• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Sukrosa Dan 2-Isopenteniladenina Terhadap Pembentukan Dan Pertumbuhan Umbi Mikro Kentang (Solanum Tuberosum L.)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pengaruh Sukrosa Dan 2-Isopenteniladenina Terhadap Pembentukan Dan Pertumbuhan Umbi Mikro Kentang (Solanum Tuberosum L.)"

Copied!
70
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS FINANSIAL DAN POLA BUDIDAYA TANAMAN

KARET (

Hevea braziliensis

MUELL Arg.)

SEBAGAI MODEL HUTAN RAKYAT

DI DESA LUMBAN DOLOK KECAMATAN SIABU

KABUPATEN MANDAILING NATAL

SKRIPSI

Oleh :

RAHMAT ADITYA LUBIS 091201127

PROGRAM STUDI KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

ABSTRAK

RAHMAT ADITYA LUBIS. Analisis Agroforestry dan Finansial Tanaman Karet

(Hevea braziliensis MUELL Arg.) Sebagai Model Hutan Rakyat di Desa Lumban Dolok Kecamatan Siabu Kabupaten Mandaling Natal. Dibimbing oleh AGUS PURWOKO dan YUNUS AFIFUDDIN.

Penduduk Kabupaten Mandailing Natal, Kecamatan Siabu, di Desa Lumban Dolok telah mengusahakan kebun karet secara turun-temurun dari nenek moyang dan merupakan mata pencaharian pokok bagi sebagian besar penduduknya. Komoditi karet bagi Pemerintah Kabupaten Mandailing Natal sendiri merupakan komoditi yang mempunyai peranan penting dalam kontribusi subsektor perkebunan dalam upaya meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pola dan kontribusi pendapatan

agroforestry karet sebagai model hutan rakyat dan menganalisis secara finansial tanaman karet sebagai model hutan rakyat di Desa Lumban Dolok. Pengumpulan data dilakukan dengan mengumpulkan data primer dan data sekunder. Pengambilan sampel dilakukan secara purposive sampling. Pertimbangan lainnya dalam pengambilan sampel petani yaitu kebun karet tersebut telah berproduksi sebenyak 34 sampel dari 348 kepala keluarga. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi pola agroforestry dan analisis kelayakan finansial dengan beberapa untuk mengetahuinya, yaitu: Net Present Value (NPV), Net Benefit Cost Ratio (Net BCR), Internal Rate of Return (IRR).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola kombinasi karet rakyat dalam sistem agroforestry diterapkan dengan dua pola yakni karet dengan tanaman semusim (padi) dan karet dengan tanaman tahunan (coklat) dan nilai NPV yang

paling tinggi adalah pola kombinasi kedua (karet dengan tanaman coklat) yaitu Rp. 192.325.332,78/Ha , nilai BCR sebesar 3,07 dan nilai IRR 29,9 %.

(3)

ABSTRACK

RAHMAT ADITYA LUBIS. Financial Analysis of Agroforestry and Plant

Rubber (Hevea braziliensis MUELL Arg.) For Model Forest People in the Village

District Siabu subdistrict Lumban Dolok Mandaling Natal. Supervised by

AGUS PURWOKO and YUNUS AFIFUDDIN.

Mandailing Natal County residents, District Siabu, in the village of Lumban Dolok rubber plantations have worked for generations of ancestors and is the principal livelihood for the majority of the population. Commodity rubber for Mandailing Natal County Government itself is a commodity that has an important role in the plantation sub-sector contribution to improving local revenue ( PAD ). This study aims to analyze the pattern and rubber agroforestry revenue contribution as a model of community forests and rubber plantations financially analyzed as a model of community forestry in the village of Lumban Dolok. Data collection was conducted by collecting primary data and secondary data . Sampling was done by purposive sampling. Other considerations in sampling the rubber plantation farmers are already producing for 34 samples from 348 families. Analysis of the data used in this study is the observation of patterns of agroforestry and financial analysis with a few to find out, namely: Net Present Value (NPV), Net Benefit Cost Ratio (BCR Net), Internal Rate of Return (IRR).

The results showed that the combination pattern of smallholder rubber agroforestry systems implemented in two patterns namely rubber with seasonal crops (rice) and rubber with annual crops (kakao) and the highest NPV is the pattern of the second combination (rubber with kakao), Rp. 192,325,332.78 / Ha, BCR value of 3.07 and 29.9 % IRR.

(4)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Rahmat Aditya Lubis dilahirkan di Semarang pada

tanggal 22 Agustus 1991 dari ayah Lauddin Lubis, ST dan

ibu Yuni Arsita Lisnawati Lubis, SH. Penulis merupakan putra ketiga dari lima

bersaudara.

Penulis memulai pendidikan di SD Negeri Langkai 4 Percobaan

Palangkaraya. Pada tahu 2006, penulis menyelesaikan pendidikan di SMP Negeri

1 Panyabungan. Tahun 2009 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Panyabungan dan

pada tahun 2009 lulus seleksi masuk Universitas Sumatera Utara (USU) melalui

jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Penulis

memilih Program Studi Kehutanan Fakultas Kehutanan.

Setelah mengikuti perkuliahan, pada tahun 2011 penulis mengikuti

kegiatan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) di Taman Hutan Raya

(TAHURA) Bukit Barisan Kabupaten Karo. Penulis melaksanakan Praktik Kerja

Lapangan (PKL) di PT. Toba Pulp Lestari Tbk yang terletak di Desa Sosor

Ladang, Kecamata Porsea, Kabupaten Toba Samosir pada bulan Februari-Maret

(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah

memberikan segala berkat dan karunia-Nya sehingga skripsi yang berjudul

“Analisis agroforestry dan finansial tanaman karet (Heveabraziliensis MUELL

Arg.) sebagai model hutan rakyat di Desa Lumban Dolok kecamatan Siabu

kabupaten Mandaling natal” berhasil diselesaikan dengan baik. Skripsi ini

merupakan suatu aplikasi ilmu yang didapat dari pembelajaran di ruang

perkuliahan dan syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Kehutanan (S.Hut).

Penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada

bapak Dr. Agus Purwoko, S.Hut, M.Si selaku ketua komisi dosen pembimbing

dan bapak Yunus Afifuddin, S.Hut, M.Si selaku anggota komisis dosen

pembimbing yang telah membantu, membimbing dan memberikan saran dalam

penyelesaian skripsi ini. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari

sempurna, oleh karena itu penulis menerima kritikan dan saran yang membangun

dari pembaca. Semoga skripsi ini bermanfaat dan memberi kontribusi yang baru

khususnya dalam bidang kehutanan dan bidang pendidikan dalam

(6)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Penelitian : Analisis Finansial dan Pola Budidaya Tanaman Karet b(Hevea braziliensis MUELL Arg.) Sebagai Model Hutan

bRakyat di Desa Lumban Dolok, Kecamatan Siabu, bKabupaten Mandailing Natal.

Nama : Rahmat Aditya Lubis

NIM : 0091201127

Program Studi : Kehutanan/ Manajemen Hutan

Disetujui Oleh,

Komisi Pembimbing

Dr. Agus Purwoko, S.Hut, M.Si Yunus Afifuddin, S.Hut, M.Si Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Mengetahui,

(7)

DAFTAR ISI

Manfaat Penelitian ………... 3

TINJAUAN PUSTAKA Agroforestry ………... 4

Analisis Finansial………... 6

Model Hutan Rakyat ………. 9

Tanaman Karet……….. 11

Gambaran Umum Wilayah Penelitian... 14

METODE PENELITIAN Metode Penelitian..……….... 16

HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Wilayah Penelitian... 20

Karakteristik Responden... 20

Pola Kombinasi dan Kontribusi Pendapatan Agroforestry Karet………... 24

Analisis Finansial Karet dalam Sistem Agroforestry... 33

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan……… 36

Saran……….. 36

(8)

DAFTAR TABEL

Hal

1. Tabel Rekapitulasi karakteristik responden menurut karakteristik umur.. 22

2. Tabel Rekapitulasi karakteristik responden menurut jenis pekerjaan …... 23

3. Tabel Rekapitulasi karakteristik responden menurut jumlah

anggota keluaarga………. 23

4. Tabel Rekapitulasi karakteristik responden menurut tingkat

Pendidikan……… 24

5. Rekapitulasi karakteristik responden berdasarkan luas lahan

dan status kepemilikan lahan………... 24

6. Nilai NPV, BCR, dan IRR karet dalam sistem agroforestry

di desa Lumban dolok……...………... 32

7. Rekapitulasi rata-rata pendapatan dari kebun karet dalam

(9)

DAFTAR GAMBAR

Hal

1. Gambar Kombinasi Antara Karet dan Padi ……….. 25

2. Gambar Kombinasi Antara Karet dan Coklat…..………. 26

3. Gambar Pola Kombinasi Pertama………... 27

(10)

ABSTRAK

RAHMAT ADITYA LUBIS. Analisis Agroforestry dan Finansial Tanaman Karet

(Hevea braziliensis MUELL Arg.) Sebagai Model Hutan Rakyat di Desa Lumban Dolok Kecamatan Siabu Kabupaten Mandaling Natal. Dibimbing oleh AGUS PURWOKO dan YUNUS AFIFUDDIN.

Penduduk Kabupaten Mandailing Natal, Kecamatan Siabu, di Desa Lumban Dolok telah mengusahakan kebun karet secara turun-temurun dari nenek moyang dan merupakan mata pencaharian pokok bagi sebagian besar penduduknya. Komoditi karet bagi Pemerintah Kabupaten Mandailing Natal sendiri merupakan komoditi yang mempunyai peranan penting dalam kontribusi subsektor perkebunan dalam upaya meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pola dan kontribusi pendapatan

agroforestry karet sebagai model hutan rakyat dan menganalisis secara finansial tanaman karet sebagai model hutan rakyat di Desa Lumban Dolok. Pengumpulan data dilakukan dengan mengumpulkan data primer dan data sekunder. Pengambilan sampel dilakukan secara purposive sampling. Pertimbangan lainnya dalam pengambilan sampel petani yaitu kebun karet tersebut telah berproduksi sebenyak 34 sampel dari 348 kepala keluarga. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi pola agroforestry dan analisis kelayakan finansial dengan beberapa untuk mengetahuinya, yaitu: Net Present Value (NPV), Net Benefit Cost Ratio (Net BCR), Internal Rate of Return (IRR).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola kombinasi karet rakyat dalam sistem agroforestry diterapkan dengan dua pola yakni karet dengan tanaman semusim (padi) dan karet dengan tanaman tahunan (coklat) dan nilai NPV yang

paling tinggi adalah pola kombinasi kedua (karet dengan tanaman coklat) yaitu Rp. 192.325.332,78/Ha , nilai BCR sebesar 3,07 dan nilai IRR 29,9 %.

(11)

ABSTRACK

RAHMAT ADITYA LUBIS. Financial Analysis of Agroforestry and Plant

Rubber (Hevea braziliensis MUELL Arg.) For Model Forest People in the Village

District Siabu subdistrict Lumban Dolok Mandaling Natal. Supervised by

AGUS PURWOKO and YUNUS AFIFUDDIN.

Mandailing Natal County residents, District Siabu, in the village of Lumban Dolok rubber plantations have worked for generations of ancestors and is the principal livelihood for the majority of the population. Commodity rubber for Mandailing Natal County Government itself is a commodity that has an important role in the plantation sub-sector contribution to improving local revenue ( PAD ). This study aims to analyze the pattern and rubber agroforestry revenue contribution as a model of community forests and rubber plantations financially analyzed as a model of community forestry in the village of Lumban Dolok. Data collection was conducted by collecting primary data and secondary data . Sampling was done by purposive sampling. Other considerations in sampling the rubber plantation farmers are already producing for 34 samples from 348 families. Analysis of the data used in this study is the observation of patterns of agroforestry and financial analysis with a few to find out, namely: Net Present Value (NPV), Net Benefit Cost Ratio (BCR Net), Internal Rate of Return (IRR).

The results showed that the combination pattern of smallholder rubber agroforestry systems implemented in two patterns namely rubber with seasonal crops (rice) and rubber with annual crops (kakao) and the highest NPV is the pattern of the second combination (rubber with kakao), Rp. 192,325,332.78 / Ha, BCR value of 3.07 and 29.9 % IRR.

(12)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Rencana penguatan sektor perkebunan di Indonesia, pemerintah telah

mencanangkan program revitalisasi perkebunan yakni suatu upaya percepatan

pengembangan perkebunan rakyat melalui perluasan, peremajaan dan rehabilitasi

tanaman perkebunan yang didukung kredit investasi perbankan dan subsidi bunga

oleh pemerintah dengan melibatkan perusahaan dibidang usaha perkebunan

sebagai mitra pengembangan dalam pembangunan kebun, pengolahan dan

pemasaran hasil dengan tiga komoditi yaitu kelapa sawit, karet dan kakao

(Ditjenbun, 2007).

Prospek karet alam akan baik selama ekonomi tumbuh dengan baik dan

produksi tidak mengalami gangguan cuaca, sehingga pemerintah perlu membuat

perencanaan yang matang dalam peremajaan dan pembukaan kebun karet baru.

Peluang untuk menjadi produsen utama di dunia dimungkinkan, karena Indonesia

mempunyai potensi sumberdaya yang sangat memadai untuk meningkatkan

produksi melalui program revitalisasi perkebunan. Pengembangan komoditas

karet di lahan kering dan kritis juga memberi kontribusi nyata dalam memelihara

bahkan memperbaiki lingkungan. Di samping itu, pengembangan komoditas karet

dalam bentuk agroforestry serta pemanfaatan kayu karet sebagai pengganti kayu

dari hutan primer merupakan kontribusi lain perkebunan karet dalam konservasi

(13)

Kebijakan otonomi daerah melalui Undang-undang nomor 32 tahun 2004

memberikan kewenangan yang besar pada daerah dalam mengelola pemerintahan

dan sumberdaya daerah termasuk kegiatan eksplorasi, eksploitasi dan konservasi

sumberdaya alam yang diiringi dengan tanggung jawab pembiayaan

pembangunan daerah yang porsinya semakin meningkat. Berkaitan dengan upaya

pembangunan daerah, maka pengembangan ekonomi yang berbasis pada

sumberdaya lokal sebagai pusat pertumbuhan perlu diperkuat. Berdasarkan data

statistik, sektor pertanian mempunyai kontribusi yang besar terhadap PDRB

Kabupaten Mandailing Natal pada tahun 2008 yakni sebesar 46,36% dimana

14,77% diantaranya merupakan pangsa subsektor perkebunan. Komoditi karet

merupakan komoditi perkebunan yang paling banyak diusahakan oleh

masyarakat.Luas lahan yang diusahakan oleh masyarakat pada tahun 2008 seluas

71.015 Ha dengan produksi 34.615 ton (BPS Mandailing Natal, 2009).

Penduduk Kabupaten Mandailing Natal, Kecamatan Siabu, di Desa

Lumban Dolok telah mengusahakan kebun karet secara turun-temurun dari nenek

moyang dan merupakan mata pencaharian pokok bagi sebagian besar penduduk

yakni sekitar 40%, sehingga ketergantungan masyarakat pada usaha berkebun

karet ini sangat tinggi dan telah menunjukkan hasil serta peran yang nyata bagi

masyarakat dalam meningkatkan pendapatannya. Komoditi karet bagi Pemerintah

Kabupaten Mandailing Natal sendiri merupakan komoditi yang mempunyai

peranan penting dalam kontribusi subsektor perkebunan dalam upaya

meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) karena karet merupakan komoditi

ekspor yang banyak diperdagangkan di luar negeri dengan harga yang terus

(14)

primadona di dunia. Memperhatikan potensi yang ada dan prospek masa depan,

komoditi karet merupakan komoditi unggulan yang berpotensi untuk

dikembangkan dalam menunjang pengembangan wilayah.

Rumusan Masalah

Ketergantungan masyarakat Desa Lumban Dolok akan usaha kebun karet

sangatlah tinggi dan telah menunjukkan hasil serta peran yang nyata bagi

masyarakat dalam meningkatkan pendapatannya. Yang jadi rumusan masalah

adalah :

1. Bagaimanakah pola dan kontribusi pendapatan sistem agroforestry yang

dikelola masyarakat di Desa Lumban Dolok ?

2. Bagaimana analisis finansial karet sebagai model hutan rakyat ?

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Menganalisis pola dan kontribusi pendapatan agroforestry karet sebagai

model hutan rakyat di Desa Lumban Dolok.

2. Menganalisis secara finansial tanaman karet sebagai model hutan rakyat.

Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagi masyarakat yang mempunyai usaha karet sebagai model hutan

rakyat, hasil penelitian ini dapat memberikan informasi tentang kelayakan

finansial dari usaha yang dijalankannya.

2. Bagi pihak lain, hasil penelitian ini dapat memberikan informasi dan

pengetahuan untuk mengembangkan usaha karet sebagai model hutan

(15)

TINJAUAN PUSTAKA

Pola Budidaya

Agroforestry merupakan suatu sistem pola budidaya atau pengelolaan

lahan untuk mengatasi masalah ketersediaan lahan dan peningkatan produktivitas

lahan. Masalah yang sering timbul adalah alih fungsi lahan menyebabkan lahan

hutan semakin berkurang. Agroforestry diterapkan untuk mengatasi masalah

tersebut dan masalah ketersediaan pangan. Pada dasarnya agroforestry terdiri dari

tiga komponen pokok yaitu kehutanan, pertanian dan peternakan. Penggabungan

tiga komponen yang termasuk dalam agroforestri adalah:

1. Agrisilvikultur. Kombinasi antara komponen atau kegiatan kehutanan

(pepohonan, perdu, palem, bambu, dll.) dengan komponen pertanian.

2. Silvopastura. Kombinasi antara komponen atau kegiatan kehutanan

dengan peternakan.

3. Agrosilvopastura. Kombinasi antara komponen atau kegiatan pertanian

dengan kehutanan dan peternakan.

Disamping ketiga kombinasi tersebut, terdapat sistem-sistem lainnya yang

dapat dikategorikan sebagai agroforestry. Beberapa contoh yang menggambarkan

sistem lebih spesifik yaitu:

1. Silvofishery. Kombinasi antara komponen atau kegiatan kehutanan dengan

(16)

2. Apiculture. Budidaya lebah atau serangga yang dilakukan dalam kegiatan

atau komponen kehutanan (Hairiah et al, 2003).

Tujuan akhir program agroforestry adalah meningkatkan kesejahteraan

rakyat petani, terutama yang di sekitar hutan, yaitu dengan memprioritaskan

partisipasi aktif masyarakat dalam memperbaiki keadaan lingkungan yang rusak

dan berlanjut dengan memeliharanya. Program-program agroforestry diarahkan

pada peningkatan dan pelestarian produktivitas sumberdaya, yang akhirnya akan

meningkatkan taraf hidup masyarakat (Anton, 1992).

Menurut De Foresta dan Michon (1997), agroforestry dapat

dikelompokkan menjadi dua sistem, yaitu sistem agroforestry sederhana dan

sistem agroforestry kompleks. Sistem agroforestry sederhana adalah suatu sistem

pertanian dimana pepohonan ditanam secara tumpang-sari dengan satu atau lebih

jenis tanaman semusim. Pepohonan bisa ditanam sebagai pagar mengelilingi petak

lahan tanaman pangan, secara acak dalam petak lahan, atau dengan pola lain

misalnya berbaris dalam larikan sehingga membentuk lorong/pagar. Sistem

agroforestry kompleks, adalah suatu sistem pertanian menetap yang melibatkan

banyak jenis tanaman pohon (berbasis pohon) baik sengaja ditanam maupun yang

tumbuh secara alami pada sebidang lahan dan dikelola petani mengikuti pola

tanam dan ekosistem menyerupai hutan. Di dalam sistem ini, selain terdapat

beraneka jenis pohon, juga tanaman perdu, tanaman memanjat (liana), tanaman

musiman dan rerumputan dalam jumlah banyak. Ciri utama dari sistem

agroforestry kompleks ini adalah kenampakan fisik dan dinamika di dalamnya

(17)

sekunder, oleh karena itu sistem ini dapat pula disebut sebagai Agroforestry

(De Foresta, 1997).

Pemilihan dan penanaman jenis pohon dalam agroforestry dikenal istilah

”Domestikasi Pohon”. Domestikasi pohon agroforestry adalah usaha percepatan

dan evolusi yang dipengaruhi oleh manusia yang membawa jenis-jenis tertentu

ditanam secara luas melalui kebutuhan petani atau proses arahan pasar.

Domestikasi pohon meliputi serangkaian kegiatan-kegiatan eksplorasi dan

pengumpulan populasi genetik alam atau antropogenik, evaluasi dan seleksi jenis

dan provenan yang sesuai, pengembangan teknik pengelolaan, pemanfaatan dan

pemasaran hasi pohon dan pembangunan dan penyebaran informasi teknis

(Suryanto et al, 2005).

Pola kombinasi tanaman kehutanan dan pertanian sistem agroforestry

harus memperhatikan ketersediaan hara dalam tanah terutama dari segi pemilihan

jenis dan pergiliran tanaman pertanian. Agar tanah tidak terkuras unsur hara maka

perlu dibuat pergiliran tanaman pertanian yang dikombinasikan dengan tanaman

kehutanan. Setelah beberapa kali penanaman dan panen tanaman pertanian perlu

digantikan dengan tanaman dalam jenis leguminose. Jenis ini dapat bersimbiosis

dengan bakteri penambat nitrogen untuk menyuburkan tanah kembali

(De Foresta, 1997).

Sistem penamaman agroforestry pada daerah berlereng dapat

menggunakan Sistem Sloping Agricultural Land Technology (SALT), suatu

bentuk Alley Cropping (tanaman lorong). Sistem SALT diselenggarakan dalam

suatu proyek di Mindanao Baptist Rural Life Center Davao Del Sur. Dalam

(18)

tanaman, terutama di daerah berlereng, sangat berperan dalam

Analisis Finansial

Menurut Widianto et al (2003) bahwa keberadaan pohon dalam

agroforestry mempunyai dua peranan utama. Pertama, pohon dapat

mempertahankan produksi tanaman pangan dan memberikan pengaruh positif

pada lingkungan fisik, terutama dengan memperlambat kehilangan hara dan

energi, dan menahan daya perusak air dan angin. Kedua, hasil dari pohon berperan

penting dalam ekonomi rumah tangga petani. Pohon dapat menghasilkan:

(1) produk yang digunakan langsung seperti pangan, bahan bakar, bahan

bangunan; (2) input untuk pertanian seperti pakan ternak, mulsa; serta (3) produk

atau kegiatan yang mampu menyediakan lapangan kerja atau penghasilan kepada

anggota rumah tangga.

Sistem produksi agroforestry memiliki suatu kekhasan dengan ciri sebagai

berikut, yaitu :

1. Menghasilkan lebih dari suatu produk

2. Pada lahan yang sama ditanam paling sedikit satu jenis tanaman

semusim dan satu jenis tanaman tahunan/pohon

3. Produk-produk yang dihasilkan dapat bersifat terukur (tangible) dan

tak terukur (itangible)

4. Terdapat kesenjangan waktu (time lag) antara waktu penanaman dan

pemanenan tanaman tahunan/pohon yang cukup lama

(19)

Menurut Lahjie (2004), bahwa analisis finansial pada dasarnya dilakukan

untuk mengetahui seberapa besar manfaat yang diperoleh, biaya yang dikeluarkan,

berapa keuntungannya, kapan pengembalian investasi terjadi dan pada tingkat

suku bunga berapa investasi itu memberikan manfaat. Melalui cara berpikir

seperti itu maka harus ada ukuran-ukuran terhadap kinerjanya. Ukuran-ukuran

yang digunakan umumnya adalah :

a. Net Present Value (NPV)

Perhitungan NPV dalam suatu penilaian investasi merupakan cara yang

praktis untuk mengetahui apakah proyek menguntungkan atau tidak. Net Present

Value adalah selisih antara Present Value dari arus Benefit dikurangi Present

Value dari arus Cost (Soekartawi, 1996).

Proyek yang memberikan keuntungan adalah proyek yang memberikan

nilai positif atau NVP lebih besar dari nol, artinya manfaat yang diterima proyek

lebih besar dari semua biaya total yang dikeluarkan. Jika NPV sama dengan nol,

berarti manfaat yang diperoleh hanya cukup untuk menutupi biaya total yang

dikeluarkan (keadaan BEP atau TC=TB). Apabila NPV lebih kecil dari nol,

berarti rugi, biaya total yang dikeluarkan lebih besar dari manfaat yang diperoleh.

b. Benefit Cost Ratio (BCR)

Benefit Cost Ratio adalah penilaian yang dilakukan untuk melihat tingkat

efisiensi penggunaan biaya berupa perbandingan jumlah nilai bersih sekarang

yang positif dengan jumlah nilai bersih sekarang yang negatif. Suatu proyek layak

dan efisien untuk dilaksanakan jika nilai Net B/C > 1, yang berarti manfaat yang

diperoleh lebih besar dari biaya yang dikeluarkan dan berlaku sebaliknya

(20)

c. Internal Rate of Returns (IRR)

Internal Rate of Returns dinyatakan dengan persen (%) yang merupakan

tolok ukur dari keberhasilan proyek (Soekartawi, 1996). Penggunaan investasi

akan layak jika diperoleh IRR yang persentasenya lebih besar dari tingkat suku

bunga bank yang ditentukan, karena proyek berada dalam keadaan yang

menguntungkan. Demikian juga sebaliknya, jika IRR lebih kecil dari tingkat suku

bunga bank yang ditentukan, berarti proyek merugi dan tidak layak untuk

dilaksanakan.

Model Hutan Rakyat

Purwanto (2004) menyatakan bahwa Lembaga Penelitian IPB (1983)

membagi hutan rakyat kedalam tiga bentuk, yaitu :

1. Hutan rakyat murni (monoculture), yaitu hutan rakyat yang hanya terdiri

dari satu jenis tanaman pokok berkayu yang ditanam secara homogen atau

monokultur.

2. Hutan rakyat campuran (polyculture), yaitu hutan rakyat yang terdiri dari

berbagai jenis pohon-pohonan yang ditanan secara campuran.

3. Hutan rakyat wana tani (agroforestry), yaitu yang mempunyai bentuk

usaha kombinasi antara kehutanan dengan cabang usaha tani lainnya

seperti tanaman pangan, perkebunan, peternakan, perikanan, dan lain-lain

yang dikembangkan secara terpadu.

Pola-pola model hutan rakyat yang dikelola berdasarkan karakteristik dan

potensi daerah masing-masing. Karakteristik hutan rakyat menurut Winarno

(2008) yaitu:

(21)

2. Pada umumnya petani berlahan sempit menanam kayu-kayuan dengan

tanaman lainnya dengan pola tumpang sari, campuran agroforestri,

sedangkan petani berlahan luas yang komersil memungkinkan

pengembangan hutan rakyat dengan sistem monokultur.

3. Tenaga kerja yang digunakan berasal dari dalam keluarga.

4. Skala usaha kecil.

5. Kontinuitas dan mutu kayu kurang terjamin.

6. Beragamnya jenis tanaman dengan daur yang tidak menentu.

7. Kayu dalam hutan rakyat tidak diposisikan sebagai andalan pendapatan

rumah tangga petani, tetapi dilihat sebagai “tabungan” yang segera dapat

dijual pada saat dibutuhkan.

8. Teknik silvikultur sederhana dan memungkinkan pengembangan dengan

biaya rendah, meskipun hasilnya kurang optimal. Namun, kontinuitas hasil

dalam horizon waktu dan penyebaran resiko menjadi pilihan petani.

9. Keputusan pemanfaatan lahan untuk hutan rakyat seringkali merupakan

pilihan terakhir apabila pilihan lainnya tidak memungkinkan.

10.Kayu tidak memberikan hasil cepat, bukan merupakan komoditi konsumsi

sehari-hari, membutuhkan waktu lama sehinga pendapatandari kayu rakyat

merupakan pendapatan sampingan dalam pendapatan rumah tangga petani.

11.Usaha hutan rakyat merupakan usaha yang tidak pernah besar tetapi tidak

pernah mati.

12.Instansi dan organisasi yang terlibat dalam pengelolaan hutan rakyat cukup

banyak tetapi tidak ada satupun yang bertanggung jawab penuh atas

(22)

13.Perundangan, kebijakan, tata nilai, tata prilaku dan sebagainya belum

optimal mendukung pengembangan hutan rakyat.

Hardjanto (2000) mengemukakan ciri-ciri pengusahaan hutan rakyat sebagai

berikut:

1. Usaha hutan rakyat dilakukan oleh petani, tengkulak, dan industri di mana

petani masih memiliki posisi tawar yang rendah

2. .Petani belum dapat melakukan usaha hutan rakyat menurut prinsip usaha

dan prinsip kelestarian yang baik.

3. Bentuk hutan rakyat sebagian besar berupa budidaya campuran yang

diusahakan dengan cara-cara sederhana.

4. Pendapatan dari hutan rakyat bagi petani masih di posisikan sebagai

pendapatan sampingan dan bersifat insidentil dengan kisaran tidak lebih

dari 10% dari pendapatan total.

Hasil dari hutan rakyat biasanya dijual ke tengkulak ataupun dikonsumsi

sendiri. Bagi beberapa orang, hutan rakyat dapat dijadikan sebagai sumber

pendapatan utama rumah tangga bagi petani karena seiring dengan majunya

sistem pengelolaan hutan rakyat, kontribusi yang diberikan oleh hutan rakyat lebih

dari 10% dari pendapatan total.

Tanaman Karet (Hevea braziliensis Muell. Arg)

Sistematika botani tanaman karet adalah sebagai berikut :

Divisi : Spermathophyta

Sub divisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledoneae

(23)

Famili : Euphorbiaceae

Genus : Hevea

Spesies : Hevea braziliensis Muell. Arg

Tanaman karet merupakan tanaman tahunan daerah tropika dan mempunyai daya

adaptasi yang baik dari segi tanah maupun iklim. Tanaman ini dapat tumbuh pada

berbagai jenis tanah didaerah tropika dan mempunyai adaptasi yang tinggi pada

lingkungan yang bervariasi (Lasminingsih dan Effendi, 1985).

Daerah pertanaman utama tanaman karet di Indonesia adalah Sumatera,

Jawa dan Kalimantan yang terletak pada zona 6 0 LU dan 90

Ketinggian tempat yang cocok bagi tanaman karet adalah 0 – 600 meter

diatas permukaan laut, dan yang paling baik berkisar antara 0 – 200 mdpl

(Syarif, 1986). Mulai ketinggian 200 mdpl, matang sadap akan tertunda selama

6 bulan setiap kenaikan 100 mdpl, karena ketinggian tempat berpengaruh terhadap

temperatur (Departemen Pertanian, 1997).

LS. Tanaman karet

dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah, baik pada tanah-tanah vulkanis muda

atau vulkanis tua, aluvial dan bahkan tanah gambut (Setyamidjaja, 1993).

Tanaman karet tumbuh baik bila syarat-syarat hidupnya mendukung

terhadap pertumbuhan, baik faktor luar maupun faktor dalam. Dalam literatur

Syarief (1983) menyatakan bahwa curah hujan yang cukup tinggi antara

2.000 - 2.500 mm setahun disukai tanaman karet. Tanaman karet sangat toleran

terhadap kemasaman tanah, tanaman ini akan tumbuh baik pada kisaran

pH 4,0 – 7,0. Suhu harian yang diinginkan tanaman karet rata-rata 25 – 30o C.

Apabila dalam jangka waktu panjang suhu harian rata-rata kurang dari 20o C,

(24)

Tanaman karet adalah tanaman yang paling toleran terhadap tanah pada

tingkat kesuburan tanah sangat rendah. Tanah-tanah yang kurang subur seperti

Podsolik Merah Kuning dengan bantuan pemupukan dan pengelolaan yang baik

bisa dikembangkan menjadi perkebunan karet. Selain jenis tanah Podsolik Merah

Kuning, Latosol dan Aluvial juga bisa dikembangkan untuk penanaman karet

(Tim Penulis Penebar Swadaya, 1992). Menurut Setyamidjaja (1993), tanah-tanah

aluvial umumnya cukup subur, tetapi sifat fisiknya terutama drainasenya kurang

baik. Pembuatan saluran-saluran drainase akan menolong memperbaiki keadaan

tanah ini.

Tanaman karet mempunyai sistem perakaran yang luas dengan kedalaman

akar dapat mencapai 0 – 0,3 meter. Tanah yang ideal untuk tanaman karet adalah

dengan kedalaman lebih dari 1 meter, aerasi dan srtuktur yang baik dan tekstur

tanah harus terdiri 50 persen liat (Sys et al., 1993).

Tanaman karet dapat tumbuh dengan baik dan menghasilkan produksi

yang optimal, maka harus dipertimbangkan syarat-syarat lingkungan yang

diinginkan tanaman ini. Hal ini disebabkan karena lingkungan yang cocok akan

menunjang pertumbuhan disamping perawatan. Apabila tanaman karet ditanam

pada lahan yang tidak sesuai dengan habitat yang diinginkannya, maka

pertumbuhan tanaman akan terhambat. Ketika sudah tidak layak sadap (biasanya

saat itu pohon karet telah berumur 20-25 tahun), yang berarti jumlah getahnya

semakin lama semakin sedikit atau pohonnya semakin lama semakin tinggi

sehingga sulit dijangkau, maka setelah ditebang ia masih dapat dimanfaatkan

(25)

Pemerintah Republik Indonesia telah menerbitkan Peraturan Menteri

Pertanian Nomor:33/Permentan/PT.140/7/2006 tentang Kebijakan Pengembangan

Komoditi Perkebunan melalui Program Revitalisasi Perkebunan dengan salah satu

komoditi yang dikembangkan adalah karet. Pengembangan agribisnis karet

Indonesia ke depan perlu didasarkan pada perencanaan yang lebih terarah dengan

sasaran yang lebih jelas serta mempertimbangkan berbagai permasalahan, peluang

dan tantangan yang sudah ada serta yang diperkirakan akan ada sehingga pada

gilirannya akan dapat diwujudkan agribisnis karet yang berdaya saing dan

berkelanjutan serta memberi manfaat optimal bagi para pelaku usahanya secara

berkeadilan (Drajat dan Hendratno, 2009).

Gambaran Umum Wilayah Penelitian

Secara geografis Kabupaten Mandailing Natal merupakan kabupaten

pemekaran dari Kabupaten Tapanuli Selatan. Kabupaten Mandailing Natal

terletak pada 0°10′ – 1°50′ Lintang Utaradan 98°10′ – 100°10′ Bujur Timur

ketinggian 0 – 2.145 m di atas permukaan laut. Luas wilayah Kabupaten

Mandailing Natal ± 6.620,70 km2 atau 9,23 % dari wilayah Sumatera Utara

dengan batas-batas wilayah sebagai berikut :

1. Sebelah Utara :

2. Sebelah Selatan : Provinsi

3. Sebelah Barat :

4. Sebelah Timur : Provinsi

(BPS Mandailing Natal, 2009).

Kabupaten Mandailing Natal memiliki kondisi iklim hujan tropis dengan

(26)

Tinggi rendahnya suhu di suatu tempat dipengaruhi oleh ketinggian daerah di atas

permukaan laut. Kondisi iklim ditandai dengan adanya musim penghujan,

kemarau dan pancaroba. Curah hujan bulanan maksimum pada tahun 2009 terjadi

di Bulan November yaitu 2.417 mm dan curah hujan harian minimum terjadi pada

Bulan Juli yaitu 437 mm. Jumlah curah hujan rata-rata di Kabupaten Mandailing

Natal ± 1.337 mm/tahun (BPS Mandailing Natal, 2009).

Daerah Mandailing Natal terbagi dalam 3 bagian topografi yakni :

1. Dataran Rendah, merupakan daerah pesisir dengan kemiringan 0 º - 2 º

dengan luas sekitar 160.500 hektar atau 18,68 %.

2. Dataran Landai, dengan kemiringan 2º - 15 º, dengan luas 36.385 hektar

atau 4,24 %.

3. Dataran Tinggi, dengan kemiringan 7º - 40º, dengan luas 662.139 hektar

atau 77,08% dibedakan atas 2 jenis yakni : Daerah perbukitan dengan luas

308.954 hektar atau 46,66% dan Daerah pegunungan dengan luas 353.185

hektar atau 53,34% (BPS Mandailing Natal, 2009).

Desa Lumban Dolok memiliki luas 672.000 Ha dengan yang ditempati

oleh 348 kepala keluarga. Penduduk Desa Lumban Dolok sebagian besar petani

karet yang telah mengusahakan kebun karet secara turun-temurun dari nenek

moyang dan merupakan mata pencaharian pokok bagi sebagian besar penduduk

yakni sekitar 40%, sehingga ketergantungan masyarakat pada usaha berkebun

karet ini sangat tinggi dan telah menunjukkan hasil serta peran yang nyata bagi

(27)

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Desa Lumban Dolok Kecamatan Siabu,

Kabupaten Mandailing Natal. Penelitian ini dilaksanakan mulai April 2013

sampai dengan selesai.

Alat Penelitian

Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini yaitu alat tulis, kalkulator,

kamera digital, kuisioner, data sekunder (badan pusat statistik, dinas kehutanan,

dinas perkebunan, dan instansi terkait) Kabupaten Mandailing Natal.

Prosedur Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan mengumpulkan data primer dan data

sekunder. Data primer diperoleh melalui kuesioner dan wawancara dengan

responden yang telah ditentukan dengan menggunakan daftar pertanyaan yang

telah disiapkan sebelumnya.

Pengambilan sampel dilakukan secara purposive sampling. Pertimbangan

lainnya dalam pengambilan sampel petani yaitu kebun karet tersebut telah

berproduksi. Jumlah sampel akan diambil secara proposional dengan mengacu

pada ketentuan dari Arikunto (1992:104), yang menyatakan jika jumlah subjeknya

(28)

Mengingat jumlah populasi lebih dari 100 orang, maka peneliti mengambil

sampel sebanyak 10% dari jumlah keseluruhan kepala keluarga yang ada di Desa

Lumban Dolok, sehingga jumlah sampel sebanyak 34 sampel yang diambil

sebagai wakil dari 10 % dari 348 KK.

Data sekunder diperoleh dari Badan Pusat Statistik, Dinas Kehutanan dan

Perkebunan, Kantor Bappeda Kabupaten Mandailing Natal dan Dinas Perkebunan

Provinsi Sumatera Utara dan dinas/instansi terkait lainnya.

Prosedur Analisis Data

Analisis data yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut :

1. Observasi Pola Agroforestry

Mengevaluasi model hutan rakyat perlu diperhatikan adalah :

a) Jenis tanaman

b) Pola tanam

c) Pengelolaan

2. Analisis Kelayakan Finansial

Pengusahaan kebun karet rakyat yang ada di Kabupaten Mandailing Natal

perlu dilakukan analisis finansial untuk mengetahui melihat tingkat kelayakan

finansial pengusahaan kebun karet tersebut. Data didapatkan dengan melakukan

wawancara dan penyebaran kuisoner dengan petani di Desa Lumban Dolok yang

menjadi lokasi penelitian ditentukan secara sengaja dengan kriteria : desa yang

penduduknya dominan mengusahakan tanaman karet, dan tanaman karet yang

diusahakan telah berproduksi. Desa tersebut digunakan sebagai lokasi

pengambilan data untuk analisis ini. Pemilihan petani dilakukan secara purposive

(29)

Tingkat kelayakan finansial dapat digunakan beberapa kriteria

(alat analisis) untuk mengetahuinya, yaitu:

a) Net Present Value (NPV),

b) Net Benefit Cost Ratio (Net BCR),

c) Internal Rate of Return (IRR).

Net Present Value (NPV)

Perhitungan NPV dalam suatu penilaian investasi merupakan cara yang

praktis untuk mengetahui apakah proyek menguntungkan atau tidak. Net Present

Value adalah selisih antara Present Value dari arus Benefit dikurangi Present

Value dari arus Cost (Soekartawi, 1996).

Proyek yang memberikan keuntungan adalah proyek yang memberikan

nilai positif atau NPV lebih besar dari nol , artinya manfaat yang diterima proyek

lebih besar dari semua biaya total yang dikeluarkan. Jika NPV sama dengan nol,

berarti manfaat yang diperoleh hanya cukup untuk menutupi biaya total yang

dikeluarkan (keadaan BEP atau TC= TB). Apabila NPV lebih kecil dari nol,

berarti rugi, biaya total yang dikeluarkan lebih besar dari manfaat yang diperoleh.

Secara matematis NPV dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :

Io

r = tingkat keuntungan disyaratkan

CF = Cash flow

(30)

n = Periode investasi

Net Benefit Cost Ratio (Net BCR)

Net Benefit Cost Ratio adalah penilaian yang dilakukan untuk melihat

tingkat efisiensi penggunaan biaya berupa perbandingan jumlah nilai bersih

sekarang yang positif dengan jumlah nilai bersih sekarang yang negatif

(Soekartawi, 1996). Suatu proyek layak dan efisien untuk dilaksanakan jika nilai

Net B/C lebih besar dari satu, yang berarti manfaat yang diperoleh lebih besar dari

biaya yang dikeluarkan dan berlaku sebaliknya. Secara matematis Net BCR dapat

dihitung dengan rumus :

t = jangka waktu proyek/usahatani

n = umur proyek/usahatani

Net B/C > 1 (satu) berarti proyek (usaha) layak dikerjakan

Net B/C < 1 (satu) berarti proyek tidak layak dikerjakan

Net B/C = 1 (satu) berarti cash in flows = cash out flows (BEP) atau TR=TC

Internal Rate of Return (IRR)

Analisis Internal Rate of Return digunakan untuk mengetahui sejauh mana

(31)

persen (%) yang merupakan tolok ukur dari keberhasilan proyek (Soekartawi,

1996). Penggunaan investasi akan layak jika diperoleh IRR yang persentasenya

lebih besar dari tingkat suku bunga bank yang ditentukan, karena proyek berada

dalam keadaan yang menguntungkan. Demikian juga sebaliknya, jika IRR lebih

kecil dari tingkat suku bunga bank yang ditentukan, berarti proyek merugi dan

tidak layak untuk dilaksanakan.

i1 = tingkat discount rate yang menghasilkan NPV1

i2 = tingkat discount rate yang menghasilkan NPV2

Kelayakan usaha ditentukan dengan mempertimbangkan ketiga alat

analisis tersebut dimana usaha tersebut layak apabila:

1. Net Present Value lebih besar dari angka nol, artinya manfaat yang

diterima proyek lebih besar dari semua biaya total yang dikeluarkan.

2. Net B/C lebih besar dari angka satu, yang berarti manfaat yang diperoleh

lebih besar dari biaya yang dikeluarkan.

3. Internal Rate of Return yang persentasenya lebih besar dari tingkat suku

(32)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Daerah Penelitian

Desa Lumban Dolok merupakan sebuah desa yang terletak di Kecamatan

Siabu, Kabupaten Mandailing Natal. Desa ini memiliki luas wilayah sebesar

672.000 Ha dan Ditempati sebanyak 348 kepala keluarga. Desa Lumban Dolok

memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut:

1. Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Huraba

2. Sebelah Timur berbatasan dengan Kota Sibuhuan Kab. Padang Lawas

3. Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Tangga Bosi

4. Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Aek Mual.

Karakteristik Responden

Karakteristik responden merupakan salah satu unsur yang secara tidak

langsung dapat mempengaruhi tingkat kelayakan finansial dalam sistem

agroforestry. Karakteristik responden yang dianalisis berdasarkan kriteria Badan

Pusat Stastistik. Karakteristik responden dalam penelitian ini antara lain : umur,

pekerjaan, jumlah anggota keluarga, dan pendidikan. Hasil rekapitulasi kuesioner

responden menurut karakteristik umur dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Rekapitulasi karakteristik responden menurut karakteristik umur

(33)

1. 20 – 30 3 8,82

2. 31 – 40 19 55,88

3. 41 – 50 7 20,59

4. > 50 5 14,71

Jumlah 34 100

Umur merupakan salah satu faktor penting dalam menunjang suatu

kegiatan produksi. Semakin tua umur, maka akan mempengaruhi dalam proses

berjalannya kegiatan seperti semakin lambat dalam bekerja. Namun disisi lain,

semakin tua umur maka pengalaman yang dihasilkan juga semakin banyak.

Berdasarkan hasil wawancara di lapangan, responden dalam penelitian ini

berjumlah 34 orang. Terdapat pada usia produktif yaitu 20 – 50 tahun yaitu

berjumlah 29 orang dengan jumlah proporsi adalah sebesar 85,29 %. Sementara

itu, ada responden yang berusia diatas 50 tahun sebanyak 5 orang dengan proporsi

sebesar 14,71 %. Menurut Mantra (2004), bahwa tenaga kerja yang merupakan

penduduk yang dalam usia produktif yaitu 15 – 64 tahun. Berdasarkan data usia

responden umumnya berada pada usia produktif, sehingga mempunyai

kemampuan yang lebih baik dalam berpikir dan bertindak untuk merencanakan

suatu kegiatan. Umur menunjukkan kemampuan fisik, pada umur tertentu

seseorang pejerja mencapai titik optimal, kemudian dengan penurunan umur maka

kemampuan fisik seseorang akan menurun.

Pekerjaaan utama responden pada umumnya adalah bertani

(38,24%). Selain itu, responden juga sebagai PNS (20,59%), Berkebun (20,59%),

Wiraswasta (17,65%), Pensiunan PNS (2,94%). Rekapitulasi karakteristik

responden menurut jenis pekerjaan dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Rekapitulasi karakteristik responden menurut jenis pekerjaan

(34)

1. Petani 13 38,24

Sebagian besar responden memiliki jumlah anggota keluarga rata - rata 1-3

orang. Rekapitulasi karakteristik responden berdasarkan anggota keluarga dapat

dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Rekapitulasi karakteristik responden menurut jumlah anggota keluarga No. Jumlah Anggota Keluarga ( Orang ) Frekuensi

(orang) Proporsi (%)

1. 1 – 3 25 73,53

2. 4 – 6 9 26,47

3. 6 > - -

Jumlah 34 100

Tingkat pendidikan dari masing-masing responden juga berbeda. Tingkat

pendidikan responden didominasi pada tingkat SMA dengan jumlah proporsi

adalah sebesar 41,18 %, diikuti dengan tingkat SMP sebesar 2,53 %, tingkat SD

sebesar 17,65 % dan tingkat Sarjana sebesar 17,65 %. Tingkat pendidikan juga

berpengaruh pada faktor produksi. Semakin tinggi tingkat pendidikan, maka

semakin baik dalam memecahkan masalah ataupun pengambilan keputusan yang

berkaitan dengan usaha yang dikelola. Dalam penelitian ini, Responden berada

pada tingkat pendidikan yang cukup baik dan masih dalam usia yang produktif.

Menurut Djamali (2000), tingkat pendidikan sejalan dengan tingkat produktivitas

dan efisiensi kerja. Rekapitulasi karakteristik responden berdasarkan Tingkat

Pendidikan dapat dilihat pada Tabel 4.

(35)

No. Tingkat Pendidikan Frekuensi (orang) Proporsi (%)

1. SD 6 17,65

2. SMP 8 23,53

3. SMA 14 41,18

4. Sarjana 6 17,65

Jumlah 34 100

Luas lahan yang diusahakan oleh responden untuk menanam karet dalam

sistem agroforestry merupakan lahan milik sendiri yang didapatkan dari warisan

keluarga maupun jual beli tanah. Rekapitulasi karakteristik responden berdasarkan

Luas lahan dan statuts kepemilikan lahan dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Rekapitulasi karakteristik responden berdasarkan luas lahan dan status kepemilikan lahan

No. Luas lahan Frekuensi (orang) Proporsi (%) Status Lahan

1. 1 – 2 Ha 10 29,41 Milik sendiri

2. 3 Ha 19 53,88 Milik sendiri

3. 3 Ha > 5 14,71 Milik sendiri

Jumlah 34 100 -

Pola Agroforestry yang diterapkan responden di Desa Lumban Dolok

Kecamatan Siabu adalah Agrisilvikultur. Menurut Sarjodno et al. (2003),

Agrisilvikultur yaitu sistem agroforestry yang mengkombinasikan komponen

kehutanan (tanaman berkayu atau woody plants) dengan komponen pertanian

(tanaman non kayu). Tanaman berkayu dimaksudkan yang berdaur panjang

(tree crops) dan tananaman non kayu dari jenis tanaman semusim (annual crops).

Jenis tanaman yang ada di lahan agroforestry dapat dibedakan menjadi dua

bagian, yaitu tanaman musiman (annual crops) dan tanaman tahunan

(parenial crops).

(36)

a. Pola Kombinasi Tanaman Karet

Pola kombinasi karet dalam agroforestry di Desa Lumban Dolok

Kecamatan Siabu hanya terdapat 2 pola yakni :

1. Pola pertama, kombinasi antara karet dan tanaman tahunan

2. Pola kedua, kombinasi antara karet dan tanaman musiman.

Gambar 1. Kombinasi antara karet dan tanaman padi

Gambar 2. Kombinasi antara karet dan coklat

Pola Kombinasi pertama yakni tanaman karet dengan tanaman padi

(37)

maka perlu dibuat pergiliran tanaman musiman yang dikombinasikan dengan

tanaman kehutanan. menurut Suryanto et al (2005) tanaman kehutanan dan

pertanian sistem agroforestri harus memperhatikan ketersediaan hara dalam tanah

terutama dari segi pemilihan jenis tanaman pertanian dan pola tanamnya.

Pola pertama responden menanam karet dengan tanaman musiman. Dalam

letak tata ruang disebut juga kombinasi tidak merata (Sardjono et al. 2003) yaitu

karet ditanam secara jalur di pinggir atau mengelilingi lahan pertanian, hal ini

karena waktu persiapan lahan untuk menanam karet dan tanaman musiman

berbeda, selain itu interaksi antara karet dan tanaman musiman dalam

memperoleh cahaya, air, hara, dan tata ruang hidup tidak mengakibatkan

kurangnya panen salah satu komoditi. Kombinasi menurut dimensi waktu,

kombinasi ini merupakan kombinasi intermittent. Nair (1993) dalam

Sardjono et al. (2003) mengatakan bahwa kombinasi intermittent merupakan

kombinasi berkala selama jangka waktu budidaya jenis /komponen agroforestry.

Responden melakukan penanaman tanaman semusim yang berbeda sesuai

kebutuhan ekonomi petani. Dalam pola ini responden dapat menanam karet

40 – 50 % dari luas lahan yang tersedia.

Pola kombinasi pertama ini diharapkan bermanfaat selain untuk mencegah

perluasan tanah terdegradasi, melestarikan sumberdaya hutan, meningkatkan mutu

pertanian serta menyempurnakan intensifikasi dan diversifikasi silvikultur. Selain

itu, pola kombinasi pertama ini dapat mengoptimalkan interaksi positif antara

kedua tanaman tersebut yang meliputi :

1. Produktivitas (Productivity): Dari hasil penelitian dibuktikan bahwa

(38)

dibandingkan pada monokultur (penanaman satu jenis). Adanya tanaman

campuran memberikan keuntungan, karena kegagalan satu komponen/jenis

tanaman akan dapat ditutup oleh keberhasilan komponen/jenis tanaman

lainnya.

2. Diversitas (Diversity): Adanya pengkombinasian dua komponen atau lebih

daripada sistem agroforestri menghasilkan diversitas (keragaman) yang

tinggi, baik menyangkut produk maupun jasa. Dengan demikian dari segi

ekonomi dapat mengurangi risiko kerugian akibat fluktuasi harga pasar.

Sedangkan dari segi ekologi dapat menghindarkan kegagalan fatal

pemanen sebagaimana dapat terjadi pada penanaman satu jenis

(39)

Gambar 3. Pola Kombinasi Pertama

Keterangan gambar :

= Tanaman Karet = Tanaman musiman (padi)

Pola kedua responden menanam tanaman karet dengan tanaman tahunan.

Menurut Sardjono et al. (2003) bahwa pengkombinasian berbagai komponen

dalam sistem agroforestry dapat menghasilkan berbagai reaksi, yaitu persaingan,

melengkapi, dan ketergantungan. Reaksi saling melengkapi yang diperoleh dari

pola kedua ini adalah reaksi secara kuantitatif yakni memperoleh berbagai produk

dari satu lahan secara bergantian dalam jangka waktu tahunan.

Gambar 4. Pola kombinasi kedua

Keterangan gambar : = tanaman Karet

= Tanaman Tahunan (coklat)

Secara tata waktu kombinasi ini dapat dikatakan kombinasi coincident.

Nair (1993) dalam Sardjono et al. (2003) mengatakan coincident merupakan

(40)

Kombinasi ini merupakan komponen merata dimana karet ditanam secara teratur

dengan tanaman tahunan karena penanaman yang disengaja. Penyebaran karet

dalam pola ini adalah penyebaran secara vertikal dimana karet dan tanaman

tahunan tersebar pada sebidang lahan dengan sistematis, kombinasi seperti ini

dapat membentuk agroforestry yang modern dan berskala komersil. Pola kedua

ini, karet memperoleh komposisi dalam lahan 50 – 60 % dari jumlah lahan yang

tersedia.

Sistem agroforestry terdapat interaksi ekologis dan ekonomis antara

komponen-komponen yang berbeda. Agroforestry ditujukan untuk

memaksimalkan penggunaan energi matahari, meminimalkan hilangnya

meminimalkan run off serta

manfaat yang dapat diberikan oleh tumbuhan berkayu tahunan (perennial) setara

dengan tanaman pertanian konvensional dan juga memaksimalkan keuntungan

keseluruhan yang dihasilkan dari lahan sekaligus mengkonservasi dan

menjaganya.Menurut Young dalam Suprayogo et al (2003) ada empat keuntungan

terhadap

1. Memperbaiki kesuburan tanah

2. Menekan terjadinya erosi

3. Mencegah perkembangan hama dan penyakit

4. Menekan populasi gulma.

Pemilihan tanaman karet oleh pemilik hutan rakyat dalam sistem

agroforestry adalah tanaman karet memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi dan

(41)

kehidupan sehari-hari oleh hasil getah karet yang akan diproduksi setelah tanaman

karet berumur 5 tahun. Selain produksi getah karet, setelah tanaman karet tidak

produktif lagi diharapkan hasil dari kayu karet yang tetap dapat dijual oleh

pemilik.

Pengelolaan hutan rakyat karet dengan sistem agroforestry dengan

tanaman kombinasi kegiatan budidayanya terdiri dari persiapan lahan, persiapan

bibit, penanaman, pemeliharaan, pengendalian hama dan penyakit dan

pemanenan. Persiapan lahan untuk budidaya karet dibagi dua yaitu penanaman

(newplanting) baru dan (replanting) peremajaan (Damanik dkk, 2010). Kegiatan

persiapan lahan dimulai dengan penebangan tanaman karet yang sudah tidak lagi

produktif. Persiapan lahan hutan rakyat karet dengan dengan sistem agroforestry

dilakukan dengan replanting yaitu penanaman ulang di areal hutan rakyat dengan

tanaman karet karena tanaman lama sudah tidak produktif lagi.

Persiapan bibit karet yang berasal dari biji, disemaikan terlebih dahulu,

yakni dengan merendam selama 3-4 hari. Tempat persemaian dapat langsung

berada di dalam hutan di bawah naungan pohon ataupun diladang-ladang yang

baru dibuka. Tanah pada tempat persemaian digemburkan terlebih dahulu dan

diberi pelindung dari daun-daun kering. Biji-biji tersebut akan terlihat mulali

berkecambah pada 10-14 hari. Penyiraman harus dilakukan tiap hari agar bibit

tidak kekeringan. Setelah kir-kira 3-4 bulan bibit karet tersebut baru siap ditanam

di lapangan. Selain dari biji, para petani tradisional di Desa Lumban Dolok juga

membuat bibit-bibit karet dari cabutan alam/liar. Cabutan liar karet tersebut

berasal dari anakan karet umur kurang dari satu tahun dan dipilih yang

(42)

atau lumpur selama 2-3 hari sampai terlihat pucuk mata tunas yang akan tumbuh.

Selama perendaman tersebut, cabutan harus selalu terlindung dari panas matahari.

Sebagian petani langsung dapat langsung menanam cabutan liar tersebut di

lapangan tanpa merendamnya terlebih dahulu jika cuaca memungkinkan, yaitu

pada saat mendung atau pada sore hari.

Kegiatan penanaman tanaman karet dalam hutan rakyat dengan sistem

agroforestry dimulai dengan penentuan jarak tanam yaitu 3,5 m x 2,5 m. Menurut

Damanik dkk 2010, untuk tanaman karet jarak tanam optimal tersebut adalah

3 x 7 m jika ditanam secara monokultur. Namun sebagian ada juga yang telah

memperlihatkan jarak tanam pada penanaman kebun karet mereka. Jarak tanam

ini bervariasi tergantung kebiasaan dan kesenangan mereka. Menurut Dijkman

(1951) dalam Setyamidjaja (1991) menyatakan bahwa beberapa akibat dari jarak

tanam yang sempit, diantaranya adalah kerusakan tajuk oleh angin akan lebih

besar, kematian pohon karena serangan penyakit akan lebih tinggi, dan

tercapainya lilit batang matang sadap akan lebih lambat.

Penanaman padi dengan karet pada pola kombinasi pertama, umumnya

dilakukan pada masa awal tanam karet. Jarak tanam dalam budidaya tanaman apa

pun harus mendapatkan perhatian memadai agar produktivitasnya optimal.

Penanaman tanaman padi dilakukan terlebih dahulu, serempak di sela-sela

tanaman karet yang umumnya ditanam dengan jarak tanam 3x3 m, 4x4 m ataupun

5x3 m. Saat umur 4-6 bulan padi dapat dipanen. Begitu seterusnya sampai karet

umur karet sampai bisa disadap sehingga umumnya petani dapat menanam padi

(43)

pola kombinasi kedua dilakukan setelah umur karet dua tahun, yang mana tajuk

karet akan cenderung melebar dan menaungi tanaman di bawahnya.

Penanaman karet di lapangan dilakukan pada musim penghujan, sekitar

bulan Oktober sampai dengan Maret atau setelah tanah hasil tebas dan bakar

tersebut sudah mulai dingin. Hal ini ditandai dengan mulai tumbuhnya

rerumputan dan atau tanaman lain pada bidang bekas pembakaran. Pembuatan

lubang penanaman dilakukan dengan sederhana dengan alat tugal atau tembilang.

Tugal adalah sepotong kayu yang pada bagian ujungnya diruncingkan agar

memudahkan pembuatan lubang tanam. Setelah bibit ditanam, tanah di sekitarnya

dipadatkan agar bibit karet tidak mudah roboh, kemudian diberi ajir.

Pemeliharaan hutan rakyat karet dengan sistem agroforestry mulai dari

penanaman hingga masa produksi meliputi penyiangan dan pemupukan.

Penyiangan hutan rakyat agroforestry dengan tanaman karet bertujuan untuk

membebaskan tanaman dari gangguan gulma yang tumbuh di lahan agar tidak

terjadi persaingan dalam menyerap unsur hara di dalam tanah. Pemupukan pada

areal hutan rakyat dengan sistem agroforestry adalah untuk memacu pertumbuhan

tanaman muda, mempercepat matang sadap, menjaga ketersediaan getah karet

sehingga panen getah karet dapat dilakukan secepatnya dan diharapkan dengan

produksi getah karet yang tinggi. Kegiatan pemupukan dilakukan secara manual

yaitu lubang dengan jarak disesuaikan dengan umur tanaman dan dilakukan

umunya dengan jarak 15-50 cm dan kedalaman 15 cm, kemudian pupuk

ditaburkan ke dalamnya dan ditutup dengan tanah..

Penyakit yang sering menyerang tanaman karet adalah tidak keluarnya

(44)

pestisida. Menurut Damanik dkk (2010), gejala tersebut dinamakan penyakit

brown blast, penyakit brown blast bukan disebabkan oleh infeksi mikroorganisme,

melainkan karena penyadapan yang terlalu sering. Penyakit ini juga sering

menyerang tanaman yang terlalu subur, berasal dari biji, dan tanaman yang sedang

membentuk daun baru. Hama sering yang menyerang tanaman padi di Desa

Lumban dolok adalah hama wereng dan hama tikus. Dampak akibat serangan

hama pada padi dapat menurunkan tingkat produktivitas padi ataupun gagal

panen. Hama dan penyakit yang sering menyerang tanaman ini adalah penggerek

batang dan busuk buah.

Kegiatan terakhir adalah pemanenan, meliputi penyadapan getah

dilakukan setelah usia tanaman karet berumur 5 tahun dengan frekuensi

penyadapan 8 kali dalam sebulan. Sistem pemanenan kayu karet setelah tanaman

karet tidak lagi produktif adalah dilakukan dengan sistem borong.

Pola kombinasi tanaman karet dengan tanaman padi dan dengan tanaman

coklat bertujuan meningkatkan kemandirian petani dalam bercocok tanam dengan

mengoptimalkan lahan yang dimiliki. Dalam praktek kedua pola kombinasi

tersebut di Desa Lumban Dolok, sistem agroforestry dapat menggantikan fungsi

ekosistem hutan sebagai pengatur siklus hara dan pengaruh positif terhadap

lingkungan lainnya, dan di sisi lain dapat memberikan keluaran hasil yang

diberikan dalam sistem pertanian tanaman semusim

b. Kontribusi Pendapatan agroforestry Karet Terhadap Pendapatan Rumah

Tangga di Desa Lumban Dolok

Pada masa penanaman dengan pola kombinasi pertama dan kedua, petani

(45)

coklat. Sedangkan untuk pola monokultur, petani harus menunggu hasil panen

sehingga belum dapat menerima pendapatan dan masih mengeluarkan biaya untuk

pemeliharaannya. Besar kecilnya pendapatan dari agroforestry karet ini antara

lain tergantung dari: luas kebun, jumlah karet yang disadap, frekuensi

penyadapan, pemasaran, serta harga karet yang berlaku. Hasil perhitungan

rata-rata pendapatan petani dari kebun agroforestry karet dengan pola kombinasi

pertama sebesar Rp. 24.245.200 Ha/tahun, pola kombinasi kedua sebesar

Rp. 39.053.320 Ha/tahun, dan pola monokultur sebesar Rp. 24.775.640 Ha/tahun.

Pendapatan dari usaha karet sistem agroforestry sebagai model hutan

rakyat sangat besar dibanding usaha karet monokultur. Jika karet ditanam dengan

tanaman semusim kurang memberi kontribusi terhadap pendapatan rumah tangga.

Hal ini dikarenakan tanaman semusim yang ditanam dikonsumsi sendiri dan harga

jualnya rendah sehingga pendapatan yang masuk berkurang. Pendapatan rumah

tangga yang mengusahakan karet dengan sistem agroforestry sebagai model hutan

rakyat apabila komponen tanaman tahunan ditanam dengan karet akan

memberikan kontribusi yang sangat besar.

Tabel 6. Rata-rata pendapatan dari karet dalam sistem agroforestry di Desa Lumban Dolok Pola Pertama 24.245.200 22.650.000 46.895.200 Pola Kedua 39.053.320 25.133.333 64.186.653 Pola Monokultur 24.775.640 22.071.429 46.847.069

Panen hasil karet bukan hanya getah saja tetapi kayunya juga. Pada umur

(46)

peremajaan dengan menebang karet yang ada dan melakukan penanaman kembali

pada lahan tersebut. Kayu karet memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Biasanya

masyarakat menjual kayunya kepada pemilik panglong dengan sistem borongan

dengan harga rata-rata Rp. 12.500.000/ha dan itu tergantung keadaan kemiringan

lahan serta lokasinya. ini merupakan pendapatan yang cukup baik dikala karet

tidak menghasilkan getah sehingga pendapatan ini dapat membantu mengurangi

pembiayaan dalam penanaman karet kembali.

Analisis Finansial Karet dalam Sistem Agroforestry

Tujuan didirikannya suatu usaha yaitu untuk mendapatkan keuntungan dan

manfaat. Besar kecilnya keuntungan yang diperoleh tergantung dari produksi yang

dihasilkan. Sehingga dalam suatu perencanaan melakukan usaha harus selalu

memperhitungkan apakah usaha tersebut mendatangkan keuntungan atau tidak.

Untuk mengetahui kelayakan suatu usaha tersebut maka dilakukan analisis

finansial. Analisis finansial karet sistem agroforestry dalam 2 pola kombinasi

mampu memberikan prospek finansial yang cukup baik yang dinilai dari kriteria

finansial yakni NPV, BCR, dan IRR pada tingkat suku bunga yang berlaku yaitu

12.1 (Suku bunga yang berlaku per tanggal 31 Juli 2013).

Tabel 7. Nilai NPV, BCR, dan IRR Karet dalam sistem agroforestry di Desa Lumban Dolok

Pola Kombinasi NPV (Rp/Ha) BCR IRR ( % )

Pola Pertama 109.806.532,95 2 21,1

Pola Kedua 192.325.332,78 3,07 29,9

Pola Monokultur 105.288.559,77 2,48 23,3

Berdasarkan tabel rekapitulasi dapat dinyatakan bahwa pengusahaan karet

(47)

agroforestry ternyata mampu memberikan prospek finansial yang layak dengan

acuan parameter NPV, BCR, dan IRR. Nilai NPV yang paling tinggi adalah pola

kombinasi kedua yaitu Rp. 192.325.332,78/Ha kemudian nilai NPV sebesar

Rp. 109.806.532,95/Ha diperoleh dengan menanam karet secara pola pertama. Dan dibandingkan dengan menanam karet pola monokultur hanya menghasilkan nilai

NPV sebesar Rp. 105.288.559,77 /Ha. Nilai ini merupakan nilai selisih antara

nilai PV manfaat kotor dengan PV biaya kotor. Dengan demikian agroforestry

karet dengan pola yang kedua yakni antara tanaman karet dengan tanaman coklat

(tahunan) merupakan pilihan yang paling optimal untuk mengembangkan karet

dalam sistem agroforestry.

Nilai BCR sebesar 3,07 untuk pola yang kedua artinya manfaat ekonomi

investasinya adalah 3,07 kali lebih besar daripada biaya total pada tingkat suku

bunga 12,1 %. Tiap 1 rupiah yang diinvestasikan akan memberi hasil sebesar

Rp. 3,07 , demikian juga untuk pola pertama dan pola monokultur. Pola

kombinasi yang pertama, kedua, dan pola monokultur menghasilkan BCR > 1,

namun pola kedua menghasilkan BCR yang paling besar maka pengusahaan karet

rakyat dalam sistem agroforestry pada pola ini yang paling optimal diusahakan

bila dibandingkan dengan BCR pola pertama 2 dan pola monokultur 2,48.

Nilai IRR menunjukkan tingkat suku bunga ( discount rate ) maksimum

yang dapat dibayarkan oleh suatu usaha atau dengan kata lain merupakan

kemampuan memperoleh pendapatan dari uang yang diinvestasikan. Untuk

mendapatkan nilai IRR diperoleh dengan metode coba-coba sampai diperoleh

discount rate yang memberikan nilai mendekati nol. Berdasarkan tabel 6 diketahui

(48)

pola pertama 22,1 % dan karet yang ditanam secara monokultur 24,3 %.

Pengusahaan karet dengan sistem agroforestry di Desa Lumban Dolok layak

karena nilai IRR dari pola pertama dan pola kedua yang diperoleh lebih besar dari

tingkat suku bunga yang berlaku yaitu 12,1 %. Sedangkan pola monokultur

kurang layak karena nilai IRR yang diperoleh lebih kecil dari tingkat suku bunga

yang berlaku.

Pola kombinasi yang kedua yakni antara tanaman karet dengan tanaman

coklat (tahunan) di Desa Lumban Dolok menghasilkan nilai NPV, BCR, dan IRR

yang lebih tinggi dibandingkan pola lainnya. Hal ini dapat terjadi karena pola

yang kedua ini jumlah tanaman yang ditanam lebih banyak dan memanfaatkan

lahan yang ada. Pangihutan (2003) menyatakan bahwa pola tanam hutan rakyat

sangat menentukan dalam peningkatan pendapatan bagi petani pemilik lahannya.

Pola tanam monokultur akan berhasil jika dilakukan secara kemitraan dengan

perusahaan industri yang memerlukan bahan baku kayu. Sedangkan pola tanam

campuran, terutama campuran dengan sistem agroforestry/wanatani manfaatnya

ganda, disamping meningkatkan pendapatan petani lewat panen harian, mingguan,

bulanan dan tahunan juga menjaga kelestarian lingkungan (ekologi) karena pola

ini berorientasi pada optimalisasi pemanfaatan lahan secara rasional baik dari

aspek ekologi, ekonomi, maupun aspek sosial budaya, sehingga diharapkan

tercapai kelestarian; lestari lingkungan, lestari hasil dan lestari pendapatan.

Perawatan yang intensif dan kombinasi tanaman yang optimal mampu

menghasilkan interaksi positif antara tanaman karet dengan kombinasinya.

Menurut Andayani (2005) adanya variasi tingkat keuntungan yang diperoleh

(49)

teknis dan non teknis. Faktor teknis yang menyebabkan variasi tingkat

keuntungan petani adalah jenis komoditi yang dikombinasikan dan tingkat

kesuburan tanah. Sedangkan faktor non teknis yang dapat menyebabkan variasi

tingkat keuntungan yang diperoleh petani adalah tingkat perencanaan dari petani,

tingkat pendidikan petani, peranan dari instansi terkait, tingkat pengetahuan dan

informasi yang dimiliki petani, faktor-faktor eksternal di luar kemampuan petani

dan kepemilikan lahan.

Walaupun secara analisis finansial usaha ini layak namun ditemukan

kendala di lapangan seperti penurunan harga jual. Hal ini berpengaruh terhadap

pendapatan rumah tangga petani karet dengan sistem agroforestry di Desa

Lumban Dolok. Banyaknya para petani mempunyai keseragaman jenis tanaman

yang ditanam yang berakibat hasil panen karet dan komoditi lainnya melimpah

dan menyebabkan harga jual menjadi menurun. Belum ada upaya yang optimal

untuk menyelesaikan masalah ini baik dari pemerintah maupun dari suku dinas

yang terkait. Untuk meningkatkan pendapatan petani karet dalam sistem

agroforestry, diharapkan pemerintah terjun ke lapangan untuk melihat langsung

masalah yang dihadapi petani baik dalam pengelolaan sampai penjualan hasil

(50)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat diambil dari hasil penelitian yang diperoleh adalah

sebagai berikut :

1. Pola kombinasi karet rakyat dalam sistem agroforestry secara umum yang

diterapkan di Desa Lumban Dolok dengan dua pola kombinasi yakni karet

dengan tanaman semusim berupa padi dan karet dengan tanaman tahunan

berupa coklat.

2. Pola budidaya karet rakyat dalam sistem agroforestry yang diterapkan di

Desa Lumban Dolok memberikan kontribusi pendapatan dengan pola

kombinasi pertama sebesar Rp. 24.245.200 Ha/tahun, pola kombinasi

kedua sebesar Rp. 39.053.320 Ha/tahun, dan pola monokultur sebesar

Rp. 24.775.640 Ha/tahun.

3. Potensi tanaman karet sebagai model hutan rakyat dengan sistem

agroforestry sangat baik dikembangkan dengan pola kombinasi antara

karet dengan tanaman musiman berupa padi dan karet dengan tanaman

tahunan berupa coklat, karena berdasarkan kriteria investasi NPV, BCR,

dan IRR layak secara finansial dan bila ditinjau dari sisi ekonomi pola

kombinasi kedua yakni antara karet dengan tanaman tahunan berupa coklat

(51)

kriteria finansial berupa NPV sebesar Rp. 192.325.332,78 ha, BCR 3,07,

dan IRR 29,9 %.

Saran

Berdasarkan kesimpulan yang telah dikemukakan di atas, maka perlu di

sarankan :

1. Untuk mengembangkan agroforestry karet sebagai model hutan rakyat ini

perlu diadakan program kerja oleh pemerintah, karena dapat meningkatkan

pendapatan dan perekonomian lokal.

2. Pola kombinasi antara karet dengan tanaman tahunan berupa coklat sangat

cocok diterapkan bagi petani dalam menanam karet dengan sistem

agroforestry sebagai model hutan rakyat.

3. Dalam pengembangan karet dengan sistem agrofresty diperlukan

pemilihan jenis tanaman kombinasi baik tanaman tahunan maupun

tanaman musiman yang memiliki nilai jual hasil panen yang tinggi

sehingga prospek kedepannya lebih menguntungkan.

4. Perlu diadakan penelitian lebih lanjut dalam menentukan kondisi tempat

tumbuh karet dengan pola kombinasi tanaman tahunan sehingga hasil

Gambar

Tabel 2. Rekapitulasi karakteristik responden menurut jenis pekerjaan
Tabel 3. Rekapitulasi karakteristik responden menurut jumlah anggota keluarga
Tabel 5. Rekapitulasi karakteristik responden berdasarkan luas lahan dan status   kepemilikan lahan
Gambar 1. Kombinasi antara karet dan tanaman padi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa gambaran histopatologi hati mencit normal setelah pemberian ekstrak teripang pasir dengan konsentrasi 5% pasca

Berdasarkan uraian yang telah dilakukan mulai dari awal sampai dengan akhir, penulis memberikan kesimpulan kajian bahwa Peran Kiai desa dalam menintegrasikan fiqih,

Dari sekian banyak kota di Indonesia, Kota Bandung merupakan salah satu kota yang sudah dapat men-cover kebutuhan stok darah hariannya Namun dari hasil wawancara

Menyampaikan hasil pengamatan dan percobaan pelbagai jenis operasi string dan konversi data pada program 3.8. Memahami konsep

Peran Wanita Pekerja Dalam Peningkatan Pendapatan Rumah Tangga Sayogyo dan Pudjiwati (1999) mengatakan bahwa tujuan peningkatan kesejahteraan tidak dapat dilepaskan dan

Harapan hasil dari penelitian ini adalah dapat memberikan sumbangan dan masukan bagi pihak sekolah, utamanya guru BK sebagai landasan pengambilan keputusan

Sunan Muria adalah putra Sunan Kalijogo dengan Dewi Saroh (adik kandung Sunan Giri). Nama kecilnya adalah Raden Prawoto. Gaya berdakwahnya banyak mengambil cara ayahnya,

d. Diperlukan adanya kerjasama dengan LSM-LSM Indonesia untuk ikut lebih aktif dalam mempromosikan HAM. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, 2) mentalitas penegak hukum