• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

6.2. Saran

Berdasarkan kesimpulan diatas, maka dapat disarankan beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk penurunan prevalensi obesitas pada guru SMP Negeri 3 Tanjung Morawa adalah sebagai berikut :

6.2.1. Bagi Guru SMP Negeri 3 Tanjung Morawa

1. Guru SMP Negeri 3 Tanjung Morawa banyak yang mengalami obesitas. Sebaiknya mulai menurunkan berat badan dengan memperhatikan asupan makanan sehari-hari. Hal ini dapat dilakukan dengan cara konsumsi makanan dengan jenis yang beragam dan gizi seimbang dengan porsi masing-masing untuk menghindari ketidakseimbangan antara zat gizi.

72

2. Sebaiknya guru mengurangi konsumsi protein dan lemak untuk mengurangi energi yang berlebih dalam tubuh.

3. Guru SMP Negeri 3 Tanjung Morawa dengan berat badan normal sebaiknya tetap memelihara dan menjaga berat badannya. Pemantauan perubahan berat badan secara mandiri oleh individu sangat disarankan.

4. Melakukan aktivitas fiisik seperti berolahraga secara rutin untuk menurunkan berat badan guru SMP Negeri 3 Tanjung Morawa dan menjaga agar tubuh tetap bugar dan terhindar dari penyakit degeneratif.

5. Aktif mencari tahu informasi mengenai gizi dan kesehatan. 6.2.2. Bagi Pihak Sekolah SMP Negeri 3 Tanjung Morawa

1. Bagi pihak sekolah SMP Negeri 3 Tanjung Morawa hendaknya dapat membuat jadwal olahraga rutin seperti senam untuk para guru dalam rangka meningkatkan aktivitas fisik dan kebugaran guru. Selain itu, untuk meningkatkan aktivitas fisik guru, dapat juga dilakukan pertandingan olahraga dengan berbagai jenis cabang.

7 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Obesitas

Kata obesitas berasal dari bahasa latin yaitu ob yang berarti ‘akibat dari’

dan esum yang artinya ‘makan’. Oleh karena itu, obesitas dapat didefinisikan

sebagai akibat dari pola makan yang berlebihan (Adams et al.,2002; Syarif, 2003 dalam Sudargo et al., 2014). Obesitas juga sering didefinisikan sebagai kondisi abnormal atau kelebihan lemak yang serius dalam jaringan adiposa sehingga dapat mengganggu kesehatan. Dengan kata lain, obesitas dapat diartikan sebagai kelebihan berat badan sebagai akibat dari penimbunan lemak tubuh yang berlebihan (Adriani dan Wirjatmadi, 2014).

Apabila di dalam tubuh jumlah lemak melebihi 3% dari berat badan maka disebut timbunan lemak. Jumlah lemak ini berbeda antara pria dan wanita. Jumlah lemak yang normal pada pria dewasa muda (18-30 tahun) adalah 15-20% dan pria dewasa tua (>30 tahun) jumlah lemak mencapai 27% dari berat badan, sedangkan pada wanita dewasa muda (18-30 tahun) sebesar 20-25% dan pada wanita dewasa tua (>30 tahun) jumlahnya mencapai 30% dari berat badan (Purwati et al., 2002).

Berdasarkan etiologinya obesitas terbagi menjaadi dua yaitu, obesitas primer yang disebabkan oleh faktor gizi dan berbagai faktor yang memengaruhi masukan makanan. Makanan yang masuk lebih banyak dibandingkan dengan kebutuhan energi yang dibutuhkan oleh tubuh. Sedangkan obesitas sekunder adalah obesitas yang disebabkan karena penyakit atau kelainan congenital. Sedangkan berdasarkan patogenesisnya obesitas terdiri dari regulatory obesity

8

yang merupakan gangguan pada pusat yang mengatur masukan makanan dan metabolic obesity yang terjadi akibat adanya kelainan pada metabolisme lemak dan karbohidrat (Sudargo et al., 2014).

Ada dua tempat penumpukan lemak pada orang yang obesitas yaitu penumpukan lemak lebih banyak terdapat pada pinggul yang disebut dengan tipe pir dan penumpukan lemak lebih banyak pada daerah perut yang disebut tipe apel. Obesitas tipe pir lebih banyak dialami oleh wanita. Sementara obesitas tipe apel lebih banyak dialami oleh laki-laki. Namun hal ini tidak bersifat mutlak karena banyak wanita yang juga mengalami obesitas tipe apel, terutama setelah mereka mengalami menopause (Sudargo et al., 2014).

Sebuah penelitian yang dilakukan Silitonga pada tahun 2008 pada penduduk dari keluarga miskin di desa Marindal II Kecamatan Patumbak Kabupaten Deli Serdang yang mengalami obesitas tingkat ringan sebanyak 94,34% dan yang mengalami obesitas tingkat berat sebanyak 5,66% (Silitonga, 2009). Selain itu, dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Desi Kristina T pada tahun 2010 bahwa pedagang sayur di Lingkungan XIII Kelurahan Kwala Bekala Medan yang mengalami kegemukan sebanyak 62,9% dengan kegemukan tingkat ringan sebanyak 28,6% dan kegemukan tingkat berat sebanyak 34,3% (T Kritina, 2010).

2.2. Faktor Risiko Obesitas

Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan seseorang mengalami obesitas. Beberapa faktor tersebut yaitu, umur, jenis kelamin, tingkat pendapatan, pola makan, dan aktivitas fisik.

9

2.2.1. Umur

Semakin tua, ketika kurang aktif bergerak massa otot dalam tubuh cenderung menurun. Kehilangan otot menyebabkan perlambatan tingkat pembakaran kalori dalam tubuh. Dari penjelasan tersebut bahwa semakin bertambahnya umur dan tidak mengurangi asupan kalori, maka tubuh semakin sulit untuk membakar kalori yang masuk akibatnya terjadi penumpukan energi dalam tubuh dan mengakibatkan obesitas (Bantarpraci, 2012). Setelah umur 40 tahun, seseorang memiliki risiko untuk mengalami kenaikan berat badan karena pada masa itu kebanyakan orang dewasa mulai mencapai puncak pencapaian karirnya. Secara fisiologis, komposisi tubuh sedikit berubah bersamaan dengan perubahan hormon (Brown, 2005 dalam Bantarpraci, 2012).

Hasil penelitian yang dilakukan Christina pada tahun 2008 di perusahaan Migas X di Kalimantan Timur bahwa proporsi obesitas lebih tinggi pada responden berumur >40 tahun yaitu sebanyak 53,0% dibandingkan dengan

responden yang berumur ≤40 tahun yaitu sebanyak 37,2%. Dari hasil tersebut

diketahui bahwa responden dengan umur berisiko (>40 tahun) memiliki kemungkinan 2 kali lebih tinggi untuk obesitas dibanding umur yang tidak

berisiko (≤40 tahun) (Christina, 2008).

2.2.2. Jenis Kelamin

Jenis kelamin memiliki peran dalam timbulnya obesitas, meskipun obesitas dapat terjadi pada kedua jenis kelamin tetapi obesitas lebih umum dijumpai pada wanita terutama setelah kehamilan dan pada saat menopause. Pada

10

saat kehamilan terjadi peningkatan jaringan adiposa sebagai simpanan yang diperlukan selama masa menyusui (Misnadiarly, 2007).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Siltonga pada tahun 2008 mengenai pola makan dan aktivitas fisik pada orang dewasa yang mengalami obesitas dari keluarga miskin di desa Marindal II kecamatan Patumbak Kabupaten Deli Serdang menyatakan bahwa persentase perempuan yang mengalami obesitas tingkat I sebanyak 67,92% dan laki-laki sebanyak 26,42%. Sedangkan perempuan yang mengalami obesitas tingkat II sebanyak 5,66% dan laki-laki 0%. Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa lebih banyak perempuan yang mengalami obesitas bila dibandingkan dengan laki-laki (Silitonga, 2008). 2.2.3. Tingkat Pendapatan

Banyak anggapan bahwa kejadian obesitas sebagian besar diderita oleh seseorang dengan tingkat ekonomi tinggi karena semakin tinggi tingkat kemakmuran seseorang maka semakin tinggi kejadian obesitas. Dimana kejadian tersebut dapat terjadi di kota maupun di desa sehingga perubahan pola hidup akan memegang peranan yang penting dalam penanganan obesitas (Robbin, 1999 dalam Christina, 2008).

Dari hasil penelitian Christina pada tahun 2008 menunjukkan proporsi obesitas lebih tinggi pada pegawai staf yaitu sebanyak 55,2% bila dibandingkan non staf yaitu sebanyak 39,6%. Dari hasil tersebut menunjukkan bahwa pegawai staf memiliki kecenderungan 2 kali untuk obesitas. Hal ini erat kaitannya dimana pegawai staf memiliki tingkat pendapatan yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan yang non staf (Christina, 2008).

11

2.3. Dampak Obesitas

Dampak yang diakibatkan obesitas tidak hanya mempengaruhi penampilan atau fisik seseorang yang menyebabkan orang tersebut merasa kurang percaya diri sehingga seringkali mengalami depresi atau tekanan dari dirinya sendiri maupun lingkungannya (Purwati et al., 2002). Selain itu obesitas juga dapat menyebabkan timbulnya berbagai penyakit degenetarif, seperti diabetes tipe 2, hipertensi, stroke dan penyakit jantung koroner.

2.3.1. Diabetes Tipe 2

Individu yang mengalami obesitas akan lebih mudah mengalami resistensi insulin (impaired glucose tolerance) dibandingkan dengan individu yang berat badannya normal. Kondisi ini disebabkan oleh peningkatan adipositas pada orang obesitas yang akan menyebabkan penurunan sensitivitas insulin (Ferrannini et al., 1998; Karter et al., 2005 dalam Sudargo et al., 2014).

Selain itu, kelebihan massa lemak juga dikaitkan dengan keadaan resistensi insulin yang berhubungan dengan diabetes melitus. Risiko diabetes melitus akan meningkat secara linear sesuai dengan peningkatan IMT. Obesitas akan meningkatkan angka kejadian diabetes melitus 3-4 kali dibandingkan orang dengan IMT normal (Adriani dan Wirjatmadi, 2014).

Penelitian yang pernah dilakukan oleh Istiantho pada tahun 2008 di Kota Ternate menyatakan bahwa persentase responden dengan berat badan lebih atau obesitas yang mengalami diabetes sebanyak 24%, sementara persentase responden dengan berat badan normal dan kurang yang mengalami diabetes sebanyak 0,85%.

12

Dari hasil penelitian ini menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara obesitas dengan diabetes (Istiantho, 2008).

Sedangkan dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Garnita pada tahun 2012 tentang faktor risiko diabetes melitus di Indonesia dengan menganalisis data Sakerti tahun 2007 menunjukkan proporsi diabetes lebih tinggi pada responden obesitas, yaitu 5%. Sedangkan proporsi diabetes terendah pada responden yang kurus, yaitu 1,2%, responden dengan berat badan normal proporsi diabetes sebesar 2,3% dan kelompok responden dengan berat badan lebih, yaitu 4,9%. Dengan demikian proporsi kejadian diabetes lebih tinggi pada responden dengan IMT lebih tinggi (Garnita, 2012).

2.3.2. Hipertensi

Penderita obesitas mempunyai risiko yang tinggi terhadap penyakit hipertensi. Seseorang dikatakan menderita hipertensi bila tekanan darah sistole >140 mm Hg dan diastole >90 mm Hg (Purwati et al., 2002). Orang yang mengalami obesitas tekanan darahnya akan menjadi tinggi untuk menjaga keseimbangan natrium dan cairan. Selain itu, obesitas dapat menyebabkan perubahan fungsi ginjal sehingga berdampak pada hipertensi (Sudargo et al., 2014).

Hubungan antara angka kejadian hipertensi dan berat badan meningkat tajam sesuai peningkatan berat badan. Risiko terjadinya hipertensi meningkat 1,6 kali untuk overweight dan menjadi 2,5 - 3,2 kali untuk obesitas kelas 1 serta menjadi 3,9 - 5,5 kali untuk obesitas kelas 2 dan 3. Penurunan berat badan juga tebukti menurunkan hipertensi (Adriani dan Wirjatmadi, 2014).

13

Hasil analisis statistik dari penelitian yang dilakukan Estiningsih pada tahun 2012 di Kelurahan Sukamaju Depok menunjukkan perbedaan yang signifikan antara responden hipertensi dengan obesitas dan responden hipertensi dengan indeks massa tubuh normal. Sebanyak 62,5% responden penderita hipertensi pada kelompok obesitas, gemuk sebesar 25% dan responden dengan indeks massa tubuh normal sebesar 12,5%. Responden penderita obesitas memiliki risiko hipertensi 2,626 kali lebih besar dibandingkan dengan responden yang memiliki indeks massa tubuh normal (Estiningsih, 2012).

2.3.3. Stroke

Pola makan yang salah bisa memicu terjadinya stroke usia muda. Karena seringnya mengkonsumsi makanan junk food yang tidak baik karena kandungan kolesterolnya yang tinggi. Kolesterol tidak baik bagi kesehatan, terutama bila terjadi penyumbatan pada pembuluh darah, dan mengenai pembuluh darah otak bisa membuat seseorang mengalami stroke (Adriani dan Wirjatmadi, 2014).

Ophine (2010) menyatakan dalam penelitiannya pada pasien rawat inap penderita stroke di bagian ilmu penyakit saraf FK-USU RSUP H. Adam Malik Medan bahwa kelompok terbesar penderita stroke terdapat pada responden kelompok obesitas yaitu 55%, penderita stroke pada berat badan lebih yaitu 35%, berat badan normal sebesar 10% dan pada kelompok dengan berat badan kurang tidak dijumpai penderita stroke. Hal ini berarti terdapat hubungan yang signifikan antara obesitas dan stroke (Ophine, 2010).

14

2.3.4. Penyakit Jantung Koroner

Hubungan antara obesitas dan penyakit jantung koroner terjadi secara tidak langsung melalui beberapa faktor resiko seperti hipertensi, dislipidemia, penurunan HDL, dan gangguan toleransi glukosa. Hal ini berkaitan dengan distribusi sel lemak dalam tubuh. Orang yang obesitas dengan hipertensi sistemik mengalami peningkataan volume dan tekanan pada dinding ventricular kiri yang berdampak pada peningkatan volume dan cardiac output. Sementara orang yang obesitas tanpa hipertensi, peningkatan tekanan volume sering terjadi, tetapi tekanan pada dinding usus masih normal (Sudargo et al., 2014).

Orang yang mengalami obesitas tidak hanya mengalami gangguan jantung bagian kiri saja namun juga terjadi gangguan pada jantung bagian kanan. Meningkatnya faktor risiko penyakit jantung koroner sejalan dengan terjadinya penambahan berat badan seseorang. Obesitas yang terjadi pada usia 20-40 tahun berpengaruh besar terhadap terjadinya penyakit jantung koroner (Purwati et al., 2002).

Sebuah penelitian pernah dilakukan oleh Bebi pada tahun 2009-2011 di RSUP H. Adam Malik Medan bahwa diantara faktor-faktor risiko penyakit jantung koroner adalah obesitas. Dari hasil penelitian, distribusi faktor risiko penyakit jantung koroner berdasarkan keadaan obesitas, diperoleh sebanyak 76,5% atau sebanyak 52 orang responden yang mengalami obesitas, sedangkan hanya 23,5% atau sebanyak 16 orang responden yang tidak mengalami obesitas (Bebi, 2012).

15

Selain itu, dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Danial pada tahun 2010 di RSUP H. Adam Malik Medan bahwa indeks massa tubuh mempengaruhi terjadinya penyakit jantung koroner. Dari hasil penelitian ini sebanyak 45 orang (54,9%) penderita penyakit jantung koroner mengalami obesitas, sementara responden yang tidak obesitas sebanyak 37 orang (45,1%). Ini berarti bahwa orang yang mengalami obesitas mempunyai risiko terkena penyakit jantung koroner lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang tidak obesitas (Danial, 2010).

2.4. Pengukuran Obesitas dan Klasifikasinya

Diagnosis obesitas dapat ditegakkan melalui penilaian status gizi secara langsung. Penilaian staus gizi adalah pemeriksaan terhadap keadaan gizi seseorang. Penilaian status gizi secara langsung dapat dilakukan dengan metode penilaian antropometri. Antropometri adalah ukuran tubuh manusia. Ditinjau dari sudut pandang gizi, antropometri berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi (Supariasa, 2002 dalam Sudargo et al., 2014).

Bagi orang dewasa salah satu indikator yang menunjukkan bahwa telah terjadi keseimbangan zat gizi di dalam tubuh adalah tercapainya berat badan yang normal, yaitu berat badan yang sesuai untuk tinggi badannya. Indikator tersebut dikenal dengan Indeks Massa Tubuh (IMT). Pemantauan berat badan normal dilakukan untuk mencegah penyimpangan berat badan dari berat badan normal, dan bila terjadi penyimpangan dapat segera dilakukan pencegahan dan penanganannya. Selain itu, mempertahankan berat badan normal juga dapat

16

memungkinkan seseorang terhindar dari penyakit tidak menular (Kementerian Kesehatan RI, 2014). Untuk menghitung IMT, dapat dihitung dengan rumus berikut:

IMT =

Batas ambang IMT ditentukan dengan merujuk ketentuan WHO yang membedakan batas ambang normal untuk laki-laki dan perempuan. Di Indonesia, batas ambang normal tidak dibedakan menurut jenis kelamin. Untuk kepentingan Indonesia, batas ambang dimodifikasi berdasarkan kepentingan klinis dan hasil penelitian di beberapa Negara berkembang (Kementerian Kesehatan RI, 2014). Batas ambang IMT untuk Indonesia adalah sebagai berikut :

Tabel 2.1. Kategori Indeks Massa Tubuh (IMT) Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 41 Tahun 2014

Klasifikasi IMT Sangat Kurus < 17,0 Kurus 17,0 – < 18,5 Normal 18,5 – 25,0 Gemuk (Overweight) > 25,0 – 27,0 Obesitas ≥ 27,0

Sumber: Kementerian Kesehatan RI, 2014

Keadaan seseoang sangat kurus dengan kekurangan berat badan tingkat berat atau Kekurangan Energi Kronis (KEK) berat bila IMT < 17,0. Keadaan seseorang disebut kurus dengan kekurangan berat badan tingkat ringan atau KEK ringan bila IMT 17,0 – < 18,5. Keadaan seseorang termasuk kategori normal bila IMT 18,5 – 25,0. Keadaan seseorang disebut gemuk (Overweight) dengan kelebihan berat badan tingkat ringan bila IMT >25,0 – 27,0. Keadaan seseorang disebut Obesitas dengan kelebihan berat badan tingkat berat bila IMT ≥ 27,0

17

2.5. Pola Makan

Pola makan sehat adalah suatu cara atau usaha dalam pengaturan jumlah dan jenis makanan dengan maksud tertentu, seperti mempertahankan kesehatan, status nutrisi, mencegah atau membantu kesembuhan penyakit. Pola makan sehari-hari merupakan pola makan seseorang yang berhubungan dengan kebiasaan makan sehari-hari (Adriani dan Wirjatmadi, 2014).

Keadaan kesehatan gizi tergantung dari tingkat konsumsi yang ditentukan oleh kualitas serta kuantitas hidangan. Kualitas hidangan menunjukkan adanya semua zat gizi yang diperlukan tubuh di dalam susunan hidangan dan perbandingan yang satu terhadap yang lain. Kuantitas menunjukkan kwantum masing-masing zat gizi terhadap kebutuhan tubuh. Konsumsi yang menghasilkan kesehatan gizi yang sebaik-baiknya dan dalam jumlah melebihi kebutuhan tubuh, dinamakan konsumsi berlebih yang dapat mengakibatkan keadaan gizi lebih (Sediaoetama, 2006 dalam P Roselly, 2008).

Kandungan energi di dalam makanan bergantung pada kandungan karbohidrat, protein, dan lemak. Terdapat juga kandungan organik lain (seperti asam organik) hanya menyumbang sedikit energi dibandingkan dengan yang lain. Air tidak mengandung energi melainkan hanya sebagai pelarut, oleh karena itu kandungan air di dalam makanan akan mempengaruhi kadar dan kepadatan kandungan energi dalam makanan (Arisman, 2007).

Kandungan energi dalam tubuh bergantung pada ukuran dan komposisi tubuh. Kebutuhan energi orang yang sehat diartikan sebagai tingkat asupan energi yang dapat dimetabolisasi dari makanan yang akan menyeimbangkan keluaran

18

energi (Arisman, 2007). Kebutuhan energi total orang dewasa diperlukan untuk metabolisme basal, aktivitas fisik dan efek makanan atau pengaruh dinamik khusus. Kebutuhan energi terbesar umumnya diperlukan untuk metabolisme basal (Almatsier, 2004).

Kekurangan energi terjadi bila konsumsi energi melalui makanan kurang dari energi yang dikeluarkan, sehingga tubuh akan mengalami keseimbangan energi. Akibatnya berat badan kurang dari berat badan seharusnya dan dapat mengakibatkan kerusakan jaringan tubuh. Sedangkan kelebihan energi yaitu apabila konsumsi energi melalui makanan melebihi energi yang dikeluarkan maka akan diubah menjadi lemak tubuh yang dapat mengakibatkan berat badan berlebih atau obesitas (Cakrawati, NH, 2012).

Karbohidrat berfungsi menyediakan energi bagi tubuh. Karbohidrat merupakan sumber utama energi bagi manusia karena banyak terdapat di alam dan harganya yang relatif murah. Satu gram karbohidrat menghasilkan 4 kkal. Sebagian karbohidrat di dalam tubuh berada dalam sirkulasi darah sebagai glukosa untuk keperluan energi, sebagian disimpan sebagai glikogen dalam hati dan jaringan otot dan sebagian diubah menjadi lemak untuk disimpan sebagai cadangan energi di dalam jaringan lemak. Bila karbohidrat makanan tidak mencukupi, maka protein akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi, dengan mengalahkan fungsi utamanya sebagai zat pembangun. Sebaliknya, bila karbohidrat makanan mencukupi, protein terutama akan digunakan sebagai zat pembangun (Almatsier, 2004).

19

Karbohidrat dalam tubuh manusia hanya < 1%. Sumber karbohidrat banyak terdapat dalam tanaman seperti serealia, beras, jagung, gandum, singkong, ubi jalar, kentang, talas, kacang hijau, ampas tahu, susu, madu, gula pasir, gula merah, serta pada sayur dan buah namun jumlahnya sedikit. Karbohidrat menyediakan 50% - 65% energi dari total energi yang dibutuhkan (Devi, 2010).

Protein merupakan komponen yang terdiri dari atom karbon, hydrogen, oksigen, nitrogen dan beberapa ada yang mengandung sulfur. Tersusun dari serangkaian asam amino dengan berat molekul relative sangat besar. Protein yang hanya tersusun dari asam amino disebut protein sederhana. Adapun yang mengandung bahan selain asam amino, seperti turunan vitamin, lemak, dan karbohidrat, disebut protein kompleks. Kualitas protein ditentukan oleh jumlah dan jenis asam aminonya. Ada dua sumber protein yaitu protein yang bersumber dari hewani seperti telur, ikan, daging sapi, daging ayam, daging kambing, susu dan keju serta protein yang bersumber dari nabati seperti tempe, tahu, oncom dan kacang-kacangan (Devi, 2010).

Lemak termasuk dalam kelompok lipid. Lipid adalah komponen yang terdiri dari lemak dan minyak (trigliserida, fosfolipid, dan sterol). Lipid makanan terdiri dari 95% lemak dan minyak (trigliserida) serta 5% lipid lain (fosfolipid dan sterol). Dalam tubuh, 99% lemak didimpan dalam bentuk trigliserida. Lemak berasal dari dua sumber yaitu hewan dan tanaman. Sumber lemak hewani yaitu, susu, lemak sapi, dan inyak ikan. Sumber lemak nabati yaitu, minyak kelapa, minyak kelapa sawit, minyak kedelai, minyak jagung, minyak biji bunga matahari dan minyak zaitun (Devi, 2010).

20

Kriteria angka kecukupan gizi rata-rata yang dianjurkan bagi penduduk Indonesia dalam Kementerian Kesehatan RI tahun 2013 yaitu :

Tabel 2.2. Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin Kelompok Umur Kecukupan Gizi Energi (kkal) Karbohidrat (g) Protein (g) Lemak (g) Pria 19 – 29 2725 375 62 91 30 – 49 50 – 64 2625 2325 394 349 65 65 73 65 ≥ 65 Wanita 1900 309 62 53 19 – 29 30 – 49 50 – 64 ≥ 65 2250 2150 1900 1550 375 394 349 309 56 57 57 56 75 60 53 43

Sumber: Kementerian Kesehatan RI tahun 2013

2.5.1. Kaitan Pola Makan dengan Obesitas

Pola makan merupakan perilaku paling penting yang dapat mempengaruhi keadaan gizi. Hal ini disebabkan karena kuantitas dan kualitas makanan dan minuman yang dikonsusmsi akan mempengaruhi asupan gizi sehingga akan mempengaruhi kesehatan individu dan kesehatan masyarakat. Gizi baik dapat membuat berat badan normal atau sehat, tubuh tidak mudah terkena penyakit infeksi, produktivitas kerja meningkat serta terlindung dari penyakit kronis dan kematian dini. Agar tubuh tetap sehat dan terhindar dari penyakit tidak menular terkait gizi, maka pola makan masyarakat perlu ditingkatkan kearah konsumsi gizi seimbang (Kementerian Kesehatan RI, 2014).

Perilaku makan menjadi penyebab timbulnya permasalahan obesitas. Tiga hal yang ditekankan dalam perilaku makan seseorang, yaitu pengendalian makan,

21

emosi dan rasa lapar. Pola makan yang menjadi pencetus obesitas adalah makan berlebihan yaitu mengkonsumsi makanan dalam porsi besar, makanan tinggi energi, tinggi lemak, tinggi karbohidrat sederhana dan rendah serat. Sementara perilaku makan yang salah ialah tindakan mengkonsumsi makanan dengan jumlah yang berlebihan tanpa diimbangi dengan pengeluaran energi yang seimbang (Sudargo et al., 2014).

Ketika seseorang makan secara berlebihan, zat gizi yang dikonsumsi akan diubah menjadi timbunan lemak dalam tubuh. Namun, bila seseorang mengkonsumsi makanan sesuai dengan kebutuhan maka proporsi tubuhnya selalu ideal (Peters, 2002; Soegih, 1990 dalam Sudargo et al., 2014). Prinsip 13 Panduan Umum Gizi Seimbang (PUGS) membebaskan seseorang untuk mengkonsusmsi makanan apapun dalam jumlah yang sesuai dengan kebutuhan tubuh. Poin-poin yang terdapat di dalam PUGS, antara lain, makanlah beraneka ragam makanan, makanlah makanan untuk memenuhi kebutuhan energi, makanlah makanan sumber karbohidrat setengah dari kebutuhan energi, serta batasi konsumsi lemak dan minyak sampai seperempat dari kecukupan energi (Sudargo et al., 2014).

Kondisi tersebut menunjukkan bahwa manusia pada zaman sekarang dituntut untuk lebih bijaksana dalam mengkonsusmsi makanan. Manusia tidak dilarang untuk mengkonsumsi makanan atau minuman apapun selama masih dalam jumlah yang tidak berlebihan. Namun, konsumsi makanan dan minuman tersebut juga harus diimbangi dengan jumlah sayur dan buah sebagai sumber serat dalam jumlah yang cukup (Sudargo et al., 2014).

22

Sebuah penelitian yang dilakukan Silitonga pada tahun 2008 pada keluarga miskin di desa Marindal II kecamatan Patumbak kabupaten Deli Serdang diketahui bahwa 88,68% responden memiliki susunan makanan kurang lengkap yang hanya terdiri dari makanan pokok, lauk dan sayuran. Sementara responden dengan susunan makanan tidak lengkap sebanyak 11,32% dimana susunan makanan hanya terdiri dari makanan pokok dan lauk atau makanan pokok dan

Dokumen terkait