• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

6.2 Saran

Berdasarkan hasil yang didapatkan, maka rekomendasi dari peneliti adalah:

1. Puskesmas sebagai layanan primer dapat melakukan tindakan pencegahan terhadap kejadian preeklampsia di daerah lingkupan kerja dengan melakukan penyuluhan mengenai faktor risiko preeklampsia dan menganjurkan konseling antenatal care secara teratur empat kali selama masa kehamilan.

2. Dianjurkan kepada wanita untuk merencanakan kehamilan pada usia 18-35 tahun.

3. Setiap wanita sebaiknya memiliki pengetahuan yang baik dengan lebih banyak mencari informasi untuk menjaga dirinya dari segala jenis penyakit yang mungkin akan timbul dan menerapkan pengetahuannya dalam kehidupan.

4. Penelitian berikutnya dapat melakukan penelitian multicenter dengan menilai setiap faktor risiko secara bersamaan serta mencantumkan jenis pekerjaan yang cenderung menyebabkan risiko preeklampsia.

`BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Preeklampsia

Preeklampsia ialah suatu sindrom spesifik kehamilan dengan adanya penurunan perfusi organ yang diakibatkan vasospasme pembuluh darah dan aktivasi endotel. Diagnosis penyakit ini dapat ditegakan jika didapati hipertensi disertai proteinuria atau/dan edema pada usia kehamilan lebih dari 20 minggu. Dalam hal ini seorang pasien dikatakan proteinuria jika terdapat 300 mg atau lebih

protein dalam urin per 24 jam atau hasil disptik test menunjukan angka ≥ +1secara

menetap pada sampel acak urin (Angsar, 2010).

2.2 Etiologi dan Patogenesis Preeklampsia

Penyebab pasti preeklampsia belum diketahui sampai saat ini. Namun, beberapa teori terkait faktor yang diduga menyebabkan preeklampsia telah dikemukakan. Faktor tersebut ialah genetik, keadaan vaskular, hormonal, nutrisional, dan faktor perilaku.

Adanya gangguan pada vakularisasi plasenta pada preeklampsia menyebabkan plasenta iskemik atau hipoksia. Kelainan ini terjadi karena kegagalan sitotrofoblas menginvasi arteri spiralis secara adekuat serta rendahnya resistensi sirkulasi uteroplasenta dibandingkan dengan kehamilan normal. Plasental iskemik juga dapat terjadi karena adanya penyakit vaskular bawaan ibu misalnya hipertensi kronik atau keadaan imunologi yang menyebabkan kerusakan plasenta. Selain hal tersebut, peningkatan kebutuhan metabolik pada kehamilan ganda dan janin besar juga dapat menyebabkan iskemik (Hacker et al, 2010).

Uteroplasental yang mengalami iskemik akan menghasilkan stress oksidatif dan toksin yang akan menyebar ke sirkulasi sehingga menyebabkan inflamasi dan disfungsi endotel. Hal ini mengakibatkan terjadinya peningkatan turunan oksidatif lipid dan mengurangi jumlah enzim antioksidan di sirkulasi. Antiokisidan enzimatik seperti Superoxide dismutase (SOD), Glutathione

peroxidase (GPx), Glutatioe reductase (GSH) dan katalase membatasi konsentrasi

menghalangi kerja reactive oxygen species (ROS) dan menurunkan kerja oksidan dalam sel. Dismutase mengkonversi superoksida oksigen menjadi hidrogen peroksida. Suatu penelitian telah membuktikan pemberian antioksidan bermanfaat untuk menentralkan oksidatif stress yang tidak seimbang tersebut sehingga memperlampat onset perburukan preeklampsia (Vijayalakshmi, 2013).

Disfungsi endotelial menyebabkan ketidakseimbangan antara vasokonstriktor dan vasodilator lokal. Preeklampsia berhubungan dengan gangguan produksi prostaglandin dengan penurunan rasio vasodilator prostaglandin E2 (PGE2) dan vasokonstriktor prostasiklin dan thromboksan. Perubahan endotelial menunjukan adanya defisiensi nitrit oksida, vasodilator dan inhibitor dari agregasi platelet, sedangkan endotelin-1 meningkat. Endotelin-1 merupakan vasokonstriktor poten dan aktivator platelet. Keadaan vasokonstriksi ini dapat menyebabkan respon pada penekanan hormon. Efek dari proses-proses tersebut akan menyebabkan vasokonstriksi yang memicu hipoksia dan iskemik pada vaskular bed yang lainya, sistemik hipertensi, HELLP (Hemolysis, Elevated

Liver enzymes, Low Platelet count) sindrom atau DIC (Disseminated Intravaskular Coagulation) dan plasenta iskemik yang lebih buruk (Hacker et al,

2010).

Pada wanita preeklampsia terdapat ketidakseimbangan antara angiogenik dan antiagiogenik protein. Level sirkulasi dari proagiogenik protein vaskular

endothelial growth factor (VEGF) dan plasental growth factor (PIGF) menurun,

sedangkan level antiagiogenik protein soluble fms-like tyrosine kinase 1(sFlt-1) dan sEndoglin (sEng) larut meningkat (Jin-Young et al, 2004). Peningkatan sFlt-1 dan sEng terjadi akibat adanya stimulus dari Plasenta iskemik (Parrish, 20sFlt-10). Peningkatan antiangiogenik ini berhubungan juga dengan peningkatan tumor

necrosis factor-α (TNF-α) dan autoantibodi terhadap angiotensin II receptor

(AT1-AA) (Herse, 2009). Pada penelitian dengan menggunakan hewan coba menunjukan bahwa ekspresi berlebihan dari sFlt1 menyebabkan sindrom preeklampsia (Chung et al, 2004).

Beberapa studi menunjukan bahwa preeklampsia terkait pada adanya mediator inflamasi yang dikeluarkan oleh trofoblas. Sitokin dan kemokin

merupakan mediator yang paling berperan dalam proses inflamasi. Pada preeklampsia trofoblas mengekspresikan sitokin inflamasi seperti interleukin (IL)

1 , 2,4,6,8,10,12 dan 18, transforming growth factor (TGF)- 1, IFN- -inducible

protein 10 (IP-10), tumor necrosis factor (TNF)-α, interferon (IFN)- , monosit kemotactic factor (MCP)-1, intercellular adhesion factor (ICAM)-1, dan vaskular cell adhesion molecule (VCAM)-1 (LaMarca, 2007; Szarka, 2011).

Pada preeklampsia ditemukan bahwa ada peningkatan konsentrasi IP-10 dan IL-6 pada serum maternal dibandingkan dengan kehamilan normal (Gotsch, 2007; Molvarec, 2011). IP-10 memiliki potensi proinflamasi dan antiangiogenesis pada preeklampsia serta mempromosikan adhesi, migrasi, dan invasi trofoblas. Sedangkan IL-6 terlibat dalam invasi, proliferasi, dan stress oksidatif yang memiliki peranan dalam patogenesis preeklampsia (Lockwood, 2008). Peningkatan IP-10 dan IL-6 pada hipertensi yang diinduksi kehamilan ini terjadi karena adanya peranan dari IL-27. Interleukin ini menginduksi ekspresi IP-10 dan IL-6 pada sel trofoblas via aktivasi JAK/STAT, p38MAPK, dan PI3K signaling pathway (Nanlin Yin et al, 2014).

Penelitian yang mencari efek ICAM-1 gen K469E sebagai risiko preeklampsia sudah banyak dilakukan namun belum banyak yang menunjukan adanya hubungan kedua hal ini (Lim et al, 2008). Penelitian pertama kali mengenai hal ini dilakukan di United Kingdom dilakukan oleh Freedman et al (2004) menunjukan bahwa tidak ada hubungan ICAM dengan preklampsia. Kemudian pada populasi di Korea juga dilakukan hal yang sama namun belum juga menunjukan hubungan yang signifikan (Lim et al, 2008). Penelitian terbaru yang dilakukan Tabatabai (2014) menyatakan bahwa ICAM-1 gen K469E bukan merupakan faktor risiko pada patogenesis preeklampsia pada populasi di Iran.

Preeklampsia di duga terkait dengan adanya masalah gen. Gangguan masa kehamilan ini mungkin terkait gen resesif tunggal atau gen dominan dengan penetrasi yang tidak lengkap. Penetrasi ini memiliki kemungkinan tergantung dari genotip janin. Genom ibu dan janin memiliki peran yang berbeda selama masa perkembanganya. Pembentukan genom yang dimiliki janin berasal dari ayah bukan dari ibu. Pembentukan genom ini diperlukan untuk perkembangan trofoblas

yang normal. Perbedaan antara genom ibu dan janin ini di duga mengakibatkan konflik gen antara ibu dan janin namun ibu tidak mampu mengatasi konflik genetik fisiologis tersebut (Dekker dan P.Y.Robillard, 2005).

2.3 Faktor Risiko Preeklampsia 2.3.1 Faktor Maternal

Faktor risiko preeklampsia tidak hanya terkait faktor maternal namun juga faktor paternal dan faktor eksternal. Shamsi et al (2013) menyimpulkan dari berbagai sumber bahwa faktor risiko penyakit ini yang terkait faktor maternal adalah usia, paritas, sosioekonomi yang rendah, body mass index, riwayat preeklampsia pada kehamilan sebelumnya, jenis kehamilan (tunggal atau ganda), riwayat keluarga diabetes dan hipertensi.

1. Usia

Banyak sumber yang mengaitkan hubungan antara usia dan preeklampsia. Namun masih ada perbedaan pendapat mengenai hal ini. Ada penelitian yang menyatakan adanya hubungan usia dengan preeklampsia khususnya pada usia yang lebih tua, yakni diatas 35 tahun, sedangkan kelompok penelitian lain menyatakan adanya hubungan pada usia yang lebih muda (Duckitt & Deborah, 2005). Pada penelitian multicenter yang dilakukan Shamsi et al (2010) bahkan tidak menunjukan adanya hubungan antara usia dengan preeklampsia.

2. Paritas

Sama halnya dengan usia faktor risiko paritas ini pun masih memiliki perdebatan. Adanya hubungan paritas dengan preeklampsia yaitu wanita yang primigravida memiliki risiko lebih besar daripada wanita multigravida (Rozikhan, 2007). Hal ini didukung oleh hasil penelitian yang menyatakan bahwa wanita yang nullipara memiliki risiko 2,91 kali dibandingkan dengan yang multipara. Pada penelitian lain tidak didapati adanya keterkaitan faktor ini dengan preeklampsia (Shamsi et al, 2010).

3. Sosial ekonomi

Sosial ekonomi menyangkut pekerjaan dan pendidikan memiliki peran terhadap kejadian preeklampsia ini. Hal ini dipertimbangkan sebagai faktor risiko karena dengan pendidikan yang baik maka dimungkinkan pengetahuan ibu tentang kehamilan dan kesadaran akan pentingnya antenatal care akan lebih baik sehingga dapat dilakukan pencegahan preeklampsia (Langelo et al, 2013). Hasil penelitian tersebut sejalan dengan hasil penemuan Direkvand-Moghadam et al (2012). Status ekonomi yang rendah memungkinkan kurangnya asupan energi, protein, dan kalsium. Hal tersebut dapat meningkatkan risiko terjadinya preeklampsia (Nuryani et al, 2013). Selain itu dari data distribusi pasien preeklampsia kebanyakan adalah pasien yang tidak bekerja (Djannah & Ika, 2010)

4. Status Gizi

Obesitas merupakan faktor risiko pada kebanyakan penyakit. Sama halnya pada keadaan preeklampsia obesitas juga memicu timbulnya keadaan ini. Hal ini ditunjukan oleh beberapa penelitian Marviel (2008) dan Bodnar (2005) bahwa obesitas memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian preeklampsia. Data lain menunjukan hal yang tidak sejalan dengan penelitian tersebut. Pada penelitian yang dilakukan Direkvand-Moghadam et al (2012) dinyatakan bahwa tidak ada keterkaitan antara obesitas dengan preeklampsia 5. Riwayat preeklampsia pada kehamilan sebelumnya

Wanita dengan kehamilan pertama mengalami preeklampsia maka wanita tersebut memiliki risiko tujuh kali lebih tinggi mengalami preeklampsia pada kehamilan kedua. Sama halnya jika preklampsia tersebut terjadi pada kehamilan kedua, risiko berulang pada kehamilan ketiga juga tinggi yakni tujuh kali (Duckitt, 2005).

6. Jenis kehamilan

Kehamilan ganda sering disebut sebagai salah satu faktor preeklampsia. Namun Rozkhan (2007) tidak menemukan adanya hubungan yang signifikan antara kedua hal ini. Walaupun tidak ada hubungan yang signifikan tetapi

kehamilan ganda akan meningkatkan risiko sebesar 1,52 kali lebih besar dibandingkan kehamilan tunggal.

7. Jenis Kelamin Janin

Jenis kelamin laki-laki di dalam kandungan mengakibatkan terjadinya peningkatan testosteron. Sehingga hal ini pun diduga sebagai salah satu faktor terjadinya preeklampsia (Saftlas et al,2004). Pada kehamilan dengan jenis kelamin laki-laki di temukan adanya penurunan ekspresi aromatase yang berfungsi untuk memetabolisme testosteron menjadi esterogen. Hal ini mengakibatkan terjadinya peningkatan testosteron. Selain itu dugaan adanya disregulasi dari signal androgen bersama dengan overekspresi androgen reseptor pada plasenta terlibat dalam perkembangan kelainan perkembangan dan transport plasenta yang akhirnya meningkatkan frekuensi komplikasi terkait preeklampsia pada ibu dan janin (Sathishkumar et al, 2012).

8. Riwayat Keluarga diabetes dan hipertensi

Pada wanita dengan riwayat keluarga hipertensi sebaiknya dilakukan

screening untuk mengidentifikasi siapa saja yang perlu monitoring gejala dan

tanda preeklampsia pada awal kehamilan. Riwayat keluarga memiliki keterkaitan positif dengan berbagai penyakit termasuk dalam kasus ini (Sanchez, 2003).

2.3.2 Faktor Sehubungan dengan Kehamilan

Faktor-faktor yang dapat memicu preeklampsia tidak hanya masalah internal ibu saja. Namun ada faktor lain yang juga bisa mempengaruhi. Faktor tersebut salah satunya adalah faktor risiko yang berhubungan dengan kehamilan. Faktor yang dimaksudkan ialah infeksi saluran kemih selama kehamilan, fetal

malformation, faktor paternal (primipaternitas), pembatasan paparan sperma

dengan menggunakan kondom, spermisida atau senggama terputus, dan usia suami lebih dari 35 tahun. Adanya fetal malformation seperti kelainan kongenital, polihidroamnion, hidrops fetalis, dan kelainan kromosom meningkatkan risiko preeklampsia ini (Shamsi, 2013).

1. Infeksi Saluran Kemih

Adanya infeksi saluran kemih dapat meningkatkan sitokin yang mempengaruhi fungsi endotelial sehingga individu yang mengalaminya dapat menderita preeklampsia. Adanya hubungan infeksi ini dengan preeklampsia ditunjukan oleh penelitian Conde-Agudelo et al (2008). Namun hal yang berbeda didapati pada penelitian Shamsi (2010). Pada penelitian tersebut jumlah wanita dengan keadaan preeklampsia yang mengalami infeksi saluran kemih lebih banyak dibandingkan dengan kelompok yang tidak preeklampsia. Namun perbedaannya tidak signifikan.

2. Fetal malformation

Risiko preeklampsia meningkat pada adanya kelainan struktural bayi. Kelainan yang dimaksud ialah congenital anomalie, polyhidroamnion, hydrop

fetalis, kelainan kromosom dan kehamilan mola hidatidosa (Angsar, 2010)

3. Pembatasan pemaparan sperma

Paternal antigen akan menimbulkan respon imun dengan mengaktivasi sel T. hal ini telah didemonstrasikan dengan penggunaan model MHC kelas I, antigen H-Y dan OVA, sebagai antigen paternal (Erlebacher, 2007). Pemaparan antigen konsepsi akan membangkitkan toleransi sel T CD8+. Aktivasi sel ini tidak hanya untuk menginduksi toleransi antigen paternal tetapi juga untuk meregulasi populasi leukosit. Kekurangan maternal CD8+

dengan antibodi α-CD8 akan menginduksi aborsi spontan dan mereduksi perkembangan plasenta. Hal ini menununjukan pentingnya sel ini untuk kelangsungan hidup fetus dan toleransi imun (Moldenhauer, 2008).

Pada beberapa penelitian ditemukan bahwa penggunaan barier kontrasepsi menyebabkan berkurangnya pemaparan antigen paternal dan faktor

imuno-modulating pada semen akan meningkatkan terjadinya preeklampsia

sedangkan pemaparan yang lama dapat menurunkan kejadian preeklampsia (Yousefi et al, 2006; Sadat et al, 2012). Hasil penelitian Bastani et al (2007) pada wanita primigravida juga menunjukan adanya peningkatan risiko preeklampsia pada penggunanaan kondom atau senggama terputus dan adanya penurunan risiko preeklampsia pada wanita dengan frekuensi koitus sebelum

konsepsinya lebih sering. Hal ini menunjukan bahwa penting adanya pemaparan cairan seminal yang lama untuk mengoptimalisasi luaran kehamilan dan menjadi faktor pelindung terjadinya preeklampsia.

4. Faktor paternal (primipaternitas)

Adanya pemaparan sperma dalam jangka watu yang lama akan mengurangi risiko terjadinya preeklampsia. Namun hal tersebut hanya berlaku jika hanya ada satu jenis antigen sperma yang terpapar. Dengan kata lain hanya dari satu paternal antigen. Hal ini terbukti pada kehamilan berikutnya dengan pasangan baru risiko preeklampsia kembali seperti kehamilan pertama karena faktor protektif dari pasangan pertama sudah hilang (Dekker dan P.Y.Robillard, 2005).

5. Usia suami >35 tahun

Jika dilakukan perbandingan antara usia suami 25-34 tahun dan 35-44 tahun, maka akan didapati risiko preeklampsia meningkat 24% dan jika dibandingkan dengan usia lebih dari 45 tahun maka risikonya meningkat hingga 80%. Hal ini dimungkinkan karena adanya kerusakan sperma karena adanya mutasi genetik yang dipengaruhi oleh penuaan atau radiasi lingkungan, panas dan pestisida. Segala penyebab kerusakan tersebut meningkatkan risiko preeklampsia (Harlap et al, 2002).

2.3.3 Faktor Eksternal

Faktor eksternal juga mempengaruhi preeklampsia ini. Hal tersebut ialah merokok, stress dan status pekerjaan wanita. Merokok dianggap sebagai faktor yang dapat menurunkan risiko preeklampsia. Namun, merokok selama masa kehamilan tidak dianjurkan karena luaran perinatalnya buruk. Sedangkan faktor stress dan pekerjaan dapat meningkatkan risiko preeklampsia (Saftlas, 2004). 1. Merokok

Merokok dianggap sebagai faktor yang dapat menurunkan risiko preeklampsia. Namun, merokok selama masa kehamilan tidak dianjurkan karena luaran perinatalnya buruk (Saftal,2004).

2. Stress

Semakin besar skor stress seorang wanita hamil selama masa kehamilanya maka akan terjadi peningkatan risiko preeklampsia. Score stress tersebut didapat dengan menggunakan Perceived Stress Scale (PSS). Dalam PSS tersebut digunakan sepuluh item untuk melihat kondisi yang menimbulkan stress beberapa bulan terakhir. Skor total yang didapat antara 0-40. Skor yang semakin tinggi menunjukan semakin besar stress yang diterima (Shamsi et al, 2010).

3. Status pekerjaan wanita

Status pekerjaan berkaitan dengan faktor stress yang diterima di dalam menjalankan pekerjaan tersebut (Saftlas, 2004).

2.4 Diagnosis Preeklampsia

Kriteria diagnostik menurut American College of obstetricians and

Gynecologists (ACOG) (2013) untu diagnostik kriteria preeklampsia ialah:

Tabel 2.1. Kriteria Diagnostik untuk Preeklampsia

Tekanan Darah Sistolik lebih tinggi atau sama dengan 140 mmHg atau diastolik lebih tinggi atau sama dengan 90 mmHg pada dua kali pengukuran pada minimal jarak pengukuran 4 jam setelah kehamilan 20 minggu pada wanita dengan tekanan darah sebelumnya normal. Sistolik lebih tinggi atau sama dengan

160 mmHg atau diastolik lebih tinggi atau sama dengan 110 mmHg, hipertensi dapat dikonfirmasi dengan interval waktu yang singkat (menit) dengan pemberian terapi hipertensi. Dan

mg per urine 24 jam atau

Protein/creatinine ratio lebih besar atau sama dengan 0,3*

Pembacaan dipstick 1+ (jika metode yang lain tidak tersedia)

Jika proteinuria tidak ditemukan maka digunakan onset baru hipertensi dengan onset baru hal berikut:

Thrombositopenia Hitung platelet kurang dari 100.000/microliter

Renal Insufisiensi Konsentrasi serum kreatinin lebih besar dari 1,1 mg/dl atau keraguan konsentarsi serum kreatinin pada tidak ditemukannya kelainan ginjal. Gangguan fungsi hati Meningkat konsentrasi liver

transaminase dua kali normal Edema Paru

Simptom cerebral atau visual *setiap penghitungan dalam mg/dl

Menurut ACOG (2013) sebutan untuk preeklampsia ringan tidaklah sesuai karena angka kematian dan kesakitan pada kasus ini juga tinggi. Sehingga termonologi bahasa untuk preeklampsia ringan ubah menjadi preeklampsia ciri-ciri pemberat. Ciri-ciri pemberat yang dimaksud ialah:

Tabel 2.2 Ciri-ciri pemberat preeklampsia

 Tekanan darah sistolik lebih besar atau sama dengan 160 mmHg atau diastolik lebih tinggi atau sama dengan 110 mmHg pada dua kali pengukuran pada minimal jarak pengukuran 4 jam saat pasien berada di tempat tidur (kecuali diberi terapi antihipertensi sebelumnya).

 Thrombositopenia (hitung platelet kurang dari 100.000/mikroliter).

kali normal), nyeri hebat kuadran kanan atas atau nyeri epigastrium yang tidak berespon dengan pengobatan dan tidak dapat diberikan penjelasan dengan alternatif diagnosis atau keduanya.

 Renal insufisiensi progresif (Konsentrasi serum kreatinin lebih besar dari 1,1 mg/dl atau keraguan konsentarsi serum kreatinin pada tidak ditemukannya kelainan ginjal).

 Edema paru

 Gangguan serebral atau visual.

Penelitian untuk mendeteksi preeklampsia lebih awal telah dilakukan yaitu dengan penelitian biomarker. Namun marker yang didapatkan sebagai prediksi preeklampsia belum konsisten. Oleh karena itu masih perlu dilakukan penelitian

multicenter untuk mendapatkan kombinasi marker terbaik yang akan digunakan

secara rutin di tempat praktek (Grill et al, 2009). 2.5 Penatalaksanaan Preeklampsia

Penanganan preeklampsia dilakukan mulai dari terdiagnosis sampai persalinan. Saat kehamilan, kontrol tekanan darah sangat penting dilakukan untuk mencegah kelainan serebrovaskular (biasanya pada tekanan darah lebih dari atau sama dengan 170/120). Persalinan pada wanita dengan preeklampsia tanpa ciri pemberat disarankan setelah usia kehamilan cukup (>35-36 minggu), pada preeklampsia dengan pemberat kriteria tekanan darah persalinan dilakukan kurang dari 32 minggu. Kebanyakan kasus persalinan dilakukan dengan bedah sesar. Persalinan pervaginam pada kehamilan jauh dari cukup bulan dengan serviks yang tidak mendukung berkisar 15-20%. Saat intrapartum dan 24 jam setelah melahirkan diberi Magnesium sulfat untuk mencegah eclampsia (Norwitz dan Schorge, 2008).

Interleukin 27 (IL-27) seperti yang telah dijelaskan merupakan salah satu mediator yang diduga menyebabkan preeklampasia. Interleukin ini juga merupakan faktor proinflamsi pada penyakit lain seperti psoriasis, arthritis, dan asma. Oleh karena itu ada kemungkinan penggunaan obat pada penyakit tersebut

dapat digunakan pada preeklampsia. IL-27 dapat digunakan sebagai target untuk penanganan preklampsia (Nanlin Yin et al, 2014)

Pada penelitian yang dilakukan Jin et al (2013) ditemukan bahwa pada preeklampsia respon sistolik dari cicin aorta torakalis meningkat sedangkan respon diastoliknya menurun terhadap Ach (acetylcholine) dan SNP (sodium

nitroprusside). Sehingga intervensi yang dapat diberikan untuk mengatasi hal

tersebut adalah dengan pemberian losartan dan grup HSYA (Hydroxysafflor Yellow A). Penggunaan obat ini dapat meningkatkan respon diatolik aorta terhadap Ach dan SNP. Ketika respon meningkat diharapkan berkurangnya kontraksi vaskuler karena preeklampsia dapat menjadi lebih baik. Efek farmakologi dari kedua obat ini berbeda namun keduanya dapat melindungi

vascular endothelial cells (VEC) dan VSMC melawan kerusakan vaskular yang di

induksi AT1-Ab.

2.6 Komplikasi Preeklampsia

Ketika telah dilakukan persalinan tekanan darah pada pasien preeklampsia dapat kembali normal tanpa ada komplikasi namun dapat juga terdapat komplikasi. HELLP sindrome merupakan komplikasi yang paling sering, sekitar 4%. Pada kasus ini terjadi hemolisis, enzim hati mningkat, dan trombosit rendah. Komplikasi lain yang dapat terjadi ialah edema paru dan sindrom gagal nafas akut, oligohidroamnion, infark plasenta, abruptio plasenta, prematuritas, kematian janin dalam kandungan, intrauterine growth retardation, perdarahan paskapersalinan, gagal ginjal, stroke, eklampsia, hingga kematian ibu (Norwitz Schorge, 2008).

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang

Kesehatan ibu dan bayi merupakan masalah yang banyak disoroti dalam dunia kesehatan. Hal ini dibuktikan dengan adanya tujuan pembangunan millennium (Millenium Development Goals/MDGs) untuk menurunkan tiga perempat angka kematian ibu dalam kurun waktu 1990-2015. Pada tahun 2015 di Indonesia diharapkan hanya terdapat 102 kematian dari 390 kematian per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 1991. Dari hasil yang diharapkan tersebut sampai tahun 2007 angka kematian turun menjadi 228 per 100.000 kelahiran hidup. Pada tahun 2010 terdapat 3,6% angka kematian ibu di Sumatera Utara yakni berjumlah 11.534 kematian ibu (Hernawati, 2011). Sementara itu tujuan pembangunan millennium (Millenium Development Goals/MDGs) untuk angka kematian bayi adalah menurunkan hingga dua per tiga angka kematian dalam kurun waktu 1990-2015. Pada tahun 2012 angka kematian bayi sudah menurun dari 12,4 juta pada tahun 1990 menjadi 6,6 juta angka kematian bayi.

Pada tahun 2013 ratio kematian ibu di negara berkembang adalah 230 per 100.000 kelahiran hidup. Kematian ini disebabkan oleh komplikasi selama masa kehamilan dan saat melahirkan. Kebanyakan komplikasi yang terjadi timbul selama masa kehamilan. Komplikasi yang paling umum sekitar 80% meninggal karena perdarahan hebat, infeksi, hipertensi pada masa kehamilan, dan aborsi yang tidak aman (WHO, 2014). Angka kematian ini di Indonesia sendiri masih tinggi karena perawatan persalinan yang ditangani oleh petugas non medik, etiologi yang belum jelas, dan sistem rujukan yang belum sempurna (Angsar, 2010).

Preeklampsia mencakup 50% manifestasi hipertensi dalam kehamilan. Insidensinya 5-15% dari seluruh kehamilan (De Souza Rugolo et al, 2011). Faktor risiko terjadinya hal ini ialah multifaktor. Hal-hal yang dapat memicu terjadinya preeklampsia ini bukan hanya faktor kehamilanya misalnya kehamilan ganda, kelainan kongenital, hidrofetalis, kelainan kromosom, mola hidatidosa dan infeksi

saluran kemih tetapi juga faktor sebelum konsepsi dan atau penyakit kronik lainya (Dekker, 2005).

Etiologi dari Preeklampsia ini belum jelas hingga saat ini. Namun beberapa hipotesis telah dikemukakan para ahli terkait hal ini. Hipotesis mengenai adanya iskemia dari plasenta, hipotesis very low density lipoprotein (VLDL) versus

toxicity-preventing activity (TxPA), model penyakit hiperdinamik, maladaptif

imun dan hipotesis genetik (Dekker, 2005).

Adanya ketidakpastian penyebab preeklampsia ini menimbulkan munculnya dugaan-dugaan mengenai penyebab timbulnya penyakit ini. Penelitian mengenai faktor risiko terjadinya pun banyak berkembang untuk mencari faktor yang paling berperan dan untuk mengetahui faktor protektif agar perkembangan penyakit ini dapat dihambat. Hasil dari penelitian yang dilakukan menunjukan hasil yang berbeda-beda mengenai faktor risiko preeklampsia ini sehingga terkadang pembaca menjadi bingung sumber mana yang dapat dijadikan acuan.

Dokumen terkait