• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

6.2. Saran

6.2.1 Untuk pelayanan keperawatan

Hasil penelitian tersebut dapat membantu didalam pemberian pelayananan keperawatan yang tepat apabila berhadapan dengan remaja yang memiliki kecenderungan melakukan kenakalan

6.2.2 Untuk pendidikan keperawatan

Dalam pendidikan keperawatan komunitas hasil penelitian tersebut dapat lebih dikembangkan dan lebih mendalam, khusunya tentang pola asuh orang tua dan remaja.

6.2.3 Untuk penelitian selanjutnya

Bagi peneliti selanjutnya dapat mengkaji variable lain yang dapat memberikan sumbangan besar dalam pengoptimalan pola asuh orang tua yang tepat, dan variabel yang mempengaruhi kenakalan remaja agar bisa menjadi bahan evaluasi bagi semua pihak untuk pencegahan dan penanganan kenakalan remaja. Peneliti selanjutnya juga dapat melakukan penelitian tersebut lebih kepada responden yang lebih berperan dengan menggunakan indikator remaja nakal yang lebih tepat.

Orang tua siswa-siswi SMA Ar-Rahman Medan hendaknya menerapkan pola asuh yang tepat, memberikan pengawasan dan kontrol kepada anak, reponsif terhadap kebutuhan remaja serta mendorong remaja untuk menyatakan pendapat sehingga kecenderungan untuk berprilaku delikuensi (kenakalan remaja) pun pada remaja semakin rendah.

7

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Pola Asuh

2.1.1 Pengertian Pola Asuh

Menurut Brooks (2008), pola asuh diartikan sebagai suatu serangkaian aksi dan interaksi yang dilakukan oleh orang tua dalam membantu perkembangan anak baik aspek fisik, psikologis, dan sosial.Kenny & Kenny (1991) dalam Fini, (2008), menyatakan bahwa pola asuh merupakan segala sesuatu yang dilakukan orang tua untuk membentuk perilaku anak-anak mereka meliputi semua peringatan dan aturan, pengajaran dan perencanaan, contoh dan kasih sayang serta pujian dan hukuman.

Brook (2008) juga mengatakan bahwa pola asuh adalah memilki tujuan untuk menjamin kesehatan fisik dan kehidupan anakmempersiapkan anak agar menjadi orang dewasa yang dapat memenuhi kebutuhan finansialnya sendiri dan mendukung atau mendorong perilaku sosial dan personal yang positif. Martin dan Colbert (1997) menjelaskan bahwa pola asuh sebagai proses yang biasanya melibatkan orang dewasa dalam proses melahirkan, melindungi, dan mengarahkan anak.

2.1.2 Jenis Pola Asuh

Diana Baumind dalam Santrock (2007), menekankan empat gaya pengasuhan orang tua yang berkaitan dengan berbagai aspek yang berbeda dari perilaku remaja yaitu, otoritarian, otoratif, mengabaikan dan memanjakan.

Pengasuhan orang tua otoritarian (authoritarian parenting) adalah gaya yang bersifat menghukum dan membatasi di mana orang tua sangat berusaha agar remaja mengikuti pengarahan yang diberikan dan menghormati pekerjaan dan usaha-usaha yang telah dilakukan orang tua. Orang tua otoritarian menetapkan batasan-batasan dan kendali yang tegas terhadap remaja dan kurang memberikan peluang kepada mereka untuk berdialog secara verbal. Sebagai contoh, orang tua otoritarian mungkin akan berkata, “Lakukan menurut perintahku atau tidak sama sekali”. Tidak ada diskusi!”. Pengasuhan tersebut berkaitan dengan perilaku remaja yang tidak kompeten. Remaja yang dibesarkan oleh orang tua yang otoritarian sering kali cemas terhadap perbandingan sosial, kurang memperlihatkan inisiatif, dan memiliki ketrampilan komunikasi yang buruk.

b. Pengasuhan Orang Tua Otoritatif (authoritative parenting)

Pengasuhan orang tua otoritatif adalah gaya pengasuhan yang mendorong remaja agar mandiri namun masih membatasi dan mengendalikan aksi-aksi mereka. Orang tua dengan gaya pengasuhan ini memberikan kesempatan kepada anak-anaknya untuk berdialog secara verbal. Disamping itu orang tua juga bersikap hangat dan mengasuh. Sebagai contoh, seorang ayah otoritatif akan merangkul remajanya dengan hangat dan berkata,”Kamu tahu bahwa kamu seharusnya tidak melakukan hal itu. Sekarang mari kita bicarakan bagaimana caranya agar kelak kamu mampu menangani situasi semacam itu dengan lebih baik”. Pengasuhan orang tua yang bersifat otoritatif berkaitan dengan prilaku

remaja yang kompeten secara sosial. Para remaja dari orang tua otoritatif biasanya mandiri dan memiliki tanggung jawab sosial.

c. Pengasuhan Orang Tua Melalaikan (neglectful parenting)

Pengasuhan orang tua yang bergaya melalaikan adalah gaya dimana orang tua tidak terlihat dalam kehidupan remaja. Orang tua yang lalai tidak dapat menjawab pertanyaan “Sekarang sudah jam 10 malam. Di mana remaja mu?” pengasuhan orang tua yang bersifat lalai berkaitan dengan perilaku remaja yang tidak kompeten secara sosial, khususnya kurangnya pengendalian diri. Remaja memiliki kebutuhan yang kuat untuk memperoleh perhatian orang tuanya; remaja yang dilalaikan orangtuanya merasa bahwa hal-hal lain dalam kehidupan orang tuanya lebih penting dari dirinya. Remaja yang orang tuanya lalai biasanya tidak kompeten secara sosial; memperlihatkan pengendalian diri yang buruk dan tidak menyikapi kebebasan diri dengan baik. Konsep yang berkaitan erat dengan pengasuhan orang tua yang lalai adalah kurangnya pengawasan orang tua. Dalam sebuah studi yang dilakukan baru-baru ini, pengawasan orang tua terhadap remaja berkaitan dengan nilai yang lebih tinggi, aktivitas seksual dan depresi yang lebih rendah.

d. Pengasuhan Orang Tua Memanjakan (indulgent parenting)

Pengasuhan orang tua yang memanjakan adalah suatu gaya pengasuhan dimana orang tua sangat terlibat dalam kehidupan remajanya namun hanya sedikit memberikan tuntutan atau kendali terhadap mereka. Orang tua yang memanjakan membiarkan remajanya melakukan apa pun yang mereka inginkan. Akibatnya, remaja tersebut tidak pernah belajar untuk mengendalikan prilakunya sendiri dan

mengasuh remajanya melaui cara ini karena mereka memiliki keyakinan keliru bahwa kombinasi dari keterlibatan yang hangat dan sedikitnya pembatasan akan mengahasilkan remaja yang percaya diri dan kreatif. Meskipun demikian, pengasuhan orang tua yang memanjakan berkaitan dengan rendahnya kompetensi sosial remaja, khususnya menyangkut pengendalian diri.

Menurut Baumrind, (1991 dalam Papalia, 2009) mengemukakan bahwa pola asuh dari orang tua sangat mempengaruhi kepribadian dan perilaku remaja. Ada tiga pola asuh orang tua, yaitu:

a. Otoritarian atau Otoriter

Adalah pola asuh yang menekankan kepatuhan dan kontrol. Orang tua berusaha membuat remaja mematuhi set standar perilaku dan menghukum mereka secara tegas jika melanggarnya. Orang tua bertindak semena-mena, tanpa dapat dikontrol oleh remaja. Mereka lebih mengambil jarak dan kurang hangat di bandingkan orang tua yang lain. Anak remajanya seolah-olah menjadi “robot”, sehingga anak kurang inisiatif, merasa takut, tidak percaya diri, pencemas, rendah diri, minder dalam pergaulan; tetapi disisi lain anak bisa memberontak, nakal, atau melarikan diri dari kenyataan. Dari segi positifnya, anak yang dididik dalam pola asuh ini, cenderung akan menjadi disiplin yakni mentaati peraturan. Akan tetapi bisa jadi, anak hanya mau menunjukkan kedisiplinan di hadapan orangtua, padahal dalam hatinya berbicara lain, sehingga ketika di belakang orang tua, anak bersikap dan bertindak lain. Hal itu tujuannya semata hanya untuk menyenangkan hati orang tua. Jadi anak cenderung memiliki kedisiplinan dan kepatuhan semu.

b. Permisif

Sifat pola asuh ini, children centered yakni segala aturan dan ketetapan keluarga ditangan anak. Orang tua hanya membuat sedikit permintaan dan membiarkan anak memonitor aktivitas mereka sendiri. Orang tua hangat, tidak mengontrol, dan menuntut. Apa yang dilakukan oleh anak diperbolehkan orang tua. Orang tua menuruti segala kemauan anak. Anak cenderung bertindak semena-mena, tanpa pengawasan orang tua. Anak bebas melakukan apa saja yang diinginkan. Dari sisi negarif, anak kurang disiplin dengan aturan-aturan sosial yang berlaku. Bila anak mampu menggunakan kebebasan tersebut secara bertanggung jawab, maka anak akan menjadi seorang yang madiri, kreatif, inisiatif, dan mampu mewujudkan aktualisasinya.

c. Otoritatif atau Demokratis

Pola asuh yang menggabungkan penghargaan terhadap individualitas anak tetapi juga menekankan batasan-batasan sosial. Orang tua percaya akan kemampuan mereka dalam memandu anak, tetapi juga menghargai keputusan mandiri, minat, pendapat, dan kepribadian anak. Kedudukan orang tua dan anak sejajar. Suatu keputusan diambil bersama dengan mempertimbangkan kedua belah pihak. Orang tua menyayangi dan menerima, tetapi juga meminta perilaku yang baik, tegas dalam menetapkan standar dan berkenan untuk menetapkan hukuman yang terbatas dan adil jika dibutuhkan dalam konteks hubungan yang hangat dan mendukung. Anak diberi kebebasan yang bertanggung jawab, artinya apa yang dilakukan oleh anak tetap harus dibawah pengawasan orang tua dan dapat dipertanggungjawabkan secara moral.

kepercayaan dan dilatih untukmempertanggungjawabkan segala tindakannya. Akibat positif dari pola asuh ini, anak menjadi seorang individu yang mempercayai orang lain, bertanggung jawab terhadap tindakan-tindakannya, tidak munafik, dan jujur. Namun akibat negatif, anak akan cenderung merongrong kewibawaan otoritas orang tua, kalau segala sesuatu harus dipertimbangkan antara anak-orang tua.

Menurut Wong (2008), tipe pola asuh orang tua dibedakan menjadi 3, yaitu: a. Otoriter atau Diktator

Orang tua mencoba untuk mengontrol perilaku dan sikap anak melalui perintah yang tidak boleh dibantah. Mereka menetapkan aturan dan regulasi atau standar perilaku yang dituntut untuk diikuti secara kaku dan tidak boleh dipertanyakan. Mereka menilai dan memberi penghargaan atas kepatuhan absolut, sikap mematuhi kata-kata mereka, dan menghormati prinsip dan kepercayaan keluarga tanpa kegagalan. Mereka menghukum secara paksa setiap perilaku yang berlawanan dengan standar orang tua. Otoritas orang tua dilakukan dengan penjelasan yang sedikit dan keterlibatan anak yang sedikit dalam mengambil keputusan. Hukuman tidak selalu berupa hukuman fisik tetapi mungkin berupa penarikan diri dari rasa cinta dan pengakuan. Latihan yang hati-hati sering kali mengakibatkan perilaku menurut secara kaku pada anak, yang cendrung untuk menjadi sensitif, pemalu, menyadari diri sendiri, cepat lelah dan tunduk. Mereka cendrung menjadi sopan, setia, jujur, dan dapat diandalkan tetapi mudah dikontrol. Perilaku-perilaku ini lebih khas terlihat ketika pengguna kekuasaan

diktator orang tua disertai dengan supervisi ketat dan tingkat kasih sayang yang masuk akal. Jika tidak, pengggunaan kekuasaan diktator lebih cendrung untuk dihubungkan dengan perilaku menentang dan antisosial.

b. Permisif atau Laissez-Faire

Orang tua memiliki sedikit kontrol atau tidak sama sekali atas tindakan anak-anak mereka. Orang tua yang bermaksud baik ini kadang-kadang bingung antara sikap permisif dan pemberian izin. Mereka menghindari untuk memaksakan standar perilaku mereka dan mengizinkan anak mereka untuk mengatur aktivitas mereka sendiri sebanyak mungkin. Orang tua ini menganggap diri mereka sendiri sebagai sumber untuk anak, bukan merupakan model peran. Jika peraturan memang ada, orang tua menjelaskan alasan yang mendasarinya, mendukung pendapat anak, dan berkonsultasi dengan mereka dalam proses pembuatan keputusan.Mereka memberlakukan kebebasan dalam bertindak, disiplin yang inkonsisten, tidak menetapkan batasan-batasan yang masuk akal, dan tidak mencegah anak yang merusak rutinitas dirumah. Orang tua jarang menghukum anak, karena sebagian besar perilaku dianggap dapat diterima.

c. Otoritatif atau Demokratik

Orang tua mengkombinasikan praktik mengasuh anak dari dua gaya yang ekstrim. Mereka mengarahkan perilaku dan sikap anak dengan menekankan alasan peraturan dan secara negatif menguatkan penyimpangan. Mereka menghormati individualitas dari setiap anak dan mengizinkan mereka untuk menyuarakan keberatannya terhadap standar atau peraturan keluarga. Kontrol orang tua kuat dan konsiten tetapi disertai dengan dukungan, pengertian, dan

takut pada hukuman. Orang tua membantu “pengarahan diri pribadi” suatu kesadaran mengatur perilaku berdasarkan perasaan bersalah atau malu untuk melakukan hal yang salah, bukan karena takut tertangkap atau takut dihukum. Standar realistis orang tua dan harapan yang masuk akal menghasilkan anak dengan harga diri tinggi, dan sangat interaktif dengan anak lain.

Menurut Hurlock (1999 dalam Risa, 2012), membagi bentuk pola asuh orang tua menjadi tiga macam yaitu:

a. Pola Asuh Otoriter

Pola asuh ini cenderung menetapkan standar yang mutlak harus dituruti, biasanya dibarengi dengan ancaman-ancaman. Orang tua tipe ini cenderung memaksa, memerintah, menghukum. Apabila anak tidak mau melakukan apa yang dikatakan orang tua, maka orang tua tipe ini tidak segan menghukum anak. Orang tua tipe ini juga tidak mengenal kompromi dan dalam komunikasi biasanya bersifat satu arah. Orang tua tipe ini tidak memerlukan umpan balik dari anaknya untuk mengerti mengenai anaknya.

b. Pola Asuh Demokratis

Pola asuh demokratis adalah pola asuh yang memprioritaskan kepentingan anak, akan tetapi tidak ragu-ragu mengendalikan mereka. Orang tua dengan pola asuh ini bersikap rasional, selalu mendasari tindakannya berdasarkan rasio atau pemikiran-pemikiran. Orang tua tipe ini juga bersikap realistis terhadap kemampuan anak, tidak berharap berlebihan yang melampui kemampuan anak. Orang tua tipe ini memberikan kebebasan kepada anak untuk memilih dan melakukan suatu tindakan, dan pendekatannya kepada anak bersifat hangat.

c. Pola Asuh Permisif

Pola asuh ini memberikan pengawasan yang sangat longgar. Memberikan kesempatan kepada anaknya untuk melakukan sesuatu tanpa pengawasan yang cukup darinya. Orang tua cenderung tidak menegur atau memperingatkan anak apabila anak sedang dalam bahaya, dan sangat sedikit bimbingan yang diberikan oleh mereka. Namun orang tua tipe ini biasanya bersifat hangat, sehingga sering kali disukai anak.

Dalam penelitian ini, teori yang diajukan sebagai landasan peneliti pada variabel pola asuh adalah teori dari Hurlock (1999).

2.1.3 Ciri-ciri Pola Asuh

Hurlock (1999 dalam Fini, 2008) mengemukakan ciri-ciri pola asuh, yaitu: a. Pola asuh otoriter mempunyai ciri:

1. Anak harus tunduk dan patuh pada kehendak orang tua

2. Pengontrolan orang tua pada tingkah laku anak sangat ketat hampir tidak pernah memberi pujian

3. Sering memberikan hukuman fisik jika terjadi kegagalan memenuhi standar yang telah ditetapkan orang tua

4. Pengendalian tingkah laku melalui kontrol eksternal b. Pola asuh demokratis mempunyai ciri:

1. Anak diberi kesempatan untuk mandiri dan mengembangkan kontrol internal

2. Anak diakui sebagai pribadi oleh orang tua dan turut dilibatkan dalam pengambilan keputusan

c. Pola asuh permisif mempunyai ciri: 1. Kontrol orang tua kurang 2. Bersifat longgar atau bebas

3. Anak kurang dibimbing dalam mengatur dirinya 4. Hampir tidak menggunakan hukuman

5. Anak diijinkan membuat keputusan sendiri dan dapat berbuat sekehendaknya sendiri.

2.1.4 Faktor Yang Mempengaruhi Pola Asuh

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi pola asuh menurut Edward (2006 dalam Refi, 2014) adalah:

a. Pendidikan orang tua

Pendidikan dan pengalaman orang tua dalam perawatan anak akan mempengaruhi persiapan mereka menjalankan pengasuhan. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menjadi lebih siap dalam menjalankan peran pengasuhan antara lain: terlibat aktif dalam setiap pendidikan anak, mengamati segala sesuatu dengan berorientasi pada masalah anak, selalu berupaya menyediakan waktu untuk anak-anak dan menilai perkembangan fungsi keluarga dan kepercayaan anak.

b. Lingkungan

Lingkungan banyak mempengaruhi perkembangan anak, maka tidakmustahil jika lingkungan juga ikut serta mewarnai pola-pola pengasuhan yang diberikan orang tua terhadap anaknya.

c. Budaya

Sering kali orang tua mengikuti cara-cara yang dilakukan oleh masyarakat dalam mengasuh anak, kebiasaan-kebiasaan masyarakat disekitarnya dalam mengasuh anak. Karena pola-pola tersebut dianggap berhasil dalam mendidik anak kearah kematangan. Orang tua mengharapkan kelak anaknya dapat diterima dimasyarakat dengan baik, oleh karena itu kebudayaan atau kebiasaan masyarakat dalam mengasuh anak juga mempengaruhi setiap orang tua dalammemberikan pola asuh terhadap anaknya.

2.2Remaja

2.2.1 Pengertian Remaja

Masa remaja merupakan masa transisi perkembangan individu dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa, dimana pada masa tersebut terjadi perkembangan perubahan yang sangat pesat baik fisik, psikologis dan sosial (Potter & Perry, 2005). Masa remaja terdiri dari atas tiga subfase yang jelas yaitu masa remaja awal (usia 11 sampai 14 tahun), masa remaja pertengahan (usia 15 sampai 17 tahun), dan masa remaja akhir (usia 18 sampai 20 tahun) (Winkelstein & Schwartz, 2009)

2.2.2 Ciri-Ciri Masa Remaja

Menurut Hurlock (1999)dalamRisa (2012) seperti halnya dengan semua periode yang penting selama rentang kehidupan, masa remaja mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakannya dengan periode sebelum dan sesudahnya. Ciri-ciri tersebut adalah :

Dianggap periode yang penting karena akibatnya langsung terhadap sikap dan perilaku, dan karena akibat-akibat jangka panjang. Pada periode remaja, baik akibat langsung maupun akibat jangka panjang tetap penting. Ada periode yang penting karena akibat fisik dan ada lagi karena akibat psikologis. Awal masa remaja, perkembangan fisik yang cepat dan perkembangan mental yang cepat, sehingga mengakibatkan perlunya penyesuaian mental dan perlunya membentuk sikap, nilai, dan minat baru.

b. Masa remaja sebagai periode peralihan.

Peralihan berarti tidak terputus atau berubah dari yang telah terjadi sebelumnya, melainkan lebih-lebih sebuah peralihan dari satu tahap ke tahap perkembangan berikutnya. Artinya, apa yang telah terjadi sebelumnya akan meninggalkan bekasnya pada apa yang terjadi sekarang dan yang akan datang. Perubahan fisik yang terjadi sebelum tahap awal masa remaja mempengaruhi tingkat perilaku individu dan mengakibatkan diadakannya penilaian kembali penyesuaian nilai-nilai yang telah tergeser.

c. Masa remaja sebagai periode perubahan.

Tingkat perubahan dalam sikap dan perilaku selama masa remaja sejajar dengan tingkat perubahan fisik.

Ada empat perubahan yang hampir bersifat universal, yaitu :

1. Meningginya emosi yang intensitasnya bergantung pada tingkat perubahan fisik dan psikologis yang terjadi. Karena perubahan emosi biasanya terjadi

lebih cepat selama masa awal remaja, maka meningginya masa emosi lebih menonjol pada masa periode akhir.

2. Perubahan tubuh, minat, dan peran yang diharapkan oleh kelompok sosial menimbulkan masalah baru. Bagi remaja muda, masalah baru yang timbul tampaknya lebih banyak dan lebih sulit di selesaikan dibandingkan masalah yang dihadapi sebelumnya. Remaja akan tetap merasa ditimbuni masalah, sampai ia sendiri menyelesaikannya menurut kepuasannya. 3. Perubahan minat dan pola perilaku mengakibatkan perubahan

nilai-nilaiyang dianggap penting pada masa kanak-kanak, sekarang setelah hampir dewasa tidak penting lagi.

4. Sebagian besar remaja bersikap ambivalen terhadap setiap perubahan. Mereka menginginkan dan menuntut kebebasan tetapi mareka sering takut bertanggung jawab akan akibatnya dan meragukan kemampuan mareka untuk dapat mengatasi tanggung jawab tersebut.

d. Masa remaja sebagai usia bermasalah.

Masalah remaja sering menjadi masalah yang sulit diatasi baik oleh anak laki-laki maupun anak perempuan. Terdapat dua alasan kesulitan. Pertama sepanjang masa kanak-kanak, masalah anak sebagian diselesaikan oleh orang tua dan guru-guru, sehingga kebanyakan remaja tidak berpengalaman dalam mengatasi masalah. Kedua, karena remaja merasa mandiri, sehingga mareka ingin mengatasi masalahnya sendiri, menolak bantuan orang tua dan guru-guru.

Awal masa remaja diperlihatkan dengan penyesuaian diri dengan kelompok masih tetap penting bagi anak laki-laki dan anak perempuan. Lambat laun mulai mendambakan identitas diri dan tidak puas lagi dengan menjadi sama seperti temannya dalam segala hal.

Salah satu cara untuk mencoba mengangkat diri sendiri sebagai individu adalah dengan menggunakan simbol status dalam menggunakan mobil, pakaian, dan barang-barang mewah lain yang mudah terlihat. Remaja menarik perhatian pada diri sendiri dan agar dipandang sebagai individu, sementara pada saat yang sama ia mempertahankan identitas dirinya terhadap kelompok sebaya.

f. Masa remaja sebagi usia yang menimbulkan ketakutan.

Anggapan Stereotip budaya bahwa remaja adalah anak-anak yang tidak rapi, yang tidak dapat dipercaya, dan cenderung merusak dan berperilaku merusak, menyebabkan orang dewasa yang harus membimbing dan mengawasi kehidupan remaja muda takut bertanggung jawab dan bersikap tidak simpatik terhadap perilaku remaja normal. stereotip berfungsi sebagai cermin yang ditegakkan masyarakat bagi remaja yang menggambarkan citra diri remaja sendiri yang lambat laun dianggapnya sebagai gambaran yang asli dan remaja membentuk perilakunya sesuai gambaran ini. Dengan menerima stereotip tersebut dan adanya keyakinan bahwa orang dewasa mempunyai pandangan yang buruk tentang remaja, membuat peralihan ke masa dewasa menjadi sulit.

g. Masa remaja sebagai masa yang tidak realistis.

Remaja cenderung melihat dirinya sendiri dan orang lain sebagaimana yang diinginkan dan bukan sebagaimana adanya terlebih dalam hal cita-cita. Semakin tidak realistiknya cita-cita semakin menjadi marah. Remaja akan sakit hari dan kecewa apabila orang lain mengecewakannya atau kalau dia tidak berhasil mencapai tujuan yang ditetapkanya sendiri. Menjelang berakhirnya masa remaja, pada umunya baik anak laki-laki maupun anak perempuan sering terganggu oleh idealisme yang berlebihan bahwa mereka segera harus melepaskan kehidupan mereka yang bebas bila telah mencapai status orang dewasa.

h. Masa remaja sebagai ambang masa dewasa.

Semakin mendekatnya usia kematangan, para remaja mulai memusatkan diri pada perilaku yang dihubungkan dengan status dewasa, yaitu merokok, minum minuman keras, menggunakan oabt-obatan, dan terlibat dalam perbuatan seks. Mereka menganggap bahwa perilaku tersebut akan memberikan citra yang mereka inginkan.

2.3Tugas Perkembangan Remaja

2.3.1 Pengertian Tugas Perkembangan

Menurut Havighurst (Agustiani, 2009), pengertian tugas perkembangan adalah tugas yang muncul pada saat atau sekitar satu periode tertentu dari kehidupan individu, yang jika berhasil akan menimbulkan rasa bahagia dan membawa kearah keberhasilan dalam melaksanakan tugas-tugas berikutnya, akan

menghadapi tugas-tugas berikutnya.

Tugas Perkembangan adalah setiap tahapan perkembangan manusia yang berasal dari harapan masyarakat yang harus dipenuhi oleh individu. Keberhasilan atau kegagalan dalam melaksanakan tugas perkembangan pada periode usia tertentu akan mempengaruhi berhasil atau tidaknya seseorang dalam menjalankan tugas perkembangan pada usia selanjutnya. Pada usia remaja terdapat pula tugas-tugas perkembangan tertentu yang harus dipenuhi oleh individu. Pada akhir

Dokumen terkait