012). Sepsis adalah respon tubuh terhadap adanya infeksi yang timbul bersama dengan manifestasi klinis dari suatu infeksi sistemik. Sepsis berat (severe sepsis) didefinisikan sebagai sepsis dengan disfungsi organ atau hipoperfusi jaringan (Dellinger, et al., 2013), sedangkan dikatakan syok septik (septic shock) apabila hipotensi tidak dapat dikompensasi setelah dilakukan resusitasi cairan (Napitupulu, 2010).

Tubuh memiliki respon terhadap invasi terhadap mikroba, respon ini dapat berupa respon lokal atau respon sistemik. Respon sistemik ini disebut SIRS (Systemic Inflammatory Response Syndrome), yang memiliki ciri-ciri klasik berupa: demam atau hipotermi, leukositosis atau leukopenia, takipnu dan takikardi. SIRS dengan infeksi (yang dicurigai atau terbuktikan) disebut sebagai sepsis (Munford dalam Fauci, 2008).

2.1.2. Epidemiologi dan Faktor Resiko

Menurut sebuah tinjauan tahun 2009, dari data pasien internasional yang menderita sepsis, dengan data lebih dari 11.000 pasien dari 37 negara. Dari pasien tersebut, 57% mengalami infeksi bakteri gram negatif, 44% mengalami

Paru-paru adalah sumber utama daripada infeksi pada 47% pasien, diikuti dengan abdomen 23%, saluran kemih 8%. Sebagian pasien memiliki komorbiditas (comorbidities), termasuk diabetes (24%), penyakit paru kronis atau kanker (16%), gagal jantung kongestif (congestive heart failure) (14%), dan penurunan fungsi ginjal (11%). Mortalitas daridatabaseadalah mendekati 50%, yang menunjukkan sepsis masih bertahan sebagai sindroma yang mematikan (Stearns-Kurosawa, et al., 2013).

Faktor resiko untuk mengembangkan sepsis bergantung pada munculnya kondisi komorbiditas yang berasosiasi dengan penurunan sistem imun dan atau dengan terapi imunosupresif. Tempat terjadinya infeksi primer dan jenis mikroba tertentu yang menginfeksi memainkan peran tambahan, dimana faktor genetik mungkin jugalah penting. Usia lanjut, penurunan fungsi limpa, alkoholisme dengan penyakit hati yang signifikan, penyakit ginjal kronik, penggunaan obat secara intravena, malnutrisi, infeksi HIV, diabetes mellitus dan keganasan merupakan predisposisi untuk infeksi spesifik, sering dengan peningkatan keparahan. Kemoterapi kanker, terapi imunosupresif setelah transplantasi organ dan terapi pengguanaan steroid yang lama juga meningkatkan resiko terjadinya sepsis (Taljaard, 2010).

2.1.3. Etiologi

Sepsis dapat disebabkan oleh infeksi bakteri, virus, jamur, protozoa, atau riketsia (Powell dalam Behrman, 1996). Menurut Uthman (1997), sepsis dapat disebabkan oleh bakteri, virus, jamur dan parasit.

Menurut Munford dalam Fauci (2008), kultur darah dapat mendeteksi bakteri atau jamur pada 40-70% kasus syok septik dan 20-40% pada kasus sepsis berat. Bakteri gram negatif atau gram positif mencakup 70% dari kasus sepsis jika gagal terdeteksi, harus dilakukan tes mikroskopik pada jaringan lokal.

2.1.4. Patogenesis

Sekarang diduga bahwa SRRS (Sindrom Respon Radang Sistemik) disebabkan oleh sepsis, akibat dari cedera jaringan pasca-respons hospes terhadap produk-produk bakteri misalnya endotoksin dari bakteri gram-negatif dan kompleks asam lipoteikoat-peptidoglikan dari bakteri gram-positif. Manifestasi kardiopulmonal pada sepsis gram-negatif (H.influenza, N.meningitidis, E.coli, Pseudomonas) dapat ditiru dengan injeksi endotoksin atau faktor nekrosis tumor (FNT). Hambatan kerja FNT oleh antibodi monoclonal anti-FNT sangat memperlemah manifestasi syok septik pada model percobaan. Bila komponen dinding sel bakteri dilepaskan ke dalam aliran darah, sitokin teraktivasi, dan selanjutnya dapat menyebabkan kekacauan fisiologis lebih lanjut. (Gambar 2.1). Jumlah sitokin yang terkait dengan SRRS terus bertambah dan sekarang mencakup faktor nekrosis tumor (FNT), interleukin (IL)-1, -6 dan -8, faktor pengaktif-trombosit (platelet-activating factor= PAF) dan interferon (Powell dalam Behrman, 1996).

Baik sendirian ataupun dalam kombinasi, produk-produk bakteri dan sitokin proradang memicu respons fisiologis untuk menghentikan penyerbu (invader) mikroba. Respons ini adalah:

1. Aktivasi sistem komplemen

2. Aktivasi faktor Hageman (faktor XII), yang kemudian mencetuskan tingkatan-tingkatan koagulasi

3. Pelepasan hormon adrenokortikotropin dan beta-endorfin, 4. Rangsangan neutrofil polimorfonuklear

jaringan. Aktivitas mediator radang atau respons yang berlebihan berperan dalam pathogenesis sepsis (Powell dalam Behrman, 1996).

2.1.5. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis sepsis meliputi tiga dari kriteria SIRS, suhu tubuh >38.0°C atau <36.0°C, takikardi (denyut jantung lebih dari 90x/menit), dan takipnu (laju pernafasan lebih dari 20x/menit, hasil hitung leukosit lebih dari 12.000/mm3 atau kurang dari 4.000/mm3 atau lebih dari 10% sel yang imatur yang merupakan kriteria dari SIRS yang keempat (Perman, Goyal, & Gaieski, 2012).

Dari skenario sebelumnya, ditambah dengan tanda-tanda disfungsi organ tingkat akhir yang diakibatkan oleh ketidakmampuan dari mikrovaskular dan perfusi yang miskin, mendefinisikan sepsis berat. Dimanfaatkan teknik pencitraan polarisasi spektral orthogonal menetapkan bahwa mikrosirkulasi sublingual pada pasien septik terganggu dibandingkan dengan relawan yang sehat dan pasien kritis non-septik. Selain itu, proporsi perfusi pembuluh darah kecil langsung berkorelasi dengan kelangsungan hidup, di mana pasien yang selamat memiliki tingkat perfusi yang lebih tinggi. Perfusi yang buruk di otak dapat mengakibatkan perubahan status mental, perfusi yang buruk di ginjal dapat menyebabkan oliguria atau anuria, perfusi jantung yang buruk dapat mengakibatkan depresi miokard, penurunan curah jantung, dan hipotensi atau tanda-tanda kegagagalan jantung, kulit mungkin berbintik-bintik, disfungsi paru dapat mengakibatkan cedera paru akut atau sindroma gangguan pernapasan akut (Perman, Goyal, & Gaieski, 2012).

Syok septik adalah bagian dari sepsis berat yang ditandai oleh hipotensi yang tidak responsif terhadap resusitasi cairan. Sepsis yang diinduksi hipotensi didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik (Systolic Blood Pressure) yaitu kurang dari 90 mmHg atau pengurangan yang lebih

meninggal karena sepsis masih tidak diketahui dengan jelas (Perman, Goyal, & Gaieski, 2012).

2.1.6. Diagnosis

Tidak ada uji diagnostik yang khusus untuk respon septik. Parameter klasik septik adalah temuan klinis sensitif untuk infeksi dan termasuk demam atau hipotermi, takipnu, takikardi, dan lekositosis atau leukopenia. Dalam status mental akut, trombositopenia, peningkatan serum laktat dan hipotensi meningkatkan kecurigaan klinis terhadap sepsis. Respon septik bisa bervariasi dan pasien dengan sepsis mungkin saja tidak disertai dengan beberapa temuan klinis yang khas. Sebaliknya, pasien mungkin disertai dengan semua gejala klinis dari inflamasi sistemik, tapi tidak disetai dengan penyebab infeksi (Taljaard, 2010).

SIRS Non Infeksi dapat terjadi dengan beberapa etiologi, sebagai berikut: pankreatitis, terbakar, trauma, infark miokardiak, emboli paru, aneurisma pembedahan aorta, cardiac tamponade, insufisiensi adrenal, anafilaksis, dan overdosis obat-obatan (Taljaard, 2010).

Diagnosis etiologi pasti membutuhkan isolasi dari mikroorganisme. Setidaknya 2 sampel kultur darah harus diperoleh dari vena yang berbeda. Invasi mikroba pada aliran darah tidaklah selalu harus ada untuk berkembang menjadi sepsis, karena infeksi lokal juga dapat menyebabkan respon inflamasi sistemik dengan disfungsi organ. Oleh karena itu sangatlah penting untuk melakukan kultur dengan bahan kultur didapat dari tempat infeksi utama atau dari lesi kulit yang terinfeksi. Hasil kultur sering menunjukkan hasil negatif, meskipun tanda infeksi bersifat pasti. Kultur negatif dapat terjadi karena penggunaan antibiotika belakangan ini, dengan pertumbuhan yang lambat atau tidak adanya invasi pada aliran darah

disfungsi organ, dan variabel perfusi jaringan. Pada variabel umum, terdapat demam (> 38°C), hipotermi (temperatur inti < 36°C), denyut jantung > 90x/menit, takipnu, perubahan status mental, edema signifikan atau keseimbangan cairan positif (> 20mL/kg melebihi 24 jam), hiperglikemi (glukosa plasma > 140mg/dL atau 7.7 mmol/L) tanpa diabetes. Pada variabel inflamasi, terdapat leukositosis (hitung lekosit > 12000 μL), leukopenia (hitung lekosit < 4000μL), hitung lekosit normal dengan lebih dari 10% bentuk yang imatur, plasmaC-Reactive Proteinlebih dari dua sd diatas nilai normal, plasma procalcitonin lebih dari dua sd diatas nilai normal. Pada variabel hemodinamik, terdapat hipotensi arterial (SBP < 90 mmHg, MAP < 70 mmHg, atau SBP berkurang > 40 mmHg pada dewasa atau kurang dari dua sd. Pada variabel disfungsi organ, terdapat hipoksia arterial (PaO2/FiO2 < 300), oligouria akut (output urine < 0,5 mL/kg/hari minimal 2 jam meskipun resusitasi cairan adekuat), peningkatancreatinine (> 0.5 mg/dL atau 44,2 μmol/L), abnormalitas koagulasi (INR > 1.5 atau aPTT > 60 detik), ileus, trombositopenia (< 100.000μL), hiperbilirubinemia (bilirubin plasma total > 4 mg/dL atau 70 μmol/L). Pada variabel perfusi jaringan, terdapat hiperlaktatnemia (> 1 mmol/L) dan penurunan pengisian kapiler atau bintik-bintik (Dellinger et al., 2013)

2.1.7. Hasil Pemeriksaan Laboratorium

Abnormalitas awal termasuk leukositosis atau leukopenia, trombositopenia (sampai dengan 30% pasien), dan proteinuria. Neutrofil mungkin mengandung granulasi beracun atau vakuola sitoplasma. Dengan progresi dari respon septik, trombositopenia menjadi lebih berat (<50.000) dan jika disertai dengan perpanjangan waktu trombin (thrombin time), penurunan fibrinogen dan peningkatan D-dimer adalah sugestif dari DIC. Hemolisis aktif dengan fragmen pada hapusan darah memperkuat diagnosis

berkepanjangan dapat menyebabkan elevasi yang ditandai dengan transaminase karena nekrosis hepatosit iskemik (Taljaard, 2010).

Selama respon septik, jaringan tidak dapat mengekstraksi oksigen dari darah seperti biasa, yang kemudian mengakibatkan metabolisme anerobik. Kadar laktat darah meningkat pada awal dan akhirnya berlanjut menjadi asidosis metabolik. Hiperglikemi sering muncul, kebanyakan pada penderita diabetes, dan mungkin juga memicu ketoasidosis diabetik. Hiperventilasi selama awal sepsis bisa menyebabkan alkalosis respiratorik, tetapi ini akan segera diganti dengan asidosis metabolik (dengan peningkatan anion gap) dikarenakan kelelahan pernafasan dan hiperlaktatnemia (Taljaard, 2010).

Hasil respon fase akut menunjukkan peningkatan produksi dari C-reactive protein, ferritin, fibrinogen dan komponen komplemen. Temuan foto polos dada bervariasi dari normal sampai konsolidasi pneumonia ke kelebihan cairan dan infiltrat difus dari sindroma gangguan pernapasan akut (Acute Respiratory Distress Syndrome), tergantung pada proses penyakit yang mendasari. EKG biasanya menunjukkan sinus takikardi dan terkadang beberapa kelainan gelombang ST-T nonspesifik (Taljaard, 2010).

2.2. Jenis bakteri penyebab infeksi

2.2.1. Cara untuk membedakan jenis bakteri

Kriteria yang sesuai dengan tujuan untuk mengklasifikasi bakteri meliputi banyak cara. Informasi bernilai dapat didapatkan melalui mikroskop, yaitu mengobservasi bentuk sel dan ada atau tidaknya struktur spora ataupun flagella. Prosedur pewarnaan seperti pewarnaan Gram bisa menjadi penaksiran yang dapat diandalkan dari lapisan sel yang alamiah. Sebagian bakteri memproduksi pigmen-pigmen ber-karakteristik tertentu,

zona yang bebas dari kumpulan koloni yang tumbuh di substrat yang tak larut (Morse dalam Brooks, 2007).

Prosedur pewarnaan Gram pada awalnya dikembangkan oleh dokter dari Denmark. Hans Christian Gram membedakan pneumokokus dengan Klebsiella pneumonia. Secara singkat, prosedur melibatkan penerapan larutan yodium ke sel yang sebelumnya diwarnai dengan kristal violet atau gentian violet. Prosedur ini menghasilkan "ungu berwarna kompleks yodium" dalam sitoplasma bakteri. Sel-sel yang sebelumnya diwarnai dengan kristal violet dan yodium yang selanjutnya diperlakukan dengan agen peluntur warna seperti etanol 95% atau campuran aseton dan alcohol (Gram stain Technique,2001).

Perbedaan antara bakteri Gram-positif dan Gram-negatif adalah dalam permeabilitas dinding sel, dengan "ungu berwarna kompleks yodium" ketika diberikan dengan pelarut peluntur warna. Sementara bakteri Gram-positif mempertahankan ungu kompleks iodin setelah diberikan dengan agen peluntur warna, bakteri Gram-negatif tidak dapat mempertahankan kompleks warna ketika dilunturkan. Untuk memvisualisasikan bakteri gram negatif yang tak mempertahankan warna, pewarna kontra merah seperti safranin digunakan setelah dilakukan pelunturan warna (Gram stain Technique,2001).

Gambar 2.2 Gambaran kokus gram positif dan basil gram negatif pada pewarnaan Gram (Gram Stain Technique, 2001)

2.2.2. Bakteri Gram Positif

Kelompok bakteri ini memiliki profil dinding sel tipe gram positif. Sel mungkin berbentuk bulat, batang, atau filamen (Gambar 2.3); batang dan filamen mungkin saja tidak bercabang, atau mungkin saja menunjukkan percabangan. Reproduksi umumnya dengan cara pembelahan biner.

2.2.3. Bakteri Gram Negatif

Kelompok bakteri heterogen yang memiliki amplop sel kompleks yang terdiri dari membran luar, dalam, dan peptidoglikan tipis (yang mengandung asam muramik dan terdapat di semua, namun beberapa organisme telah kehilangan bagian dari amplop sel ini), dan sebuah membran sitoplasma. Bentuk sel (Gambar 2.3) bisa bulat, oval, lurus atau batang melengkung, heliks, atau filamen; beberapa bentuk ini mungkin memiliki sarung atau kapsul. Reproduksi adalah dengan cara pembelahan biner, tetapi beberapa kelompok bereproduksi dengan carabudding(Morse dalam Brooks, 2007)

(A) Kokus, (B) Batang, (C) Spiral

Gambar 2.3 Bentuk dari Bakteri (Morse, 2007) 2.3. PROCALCITONIN

2.3.1. Biokimia dan Patofisologi 2.3.1.1.Biokimia

Procalcitonin pertama kali disebutkan sebagai protein yang diasosiasikan dengan sepsis pada tahun 1993. Protein ini terdiri dari 116 asam amino dan dapat dideteksi didalam plasma ketika sepsis, infeksi, dan reaksi

juga berasal dari sel-sel yang berbeda, yaitu sintesis primernya oleh C-cellsdi kelenjar adrenal dan sebagian oleh hormon aktif neuroendrokrin di organ-organ lain. Selain prohormon yang lengkap (116 asam amino), fragmen dari procalcitonin yang berbeda juga muncul di plasma. Pertama, didalam plasma terdapat bentuk N-terminal yang terdiri dari 2 sampai 114 asam amino dengan enzym dipeptidyl peptidase IV, yang bersifat tidak aktif. Kedua, fragmen procalcitonin dengan panjang yang bervariasi, termasuk rangkaian calcitonin yang berhubungan dengan ujung terminal dari molekul N- atau C- (Meisner, 2010).

2.3.1.2.Mekanisme induksi PCT

Induksi dari PCT diatur dengan sangat teliti, memerlukan tahap-tahap yang berbeda untuk aktivasi (gambar 2.4). Tidak seperti sitokin-sitokin, proses untuk pelekatan dan komunikasi antara sel memegang peran, bersamaan dengan progresi pengaktifan yang tergantung waktu. Regulasi yang sangat teliti dari induksi bisa menjadi salah satu sebab untuk tingginya spesifisitas dari marker, yang korelasi antara konsentrasi plasma dengan tingkat keparahan atau derajat inflamasi yang baik (Meisner, 2010).

Monosit yang disirkulasi juga memproduksi PCT setelah stimulasi dari endotoksin konsentrasi tinggi. Hanya sel-sel yang melekat memperlihatkan produksi PCT yang signifikan. Ini hanya berlangsung selama beberapa jam. Hanya kontak langsung dari sel-sel monosit dengan sel-sel parenkim, menunjukkan sampai saat ini hanya untuk adiposity, mengarah untuk memproduksi PCT di sel-sel tersebut dengan komunikasi antar sel (Meisner, 2010).

Gambar 2.4. Induksi dan efek biologis dari PCT (Meisner, 2010) 2.3.2. Stabilitas PCT

PCT memiliki beberapa karakteristik yang mendukung kegunaannya dibeberapa prosedur rutin. Contohnya, PCT di sampel darah adalah protein yang relatif stabil, juga dapat diambil menjadi sampel untuk pengukuran bersama dengan pemeriksaan darah rutin lainnya. Di dalam tubuh, waktu paruh dari protein yang tidak aktif dalam sirkulasi dapat dideteksi lebih kurang 24 sampai 35 jam. Waktu induksi yaitu 4 sampai 12 jam, yaitu lebih lama daripada sitokin, tetapi lebih singkat secara signifikan daripada CRP (Meisner, 2010).

2.3.3. Metode pengukuran kadar PCT

dibutuhkan sampai hasil PCT keluar adalah 19 menit sampai 2,5 jam (Meisner, 2010).

2.3.4. Sifat Induksi dan Eliminasi PCT

Induksi PCT sangatlah cepat, dapat dideteksi didalam sirkulasi hanya dalam waktu 2 sampai 6 jam setelah stimulus yang adekuat. Konsentrasi plasma yang signifikan secara umum dicapai setelah kira-kira 6 jam, dengan kadar puncak setelah terjadi 12 sampai 48 jam. Dengan waktu paruh sekitar 20 sampai 30 jam, berkurang lagi setelah beberapa hari. Perbandingan induksi dan waktu pengurangan PCT dengan marker lain dapat dilihat di gambar 2.5 (Meisner, 2010).

Gambar 2.5 Perbandingan induksi dan waktu pengurangan PCT dengan marker lain (Meisner, 2010)

2.3.5. Apa saja yang menyebabkan PCT meningkat 2.3.5.1.Infeksi bakteri dan sepsis

Infeksi bakteri menginduksi PCT dalam konsentrasi yang terukur sesaat setelah respon inflamasi (lokal ataupun sistemik) terjadi,

inflamasi sistemik. Peningkatan kadar PCT mengindikasikan resiko yang nyata pada pasien. Infeksi bakteri lokal yang sederhana, dibeberapa kasus, mungkin saja tidak selalu menginduksi PCT, dan apabila ada, hanya menginduksi kadar PCT dalam jumlah yang sangat sedikit (Meisner, 2010).

2.3.5.2.Peningkatan PCT dengan penyebab non Bakteri

PCT dapat diinduksi tanpa adanya infeksi bakteri, ini dapat terjadi pada kejadian traumatis parah atau di situasi, terlepas dari fokus bakteri spesifik, dibebani oleh endotoxin didalam tubuh, misalnya setelah prosedur operasi abdomen, trauma abdomen, masalah sirkulasi mikro umum yang berat dengan persyaratan katekolamin tinggi, pankreatitis berat, atau kerusakan hepar yang berat. Bahkan infeksi jamur yang berat juga dapat menginduksi PCT. Dengan contoh, candidiasis dengan kadar PCT lebih dari 5ng/mL. Apabila kadar PCT tidak memberikan respon terhadap terapi antibiotik, maka bisa diindikasikan sebagai suatu infeksi jamur (Meisner, 2010).

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

Sepsis adalah salah satu penyebab kematian yang paling banyak pada pasien di rumah sakit. Angka kematian akibat sepsis berada dalam kisaran yang sama dengan infark miokardiak. Di Amerika Serikat, tingkat rawat inap pasien dengan sepsis atau septicemia meningkat sebesar 70% dari 221 (tahun 2001) menjadi 377 (tahun 2008) per 100.000 penduduk, dan kejadian sepsis pasca operasi meningkat tiga kali lipat dari 0,3% menjadi 0,9% (Reinhart, et al., 2012).

Marker-marker tradisional untuk inflamasi sistemik, seperti CRP, Laju Endap Darah (LED) dan hitung leukosit telah terbukti keterbatasannya. Selain itu, kultur mikroorganisme, yang merupakan baku emas metode diagnostik untuk sepsis yang konvensional, sering memakan waktu yang lama sehingga tidak mencerminkan respon pasien terhadap inflamasi sistemik atau timbulnya disfungsi organ, dan kadang-kadang menyesatkan dengan laporanfalse positive atau false negative. Karena adanya kelemahan dari kedua ini, baik kultur maupun test darah yang tersedia, maka para peneliti menjadi terdorong untuk mencari marker yang lebih spesifik dan sensitif. Dan dalam beberapa tahun terakhir, PCT telah sering dipakai sebagai marker awal yang spesifik untuk inflamasi sistemik, infeksi dan sepsis, baik pada anak-anak maupun dewasa (Nargis, Ibrahim, & Ahamed, 2014).

Kadar procalcitonin dapat meningkat 1000 kali lipat pada saat terjadinya infeksi akut (Nelson, Mave, & Gupta, 2014). Sekarang biomarker ini banyak digunakan dalam Eropa, dan baru-baru ini telah disetujui oleh FDA di Amerika Serikat untuk diagnosis dan pemantauan sepsis serta evaluasi respon inflamasi sistemik dibidang klinis (Nargis, Ibrahim, & Ahamed, 2014).

bacteremia yang disebabkan oleh bakteri gram negatif, nilai tengahnya 39.00 ng/mL sedangkan untuk bakteri gram positif 5.42 ng/mL.

Dari uraian diatas, masih sangat sedikit penelitian yang menghubungkan antara procalcitonin dengan bakteri penyebab infeksi. Dan di RSUP-HAM belum ada penelitian yang mengenai hubungan kadar procalcitonin dengan jenis bakteri penyebab infeksi pada sepsis. Oleh karena itu peneliti ingin melakukan penelitian di RSUP H. Adam Malik.

1.2.Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dari latar belakang, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah Apakah ada hubungan kadar procalcitonin dengan jenis bakteri penyebab infeksi pada sepsis di RSUP H. Adam Malik tahun 2014.

1.3.Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan kadar procalcitonin dengan jenis bakteri penyebab infeksi pada sepsis.

1.3.2. Tujuan Khusus

1. Mengetahui kadar procalcitonin pada sepsis yang disebabkan oleh bakteri gram positif

2. Mengetahui kadar procalcitonin pada sepsis yang disebabkan oleh bakteri gram negatif

1.4.Manfaat Penelitian 1.4.1. Bagi Peneliti:

Penelitian ini dapat meningkatkan pengetahuan dan pengalaman peneliti dalam melakukan penelitian.

1.4.2. Bagi Masyarakat Kedokteran

Memberikan gambaran bagi klinisi, hubungan antara procalcitonin dengan jenis bakteri penyebab infeksi, sehingga dapat digunakan sebagai acuan dalam pemberian antibiotik secara empiris.

1.4.3. Bagi Penelitian Selanjutnya:

Sebagai referensi untuk penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan procalcitonin maupun jenis bakteri penyebab infeksi pada sepsis.

ABSTRAK

Sepsis adalah suatu kondisi dimana terjadi reaksi peradangan sistemik yang dapat disebabkan oleh invasi bakteri, virus, jamur atau parasit. Di Amerika Serikat, kejadian sepsis pasca operasi meningkat tiga kali lipat dari 0,3% menjadi 0,9%. Diagnosa sepsis dapat ditegakkan dengan pemeriksaan marker-marker, seperti procalcitonin, CRP, Laju Endap Darah (LED) dan hitung leukosit, dan baku emas adalah kultur mikroorganisme.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan kadar procalcitonin dengan jenis bakteri penyebab sepsis. Jenis penelitian ini adalah dengan desain analitik. Data dikumpul dari instalasi rekam medis RSUP H. Adam Malik Januari–Desember 2014 dengan tekniktotalsampling. Dari 708 penderita sepsis, dan yang melakukan pemeriksaan procalcitonin serta melakukan kultur darah yang positif bakteri ada sebanyak 46 sampel.

Dari hasil penelitian diperoleh data, insidensi sepsis terbanyak pada laki-laki (58,7%) dan pada kelompok usia 0-15 tahun (50%). Penyebab Gram negatif (69,6%), Gram positif (30,4%). Etiologi sepsis terbanyak adalah Acinetobacter baumannii(17,4%),Pseudomonas aeruginosa(13,0%),Klebsiella pneumoniadan Staphylococcus haemolyticus masing-masing sebesar (10,9%). Didapati kadar procalcitonin pada Gram gram negatif lebih tinggi daripada Gram positif, tetapi tidak bermakna denganp value0,159.

Dari penelitian ini, penulis menyimpulkan tidak adanya perbedaan bermakna kadar procalcitonin antara bakteri gram negatif dan bakteri gram positif.

ABSTRACT

Sepsis is a condition where systemic inflammation response syndrome which is caused by invasion of bacteria, virus, fungi or paracites. In America, the incidence of post operation sepsis increased three times, from 0,3% to 0,9%. Sepsis could be diagnosed with some marker examination, such as procalcitonin, CRP, Erythrocyte Sedimentation Rate (ESR) and white blood count, with microorganism culture as gold standard.

The purpose of this research is to know the relationship between the rates of procalcitonin with type of bacteria causing sepsis. The type of this research is analytic. Data was collected at Medical Record Instalation RSUP H. Adam Malik from Januari to December year 2014 with 46 samples by total sampling technique. Based on the results, the highest sepsis incidence in men (58,7%) and in the 0-15 age group (50%). Caused by negative Gram (69,6%), positive Gram (30,3%). The most etiology were Acinetobacter baumannii (17,4%), Pseudomonas aeruginosa (13,0%), Klebsiella pneumonia and Staphylococcus haemolyticus equally as much as (10,9%). Was found procalcitonin rate of negative Gram is higher than positive Gram, but is not significant with p value 0,159.

Dokumen terkait