• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

6.2. Saran

4. Distribusi frekuensi penderita HIV-HBV menurut faktor resiko terbanyak adalah secara heteroseksual yaitu sebanyak 24 orang(75,0%) dan terendah secara transfusi darah, heteroseksual bersama penyuntikan narkoba dan biseksual bersama tato masing- masing 1 orang(3,1%).

6.2. Saran

1. Perlu perbaikan dalam pengisian data pada rekam medik agar lebih memudahkan dalam penelusuran terjadinya koinfeksi HIV-hepatitis B di RSUP Haji Adam

2. Diharapkan perlunya penelitian lain dari variabel-variabel terhadap pemanfaatan Klinik VCT Pusyansus dalam penelitian selanjutnya, misalnya prilaku penderita dan model pelayanan VCT.

3. Untuk penelitian selanjutnya agar penelitian tidak hanya dilakukan melalui rekam medis, tetapi dilakukan secara langsung terhadap pasien sehingga didapatkan

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. HIV/AIDS

2.1.1. Definisi HIV/AIDS

Acquired immune deficiency syndrome (AIDS) merupakan tahap akhir dari infeksi yang disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus (HIV). Retrovirus yang menyerang sel CD4 yang menyebabkan kerusakan parah pada sistem kekebalan tubuh. Human Immunodeficiency Virus (HIV) termasuk golongan retrovirus diidentifikasi pada tahun 1983 oleh Montagnier di Prancis (Goldsmith) sebagai patogen yang bertanggungjawab atas Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS). AIDS ditandai dengan perubahan populasi limfosit T-sel yang memainkan peran kunci dalam sistem pertahanan kekebalan tubuh. Pada individu yang terinfeksi, virus menyebabkan penipisan T-sel, yang disebut "sel T-helper", yang meyebabkan pasien rentan terhadap infeksi oportunistik, dan keganasan tertentu (P. Feorino).

2.1.2. Etiologi

Penyebab AIDS adalah virus yang tergolong Retrovirus yang disebut Human Immunodeficiency Virus (HIV). Virus ini pertama kali diisolasi oleh Montagnier dan kawan-kawan di Prancis pada tahun 1983 dengan nama Lymphadenopathy Associated Virus (LAV), sedangkan Gallo di Amerika Serikat pada tahun 1984 mengisolasi (HIV) III. Kemudian atas kesepakatan internasional pada tahun 1986 nama virus dirubah menjadi HIV( E. L. Palmer).

Human Immunodeficiency Virus adalah golongan virus RNA. Dalam bentuknya yang asli merupakan partikel yang inert, tidak dapat berkembang atau melukai sampai ia masuk ke sel target. Sel target virus ini terutama sel Lymfosit T, karena ia mempunyai reseptor untuk virus HIV yang disebut CD-4. Didalam sel Lymfosit T, virus dapat berkembang dan seperti retrovirus yang lain, dapat tetap hidup lama dalam sel dengan keadaan inaktif. Walaupun demikian virus dalam tubuh pengidap HIV selalu dianggap infectious yang setiap saat dapat aktif dan dapat ditularkan selama hidup penderita tersebut.

Secara morfologis HIV terdiri atas 2 bagian besar yaitu bagian inti (core) dan bagian selubung (envelop). Bagian inti berbentuk silindris tersusun atas dua untaian RNA (Ribonucleic Acid). Enzim reverce transcriptase dan beberapa jenis protein. Bagian selubung terdiri atas lipid dan glikoprotein (gp 41 dan gp 120). Gp 120 berhubungan dengan reseptor Lymfosit (T4) yang rentan. Karena bagian luar virus (lemak) tidak tahan panas, bahan kimia, maka HIV termasuk virus sensitif terhadap pengaruh lingkungan seperti air mendidih, sinar matahari dan mudah dimatikan dengan berbagai disinfektan seperti eter, aseton, alkohol, jodium hipoklorit dan sebagainya, tetapi telatif resisten terhadap radiasi dan sinar utraviolet. Virus HIV hidup dalam darah, savila, semen, air mata dan mudah mati diluar tubuh. HIV dapat juga ditemukan dalam sel monosit, makrotag dan sel glia jaringan otak (W. R. McManus).

2.1.3. Cara Penularan

Secara umum ada 5 faktor yang perlu diperhatikan pada penularan suatu penyakit yaitu sumber infeksi, vehikulum yang membawa agent, host yang rentan, tempat keluar kuman dan tempat masuk kuman (port’d entrée).

Virus HIV sampai saat ini terbukti hanya menyerang sel Lymfosit T dan sel otak sebagai organ sasarannya. Virus HIV sangat lemah dan mudah mati diluar tubuh. Sebagai vehikulum yang dapat membawa virus HIV keluar tubuh dan menularkan kepada orang lain adalah berbagai cairan tubuh. Cairan tubuh yang terbukti menularkan diantaranya semen, cairan vagina atau serviks dan darah penderita.

Banyak cara yang diduga menjadi cara penularan virus HIV, namun hingga kini cara penularan HIV yang diketahui adalah melalui :

a) Transmisi Seksual

Penularan melalui hubungan seksual baik Homoseksual maupun Heteroseksual merupakan penularan infeksi HIV yang paling sering terjadi. Penularan ini berhubungan dengan semen dan cairan vagina atau serik. Infeksi dapat ditularkan dari setiap pengidap infeksi HIV kepada pasangan seksnya. Resiko penularan HIV tergantung pada pemilihan pasangan seks, jumlah pasangan seksdan jenis hubungan seks. Pada penelitian Darrow (1985) ditemukan resiko seropositive untuk zat anti terhadap HIV cenderung naik pada hubungan seksual yang dilakukan pada pasangan tidak tetap. Orang yang sering berhubungan seksual dengan berganti pasangan merupakan kelompok manusia yang berisiko tinggi terinfeksi virus HIV. i. Homoseksual

Didunia barat, Amerika Serikat dan Eropa tingkat hubungan homoseksual menderita AIDS, berumur antara 20-40 tahun dari semua golongan sosial. Cara hubungan seksual anogenital merupakan perilaku seksual dengan resiko tinggi bagi penularan HIV, khususnya bagi pasangan seksual yang pasif menerima ejakulasi semen dari seseorang pengidap HIV. Hal ini disebabkan oleh mukosa rektum yang sangat tipis dan mudah sekali mengalami perdarahan pada saat berhubungan secara anogenital.

ii. Heteroseksual

heteroseksual dan penderita terbanyak adalah kelompok umur seksual aktif baik pria maupun wanita yang mempunyai banyak pasangan dan berganti-ganti.

b) Transmisi Non Seksual i. Transmisi Parenteral

Yaitu akibat penggunaan jarum suntik dan alat tusuk lainnya (alat tindik) yang telah terkontaminasi, misalnya pada penyalahgunaan narkotik suntik yang menggunakan jarum suntik yang tercemar secara bersama-sama. Disamping dapat juga terjadi melaui jarum suntik yang telah dipakai oleh petugas kesehatan tanpa disterilkan terlebih dahulu. Resiko tertular cara transmisi parental ini kurang dari 1%.

Transmisi melalui transfusi atau produk darah terjadi di negara-negara barat sebelum tahun 1985. Sesudah tahun 1985 transmisi melalui jalur ini di negara barat sangat jarang, karena darah donor telah diperiksa sebelum ditransfusikan. Resiko tertular infeksi/HIV lewat trasfusi darah adalah lebih dari 90%.

ii. Transmisi Maternal

Penularan dari ibu yang HIV positif ke anak mempunyai resiko sebesar 50%. Penularan dapat terjadi sewaktu hamil, melahirkan dan waktu menyusui. Penularan melalui air susu ibu termasuk penularan dengan resiko rendah. (Sudikno, Bona & Siswanto)

2.1.4. Patogenesis

Sistem kekebalan mempertahankan tubuh terhadap infeksi. Sistem ini terdiri dari banyak jenis sel. Dari sel–sel tersebut sel T–helper sangat krusial karena mengkoordinasi semua sistem kekebalan lainnya. Sel T–helper memiliki protein pada permukaannya yang disebut CD4.HIV masuk kedalam darah dan mendekati sel T–helper dengan melekatkan dirinya pada protein CD4. Saat menginfeksi, RNA virus masuk ke tubuh penderita, kemudian RNA berubah menjadi DNA (deoxyribonucleic acid) dengan suatu enzim yang disebut reverse transcriptase. Viral DNA tersebut menjadi bagian dari DNA manusia, yang akan menghasilkan virus-virus lainnya, benda tersebut mulai menghasilkan virus–virus HI.

Enzim lainnya, protease, mengatur viral kimia untuk membentuk virus–virus yang baru. Virus–virus baru tersebut keluar dari sel tubuh dan bergerak bebas dalam aliran

darah, dan berhasil menulari lebih banyak sel. Ini adalah sebuah proses yang sedikit demi sedikit dimana akhirnya merusak sistem kekebalan tubuh dan menjadikan tubuh mudah diserang oleh infeksi dan penyakit–penyakit yang lain.Dibutuhkan waktu untuk menularkan virus tersebut dari orang ke orang. Respons tubuh secara alamiah terhadap suatu infeksi adalah untuk melawan sel–sel yang terinfeksi dan mengantikan sel–sel yang telah hilang. Respons tersebut mendorong virus untuk menghasilkan kembali dirinya.

Jumlah normal dari sel–sel CD4+T pada seseorang yang sehat adalah 800–1200 sel/ml kubik darah. Ketika seorang pengidap HIV yang sel–sel CD4+ T–nya terhitung dibawah 200, dia menjadi semakin mudah diserang oleh infeksi–infeksi oportunistik. Infeksi–infeksi oportunistik adalah infeksi–infeksi yang timbul ketika sistem kekebalan tertekan. Pada seseorang dengan sistem kekebalan yang sehat infeksi–infeksi tersebut tidak biasanya mengancam hidup mereka tetapi bagi seorang pengidap HIV hal tersebut dapat menjadi fatal. Tanpa perawatan, viral load, yang menunjukkan jumlah relatif virus bebas didalam plasma darah, akan meningkat mencapai titik dimana tubuh tidak akan mampu melawannya.

Perkembangan dari HIV dapat dibagi dalam 4 fase yaitu infeksi utama (Seroconversion), ketika kebanyakan pengidap HIV tidak menyadari dengan segera bahwa mereka telah terinfeksi. Kemudian, fase asymptomatic, dimana tidak ada gejala yang nampak, tetapi virus tersebut tetap aktif. Seterusnya, fase symptomatic, dimana seseorang mulai merasa kurang sehat dan mengalami infeksi–infeksi oportunistik yang bukan HIV tertentu melainkan disebabkan oleh bakteri dan virus–virus yang berada di sekitar kita dalam segala keseharian kita. AIDS, yang berarti kumpulan penyakit yang disebabkan oleh virus HIV, adalah fase akhir dan biasanya bercirikan suatu jumlah CD4 kurang dari 200 (Departemen Kesehatan RI Jakarta 1989).

2.1.5. Gejala Klinis

Gejala-gejala dari infeksi akut HIV tidak spesifik, meliputi kelelahan, ruam kulit, nyeri kepala, mual dan berkeringat di malam hari. AIDS ditandai dengan supresi yang nyata pada sitem imun dan perkembangan infeksi oportunistik berat yang sangat bervariasi atau neoplasma yang tidak umum (terutama sarcoma Kaposi).

Gejala yang lebih serius pada orang dewasa seringkali didahului oleh gejala prodormal (diare dan penurunan berat badan) meliputi kelelahan, malaise, demam, napas pendek, diare kronis, bercak putih pada lidah (kandidiasis oral) dan limfadenopati. Gejala-gejala penyakit pada saluran pencernaan, dari esophagus sampai kolon merupakan penyebab utama kelemahan. Tanpa pengobatan interval antara infeksi primer oleh HIV dan timbulnya penyakit klinis pertama kali pada orang dewasa biasanya panjang, rata-rata sekitar 10 tahun (Jawet, 2005).

WHO menetapkan empat stadium klinik pada pasien yang terinfeksi HIV/AIDS, sebagai berikut :

Table 2.1. Stadium Klinik WHO: HIV/AIDS (2011)

Stadium klinis 1

 Asimtomatik

 Limfadenopati generalisata persisten

Stadium klinis 2

 Hepatosplenomegali persisten yang tidak dapat dijelaskana

 Erupsi pruritik papular

 Infeksi virus wart luas

Angular cheilitis

 Moluskum kontagiosum luas

 Ulserasi oral berulang

 Pembesaran kelenjar parotis persisten yang tidak dapat dijelaskan

 Eritema ginggival lineal

 Herpes zoster

 Infeksi saluran napas atas kronik atau berulang (otitis media, otorrhoea, sinusitis, tonsillitis )

 Infeksi kuku oleh fungus

Stadium klinis 3

adekuat terhadap terapi standara

 Diare persisten yang tidak dapat dijelaskan (14 hari atau lebih ) a

 Demam persisten yang tidak dapat dijelaskan (lebih dari 37.5o C intermiten atau konstan, > 1 bulan) a

 Kandidosis oral persisten (di luar saat 6- 8 minggu pertama kehidupan)

Oral hairy leukoplakia

 Periodontitis/ginggivitis ulseratif nekrotikans akut

 TB kelenjar

 TB Paru

 Pneumonia bakterial yang berat dan berulang

 Pneumonistis interstitial limfoid simtomatik

 Penyakit paru-berhubungan dengan HIV yang kronik termasuk bronkiektasis

 Anemia yang tidak dapat dijelaskan (<8g/dl ), neutropenia (<500/mm3) atau trombositopenia (<50 000/ mm3)

Stadium klinis 4b

 Malnutrisi, wasting dan stunting berat yang tidak dapat dijelaskan dan tidak berespons terhadap terapi standara

 Pneumonia pneumosistis

 Infeksi bakterial berat yang berulang (misalnya empiema, piomiositis, infeksi tulang dan sendi, meningitis, kecuali pneumonia)

 Infeksi herpes simplex kronik (orolabial atau kutaneus > 1 bulan atau viseralis di lokasi manapun)

 TB ekstrapulmonar

 Sarkoma Kaposi

 Kandidiasis esofagus (atau trakea, bronkus, atau paru)

 Toksoplasmosis susunan saraf pusat (di luar masa neonatus)

 Ensefalopati HIV

 Infeksi sitomegalovirus (CMV), retinitis atau infeksi CMV pada organ lain, dengan onset umur > 1bulan

 Kriptokokosis ekstrapulmonar termasuk meningitis

 Mikosis endemik diseminata (histoplasmosis, coccidiomycosis)

 Isosporiasis kronik

 Infeksi mikobakteria non-tuberkulosis diseminata

 Kardiomiopati atau nefropati yang dihubungkan dengan HIV yang simtomatik

 Limfoma sel B non-Hodgkin atau limfoma serebral

Progressive multifocal leukoencephalopathy

2.1.6. Diagnosis

Diagnosis ditujukan kepada dua hal, yaitu keadaan terinfeksi HIV dan AIDS. Diagnosis laboratorium dapat dilakukan dengan dua metode:

1.Langsung: yaitu isolasi virus dari sampel, umumnya dilakukan dengan menggunakan mikroskop elektron dan mendeteksi antigen virus. Salah satu cara deteksi antigen virus ialah Polymerase Chain Reaction (PCR).

2.Tidak Langsung: dengan melihat respon zat anti bodi spesifik, misalnya dengan ELISA, immunoflurescent assay (IFA), atau radioimmunoprecipitation assay (RIPA) (Tjokronegoro & Hendra, 2003).

Diagnosis HIV, yang lazim dipakai:

1.ELISA: sensitivitas tinggi, 98,1%-100%. Biasanya memberikan hasil positif 2-3 bulan sesudah infeksi. Dahulu, hasil positif dikonfirmasi dengan pemeriksaan Western blot. Tetapi sekarang menggunakan tes berulang dengan tingkat spesifisitas. 2.PCR (polymerase chain reaction): Penggunaan PCR antara lain untuk tes HIV pada bayi, menetapkan status infeksi individu yang seronegatif pada kelompok risiko tinggi, tes pada kelompok risiko tinggi sebelum terjadi serokonversi, tes konfirmasi untuk HIV-2 (sebab ELISA sensitivitasnya rendah untuk HIV-2) (Tjokronegoro & Hendra 2003).

Tiap negara memiliki strategi tes HIV yang berbeda. Di Indonesia, skrining dan surveilans menggunakan strategi tes yang sama. Tes ELISA dan Western blot telah digunakan di waktu yang lalu, sekarang di Indonesia menggunakan Dipstik, ELISA 1, dan ELISA 2 untuk skrining dan surveilans (Utomo & Irwanto, 1998).

sensitivitas dan spesifisitas tiap jenis reagensia. Untuk diagnosis klien yang asimtomatik harus menggunakan strategi III dengan persyaratan reagensia sebagai berikut:

1) Sensitivitas reagen pertama > 99% 2) Spesifisitas reagen kedua > 98% 3) Spesifisitas reagen ketiga > 99%

4) Preparasi antigen atau prinsip tes dari reagen pertama, kedua, dan ketiga tidak sama. Reagensia yang dipakai pada pemeriksaan kedua atau ketiga mempunyai prinsip pemeriksaan (misalnya EIA, dot blot, immunokromatografi atau

aglutinasi) atau jenis antigen (misalnya lisat virus, rekombinan DNA atau peptida sintetik) yang berbeda daripada reagensia yang dipakai pada pemeriksaan pertama.

5) Prosentase hasil kombinasi dua reagensia pertama yang tidak sama (discordant) kurang dari 5%.

6) Pemilihan jenis reagensia (EIA atau simple/rapid) harus didasarkan pada: a. Waktu yang diperlukan untuk mendapatkan hasil

b.Jumlah spesimen yang diperiksa dalam satu kali pengerjaan c. Sarana dan prasarana yang tersedia

Untuk tujuan surveilans, reagen pertama harus memiliki sensitivitas >99%, spesifisitas reagen kedua >98%.

Keuntungan diagnosis dini:

1.Intervensi pengobatan fase infeksi asimtomatik dapat diperpanjangkan. 2.Menghambat perjalanan penyakit kearah AIDS.

3.Pencegahan infeksi oportunistik

4.Kounseling dan pendidikan untuk kesehatan umum penderita.

5.Penyembuhan (bila mungkin) hanya dapat terjadi bila pengoabatan pada fase dini (Tjokronegoro & Hendra, 2003).

Obat–obatan Antiretroviral (ARV) bukanlah suatu pengobatan untuk HIV/AIDS tetapi cukup memperpanjang hidup dari mereka yang mengidap HIV. Pada tempat yang kurang baik pengaturannya permulaan dari pengobatan ARV biasanya secara medis direkomendasikan ketika jumlah sel CD4 dari orangyang mengidap HIV/AIDS adalah 200 atau lebih rendah. Untuk lebih efektif, maka suatu kombinasi dari tiga atau lebih ARV dikonsumsi, secara umum ini adalah mengenai terapi Antiretroviral yang sangat aktif (HAART). Kombinasi dari ARV berikut ini dapat mengunakan:

1.Nucleoside Analogue Reverse Transcriptase Inhibitors (NRTI'), mentargetkan

pencegahan proteinreverse transcriptase HIV dalam mencegah perpindahan dari viral RNA menjadi viral DNA (contohnya AZT, ddl, ddC & 3TC).

2.Non–nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NNRTI's) memperlambat reproduksi dari HIV dengan bercampur dengan reverse transcriptase, suatu enzim viral yang penting. Enzim tersebut sangat esensial untuk HIV dalam memasukan materi turunan kedalam sel–sel. Obat–obatan NNRTI termasuk: Nevirapine, delavirdine (Rescripta), efavirenza (Sustiva).

3.Protease Inhibitors (PI) mengtargetkan protein protease HIV dan menahannya sehingga suatu virus baru tidak dapat berkumpul pada sel tuan rumah dan dilepaskan.

2.2. Memulai terapi ARV dengan salah satu panduan di bawah ini

AZT + 3TC + NVP (Zidovudine + Lamivudine +

Nevirapine)

ATAU

AZT + 3TC + EFV (Zidovudine + Lamivudine +

Efavirenz)

ATAU TDF + 3TC (atau FTC) +

NVP

(Tenofovir + Lamivudine (atau Emtricitabine) + Nevirapine)

ATAU

TDF + 3TC (atau FTC) + EFV (Tenofovir + Lamivudine (atau Emtricitabine) + Efavirenz)

2.3. Paduan Lini Pertama yang direkomendasikan pada orang dewasa yang belum pernah mendapat terapi ARV (treatment-naïve)

Populasi Target Pilihan yang direkomendasikan

Catatan Dewasa dan anak AZT atau TDF + 3TC

(atau FTC) + EFV atau NVP

Merupakan pilihan paduan yang sesuai untuk sebagian besar pasien Gunakan FDC jika tersedia

Perempuan hamil AZT + 3TC + EFV atau NVP

Tidak boleh

menggunakan EFV pada trimester pertama TDF bisa merupakan pilihan

Ko-infeksi HIV/TB AZT atau TDF + 3TC (FTC) + EFV

Mulai terapi ARV segera setelah terapi TB dapat ditoleransi (antara 2 minggu hingga 8 minggu)

Gunakan NVP atau triple NRTI bila EFV tidak dapat digunakan Ko-infeksi HIV/Hepatitis B kronik aktif TDF + 3TC (FTC) + EFV atau NVP Pertimbangkan pemeriksaan HBsAg terutama bila TDF merupakan paduan lini pertama. Diperlukan penggunaan 2 ARV yang memiliki aktivitas anti-HBV

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 2011

2.1.8. Pencegahan

Pencegahan perpindahan dari ibu ke anak (PMTCT): seorang wanita yang mengidap HIV(+) dapat menularkan HIV kepada bayinya selama masa kehamilan, persalinan dan masa menyusui. Jika tanpa pencegahan, kemungkinan bayi dari seorang wanita yang mengidap HIV(+) akan terinfeksi kira–kira 25%–35%. Dua pilihan pengobatan tersedia untuk mengurangi penularan HIV/AIDS dari ibu ke anak.

Obat–obatan tersebut adalah:

1. Ziduvidine (AZT) dapat diberikan sebagai suatu rangkaian panjang dari 14–28 minggu selama masa kehamilan. Studi menunjukkan bahwa hal ini menurunkan angka penularan mendekati 67%. Suatu rangkaian pendek dimulai pada

kehamilan terlambat sekitar 36 minggu menjadi 50% penurunan. Suatu rangkaian pendek dimulai pada masa persalinan sekitas 38%. Beberapa studi telah menyelidiki pengunaan dari Ziduvidine (AZT) dalam kombinasi dengan Lamivudine (3TC).

2. Nevirapine: diberikan dalam dosis tunggal kepada ibu dalam masa persalinan dan satu dosis tunggal kepada bayi pada sekitar 2–3 hari. Diperkirakan bahwa dosis tersebut dapat menurunkan penularan HIV sekitar 47%. Nevirapine hanya digunakan pada ibu dengan membawa satu tablet kerumah ketika masa persalinan tiba, sementara bayi tersebut harus diberikan satu dosis dalam 3 hari. Post–exposure prophylaxis (PEP) adalah sebuah program dari beberapa obat antiviral, yang dikonsumsi beberapa kali setiap harinya, paling kurang 30 hari, untuk mencegah seseorang menjadi terinfeksi dengan HIV sesudah terinfeksi, baik melalui serangan seksual maupun terinfeksi occupational.Dihubungankan dengan permulaan pengunaan dari PEP, maka suatu pengujian HIV harus dijalani untuk menetapkan status orang yang bersangkutan. Informasi dan bimbingan perlu diberikan untuk memungkinkan orang tersebut mengerti obat–obatan, keperluan untuk mentaati, kebutuhan untuk mempraktekan hubungan seks yang aman dan memperbaharui pengujian HIV. Antiretrovirals direkomendasikan untuk PEP termasuk AZT dan 3TC yang digunakan dalam kombinasi. CDC telah memperingatkan mengenai pengunaan dari Nevirapine sebagai bagian dari PEP yang berhutang pada bahaya akan kerusakan pada hati. Sesudah terkena infeksi yang potensial ke HIV, pengobatan PEP perlu dimulai sekurangnya selama 72 jam, sekalipun terdapat bukti untuk mengusulkan bahwa lebih awal seseorang memulai pengobatan, maka keuntungannya pun akan menjadi lebih besar. PEP tidak merekomendasikan proses terinfeksi secara biasa ke HIV/AIDS sebagaimana hal ini tidak efektif 100%; hal tersebut dapat memberikan efek samping yang hebat dan mendorong perilaku seksual yang tidak aman(Family Health International).

2.2. Hepatitis B 2.2.1. Definisi

Menurut World Health Organization (2012) Hepatitis B adalah infeksi hati yang berpotensi mengancam nyawa yang disebabkan oleh virus hepatitis B. Ini adalah masalah kesehatan global utama dan jenis yang paling serius dari hepatitis virus. Hal ini dapat menyebabkan penyakit hati kronis dan menempatkan orang pada risiko tinggi kematian akibat sirosis hati dan kanker hati.

2.2. Skema virus Hepatitis B

Di seluruh dunia, diperkirakan dua miliar orang telah terinfeksi virus hepatitis B dan lebih dari 240 juta memiliki infeksi (jangka panjang) hati kronis. Sekitar 600 000 orang meninggal setiap tahun karena konsekuensi akut atau kronis hepatitis B.

Vaksin hepatitis B telah tersedia sejak 1982. Vaksin hepatitis B adalah 95% efektif dalam mencegah infeksi dan vaksin pertama melawan kanker manusia.

2.2.2. Klasifikasi a) Genom

Genom HBV adalah terbuat dari DNA melingkar, tetapi tidak biasa karenaDNA tidak sepenuhnya beruntai ganda. Salah satu ujung untai panjang penuh ini terkait dengan polimerase DNA virus. Genom 3020-3320 nukleotida panjang (untuk untai panjang penuh) dan 1700-2800 nukleotida panjang (untuk jangka pendek-untai panjang). Arti negatif-, (non-coding), adalah melengkapi mRNA virus. DNA virus

ditemukan dalam inti segera setelah infeksi sel. Sebagian DNA beruntai ganda yang diberikan penuh beruntai ganda dengan selesainya untai sense (+) dan penghapusan sebuah molekul protein dari (-) akal dan urutan untai pendek RNA dari untai sense (+). Basis non-coding dihapus dari ujung (-) untai sense dan ujung-ujungnya bergabung. Ada empat gen yang dikode oleh genom dikenal, yang disebut C, X, P, dan S. protein inti adalah dikodekan oleh gen C (HBcAg), dan kodon start adalah didahului dengan hulu di-frame Agustus kodon mulai dari mana protein pra-inti diproduksi. HBeAg dihasilkan oleh proses proteolitik dari protein pra-inti. Polimerase DNA dikodekan oleh gen P. Gene S adalah gen yang mengkode antigen permukaan (HBsAg). Gen HBsAg satu frame membaca panjang terbuka tetapi berisi tiga dalam bingkai "mulai" (ATG) kodon gen yang membagi menjadi tiga bagian, pra-S1, pra-S2, dan S. Karena kodon mulai beberapa, polipeptida dari tiga ukuran yang berbeda yang disebut besar, menengah, dan kecil (pra-S1-S2 + pra + S, pra-S2 + S, atau S) yang dihasilkan. Fungsi dari protein dikodekan oleh gen X adalah tidak sepenuhnya dipahami(Chu SJ, Keeffe EB, Han SH, et al 2003).

b) Replikasi

Siklus hidup dari virus hepatitis B adalah kompleks. Hepatitis B adalah salah satu dari beberapa yang dikenal non-retroviral virus yang menggunakan reverse transkripsi sebagai bagian dari proses replikasi. Virus keuntungan masuk ke sel dengan mengikat ke reseptor yang tidak diketahui pada permukaan sel dan masuk dengan endositosis. Karena virus mengalikan melalui RNA dibuat oleh enzim inang, DNA genom virus harus ditransfer ke inti sel dengan protein inang yang disebut pendamping. DNA beruntai virus

Dokumen terkait