• Tidak ada hasil yang ditemukan

Insidensi Hepatitis B pada Pasien HIV- AIDS di Klinik VCT Pusyansus RSUP. Haji Adam Malik Medan dari Januari tahun 2010- Dsember tahun 2012

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Insidensi Hepatitis B pada Pasien HIV- AIDS di Klinik VCT Pusyansus RSUP. Haji Adam Malik Medan dari Januari tahun 2010- Dsember tahun 2012"

Copied!
69
0
0

Teks penuh

(1)

Lampiran 5. Hasil Analisis Data

Frequencies

Statistics

Umur Jenis Kelamin Pendidikan Faktor Resiko

N Valid 32 32 32 32

Missing 0 0 0 0

Frequency Table

Umur

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Percent

Valid 20-30 Tahun 9 28.1 28.1 28.1

31-40 Tahun 13 40.6 40.6 68.8

41-50 Tahun 9 28.1 28.1 96.9

>50 Tahun 1 3.1 3.1 100.0

Total 32 100.0 100.0

Jenis Kelamin

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Percent

Valid Laki-laki 30 93.8 93.8 93.8

Perempuan 2 6.2 6.2 100.0

(2)
(3)

Pendidikan

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Percent

Valid Tidak sekolah 2 6.2 6.2 6.2

SMP 7 21.9 21.9 28.1

SMU 19 59.4 59.4 87.5

Sarjana Muda/Akademi 4 12.5 12.5 100.0

Total 32 100.0 100.0

Faktor Resiko

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

Percent

Valid Transfusi Darah 1 3.1 3.1 3.1

Heteroseksual 24 75.0 75.0 78.1

Heteroseksual/Tato 3 9.4 9.4 87.5

Biseksual/Tato 1 3.1 3.1 90.6

Penyuntikan Narkoba 2 6.2 6.2 96.9

Heteroseksual/ Penyuntikan

Narkoba 1 3.1 3.1 100.0

(4)

INSIDEN HEPATITIS B PADA PASIEN HIV-AIDS DI KLINIK VCT PUSYANSUS RSUP HAJI ADAM MALIK

MEDAN TAHUN 2010-20012

No. Res

p.

Umur (Tahun) JK Pendidik

(5)

Umur Jenis Kelamin

1. 20- 30 1. Laki- laki

2. 31- 40 2. Perempuan

3. 41- 50 4.> 50

Tingkat Pendidikan Faktor Resiko

1.Tidak Bersekolah 1. Transfusi Darah

2.SD 2. Heteroseksual

3.SMP 3. Heteroseksual/ Tato

4.SMA 4. Biseksual/ Tato

(6)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Thilakam Kanthasamy

Tempat / tanggal lahir : Kuala Lumpur, Malaysia/ 26 Maret 1991 Pekerjaan : Mahasiswa

Agama : Hindu

Alamat : Jln. Dr. Mansyur, Gang Sehat Gelora House No. 29, Medan

Nomor Telepon : +6283197509326

Orang Tua : Kanthasamy Krishnasamy

Riwayat Pendidikan : Sekolah Kebangsaan Taman Bukit Indah (UPSR) 1998- 2003

: Sijil Menegah Kebangsaan Cochrane (SPM) 2004- 2008 : President College (Fsc) 2009- 2010

: Universitas Sumatera Utara (F.Kedokteran) 2010- 2016 Kegiatan : Melakukan proposal penelitian untuk mengetahui insidens

(7)

DAFTAR PUSTAKA

Aguslina, Fazidah. 2007. HIV/ AIDS. Kesehatan Masyarakat dan Upaya Pencegahan,

FKM USU. Available from

[Accessed 03 Mei 2013]

Andre F. 2004. Hepatitis B: A comprehensive prevention, diagnosis and treatment programme–past, present and future. J. Gastroenterol. Hepatol. 1-14. Available from:

Audi Yudhasmara. Sandiaz Yudhasmar. 2012.

Available

from

Annemarie Wasley, ScD, Jeremy T. Miller, MA, Lyn Finelli, DrPH. 2005. Surveillance for Acute Viral Hepatitis- United States. National Center for HIV/AIDS, Viral

Hepatitis, STD, and TB Prevention. Available

from: Mei 2013]

Adewole OO, Anteyi E, Ajuwon Z, Wada I, Elegba F, Ahmed P, et al. Hepatitis B and C virus co-infection in Nigerian patients with HIV infection. J Infect Dev Ctries.

2009;3(5):369-75. Available from

[Accessed 28 November 2013]

Beadle, S. and Temongmere, G.A. 2012.A Brief Review of Youth Policy & Programs in Papua & West Papua, Indonesia. Indonesia, Jayapura: UNICEF Ministry of Health

(2005). Available

from:

[Accessed 06 Mei 2013]

Brooks, G.F., Butel, J. S. and Morse, S. A. 2005. Jawetz, Melnick & Adelbergh’s: Mikrobiologi Kedokteran. Buku I, Edisi I, Alih bahasa: Bagian Mikrobiologi, FKU Unair, Salemba Medika, Jakarta.

Bradford D, Dore G, Grulich A, Hoy J, Kidd M, McCoy R, et al. 2008. HIV, viral hepatitis and STIs: a guide for primary care. Darlinghurst, NSW: Australasian

(8)

from:

David C. Dugdale . 2012. AIDS. National Library of Medicine. Available from: 2013]

D Adeyinka, O Oladimeji, F Adeyinka, C Aimakhu. Uptake Of Childhood Immunization Among Mothers Of Under-Five In Southwestern Nigeria. The Internet Journal of

Epidemiology. 2008 Volume 7 Number 2. Available

from:

Francis V. Chisari and Carlo Ferrari. 1995. Hepatitis B Virus Immunopathogenesis.

Annual Review Of Immunology. Available

from:

[Accessed 11 Mei 2013]

Fabien Zoulim. 2005. Emerging drugs for hepatitis B. Available from:

Gregory Dore and Joe Sasadeusz. 2006. Koinfeksi HIV & Hepatitis Virus Pedoman untuk Penatalaksanaan Klinis. Australasian Society for HIV Medicine Inc. Available from

Ganem D, Prince AM. 2004. Hepatitis B Virus Infection- Natural History and Clinical Consequences. The New England Journal of Medicine. Available from:

Ghendon Y. 1987. Perinatal transmission of hepatitis B virus in high incidence countries.

Journal of Virological Methods. Available

from:

[Accessed 20 Mei 2013]

Jonathan Mermin. 2013. About the Division of HIV/AIDS Prevention (DHAP). Center

for Disease Control and Prevention Available

from:

Kementerian Kesehatan Republic Indonesia (2004). Tentang Pedoman Penyelenggaran

Imunisasi. Available

frrom:

[Accessed 06

(9)

Kementerian Kesehatan Republic Indonesia (2011). Pedoman Nasional Tatalaksanaan Klinis Infeksi HIV & Terapi Antiretroviral. Available from Mohammadi M, Talei G, Sheikhian A, Ebrahimzade F, Pournia Y, Ghasemi E, et al.

Survey of both hepatitis B virus (HBsAg) and hepatitis C virus (HCVAb) coinfection among HIV positives patients. Virol J. 2009;6:202. Available from:

http:

2013]

Mohanty SR, Kupfer SS, Khiani V. 2006. Treatment of chronic hepatitis B. Nat Clin Pract Gastroenterol Hepatol 2006, 3:446-458.

Mast EE, Weinbaum CM, Fiore AE, et al. 2006. A Comprehensive Immunization Strategy to Eliminate Transmission of Hepatitis B Virus Infection in the United States. Department of Health and Human Services; Centers for Disease Control and

Prevention. Available

from:

[Accessed 13 Mei 2013]

M L Rodríguez-Méndez, A González-Quintela, A Aguilera and E Barrio. 2000. Prevalence, patterns, and course of past hepatitis B virus infection in intravenous drug users with HIV-1 infectionSerological Pattern of Past HBV and HIV Infection. Available from [Accessed 07 Mei 2013]

Otegbayo JA, Akingbola TS, Akinyemi JO, et al. Immunovirological and Biochemical Changes in Nigerian Patients with Hepatitis B Coinfection on Antiretroviral Therapy. Available from: [Accesssed 2 November 2013]

Pink Book, 12th Edition. 2012. Hepatitis B. Centers for Disease Control and Prevention. Available from [Accessed 02 Mei 2013]

Rosemary Hack (2004). Aidslink International. Available

from :

[Accessed 10 Mei 2013]

(10)

2013]

Tuttleman JS, Pourcel C, Summer J. 1986. Formation of the Pool of Covalently closed Circular DNA in Hepadnavirus Infected Cells. Cells 1986; 47: 451- 460.]

UNAIDS World AIDS Day Report. Statistics Woldwide. UNAIDS Fact Sheet 2012 Kaiser

Family Foundation. Available

from:

[Accessed 05 Mei 2013].

Utomo, Budi dan Irwanto. 1998. HIV Testing Polices And Program: technical. Programmatic, Ethical, And Human Right Aspect. Majalah Kesehatan Masyarakat Indonesia, Tahun XXVI, Nombor 3.

World Health Organization. 2011. HIV/AIDS. Available from

World Health Organization. 2003. Hepatitis B vaccine. Available

from: [Accessed 04 Mei

2013]

World Health Organization. 2002. Hepatitis B. Department of Communicable Disease

Surveillance and Response. Available from:

[Accessed 01 Mei 2013]

William M. Lee. 1997. Hepatitis B Virus Infection. The New England Journal of

Medicine. Available

(11)

BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1. Kerangka Konsep Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian maka kerangka konsep dalam penelitian ini adalah

Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian

3.2. Definisi Operational

3.2.1. Definisi

Semua pasien HIV- AIDS yang di diagnosa dengan HBsAg positif di Klinik VCT Pusyansus RSUD H. Adam Malik Medan dari tahun 2010-2012.

3.2.2. Cara Ukur

Melalui penelusuran rekam medis, diambil data mencakup bilangan penderita HIV- AIDS dengan Hepatitis B berdasarkan demografi umur, kelamin dan cara penularannya.

Operational Variabel Blood botrne disease Cara penularan

(darah, maternal & seksual)

Gejala Klinis sakit kepala malaise nausea fatigue

HIV/ AIDS

Hepatitis B

(12)

Umur adalah lamanya waktu hidup sejak dilahirkan sampai usia penderita HIV/AIDS tercatat di rekam medik yang datang pertama kali berkunjung ke Pusyansus RSUP H. Adam Malik Medan.

Jenis kelamin adalah sifat gender penderita HIV/AIDS tercatat di rekam medik yang datang pertama kali berkunjung ke Pusyansus RSUP H. Adam Malik Medan.

Pendidikan adalah jenjang pendidikan formal yang pernah dicapai dan belum memasuki masa usia pendidikan tercatat di rekam medik yang datang berkunjung pertama kali ke Pusyansus RSUP H. Adam Malik Medan.

Faktor Resiko adalah transmisi penularan virus ke tubuh manusia yang tercatat di rekam

medik Pusyansus RSUP. H. Adam Malik Medan

3.2.3. Alat Ukur

Data diperoleh dari rekam medis di Kinik VCT Pusyansus RSUP H. Adam Malik tahun 2010-2012.

3.2.4. Hasil Pengukuran

Hasil ukur dalam penelitian ini adalah bilangan penderita HIV-AIDS dengan Hepatitis B Kinik VCT Pusyansus RSUP H. Adam Malik tahun 2010-2012. 3.2.5. Skala Pengukuran

(13)

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif dengan menggunakan desain cross sectional (potong lintang) yaitu melihat insidensi Hepatitis B pada pasien HIV- AIDS.

4.2. Tempat dan Waktu Penelitian

4.2.1. Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan di Klinik VCT Pusyansus RSUP H. Adam Malik Medan. RSUP Haji Adam Malik dipilih sebagai tempat penelitian karena merupakan rumah sakit rujukan dan salah satu rumah sakit tipe A di Medan.

4.2.2. Waktu Penelitian

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilaksanakan pada September- Oktober 2013.

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian

4.3.1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh penderita HIV/AIDS yang berkunjung ke klinik VCT Pusyansus RSUP H. Adam Malik Medan yang tercatat dengan lengkap di rekam medik tahun 2010- 2012.

4.3.2. Sampel

Sampel adalah penderita yang diukur dengan HBsAg positif pada penderita HIV- AIDS yang berkunjung ke klinik VCT Pusyansus RSUP H. Adam Malik Medan yang tercatat dengan lengkap di rekam medik tahun 2010- 2012.

(14)

1) Kriteria Inklusi

a.Penderita yang diperiksa HBsAg pada pasien HIV- AIDS yang terdata dalam rekam medik klinik VCT Pusyansus RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2010-2012.

b.Semua usia.

2) Kriteria Eksklusi a. Data tidak lengkap

4.4. Metode Pengumpulan Data

Data diperoleh dari rekam medis di Kinik VCT Pusyansus RSUP H. Adam Malik tahun 2010-2012.

4.5. Variabel Penelitian dan Aspek Pengukuran

Variabel penelitian menggunakan skala nominal berdasarkan data dari rekam medis di klinik VCT Pusyansus RSUP H. Adam Malik.

Variabel Skala Ukur

Umur Nominal

Jenis Kelamin Nominal

Tingkat Pendidikan Norminal

Faktor Resiko Nominal

4.6. Analisis Data

(15)

BAB 5

HASIL & PEMBAHASAN

5.1. Hasil Penelitian

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan merupakan rumah sakit milik pemerintah. Rumah sakit ini dikelola oleh Pemerintah Pusat bersama Pemerintah Daerah Prov. Sumatera Utara. Rumah Sakit ini terletak di lahan yang luas di pinggiran kota Medan Indonesia. Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik merupakan Rumah Sakit tipe A sesuai dengan SK Menkes no. 547/Menkes/SK/VII/1998 dan juga sebagai Rumah Sakit Pendidikan sesuai dengan SK Menkes No. 502/Menkes/SK/IX/1991.

Sejak 1991, RSUP H. Adam Malik juga merupakan Pusat Rujukan wilayah Pembangunan A yang meliputi Provinsi Sumatera Utara, Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Barat dan Riau. RSUP H. Adam Malik mulai berfungsi sejak tanggal 17 Juni 1991 dengan pelayanan Rawat Jalan sedangkan untuk pelayanan Rawat Inap baru dimulai tanggal 2 Mei 1992.

5.1.2. Karakteristik Sampel

(16)

Tabel 5.1. Jumlah Sampel Penelitian

Terdapat 1721 orang pasien HIV pada tahun 2010- 2012 dan didapati 755 orang diperiksa HBsAg. Insidensi koinfesi HIV- HBV terjadi pada 32 orang.

5.1.3. Distribusi Karakteristik Sampel

Karakteristik sampel berdasarkan umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan dan faktor resiko adalah sebagai berikut.

Tabel 5.2. Distribusi Sampel Berdasarkan Umur

Kelompok umur (Taun) N %

Pada tabel 5.2. menunjukkan bahwa kelompok umur pada sampel yang terbanyak adalah antara 31- 40 tahun (40,6%) sedangkan kelompok umur paling sedikit adalah >50 tahun (3,1%).

Tabel 5.3. Distribusi Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin

(17)

Laki- Laki

Tabel 5.3. Menunjukkan bahwa jenis kelamin terbanyak adalah laki- laki sebanyak 30 orang (93,8%).

Tabel 5.4. Distribusi Sampel Berdasarkan Tingkat Pendidikan

Pendidikan N %

Tabel 5.4. Menunjukkan bahwa tingkat pendidikan terbanyak pada sampel adalah SMU yaitu 19 orang (59,4%) dan tingkat pendidikan paling sedikit adalah Tidak Bersekolah yaitu 2 orang (6,2%).

Tabel 5.5. Distribusi Sampel Berdasarkan Faktor Resiko

Penularan N %

(18)

Biseksual/ Tato sebanyak 1 orang (3,1%), dan Heteroseksual/ Penyuntikan Narkoba sebanyak 1 orang (3,1%).

5.2. Pembahasan

5.2.1. Gambaran Insidensi Koinfeksi HIV- HBV di Rumah Sakit Umum Haji Adam

Malik Pada Tahun 2010- 2012

Total pasien HIV sejak 2010- 2012 adalah 1721 orang dan yang dilakukan pemeriksaan HBsAg dari seluruh pasien HIV adalah 755 orang(43,87%). Dari seluruh pasien yang diperiksa HBsAg, hanya 32 orang(0,02%) yang menunjukkan hasil positif.Faktor resiko penularan HIV- HBV yang terbanyak adalah secara hubungan seksual.

Berdasarkan penelitian dilakukan di Nigeria 2009 dari 260 orang pasien HIV positif, didapatkan 30 orang(11,5%) seropositif HBsAg. Prevalensi koinfeksi HIV- HBV di penelitian yang dilakukan di Nigeria lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian ini. Hal ini karena pasien HIV yang terdaftar di VCT Pusyansus RSUP. H. Adam Malik sejak tahun 2010- 2012 tidak seluruhnya menjalani pemeriksaan HBsAg. Hanya pada tahun 2012 didapatkan bahwa pemeriksaan HBsAg dijadikan pemeriksaan rutin pada pasien HIV. Sedangkan pada tahun 2010 dan 2011, pemeriksaan HBsAg hanya dilakukan atas indikasi medis tertentu.

Kemungkinan lain penyebab angka infeksi HBV lebih tinggi di negara-negara lain contohnya Pakistan, Afganistan, Nigeria, dan India dibandingkan di Indonesia

dikarenakan vaksinasi Hepatitis B sudah dijadikan sebagai salah satu vaksinasi wajib sejak tahun 1977 (Kemenkes, 2004).

5.2.2. Gambaran Distribusi Sampel Berdasarkan Umur di Rumah Sakit Umum

Haji Adam Malik Pada Tahun 2010- 2012

Rentang usia pada sampel adalah 20 s/d >50 tahun dan kelompok usia terbanyak adalah 31- 40

tahun yaitu sebanyak 13 orang (40,6%). HIV- HBV infeksi yang lebih tinggi pada kelompok

(19)

masyarakat dibandingkan dengan anak-anak dan orang tua.

Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan di Nigeria yang menunjukkan bahwa sebagian besar penderita koinfeksi HIV- HBV adalah kelompok umur 30-39 tahun yaitu sebanyak 30 orang(75%) dari 40 orang sampel(Adewole OO, 2009).Selain itu penelitian di Iran menunjukkan kelompok umur 31-50 tahun lebih banyak menderita koinfeksi HIV- HBV sebanyak 204 orang(52,1%) dari 391 orang sampel (Mohammadi M, 2009).

5.2.3. Gambaran Distribusi Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin di Rumah Sakit

Umum Haji Adam Malik Pada Tahun 2010- 2012

Jenis kelamin terbanyak pada sampel adalah laki- laki yaitu sebanyak 30 orang (93,8%). Laki-laki yang memiliki perilaku beresiko tinggi, senderung terinfeksi melalui perilaku seksual

dan Injection Drug User (IDU).

Penelitian yang dilakukan di Iran pada tahun 2009 menunjukkan hasil yang sama, yaitu jumlah pasien laki-laki dengan jumlah penderita koinfeksi HIV-HBV 358 orang (91,6%) laki-laki dan 33 orang (8,4%) perempuan. (Mohammadi M, 2009).

5.2.4. Gambaran Distribusi Sampel Berdasarkan Tingkat Pendidikan di Rumah

Sakit Umum Haji Adam Malik Tahun 2010- 2012

Tingkat pendidikan terbanyak pada sampel adalah SMU yaitu sebanyak 19 orang (54,4%) dan diikuti SMP sebanyak 21,5%. Sebagaimana pendapat Notoatmodjo (2006)

menyatakan bahwa tingkat pendidikan turut pula menentukan mudah tidaknya seseorang menyerap dan memahami pengetahuan yang mereka peroleh. Pada umumnya, semakin tinggi pengetahuan seseorang maka semakin baik pula pengetahuannya.

(20)

Berdasarkan penelitian dilakukan di Nigeria tahun 2008, hanya 201/1000(13%) anak berumur kurang dari 5 tahun yang mendapatkan imunisasi lengkap. Selain itu, di Nigeria Utara, hanya 1 dari 500 ibu yang diwawancarai percaya bahwa imunisasi dapat mencegah hepatitis B.

5.2.5. Gambaran Distribusi Sampel Berdasarkan Faktor Resiko di Rumah Sakit

Umum Haji Adam Malik Tahun 2010- 2012

Pada penelitian ini faktor resiko penelitian koinfeksi HIV- HBV didapatkan penularan tertinggi yaitu secara heteroseksual sebanyak 24 orang(75,0%). Pada awalnya penularan secara penyuntikan narkoba merupakan faktor resiko tertinggi di kalangan masyarakat, namun setelah edukasi tentang keburukan bergantian jarum suntik, kadar penularannya berkurang.

(21)

BAB 6

KESIMPULAN & SARAN

6.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian pada penderita HIV-HBV mulai bulan Januari tahun 2010 sampai bulan Desember tahun 2012 didapatkan 32 orang koinfeksi HIV- HBV dari keseluhan 1721 pasien HIV dan dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Kelompok umur terbanyak terdapat pada kelompok umur31- 40 tahun sebanyak 13 orang (40,6%), sedangkan terendah pada kelompok umur >50 tahun sebanyak 1 orang (3,1%).

2. Jenis kelamin terbanyak adalah laki-laki sebanyak 30 orang (93,8%).

3. Distribusi frekuensi penderita HIV-HBV menurut tingkat pendidikan dijumpai berpendidikan SMU atau sederajat merupakan terbanyak menderita HIV-HBV yaitu sebanyak 19 orang (54,4%) dan terendah yang tidak bersekolah 2 orang (6,2%).

4. Distribusi frekuensi penderita HIV-HBV menurut faktor resiko terbanyak adalah secara heteroseksual yaitu sebanyak 24 orang(75,0%) dan terendah secara transfusi darah, heteroseksual bersama penyuntikan narkoba dan biseksual bersama tato masing- masing 1 orang(3,1%).

6.2. Saran

1. Perlu perbaikan dalam pengisian data pada rekam medik agar lebih memudahkan dalam penelusuran terjadinya koinfeksi HIV-hepatitis B di RSUP Haji Adam

(22)

2. Diharapkan perlunya penelitian lain dari variabel-variabel terhadap pemanfaatan Klinik VCT Pusyansus dalam penelitian selanjutnya, misalnya prilaku penderita dan model pelayanan VCT.

3. Untuk penelitian selanjutnya agar penelitian tidak hanya dilakukan melalui rekam medis, tetapi dilakukan secara langsung terhadap pasien sehingga didapatkan

(23)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. HIV/AIDS

2.1.1. Definisi HIV/AIDS

Acquired immune deficiency syndrome (AIDS) merupakan tahap akhir dari infeksi yang disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus (HIV). Retrovirus yang menyerang sel CD4 yang menyebabkan kerusakan parah pada sistem kekebalan tubuh. Human Immunodeficiency Virus (HIV) termasuk golongan retrovirus diidentifikasi pada tahun 1983 oleh Montagnier di Prancis (Goldsmith) sebagai patogen yang bertanggungjawab atas Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS). AIDS ditandai dengan perubahan populasi limfosit T-sel yang memainkan peran kunci dalam sistem pertahanan kekebalan tubuh. Pada individu yang terinfeksi, virus menyebabkan penipisan T-sel, yang disebut "sel T-helper", yang meyebabkan pasien rentan terhadap infeksi oportunistik, dan keganasan tertentu (P. Feorino).

(24)

2.1.2. Etiologi

Penyebab AIDS adalah virus yang tergolong Retrovirus yang disebut Human Immunodeficiency Virus (HIV). Virus ini pertama kali diisolasi oleh Montagnier dan kawan-kawan di Prancis pada tahun 1983 dengan nama Lymphadenopathy Associated Virus (LAV), sedangkan Gallo di Amerika Serikat pada tahun 1984 mengisolasi (HIV) III. Kemudian atas kesepakatan internasional pada tahun 1986 nama virus dirubah menjadi HIV( E. L. Palmer).

Human Immunodeficiency Virus adalah golongan virus RNA. Dalam bentuknya yang asli merupakan partikel yang inert, tidak dapat berkembang atau melukai sampai ia masuk ke sel target. Sel target virus ini terutama sel Lymfosit T, karena ia mempunyai reseptor untuk virus HIV yang disebut CD-4. Didalam sel Lymfosit T, virus dapat berkembang dan seperti retrovirus yang lain, dapat tetap hidup lama dalam sel dengan keadaan inaktif. Walaupun demikian virus dalam tubuh pengidap HIV selalu dianggap infectious yang setiap saat dapat aktif dan dapat ditularkan selama hidup penderita tersebut.

(25)

2.1.3. Cara Penularan

Secara umum ada 5 faktor yang perlu diperhatikan pada penularan suatu penyakit yaitu sumber infeksi, vehikulum yang membawa agent, host yang rentan, tempat keluar kuman dan tempat masuk kuman (port’d entrée).

Virus HIV sampai saat ini terbukti hanya menyerang sel Lymfosit T dan sel otak sebagai organ sasarannya. Virus HIV sangat lemah dan mudah mati diluar tubuh. Sebagai vehikulum yang dapat membawa virus HIV keluar tubuh dan menularkan kepada orang lain adalah berbagai cairan tubuh. Cairan tubuh yang terbukti menularkan diantaranya semen, cairan vagina atau serviks dan darah penderita.

Banyak cara yang diduga menjadi cara penularan virus HIV, namun hingga kini cara penularan HIV yang diketahui adalah melalui :

a) Transmisi Seksual

Penularan melalui hubungan seksual baik Homoseksual maupun Heteroseksual merupakan penularan infeksi HIV yang paling sering terjadi. Penularan ini berhubungan dengan semen dan cairan vagina atau serik. Infeksi dapat ditularkan dari setiap pengidap infeksi HIV kepada pasangan seksnya. Resiko penularan HIV tergantung pada pemilihan pasangan seks, jumlah pasangan seksdan jenis hubungan seks. Pada penelitian Darrow (1985) ditemukan resiko seropositive untuk zat anti terhadap HIV cenderung naik pada hubungan seksual yang dilakukan pada pasangan tidak tetap. Orang yang sering berhubungan seksual dengan berganti pasangan merupakan kelompok manusia yang berisiko tinggi terinfeksi virus HIV. i. Homoseksual

Didunia barat, Amerika Serikat dan Eropa tingkat hubungan homoseksual menderita AIDS, berumur antara 20-40 tahun dari semua golongan sosial. Cara hubungan seksual anogenital merupakan perilaku seksual dengan resiko tinggi bagi penularan HIV, khususnya bagi pasangan seksual yang pasif menerima ejakulasi semen dari seseorang pengidap HIV. Hal ini disebabkan oleh mukosa rektum yang sangat tipis dan mudah sekali mengalami perdarahan pada saat berhubungan secara anogenital.

ii. Heteroseksual

(26)

heteroseksual dan penderita terbanyak adalah kelompok umur seksual aktif baik pria maupun wanita yang mempunyai banyak pasangan dan berganti-ganti.

b) Transmisi Non Seksual

i. Transmisi Parenteral

Yaitu akibat penggunaan jarum suntik dan alat tusuk lainnya (alat tindik) yang telah terkontaminasi, misalnya pada penyalahgunaan narkotik suntik yang menggunakan jarum suntik yang tercemar secara bersama-sama. Disamping dapat juga terjadi melaui jarum suntik yang telah dipakai oleh petugas kesehatan tanpa disterilkan terlebih dahulu. Resiko tertular cara transmisi parental ini kurang dari 1%.

Transmisi melalui transfusi atau produk darah terjadi di negara-negara barat sebelum tahun 1985. Sesudah tahun 1985 transmisi melalui jalur ini di negara barat sangat jarang, karena darah donor telah diperiksa sebelum ditransfusikan. Resiko tertular infeksi/HIV lewat trasfusi darah adalah lebih dari 90%.

ii. Transmisi Maternal

Penularan dari ibu yang HIV positif ke anak mempunyai resiko sebesar 50%. Penularan dapat terjadi sewaktu hamil, melahirkan dan waktu menyusui. Penularan melalui air susu ibu termasuk penularan dengan resiko rendah. (Sudikno, Bona & Siswanto)

2.1.4. Patogenesis

Sistem kekebalan mempertahankan tubuh terhadap infeksi. Sistem ini terdiri dari banyak jenis sel. Dari sel–sel tersebut sel T–helper sangat krusial karena mengkoordinasi semua sistem kekebalan lainnya. Sel T–helper memiliki protein pada permukaannya yang disebut CD4.HIV masuk kedalam darah dan mendekati sel T–helper dengan melekatkan dirinya pada protein CD4. Saat menginfeksi, RNA virus masuk ke tubuh penderita, kemudian RNA berubah menjadi DNA (deoxyribonucleic acid) dengan suatu enzim yang disebut reverse transcriptase. Viral DNA tersebut menjadi bagian dari DNA manusia, yang akan menghasilkan virus-virus lainnya, benda tersebut mulai menghasilkan virus–virus HI.

(27)

darah, dan berhasil menulari lebih banyak sel. Ini adalah sebuah proses yang sedikit demi sedikit dimana akhirnya merusak sistem kekebalan tubuh dan menjadikan tubuh mudah diserang oleh infeksi dan penyakit–penyakit yang lain.Dibutuhkan waktu untuk menularkan virus tersebut dari orang ke orang. Respons tubuh secara alamiah terhadap suatu infeksi adalah untuk melawan sel–sel yang terinfeksi dan mengantikan sel–sel yang telah hilang. Respons tersebut mendorong virus untuk menghasilkan kembali dirinya.

Jumlah normal dari sel–sel CD4+T pada seseorang yang sehat adalah 800–1200 sel/ml kubik darah. Ketika seorang pengidap HIV yang sel–sel CD4+ T–nya terhitung dibawah 200, dia menjadi semakin mudah diserang oleh infeksi–infeksi oportunistik. Infeksi–infeksi oportunistik adalah infeksi–infeksi yang timbul ketika sistem kekebalan tertekan. Pada seseorang dengan sistem kekebalan yang sehat infeksi–infeksi tersebut tidak biasanya mengancam hidup mereka tetapi bagi seorang pengidap HIV hal tersebut dapat menjadi fatal. Tanpa perawatan, viral load, yang menunjukkan jumlah relatif virus bebas didalam plasma darah, akan meningkat mencapai titik dimana tubuh tidak akan mampu melawannya.

Perkembangan dari HIV dapat dibagi dalam 4 fase yaitu infeksi utama (Seroconversion), ketika kebanyakan pengidap HIV tidak menyadari dengan segera bahwa mereka telah terinfeksi. Kemudian, fase asymptomatic, dimana tidak ada gejala yang nampak, tetapi virus tersebut tetap aktif. Seterusnya, fase symptomatic, dimana seseorang mulai merasa kurang sehat dan mengalami infeksi–infeksi oportunistik yang bukan HIV tertentu melainkan disebabkan oleh bakteri dan virus–virus yang berada di sekitar kita dalam segala keseharian kita. AIDS, yang berarti kumpulan penyakit yang disebabkan oleh virus HIV, adalah fase akhir dan biasanya bercirikan suatu jumlah CD4 kurang dari 200 (Departemen Kesehatan RI Jakarta 1989).

2.1.5. Gejala Klinis

(28)

Gejala yang lebih serius pada orang dewasa seringkali didahului oleh gejala prodormal (diare dan penurunan berat badan) meliputi kelelahan, malaise, demam, napas pendek, diare kronis, bercak putih pada lidah (kandidiasis oral) dan limfadenopati. Gejala-gejala penyakit pada saluran pencernaan, dari esophagus sampai kolon merupakan penyebab utama kelemahan. Tanpa pengobatan interval antara infeksi primer oleh HIV dan timbulnya penyakit klinis pertama kali pada orang dewasa biasanya panjang, rata-rata sekitar 10 tahun (Jawet, 2005).

WHO menetapkan empat stadium klinik pada pasien yang terinfeksi HIV/AIDS, sebagai berikut :

Table 2.1. Stadium Klinik WHO: HIV/AIDS (2011)

Stadium klinis 1

 Asimtomatik

 Limfadenopati generalisata persisten

Stadium klinis 2

 Hepatosplenomegali persisten yang tidak dapat dijelaskana

 Erupsi pruritik papular

 Infeksi virus wart luas

Angular cheilitis

 Moluskum kontagiosum luas

 Ulserasi oral berulang

 Pembesaran kelenjar parotis persisten yang tidak dapat dijelaskan

 Eritema ginggival lineal

 Herpes zoster

 Infeksi saluran napas atas kronik atau berulang (otitis media, otorrhoea, sinusitis, tonsillitis )

 Infeksi kuku oleh fungus

Stadium klinis 3

(29)

adekuat terhadap terapi standara

 Diare persisten yang tidak dapat dijelaskan (14 hari atau lebih ) a

 Demam persisten yang tidak dapat dijelaskan (lebih dari 37.5o C intermiten atau konstan, > 1 bulan) a

 Kandidosis oral persisten (di luar saat 6- 8 minggu pertama kehidupan)

Oral hairy leukoplakia

 Periodontitis/ginggivitis ulseratif nekrotikans akut

 TB kelenjar

 TB Paru

 Pneumonia bakterial yang berat dan berulang

 Pneumonistis interstitial limfoid simtomatik

 Penyakit paru-berhubungan dengan HIV yang kronik termasuk bronkiektasis

 Anemia yang tidak dapat dijelaskan (<8g/dl ), neutropenia (<500/mm3) atau trombositopenia (<50 000/ mm3)

Stadium klinis 4b

 Malnutrisi, wasting dan stunting berat yang tidak dapat dijelaskan dan tidak berespons terhadap terapi standara

 Pneumonia pneumosistis

 Infeksi bakterial berat yang berulang (misalnya empiema, piomiositis, infeksi tulang dan sendi, meningitis, kecuali pneumonia)

 Infeksi herpes simplex kronik (orolabial atau kutaneus > 1 bulan atau viseralis di lokasi manapun)

 TB ekstrapulmonar

 Sarkoma Kaposi

 Kandidiasis esofagus (atau trakea, bronkus, atau paru)

 Toksoplasmosis susunan saraf pusat (di luar masa neonatus)

 Ensefalopati HIV

 Infeksi sitomegalovirus (CMV), retinitis atau infeksi CMV pada organ lain, dengan onset umur > 1bulan

 Kriptokokosis ekstrapulmonar termasuk meningitis

 Mikosis endemik diseminata (histoplasmosis, coccidiomycosis)

(30)

 Isosporiasis kronik

 Infeksi mikobakteria non-tuberkulosis diseminata

 Kardiomiopati atau nefropati yang dihubungkan dengan HIV yang simtomatik

 Limfoma sel B non-Hodgkin atau limfoma serebral

Progressive multifocal leukoencephalopathy

2.1.6. Diagnosis

Diagnosis ditujukan kepada dua hal, yaitu keadaan terinfeksi HIV dan AIDS. Diagnosis laboratorium dapat dilakukan dengan dua metode:

1.Langsung: yaitu isolasi virus dari sampel, umumnya dilakukan dengan menggunakan mikroskop elektron dan mendeteksi antigen virus. Salah satu cara deteksi antigen virus ialah Polymerase Chain Reaction (PCR).

2.Tidak Langsung: dengan melihat respon zat anti bodi spesifik, misalnya dengan ELISA, immunoflurescent assay (IFA), atau radioimmunoprecipitation assay (RIPA) (Tjokronegoro & Hendra, 2003).

Diagnosis HIV, yang lazim dipakai:

1.ELISA: sensitivitas tinggi, 98,1%-100%. Biasanya memberikan hasil positif 2-3 bulan sesudah infeksi. Dahulu, hasil positif dikonfirmasi dengan pemeriksaan Western blot. Tetapi sekarang menggunakan tes berulang dengan tingkat spesifisitas. 2.PCR (polymerase chain reaction): Penggunaan PCR antara lain untuk tes HIV pada bayi, menetapkan status infeksi individu yang seronegatif pada kelompok risiko tinggi, tes pada kelompok risiko tinggi sebelum terjadi serokonversi, tes konfirmasi untuk HIV-2 (sebab ELISA sensitivitasnya rendah untuk HIV-2) (Tjokronegoro & Hendra 2003).

Tiap negara memiliki strategi tes HIV yang berbeda. Di Indonesia, skrining dan surveilans menggunakan strategi tes yang sama. Tes ELISA dan Western blot telah digunakan di waktu yang lalu, sekarang di Indonesia menggunakan Dipstik, ELISA 1, dan ELISA 2 untuk skrining dan surveilans (Utomo & Irwanto, 1998).

(31)

sensitivitas dan spesifisitas tiap jenis reagensia. Untuk diagnosis klien yang asimtomatik harus menggunakan strategi III dengan persyaratan reagensia sebagai berikut:

1) Sensitivitas reagen pertama > 99% 2) Spesifisitas reagen kedua > 98% 3) Spesifisitas reagen ketiga > 99%

4) Preparasi antigen atau prinsip tes dari reagen pertama, kedua, dan ketiga tidak sama. Reagensia yang dipakai pada pemeriksaan kedua atau ketiga mempunyai prinsip pemeriksaan (misalnya EIA, dot blot, immunokromatografi atau

aglutinasi) atau jenis antigen (misalnya lisat virus, rekombinan DNA atau peptida sintetik) yang berbeda daripada reagensia yang dipakai pada pemeriksaan pertama.

5) Prosentase hasil kombinasi dua reagensia pertama yang tidak sama (discordant) kurang dari 5%.

6) Pemilihan jenis reagensia (EIA atau simple/rapid) harus didasarkan pada: a. Waktu yang diperlukan untuk mendapatkan hasil

b.Jumlah spesimen yang diperiksa dalam satu kali pengerjaan c. Sarana dan prasarana yang tersedia

Untuk tujuan surveilans, reagen pertama harus memiliki sensitivitas >99%, spesifisitas reagen kedua >98%.

Keuntungan diagnosis dini:

1.Intervensi pengobatan fase infeksi asimtomatik dapat diperpanjangkan. 2.Menghambat perjalanan penyakit kearah AIDS.

3.Pencegahan infeksi oportunistik

4.Kounseling dan pendidikan untuk kesehatan umum penderita.

5.Penyembuhan (bila mungkin) hanya dapat terjadi bila pengoabatan pada fase dini (Tjokronegoro & Hendra, 2003).

(32)

Obat–obatan Antiretroviral (ARV) bukanlah suatu pengobatan untuk HIV/AIDS tetapi cukup memperpanjang hidup dari mereka yang mengidap HIV. Pada tempat yang kurang baik pengaturannya permulaan dari pengobatan ARV biasanya secara medis direkomendasikan ketika jumlah sel CD4 dari orangyang mengidap HIV/AIDS adalah 200 atau lebih rendah. Untuk lebih efektif, maka suatu kombinasi dari tiga atau lebih ARV dikonsumsi, secara umum ini adalah mengenai terapi Antiretroviral yang sangat aktif (HAART). Kombinasi dari ARV berikut ini dapat mengunakan:

1.Nucleoside Analogue Reverse Transcriptase Inhibitors (NRTI'), mentargetkan

pencegahan proteinreverse transcriptase HIV dalam mencegah perpindahan dari viral RNA menjadi viral DNA (contohnya AZT, ddl, ddC & 3TC).

2.Non–nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NNRTI's) memperlambat reproduksi dari HIV dengan bercampur dengan reverse transcriptase, suatu enzim viral yang penting. Enzim tersebut sangat esensial untuk HIV dalam memasukan materi turunan kedalam sel–sel. Obat–obatan NNRTI termasuk: Nevirapine, delavirdine (Rescripta), efavirenza (Sustiva).

3.Protease Inhibitors (PI) mengtargetkan protein protease HIV dan menahannya sehingga suatu virus baru tidak dapat berkumpul pada sel tuan rumah dan dilepaskan.

2.2. Memulai terapi ARV dengan salah satu panduan di bawah ini

AZT + 3TC + NVP (Zidovudine + Lamivudine +

(Tenofovir + Lamivudine (atau Emtricitabine) + Nevirapine)

ATAU

TDF + 3TC (atau FTC) + EFV (Tenofovir + Lamivudine (atau Emtricitabine) + Efavirenz)

(33)

2.3. Paduan Lini Pertama yang direkomendasikan pada orang dewasa yang belum

pernah mendapat terapi ARV (treatment-naïve)

Populasi Target Pilihan yang direkomendasikan paduan yang sesuai untuk sebagian besar pasien Gunakan FDC jika trimester pertama TDF bisa merupakan pilihan

Ko-infeksi HIV/TB AZT atau TDF + 3TC (FTC) + EFV

Mulai terapi ARV segera setelah terapi TB dapat ditoleransi (antara 2 minggu hingga 8 minggu)

Gunakan NVP atau triple NRTI bila EFV tidak dapat digunakan penggunaan 2 ARV yang memiliki aktivitas anti-HBV

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 2011

2.1.8. Pencegahan

(34)

Obat–obatan tersebut adalah:

1. Ziduvidine (AZT) dapat diberikan sebagai suatu rangkaian panjang dari 14–28 minggu selama masa kehamilan. Studi menunjukkan bahwa hal ini menurunkan angka penularan mendekati 67%. Suatu rangkaian pendek dimulai pada

kehamilan terlambat sekitar 36 minggu menjadi 50% penurunan. Suatu rangkaian pendek dimulai pada masa persalinan sekitas 38%. Beberapa studi telah menyelidiki pengunaan dari Ziduvidine (AZT) dalam kombinasi dengan Lamivudine (3TC).

(35)

2.2. Hepatitis B 2.2.1. Definisi

Menurut World Health Organization (2012) Hepatitis B adalah infeksi hati yang berpotensi mengancam nyawa yang disebabkan oleh virus hepatitis B. Ini adalah masalah kesehatan global utama dan jenis yang paling serius dari hepatitis virus. Hal ini dapat menyebabkan penyakit hati kronis dan menempatkan orang pada risiko tinggi kematian akibat sirosis hati dan kanker hati.

2.2. Skema virus Hepatitis B

Di seluruh dunia, diperkirakan dua miliar orang telah terinfeksi virus hepatitis B dan lebih dari 240 juta memiliki infeksi (jangka panjang) hati kronis. Sekitar 600 000 orang meninggal setiap tahun karena konsekuensi akut atau kronis hepatitis B.

Vaksin hepatitis B telah tersedia sejak 1982. Vaksin hepatitis B adalah 95% efektif dalam mencegah infeksi dan vaksin pertama melawan kanker manusia.

2.2.2. Klasifikasi

a) Genom

(36)

ditemukan dalam inti segera setelah infeksi sel. Sebagian DNA beruntai ganda yang diberikan penuh beruntai ganda dengan selesainya untai sense (+) dan penghapusan sebuah molekul protein dari (-) akal dan urutan untai pendek RNA dari untai sense (+). Basis non-coding dihapus dari ujung (-) untai sense dan ujung-ujungnya bergabung. Ada empat gen yang dikode oleh genom dikenal, yang disebut C, X, P, dan S. protein inti adalah dikodekan oleh gen C (HBcAg), dan kodon start adalah didahului dengan hulu di-frame Agustus kodon mulai dari mana protein pra-inti diproduksi. HBeAg dihasilkan oleh proses proteolitik dari protein pra-inti. Polimerase DNA dikodekan oleh gen P. Gene S adalah gen yang mengkode antigen permukaan (HBsAg). Gen HBsAg satu frame membaca panjang terbuka tetapi berisi tiga dalam bingkai "mulai" (ATG) kodon gen yang membagi menjadi tiga bagian, pra-S1, pra-S2, dan S. Karena kodon mulai beberapa, polipeptida dari tiga ukuran yang berbeda yang disebut besar, menengah, dan kecil (pra-S1-S2 + pra + S, pra-S2 + S, atau S) yang dihasilkan. Fungsi dari protein dikodekan oleh gen X adalah tidak sepenuhnya dipahami(Chu SJ, Keeffe EB, Han SH, et al 2003).

b) Replikasi

(37)

c) Serotipe

Virus ini dibagi menjadi empat serotipe utama (adr, adw, ayr, ayw) epitop antigenik berdasarkan disajikan pada protein amplop, dan menjadi delapan genotipe (AH) menurut variasi urutan nukleotida keseluruhan genom. Genotipe memiliki distribusi geografis yang berbeda dan digunakan dalam melacak evolusi dan penularan virus. Perbedaan antara genotipe mempengaruhi keparahan penyakit, kursus dan kemungkinan komplikasi, dan respon terhadap pengobatan dan kemungkinan vaksinasi.

2.2.3. Etiologi

HBV adalah diselimuti, noncytopathic, hepatotrophic, dan DNA virus yang sangat menular yang termasuk dalam golongan hepadnaviruses(Lee WM 1997). Luar amplop virus berisi 3 antigen permukaan terkait (HBsAg), yang paling melimpah yang merupakan protein S. Perkembangan imunitas seluler dan humoral terhadap HBsAg adalah pelindung. Di dalam amplop adalah nukleokapsid virus, atau inti, yang berisi sebagian beruntai ganda melingkar DNA (HBcAg). Peptida HBcAg yang diturunkan menginduksi respon imun seluler inang krusial melawan HBV. HBeAg berfungsi sebagai penanda untuk replikasi aktif, tapi fungsinya tidak diketahui. Protein X (HBX) mungkin memainkan peran dalam perkembangan karsinoma hepatoseluler. DNA polimerase memiliki fungsi reverse transcriptase untuk sintesis kedua untai negatif dan positif dari HBV DNA(Ganem D, Prince AM 2004).

2.2.4. Gejala Klinis

Akut infeksi virus hepatitis b dikaitkan dengan akut virus hepatitis. Penyakit yang dimulai dengan umum sakit, kehilangan nafsu makan, mual, muntah, tubuh sakit, demam ringan, urine gelap, dan kemudian akan pengembangan penyakit kuning. Telah dicatat bahwa kulit gatal telah indikasi sebagai gejala mungkin semua jenis virus hepatitis. Penyakit berlangsung selama beberapa minggu dan kemudian secara bertahap meningkatkan di orang-orang yang paling terpengaruh.

(38)

asimtomatik atau mungkin dikaitkan dengan peradangan kronis hati (hepatitis kronis), menuju sirosis selama beberapa tahun. Jenis infeksi secara dramatis meningkatkan insiden dunia akibat Hepatoma (kanker hati).

Operator kronis didorong untuk menghindari mengkonsumsi alkohol dan meningkatkan risiko untuk kanker hati sirosis dan virus hepatitis b telah dikaitkan dengan perkembangan membran glomerulonefritis (MGN).

2.2.5. Cara Penularan

Infeksi hepattis B kornik sedikitnya diderita oleh 300 juta orang di seluruh dunia. Di Eropa dan Amerika 15-25% penderita hepatitis B kronik akan meninggal karena proses hati dan kanaker primer. Penelitian yang dilakukan di Taiwan pada 3.654 pria Cina yagn HBsAg positif bahkan mendapatkan angka yang lebih besar, yaitu antara 40-50%.

Penyakit hepatits B ini dapat menular bahkan bahaya tingkat penularannya 100 kali lebih cepat dibanding dengan virus HIV. Ada dua golongan cara penularan infeksi VHB, yaitu penularan horinzontal dan penularan vertikal. Cara penularan horinzontal terjadi dari seorang pengidap infeksi VHB kepada individu yang masih rentan di sekelilinginya. Penularan horinzontal dapat terjadi melalui kulit atau melalui selaput lendir, sedangkan penularan vertikal terjadi dari seorang pengidap yang hamil kepada bayi yang dilahirkannya(Bond WW, Favero MS, Petersen Nj, et al 1981).

a) Penularan melalui kulit

Penularan ini terjadi jika bahan yang mengandung partikel virus hepatitis B (HBsAg) masuk ke dalam kulit. Contohnya, kasus penularan terjadi akibat transfusi darah yang mengandung HBsAg positif, hemodialisis (cuci darah) pada penderita gagal ginjal kronik, seta melalui alat suntik yang tidak steril, sperti penggunaan jarum suntik bekas, jarum akupuntur yang tidak steril, alat tato, alat cukur dan yang saat ini merupakan cara penularan terbanyak adalah melalui penyuntikan narkoba secara bergantian.

(39)

b) Penularan melalui selaput lendir

Penularan dapat terjadi melalui mulut (per oral) yaitu jika bahan yang mengandung virus mengenai selaput lendir mulut yang terluka, misalnya karena peradangan mulut atau sesudah mencabut gigi dan bisa juga melalui ciuman. Selain itu, penularan virus hepatits B dapat melalui selaput lendir alat kelamin (seksual) akibat berhubungan seksual dengan pasangan yang mengandung HBsAg positif yang bersifat infeksius, baik dengan pasangan heteroseksual maupun homoseksual(Lee WM 1997).

c) Penularan vertika (penularan perinatal)

Penularan perinatal merupakan VHB dari ibu yang menderita hepatits B akut atau pengidap hepatits B kronis kepada bayinya pada saat dalam kandungan (masa kehamilan) atau sewaktu persalinan. Jika infeksi hepatits akut terjadi pada masa kehamilan trisemester partama dan kedua, umumnya penularan jarang terjadi. Namun, jika hepatits akut terjadi pada masa kehamilan trisemester ketiga maka penularan lebih sering terjadi. Penularan dari ibu pengidap hepatits B kronis kepada bayinya mengidap hepatits B kronis, bayi yang terinfeksi tersebut mungkin menderita hepatitis akut atau lebih sering terjadi adalah akan berkembang menjadi infeksi yang menetap dan menjadi kronik( Ghendom 1987).

2.2.6. Diagnosis

Diagnosis penyakit Hepatits B surface antigen (HBsAg) merupakan petanda infeksi VHB yang dapat dideteksi 2 minggu-2 bulan sebelum ada gejala klinik. Umumnya HBsAg ini bertahan selama 2-3 bulan dan sifatnya menular. Bila HBsAg positif menandakan adanya infeksi VH"B aktif, akut atau kronik. Adanya HBsAg dalam darah diikuti dengan peningkatan aktifitas SGPT kemudian SGOT. Penurunan aktifitas enzim ini diikuti dengan penurunan titer HBsAG. Selain HBsAg juga dapat dijumpai DNA polimerase.

(40)

reaction (PCR).

Infeksi dengan virus hepatits B umunya akan menimbulkan HBsAg dan anti-HBe, HBeAg terdeteksi setelah timbul HBsAg. Titer HBsAg meningkatkan tajam pada saat infeksi akut yang menunjukkan replikasi virus. Serokonversi HBeAg menjadi anti-HBe merupakan petanda infeksi teratasi dan menunjukkan daya infeksi yang berkurang. HBeAg dapat dijumpai bersamaan dengan HBsAg dan biasanya disertai dengan DNA VHB dan DNA polimerase.(Mast EE, Weinbaum CM, Fiore AE, et al 2006).

Anti HBc

Pasca infeksi virus hepatits B didapatkan antiHBe merupakan antibodi terhadap pada sel hati. Dekenal dua macam antiHBe yaitu HBe lgM dan anti HBc total. Waktu antara hilangnya HBsAg dengan terbentuknya antiHBs disebut window period (perode jendela). Window period ini bisa terjadi beberapa minggu, bulan atau tahun dan pada keadaan ini anti-HBe lgM positif. Untuk mengetahui adanya infeksi virus hepatits B bila HBsAg dan anti-HBs negatif, perlu dilakukan pemeriksaan anti HBc lgM untuk memetikan apakah individu tersebut telah terpapar VHB.

Pada pasien tidak mempunyai informasi bahwa dia terpapar VHB dapt diketahui dengan memriksa anti-HBc total, bila positif berarti terdapat dua kemungkinan yaitu penderita dalam keadaan infeksi aktif atau imun/sembuh.

Anti HBs

Anti HBs adalah antibodi golongan lgG terhadap HBsAg yang timbul setelah terpapar virus hepatits B yang bersifat protektif. Antibiotik yang timbul terhadap determinata dari VHB adalah subtipe d, y, w1-w4, r dan q. Pada pasien yang mendapatkan vaksinasi hepatits perlu pemeriksaan anti HBs untuk mengetahui keberhasilan vaksinasi (kekebalan). Pada vaksinasi bila kadar anti-HBs <20mIU/ml dianggap non reaktif sedangkan kadar anti-Hbs >10mIU/ml dianggap reaktif (Mast EE, Weinbaum CM, Fiore AE, et al 2006).

2.2.5.1. Pemeriksaan

(41)

diperlukan beberapa pemeriksaan berikut: a) Anamnesis dan pemeriksaan fisik

Hepatitis B secara awam lazim disebut sebagai penyakit kuning, tidak selalu menampakkan warna kunig di matanya (konjungtiva). Pada penyakit hepatits B, mata kuning dijumpai pada sepertiga kasus. Untuk lebih mengarah pada diagnosis hepatits B, perlu digali mengenai riwayat transfusi darah, hemodialisis, apakah ibu dan anak pernah menderita hepatits B dan juga mempertanyakan kebiasaan-kebiasaan seperti hubungan seks bebas dan pemakaian suntik narkoba sebelumnya. Didukungkan dengan pemeriksaan fisik yang teliti untuk melihat kemungkinan tanda klinis seperti mata kuning, penemuan adanya pembesaran hati, pembengkakkan perut dan kaki(Mast EE, Weinbaum CM, Fiore AE, et al 2006).

b) Pemeriksaan fungsi hati

Organ hati mengemban berbagai macam tugas, seperti fungsi sintesis, ekskresi, detoksifikasi dan penyimpan cadangan energi. Gangguan organ hati mungkin disebabkan oleh penyakit apapun termasuk infeksi hepatitis B dengan sendirinya akan mempengaruh fungsi hati(Mast EE, Weinbaum CM, Fiore AE, et al 2006).

c) Pemeriksaan Serologi

Tidak semua pemeriksaan serologi mutlak diterapkan pada seseorang yang dicurigai menderita hepatitis B. Manfaat pemeriksaan ini adalah untuk mendiagnosis adanya infeksi VHB dan memastikan sejauh mana infeksi VHB berada pada keadaan infeksi akut, kronis atau telah sembuh. Berikut jenis pemeriksaan serologi pada infeksi VHB.

Pemeriksaan HBsAg, pemeriksaan ini memastikan apakah seseorang menderita hepatits B atau tidak. Hasil pemeriksaan hepatits B positif memestikan bahwa seseorang menderita infeksi VHB. Pemeriksaan HBsAg positif yang menetap lebih dari enam bulan disebut sebagai VHB kronis.

(42)

negatif dan tidak ada kadar HBs (atau titer kurang dari 10 UI/ml), memberikan arti bahwa orang tersebut tidak sedang menderita infeksi VHB dan tidak memiliki perlindungan terhadap VHB sehingga ia perlu mendapatkan vaksin hepatitis B. Namun, bila seseorang telah memiliki kadar anti HBs tinggi lebih dari 100 UI/ml, ia tidak perlu mendapatkan aksinasi hepatitis B(Mast EE, Weinbaum CM, Fiore AE, et al 2006).

d) Pemeriksaan DNA virus

Pemeriksaan DNA HBV dilakukan dengan metoda molekuler yaitu metode PCR. Hasil pemeriksaan dapat dilaporkan secara kuantitatif maupun kualitatif.

Dikenal dua macam cara pencegahan yaitu dengan hepatitis B immune globin (HBIG) dan hepatitis B vaksin. Penggunaan HBig adalah untuk mencegah infeksi VHB secara aktif dan mendapatkan imunitas dalam jangka waktu yang lama. Hubungi dokter anda untuk pencegahan infeksi VHB.

2.2.7. Patogenesis

(43)

Disebabkan adanya HBV di situs ekstrahepatik, serta kehadiran DNA sirkular kovalen tertutup (cccDNA) dalam hepatosit, pemberantasan virus merupakan tujuan realistis berdasarkan obat yang tersedia saat ini. DNA sirkular kovalen tertutup berfungsi sebagai cetakan untuk transkripsi pregenomic RNA, langkah awal yang penting dalam replikasi HBV(Chisari FV, Ferrari C, 1995). Keberadaan rombongan cccDNA dalam hepatosit dianggap sebagai penanda persistensi virus, Malangnya terapi saat ini belum efektif dalam memberantas cccDNA dan hanya mampu menurunkan tingkat(Tuttleman JS, Pourcel C, Summer J 1986). Persistensi bahkan tingkat rendah cccDNA dalam inti hepatosit telah terbukti berkorelasi dengan peningkatan viral load setelah penghentian terapi. Selain itu, integrasi HBV DNA ke inti hepatosit selama proses replikasi bisa menjelaskan peningkatan risiko karsinoma hepatoseluler(Zoulim F, 2005).

2.2.8. Pengobatan

Akut infeksi hepatitis B biasanya tidak memerlukan pengobatan karena orang dewasa yang paling jelas infeksi tersebut secara spontan. Pengobatan antivirus awal hanya mungkin diperlukan dalam kurang dari 1% dari pasien, infeksi yang mengambil kursus sangat agresif (hepatitis fulminan) atau yang immunocompromised. Di sisi lain, pengobatan infeksi kronis mungkin diperlukan untuk mengurangi risiko sirosis dan kanker hati. Individu yang terinfeksi kronis dengan serum alanine aminotransferase meningkat terus menerus, penanda kerusakan hati, dan DNA HBV tingkat adalah kandidat untuk terapi.

(44)

Bayi lahir dari ibu yang diketahui membawa hepatitis B dapat diobati dengan antibodi terhadap virus hepatitis B (hepatitis B immune globulin atau HBIG). Ketika diberikan dengan vaksin dalam waktu dua belas jam setelah kelahiran, risiko tertular hepatitis B adalah berkurang 90%. Perawatan ini memungkinkan seorang ibu untuk menyusui anaknya aman. Pada bulan Juli 2005, peneliti dari A STAR * dan National University of Singapore mengidentifikasi hubungan antara protein pengikat DNA milik kelas protein heterogen ribonucleoprotein K nuklir (hnRNP K) dan replikasi HBV pada pasien. Mengontrol tingkat hnRNP K dapat bertindak sebagai pengobatan yang mungkin untuk HBV.

2.2.9. Pencegahan

Beberapa vaksin telah dikembangkan untuk pencegahan infeksi virus hepatitis B. Ini bergantung pada penggunaan salah satu protein amplop virus (antigen permukaan hepatitis B atau HBsAg). Vaksin ini awalnya dibuat dari plasma yang diperoleh dari pasien yang mengalami infeksi virus hepatitis B lama. Namun, saat ini, ini lebih sering dibuat dengan menggunakan teknologi DNA rekombinan, meskipun vaksin plasma yang diturunkan terus digunakan, dua jenis vaksin yang sama efektif dan aman.

Setelah vaksinasi, hepatitis B surface antigen dapat dideteksi dalam serum selama beberapa hari, ini dikenal sebagai antigenaemia vaksin. Vaksin ini diberikan baik dalam dua-, tiga, atau empat jadwal dosis ke bayi dan orang dewasa, yang memberikan perlindungan bagi 85-90% dari individu. Perlindungan telah diamati 12 tahun terakhir pada individu yang menunjukkan respon awal yang memadai untuk program utama vaksinasi, dan kekebalan yang diprediksi bertahan setidaknya 25 tahun.

Berbeda dengan hepatitis A, hepatitis B umumnya tidak menyebar melalui air dan makanan. Sebaliknya, ditularkan melalui cairan tubuh. Pencegahan demikian menghindari penularan tersebut dan kontak seksual tanpa pelindung.

(45)

Koinfeksi dengan virus hepatitis B umum terjadi, dengan 70-90% penderita HIV di Amerika Serikat juga terinfeksi oleh virus hepatitis B. 90% penderita HIV yang menggunakan jarum suntik tidak steril juga terpapar oleh hepatitis B (anti-HBc positif) dan 60% memiliki riwayat infeksi dengan adanya antibodi permukaan hepatitis B (anti-HBs) (Rodriguez- Mendez ML 2000).

Sindrom klinis pada infeksi hepatitis virus akut umumnya tidak spesifik dan disertai gejala gastrointestinal, seperti malaise, anoreksia, mual dan muntah. Selain itu juga didapatkan gejala-gejala flu, faringitis, batuk, sakit kepala, mialgia dan lain-lain. Orang yang terinfeksi HIV juga memiliki gejala-gejala seperti fatigue, malaise, dannausea, sehingga terkadang infeksi campuran oleh virus hepatitis tidak nampak(CDC 2005). Koinfeksi HIV oleh virus hepatitis tidak mempengaruhi penyakit oleh HIV tersebut maupun perkembangannya menjadi AIDS, tetapi HIV mempengaruhi hepatitis B dengan meningkatnya progresifitas menjadi sirosis hati serta gagal hati(Levin J 2005).Akan tetapi, sebuah studi terbaru yang dilakukan di Virginia menunjukkan bahwa progresifitas terjadinya fibrosis pada pasien koinfeksi dan monoinfeksi adalah sama berdasarkan pemeriksaan biopsi hati(Bradford D 2008).

Virus hepatitis B (HBV) dan human immunodeficiency virus (HIV) adalah virus yang ditularkan melalui darah yaitu melalui hubungan seksual dan penggunaan narkoba suntikan. Karena mode ini bersama penularan, proporsi tinggi orang dewasa berisiko terinfeksi HIV juga berisiko untuk infeksi HBV. Orang HIV-positif yang terinfeksi virus Hepatitis B (HBV) berada pada peningkatan resiko untuk mengembangkan infeksi HBV kronis dan harus diuji. Selain itu, orang-orang yang koinfeksi dengan HIV dan HBV dapat memiliki komplikasi medis yang serius, termasuk peningkatan risiko morbiditas dan mortalitas terkait hati. Untuk mencegah infeksi HBV pada orang yang terinfeksi HIV, Komite Penasehat Praktek Imunisasi merekomendasikan yang universal Hepatitis B vaksinasi pasien rentan dengan HIV / AIDS.

(46)

Hepatitis B dan HIV mempunyai beberapa kemiripan karakter, di antaranya adalah merupakan blood-borne disease, membutuhkan pengobatan seumur hidup, mudah terjadi resisten terutama jika digunakan monoterapi dan menggunakan obat yang sama yaitu Tenofovir, lamivudine dan emtricitabine. Entecavir, obat anti hepatits B mempunyai efek anti retroviral pada HIV juga akan tetapi tidak digunakan dalam pengobatan HIV.

Perlu diwaspadai timbulnya flare pada pasien ko-infeksi HIV- Hep B jika pengobatan HIV yang menggunakan TDF/3TC dihentikan karena alasan apapun.Mulai ART pada semua individu dengan ko-infeksi HIV/HBV yang memerlukan terapi untuk infeksi HBV-nya (hepatitis kronik aktif), tanpa memandang jumlah CD4 atau stadium klinisnya. Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia (PPHI) merekomendasikan memulai terapi hepatitis B pada infeksi hepatitis B kronik aktif jika terdapat peningkatan SGOT/SGPT lebih dari 2 kali selama 6 bulan dengan HBeAg positif atau HBV DNA positif. Adanya rekomendasi tersebut mendorong untuk dilakukan diagnosis HBV pada HIV dan terapi yang efektif untuk ko-infeksi HIV/HBV. Gunakan paduan antiretroviral yang mengandung aktivitas terhadap HBV dan HIV, yaitu TDF + 3TC atau FTC untuk peningkatan respon VL HBV dan penurunan perkembangan HBV yang resistensi obat.

Pada pengobatan ARV untuk koinfeksi hepatitis B perlu diwaspadai munculnya hepatic flare dari hepatitis B. Penampilan flare khas sebagai kenaikan tidak terduga dari

(47)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan tahap akhir dari infeksi yang disebabkan oleh virus yang disebut HIV (Human Immunodeficiency Virus). Virus ini pertama kali diisolasi oleh Montagnier dan kawan-kawan di Prancis pada tahun 1983 dengan nama Lymphadenopathy Associated Virus (LAV), sedangkan Gallo di Amerika Serikat pada tahun 1984 mengisolasi (HIV) III. Kemudian atas kesepakatan internasional pada tahun 1986 nama virus diubah menjadi HIV. Retrovirus yang menyerang sel CD4 yang menyebabkan kerusakan parah pada sistem kekebalan tubuh atau pertahanan tubuh sehingga individu mudah terserang infeksi yang mengancam kehidupan.

Berdasarkan World Health Organization (WHO) terdapat sekitar 33.4 juta orang di dunia hidup dengan HIV. 50% dari jumlah keselurahannya merupakan wanita dan 3,4 juta adalah anak. Lebih dari 25 juta orang telah meninggal karena AIDS di seluruh dunia sejak kasus pertama dilaporkan pada tahun 1981. Pada tahun 2010, 1,8 juta orang meninggal karena HIV / AIDS, dan 2,7 juta orang baru terinfeksi HIV. Dari keseluruhan kasus didunia, 97% penderita berada di negara berkembang dan berpendapatan rendah.

(48)

dan 37.000 orang baru terinfeksi serta diperkirakan 23.000 orang dewasa dan anak-anak meninggal karena AIDS. Di Eropa Barat dan Tengah terdapat 30.000 kasus baru HIV, sehingga jumlah orang yang hidup dengan HIV bertambah menjadi 900.000 dan 7.000 orang di wilayah ini meninggal karena AIDS. Selain itu, di Amerika Tengah dan Selatan terdapat 83.000 orang yang baru terinfeks HIV / AIDS dan diperkirakan 54.000 kematian terkait AIDS. Daerah ini saat ini memiliki 1,4 juta orang yang hidup dengan HIV / AIDS. Di Asia Pasifik, hampir 372.000 orang yang baru terinfeksi, sehingga jumlah orang yang hidup dengan HIV / AIDS di sana hampir mencapai 5 juta dan di Asia terdapat 31.000 orang yang menderita AIDS (UNAIDS World AIDS Day Report 2012).

Menurut UNICEF, Indonesia tanpa program percepatan pencegahan infeksi HIV diperkirakan pada tahun 2014 akan terdapat lebih dari setengah juta orang terinfeksi HIV. Epidemi ini dipicu terutama oleh penularan seksual dan penggunaan narkoba suntikan. Tanah Papua, Jakarta dan Bali memimpin di tingkat kasus HIV baru per 100.000 orang. Jumlah penderita yang 1,5% dari penderita Indonesia, Tanah Papua menyumbang lebih dari 15 persen dari semua kasus HIV baru di Indonesia pada 2011. Papua sendiri memiliki tingkat kasus hampir 15 kali lebih tinggi daripada rata-rata nasional. Berbeda dengan daerah lain di Indonesia, Tanah Papua mempunyai tingkat rendah generalisasi epidemi HIV dengan prevalensi 3 persen pada remaja usia 15-24 tahun (Beadle dan Temongmere G. A 2012).

(49)

dalam saluran darah dan cairan tubuh lainnya.

Menurut World Health Organization (WHO), diperkirakan dua milyar orang telah terinfeksi virus hepatitis B dan lebih dari 240 juta memiliki infeksi (jangka panjang) hati kronis. Sekitar 600 000 orang meninggal setiap tahun karena konsekuensi akut atau kronis hepatitis B.Hepatitis B endemik di China dan bagian lain di Asia (Valla 2006). Kebanyakan orang di wilayah ini terinfeksi dengan virus hepatitis B selama masa kanak-kanak dan 8-10% dari populasi orang dewasa terinfeksi secara kronis. Kanker hati yang disebabkan oleh hepatitis B adalah salah satu dari tiga penyebab kematian akibat kanker pada pria, dan penyebab utama kanker pada wanita di wilayah ini.Tingkat infeksi kronis yang tinggi juga ditemukan di Amazon dan bagian selatan Eropa timur dan tengah. Di Timur Tengah dan subkontinen India, diperkirakan 2-5% dari populasi umum terinfeksi secara kronis dan <1% dari populasi di Eropa Barat dan Amerika Utara terinfeksi secara kronis (Andre 2004).

(50)

pasien (survey nasional pernefri untuk prevalensi hepatitis B/C pada pasien hemodialisis). (Achmadi 2006).

Orang tertular hepatitis B pada masa dewasa membutuhkan pertahanan imun yang kuat untuk memulihkan infeksi akut dan mencegah perkembangan infeksi kronis. Hal ini dapat dicapai pada kebanyakan orang dewasa (>90 persen) yang tidak terinfeksi HIV. Namun, orang dewasa dengan HIV yang tertular HBV mempunyai kemungkinan pemulihan yang lebih rendah, dan kemungkinan ini terkait langsung dengan tingkat tekanan kekebalan pada saat tertular HBV(Bodsworth NJ, 1991). Karena jalur penularan HBV dan HIV serupa, ada prevalensi koinfeksi HIVHBV yang tinggi, terutama di antara laki-laki seksual laki-laki (LSL), dan tanda HBV sebelumnya atau baru dapat ditemukan dalam lebih dari 50 persen LSL dengan HIV. Reaktivasi HBV pada orang yang sebelumnya hilang HBsAg terdeteksi dapat dikaitkan dengan peningkatan pada tekanan kekebalan dalam konteks infeksi HIV(Vento S, 1989). Orang dengan koinfeksi HIV dan HBV yang belum diobati mengalami angka HBsAg/HbeAg-positif yang lebih tinggi dan tingkat DNA HBV yang lebih tinggi, namun mereka mempunyai tingkat transaminase yang lebih rendah dan proses peradangan-nekro yang lebih rendah pada histologi dibandingkan orang yang hanya terinfeksi HBV (Gilson RJ, 1997). Walau tampaknya ada status toleransi kekebalan ini, perkembangan pada penyakit hati lanjut termasuk sirosis dan karsinoma hepatoselular kemungkinan dipercepat (Thio CL, 2002).

(51)

lebih tinggi pada orang koinfeksi HIV-HBV, terutama mereka dengan tingkat tekanan kekebalan yang paling besar(Darby SC, 1997). Pada penelitian ini terhadap 5.293 LSL, dengan 6 persen di antaranya HBsAg-positif dan 41 persen HIV-positif, mortalitas terkait hati adalah lebih dari delapan kali lipat lebih mungkin pada mereka koinfeksi HIV-HBV dibandingkan mereka dengan HIV saja dan hampir 19 kali lebih mungkin bila dibandingkan dengan mereka dengan HBV saja. Orang dengan jumlah CD4 <100 berisiko tertinggi terhadap mortalitas terkait hati dan ada kecenderungan peningkatan pada mortalitas dalam tahun-tahun setelah ART tersedia.

Interaksi antara HIV dan HBV dan dampak yang dihasilkannya pada perkembangan penyakit HIV sudah diperdebatkan. Sebelum tersedianya ART, beberapa penelitian memberi kesan bahwa keberadaan HBsAg dapat mempercepat perjalanan ke AIDS(Scharschmidt BF, 1992). Hal ini ditolak oleh penelitian lain yang menunjukkan tidak ada perbedaan pada waktu ke AIDS(Gilson RJ, 1997) atau bertahanhidup lama setelah diagnosis AIDS(Thio CL, 2002) pada mereka yang HBsAg-positif. Dua penelitian pengamatan besar baru menyelidiki masalah ini lebih lanjut. Pada kohort MACS di AS, keberadaan HBsAg pada orang terinfeksi HIV tidak berdampak pada perkembangan ke AIDS, kematian terkait AIDS, mortalitas keseluruhan atau tanggapan yangberhasil pada ART(Prins M, Hernandez, 1997).

(52)

1.2.Perumusan Masalah

Bagaimanakah insidensi Hepatitis B pada pasien HIV-AIDS di Klinik Pusyansus Rumah Sakit Haji Adam Malik, Medan 2010-2012.

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum :

Mengetahui insidensi Hepatits B pada pasien HIV-AIDS di Klinik Pusyansus Rumah Sakit Haji Adam Malik, Medan 2010-2012.

1.3.2. Tujuan Khusus :

1.3.1.1. Untuk mengetahui distribusi proporsi hepatitis B pada pasien HIV-AIDS berdasarkan demografi umur.

1.3.1.2. Untuk mengetahui distribusi proporsi hepatitis B pada pasien HIV-AIDS berdasarkan demografi kelamin.

1.3.1.3. Untuk mengetahui distribusi proporsi hepatitis B pada pasien HIV-AIDS berdasarkan demografi tingkat pendidikan.

1.3.1.4. Untuk mengetahui distribusi proporsi hepatitis B pada pasien HIV-AIDS berdasarkan demografi faktor resiko.

1.4. Manfaat Penelitian

(53)

1.4.2. Sebagai bahan informasi untuk penelitian lebih lanjutnya.

(54)

ABSTRAK

Latar Belakang: HIV merupakan virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia. Berdasarkan transmisi dari virus HIV seperti hubungan seksual, jarum suntik dan maternal, besar kemungkinan penderita HIV juga terkena infeksi HBV. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui koinfeksi HBV dengan HIV di RSUP Haji Adam Malik Medan.

Metode: Desain penelitian adalah deskriptif dengan menggunakan cacatan rekam medis sebagai sampel penelitian. Sampel merupakan pasien koinfeksi HIV- HBV periode 1 Januari 2010- 31 Desember 2012. Data dideskripsikan dalam bentuk tabel.

Hasil: Dari hasil penelitian, menunjukkan yang menjalankan pemeriksaan HBsAg 755 orang(43.87%) dari 1721 pasien positif HIV dan jumlah hasil positifnya 32 orang(0.02%). Pasien koinfeksi HIV- HBV 93.8% berjenis kelamin laki- laki. Penderita koinfeksi terbanyak berada dalam kelompok umur 31- 40 tahun dan berpendidikan rendah(SMU). Faktor resiko penularan HIV- HBV yang terbanyak adalah secara heteroseksual (75%). Kesimpulan dan Saran: Angka kejadian koinfeksi HIV- HBV sebanyak 32 orang(0.02%). Transmisi terbanyak terjadi secara heteroseksual dan berpendidikan rendah. Pasien koinfeksi HIV- HBV terbanyak laki- laki dengan kelompok umur 31- 40 tahun. Disarankan pemeriksaan HBsAg pada semua pasien HIV.

(55)

ABSTRACT

Background: HIV was a virus that attacked immune system of human. According to the

transmission of HIV virus like sexual intercourse dan injection needle, there was

probability to be infected with HBV. The aim of this study was to perceive the co-infection of HBV on HIV patient in Haji Adam Malik General Hospital, Medan.

Methods: This research was a descriptive research using medical records as a samples.

Samples were HIV- HBV co- infected patients in period 1st January 2010- 31st December 2012. The data described in table form.

Results: From the research shows that out of 1721 HIV positive patients, that runs HBsAg

test was only 755 patients(43.87%) and been detected positive 32 patients(0.02%). HIV-HBV co-infected patients 93.8% were male. Most co-infected patients were in the age group 31-40 years and less educated (high school).

Highest risk factor of transmission of HIV- HBV by heterosexual(75%).

Conclusion & Proposal: The incidence of HIV-HBV co-infection was 32 patients (0.02%).

Most transmission occurs by heterosexual and less educated people. Most HIV-HBV co-infected patients were men which in age group of 31-40 years. Suggested HBsAg examination should be done to HIV patients.

Keywords: co-infection, Human Immunodeficiency Virus, Hepatitis B Virus

(56)

INSIDENSI HEPATITIS B PADA PASIEN HIV- AIDS DI

KLINIK VCT PUSYANSUS RSUP HAJI ADAM MALIK

MEDAN DARI JANUARI TAHUN 2010- DESEMBER

TAHUN 2012

KARYA TULIS ILMIAH

Oleh:

THILAKAM KANTHASAMY

100 100 415

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(57)

INSIDENSI HEPATITIS B PADA PASIEN HIV- AIDS DI KLINIK VCT PUSYANSUS RSUP HAJI ADAM MALIK MEDAN DARI JANUARI TAHUN

2010- DESEMBER TAHUN 2012

“Karya Tulis Ilmiah ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh kelulusan sarjana kedokteran”

OLEH:

THILAKAM KANTHASAMY

100100415

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(58)

LEMBAR PENGESAHAN

JUDUL : Insidensi Hepatitis B pada Pasien HIV- AIDS di Klinik VCT Pusyansus RSUP. Haji Adam Malik Medan dari Januari tahun 2010- Dsember tahun 2012

NAMA : THILAKAM KANTHASAMY NIM : 100100415

Pembimbing Penguji I

(dr. Tambar Kembaren, Sp.PD) (dr. Olga Rasiyanti Siregar, Sp.A) NIP: 19551225 1981102 001 NIP: 19830302 2008122 002

Penguji II

( dr. Irwan Fahri Rangkuti, Sp.KK ) NIP: 19600922 1989051 004

Medan, 19 Desember 2013 Dekan

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

(59)

ABSTRAK

Latar Belakang: HIV merupakan virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia. Berdasarkan transmisi dari virus HIV seperti hubungan seksual, jarum suntik dan maternal, besar kemungkinan penderita HIV juga terkena infeksi HBV. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui koinfeksi HBV dengan HIV di RSUP Haji Adam Malik Medan.

Metode: Desain penelitian adalah deskriptif dengan menggunakan cacatan rekam medis sebagai sampel penelitian. Sampel merupakan pasien koinfeksi HIV- HBV periode 1 Januari 2010- 31 Desember 2012. Data dideskripsikan dalam bentuk tabel.

Hasil: Dari hasil penelitian, menunjukkan yang menjalankan pemeriksaan HBsAg 755 orang(43.87%) dari 1721 pasien positif HIV dan jumlah hasil positifnya 32 orang(0.02%). Pasien koinfeksi HIV- HBV 93.8% berjenis kelamin laki- laki. Penderita koinfeksi terbanyak berada dalam kelompok umur 31- 40 tahun dan berpendidikan rendah(SMU). Faktor resiko penularan HIV- HBV yang terbanyak adalah secara heteroseksual (75%). Kesimpulan dan Saran: Angka kejadian koinfeksi HIV- HBV sebanyak 32 orang(0.02%). Transmisi terbanyak terjadi secara heteroseksual dan berpendidikan rendah. Pasien koinfeksi HIV- HBV terbanyak laki- laki dengan kelompok umur 31- 40 tahun. Disarankan pemeriksaan HBsAg pada semua pasien HIV.

Gambar

Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian
Tabel 5.2. Distribusi Sampel Berdasarkan Umur
Tabel 5.3. Menunjukkan bahwa jenis kelamin terbanyak adalah laki- laki sebanyak 30
Gambar 2.1. Struktur sel HIV/ AIDS
+2

Referensi

Dokumen terkait

Untuk pembuatan pola tingkat pembakaran digunakan metode FFT ( Fast Fourier Transform ) sehingga sinyal analog yang didapat dari sensor bisa terpolakan. Hasil akhir yang didapat dari

penyesuaian model pengambilan keputusan yang akan diambil oleh

Penelitian yang dilakukan Komnas Anak dan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah tahun 2007 bahwa rata- rata remaja mulai merokok pada usia 14

Dari pemantauan saya di lapangan, sudah hampir 90 % masyarakat Kecamatan Pahandut sudah membuat E-KTP karena hampir semua Ketua RT telah menghimbau dan membawa warga masyarakatnya

Sekretariat : Gedung B Lantai II Sekretariat Daerah Kabupaten Klaten Jl. Demikian atas perhatiannya diucapkan

Perbaikan saluran irigasi Dukuh Tanjungarum Desa Glagahw angi Kecamat an Polanharjo (Eks.

[r]

Pengamanan data dewasa ini dirasakan sangat begitu penting, apalagi terhadap data-data yang bersifat pribadi dan rahasia, banyak cara yang dapat dilakukan untuk dapat mengamankan