BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN
6.2 Saran
1. Bagi seluruh siswa, hendaknya memperhatikan pola konsumsi makanan agar menu makanan yang dikonsumsi lebih bervariasi.
2. Bagi siswa dengan status gizi gemuk dan obesitas, diharapkan mampu menjaga pola makan yang baik, mengkonsumsi makanan tinggi serat, rendah lemak, dan olahraga yang cukup.
3. Bagi peneliti, diharapkan mampu melakukan penelitian lebih lanjut tentang hubungan pola konsumsi makanan dengan status gizi ini.
4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pola Konsumsi Makanan
Dalam kehidupan sehari-hari, orang tidak terlepas dari makanan karena makanan adalah salah satu kebutuhan pokok manusia. Fungsi pokok makanan adalah untuk memelihara proses tubuh dalam pertumbuhan dan perkembangan serta mengganti jaringan tubuh yang rusak, memperoleh energi guna melakukan kegiatan sehari-hari, mengatur metabolisme dan mengatur berbagai keseimbangan air, mineral, dan cairan tubuh yang lain, serta berperan di dalam mekanisme pertahanan tubuh terhadap berbagai penyakit (Notoatmodjo, 2003).
Agar makanan dapat berfungsi seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, maka makanan yang kita konsumsi sehari-hari tidak hanya sekedar makanan, tetapi juga mengandung zat-zat gizi tertentu sehingga memenuhi fungsi tersebut (Notoatmodjo, 2003). Mengkonsumsi makanan beranekaragam sangat bermanfaat bagi kesehatan karena tidak ada satu jenis makanan yang mengandung semua zat gizi yang dibutuhkan.
Berbagai gangguan gizi dan masalah psikososial dapat dicegah dengan menyediakan makanan dengan gizi seimbang. Adapun maksud dengan gizi seimbang adalah makanan yang dikonsumsi individu dalam satu hari yang beraneka ragam dan mengandung zat tenaga, zat pembangun, dan zat pengatur sesuai dengan kebutuhan tubuhnya (Sibagariang, 2010).
2.1.1 Pengertian Pola Konsumsi Makanan
Pola konsumsi makanan adalah susunan jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi seseorang atau kelompok pada waktu tertentu (Khomsan, 2010). Pola konsumsi makanan yang baik berpengaruh positif pada diri seseorang seperti menjaga kesehatan dan mencegah atau membantu menyembuhkan penyakit. Di masyarakat, pola konsumsi makanan disebut juga dengan kebiasaan makan.
5
2.1.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pola Makan
Pemilihan makanan individu sangat kompleks dan dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti:
1. Jenis Kelamin
Menurut Brown (2005), pria lebih banyak membutuhkan energi dan protein daripada wanita. Hal ini dikarenakan pria lebih banyak melakukan aktivitas fisik daripada wanita. Oleh karena itu, kebutuhan kalori pria akan lebih banyak daripada wanita, sehingga pria mengkonsumsi lebih banyak makanan. Selain itu, banyak wanita yang memperhatikan citra tubuhnya sehingga banyak dari mereka yang menunda makan bahkan mengurangi porsi makan sesuai kebutuhannya agar memiliki porsi tubuh yang sempurna.
2. Pengetahuan
Pengetahuan umum maupun pengetahuan tentang gizi dan kesehatan akan mempengaruhi komposisi dan konsumsi pangan seseorang (Khomsan, 2000). Informasi terkait gizi dan nutrisi dapat disebarkan melalui:
a. Poster yang dipajang di tempat-tempat umum (seperti sekolah, PUSKESMAS, rumah sakit), dimana orang mempunyai kesempatan untuk membacanya.
b. Leaflet dengan pesan kesehatan yang sederhana dan spesifik. c. Artikel di koran.
d. Iklan di televisi dan radio.
e. Program sekolah untuk murid dan orangtua. 3. Teman Sebaya
Teman sebaya dapat mempengaruhi seseorang dalam mengkonsumsi suatu makanan. Pemilihan makanan tidak lagi didasarkan pada kandungan gizi tetapi sekedar bersosialisasi, untuk kesenangan, dan supaya tidak kehilangan status (Khomsan, 2003). Pada periode remaja, pengaruh teman sebaya lebih terlihat dalam hal pemilihan makanan (Brown, 2005).
4. Budaya
Budaya cukup menentukan jenis makanan yang sering dikonsumsi. Demikian pula letak geografis mempengaruhi makanan yang diinginkannya.
6
Sebagai contoh, nasi untuk orang-orang Asia dan Orientalis, pasta untuk orang-orang Italia, kari untuk orang-orang India merupakan makanan pokok, selain makanan-makanan lain yang mulai ditinggalkan. Makanan laut banyak disukai oleh masyarakat sepanjang pesisir Amerika Utara. Sedangkan penduduk Amerika bagian Selatan lebih menyukai makanan goreng-gorengan (Dirjen Binkesmas Depkes RI, 2007).
5. Agama/Kepercayaan
Agama/kepercayaan juga mempengaruhi jenis makanan yang dikonsumsi. Sebagai contoh, agama Islam dan Yahudi Orthodok melarang mengkonsumsi jenis daging tertentu, agama Roma Katolik melarang mengkonsumsi daging setiap hari, dan beberapa aliran agama melarang pemeluknya mengkonsumsi teh, kopi atau alkohol (Dirjen Binkesmas Depkes RI, 2007).
6. Status Sosial Ekonomi
Pilihan seseorang terhadap jenis dan kualitas makanan turut dipengaruhi oleh status sosial dan ekonomi. Sebagai contoh, orang kelas menengah ke bawah tidak sanggup membeli makanan jadi, daging, buah dan sayuran yang mahal. Pendapatan akan membatasi seseorang untuk mengkonsumsi makanan yang mahal harganya. Kelompok sosial juga berpengaruh terhadap kebiasaan makan, misalnya kerang dan siput disukai oleh beberapa kelompok masyarakat, sedangkan kelompok masyarakat yang lain lebih menyukai hamburger dan pizza (Dirjen Binkesmas Depkes RI, 2007).
7. Personal Preference
Hal-hal yang disukai dan tidak disukai sangat berpengaruh terhadap kebiasaan makan seseorang. Orang seringkali memulai kebiasaan makannya sejak dari masa kanak-kanak hingga dewasa. Misalnya, ayah tidak suka makan kari, begitu pula dengan anak laki-lakinya. Ibu tidak suka makan kerang, begitu pula anak perempuannya. Perasaan suka dan tidak suka seseorang terhadap makanan tergantung asosiasinya terhadap makanan tersebut. Anak-
7
anak yang suka dimarahi oleh bibinya akan tumbuh perasaan tidak suka pada daging ayam yang dimasak bibinya (Dirjen Binkesmas Depkes RI, 2007). 8. Rasa Lapar, Nafsu Makan, dan Rasa Kenyang
Rasa lapar umumnya merupakan sensasi yang kurang menyenangkan karena berhubungan dengan kekurangan makanan. Sebaliknya, nafsu makan merupakan sensasi yang menyenangkan berupa keinginan seseorang untuk makan. Sedangkan rasa kenyang merupakan perasaan puas karena telah memenuhi keinginannya untuk makan. Pusat pengaturan dan pengontrolan mekanisme lapar, nafsu makan dan rasa kenyang dilakukan oleh sistem saraf pusat, yaitu hipotalamus (Dirjen Binkesmas Depkes RI, 2007).
9. Kesehatan
Kesehatan seseorang berpengaruh besar terhadap kebiasaan makan. Sariawan atau gigi yang sakit seringkali membuat individu memilih makanan yang lembut. Tidak jarang orang yang kesulitan menelan, memilih menahan lapar dari pada makan (Dirjen Binkesmas Depkes RI, 2007).
2.1.3 Penilaian Konsumsi Makanan
Asupan makan merupakan faktor utama yang berperan terhadap status gizi seseorang. Untuk menilai status gizi dapat dilakukan melalui penilaian konsumsi makanan. Penilaian konsumsi makanan dilakukan untuk mengetahui kebiasaan makan dan menghitung jumlah makanan yang dimakan baik dalam jangka panjang maupun jangka pendek.
Untuk mendapatkan informasi tentang kebiasaan makan dan jumlah makanan yang dikonsumsi, dapat dilakukan pengukuran melalui beberapa metode, antara lain:
1. Metode ingatan 24 Jam (24-hours food recall)
Metode ini digunakan untuk estimasi jumlah makanan yang dikonsumsi selama 24 jam yang lalu atau sehari sebelumnya. Dengan metode ini akan diketahui besarnya porsi makanan berdasarkan ukuran rumah tangga (URT) yang kemudian dikonversi ke ukuran metrik (gram) (Khomsan, 2010).
8
Metode ingatan 24 jam, jika dilakukan satu hari tidak dapat menggambarkan informasi rata-rata konsumsi. Oleh karena itu, sebaiknya dilakukan minimal 2x24 dengan selang waktu 2 hari selama sepuluh hari.
2. Metode food records
Pada metode ini, responden diminta untuk mencatat semua makanan dan minuman yang dikonsumsi selama seminggu. Pencatatan dilakukan oleh responden dengan menggunakan ukuran rumah tangga (URT) atau menimbang langsung berat makanan yang dikonsumsi (dalam ukuran gram) (Khomsan, 2010).
3. Metode penimbangan makanan (food weighing)
Metode penimbangan pangan adalah metode yang paling akurat dalam memperkirakan asupan kebiasaan dan/atau asupan zat gizi individu. Pada metode ini, responden diminta untuk menimbang dan mencatat seluruh makanan yang dikonsumsi selama periode waktu tertentu. Lebih jelasnya, responden diminta untuk menimbang semua makanan yang akan dikonsumsi dan makanan yang sisa. Kuantitas asupan makanan adalah selisih antara kuantitas yang akan dikonsumsi dengan kuantitas pangan yang sisa (Siagian, 2010).
4. Metode dietary history
Metode ini dikenal juga sebagai metode riwayat pangan. Tujuan dari metode ini adalah untuk menemukan pola inti pangan sehari-hari pada jangka waktu lama serta untuk melihat kaitan antara inti pangan dan kejadian penyakit tertentu (Khomsan, 2010).
5. Metode frekuensi makanan (food frequency)
Metode frekuensi makanan adalah untuk memperoleh informasi pola konsumsi makanan sesorang. Untuk itu, diperlukan kuesioner yang terdiri dari dua komponen, yaitu daftar jenis makanan dan frekuensi konsumsi makanan (Khomsan, 2010).
9
2.2 Pola Konsumsi Makanan Siswa
Pola konsumsi makanan siswa merupakan salah satu faktor penting yang turut menentukan potensi pertumbuhan dan perkembangan remaja. Anak sekolah terutama pada masa remaja tergolong pada masa pertumbuhan dan perkembangan baik fisik maupun mental serta peka terhadap rangsangan dari luar. Jumlah atau porsi makanan sesuai dengan anjuran makanan bagi remaja menurut Sediaoetama (2009) disajikan pada Tabel 2.1:
Tabel 2.1 Jumlah Porsi Makanan yang Dianjurkan pada Usia 15-18 Tahun
Makan pagi Makan siang Makan malam
06.00-07.00 WIB 13.00-14.00 WIB 20.00 WIB Nasi 1 porsi 100 gr beras Nasi 2 porsi 200 gr beras Nasi 1 porsi 100 gr beras Telur 1 butir 50 gr Daging 1 porsi 50 gr Daging 1 porsi 50 gr Susu sapi 200 gr Tempe 1 porsi 50 gr Tahu 1 porsi 100 gr Sayur 1 porsi 100 gr Sayur 1 porsi 100 gr
Buah 1 porsi 75 gr Buah 1 porsi 100 gr
Susu skim 1 porsi 20 gr
Sumber: Sediaoetama, 2009.
Pola konsumsi makanan yang diperoleh semasa remaja akan berdampak pada kesehatan dalam fase kehidupan selanjutnya, setelah dewasa dan berusia lanjut.
2.3 Angka Kebutuhan Gizi
Standar kecukupan gizi diperlukan sebagai pedoman yang dibutuhkan oleh individu secara rata-rata dalam sehari untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal. Kebutuhan gizi setiap individu berbeda-beda tergantung beberapa faktor yang mempengaruhinya. Penilaian standar kecukupan gizi berpedoman pada Angka Kebutuhan Gizi (Yuniastuti, 2008).
Angka Kebutuhan Gizi (AKG) atau Recommended Dietary Allowances (RDA) adalah banyaknya masing-masing zat gizi esensial yang harus dipenuhi
10
dari makanan untuk mencegah defisiensi zat gizi. AKG dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, aktivitas, berat badan, tinggi badan, genetika dan keadaan fisiologis, seperti hamil atau menyusui (Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat, 2007).
AKG yang dianjurkan didasarkan pada patokan berat badan menurut kelompok umur dan jenis kelamin. Patokan berat badan didasarkan pada berat badan yang mewakili sebagian penduduk yang sehat (Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat, 2007). Adapun AKG rata-rata yang dianjurkan untuk remaja kelompok 15 – 18 tahun adalah sebagai berikut:
Tabel 2.2 Angka Kecukupan Gizi Rata-Rata yang Dianjurkan (Per Orang Per Hari)
Jenis Kelamin Umur (tahun) Berat Badan (kg) Energi
Laki – laki 13 – 15 46 2400 kkal
16 – 18 55 2600 kkal
Perempuan 13 – 15 48 2350 kkal
16 – 18 50 2200 kkal
Sumber: Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat, 2007.
2.4 Status Gizi
2.4.1 Pengertian Status Gizi
Status gizi adalah keadaan tubuh seseorang yang dipengaruhi oleh asupan makanan dan penggunaan zat-zat gizi. Status gizi merupakan hal yang penting karena merupakan salah satu faktor resiko untuk terjadinya kesakitan dan kematian (Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat, 2007).
Status gizi dibagi menjadi tiga kategori, yaitu status gizi kurang, gizi normal, dan gizi lebih (Almatsier, 2001). Status gizi normal merupakan suatu ukuran status gizi dimana terdapat keseimbangan antara jumlah energi yang masuk ke dalam tubuh dan energi yang dikeluarkan keluar tubuh sesuai dengan kebutuhan individu. Energi yang masuk ke dalam tubuh dapat berasal dari
11
Status gizi kurang atau yang lebih sering disebut undernutrition merupakan keadaan gizi seseorang dimana jumlah energi yang masuk lebih sedikit dari energi yang dikeluarkan. Hal ini dapat terjadi karena jumlah energi yang masuk lebih sedikit dari anjuran kebutuhan individu (Wardlaw, 2007).
Status gizi lebih (overnutrition) merupakan keadaan gizi seseorang dimana jumlah energi yang masuk ke dalam tubuh lebih besar dari jumlah energi yang dikeluarkan (Nix, 2005). Hal ini terjadi karena jumlah energi yang masuk melebihi kecukupan energi yang dianjurkan untuk seseorang, akhirnya kelebihan zat gizi disimpan dalam bentuk lemak yang dapat mengakibatkan seseorang menjadi gemuk.
2.4.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Status Gizi
Dalam Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi tahun 1979, telah diungkapkan bagan dari Call dan Levinson (1974) sebagai bahan untuk mengadakan analisis secara seksama masalah gizi di Indonesia. Konsep tersebut terlihat pada Gambar 2.1 berikut:
Gambar 2.1 Faktor yang mempengaruhi status gizi menurut Call dan Levinson, 2012.
12
Dari Gambar 2.1 terlihat bahwa status gizi seseorang/masyarakat dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu konsumsi makanan dan tingkat kesehatan. Kedua faktor tersebut adalah penyebab langsung, sedangkan penyebab tidak langsung adalah kandungan zat gizi dalam bahan makanan, daya beli masyarakat, kebiasaan makan, pemeliharaan kesehatan, serta lingkungan fisik dan sosial (Supariasa, 2012).
Selain faktor-faktor di atas, Laura Jane Harper juga melukiskan faktor yang mempengaruhi status gizi ditinjau dari sosial budaya dan ekonomi sebagai berikut:
Gambar 2.2 Faktor yang mempengaruhi status gizi menurut Harper, 2012.
2.4.3 Penilaian Status Gizi
Indeks Massa Tubuh (IMT) direkomendasikan sebagai dasar indikator antropometri untuk penilaian status gizi pada remaja. BB/U dianggap tidak informatif bila tidak ada informasi tentang TB/U. Pendekatan konvensional terhadap kombinasi penggunaan BB/U dan TB/U untuk menilai massa tubuh
13
dianggap memberikan hasil yang bias. Data referensi BB/TB memiliki keuntungan karena tidak memerlukan informasi tentang umur kronologis. Namun, hubungan BB/TB berubah secara dramatis menurut umur dan status kematangan seksual remaja. Oleh karena itu, IMT/U direkomendasikan sebagai indikator terbaik untuk remaja.
Indeks Massa Tubuh diukur dengan menggunakan rumus:
IMT = Tinggi Badan mBerat Badan kg
Kemudian, status gizinya ditentukan melalui perhitungan statistik dengan menghitung angka nilai hasil penimbangan dibandingkan dengan angka rata-rata atau median dan standar deviasi (SD) dari suatu acuan standar WHO. Rumus yang digunakan untuk mengetahui nilai Z-Skor adalah (Supariasa, 2012):
1
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Remaja adalah individu yang telah mencapai umur 10-18 tahun (Soetjiningsih, 2007). Menurut data WHO (2003), 19% dari penduduk dunia atau sekitar 1.200 juta jiwa adalah remaja. Di Indonesia, populasi remaja bahkan lebih tinggi mencapai 22% dari total populasi penduduk atau sekitar 44 juta jiwa. Dan menurut data Badan Pusat Statistik (2013), remaja di Sumatera Utara mencapai 21% dari total populasi atau sekitar 2,6 juta jiwa.
Dalam daur kehidupan, kebutuhan gizi secara terus menerus akan bertambah sesuai dengan kebutuhan berdasarkan kelompok umur (Sibagariang, 2010). Pada kelompok remaja, pertumbuhan terjadi sangat pesat dan kegiatan- kegiatan jasmani seperti olahraga juga pada kondisi puncaknya. Oleh karena itu, kelompok remaja memerlukan banyak konsumsi makanan yang bergizi. Apabila konsumsi makanan tidak seimbang dengan kebutuhan kalori untuk pertumbuhan dan kegiatan-kegiatannya, maka akan terjadi defisiensi yang akhirnya dapat menghambat pertumbuhan (Notoatmodjo, 2007).
Kelompok remaja merupakan salah satu kelompok rentan gizi, yaitu kelompok dalam masyarakat yang paling mudah menderita gangguan kesehatan (Notoatmodjo, 2007). Ada 3 alasan remaja dikatakan rentan gizi. Pertama, remaja mengalami percepatan pertumbuhan dan perkembangan sehingga tubuh memerlukan energi dan zat gizi yang lebih banyak. Kedua, adanya perubahan gaya hidup dan kebiasaan pangan sehingga masukan energi dan zat gizi harus disesuaikan. Ketiga, adanya keikutsertaan dalam olahraga, kecanduan alkohol dan obat, meningkatkan kebutuhan energi dan zat gizi (Arisman, 2008).
Masalah gizi pada anak sekolah menengah yang merupakan kelompok remaja merupakan masalah yang penting dan perlu mendapat perhatian khusus karena berpengaruh besar terhadap pertumbuhan dan perkembangan tubuh serta berdampak pada masalah gizi saat dewasa (Harahap, 2012).
2
Hardinsyah (1989) menyebutkan bahwa status gizi adalah keadaan tubuh seseorang yang dipengaruhi oleh asupan makanan dan penggunaan zat-zat gizi. Oleh karena itu, konsumsi makanan dan aktivitas berpengaruh pada status gizi seseorang. Status gizi baik dicapai bila tubuh memperoleh zat gizi yang cukup sehingga memungkinkan pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja dan kesehatan umum pada tingkat setinggi mungkin.
Dari data Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) (2010), status gizi berdasarkan IMT/U pada remaja SMA adalah sangat kurus 2,1%, kurus 6,7%, normal 88,9% dan gemuk 1,4%.
Sedangkan berdasarkan penelitian Harahap (2012) tentang hubungan pola konsumsi makanan dengan status gizi pada siswa SMA Negeri 2 Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) Banda Aceh dengan sampel berjumlah 80 orang didapatkan hasil status gizi berdasarkan BB/U adalah status gizi baik 72 orang (90,2%), gizi kurang 4 orang (5%), gizi lebih 4 orang (5%) dan tidak didapati hubungan yang bermakna antara pola konsumsi makanan dengan status gizi siswa. Namun, menurut Suhendro (2003) tidak hanya pola konsumsi makanan yang mempengaruhi status gizi anak usia sekolah menengah, melainkan ada beberapa faktor lain seperti umur, jenis kelamin, faktor lingkungan, aktivitas fisik, sosial ekonomi, dan faktor neuropsikologik serta faktor genetik.
Aktivitas yang dijalankan siswa SMA Santo Thomas 1 Medan adalah belajar formal yang dimulai pada pukul 07.30-13.20. Dengan ditambah kegiatan sekolah dan kegiatan di luar sekolah lainnya, pola konsumsi makanan harus sesuai dengan aktivitas yang akan dijalani oleh siswa. Siswa SMA Santo Thomas 1 Medan yang berusia rata-rata 15-18 tahun dan dengan pengaruh aktivitas, faktor lingkungan, dan sosial ekonomi yang berbeda ini mungkin saja mengalami permasalahan gizi.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai hubungan pola konsumsi makanan dengan status gizi siswa SMA Santo Thomas 1 Medan.
3
1.2Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan suatu permasalahan
sebagai berikut: “Apakah terdapat hubungan pola konsumsi makanan dengan
status gizi pada siswa SMA Santo Thomas 1 Medan?”.
1.3Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan pola konsumsi makanan dengan status gizi pada siswa SMA Santo Thomas 1 Medan.
1.3.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus pada penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui gambaran umum siswa SMA Santo Thomas 1 Medan. 2. Untuk mengetahui gambaran pola konsumsi makanan siswa SMA Santo
Thomas 1 Medan.
3. Untuk mengetahui gambaran status gizi siswa SMA Santo Thomas 1 Medan .
1.4Manfaat Penelitian 1. Bagi Sekolah
Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi sumber informasi untuk menambah pengetahuan tentang pola konsumsi makanan dan status gizi siswa.
2. Bagi Responden
Hasil penelitian diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan siswa tentang pola konsumsi makanan sesuai dengan aktivitas di sekolah.
3. Bagi Peneliti
Hasil penelitian diharapkan dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan peneliti tentang gizi, khususnya hubungan pola konsumsi dengan status gizi.
iii
ABSTRAK
Kelompok remaja merupakan salah satu kelompok rentan gizi. Hal ini dikarenakan remaja mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang cepat sehingga tubuh memerlukan zat gizi lebih banyak. Selain itu, perubahan gaya hidup juga mempengaruhi pola konsumsi makanan yang akan berdampak pada status gizi remaja. Masalah gizi pada remaja merupakan masalah yang penting dan perlu mendapat perhatian khusus karena berpengaruh besar terhadap pertumbuhan dan perkembangan tubuh.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan pola konsumsi makanan dengan status gizi siswa SMA Santo Thomas 1 Medan. Jenis penelitian ini adalah deskriptif analitik. Populasi adalah seluruh siswa kelas XI SMA Santo Thomas 1 Medan yang berjumlah 550 siswa. Sampel berjumlah 87 siswa yang diambil dengan menggunakan teknik proportional random sampling.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa status gizi siswa SMA Santo Thomas 1 Medan adalah normal (74,7%) , gemuk (17,2%), dan obesitas (8%). Analisa data dengan menggunakan uji korelasi Pearson didapatkan hasil tidak ada hubungan yang signifikan antara pola konsumsi makanan dengan status gizi siswa SMA Santo Thomas 1 Medan (p=0,099).
Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara pola konsumsi makanan dengan status gizi siswa SMA Santo Thomas 1 Medan. Untuk memperoleh hasil yang lebih baik, maka perlu dilakukan penelitian selanjutnya dengan menggunakan karakteristik responden dan lokasi yang berbeda, sehingga dapat dilihat apakah hasil yang diperoleh berbeda atau tidak dibandingkan dengan hasil penelitian saat ini.
iv
ABSTRACT
Adolescent is one of nutritionally vulnerable groups. This is because adolescent experiencing rapid growth and development, so that the body requires more nutrients. In addition, lifestyle changes also affect the pattern of food consumption that will impact the nutritional status of adolescent. Nutritional problems in adolescent are important issue and need special attention because the major impact on the growth and development of the body.
The aim of the research is to find out the correlation between food consumption patterns and nutritional status of students in SMA Santo Thomas 1 Medan. The research is a descriptive analytic study. The population is all 11th grade students in SMA Santo Thomas 1 Medan which are 550 students. Samples are 87 students who were taken with proportional random sampling technique.
The result showed that the nutritional status of SMA Santo Thomas 1 Medan students are normal (74,7%), overweight (17,2%), and obese (8%). Data analysis using Pearson correlation test showed that there was no significant correlation between food consumption patterns and nutritional status of students in SMA Santo Thomas 1 Medan (p=0,099).
Based on the study result, it can be concluded that there was no correlation between food consumption patterns and nutritional status of students in SMA Santo Thomas 1 Medan. In order to get a better result, further research needs to be done by using different location and characteristics of respondents, so it can be seen whether the results are different or not compared by the current research result.
HUBUNGAN POLA KONSUMSI MAKANAN DENGAN STATUS GIZI SISWA SMA SANTO THOMAS 1 MEDAN
Oleh :
SERGIO PRATAMA 120100202
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2015
HUBUNGAN POLA KONSUMSI MAKANAN DENGAN STATUS GIZI SISWA SMA SANTO THOMAS 1 MEDAN
KARYA TULIS ILMIAH
Karya Tulis Ilmiah ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh kelulusan Sarjana Kedokteran