• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

6.2. Saran

1. Bagi Rumah Sakit dan Sarana Kesehatan Lain

Pada penelitian ini, kejadian neuropati sebagai komplikasi diabeties melitus tipe 2 masih banyak ditemui. Karena itu diperlukan tindakan kuratif yang adekuat untuk mencegah neuropati diabetik berkembang menuju fase yang lebih berbahaya, yakni menimbulkan

komplikasi lainnya. Selain itu, hal utama yang harus dilakukan adalah tindakan preventif dan promotif kesehatan khususnya mengenai diabetes melitus kepada masyarakat luas demi menekan angka kejadian diabetes melitus yang memungkinkan terjadinya komplikasi seperti neuropati. 2. Bagi Pasien / Masyarakat Luas

Masyarakat luas harus lebih meningkatkan ilmu pengetahuan di bidang kesehatan untuk mencegah terjadinya penyakit degeneratif ini. Masyarakat luas harus tetap waspada, hati-hati, serta menghindarkan diri dari hal-hal yang menjadi penyebab terjadinya penyakit diabetes melitus. Selain itu, bagi pasien yang telah terdiagnosis diabetes melitus tipe 2 diharapkan segera melakukan pengobatan yang adekuat untuk mencegah komplikasi yang progresif.

3. Bagi Penelitian Selanjutnya

Pada penelitian ini, digunakan beberapa variabel sebagai poin yang memperjelas karakteristik neuropati. Pada penelitian selanjutnya yang menggunakan pola yang sama dengan penelitian ini diharapkan peneliti selanjutnya menambah atau melengkapi variabel lainnya agar memperjelas karakteristik dan gambaran dari subjek penelitian.

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2..1 Diabetes Melitus Tipe 2

2..1.1 Defenisi

Diabetes melitus tipe 2 dikenal dengan NIDDM (Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus) dan merupakan 90% dari kasus diabaetes melitus. Pada diabetes mellitus tipe 2 terjadi penurunan kemampuan kerja insulin di jaringan perifer dan disfungsi sel beta sehingga pankreas tidak mampu memproduksi insulin yang cukup untuk kompensasi (Sack, 2001 dalam Putra, 2012 ; WHO, 1999). Kadar insulin bisa normal, rendah, maupun tinggi sehingga penderita tidak tergantung pada pemberian insulin. Kondisi ini umumnya terjadi pada usia >40 tahun (Sacks, 2001 dalam Putra, 2012).

2.1.2 Etiologi

Insulin diperlukan untuk memindahkan glukosa ke dalam sel yang kemudian diubah menjadi energi. Tubuh penderita Diabetes tipe 2 tidak dapat merespon insulin dengan baik (resistensi innsulin). Seseorang dengan kelebihan berat badan cenderung mengalami resistensi insulin karena lemak mengganggu kemampuan tubuh untuk menggunakan insulin (Foster, 1998).

Masih menurut Foster, pada resistensi insulin glukosa darah tidak bisa masuk ke dalam sel-sel otot untuk disimpan menjadi energi. Karena tidak bisa memasuki sel, maka glukosa di peredaran darah menjadi tinggi yang dikenal dengan hiperglikemia. Tingginya kadar glukosa darah sering memicu pankreas untuk memproduksi insulin lebih banyak tetapi pankreas tidak mampu menyanggupinya.

Diabetes melitus tipe 2 biasanya terjadi secara bertahap. Sebahagian besar penderita mengalami kelebihan berat badan. Namun, diabetes tipe 2 juga bisa berkembang pada orang-orang yang kurus, terutama orang tua. Riwayat keluarga dan genetik berperan besar dalam diabetes tipe 2. Selain itu, kurangnya aktivitas fisik, diet tinggi lemak dan

rendah serat, serta berat badan yang berlebihan juga dapat memici terjadinya diabetes melitus tipe 2 (Foster, 1998).

2.1.3 Faktor Risiko

Faktor risiko yang berhubungan dengan peningkatan terjadinya diabetes mellitus tipe 2 adalah riwayat keluarga dengan diabetes melitus, obesitas

(berat badan ≥ 20 % dari berat badan ideal atau IMT ≥ 25 kg/m2), aktivitas

fisik yang kurang, gangguan toleransi glukosa atau gangguan glukosa

darah puasa sebelumnya, hipertensi (tekanan darah ≥ 140/90 mmHg),

dislipidemia (HDL-kolesterol ≤ 35 mg/dL dan atau kadar trigliserida ≥ 250

mg/dL). Di samping itu, juga perlu diperhatikan riwayat diabetes melitus gestasional atau melahirkan bayi dengan berat badan bayi lahir > 9 pound dan mempunyai riwayat penyakit vaskular.

2.1.4 Gejala Klinis

Menurut Perkeni, gejala diabetes melitus dapat dibagi menjadi gejala khas dan gejala tidak khas. Gejala khas terdiri dari poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan tanpa sebab yang jelas. Sedangkan gejala tidak khas di antaranya lemas, kesemutan, luka yang sulit sembuh, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi (pria), dan pruritus vulva (wanita). 2.1.5 Patogenesis

Pada diabetes mellitus tipe 2 terdapat dua masalah utama, yaitu berhubungan dengan insulin (resistensi insulin) dan gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin akan terikat dengan reseptor khusus pada permukaan sel. Akibat berikatannya insulin dengan reseptor tersebut, terjadi resistensi insulin pada diabetes mellitus tipe 2 disertai dengan penurunan reaksi intra sel. Dengan demikian, insulin menjadi tidak efektif untuk menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan. Untuk mengatasi resistensi insulin dan mencegah terbentuknya glukosa dalam darah, harus terdapat peningkatan jumlah insulin yang disekresikan pada penderita

toleransi glukosa terganggu, keadaan ini terjadi akibat sekresi insulin yang berlebihan dan kadar glukosa akan dipertahankan pada tingkat yang normal atau sedikit meningkat. Namun untuk mengimbangi peningkatan kebutuhan akan insulin, maka kadar glukosa akan meningkat dan terjadi diabetes mellitus tipe 2 (Brownlee, 2005).

2.1.6 Diagnosis

Dalam menegakkan diagnosis diabetes mellitus, patokan yang dijadikan acuan tentu saja adalah pemeriksaan glukosa darah. Dalam hal ini dikenal adanya istilah pemeriksaan penyaring dan uji diagnostik diabetes mellitus. 1. Pemeriksaan Penyaring

Menurut Purnamasari (2009), pemeriksaan penyaring ditujukan untuk mengidentifikasi kelompok yang tidak menunjukkan gejala diabetes melitus tetapi memiliki risiko. Pemeriksaan penyaring dilakukan pada semua individu dewasa dengan Indeks Masa Tubuh (IMT) ≥ 25 kg/m2

dengan faktor risiko lain sebagai berikut: a. Aktivitas Fisik Kurang

b. Riwayat keluarga menderita diabetes melitus pada turunan pertama c. Masuk kelompok etnis risiko tinggi (African American, Latino, Native

American, Asian American, Pacific Islander)

d. Wanita dengan riwayat melahirkan bayi dengan berat ≥ 4000 gram atau

riwayat diabetes melitus gestasional.

e. Tekanan darah ≥ 140/90 mmHg atau sedang dalam terapi obat

antihipertensi.

f. Kolestrol HDL ≤ 35 mg/dl dan atau trigliserida ≥ 250 mg/dl

h. Riwayat Toleransi Glukosa terganggu (TGT) atau Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT)

i. Keadaan lain yang berhubungan dengan resistensi insulin (obesitas, akantois nigrikans)

j. Riwayat penyakit kardiovaskular

Pemeriksaan penyaring dilakukan dengan memeriksa kadar Gula Darah Sewaktu (GDS) atau Gula Darah Puasa (GDP). Selanjutnya dapat dilanjutkan dengan Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) standar. Dari pemeriksaan GDS, dapat dikatakan diabetes melitus jika terdapat kadar

GDS ≥ 200 mg/dl dari sampel plasma vena ataupun darah kapiler. Pada pemeriksaan GDP, dikatakan diabetes melitus jika diperoleh kadar GDP ≥ 126 mg/dl dari sampel plasma vena atau ≥ 110 mg/dl dari sampel darah

kapiler (Purnamasari, 2009). 2. Uji Diagnostik

Uji diagnostik dikerjakan pada kelompok yang menunjukkan gejala atau tanda diabetes mellitus. Bagi yang mengalami gejala khas diabetes

mellitus, kadar GDS ≥ 200 mg/dl atau GDP ≥ 126 mg/dl sudah cukup

untuk menegakkan diagnosis diabetes mellitus. Sedangkan pada pasien yang tidak memperlihatkan gejala khas diabetes mellitus, apabila ditemukan kadar GDS atau GDP yang abnormal maka harus dilakukan pemeriksaan ulang GDS/GDP atau bila perlu dikonfirmasi pula dengan TTGO untuk mendapatkan sekali lagi angka abnormal yang merupakan

kriteria diagnosis diabetes mellitus (GDP ≥ 126 mg/dl, GDS ≥ 200 mg/dl

pada hari yang lain, atau TTGO ≥ 200 mg/dl). (Perhimpunan Dokter

Gambar 1. Langkah- langkah diagnosis diabetes melitus dan toleransi glukosa terganggu. Sumber: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam

2.1.7 Penatalaksanaan

Pendekatan pengobatan diabetes tipe 2 harus memperbaiki resistensi insulin dan fungsi sel ß pankreas. Hal yang mendasar dalam pengelolaan diabetes melitus tipe 2 adalah perubahan pola hidup, yaitu pola makan yang baik dan olah raga teratur.

Dengan atau tanpa terapi farmakologik, pola makan yang seimbang dan olah raga teratur (bila tidak ada kontraindikasi) tetap harus dijalankan (American Diabetes Association, 2008).

a. Edukasi

Berupa pendidikan dan latihan tentang pengetahuan pengelolaan penyakit diabetes mellitus bagi pasien dan keluarganya.

b. Diet

Bertujuan untuk mempertahankan kadar normal glukosa darah dan lipid, nutrisi yang optimal, serta mencapai/mempertahankan berat badan ideal. Adapun komposisi makanan yang dianjurkan bagi pasien adalah sebagai berikut: karbohidrat 60-70%, lemak 20-25%, dan protein 10-15%.

c. Latihan Jasmani

Berupa kegiatan jasmani sehari-hari (berjalan kaki ke pasar, berkebun, dan lain-lain) dan latihan jasmani teratur (3-4x/minggu selama ± 30 menit). d. Intervensi Farmakologis

Diberikan jika target kadar glukosa darah belum bisa dicapai dengan perencanaan makan dan latihan jasmani. Intervensi farmakologis dapat berupa Obat Hipoglikemik Oral/ OHO (insulin sensitizing, insulin secretagogue, penghambat alfa glukosidase) dan Insulin. Intervensi farmakologis dengan insulin dapat diberikan pada kondisi penurunan berat badan yang cepat, hiperglikemia berat disertai ketosis, ketoasidosis diabetik, hiperglikemia hiperosmolar non ketotik, hiperglikemia dengan asidosis laktat,stress berat (infeksi sistemik, operasi besar, AMI, stroke), diabetes melitus gestasional yang tak terkendali dengan perencanaan makanan, dan gangguan fungsi ginjal/hati yang berat (Gustaviani, 2006).

2.2 Neuropati Diabetik

2.2.1 Defenisi

Neuropati diabetik adalah gejala dan atau tanda disfungsi saraf penderita diabetes tanpa ada penyebab lain selain diabetes melitus (setelah dilakukan eksklusi penyebab lainnya). (American Diabetic Association, 2005; Boulton,2004; Syahrir, 2006).

2.2.2 Epidemiologi

Data epidemiologi menunjukkan bahwa kira-kira 30% sampai 40% pasien dewasa dengan diabetes melitus tipe 2 mengalami distal peripheral neuropathy. Distal peripheral neuropathy telah dihubungkan dengan berbgai faktor risiko, seperti derajat hiperglikemi, indeks lipid, tekanan darah, lama, dan beratnya menderita diabetes melitus. Durasi diabetes melitus juga akan meningkat sesuai umur dan durasi diabetes. Studi epidemiologik menunjukkan bahwa tidak terkontrolnya kadar gula akan mengakibatkan risiko yang lebih besar untuk terjadinya neuropati, seperti borok kaki dan amputasi. Kenaikan kadar HbA1c 2% mempunyai resiko komplikasi neuropati sebesar 1,6 kali lipat dalam waktu empat tahun. (Sjahrir, 2006)

2.2.3 Klasifikasi

Menurut National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Disease pada jurnal Diabetic Neuropathies: The Nerve Damage of Diabetes (2009), neuropati diabetik dapat diklasifikasi menjadi proksimal, autonomik, perifer, dan fokal.

1. Neuropati Perifer

Neuropati perifer (disebut juga neuropati distal simetris atau neuropati sensorimotor) merupakan bentuk paling umum dari neuropati diabetik. Neuropati perifer dapat menyebabkan nyeri dan kehilangan sensasi pada jari kaki, tungkai kaki, kaki, lengan, dan tangan.

Gambar 2. Lokasi Terjadinya Peripheral Neuropathy. Sumber: NIDDK (2009)

2. Neuropati Autonom

Neuropati autonom memengaruhi persarafan jantung, regulasi tekanan darah, dan kadar glukosa darah. Selain itu, neuropati autonom juga memengaruhi pencernaan, kandung kemih, respon seksual, mata, dan kelenjar keringat.

Gambar 3. Lokasi terjadinya Autonomic Neuropathy. Sumber: NIDDK (2009) 3. Neuropati Proksimal

Neuropati proksimal menyebabkan nyeri pada paha, pangkal paha, bokong, dan menyebabkan kelemahan pada kaki.

4. Neuropati Fokal

Neuropati fokal muncul secara tiba- tiba dan memengaruhi saraf yang spesifik, terutama pada kepala, badan, dan kaki.

Tabel 1. Klasifikasi Neuropati Diabetik. Sumber: NIDDK (2009)

Perifer Autonom Proksimal Fokal

Jempol Kaki Jantung Paha Mata

Kaki Pembuluh Darah Pinggul Otot Wajah

Tungkai Kaki Sistem Pencernaan Pantat Telinga

Tangan Saluran Kemih Tungkai Pelvis

Lengan Organ Seksual Punggung Bawah

Kelenjar Keringat Dada

Mata Perut Paha

Paru Tungkai

2.2.4 Manifestasi Klinis

Menurut Vinik (2000) dalam Setyoko (2003), pada umumnya gejala klinis neuropati diabetik tergantung jenis serabut saraf yang terkena.

1. Sistem Sensorik

Sistem sensorik lebih sering mengenai segmen distal anggota gerak dan lebih sering pada tungkai daripada lengan. Disfungsi saraf sensorik dapat menimbulkan simtom positif, simtom negatif, atau kombinasi keduanya.

Kelainan sensorik simtom positif adalah parestesis, rasa seperti terbakar, nyeri seperti ditusuk, dan gatal. Sedangkan kelainan sensorik simtom negatif adalah mati rasa, rasa tebal (hipestesi), seperti mengenakan kaos kaki, seperti berjalan tanpa menginjak tanah. Simtom positif biasanya memburuk pada malam hari (Asbury, 1995 dalam Setyoko, 2003).

Sebagian besar polineuropati mengalami gangguan modalitas sensorik (raba, tekan, nyeri, suhu, getar, dan posisi sendi), meskipun terkadang satu atau dua modalitas terganggu lebih berat daripada yang lain.

Pada pemeriksaan sensorik yang mengenai serabut saraf besar sering didapati gangguan menilai sentuhan ringan dengan pola distribusi

“kaus kaki”, berkurang atau hilangnya sensasi getar pada kaki, sedangkan

sensasi suhu masih baik. Pada kasus berat dapat ditemukan gangguan proprioseptif.

Jika mengenai serabut saraf kecil, tanda yang menonjol adalah gangguan sensasi nyeri kulit, nyeri dalam, serta sensasi suhu pada kaki. Hampir selalu didapatkan penurunan atau hilangnya refleks tendon, terutama patella dan achilles (Dejgaard, 1998 dalam Setyoko, 2003).

2. Sistem Motorik

Keluhan sistem motorik terjadi karena kelemahan otot yang berfungsi sebagai alat gerak aktif di bagian tubuh tertentu. Kelemahan tersebut disebabkan keterlibatan serabut saraf motorik pada neuropati diabetik.

Distribusi kelemahan atau paralisis otot pada neuropati diabetik bersifat khas. Biasanya otot kaki dan tungkai bawah yang pertama kali terkena dan terlihat lebih berat, sedangkan kelemahan pada otot-otot tangan dan lengan bawah lebih ringan dan lebih akhir terkena (Adam, 1993 dalam setyoko, 2003).

Pendekatan praktis untuk pemeriksaan motorik pada neuropati diabetik adalah dengan penilaian skor secara klinis. Kekuatan otot dinilai dengan gradasi 0-5 (Asbury, 1995 dalam Setyoko, 2003).

1. Tidak ada kontraksi otot

2. Pergerakan aktif dengan gaya berat terbatas 3. Pergerakan aktif melawan gaya berat

4. Pergerakan aktif dengan melawan gaya berat dan tahanan ringan 5. Pergerakan aktif dengan melawan tahanan kuat dan tahanan ringan

3. Sistem saraf otonom

Terlibatnya serabut saraf otonom pada neuropati diabetik menimbulkan berbagai keluhan. Sistem saraf simpatis dan parasimpatis dapat terkena sehingga keluhan yang disampaikan sangat bervariasi. Keluhan yang berkaitan dengan susunan saraf otonom meliputi sistem kardiovaskular, gastrointestinal, sudomotor, seksual, pupil, dan sebagainya (Adam, 1993 dalam Setyoko, 2003)

2.2.5 Patogenesis

Komplikasi kronik diabetes melitus dipengaruhi oleh beberapa mekanisme. Pertama perubahan akut metabolisme sel. Biasanya reversibel ketika kadar gula darah turun kembali. Kedua karena akumulasi makromolekul yang bertahan lama dan menetap meskipun menjadi euglikemi. Hiperglikemi terbukti berperan pada terjadinya dan progresivitas komplikasi mikrovaskular: retina, glomeruli, jaringan saraf.

Menurut Darmono (1999) dalam Setyoko (2003), patofisiologi mikroangiopati diabetik pada dasarnya meliputi tiga keadaan, yaitu penebalan membran basalis pembuluh darah kapiler, perubahan hemodinamik, dan perubahan viskositas darah dan fungsi trombosit. Tiga kejadian yang mendasari patofisiologi mikroangiopati diabetik tersebut berlangsung di semua kapiler pembuluh darah (Djokomoeljanto, 2001). Efek buruk faktor metabolik dan hemodinamik tersebut bekerja melalui jaringan endotel. Hal ini dapat dipahami mengingat sel-sel endotel melapisi seluruh permukaan pembuluh darah besar dan kecil sehingga selalu terpajan dengan perubahan metabolik dan hemodinamik. Sel endotel juga merupakan jaringan terdepan yang berhadapan dengan perubahan tekanan, aliran, dan turbulensi darah.

Melalui mekanisme yang rumit, sel endotel memroduksi berbagai zat kimia yang mengatur tegangan dan permeabilitas dinding pembuluh darah. Sel endotel juga memroduksi matriks protein ekstraselular dan produksinya meningkat pada diabetes melitus (penebalan membran basal kapiler). Angiogenesis yang terjadi pada diabetes melitus juga dimulai dari sel endotel. Selain itu, sel endotel juga berperan pada sistem imun, proses regenerasi, serta menjaga homeostasis cairan ekstraselular. Pada pasien diabetes melitus semua fungsi endotel tersebut terganggu sehingga terjadi disfungsi endotel (Djokomoeljanto, 2001).

Banyak hipotesis dikemukakan untuk menjelaskan patogenesis neuropati diabetik, seperti teori metabolik, mikrovaskular dan hipoksia, autoimun, dan lain-lain. Hiperglikemi persisten merupakan faktor utama teori metabolik. Peranan mekanisme imun didukung dengan ditemukannya antibodi antineuronal dan meningkatnya prevalensi antibodi antifosfolipid pada neuropati diabetik. Selain itu, beberapa peneliti menyebutkan insufisiensi mikrovaskular sebagai salah satu penyebab neuropati diabetik (Greene, 1997 dalam Setyoko, 2003).

1. Hipotesis metabolik

Teori yang sudah berlaku umum pada patogenesis polineuropati diabetik adalah hiperglikemi persisten. Pengendalian kadar glukosa sedini dan sebaik mungkin merupakan dasar pengelolaan diabetes melitus untuk mencegah komplikasi vaskular, khususnya mikroangiopati.

Hiperglikemi persisten dan berkepanjangan menyebabkan beberapa keadaan (Djokomoeljanto, 2001):

a. Meningkatnya aktivitas poliol pathway:

Aktivasi poliol pathway mengakibatkan akumulasi sorbitol dan fruktosa di jaringan saraf. Hiperglikemi yang terus menerus mengakibatkan reduksi glukosa oleh enzim aldose reduktase yang akan menghasilkan sorbitol. Sorbitol diubah menjadi fruktosa oleh enzim sorbitol dehidrogenase, kemudian akan mengaktifkan diacyl glycerol pathway yang membentuk diacylglycerol yang mengaktifkan PKC (Protein kinase C).

b. Menurunnya kadar mioinositol plasma

Keadaan ini disebabkan peningkatan ekskresi mioinositol dan penghambatan sintesis fosfatidil inositol pada diabetes melitus. Selain itu, kadar glukosa darah yang tinggi menghambat transport mioinositol ke jaringan saraf. Karena mioinositol merupakan komponen fosfolipid

membran yang berfungsi dalam transmisi impuls saraf, akibatnya terjadi gangguan penghantaran saraf sensorik maupun motorik.

c. Glikosilasi non enzimatik

Jika kadar glukosa darah meningkat, molekul-molekul glukosa akan melekat pada protein tubuh (lensa mata, membran basal glomerulus, mielin, protein saraf tepi, dan sebagainya) sesuai tingginya peningkatan kadar glukosa. Glukosa mengikat gugus amino membentuk ikatan kovalen secara non enzimatik. Ikatan dimulai dengan terbentuknya amadori product yang mengatur keseimbangan dengan glukosa bebas (selama beberapa jam-hari). Pada akhirnya akan terbentuk produk metabolit yang dinamakan Advanced Glycosilation End product (AGE) yang bersifat ireversibel.

d. Berkurangnya Na-K-ATPase pada jaringan saraf

Penghambatan Na-K-ATPase mengakibatkan retensi Na+, edema, pembengkakan mielin, dan degenerasi sel saraf. Hiperglikemi juga memicu peningkatan kadar diasilgliserol yang dapat mengaktivasi perubahan PKC. Aktivasi PKC akan memodulasi Na-K-ATPase pada sel neuron dan sel schwann. Berubahnya aktivitas PKC dan Na-K-ATPase juga berpengaruh pada ekspresi gen dan sitokin.

2. Hipotesis mikrovaskular dan hipoksia

Hipotesis insufisiensi mikrovaskular diajukan oleh beberapa ahli sebagai salah satu kemungkinan penyebab neuropati diabetik. Hipotesis ini didukung oleh beberapa penelitian yang menunjukkan terjadinya iskemik relatif maupun absolut pada sel saraf penderita diabetes melitus akibat perubahan fungsi endoneuron dan epineuron pembuluh darah. Hal ini juga didukung bukti penelitian histopatologik yang menunjukkan berbagai tingkat penebalan membran basal vaskular maupun oklusi pembuluh darah. Pada penderita diabetes melitus juga terbukti terjadi penurunan

aliran darah ke sel saraf, peningkatan resistensi vaskular, penurunan PO2, dan perubahan permeabilitas vaskular.

Aliran darah endoneural saraf perifer lebih rendah 33%. Hal ini menunjukkan bahwa tekanan oksigen endoneural juga lebih rendah. Penyebab potensial penurunan aliran darah penderita diabetes melitus meliputi: mikroangiopati, hiperviskositas, berkurangnya deformabilitas eritrosit, meningkatnya perlekatan eritrosit pada endotel kapiler, sumbatan gumpalan trombosit dan fibrin (Vinik,2000 dalam Setyoko, 2003).

3. Hipotesis Autoimun

Mekanisme imun mungkin bertanggung jawab pada populasi pasien neuropati diabetik, khususnya kasus neuropati proksimal dengan keluhan motorik yang dominan. Hipotesis ini didukung dengan ditemukannya antibodi antineuron pada pasien neuropati diabetik. Autoantibodi ini berefek langsung pada struktur saraf motorik maupun sensorik. Vinik Al dan kawan- kawan juga mendapatkan antibodi anti-fosfoloipid pada 88% kasus neuropati diabetik dibanding 32% pasien dengan diabetes melitus tanpa neuropati diabetik (vinik, 2000 dalam Setyoko, 2003).

Gambar 4. Mekanisme Terjadinya Neuropati Diabetik. Sumber: Tanenberg (2009)

Gambar 5. Patogenesis Neuropati Diabetik. Sumber: (Greene, 1997 dalam Setyoko, 2003)

2.2.6 Diagnosis

Pada tahun 1988, The American Diabetes Association mengeluarkan konsensus yang dikenal dengan The San Antonio Consensus Statement yang menyatakan bahwa untuk menilai klasifikasi neuropati diabetik secara menyeluruh dianjurkan memakai minimal salah satu cara diagnosis sebagai

berikut: Gejala klinis, pemeriksaan klinis, evaluasi elektrodiagnostik, tes kuantitatif sensoris, dan tes fungsi otonom (Vinik, 2000).

Diagnosis neuropati diabetik ditegakkan jika pada penderita diabetes melitus didapat gejala atau tanda neuropati ditambah pemeriksaan objektif yang menunjukkan gangguan saraf perifer dan tidak ada penyebab lain (Vinik, 2000). Rosenberg dkk (2001) melakukan investigasi diagnostik pada pasien- pasien polineuropati kronik. Dilakukan evaluasi pemeriksaan secara bertahap untuk menegakkan diagnosis.

Akhir- akhir ini telah dikembangkan berbagai variasi pemeriksaan neurologi klinis dengan sistem skor untuk polineuropati diabetik. Pemeriksaan yang sering digunakan dan dapat diterima adalah Neuropathy Disability Score (NDS), Michigan Diabetic Neuropathy Score (MDNS), beberapa modifikasi NDS, dan Clinical Examination of Valk (CE-V) (Amanda, 1997 dalam Setyoko, 2003).

Menurut Feldman (1999) dalam Setyo (2003), NDS dirancang untuk neuropati secara umum. Meskipun memiliki skor-skor yang baik dan lengkap, dalam pemakaian klinis praktis sulit diaplikasikan. Akhirnya dirancang beberapa modifikasi NDS dengan tujuan mendapat pemeriksaan neurologi klinis yang valid, mudah dilakukan, dan akurat untuk polineuropati diabetik. Salah satunya adalah Clinical Neurological Examination (CNE) atau dikenal dengan Clinical Examination of Valk (CE-V).

1. Clinical Neurological Examination

Akhir-akhir ini CNE digunakan untuk deteksi maupun diagnosis neuropati diabetik dalam praktik klinis sehari-hari. CNE merupakan salah satu modifikasi NDS karena NDS dianggap lebih rumit dan sulit diaplikasikan dalam pemakaian klinis praktis. CNE meliputi kajian fungsi sensoris, kekuatan otot kaki, refleks pergelangan kaki, dan pemberian skor tertentu untuk masing-masing pemeriksaan.

Tabel 2. Skor Clinical Neurological Examination (CNE). Sumber: Valk GD et al (1998) dalam Setyo (2003)

Skor Clinical Neurological Examination (CNE) 1. Sensoris

Kanan Normal Menurun Negatif

Pin prick dorsum pedis 0 1 2

Sentuhan ringan (kapas) 0 1 2

Posisi ibu jari kaki 0 1 2

Vibrasi (ibu jari kaki) 0 1 2

Vibrasi (maleolus medialis) 0 1 2

Kiri

Pin prick dorsum pedis 0 1 2

Sentuhan ringan (kapas) 0 1 2

Posisi ibu jari kaki 0 1 2

Vibrasi (ibu jari kaki) 0 1 2

Vibrasi (maleolus medialis) 0 1 2

2. Motorik Kanan Hallucis longus 0 1 2 Gastrocnemius 0 1 2 Kiri Hallucis longus 0 1 2 Gastrocnemius 0 1 2 3. Refleks Kanan Tendon Achilles 0 1 2 Kiri Tendon Achilles 0 1 2

4. Sentuhan ringan (kapas) berkaitan lokasi anatomi

0: Kelainan (-), 1: Jari kaki, 2: Pertengahan jari-Pergelangan kaki, 3: Pergelangan kaki, 4: Pertengahan betis, 5: Lutut

Skor total: .../ 37 poin

Keterangan skor CNE:

a. Semua pemeriksaan dilakukan pada kedua tungkai kanan dan kiri

b. Pemeriksaan fungsi sensoris dilakukan dengan kedua mata pasien tertutup.

c. Jika pasien mengatakan dapat merasakan pemeriksaan sensoris yang dilakukan, bandingkan dengan pemeriksaan lebih proksimal untuk menilai apakah sensibilitas normal atau berkurang. Untuk sensasi posisi ibu jari kaki, bandingkan dengan ibu jari tangan.

d. Skor untuk pemeriksaan vibrasi garpu tala, tes pin prick, sentuhan ringan dengan kapas, dan sensasi posisi ibu jari kaki berturut-turut adalah: 0= normal, 1= menurun dibandingkan bahagian proksimal, 2= negatif (tidak merasa).

e. Skor untuk sentuhan ringan dengan kapas yang dilakukan berdasarkan posisi anatomi kaki adalah: 0= tidak ada abnormalitas, 1= jari-jari kaki, 2= mid foot (pertengahan jari kaki- pergelangan kaki), 3= pergelangan kaki, 4= pertengahan betis, 5= lutut. Skor maksimal untuk penilaian ini adalah 5. Jika kedua tungkai memiliki nilai yang sama, hanya diambil salah satu nilai dari kedua tungkai. Jika ada perbedaan nilai antara tungkai

Dokumen terkait