• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.2 Saran

Beranjak dari hasil kesimpulan, maka peneliti memberikan saran mengenai gambaran perilaku dan interaksi para pemain game online DotA, sebagai berikut :

1. Perlu adanya pengawasan dan perhatian dari pihak-pihak terkait baik yang bersinggungan langsung maupun tidak langsung terutama para orang tua agar para pemain DotA tetap seimbangkehidupanbermasyarakat. Dalam perkembangan dunia globalisasi seperti sekarang ini dimana proses komunikasi terjadi melalui pertukaran pesan yang akan dijadikan pengetahuan bagi para pemain sehingga sangat penting dalam membentuk perilaku yang akan dilakukan oleh pemain tersebut, banyak bentuk media saat ini yang berfungsi sebagai penyampai informasi termasuk game online DotA, dimana game adalah media yang sering digunakan oleh para pemain untuk bermain sehingga banyak informasi yang disadari atau tidak diterima oleh para remaja termasuk cara berperilaku dan berinteraksi.

2. Pemain DotA hendaknya memahami arti sebagai seorang individu yang merupakan bagian dari masyarakat luas, dalam hal ini pemain DotA harus juga memahami fungsi sosialnya sebagai seorang mahluk sosial dan lebih memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya, jika bermain game adalah cara untuk mengisi waktu luangmaka harus dilakukan beriringan dengan kegiatan pokok lainnya seperti belajar dan bekerja guna kemajuan bagi nusa bangsa yang lebih baik lagi.

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Paradigma Perilaku Sosial

Pendekatan behaviorisme dalam ilmu sosial sudah dikenal sejak lama, khususnya psikologi.Kebangkitannya di seluruh cabang ilmu sosial di zaman modern, ditemukan dalam karya B.F. Skinner, yang sekaligus pengemuka paradigma ini.Melalui karyanya itu Skinner mencoba menerjemahkan prinsip-prinsip psikologi aliran behaviorisme kedalam sosiologi.Setiap teori, gagasan, dan praktek yang dilakukannya telah memegang peranan penting dalam pengembangan sosiologi behavior.Skinner melihat kedua paradigma fakta sosial dan definisi sosial sebagai perspektif yang bersifat mistik, dalam arti mengandung sesuatu persoalan yang bersifat teka-teki, tidak dapat diterangkan secara rasional.Kritik Skinner ini tertuju kepada masalah yang substansial dari kedua paradigma itu, yakni eksistensi obyek studinya sendiri. Menurut Skinner, kedua paradigma itu membangun obyek studi berupa sesuatu yang bersifat mistik. (Ritzer, 2013: 69)

Dalam bukunya Beyond Freedom and Dignity, Skinner (dalam Ritzer, 2013: 69-70) menyerang langsung paradigma definisi sosial dan secara tak langsung juga terhadap paradigma fakta sosial.Konsep yang didefinisikan oleh paradigma fakta sosial dinilainya mengandung ide yang bersifat tradisional khususnya mengenai nilai-nilai sosial. Menurutnya pengertian kultur yang diciptakan itu tak perlu disertai dengan unsure mistik seperti ide dan nilai sosial itu. Alasannya karena orang tidak dapat melihat secara nyata ide dan nilai-nilai dalam mempelajari masyarakat. Yang jelas terlihat adalah bagimana manusia hidup, memelihara anaknya, cara berpakaian, mengatur kehidupan bersamanya dan sebagainya seperti yang tercermin dalam uraian berikut.

Paradigma perilaku sosial memusatkan perhatiannya kepada antar hubungan antara individu dan lingkungannya.

Lingkungan itu terdiri atas:

a) Bermacam-macam obyek sosial b) Bermacam-macam obyek non sosial

Prinsip yang menguasai hubungan antara individu dengan obyek sosial adalah sama dengan prinsip yang menguasai hubungan antara individu dengan obyek non sosial. Penganut paradigma ini memusatkan perhatian kepada proses interaksi. Tetapi secara konseptual berbeda dengan paradigma definisi sosial.Bagi paradigma definisi sosial, aktor adalah

dinamis dan mempunyai kekuatan kreatif di dalam interaksi.Aktor tidak hanya sekedar penanggap pasif terhadap stimulus tetapi menginterpretasikan stimulus yang diterimanya menurut caranya mendefinisikan stimulus yang diterimanya itu.Bagi paradigma perilaku sosial individu kurang sekali memiliki kebebasan.

Perbedaan pandangan antara paradigma perilaku sosial ini dengan paradigma fakta sosial terletak pada sumber pengendalian tingkah laku individu.Bagi paradigma fakta sosial, strutur makroskopik dan pranata-pranata yang mempengaruhi atau yang mengendalikan tingkah laku inidividu, bagi paradigma perilaku sosial persoalannya lalu bergeser.Sampai seberapa jauh faktor struktur hubungan individu dan terhadap kemungkinan perulangan kembali persoalan ini yang dicoba di jawab oleh teori-teori paradigma prilaku sosial.

Ada dua teori yang termasuk ke dalam paradigma perilaku sosial, sebagai berikut : 1) Teori Behavioral Sosiologi

Menurut Skinner (dalam Ritzer, 2013: 73) Teori ini dibangun dalam rangka menerapkan prinsip psikologi perilaku kedalam sosiologi.Teori ini memusatkan perhatiannya kepada hubungan antara akibat dari tingkah laku yang terjadi di dalam lingkungan aktor dengan tingkah laku aktor.Konsep dasar behavioral sosiologi yang menjadi pemahamannya adalah “reinforcement” yang dapat diartikan sebagai ganjaran (reward) tidak ada sesuatu yang melekat dalam obyek yang dapat menimbulkan ganjaran.Perulangan tingkahlaku tidak dapat dirumuskan terlepas dari efeknya terhadap perilaku itu sendiri.Perulangan dirumuskan dalam pengertiannya terhadap aktor.

2) Teori Exchange

Tokoh utamanya adalah George Hofman (dalam Ritzer, 2013: 74-80).Teori ini dibangun dengan maksud sebagai reaksi terhadap paradigma fakta sosial.

Keseluruhan materi teori exchange itu secara garis besarnya dapat dikembalikan kepada lima proposisi George Hofman berikut:

a. Jika tingkah laku atau kejadian yang sudah lewat dalam konteks stimulus dan situasi tertentu memperoleh ganjaran, maka besar kemungkinan tingkah laku atau kejadian yang mempunyai hubungan stimulus dan situasi yang sama akan terjadi atau dilakukan. Proposisi ini menyangkut hubungan antara apa yang terjadi pada waktu silam dengan yang terjadi pada waktu sekarang.

b. Menyangkut frekuensi ganjaran yang diterima atas tanggapan atau tingkah laku tertentu dan kemungkinan terjadinya peristiwa yang sama pada waktu sekarang.

c. Memberikan arti atau nilai kepada tingkah laku yang diarahkan oleh orang lain terhadap aktor. Semakin bernilai bagi seorang sesuatu tingkah laku orang lain yang ditujukan kepadanya makin besar kemungkinan untuk mengulangi tingkah lakunya itu. d. Semakin sering orang menerima ganjaran atas tindakannya dari orang lain, makin

berkurang nilai dari setiap tindakan yang dilakukan berikutnya

e. Semakin dirugikan seseorang dalam hubungannya dengan orang lain, makin besar kemungkinan orang tersebut akan mengembangkan emosi. Misalnya marah.

Paradigma perilaku sosial dapat menggunakan metode yang dipergunakan oleh paradigma yang lain seperti kuesioner, interview dan observasi. Namun demikian paradigma ini tidak banyak mempergunakan metode experiment dalam penelitiannya.Keutamaan metode eksperimen adalah memberikan kemungkinan terhadap peneliti untuk mengontrol dengan ketat obyek dan kondisi disekitarnya.Metode ini memungkinkan pula untuk membuat penilaian atau pengukuran dengan tingkat ketepatan yang tinggi terhadap efek dari perubahan-perubahan tingkah laku aktor yang ditimbulkan dengan sengaja didalam eksperimen itu.

2.2 Tindakan Sosial Max Weber

Tindakan sosial diartikan sebagai tindakan yang mempunyai makna atau arti subyektif bagi dirinya dan diarahkan kepada tindakan orang lain (Ritzer, 2010: 38).Mead memandang tindakan sebagai unit primitif. Dalam menganalisis tindakan, pendekatan Mead hampir sama dengan pendekatan behavioris dan memusatkan perhatian pada rangsangan (stimilus) dan tanggapan (response). Mead (dalam Ritzer, 2007: 274) mengatakan, bahwa stimulus sebagai sebuah kesempatan atau peluang untuk bertindak, bukan sebagai paksaan atau perintah.

Max Weber (dalam Ritzer,2004: 137)juga mengungkapkan mengenai teori tindakan.Dalam teori tindakannya, Weber memfokuskan perhatian pada individu, pola dan regularitas tindakan, dan bukan pada kolektivitas.Tindakan dalam pengertian orientasi perilaku yang dapat dipahami secara subyektif hanyahadir sebagai seorang atau beberapa orang manusia individual. Weber menggunakan metodologi tipe idealnya untuk menjelaskan makna tindakan dengan cara mengidentifikasi empat tipe tindakan dasar, yaitu:

a. Rasionalisasi sarana-tujuan, atau tindakan yang ditentukan oleh harapan terhadap perilaku obyek dalam lingkungan dan perilaku manusia lain

b. Rasionalitas nilai, atau tindakan yang ditentukan oleh keyakinan penuh kesadaran akan nilai perilaku-perilaku etis, estetis, religius atau bentuk perilaku lain, yang terlepas dari prospek keberhasilannya

c. Tindakan afektual, yaitu tindakan yang ditentukan oleh kondisi emosional aktor d. Tindakan tradisional, yaitu tindakan yang ditentukan oleh cara bertindak aktor

yang biasa dan telah lazim dilakukan

Perilaku sosial mungkin berorientasi pada masa lampau, atau perilaku pada masa mendatang dari orang-orang lain. Weber menyatakan tidak setiap jenis perilaku merupakan perilaku sosial. Sikap-sikap subyektif hanya merupakan perilaku sosial. Apabila berorientasi keperilaku-perilaku pihak-pihak lain. Tidak setiap tipe hubungan antara manusia mempunyai ciri sosial, namun hanya apabila perilaku pihak-pihak lain (Soekanto, 2010: 37). Perilaku seseorang mungkin terpengaruh karena keanggotannya pada suatu kerumunan dan kesadarannya akan keanggotannya tersebut.

Perilaku tidaklah terletak pada pencapain tujuan tertentu,akan tetapi pada keterlibatan dalam perilaku tertentu demi perilaku itu. Perilaku rasional tergolong dalam jenis yang berorientasi pada tujuan, apabila memperhitungkan tujuan, sarana, dan akibat-akibat sekundernya.Perilaku itu hanya berorientasi pada tujuan sepanjang mengenai pemilihan sarana (Soekanto, 2010: 40-41).

Suatu keragaman orientasi perilaku sosial aktual disebut kebiasaan, apabila perwujudannya semata-mata didasarkan pada aktualitas perilaku yang diulang-ulang dalam bentuk yang sama. Kalau suatu kebiasaan ditentukan oleh fakta bahwa perilaku semua pihak terarah pada harapan- harapan identik, maka gejala itu disebut kebiasaan yang ditentukan oleh situasi kepentingan diri para pribadi. Tidak semua persamaan pada proses perilaku sosial didasarkan pada orientasi terhadap kaidah atau kebiasaan yang sah. Namun hal itu lebih banyak didasarkan pada fakta bahwa suatu tipe perilaku sosial yang paling baik disesuaikan dengan kepentingan para pihak yang terlibat sebagaimana hal itu dipersepsikan oleh mereka (Soekanto, 2010: 42-43).

2.3 Interaksi Sosial

Interaksi sosial adalah suatu proses hubungan timbal balik yang dilakukan oleh individu dengan individu, antara indivu dengan kelompok, antara kelompok dengan individu, antara kelompok dengan dengan kelompok dalam kehidupan sosial. Menurut Robert T Hall (dalam Setiadi, 2006:106).Interaksi sosial memiliki aturan, dan aturan itu dapat dilihat melalui dimensi ruang dan dimensi waktu.Hall membagi ruangan dalam interaksi sosial menjadi 4 batasan jarak, yaitu jarak intim, jarak pribadi, jarak sosial, dan jarak publik.Selain aturan mengenai ruang Hall juga menjelaskan aturan mengenai waktu.Pada dimensi waktu ini terlihat adanya batasan toleransi waktu yang dapat mempengaruhi bentuk interaksi.

Interaksi merupakan hal yang saling melakukan aksi, berhubungan atau saling mempengaruhi.Interaksi adalah hubungan timbal balik (sosial) berupa aksi saling mempengaruhi antara individu dengan individu, antara individu dan kelompok dan antara kelompok dengan kelompok.

2.3.1 Syarat Terjadinya Interaksi Sosial 1. Adanya kontak sosial

Kata kontak dalam bahasa Inggris “contact”, dari bahasa lain “con” atau “cum” yang artinya bersama-sama dan “tangere” yang artinya menyentuh. Jadi kontak berarti sama-sama menyentuh. Kontak sosial ini tidak selalu melalui interaksi atau hubungan fisik, karena orang dapat melakuan kontak sosial tidak dengan menyentuh, misalnya menggunakan telepon genggam, telepon dan lain sebagainya.(Soekanto, 2003:65) Kontak sosial memiliki memiliki sifat-sifat sebagai ; kontak sosial bisa bersifat positif dan bisa negatif. Kalau kontak sosial mengarah pada kerjasama berarti positif, kalau mengarah pada suatu pertentangan atau konflik berarti negatif. Kontak sosial primer terjadi apa bila peserta interaksi bertemu muka secara langsung. Misalnya kontak antara guru dengan murid dan sebagainya.Kalau kontak skunder terjadi apabila interaksi berlangsung melalui perantara.

2. Komunikasi

Komunikasi adalah suatu proses penyampaian informasi dari satu pihak ke pihak yang lain dalam rangka mencapai tujuan bersama. Ada tiga tahapan penting dalam komunikasi:

a. Encoding

Pada tahap ini gagasaan atau program yang akan dikomunikasikan diwujudkan dalam kalimat atau gambar. Dalam tahap ini komunikator harus memilih kata atau

istilah, kalimat dan gambar yang mudah dipahami oleh komunikan.Komunikator harus menghindari penggunaan kode-kode yang membingungkan komunikan. b. Penyampaian

Pada tahap ini istilah atau gagasan yang telah diwujudkan dalam bentuk kalimat dan gambar disampaiakan.Penyampaian dapat berupa lisan dan dapat berupa tulisan atau gabungan dari duanya.

c. Decoding

Pada tahap ini dilakukan proses mencerna dan memahami kalimat serta gambar yang diterima menuruy pengalaman yang dimiliki.

2.3.2 Bentuk Interaksi Sosial

Bentuk-bentuk interaksi sosial yang berkaitan dengan proses asosiatif dapat terbagi atas bentuk kerja sama, akomodasi, dan asimilasi. Kerja sama merupakan suatu usaha bersama individu dengan individu atau kelompok-kelompok untuk mencapai satu atau beberapa tujuan. Akomodasi dapat diartikan sebagai suatu keadaan, di mana terjadi keseimbangan dalam interaksi antara individu-individu atau kelompok-kelompok manusia berkaitan dengan norma-norma sosial dan nilai-nilai sosial yang berlaku dalam masyarakat.Usaha-usaha itu dilakukan untuk mencapai suatu kestabilan. Sedangkan asimilasi merupakan suatu proses di mana pihak-pihak yang berinteraksi mengidentifikasikan dirinya dengan kepentingan-kepentingan serta tujuan-tujuan kelompok.

Bentuk interaksi yang berkaitan dengan proses disosiatif ini dapat terbagi atas bentuk persaingan, kontraversi, dan pertentangan. Persaingan merupakan suatu proses sosial, di mana individu ataukelompok-kelompok manusia yang bersaing, mencari keuntungan melalui bidang-bidang kehidupan. Bentuk kontraversi merupakan bentuk interaksi sosial yang sifatnya berada antara persaingan dan pertentangan. Sedangkan pertentangan merupakan suatu proses sosial di mana individu atau kelompok berusaha untuk memenuhi tujuannya dengan jalan menantang pihak lawan yang disertai dengan ancaman dan kekerasan.

Dalam tahapan proses-proses asosiatif dan disosiatif Mark L. Knapp (Setiadi: 2006: 187) menjelaskan tahapan interaksi sosial untuk mendekatkan dan untuk merenggangkan. Tahapan untuk mendekatkan meliputi caramemulai (initiating), menjajaki (experimenting), meningkatkan (intensifying), menyatupadukan (integrating) dan mempertalikan (bonding).Sedangkan tahapan untuk merenggangkan meliputi membeda-bedakan (differentiating), membatasi (circumscribing), memacetkan (stagnating), menghindari (avoiding), serta memutuskan (terminating).

Gillin dan Gillin (Soekanto: 2003: 72) mengadakan penggolongan yang lebih luas lagi. Menurut mereka, ada dua macam proses sosial yang timbul sebagai akibat adanya interaksi sosial :

1. Proses-proses yang Asosiatif a. Kerja Sama (Cooperation)

Suatu usaha bersama antara orang perorangan atau kelompok manusia untuk mencapai suatu atau beberapa tujuan bersama. Bentuk kerja sama tersebut berkembang apabila orang dapat digerakan untuk mencapai suatu tujuan bersama dan harus ada kesadaran bahwa tujuan tersebut di kemudian hari mempunyai manfaat bagi semua. Juga harus ada iklim yang menyenangkan dalam pembagian kerja serta balas jasa yang akan diterima. Dalam perkembangan selanjutnya, keahlian-keahlian tertentu diperlukan bagi mereka yang bekerja sama supaya rencana kerja samanya dapat terlaksana dengan baik. Kerja sama timbul karena orientasi orang-perorangan terhadap kelompoknya (in group) dan kelompok lainya (outgroup). Kerja sama akan bertambah kuat jika ada hal-hal yang menyinggung anggota/perorangan lainnya.

Fungsi kerjasama digambarkan oleh Charles H.Cooley (Effendy 2007: 108)

”kerjasama timbul apabila orang menyadari bahwa mereka mempunyai kepentingan-kepentingan yang sama dan pada saat yang bersamaan mempunyai cukup pengetahuan dan pengendalian terhadap diri sendiri untuk memenuhi kepentingan-kepentingan tersebut; kesadaran akan adanya kepentingan-kepentingan yang sama dan adanya organisasi merupakan fakta-fakta penting dalam kerjasama yang berguna”

b. Akomodasi (Accomodation)

Istilah Akomodasi dipergunakan dalam dua arti, menunjuk pada suatu keadaan dan suatu proses. Akomodasi menunjuk pada keadaan, adanya suatu keseimbangan dalam interaksi antara orang-perorangan atau kelompok-kelompok manusia dalam kaitannya dengan norma-norma sosial dan nilai-nilai sosial yang berlaku dalam masyarakat. Sebagai suatu proses akomodasi menunjuk pada usaha-usaha manusia untuk meredakan suatu pertentangan yaitu usaha-usaha manusia untuk mencapai kestabilan.

Menurut Gillin dan Gillin (dalam Effendy, 2007:127), akomodasi adalah suatu perngertian yang digunakan oleh para sosiolog untuk menggambarkan suatu proses dalam hubungan-hubungan sosial yang sama artinya dengan adaptasi dalam biologi. Maksudnya, sebagai suatu proses di mana orang atau kelompok manusia yang mulanya saling bertentangan, mengadakan penyesuaian diri untuk mengatasi ketegangan-ketegangan. Akomodasi merupakan suatu cara untuk menyelesaikan pertentangan tanpa menghancurkan pihak lawan sehingga lawan tidak kehilangan kepribadiannya.

c. Asimilasi (Assimilation)

Asimilasi merupakan proses sosial dalam taraf lanjut. Ia ditandai dengan adanya usaha-usaha mengurangi perbedaan-perbedaan yang terdapat antara orang-perorangan atau kelompok-kelompok manusia dan juga meliputi usaha-usaha untuk mempertinggi kesatuan tindak, sikap, dan proses-proses mental dengan memerhatikan kepentingan dan tujuan bersama. Proses asimilasi timbul bila ada kelompok-kelompok manusia yang berbeda kebudayaannya orang-perorangan sebagai warga kelompok tadi saling bergaul secara langsung dan intensif untuk waktu yang lama sehingga kebudayaan-kebudayaan dari kelompok-kelompok manusia tersebut masing-masing berubah dan saling menyesuaikan diri.

Beberapa bentuk interaksi sosial yang memberi arah ke suatu proses asimilasi (interaksi yang asimilatif) bila memilih syarat-syarat sebagai berikut, interaksi sosial tersebut bersifat suatu pendekatan terhadap pihak lain, di mana pihak yang lain tadi juga berlaku sama interaksi sosial tersebut tidak mengalami halangan-halangan atau pembatasan-pembatasan. Interaksi sosial tersebut bersifat langsung dan primer.Frekuensi interaksi sosial tinggi dan tetap, serta ada keseimbangan antara pola-pola tersebut.Artinya, stimulan dan tanggapan-tanggapan dari pihak-pihak yang mengadakan asimilasi harus sering dilakukan dan suatu keseimbangan tertentu harus dicapai dan dikembangankan.

e. Akulturasi (Aculturation)

Menurut Gillin dan Gillin (dalam Effendy, 2007: 131), akulturasi adalah proses sosial yang timbul, apabila suatu kelompok masyarakat manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing sedemikian rupa sehingga lambat laun unsur-unsur kebudayaan asing itu diterima

dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri, tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian dari kebudayaan itu sendiri.

2. Proses Disosiatif

Proses disosiatif sering disebut sebagai oppositional proccesses, yang persis halnya dengan kerjasama, dapat ditemukan pada setiap masyarakat, walaupun bentuk dan arahnya ditentukan oleh kebudayaan dan sistem sosial masyarakat bersangkutan. Oposisi dapat diartikan sebagai cara berjuang melawan seseorang atau sekelompok manusia untuk mencapai tujuan tertentu. Pola-pola oposisi tersebut dinamakan juga sebagai perjuangan untuk tetap hidup (struggle for existence). Oposisi proses-proses yang disosiatif dibedakan dalam tiga bentuk, yaitu :

a. Persaingan (Competition)

Persaingan atau competition dapat diartikan sebagai suatu proses sosial dimana individu atau kelompok manusia yangbersaing mencari keuntungan melalui bidang-bidang kehidupan yang pada suatu masa tertentu menjadi pusat perhatian umum (baik perseorangan maupun kelompok manusia) dengan cara menarik perhatian publik atau dengan mempertajam prasangka yang telah ada tanpa mempergunakan ancaman atau kekerasan.

b. Kontraversi (Contravention)

Kontraversi pada hakikatnya merupakan suatu bentuk proses sosial yang berada antara persaingan dan pertentangan atau pertikaian. Bentuk kontraversi dalam(Leopold von Wiese dan Howard Becker 1932:19) ada 5, yaitu :

 Umum, meliputi perbuatan seperti penolakan, keenganan, perlawanan, perbuatan menghalang-halangi, protes, gangguang-gangguan, kekerasan, pengacauan rencana.

 Sederhana, seperti menyangkal pernyataan orang lain di muka umum, memaki-maki melalui surat selebaran, mencerca, memfitnah, melemparkan beban pembuktian pada pihak lain, dan lain sebagainya.

 Intensif, penghasutan, menyebarkan desas-desus yang mengecewakan pihak lain.

 Rahasia, mengumumkan rahasian orang, berkhianat.

2.4 Interaksionisme Simbolik

Interaksionisme simbolik menekankan pada pola hubungan antar simbol dan interaksi, serta inti pandangan pendekatan ini adalah individu (Poloma, 2003: 274). Menurut Blumer, interaksi simbolik merujuk pada karakter interaksi khusus yang berlangsung antara manusia. Aktor tidak semata-mata bereaksi terhadap tindakan yang lain, tetapi ia juga menafsirkan dan mendefinisikan setiap tindakan orang lain. Respon aktor baik secara langsung maupun tidak langsung selalu didasarkan atas penilaian makna tersebut (Zeitlin, Irving M., 1995: 331-332).

Beberapa tokoh interaksionisme simbolik telah mencoba untuk menghitung jumlah prinsip dasar dalam teori ini, yaitu:

a. Manusia telah dibekali kemampuan untuk berpikir. b. Kemampuan berpikir dibentuk oleh interaksi sosial.

c. Dalam interaksi sosial manusia mempelajari arti dan simbol yang memungkinkan mereka mengunakan kemampuan berpikir mereka.

d. Makna dan simbol memungkinkan manusia melanjutkan tindakan khusus dan interaksi.

e. Manusia mampu mengubah arti dan simbol yang mereka gunakan dalam tindakan dan interaksi berdasarkan penafsiran mereka terhadap situasi.

f. Manusia mampu membuat kebijakan modifikasi dan perubahan, karena kemampuan mereka berinteraksi dengan diri mereka sendiriyang memungkinkan mereka menguji serangkaian peluang tindakan, menilai keuntungan dan kerugian relatif mereka.

g. Pola tindakan dan interaksi yang saling berkaitan akan membentuk kelompok dan masyarakat (Ritzer, George & Goodman, Douglas J., 2008: 289).

2.5 Teori Ruang Publik

Menurut Habermas (dalam Hardiman, 2010:185) ruang publik memiliki peran yang cukup berarti dalam proses berdemokrasi.Ruang publik merupakan ruang demokratis atau wahana diskursus masyarakat, yang mana warga negara dapat menyatakan opini-opini, kepentingan-kepentingan dan kebutuhan-kebutuhan mereka secara diskursif. Ruang publik merupakan syarat penting dalam demokrasi.Ruang publik adalah tempat warga berkomunikasi mengenai kegelisahan-kegelisahan politis warga.Selain itu, ruang publik merupakan wadah yang mana warganegara dengan bebas dapat menyatakan sikap dan argumen mereka terhadap negara atau pemerintah.

Ruang publik bukan hanya sekedar fisik, maksudnya sebuah institusi atau organisasi yang legal, melainkan adalah komunikasi warga itu sendiri. Ruang publik harus bersifat bebas, terbuka, transparan dan tidak ada intervensi pemerintah atau otonom di dalamnya. Ruang publik itu harus mudah diakses semua orang.Dari ruang publik ini dapat terhimpun kekuatan solidaritas masyarakat warga untuk melawan mesin-mesin pasar/kapitalis dan mesin-mesin politik.Habermas membagi-bagi ruang publik, tempat para aktor-aktor masyarakat warga membangun ruang publik, Pluralitas (keluarga, kelompok-kelompok informal, organisasi-organisasi sukarela, dst), Publisitas (media massa, institusi-institusi kultural, dst), Keprivatan (wilayah perkembangan individu dan moral), Legalitas (struktur-struktur hukum umum dan hak-hak dasar).

Jadi Jurgen Habermas memberikan gagasan mengenai ruang publik bahwa ruang publik bukan hanya ada satu, tetapi ada banyak ruang publik di tengah-tengah

Dokumen terkait