ANALISIS FINANSIAL DAN POLA BUDIDAYA TANAMAN
KARET (
Hevea braziliensis
MUELL Arg.)
SEBAGAI MODEL HUTAN RAKYAT
DI DESA LUMBAN DOLOK KECAMATAN SIABU
KABUPATEN MANDAILING NATAL
SKRIPSI
Oleh :
RAHMAT ADITYA LUBIS 091201127
PROGRAM STUDI KEHUTANAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
ABSTRAK
RAHMAT ADITYA LUBIS. Analisis Agroforestry dan Finansial Tanaman Karet
(Hevea braziliensis MUELL Arg.) Sebagai Model Hutan Rakyat di Desa Lumban Dolok Kecamatan Siabu Kabupaten Mandaling Natal. Dibimbing oleh AGUS PURWOKO dan YUNUS AFIFUDDIN.
Penduduk Kabupaten Mandailing Natal, Kecamatan Siabu, di Desa Lumban Dolok telah mengusahakan kebun karet secara turun-temurun dari nenek moyang dan merupakan mata pencaharian pokok bagi sebagian besar penduduknya. Komoditi karet bagi Pemerintah Kabupaten Mandailing Natal sendiri merupakan komoditi yang mempunyai peranan penting dalam kontribusi subsektor perkebunan dalam upaya meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pola dan kontribusi pendapatan
agroforestry karet sebagai model hutan rakyat dan menganalisis secara finansial tanaman karet sebagai model hutan rakyat di Desa Lumban Dolok. Pengumpulan data dilakukan dengan mengumpulkan data primer dan data sekunder. Pengambilan sampel dilakukan secara purposive sampling. Pertimbangan lainnya dalam pengambilan sampel petani yaitu kebun karet tersebut telah berproduksi sebenyak 34 sampel dari 348 kepala keluarga. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi pola agroforestry dan analisis kelayakan finansial dengan beberapa untuk mengetahuinya, yaitu: Net Present Value (NPV), Net Benefit Cost Ratio (Net BCR), Internal Rate of Return (IRR).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola kombinasi karet rakyat dalam sistem agroforestry diterapkan dengan dua pola yakni karet dengan tanaman semusim (padi) dan karet dengan tanaman tahunan (coklat) dan nilai NPV yang
paling tinggi adalah pola kombinasi kedua (karet dengan tanaman coklat) yaitu Rp. 192.325.332,78/Ha , nilai BCR sebesar 3,07 dan nilai IRR 29,9 %.
ABSTRACK
RAHMAT ADITYA LUBIS. Financial Analysis of Agroforestry and Plant
Rubber (Hevea braziliensis MUELL Arg.) For Model Forest People in the Village
District Siabu subdistrict Lumban Dolok Mandaling Natal. Supervised by
AGUS PURWOKO and YUNUS AFIFUDDIN.
Mandailing Natal County residents, District Siabu, in the village of Lumban Dolok rubber plantations have worked for generations of ancestors and is the principal livelihood for the majority of the population. Commodity rubber for Mandailing Natal County Government itself is a commodity that has an important role in the plantation sub-sector contribution to improving local revenue ( PAD ). This study aims to analyze the pattern and rubber agroforestry revenue contribution as a model of community forests and rubber plantations financially analyzed as a model of community forestry in the village of Lumban Dolok. Data collection was conducted by collecting primary data and secondary data . Sampling was done by purposive sampling. Other considerations in sampling the rubber plantation farmers are already producing for 34 samples from 348 families. Analysis of the data used in this study is the observation of patterns of agroforestry and financial analysis with a few to find out, namely: Net Present Value (NPV), Net Benefit Cost Ratio (BCR Net), Internal Rate of Return (IRR).
The results showed that the combination pattern of smallholder rubber agroforestry systems implemented in two patterns namely rubber with seasonal crops (rice) and rubber with annual crops (kakao) and the highest NPV is the pattern of the second combination (rubber with kakao), Rp. 192,325,332.78 / Ha, BCR value of 3.07 and 29.9 % IRR.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Rahmat Aditya Lubis dilahirkan di Semarang pada
tanggal 22 Agustus 1991 dari ayah Lauddin Lubis, ST dan
ibu Yuni Arsita Lisnawati Lubis, SH. Penulis merupakan putra ketiga dari lima
bersaudara.
Penulis memulai pendidikan di SD Negeri Langkai 4 Percobaan
Palangkaraya. Pada tahu 2006, penulis menyelesaikan pendidikan di SMP Negeri
1 Panyabungan. Tahun 2009 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Panyabungan dan
pada tahun 2009 lulus seleksi masuk Universitas Sumatera Utara (USU) melalui
jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Penulis
memilih Program Studi Kehutanan Fakultas Kehutanan.
Setelah mengikuti perkuliahan, pada tahun 2011 penulis mengikuti
kegiatan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) di Taman Hutan Raya
(TAHURA) Bukit Barisan Kabupaten Karo. Penulis melaksanakan Praktik Kerja
Lapangan (PKL) di PT. Toba Pulp Lestari Tbk yang terletak di Desa Sosor
Ladang, Kecamata Porsea, Kabupaten Toba Samosir pada bulan Februari-Maret
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan segala berkat dan karunia-Nya sehingga skripsi yang berjudul
“Analisis agroforestry dan finansial tanaman karet (Heveabraziliensis MUELL
Arg.) sebagai model hutan rakyat di Desa Lumban Dolok kecamatan Siabu
kabupaten Mandaling natal” berhasil diselesaikan dengan baik. Skripsi ini
merupakan suatu aplikasi ilmu yang didapat dari pembelajaran di ruang
perkuliahan dan syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Kehutanan (S.Hut).
Penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada
bapak Dr. Agus Purwoko, S.Hut, M.Si selaku ketua komisi dosen pembimbing
dan bapak Yunus Afifuddin, S.Hut, M.Si selaku anggota komisis dosen
pembimbing yang telah membantu, membimbing dan memberikan saran dalam
penyelesaian skripsi ini. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari
sempurna, oleh karena itu penulis menerima kritikan dan saran yang membangun
dari pembaca. Semoga skripsi ini bermanfaat dan memberi kontribusi yang baru
khususnya dalam bidang kehutanan dan bidang pendidikan dalam
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Penelitian : Analisis Finansial dan Pola Budidaya Tanaman Karet b(Hevea braziliensis MUELL Arg.) Sebagai Model Hutan
bRakyat di Desa Lumban Dolok, Kecamatan Siabu, bKabupaten Mandailing Natal.
Nama : Rahmat Aditya Lubis
NIM : 0091201127
Program Studi : Kehutanan/ Manajemen Hutan
Disetujui Oleh,
Komisi Pembimbing
Dr. Agus Purwoko, S.Hut, M.Si Yunus Afifuddin, S.Hut, M.Si Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Mengetahui,
DAFTAR ISI
Manfaat Penelitian ………... 3
TINJAUAN PUSTAKA Agroforestry ………... 4
Analisis Finansial………... 6
Model Hutan Rakyat ………. 9
Tanaman Karet……….. 11
Gambaran Umum Wilayah Penelitian... 14
METODE PENELITIAN Metode Penelitian..……….... 16
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Wilayah Penelitian... 20
Karakteristik Responden... 20
Pola Kombinasi dan Kontribusi Pendapatan Agroforestry Karet………... 24
Analisis Finansial Karet dalam Sistem Agroforestry... 33
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan……… 36
Saran……….. 36
DAFTAR TABEL
Hal
1. Tabel Rekapitulasi karakteristik responden menurut karakteristik umur.. 22
2. Tabel Rekapitulasi karakteristik responden menurut jenis pekerjaan …... 23
3. Tabel Rekapitulasi karakteristik responden menurut jumlah
anggota keluaarga………. 23
4. Tabel Rekapitulasi karakteristik responden menurut tingkat
Pendidikan……… 24
5. Rekapitulasi karakteristik responden berdasarkan luas lahan
dan status kepemilikan lahan………... 24
6. Nilai NPV, BCR, dan IRR karet dalam sistem agroforestry
di desa Lumban dolok……...………... 32
7. Rekapitulasi rata-rata pendapatan dari kebun karet dalam
DAFTAR GAMBAR
Hal
1. Gambar Kombinasi Antara Karet dan Padi ……….. 25
2. Gambar Kombinasi Antara Karet dan Coklat…..………. 26
3. Gambar Pola Kombinasi Pertama………... 27
ABSTRAK
RAHMAT ADITYA LUBIS. Analisis Agroforestry dan Finansial Tanaman Karet
(Hevea braziliensis MUELL Arg.) Sebagai Model Hutan Rakyat di Desa Lumban Dolok Kecamatan Siabu Kabupaten Mandaling Natal. Dibimbing oleh AGUS PURWOKO dan YUNUS AFIFUDDIN.
Penduduk Kabupaten Mandailing Natal, Kecamatan Siabu, di Desa Lumban Dolok telah mengusahakan kebun karet secara turun-temurun dari nenek moyang dan merupakan mata pencaharian pokok bagi sebagian besar penduduknya. Komoditi karet bagi Pemerintah Kabupaten Mandailing Natal sendiri merupakan komoditi yang mempunyai peranan penting dalam kontribusi subsektor perkebunan dalam upaya meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pola dan kontribusi pendapatan
agroforestry karet sebagai model hutan rakyat dan menganalisis secara finansial tanaman karet sebagai model hutan rakyat di Desa Lumban Dolok. Pengumpulan data dilakukan dengan mengumpulkan data primer dan data sekunder. Pengambilan sampel dilakukan secara purposive sampling. Pertimbangan lainnya dalam pengambilan sampel petani yaitu kebun karet tersebut telah berproduksi sebenyak 34 sampel dari 348 kepala keluarga. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi pola agroforestry dan analisis kelayakan finansial dengan beberapa untuk mengetahuinya, yaitu: Net Present Value (NPV), Net Benefit Cost Ratio (Net BCR), Internal Rate of Return (IRR).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola kombinasi karet rakyat dalam sistem agroforestry diterapkan dengan dua pola yakni karet dengan tanaman semusim (padi) dan karet dengan tanaman tahunan (coklat) dan nilai NPV yang
paling tinggi adalah pola kombinasi kedua (karet dengan tanaman coklat) yaitu Rp. 192.325.332,78/Ha , nilai BCR sebesar 3,07 dan nilai IRR 29,9 %.
ABSTRACK
RAHMAT ADITYA LUBIS. Financial Analysis of Agroforestry and Plant
Rubber (Hevea braziliensis MUELL Arg.) For Model Forest People in the Village
District Siabu subdistrict Lumban Dolok Mandaling Natal. Supervised by
AGUS PURWOKO and YUNUS AFIFUDDIN.
Mandailing Natal County residents, District Siabu, in the village of Lumban Dolok rubber plantations have worked for generations of ancestors and is the principal livelihood for the majority of the population. Commodity rubber for Mandailing Natal County Government itself is a commodity that has an important role in the plantation sub-sector contribution to improving local revenue ( PAD ). This study aims to analyze the pattern and rubber agroforestry revenue contribution as a model of community forests and rubber plantations financially analyzed as a model of community forestry in the village of Lumban Dolok. Data collection was conducted by collecting primary data and secondary data . Sampling was done by purposive sampling. Other considerations in sampling the rubber plantation farmers are already producing for 34 samples from 348 families. Analysis of the data used in this study is the observation of patterns of agroforestry and financial analysis with a few to find out, namely: Net Present Value (NPV), Net Benefit Cost Ratio (BCR Net), Internal Rate of Return (IRR).
The results showed that the combination pattern of smallholder rubber agroforestry systems implemented in two patterns namely rubber with seasonal crops (rice) and rubber with annual crops (kakao) and the highest NPV is the pattern of the second combination (rubber with kakao), Rp. 192,325,332.78 / Ha, BCR value of 3.07 and 29.9 % IRR.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Rencana penguatan sektor perkebunan di Indonesia, pemerintah telah
mencanangkan program revitalisasi perkebunan yakni suatu upaya percepatan
pengembangan perkebunan rakyat melalui perluasan, peremajaan dan rehabilitasi
tanaman perkebunan yang didukung kredit investasi perbankan dan subsidi bunga
oleh pemerintah dengan melibatkan perusahaan dibidang usaha perkebunan
sebagai mitra pengembangan dalam pembangunan kebun, pengolahan dan
pemasaran hasil dengan tiga komoditi yaitu kelapa sawit, karet dan kakao
(Ditjenbun, 2007).
Prospek karet alam akan baik selama ekonomi tumbuh dengan baik dan
produksi tidak mengalami gangguan cuaca, sehingga pemerintah perlu membuat
perencanaan yang matang dalam peremajaan dan pembukaan kebun karet baru.
Peluang untuk menjadi produsen utama di dunia dimungkinkan, karena Indonesia
mempunyai potensi sumberdaya yang sangat memadai untuk meningkatkan
produksi melalui program revitalisasi perkebunan. Pengembangan komoditas
karet di lahan kering dan kritis juga memberi kontribusi nyata dalam memelihara
bahkan memperbaiki lingkungan. Di samping itu, pengembangan komoditas karet
dalam bentuk agroforestry serta pemanfaatan kayu karet sebagai pengganti kayu
dari hutan primer merupakan kontribusi lain perkebunan karet dalam konservasi
Kebijakan otonomi daerah melalui Undang-undang nomor 32 tahun 2004
memberikan kewenangan yang besar pada daerah dalam mengelola pemerintahan
dan sumberdaya daerah termasuk kegiatan eksplorasi, eksploitasi dan konservasi
sumberdaya alam yang diiringi dengan tanggung jawab pembiayaan
pembangunan daerah yang porsinya semakin meningkat. Berkaitan dengan upaya
pembangunan daerah, maka pengembangan ekonomi yang berbasis pada
sumberdaya lokal sebagai pusat pertumbuhan perlu diperkuat. Berdasarkan data
statistik, sektor pertanian mempunyai kontribusi yang besar terhadap PDRB
Kabupaten Mandailing Natal pada tahun 2008 yakni sebesar 46,36% dimana
14,77% diantaranya merupakan pangsa subsektor perkebunan. Komoditi karet
merupakan komoditi perkebunan yang paling banyak diusahakan oleh
masyarakat.Luas lahan yang diusahakan oleh masyarakat pada tahun 2008 seluas
71.015 Ha dengan produksi 34.615 ton (BPS Mandailing Natal, 2009).
Penduduk Kabupaten Mandailing Natal, Kecamatan Siabu, di Desa
Lumban Dolok telah mengusahakan kebun karet secara turun-temurun dari nenek
moyang dan merupakan mata pencaharian pokok bagi sebagian besar penduduk
yakni sekitar 40%, sehingga ketergantungan masyarakat pada usaha berkebun
karet ini sangat tinggi dan telah menunjukkan hasil serta peran yang nyata bagi
masyarakat dalam meningkatkan pendapatannya. Komoditi karet bagi Pemerintah
Kabupaten Mandailing Natal sendiri merupakan komoditi yang mempunyai
peranan penting dalam kontribusi subsektor perkebunan dalam upaya
meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) karena karet merupakan komoditi
ekspor yang banyak diperdagangkan di luar negeri dengan harga yang terus
primadona di dunia. Memperhatikan potensi yang ada dan prospek masa depan,
komoditi karet merupakan komoditi unggulan yang berpotensi untuk
dikembangkan dalam menunjang pengembangan wilayah.
Rumusan Masalah
Ketergantungan masyarakat Desa Lumban Dolok akan usaha kebun karet
sangatlah tinggi dan telah menunjukkan hasil serta peran yang nyata bagi
masyarakat dalam meningkatkan pendapatannya. Yang jadi rumusan masalah
adalah :
1. Bagaimanakah pola dan kontribusi pendapatan sistem agroforestry yang
dikelola masyarakat di Desa Lumban Dolok ?
2. Bagaimana analisis finansial karet sebagai model hutan rakyat ?
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Menganalisis pola dan kontribusi pendapatan agroforestry karet sebagai
model hutan rakyat di Desa Lumban Dolok.
2. Menganalisis secara finansial tanaman karet sebagai model hutan rakyat.
Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagi masyarakat yang mempunyai usaha karet sebagai model hutan
rakyat, hasil penelitian ini dapat memberikan informasi tentang kelayakan
finansial dari usaha yang dijalankannya.
2. Bagi pihak lain, hasil penelitian ini dapat memberikan informasi dan
pengetahuan untuk mengembangkan usaha karet sebagai model hutan
TINJAUAN PUSTAKA
Pola Budidaya
Agroforestry merupakan suatu sistem pola budidaya atau pengelolaan
lahan untuk mengatasi masalah ketersediaan lahan dan peningkatan produktivitas
lahan. Masalah yang sering timbul adalah alih fungsi lahan menyebabkan lahan
hutan semakin berkurang. Agroforestry diterapkan untuk mengatasi masalah
tersebut dan masalah ketersediaan pangan. Pada dasarnya agroforestry terdiri dari
tiga komponen pokok yaitu kehutanan, pertanian dan peternakan. Penggabungan
tiga komponen yang termasuk dalam agroforestri adalah:
1. Agrisilvikultur. Kombinasi antara komponen atau kegiatan kehutanan
(pepohonan, perdu, palem, bambu, dll.) dengan komponen pertanian.
2. Silvopastura. Kombinasi antara komponen atau kegiatan kehutanan
dengan peternakan.
3. Agrosilvopastura. Kombinasi antara komponen atau kegiatan pertanian
dengan kehutanan dan peternakan.
Disamping ketiga kombinasi tersebut, terdapat sistem-sistem lainnya yang
dapat dikategorikan sebagai agroforestry. Beberapa contoh yang menggambarkan
sistem lebih spesifik yaitu:
1. Silvofishery. Kombinasi antara komponen atau kegiatan kehutanan dengan
2. Apiculture. Budidaya lebah atau serangga yang dilakukan dalam kegiatan
atau komponen kehutanan (Hairiah et al, 2003).
Tujuan akhir program agroforestry adalah meningkatkan kesejahteraan
rakyat petani, terutama yang di sekitar hutan, yaitu dengan memprioritaskan
partisipasi aktif masyarakat dalam memperbaiki keadaan lingkungan yang rusak
dan berlanjut dengan memeliharanya. Program-program agroforestry diarahkan
pada peningkatan dan pelestarian produktivitas sumberdaya, yang akhirnya akan
meningkatkan taraf hidup masyarakat (Anton, 1992).
Menurut De Foresta dan Michon (1997), agroforestry dapat
dikelompokkan menjadi dua sistem, yaitu sistem agroforestry sederhana dan
sistem agroforestry kompleks. Sistem agroforestry sederhana adalah suatu sistem
pertanian dimana pepohonan ditanam secara tumpang-sari dengan satu atau lebih
jenis tanaman semusim. Pepohonan bisa ditanam sebagai pagar mengelilingi petak
lahan tanaman pangan, secara acak dalam petak lahan, atau dengan pola lain
misalnya berbaris dalam larikan sehingga membentuk lorong/pagar. Sistem
agroforestry kompleks, adalah suatu sistem pertanian menetap yang melibatkan
banyak jenis tanaman pohon (berbasis pohon) baik sengaja ditanam maupun yang
tumbuh secara alami pada sebidang lahan dan dikelola petani mengikuti pola
tanam dan ekosistem menyerupai hutan. Di dalam sistem ini, selain terdapat
beraneka jenis pohon, juga tanaman perdu, tanaman memanjat (liana), tanaman
musiman dan rerumputan dalam jumlah banyak. Ciri utama dari sistem
agroforestry kompleks ini adalah kenampakan fisik dan dinamika di dalamnya
sekunder, oleh karena itu sistem ini dapat pula disebut sebagai Agroforestry
(De Foresta, 1997).
Pemilihan dan penanaman jenis pohon dalam agroforestry dikenal istilah
”Domestikasi Pohon”. Domestikasi pohon agroforestry adalah usaha percepatan
dan evolusi yang dipengaruhi oleh manusia yang membawa jenis-jenis tertentu
ditanam secara luas melalui kebutuhan petani atau proses arahan pasar.
Domestikasi pohon meliputi serangkaian kegiatan-kegiatan eksplorasi dan
pengumpulan populasi genetik alam atau antropogenik, evaluasi dan seleksi jenis
dan provenan yang sesuai, pengembangan teknik pengelolaan, pemanfaatan dan
pemasaran hasi pohon dan pembangunan dan penyebaran informasi teknis
(Suryanto et al, 2005).
Pola kombinasi tanaman kehutanan dan pertanian sistem agroforestry
harus memperhatikan ketersediaan hara dalam tanah terutama dari segi pemilihan
jenis dan pergiliran tanaman pertanian. Agar tanah tidak terkuras unsur hara maka
perlu dibuat pergiliran tanaman pertanian yang dikombinasikan dengan tanaman
kehutanan. Setelah beberapa kali penanaman dan panen tanaman pertanian perlu
digantikan dengan tanaman dalam jenis leguminose. Jenis ini dapat bersimbiosis
dengan bakteri penambat nitrogen untuk menyuburkan tanah kembali
(De Foresta, 1997).
Sistem penamaman agroforestry pada daerah berlereng dapat
menggunakan Sistem Sloping Agricultural Land Technology (SALT), suatu
bentuk Alley Cropping (tanaman lorong). Sistem SALT diselenggarakan dalam
suatu proyek di Mindanao Baptist Rural Life Center Davao Del Sur. Dalam
tanaman, terutama di daerah berlereng, sangat berperan dalam
Analisis Finansial
Menurut Widianto et al (2003) bahwa keberadaan pohon dalam
agroforestry mempunyai dua peranan utama. Pertama, pohon dapat
mempertahankan produksi tanaman pangan dan memberikan pengaruh positif
pada lingkungan fisik, terutama dengan memperlambat kehilangan hara dan
energi, dan menahan daya perusak air dan angin. Kedua, hasil dari pohon berperan
penting dalam ekonomi rumah tangga petani. Pohon dapat menghasilkan:
(1) produk yang digunakan langsung seperti pangan, bahan bakar, bahan
bangunan; (2) input untuk pertanian seperti pakan ternak, mulsa; serta (3) produk
atau kegiatan yang mampu menyediakan lapangan kerja atau penghasilan kepada
anggota rumah tangga.
Sistem produksi agroforestry memiliki suatu kekhasan dengan ciri sebagai
berikut, yaitu :
1. Menghasilkan lebih dari suatu produk
2. Pada lahan yang sama ditanam paling sedikit satu jenis tanaman
semusim dan satu jenis tanaman tahunan/pohon
3. Produk-produk yang dihasilkan dapat bersifat terukur (tangible) dan
tak terukur (itangible)
4. Terdapat kesenjangan waktu (time lag) antara waktu penanaman dan
pemanenan tanaman tahunan/pohon yang cukup lama
Menurut Lahjie (2004), bahwa analisis finansial pada dasarnya dilakukan
untuk mengetahui seberapa besar manfaat yang diperoleh, biaya yang dikeluarkan,
berapa keuntungannya, kapan pengembalian investasi terjadi dan pada tingkat
suku bunga berapa investasi itu memberikan manfaat. Melalui cara berpikir
seperti itu maka harus ada ukuran-ukuran terhadap kinerjanya. Ukuran-ukuran
yang digunakan umumnya adalah :
a. Net Present Value (NPV)
Perhitungan NPV dalam suatu penilaian investasi merupakan cara yang
praktis untuk mengetahui apakah proyek menguntungkan atau tidak. Net Present
Value adalah selisih antara Present Value dari arus Benefit dikurangi Present
Value dari arus Cost (Soekartawi, 1996).
Proyek yang memberikan keuntungan adalah proyek yang memberikan
nilai positif atau NVP lebih besar dari nol, artinya manfaat yang diterima proyek
lebih besar dari semua biaya total yang dikeluarkan. Jika NPV sama dengan nol,
berarti manfaat yang diperoleh hanya cukup untuk menutupi biaya total yang
dikeluarkan (keadaan BEP atau TC=TB). Apabila NPV lebih kecil dari nol,
berarti rugi, biaya total yang dikeluarkan lebih besar dari manfaat yang diperoleh.
b. Benefit Cost Ratio (BCR)
Benefit Cost Ratio adalah penilaian yang dilakukan untuk melihat tingkat
efisiensi penggunaan biaya berupa perbandingan jumlah nilai bersih sekarang
yang positif dengan jumlah nilai bersih sekarang yang negatif. Suatu proyek layak
dan efisien untuk dilaksanakan jika nilai Net B/C > 1, yang berarti manfaat yang
diperoleh lebih besar dari biaya yang dikeluarkan dan berlaku sebaliknya
c. Internal Rate of Returns (IRR)
Internal Rate of Returns dinyatakan dengan persen (%) yang merupakan
tolok ukur dari keberhasilan proyek (Soekartawi, 1996). Penggunaan investasi
akan layak jika diperoleh IRR yang persentasenya lebih besar dari tingkat suku
bunga bank yang ditentukan, karena proyek berada dalam keadaan yang
menguntungkan. Demikian juga sebaliknya, jika IRR lebih kecil dari tingkat suku
bunga bank yang ditentukan, berarti proyek merugi dan tidak layak untuk
dilaksanakan.
Model Hutan Rakyat
Purwanto (2004) menyatakan bahwa Lembaga Penelitian IPB (1983)
membagi hutan rakyat kedalam tiga bentuk, yaitu :
1. Hutan rakyat murni (monoculture), yaitu hutan rakyat yang hanya terdiri
dari satu jenis tanaman pokok berkayu yang ditanam secara homogen atau
monokultur.
2. Hutan rakyat campuran (polyculture), yaitu hutan rakyat yang terdiri dari
berbagai jenis pohon-pohonan yang ditanan secara campuran.
3. Hutan rakyat wana tani (agroforestry), yaitu yang mempunyai bentuk
usaha kombinasi antara kehutanan dengan cabang usaha tani lainnya
seperti tanaman pangan, perkebunan, peternakan, perikanan, dan lain-lain
yang dikembangkan secara terpadu.
Pola-pola model hutan rakyat yang dikelola berdasarkan karakteristik dan
potensi daerah masing-masing. Karakteristik hutan rakyat menurut Winarno
(2008) yaitu:
2. Pada umumnya petani berlahan sempit menanam kayu-kayuan dengan
tanaman lainnya dengan pola tumpang sari, campuran agroforestri,
sedangkan petani berlahan luas yang komersil memungkinkan
pengembangan hutan rakyat dengan sistem monokultur.
3. Tenaga kerja yang digunakan berasal dari dalam keluarga.
4. Skala usaha kecil.
5. Kontinuitas dan mutu kayu kurang terjamin.
6. Beragamnya jenis tanaman dengan daur yang tidak menentu.
7. Kayu dalam hutan rakyat tidak diposisikan sebagai andalan pendapatan
rumah tangga petani, tetapi dilihat sebagai “tabungan” yang segera dapat
dijual pada saat dibutuhkan.
8. Teknik silvikultur sederhana dan memungkinkan pengembangan dengan
biaya rendah, meskipun hasilnya kurang optimal. Namun, kontinuitas hasil
dalam horizon waktu dan penyebaran resiko menjadi pilihan petani.
9. Keputusan pemanfaatan lahan untuk hutan rakyat seringkali merupakan
pilihan terakhir apabila pilihan lainnya tidak memungkinkan.
10.Kayu tidak memberikan hasil cepat, bukan merupakan komoditi konsumsi
sehari-hari, membutuhkan waktu lama sehinga pendapatandari kayu rakyat
merupakan pendapatan sampingan dalam pendapatan rumah tangga petani.
11.Usaha hutan rakyat merupakan usaha yang tidak pernah besar tetapi tidak
pernah mati.
12.Instansi dan organisasi yang terlibat dalam pengelolaan hutan rakyat cukup
banyak tetapi tidak ada satupun yang bertanggung jawab penuh atas
13.Perundangan, kebijakan, tata nilai, tata prilaku dan sebagainya belum
optimal mendukung pengembangan hutan rakyat.
Hardjanto (2000) mengemukakan ciri-ciri pengusahaan hutan rakyat sebagai
berikut:
1. Usaha hutan rakyat dilakukan oleh petani, tengkulak, dan industri di mana
petani masih memiliki posisi tawar yang rendah
2. .Petani belum dapat melakukan usaha hutan rakyat menurut prinsip usaha
dan prinsip kelestarian yang baik.
3. Bentuk hutan rakyat sebagian besar berupa budidaya campuran yang
diusahakan dengan cara-cara sederhana.
4. Pendapatan dari hutan rakyat bagi petani masih di posisikan sebagai
pendapatan sampingan dan bersifat insidentil dengan kisaran tidak lebih
dari 10% dari pendapatan total.
Hasil dari hutan rakyat biasanya dijual ke tengkulak ataupun dikonsumsi
sendiri. Bagi beberapa orang, hutan rakyat dapat dijadikan sebagai sumber
pendapatan utama rumah tangga bagi petani karena seiring dengan majunya
sistem pengelolaan hutan rakyat, kontribusi yang diberikan oleh hutan rakyat lebih
dari 10% dari pendapatan total.
Tanaman Karet (Hevea braziliensis Muell. Arg)
Sistematika botani tanaman karet adalah sebagai berikut :
Divisi : Spermathophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledoneae
Famili : Euphorbiaceae
Genus : Hevea
Spesies : Hevea braziliensis Muell. Arg
Tanaman karet merupakan tanaman tahunan daerah tropika dan mempunyai daya
adaptasi yang baik dari segi tanah maupun iklim. Tanaman ini dapat tumbuh pada
berbagai jenis tanah didaerah tropika dan mempunyai adaptasi yang tinggi pada
lingkungan yang bervariasi (Lasminingsih dan Effendi, 1985).
Daerah pertanaman utama tanaman karet di Indonesia adalah Sumatera,
Jawa dan Kalimantan yang terletak pada zona 6 0 LU dan 90
Ketinggian tempat yang cocok bagi tanaman karet adalah 0 – 600 meter
diatas permukaan laut, dan yang paling baik berkisar antara 0 – 200 mdpl
(Syarif, 1986). Mulai ketinggian 200 mdpl, matang sadap akan tertunda selama
6 bulan setiap kenaikan 100 mdpl, karena ketinggian tempat berpengaruh terhadap
temperatur (Departemen Pertanian, 1997).
LS. Tanaman karet
dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah, baik pada tanah-tanah vulkanis muda
atau vulkanis tua, aluvial dan bahkan tanah gambut (Setyamidjaja, 1993).
Tanaman karet tumbuh baik bila syarat-syarat hidupnya mendukung
terhadap pertumbuhan, baik faktor luar maupun faktor dalam. Dalam literatur
Syarief (1983) menyatakan bahwa curah hujan yang cukup tinggi antara
2.000 - 2.500 mm setahun disukai tanaman karet. Tanaman karet sangat toleran
terhadap kemasaman tanah, tanaman ini akan tumbuh baik pada kisaran
pH 4,0 – 7,0. Suhu harian yang diinginkan tanaman karet rata-rata 25 – 30o C.
Apabila dalam jangka waktu panjang suhu harian rata-rata kurang dari 20o C,
Tanaman karet adalah tanaman yang paling toleran terhadap tanah pada
tingkat kesuburan tanah sangat rendah. Tanah-tanah yang kurang subur seperti
Podsolik Merah Kuning dengan bantuan pemupukan dan pengelolaan yang baik
bisa dikembangkan menjadi perkebunan karet. Selain jenis tanah Podsolik Merah
Kuning, Latosol dan Aluvial juga bisa dikembangkan untuk penanaman karet
(Tim Penulis Penebar Swadaya, 1992). Menurut Setyamidjaja (1993), tanah-tanah
aluvial umumnya cukup subur, tetapi sifat fisiknya terutama drainasenya kurang
baik. Pembuatan saluran-saluran drainase akan menolong memperbaiki keadaan
tanah ini.
Tanaman karet mempunyai sistem perakaran yang luas dengan kedalaman
akar dapat mencapai 0 – 0,3 meter. Tanah yang ideal untuk tanaman karet adalah
dengan kedalaman lebih dari 1 meter, aerasi dan srtuktur yang baik dan tekstur
tanah harus terdiri 50 persen liat (Sys et al., 1993).
Tanaman karet dapat tumbuh dengan baik dan menghasilkan produksi
yang optimal, maka harus dipertimbangkan syarat-syarat lingkungan yang
diinginkan tanaman ini. Hal ini disebabkan karena lingkungan yang cocok akan
menunjang pertumbuhan disamping perawatan. Apabila tanaman karet ditanam
pada lahan yang tidak sesuai dengan habitat yang diinginkannya, maka
pertumbuhan tanaman akan terhambat. Ketika sudah tidak layak sadap (biasanya
saat itu pohon karet telah berumur 20-25 tahun), yang berarti jumlah getahnya
semakin lama semakin sedikit atau pohonnya semakin lama semakin tinggi
sehingga sulit dijangkau, maka setelah ditebang ia masih dapat dimanfaatkan
Pemerintah Republik Indonesia telah menerbitkan Peraturan Menteri
Pertanian Nomor:33/Permentan/PT.140/7/2006 tentang Kebijakan Pengembangan
Komoditi Perkebunan melalui Program Revitalisasi Perkebunan dengan salah satu
komoditi yang dikembangkan adalah karet. Pengembangan agribisnis karet
Indonesia ke depan perlu didasarkan pada perencanaan yang lebih terarah dengan
sasaran yang lebih jelas serta mempertimbangkan berbagai permasalahan, peluang
dan tantangan yang sudah ada serta yang diperkirakan akan ada sehingga pada
gilirannya akan dapat diwujudkan agribisnis karet yang berdaya saing dan
berkelanjutan serta memberi manfaat optimal bagi para pelaku usahanya secara
berkeadilan (Drajat dan Hendratno, 2009).
Gambaran Umum Wilayah Penelitian
Secara geografis Kabupaten Mandailing Natal merupakan kabupaten
pemekaran dari Kabupaten Tapanuli Selatan. Kabupaten Mandailing Natal
terletak pada 0°10′ – 1°50′ Lintang Utaradan 98°10′ – 100°10′ Bujur Timur
ketinggian 0 – 2.145 m di atas permukaan laut. Luas wilayah Kabupaten
Mandailing Natal ± 6.620,70 km2 atau 9,23 % dari wilayah Sumatera Utara
dengan batas-batas wilayah sebagai berikut :
1. Sebelah Utara :
2. Sebelah Selatan : Provinsi
3. Sebelah Barat :
4. Sebelah Timur : Provinsi
(BPS Mandailing Natal, 2009).
Kabupaten Mandailing Natal memiliki kondisi iklim hujan tropis dengan
Tinggi rendahnya suhu di suatu tempat dipengaruhi oleh ketinggian daerah di atas
permukaan laut. Kondisi iklim ditandai dengan adanya musim penghujan,
kemarau dan pancaroba. Curah hujan bulanan maksimum pada tahun 2009 terjadi
di Bulan November yaitu 2.417 mm dan curah hujan harian minimum terjadi pada
Bulan Juli yaitu 437 mm. Jumlah curah hujan rata-rata di Kabupaten Mandailing
Natal ± 1.337 mm/tahun (BPS Mandailing Natal, 2009).
Daerah Mandailing Natal terbagi dalam 3 bagian topografi yakni :
1. Dataran Rendah, merupakan daerah pesisir dengan kemiringan 0 º - 2 º
dengan luas sekitar 160.500 hektar atau 18,68 %.
2. Dataran Landai, dengan kemiringan 2º - 15 º, dengan luas 36.385 hektar
atau 4,24 %.
3. Dataran Tinggi, dengan kemiringan 7º - 40º, dengan luas 662.139 hektar
atau 77,08% dibedakan atas 2 jenis yakni : Daerah perbukitan dengan luas
308.954 hektar atau 46,66% dan Daerah pegunungan dengan luas 353.185
hektar atau 53,34% (BPS Mandailing Natal, 2009).
Desa Lumban Dolok memiliki luas 672.000 Ha dengan yang ditempati
oleh 348 kepala keluarga. Penduduk Desa Lumban Dolok sebagian besar petani
karet yang telah mengusahakan kebun karet secara turun-temurun dari nenek
moyang dan merupakan mata pencaharian pokok bagi sebagian besar penduduk
yakni sekitar 40%, sehingga ketergantungan masyarakat pada usaha berkebun
karet ini sangat tinggi dan telah menunjukkan hasil serta peran yang nyata bagi
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Desa Lumban Dolok Kecamatan Siabu,
Kabupaten Mandailing Natal. Penelitian ini dilaksanakan mulai April 2013
sampai dengan selesai.
Alat Penelitian
Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini yaitu alat tulis, kalkulator,
kamera digital, kuisioner, data sekunder (badan pusat statistik, dinas kehutanan,
dinas perkebunan, dan instansi terkait) Kabupaten Mandailing Natal.
Prosedur Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan mengumpulkan data primer dan data
sekunder. Data primer diperoleh melalui kuesioner dan wawancara dengan
responden yang telah ditentukan dengan menggunakan daftar pertanyaan yang
telah disiapkan sebelumnya.
Pengambilan sampel dilakukan secara purposive sampling. Pertimbangan
lainnya dalam pengambilan sampel petani yaitu kebun karet tersebut telah
berproduksi. Jumlah sampel akan diambil secara proposional dengan mengacu
pada ketentuan dari Arikunto (1992:104), yang menyatakan jika jumlah subjeknya
Mengingat jumlah populasi lebih dari 100 orang, maka peneliti mengambil
sampel sebanyak 10% dari jumlah keseluruhan kepala keluarga yang ada di Desa
Lumban Dolok, sehingga jumlah sampel sebanyak 34 sampel yang diambil
sebagai wakil dari 10 % dari 348 KK.
Data sekunder diperoleh dari Badan Pusat Statistik, Dinas Kehutanan dan
Perkebunan, Kantor Bappeda Kabupaten Mandailing Natal dan Dinas Perkebunan
Provinsi Sumatera Utara dan dinas/instansi terkait lainnya.
Prosedur Analisis Data
Analisis data yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut :
1. Observasi Pola Agroforestry
Mengevaluasi model hutan rakyat perlu diperhatikan adalah :
a) Jenis tanaman
b) Pola tanam
c) Pengelolaan
2. Analisis Kelayakan Finansial
Pengusahaan kebun karet rakyat yang ada di Kabupaten Mandailing Natal
perlu dilakukan analisis finansial untuk mengetahui melihat tingkat kelayakan
finansial pengusahaan kebun karet tersebut. Data didapatkan dengan melakukan
wawancara dan penyebaran kuisoner dengan petani di Desa Lumban Dolok yang
menjadi lokasi penelitian ditentukan secara sengaja dengan kriteria : desa yang
penduduknya dominan mengusahakan tanaman karet, dan tanaman karet yang
diusahakan telah berproduksi. Desa tersebut digunakan sebagai lokasi
pengambilan data untuk analisis ini. Pemilihan petani dilakukan secara purposive
Tingkat kelayakan finansial dapat digunakan beberapa kriteria
(alat analisis) untuk mengetahuinya, yaitu:
a) Net Present Value (NPV),
b) Net Benefit Cost Ratio (Net BCR),
c) Internal Rate of Return (IRR).
Net Present Value (NPV)
Perhitungan NPV dalam suatu penilaian investasi merupakan cara yang
praktis untuk mengetahui apakah proyek menguntungkan atau tidak. Net Present
Value adalah selisih antara Present Value dari arus Benefit dikurangi Present
Value dari arus Cost (Soekartawi, 1996).
Proyek yang memberikan keuntungan adalah proyek yang memberikan
nilai positif atau NPV lebih besar dari nol , artinya manfaat yang diterima proyek
lebih besar dari semua biaya total yang dikeluarkan. Jika NPV sama dengan nol,
berarti manfaat yang diperoleh hanya cukup untuk menutupi biaya total yang
dikeluarkan (keadaan BEP atau TC= TB). Apabila NPV lebih kecil dari nol,
berarti rugi, biaya total yang dikeluarkan lebih besar dari manfaat yang diperoleh.
Secara matematis NPV dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :
Io
r = tingkat keuntungan disyaratkan
CF = Cash flow
n = Periode investasi
Net Benefit Cost Ratio (Net BCR)
Net Benefit Cost Ratio adalah penilaian yang dilakukan untuk melihat
tingkat efisiensi penggunaan biaya berupa perbandingan jumlah nilai bersih
sekarang yang positif dengan jumlah nilai bersih sekarang yang negatif
(Soekartawi, 1996). Suatu proyek layak dan efisien untuk dilaksanakan jika nilai
Net B/C lebih besar dari satu, yang berarti manfaat yang diperoleh lebih besar dari
biaya yang dikeluarkan dan berlaku sebaliknya. Secara matematis Net BCR dapat
dihitung dengan rumus :
t = jangka waktu proyek/usahatani
n = umur proyek/usahatani
Net B/C > 1 (satu) berarti proyek (usaha) layak dikerjakan
Net B/C < 1 (satu) berarti proyek tidak layak dikerjakan
Net B/C = 1 (satu) berarti cash in flows = cash out flows (BEP) atau TR=TC
Internal Rate of Return (IRR)
Analisis Internal Rate of Return digunakan untuk mengetahui sejauh mana
persen (%) yang merupakan tolok ukur dari keberhasilan proyek (Soekartawi,
1996). Penggunaan investasi akan layak jika diperoleh IRR yang persentasenya
lebih besar dari tingkat suku bunga bank yang ditentukan, karena proyek berada
dalam keadaan yang menguntungkan. Demikian juga sebaliknya, jika IRR lebih
kecil dari tingkat suku bunga bank yang ditentukan, berarti proyek merugi dan
tidak layak untuk dilaksanakan.
i1 = tingkat discount rate yang menghasilkan NPV1
i2 = tingkat discount rate yang menghasilkan NPV2
Kelayakan usaha ditentukan dengan mempertimbangkan ketiga alat
analisis tersebut dimana usaha tersebut layak apabila:
1. Net Present Value lebih besar dari angka nol, artinya manfaat yang
diterima proyek lebih besar dari semua biaya total yang dikeluarkan.
2. Net B/C lebih besar dari angka satu, yang berarti manfaat yang diperoleh
lebih besar dari biaya yang dikeluarkan.
3. Internal Rate of Return yang persentasenya lebih besar dari tingkat suku
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Daerah Penelitian
Desa Lumban Dolok merupakan sebuah desa yang terletak di Kecamatan
Siabu, Kabupaten Mandailing Natal. Desa ini memiliki luas wilayah sebesar
672.000 Ha dan Ditempati sebanyak 348 kepala keluarga. Desa Lumban Dolok
memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut:
1. Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Huraba
2. Sebelah Timur berbatasan dengan Kota Sibuhuan Kab. Padang Lawas
3. Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Tangga Bosi
4. Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Aek Mual.
Karakteristik Responden
Karakteristik responden merupakan salah satu unsur yang secara tidak
langsung dapat mempengaruhi tingkat kelayakan finansial dalam sistem
agroforestry. Karakteristik responden yang dianalisis berdasarkan kriteria Badan
Pusat Stastistik. Karakteristik responden dalam penelitian ini antara lain : umur,
pekerjaan, jumlah anggota keluarga, dan pendidikan. Hasil rekapitulasi kuesioner
responden menurut karakteristik umur dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Rekapitulasi karakteristik responden menurut karakteristik umur
1. 20 – 30 3 8,82
2. 31 – 40 19 55,88
3. 41 – 50 7 20,59
4. > 50 5 14,71
Jumlah 34 100
Umur merupakan salah satu faktor penting dalam menunjang suatu
kegiatan produksi. Semakin tua umur, maka akan mempengaruhi dalam proses
berjalannya kegiatan seperti semakin lambat dalam bekerja. Namun disisi lain,
semakin tua umur maka pengalaman yang dihasilkan juga semakin banyak.
Berdasarkan hasil wawancara di lapangan, responden dalam penelitian ini
berjumlah 34 orang. Terdapat pada usia produktif yaitu 20 – 50 tahun yaitu
berjumlah 29 orang dengan jumlah proporsi adalah sebesar 85,29 %. Sementara
itu, ada responden yang berusia diatas 50 tahun sebanyak 5 orang dengan proporsi
sebesar 14,71 %. Menurut Mantra (2004), bahwa tenaga kerja yang merupakan
penduduk yang dalam usia produktif yaitu 15 – 64 tahun. Berdasarkan data usia
responden umumnya berada pada usia produktif, sehingga mempunyai
kemampuan yang lebih baik dalam berpikir dan bertindak untuk merencanakan
suatu kegiatan. Umur menunjukkan kemampuan fisik, pada umur tertentu
seseorang pejerja mencapai titik optimal, kemudian dengan penurunan umur maka
kemampuan fisik seseorang akan menurun.
Pekerjaaan utama responden pada umumnya adalah bertani
(38,24%). Selain itu, responden juga sebagai PNS (20,59%), Berkebun (20,59%),
Wiraswasta (17,65%), Pensiunan PNS (2,94%). Rekapitulasi karakteristik
responden menurut jenis pekerjaan dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Rekapitulasi karakteristik responden menurut jenis pekerjaan
1. Petani 13 38,24
Sebagian besar responden memiliki jumlah anggota keluarga rata - rata 1-3
orang. Rekapitulasi karakteristik responden berdasarkan anggota keluarga dapat
dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Rekapitulasi karakteristik responden menurut jumlah anggota keluarga No. Jumlah Anggota Keluarga ( Orang ) Frekuensi
(orang) Proporsi (%)
1. 1 – 3 25 73,53
2. 4 – 6 9 26,47
3. 6 > - -
Jumlah 34 100
Tingkat pendidikan dari masing-masing responden juga berbeda. Tingkat
pendidikan responden didominasi pada tingkat SMA dengan jumlah proporsi
adalah sebesar 41,18 %, diikuti dengan tingkat SMP sebesar 2,53 %, tingkat SD
sebesar 17,65 % dan tingkat Sarjana sebesar 17,65 %. Tingkat pendidikan juga
berpengaruh pada faktor produksi. Semakin tinggi tingkat pendidikan, maka
semakin baik dalam memecahkan masalah ataupun pengambilan keputusan yang
berkaitan dengan usaha yang dikelola. Dalam penelitian ini, Responden berada
pada tingkat pendidikan yang cukup baik dan masih dalam usia yang produktif.
Menurut Djamali (2000), tingkat pendidikan sejalan dengan tingkat produktivitas
dan efisiensi kerja. Rekapitulasi karakteristik responden berdasarkan Tingkat
Pendidikan dapat dilihat pada Tabel 4.
No. Tingkat Pendidikan Frekuensi (orang) Proporsi (%)
1. SD 6 17,65
2. SMP 8 23,53
3. SMA 14 41,18
4. Sarjana 6 17,65
Jumlah 34 100
Luas lahan yang diusahakan oleh responden untuk menanam karet dalam
sistem agroforestry merupakan lahan milik sendiri yang didapatkan dari warisan
keluarga maupun jual beli tanah. Rekapitulasi karakteristik responden berdasarkan
Luas lahan dan statuts kepemilikan lahan dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Rekapitulasi karakteristik responden berdasarkan luas lahan dan status kepemilikan lahan
No. Luas lahan Frekuensi (orang) Proporsi (%) Status Lahan
1. 1 – 2 Ha 10 29,41 Milik sendiri
2. 3 Ha 19 53,88 Milik sendiri
3. 3 Ha > 5 14,71 Milik sendiri
Jumlah 34 100 -
Pola Agroforestry yang diterapkan responden di Desa Lumban Dolok
Kecamatan Siabu adalah Agrisilvikultur. Menurut Sarjodno et al. (2003),
Agrisilvikultur yaitu sistem agroforestry yang mengkombinasikan komponen
kehutanan (tanaman berkayu atau woody plants) dengan komponen pertanian
(tanaman non kayu). Tanaman berkayu dimaksudkan yang berdaur panjang
(tree crops) dan tananaman non kayu dari jenis tanaman semusim (annual crops).
Jenis tanaman yang ada di lahan agroforestry dapat dibedakan menjadi dua
bagian, yaitu tanaman musiman (annual crops) dan tanaman tahunan
(parenial crops).
a. Pola Kombinasi Tanaman Karet
Pola kombinasi karet dalam agroforestry di Desa Lumban Dolok
Kecamatan Siabu hanya terdapat 2 pola yakni :
1. Pola pertama, kombinasi antara karet dan tanaman tahunan
2. Pola kedua, kombinasi antara karet dan tanaman musiman.
Gambar 1. Kombinasi antara karet dan tanaman padi
Gambar 2. Kombinasi antara karet dan coklat
Pola Kombinasi pertama yakni tanaman karet dengan tanaman padi
maka perlu dibuat pergiliran tanaman musiman yang dikombinasikan dengan
tanaman kehutanan. menurut Suryanto et al (2005) tanaman kehutanan dan
pertanian sistem agroforestri harus memperhatikan ketersediaan hara dalam tanah
terutama dari segi pemilihan jenis tanaman pertanian dan pola tanamnya.
Pola pertama responden menanam karet dengan tanaman musiman. Dalam
letak tata ruang disebut juga kombinasi tidak merata (Sardjono et al. 2003) yaitu
karet ditanam secara jalur di pinggir atau mengelilingi lahan pertanian, hal ini
karena waktu persiapan lahan untuk menanam karet dan tanaman musiman
berbeda, selain itu interaksi antara karet dan tanaman musiman dalam
memperoleh cahaya, air, hara, dan tata ruang hidup tidak mengakibatkan
kurangnya panen salah satu komoditi. Kombinasi menurut dimensi waktu,
kombinasi ini merupakan kombinasi intermittent. Nair (1993) dalam
Sardjono et al. (2003) mengatakan bahwa kombinasi intermittent merupakan
kombinasi berkala selama jangka waktu budidaya jenis /komponen agroforestry.
Responden melakukan penanaman tanaman semusim yang berbeda sesuai
kebutuhan ekonomi petani. Dalam pola ini responden dapat menanam karet
40 – 50 % dari luas lahan yang tersedia.
Pola kombinasi pertama ini diharapkan bermanfaat selain untuk mencegah
perluasan tanah terdegradasi, melestarikan sumberdaya hutan, meningkatkan mutu
pertanian serta menyempurnakan intensifikasi dan diversifikasi silvikultur. Selain
itu, pola kombinasi pertama ini dapat mengoptimalkan interaksi positif antara
kedua tanaman tersebut yang meliputi :
1. Produktivitas (Productivity): Dari hasil penelitian dibuktikan bahwa
dibandingkan pada monokultur (penanaman satu jenis). Adanya tanaman
campuran memberikan keuntungan, karena kegagalan satu komponen/jenis
tanaman akan dapat ditutup oleh keberhasilan komponen/jenis tanaman
lainnya.
2. Diversitas (Diversity): Adanya pengkombinasian dua komponen atau lebih
daripada sistem agroforestri menghasilkan diversitas (keragaman) yang
tinggi, baik menyangkut produk maupun jasa. Dengan demikian dari segi
ekonomi dapat mengurangi risiko kerugian akibat fluktuasi harga pasar.
Sedangkan dari segi ekologi dapat menghindarkan kegagalan fatal
pemanen sebagaimana dapat terjadi pada penanaman satu jenis
Gambar 3. Pola Kombinasi Pertama
Keterangan gambar :
= Tanaman Karet = Tanaman musiman (padi)
Pola kedua responden menanam tanaman karet dengan tanaman tahunan.
Menurut Sardjono et al. (2003) bahwa pengkombinasian berbagai komponen
dalam sistem agroforestry dapat menghasilkan berbagai reaksi, yaitu persaingan,
melengkapi, dan ketergantungan. Reaksi saling melengkapi yang diperoleh dari
pola kedua ini adalah reaksi secara kuantitatif yakni memperoleh berbagai produk
dari satu lahan secara bergantian dalam jangka waktu tahunan.
Gambar 4. Pola kombinasi kedua
Keterangan gambar : = tanaman Karet
= Tanaman Tahunan (coklat)
Secara tata waktu kombinasi ini dapat dikatakan kombinasi coincident.
Nair (1993) dalam Sardjono et al. (2003) mengatakan coincident merupakan
Kombinasi ini merupakan komponen merata dimana karet ditanam secara teratur
dengan tanaman tahunan karena penanaman yang disengaja. Penyebaran karet
dalam pola ini adalah penyebaran secara vertikal dimana karet dan tanaman
tahunan tersebar pada sebidang lahan dengan sistematis, kombinasi seperti ini
dapat membentuk agroforestry yang modern dan berskala komersil. Pola kedua
ini, karet memperoleh komposisi dalam lahan 50 – 60 % dari jumlah lahan yang
tersedia.
Sistem agroforestry terdapat interaksi ekologis dan ekonomis antara
komponen-komponen yang berbeda. Agroforestry ditujukan untuk
memaksimalkan penggunaan energi matahari, meminimalkan hilangnya
meminimalkan run off serta
manfaat yang dapat diberikan oleh tumbuhan berkayu tahunan (perennial) setara
dengan tanaman pertanian konvensional dan juga memaksimalkan keuntungan
keseluruhan yang dihasilkan dari lahan sekaligus mengkonservasi dan
menjaganya.Menurut Young dalam Suprayogo et al (2003) ada empat keuntungan
terhadap
1. Memperbaiki kesuburan tanah
2. Menekan terjadinya erosi
3. Mencegah perkembangan hama dan penyakit
4. Menekan populasi gulma.
Pemilihan tanaman karet oleh pemilik hutan rakyat dalam sistem
agroforestry adalah tanaman karet memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi dan
kehidupan sehari-hari oleh hasil getah karet yang akan diproduksi setelah tanaman
karet berumur 5 tahun. Selain produksi getah karet, setelah tanaman karet tidak
produktif lagi diharapkan hasil dari kayu karet yang tetap dapat dijual oleh
pemilik.
Pengelolaan hutan rakyat karet dengan sistem agroforestry dengan
tanaman kombinasi kegiatan budidayanya terdiri dari persiapan lahan, persiapan
bibit, penanaman, pemeliharaan, pengendalian hama dan penyakit dan
pemanenan. Persiapan lahan untuk budidaya karet dibagi dua yaitu penanaman
(newplanting) baru dan (replanting) peremajaan (Damanik dkk, 2010). Kegiatan
persiapan lahan dimulai dengan penebangan tanaman karet yang sudah tidak lagi
produktif. Persiapan lahan hutan rakyat karet dengan dengan sistem agroforestry
dilakukan dengan replanting yaitu penanaman ulang di areal hutan rakyat dengan
tanaman karet karena tanaman lama sudah tidak produktif lagi.
Persiapan bibit karet yang berasal dari biji, disemaikan terlebih dahulu,
yakni dengan merendam selama 3-4 hari. Tempat persemaian dapat langsung
berada di dalam hutan di bawah naungan pohon ataupun diladang-ladang yang
baru dibuka. Tanah pada tempat persemaian digemburkan terlebih dahulu dan
diberi pelindung dari daun-daun kering. Biji-biji tersebut akan terlihat mulali
berkecambah pada 10-14 hari. Penyiraman harus dilakukan tiap hari agar bibit
tidak kekeringan. Setelah kir-kira 3-4 bulan bibit karet tersebut baru siap ditanam
di lapangan. Selain dari biji, para petani tradisional di Desa Lumban Dolok juga
membuat bibit-bibit karet dari cabutan alam/liar. Cabutan liar karet tersebut
berasal dari anakan karet umur kurang dari satu tahun dan dipilih yang
atau lumpur selama 2-3 hari sampai terlihat pucuk mata tunas yang akan tumbuh.
Selama perendaman tersebut, cabutan harus selalu terlindung dari panas matahari.
Sebagian petani langsung dapat langsung menanam cabutan liar tersebut di
lapangan tanpa merendamnya terlebih dahulu jika cuaca memungkinkan, yaitu
pada saat mendung atau pada sore hari.
Kegiatan penanaman tanaman karet dalam hutan rakyat dengan sistem
agroforestry dimulai dengan penentuan jarak tanam yaitu 3,5 m x 2,5 m. Menurut
Damanik dkk 2010, untuk tanaman karet jarak tanam optimal tersebut adalah
3 x 7 m jika ditanam secara monokultur. Namun sebagian ada juga yang telah
memperlihatkan jarak tanam pada penanaman kebun karet mereka. Jarak tanam
ini bervariasi tergantung kebiasaan dan kesenangan mereka. Menurut Dijkman
(1951) dalam Setyamidjaja (1991) menyatakan bahwa beberapa akibat dari jarak
tanam yang sempit, diantaranya adalah kerusakan tajuk oleh angin akan lebih
besar, kematian pohon karena serangan penyakit akan lebih tinggi, dan
tercapainya lilit batang matang sadap akan lebih lambat.
Penanaman padi dengan karet pada pola kombinasi pertama, umumnya
dilakukan pada masa awal tanam karet. Jarak tanam dalam budidaya tanaman apa
pun harus mendapatkan perhatian memadai agar produktivitasnya optimal.
Penanaman tanaman padi dilakukan terlebih dahulu, serempak di sela-sela
tanaman karet yang umumnya ditanam dengan jarak tanam 3x3 m, 4x4 m ataupun
5x3 m. Saat umur 4-6 bulan padi dapat dipanen. Begitu seterusnya sampai karet
umur karet sampai bisa disadap sehingga umumnya petani dapat menanam padi
pola kombinasi kedua dilakukan setelah umur karet dua tahun, yang mana tajuk
karet akan cenderung melebar dan menaungi tanaman di bawahnya.
Penanaman karet di lapangan dilakukan pada musim penghujan, sekitar
bulan Oktober sampai dengan Maret atau setelah tanah hasil tebas dan bakar
tersebut sudah mulai dingin. Hal ini ditandai dengan mulai tumbuhnya
rerumputan dan atau tanaman lain pada bidang bekas pembakaran. Pembuatan
lubang penanaman dilakukan dengan sederhana dengan alat tugal atau tembilang.
Tugal adalah sepotong kayu yang pada bagian ujungnya diruncingkan agar
memudahkan pembuatan lubang tanam. Setelah bibit ditanam, tanah di sekitarnya
dipadatkan agar bibit karet tidak mudah roboh, kemudian diberi ajir.
Pemeliharaan hutan rakyat karet dengan sistem agroforestry mulai dari
penanaman hingga masa produksi meliputi penyiangan dan pemupukan.
Penyiangan hutan rakyat agroforestry dengan tanaman karet bertujuan untuk
membebaskan tanaman dari gangguan gulma yang tumbuh di lahan agar tidak
terjadi persaingan dalam menyerap unsur hara di dalam tanah. Pemupukan pada
areal hutan rakyat dengan sistem agroforestry adalah untuk memacu pertumbuhan
tanaman muda, mempercepat matang sadap, menjaga ketersediaan getah karet
sehingga panen getah karet dapat dilakukan secepatnya dan diharapkan dengan
produksi getah karet yang tinggi. Kegiatan pemupukan dilakukan secara manual
yaitu lubang dengan jarak disesuaikan dengan umur tanaman dan dilakukan
umunya dengan jarak 15-50 cm dan kedalaman 15 cm, kemudian pupuk
ditaburkan ke dalamnya dan ditutup dengan tanah..
Penyakit yang sering menyerang tanaman karet adalah tidak keluarnya
pestisida. Menurut Damanik dkk (2010), gejala tersebut dinamakan penyakit
brown blast, penyakit brown blast bukan disebabkan oleh infeksi mikroorganisme,
melainkan karena penyadapan yang terlalu sering. Penyakit ini juga sering
menyerang tanaman yang terlalu subur, berasal dari biji, dan tanaman yang sedang
membentuk daun baru. Hama sering yang menyerang tanaman padi di Desa
Lumban dolok adalah hama wereng dan hama tikus. Dampak akibat serangan
hama pada padi dapat menurunkan tingkat produktivitas padi ataupun gagal
panen. Hama dan penyakit yang sering menyerang tanaman ini adalah penggerek
batang dan busuk buah.
Kegiatan terakhir adalah pemanenan, meliputi penyadapan getah
dilakukan setelah usia tanaman karet berumur 5 tahun dengan frekuensi
penyadapan 8 kali dalam sebulan. Sistem pemanenan kayu karet setelah tanaman
karet tidak lagi produktif adalah dilakukan dengan sistem borong.
Pola kombinasi tanaman karet dengan tanaman padi dan dengan tanaman
coklat bertujuan meningkatkan kemandirian petani dalam bercocok tanam dengan
mengoptimalkan lahan yang dimiliki. Dalam praktek kedua pola kombinasi
tersebut di Desa Lumban Dolok, sistem agroforestry dapat menggantikan fungsi
ekosistem hutan sebagai pengatur siklus hara dan pengaruh positif terhadap
lingkungan lainnya, dan di sisi lain dapat memberikan keluaran hasil yang
diberikan dalam sistem pertanian tanaman semusim
b. Kontribusi Pendapatan agroforestry Karet Terhadap Pendapatan Rumah
Tangga di Desa Lumban Dolok
Pada masa penanaman dengan pola kombinasi pertama dan kedua, petani
coklat. Sedangkan untuk pola monokultur, petani harus menunggu hasil panen
sehingga belum dapat menerima pendapatan dan masih mengeluarkan biaya untuk
pemeliharaannya. Besar kecilnya pendapatan dari agroforestry karet ini antara
lain tergantung dari: luas kebun, jumlah karet yang disadap, frekuensi
penyadapan, pemasaran, serta harga karet yang berlaku. Hasil perhitungan
rata-rata pendapatan petani dari kebun agroforestry karet dengan pola kombinasi
pertama sebesar Rp. 24.245.200 Ha/tahun, pola kombinasi kedua sebesar
Rp. 39.053.320 Ha/tahun, dan pola monokultur sebesar Rp. 24.775.640 Ha/tahun.
Pendapatan dari usaha karet sistem agroforestry sebagai model hutan
rakyat sangat besar dibanding usaha karet monokultur. Jika karet ditanam dengan
tanaman semusim kurang memberi kontribusi terhadap pendapatan rumah tangga.
Hal ini dikarenakan tanaman semusim yang ditanam dikonsumsi sendiri dan harga
jualnya rendah sehingga pendapatan yang masuk berkurang. Pendapatan rumah
tangga yang mengusahakan karet dengan sistem agroforestry sebagai model hutan
rakyat apabila komponen tanaman tahunan ditanam dengan karet akan
memberikan kontribusi yang sangat besar.
Tabel 6. Rata-rata pendapatan dari karet dalam sistem agroforestry di Desa Lumban Dolok Pola Pertama 24.245.200 22.650.000 46.895.200 Pola Kedua 39.053.320 25.133.333 64.186.653 Pola Monokultur 24.775.640 22.071.429 46.847.069
Panen hasil karet bukan hanya getah saja tetapi kayunya juga. Pada umur
peremajaan dengan menebang karet yang ada dan melakukan penanaman kembali
pada lahan tersebut. Kayu karet memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Biasanya
masyarakat menjual kayunya kepada pemilik panglong dengan sistem borongan
dengan harga rata-rata Rp. 12.500.000/ha dan itu tergantung keadaan kemiringan
lahan serta lokasinya. ini merupakan pendapatan yang cukup baik dikala karet
tidak menghasilkan getah sehingga pendapatan ini dapat membantu mengurangi
pembiayaan dalam penanaman karet kembali.
Analisis Finansial Karet dalam Sistem Agroforestry
Tujuan didirikannya suatu usaha yaitu untuk mendapatkan keuntungan dan
manfaat. Besar kecilnya keuntungan yang diperoleh tergantung dari produksi yang
dihasilkan. Sehingga dalam suatu perencanaan melakukan usaha harus selalu
memperhitungkan apakah usaha tersebut mendatangkan keuntungan atau tidak.
Untuk mengetahui kelayakan suatu usaha tersebut maka dilakukan analisis
finansial. Analisis finansial karet sistem agroforestry dalam 2 pola kombinasi
mampu memberikan prospek finansial yang cukup baik yang dinilai dari kriteria
finansial yakni NPV, BCR, dan IRR pada tingkat suku bunga yang berlaku yaitu
12.1 (Suku bunga yang berlaku per tanggal 31 Juli 2013).
Tabel 7. Nilai NPV, BCR, dan IRR Karet dalam sistem agroforestry di Desa Lumban Dolok
Pola Kombinasi NPV (Rp/Ha) BCR IRR ( % )
Pola Pertama 109.806.532,95 2 21,1
Pola Kedua 192.325.332,78 3,07 29,9
Pola Monokultur 105.288.559,77 2,48 23,3
Berdasarkan tabel rekapitulasi dapat dinyatakan bahwa pengusahaan karet
agroforestry ternyata mampu memberikan prospek finansial yang layak dengan
acuan parameter NPV, BCR, dan IRR. Nilai NPV yang paling tinggi adalah pola
kombinasi kedua yaitu Rp. 192.325.332,78/Ha kemudian nilai NPV sebesar
Rp. 109.806.532,95/Ha diperoleh dengan menanam karet secara pola pertama. Dan dibandingkan dengan menanam karet pola monokultur hanya menghasilkan nilai
NPV sebesar Rp. 105.288.559,77 /Ha. Nilai ini merupakan nilai selisih antara
nilai PV manfaat kotor dengan PV biaya kotor. Dengan demikian agroforestry
karet dengan pola yang kedua yakni antara tanaman karet dengan tanaman coklat
(tahunan) merupakan pilihan yang paling optimal untuk mengembangkan karet
dalam sistem agroforestry.
Nilai BCR sebesar 3,07 untuk pola yang kedua artinya manfaat ekonomi
investasinya adalah 3,07 kali lebih besar daripada biaya total pada tingkat suku
bunga 12,1 %. Tiap 1 rupiah yang diinvestasikan akan memberi hasil sebesar
Rp. 3,07 , demikian juga untuk pola pertama dan pola monokultur. Pola
kombinasi yang pertama, kedua, dan pola monokultur menghasilkan BCR > 1,
namun pola kedua menghasilkan BCR yang paling besar maka pengusahaan karet
rakyat dalam sistem agroforestry pada pola ini yang paling optimal diusahakan
bila dibandingkan dengan BCR pola pertama 2 dan pola monokultur 2,48.
Nilai IRR menunjukkan tingkat suku bunga ( discount rate ) maksimum
yang dapat dibayarkan oleh suatu usaha atau dengan kata lain merupakan
kemampuan memperoleh pendapatan dari uang yang diinvestasikan. Untuk
mendapatkan nilai IRR diperoleh dengan metode coba-coba sampai diperoleh
discount rate yang memberikan nilai mendekati nol. Berdasarkan tabel 6 diketahui
pola pertama 22,1 % dan karet yang ditanam secara monokultur 24,3 %.
Pengusahaan karet dengan sistem agroforestry di Desa Lumban Dolok layak
karena nilai IRR dari pola pertama dan pola kedua yang diperoleh lebih besar dari
tingkat suku bunga yang berlaku yaitu 12,1 %. Sedangkan pola monokultur
kurang layak karena nilai IRR yang diperoleh lebih kecil dari tingkat suku bunga
yang berlaku.
Pola kombinasi yang kedua yakni antara tanaman karet dengan tanaman
coklat (tahunan) di Desa Lumban Dolok menghasilkan nilai NPV, BCR, dan IRR
yang lebih tinggi dibandingkan pola lainnya. Hal ini dapat terjadi karena pola
yang kedua ini jumlah tanaman yang ditanam lebih banyak dan memanfaatkan
lahan yang ada. Pangihutan (2003) menyatakan bahwa pola tanam hutan rakyat
sangat menentukan dalam peningkatan pendapatan bagi petani pemilik lahannya.
Pola tanam monokultur akan berhasil jika dilakukan secara kemitraan dengan
perusahaan industri yang memerlukan bahan baku kayu. Sedangkan pola tanam
campuran, terutama campuran dengan sistem agroforestry/wanatani manfaatnya
ganda, disamping meningkatkan pendapatan petani lewat panen harian, mingguan,
bulanan dan tahunan juga menjaga kelestarian lingkungan (ekologi) karena pola
ini berorientasi pada optimalisasi pemanfaatan lahan secara rasional baik dari
aspek ekologi, ekonomi, maupun aspek sosial budaya, sehingga diharapkan
tercapai kelestarian; lestari lingkungan, lestari hasil dan lestari pendapatan.
Perawatan yang intensif dan kombinasi tanaman yang optimal mampu
menghasilkan interaksi positif antara tanaman karet dengan kombinasinya.
Menurut Andayani (2005) adanya variasi tingkat keuntungan yang diperoleh
teknis dan non teknis. Faktor teknis yang menyebabkan variasi tingkat
keuntungan petani adalah jenis komoditi yang dikombinasikan dan tingkat
kesuburan tanah. Sedangkan faktor non teknis yang dapat menyebabkan variasi
tingkat keuntungan yang diperoleh petani adalah tingkat perencanaan dari petani,
tingkat pendidikan petani, peranan dari instansi terkait, tingkat pengetahuan dan
informasi yang dimiliki petani, faktor-faktor eksternal di luar kemampuan petani
dan kepemilikan lahan.
Walaupun secara analisis finansial usaha ini layak namun ditemukan
kendala di lapangan seperti penurunan harga jual. Hal ini berpengaruh terhadap
pendapatan rumah tangga petani karet dengan sistem agroforestry di Desa
Lumban Dolok. Banyaknya para petani mempunyai keseragaman jenis tanaman
yang ditanam yang berakibat hasil panen karet dan komoditi lainnya melimpah
dan menyebabkan harga jual menjadi menurun. Belum ada upaya yang optimal
untuk menyelesaikan masalah ini baik dari pemerintah maupun dari suku dinas
yang terkait. Untuk meningkatkan pendapatan petani karet dalam sistem
agroforestry, diharapkan pemerintah terjun ke lapangan untuk melihat langsung
masalah yang dihadapi petani baik dalam pengelolaan sampai penjualan hasil
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari hasil penelitian yang diperoleh adalah
sebagai berikut :
1. Pola kombinasi karet rakyat dalam sistem agroforestry secara umum yang
diterapkan di Desa Lumban Dolok dengan dua pola kombinasi yakni karet
dengan tanaman semusim berupa padi dan karet dengan tanaman tahunan
berupa coklat.
2. Pola budidaya karet rakyat dalam sistem agroforestry yang diterapkan di
Desa Lumban Dolok memberikan kontribusi pendapatan dengan pola
kombinasi pertama sebesar Rp. 24.245.200 Ha/tahun, pola kombinasi
kedua sebesar Rp. 39.053.320 Ha/tahun, dan pola monokultur sebesar
Rp. 24.775.640 Ha/tahun.
3. Potensi tanaman karet sebagai model hutan rakyat dengan sistem
agroforestry sangat baik dikembangkan dengan pola kombinasi antara
karet dengan tanaman musiman berupa padi dan karet dengan tanaman
tahunan berupa coklat, karena berdasarkan kriteria investasi NPV, BCR,
dan IRR layak secara finansial dan bila ditinjau dari sisi ekonomi pola
kombinasi kedua yakni antara karet dengan tanaman tahunan berupa coklat
kriteria finansial berupa NPV sebesar Rp. 192.325.332,78 ha, BCR 3,07,
dan IRR 29,9 %.
Saran
Berdasarkan kesimpulan yang telah dikemukakan di atas, maka perlu di
sarankan :
1. Untuk mengembangkan agroforestry karet sebagai model hutan rakyat ini
perlu diadakan program kerja oleh pemerintah, karena dapat meningkatkan
pendapatan dan perekonomian lokal.
2. Pola kombinasi antara karet dengan tanaman tahunan berupa coklat sangat
cocok diterapkan bagi petani dalam menanam karet dengan sistem
agroforestry sebagai model hutan rakyat.
3. Dalam pengembangan karet dengan sistem agrofresty diperlukan
pemilihan jenis tanaman kombinasi baik tanaman tahunan maupun
tanaman musiman yang memiliki nilai jual hasil panen yang tinggi
sehingga prospek kedepannya lebih menguntungkan.
4. Perlu diadakan penelitian lebih lanjut dalam menentukan kondisi tempat
tumbuh karet dengan pola kombinasi tanaman tahunan sehingga hasil