• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

6.2 Saran

Saran yang dapat peneliti sampaikan pada karya tulis ilmiah ini adalah : 1. Bagi Tenaga Kesehatan

Agar meningkatkan mutu pelayanan kesehatan dan melengkapi sistem pencatatan pasien. Edukasi pasien tentang sindrom nefrotik dengan lebih rinci. Menyarankan obat yang mempertahankan remisi kepada pasien. 2. Bagi Pasien

Bagi pasien bila terjadi tanda-tanda SN sebaiknya segera periksa ke pelayanan kesehatan terdekat agar tidak terjadi komplikasi. Pasien juga harus menjalani gaya hidup sehat, makan obat secara teratur dan kontrol secara teratur ke rumah sakit.

3. Bagi Institusi Pendidikan

Hasil dari penelitian ini agar dapat digunakan sebagai bahan masukan keperpustakaan di Bidang Pendidikan Universitas Sumatera Utara, dan dapat dijadikan bahan penelitian selanjutnya. Dari hasil penelitian ini, terbukti bahwa pasien yang menderita SN mempunyai resiko besar untuk mengalami relaps.

4. Bagi Peneliti Selanjutnya

Bagi peneliti selanjutnya semoga penelitian ini dapat dijadikan pedoman dan bagi peneliti lain yang ingin melakukan penelitian yang sama agar dapat menambah jumlah sampel penelitian.

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Relaps

2.1 Definisi Relaps

Relaps bebas penyakit atau relaps adalah proteinuria ≥ 2+ (proteinuria) ≥ 40 mg/ m² LPB/ jam) setelah respon awal kurang dari 4× per tahun pengamatan (Nizar MD, 2013).

2.2 Definisi Sindrom Nefrotik

Sindrom nefrotik adalah penyakit dengan gejala edema, proteinuria, hipoalbuminemia dan hiperkolesterolemia. Kadang-kadang terdapat hematuria, hipertensi dan penurunan fungsi ginjal (Ngastiyah, 1997).

Sindrom ini dapat terjadi karena adanya faktor yang menyebabkan premeabilitas glomerulus (Hidayat & Aziz A., 2006).

Penyakit ini terjadi tiba-tiba, terutama pada anak-anak. Biasanya berupa oliguria dengan urin berwarna gelap, atau urin yang kental akibat proteinuria berat (Mansjoer Arif, et al., 1999).

Terdapat beberapa definisi terkait dengan SN. Remisi adalah proteinuria negatif atau trace proteinuria < 4mg/m² LPB/ jam) selama 3 hari berturut-turut dalam 1 minggu. Relaps adalah proteinuria ≥ 2+ (proteinuria) ≥ 40 mg/ m² LPB/ jam) setelah respon awal kurang dari 4× per tahun pengamatan. Relaps sering (relaps frekuen) adalah relaps ≥ 2× dalam 6 bulan pertama setelah respon awal atau ≥ 4× dalam periode 1 tahun. Dependen steroid adalah relaps 2× berurutan pada saat dosis steroid diturunkan (alternating) atau dalam 14 hari pengobatan dihentikan. Resisten steroid didefinisikan sebagai tidak terjadinya remisi pada pengobatan prednison dosis penuh ( full dose ) 2 mg/kgBB/hari selama 4 minggu. Sensitif steroid adalah remisi terjadi pada pemberian prednison dosis penuh selama 4 minggu (Nizar MD, 2013).

2.3. Anatomi Ginjal

yang tampak halus akan tetapi kuat. Lapisan ini menyelubungi ginjal dengan sangat ketat, tetapi dapat terbuka dengan mudah. Di bawah lapisan tersebut maka dapat terlihat ginjal dengan permukaannya yang halus dan berwarna merah tua. Di tengah-tengah ginjal terdapat rongga yang disebut sinus; rongga tersebut juga terlapisi oleh hilum (Gray, 1995).

Segala benda seperti pembuluh darah dan duktus ekskretorik akan memasuki ginjal melalui fisura tersebut. Duktus ekskretorik ginjal, ureter setelah masuk ke dalam ginjal akan melebar seperti sebuah kerucut, struktur ini dinamakan pelvis. Pelvis akan bercabang menjadi dua atau tiga percabangan yang akan memisah lagi yang disebut dengan calices atau infundibula; semua struktur tersebut berada di dalam rongga ginjal (Gray, 1995).

Bagian korteks dari ginjal berwarna merah muda, lunak, granular, dan mudah terlaserasi. Bagian yang memisah sisi-sisi dari dua piramid dimana arteri dan nervus masuk, dan dimana vena dan kelenjar limfe keluar dari ginjal disebut cortical coloumn atau columna Bertini; sementara porsi yang menghubungkan antara satu cortical coloumn dengan yang lainnya disebut cortical arch dengan kedalaman yang bervariasi dari 0,8-1,3 cm (Gray, 1995).

Bagian medulla dari ginjal, seperti yang telah ditulis sebelumnya, berwarna merah, striated, dan memiliki massa berbentuk kerucut, pyramids of Malpighi; jumlahnya bervariasi dari 8-18 bergantung pada pembentukan lobus organ pada masa embrional (Gray, 1995).

Tubuli uriniferi yang membentuk sebagian besar dari ginjal mulai dari korteks ginjal, lalu membentuk suatu sirkuit melalui korteks dan medulla, dan akhirnya berakhir di apeks Malpighian pyramids dimana cairan yang berada di

gumpalan pembuluh darah, Malphigian tuft; dan suatu membran pembungkus, Malphigian capsule, atau capsule of Bowman (Gray, 1995).

Tubuli uriniferi yang bermula pada Malphigian bodies dalam perjalanannya melewati korteks dan medulla dari ginjal. Setelah melewati Malphigian capsule akan ada suatu penyempitan yang disebut neck atau leher dari tubulus tersebut. Setelah itu maka tubulus akan berbelit pada bagian korteks membentuk proximal convoluted tubule. Dalam perjalanannya ke daerah medulla tubulus membentuk suatu spiral yang disebut spiral tube of Schachowa. Pada daerah medulla, tubulus tiba-tiba mengecil dan melandai ke dalam piramid dengan kedalaman yang bervariasi membentuk descending limb of Henle’ s loop; lalu tubulus akan melengkung naik (loop of Henle), membesar membentuk ascending limb of Henle’ s loop dan kembali memasuki ke korteks. Ascending limb of Henle lalu membentuk distal convoluted tubule yang menyerupai proximal convoluted tubule; ini akan berakhir dengan suatu lengkungan yang memasuki collecting tube (Gray, 1995).

2.4. Fisiologi Ginjal

Telah diketahui bahwa ginjal berfungsi sebagai salah satu alat ekskresi yang sangat penting melalui ultrafiltrat yang terbentuk dalam glomerulus. Terbentuknya ultrafiltrat ini sangat dipengaruhi oleh sirkulasi ginjal yang mendapat darah 20% dari seluruh cardiac output (Rauf, 2002).

2.4.1.Faal Glomerolus

Fungsi terpenting dari glomerolus adalah membentuk ultrafiltrat yang dapat masuk ke tubulus akibat tekanan hidrostatik kapiler yang lebih besar dibanding tekanan hidrostatik intra kapiler dan tekanan koloid osmotik. Volume ultrafiltrat tiap menit per luas permukaan tubuh disebut glomerula filtration rate (GFR). GFR normal dewasa : 120 cc/menit/1,73 m2 (luas pemukaan tubuh). GFR normal umur 2-12 tahun : 30-90 cc/menit/luas permukaan tubuh anak (Rauf, 2002).

2.4.2. Faal Tubulus

Fungsi utama dari tubulus adalah melakukan reabsorbsi dan sekresi dari zat-zat yang ada dalam ultrafiltrat yang terbentuk di glomerolus. Sebagaimana diketahui, GFR : 120 ml / menit / 1,73 m2, sedangkan yang direabsorbsi hanya 100 ml / menit, sehingga yang diekskresi hanya 1 ml / menit dalam bentuk urin atau dalam sehari 1440 ml (urin dewasa) (Rauf, 2002).

Pada anak-anak jumlah urin dalam 24 jam lebih kurang dan sesuai dengan umur : (Rauf, 2002). a) 1-2 hari : 30-60 ml b) 3-10 hari : 100-300 ml c) 10 hari-2 bulan : 250-450 ml d) 2 bulan-1 tahun : 400-500 ml e) 1-3 tahun : 500-600 ml f ) 3-5 tahun : 600-700 ml g) 5-8 tahun : 650-800 ml h) 8-14 tahun : 800-1400 ml

2.4.3. Faal Tubulus Proksimal

Tubulus proksimal merupakan bagian nefron yang paling banyak melakukan reabsorbsi yaitu ± 60-80 % dari ultrafiltrat yang terbentuk di

2.4.4. Faal loop of henle

Loop of henle yang terdiri atas decending thick limb, thin limb dan ascending thick limb itu berfungsi untuk membuat cairan intratubuler lebih hipotonik (Rauf, 2002).

2.4.5. Faal tubulus distalis dan duktus koligentes

Mengatur keseimbangan asam basa dan keseimbangan elektrolit dengan cara reabsorbsi Na dan H2O dan ekskresi Na, K, Amonium dan ion hidrogen. (Rauf, 2002).

2.5. Etiologi

Penyebab sindrom nefrotik yang pasti belum diketahui, akhir-akhir ini dianggap sebagai suatu penyakit autoimun, yaitu suatu reaksi antigen – antibodi. Umumnya etiologi dibagi menurut (Mansjoer Arif, et al., 1999), yaitu:

2.5.1. Sindrom nefrotik bawaan

Diturunkan sebagai resesif autosomal atau karena reaksi maternofetal. Resisten terhadap semua pengobatan. Prognosis buruk dan biasanya pasien meninggal dalam bulan-bulan pertama kehidupannya (Mansjoer Arif, et al., 1999). 2.5.2. Sindrom nefrotik sekunder

Disebabkan oleh :

• Malaria kuartana atau parasit lainnya.

• Penyakit kolagen seperti lupus eritematosus diseminata, purpura anafilaktoid.

• Glumerulonefritis akut atau kronik,

• Trombosis vena renalis.

• Bahan kimia seperti trimetadion, paradion, penisilamin, garam emas, air raksa.

• Amiloidosis, penyakit sel sabit, hiperprolinemia, nefritis membranoproliferatif hipokomplementemik (Mansjoer Arif, et al., 1999).

Tidak diketahui sebabnya atau disebut sindrom nefrotik primer. Berdasarkan histopatologis yang tampak pada biopsi ginjal dgn pemeriksaan mikroskop biasa dan mikroskop elektron, Churk dkk membaginya menjadi : (Mansjoer Arif, et al., 1999).

a. Kelainan minimal

Pada mikroskop elektron akan tampak foot prosessus sel epitel berpadu. Dengan cara imunofluoresensi ternyata tidak terdapat IgG pada dinding kapiler glomerulus (Mansjoer Arif, et al., 1999).

2.5.3.1. Glomerulus Membranosa (Nefropati Membranosa)

Semua glomerulus menunjukan penebalan dinding kapiler yang tersebar tanpa proliferasi sel (Mansjoer Arif, et al., 1999).

2.5.3.2. Glomerulonefritis Proliferatif

Glomerulonefritis proliferatif esudatif difus. Terdapat proliferasi sel mesangial dan infiltrasi sel polimorfonukleus. Pembengkakan sitoplasma endotel yang menyebabkan kapiler tersumbat, dengan penebalan batang lobular, terdapat prolefirasi sel mesangial yang tersebar dan penebalan batang lobular, dengan bulan sabit (crescent), didapatkan proliferasi sel mesangial dan proliferasi sel epitel sampai kapsular dan viseral (Mansjoer Arif, et al., 1999).

Prognosis buruk, glomerulonefritis membranoproliferatif, proliferasi sel mesangial dan penempatan fibrin yang menyerupai membran basalis di mesangium. Titer globulin beta-IC atau beta-IA rendah dan lain-lain perubahan proliferasi yang tidak khas (Mansjoer Arif, et al., 1999).

dilampui, meski telah berusaha ditingkatkan, terjadi hipoalbuminemia. Hal ini menyebabkan retensi garam dan air (Mansjoer Arif, et al., 1999).

Menurunnya tekanan osmotik menyebabkan edema generalisata akibat cairan yang berpindah dari sistem vaskuler kedalam ruang cairan ekstra seluler. Penurunan sirkulasi volume darah mengaktifkan sistem imun angiotensin, menyebabkan retensi natrium dan edema lebih lanjut (Mansjoer Arif, et al., 1999).

Hilangnya protein dalam serum menstimulasi sintesis lipoprotein di hati dan peningkatan konsentrasi lemak dalam darah (hiperlipidemia) (Mansjoer Arif, et al., 1999).

Menurunnya respon imun karena sel imun tertekan, kemungkinan disebabkan karena hipoalbuminemia, hiperlipidemia atau defisiensi seng (Mansjoer Arif, et al., 1999).

Sindrom nefrotik (SN) dapat terjadi dihampir setiap penyakit renal intrinsik atau sistemik yang mempengaruhi glomerulus. Meskipun secara umum penyakit ini dianggap menyerang anak-anak, namun sindrom nefrotik juga terjadi pada orang dewasa termasuk lansia (Mansjoer Arif, et al., 1999).

2.7. Gejala klinis

Manifestasi utama sindrom nefrotik adalah edema. Edema biasanya bervariasi dari bentuk ringan sampai berat (anasarka). Edema biasanya lunak dan cekung bila ditekan (pitting), dan umumnya ditemukan disekitar mata (periorbital) dan berlanjut ke abdomen daerah genitalia dan ekstermitas bawah (Betz & Cecily L., 2002).

a. Edema.

b. Penurunan jumlah urin : urine gelap, berbusa c.Pucat

d.Hematuri

e. Anoreksia dan diare disebabkan karena edema mukosa usus.

f. Sakit kepala, malaise, nyeri abdomen, berat badan meningkat dan keletihan umumnya terjadi.

g.Gagal tumbuh dan pelisutan otot (jangka panjang) (Betz & Cecily L., 2002).

2.8. Komplikasi

1. Infeksi sekunder mungkin karena kadar imunoglobulin yang rendah akibat hipoalbuminemia.

2. Shock : terjadi terutama pada hipoalbuminemia berat (< 1 gram/100ml) yang menyebabkan hipovolemia berat sehingga menyebabkan shock.

3. Trombosis vaskuler : mungkin akibat gangguan sistem koagulasi sehingga terjadi peninggian fibrinogen plasma.

4

.

Komplikasi yang bisa timbul adalah malnutrisi atau kegagalan ginjal (Rauf, 2002).

2.9. Penatalaksanaan

2.9.1. Penatalaksanaan Medis

Pengobatan sindrom nefrotik hanya bersifat simptomatik, untuk mengurangi atau menghilangkan proteinuria dan memperbaiki keadaan hipoalbuminemia mencegah dan mengatasi komplikasinya, yaitu:

a. Istirahat sampai edema tinggal sedikit. Batasi asupan natrium sampai kurang lebih 1 gram/hari secara praktis dengan menggunakan garam secukupnya dan menghindari makanan yang diasinkan. Diet protein 2-3 gram/kgBB/hari. b. Makanan yang mengandung protein tinggi sebanyak 3 – 4 gram/kgBB/hari,

d. Dengan antibiotik bila ada infeksi. e. Diuretikum

f. Kortikosteroid

International Cooperative Study of Kidney Disease in Children (ISKDC) mengajukan cara pengobatan sebagai berikut :

1) Selama 28 hari prednison diberikan per oral dengan dosis 60 mg/hari/luas permukaan badan (lpb) dengan maksimum 80 mg/hari.

2) Kemudian dilanjutkan dengan prednison per oral selama 28 hari dengan dosis 40 mg/hari/lpb, setiap 3 hari dalam satu minggu dengan dosis maksimum 60 mg/hari. Bila terdapat respons, maka pengobatan ini dilanjutkan secara intermitten selama 4 minggu.

3) Tapering-off : prednison berangsur-angsur diturunkan, tiap minggu: 30 mg, 20 mg, 10 mg sampai akhirnya dihentikan.

4) Lain-lain

Pungsi asites, pungsi hidrotoraks dilakukan bila ada indikasi vital. Bila ada gagal jantung, diberikan digitalis (Behrman, 2000).

2.9.2. Penatalaksanaan Keperawatan

Pasien sindrom nefrotik perlu dirawat di rumah sakit, karena memerlukan pengawasan dan pengobatan yang khusus. Masalah pasien yang perlu diperhatikan adalah edema yang berat (anasarka), diet, resiko komplikasi, pengawasan mengenai pengobatan atau gangguan rasa aman dan nyaman, dan kurangnya pengetahuan orang tua mengenai penyakit pasien.

Pasien sindrom nefrotik dengan anasarka perlu istirahat di tempat tidur, karena dengan keadaan edema yang berat menyebabkan pasien kehilangan kemampuannya untuk bergerak. Selama edema masih berat semua keperluan harus ditolong di atas tempat tidur.

a. Baringkan pasien setengah duduk, karena adanya cairan di rongga thoraks akan menyebabkan sesak nafas.

b. Berikan alas bantal pada kedua kakinya sampai pada tumit (bantal diletakkan memanjang, karena jika bantal melintang maka ujung kaki akan lebih rendah dan akan menyebabkan edema hebat).

c. Bila pasien seorang anak laki-laki, berikan ganjal dibawah skrotum untuk mencegah pembengkakan skrotum karena tergantung (pernah terjadi keadaan skrotum akhirnya pecah dan menjadi penyebab kematian pasien). Bila edema telah berkurang diperbolehkan pasien melakukan kegiatan sesuai kemampuannya, tetapi tetap didampingi atau dibantu oleh keluarga atau perawat dan pasien tidak boleh kelelahan. Untuk mengetahui berkurangnya edema pasien perlu ditimbang setiap hari, di ukur lingkar perut pasien. Selain itu perawatan pasien dengan sindroma nefrotik, perlu dilakukan pencatatan masukan dan pengeluaran cairan selama 24 jam. Pada pasien dengan sindroma nefrotik diberikan diet rendah protein yaitu 1,2-2,0 gram/kgBB/hari dan cukup kalori yaitu 35 kal/kgBB/hari serta rendah garam (1 gram/hari). Bentuk makanan disesuaikan dengan keadaan pasien, bisa makanan biasa atau lunak (Ngastiyah, 2005).

Pasien dengan sindrom nefrotik mengalami penurunan daya tahan tubuh yang mengakibatkan mudah terkena infeksi. Komplikasi pada kulit akibat infeksi streptococcus dapat terjadi. Untuk mencegah infeksi tersebut, kebersihan kulit perlu diperhatikan dan alat-alat tenun atau pakaian pasien harus bersih dan kering. Antibiotik diberikan jika ada infeksi, dan diberikan pada waktu yang sama. Jika pasien diperbolehkan pulang, orang tua pasien perlu diberikan penjelasan bagaimana merawat anak yang menderita penyakit sindrom nefrotik. Pasien

2.10. Pemeriksaan Penunjang 2.10.1. Pemeriksaan Urin

Urinalisis adalah tes pertama kali digunakan dalam diagnosis sindrom nefrotik. Proteinuria nefrotik akan terlihat oleh 3 + atau 4 + pada dipstick bacaan, atau dengan pengujian semi kuantitatif oleh asam sulfosalicylic. Sebuah 3 + merupakan 300 mg/dL dari protein urin atau lebih, yaitu 3 g/ L atau lebih dan dengan demikian dalam kisaran nefrotik. Pemeriksaan dipsticks kimia albumin adalah protein utama yang diuji.

a. Protein urin : > 3,5 gram/1,73 m2 luas permukaan tubuh/hari b. Urinalisa : cast hialin dan granular, hematuria

c. Dipstick urin : positif untuk protein dan darah d. Berat jenis urin : meningkat (normal : 285 mOsmol)

2.10.2. Darah

a. Pada pemeriksaan kimia darah dijumpai: b. Protein total menurun (N : 6,2-8,1 mg/100 ml)

Albumin menurun ( N : 6,2-8,1 mg/ 100 ml). Hal ini disebut sebagai hipoalbumenia (nilai kadar albumin dalam darah < 2,5 gram/ 100 ml). Pada SN ternyata katabolisme protein meningkat akibat katabolisme protein yang terjadi di tubuh ginjal. Peningkatan katabolisme merupakan faktor tambahan terjadinya hipoalbuminemia selain dari protein uria (albuminuria). Pada SN sering pula dijumpai anoreksia akibat edema mukosa usus sehingga intake berkurang yang pada gilirannya dapat menimbulkan hipoproteinemia. Pada umumnya edema anasarka terjadi bila kadar albumin darah < 2 gram/100ml, dan syok hipovolemia terjadi biasanya pada kadar < 1 gram/100ml (Betz, 2002).

c. Pemeriksaan Diagnostik

2. USG ginjal dan CT Scan ginjal atau IVP menunjukkan pengkisutan ginjal atau pembentukkan jaringan parut yang tidak spesifik pada glomeruli (Betz, 2002).

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Insiden sindrom nefrotik dilaporkan 2-7 anak / 100.000 / tahun, dengan perbandingan laki-laki : perempuan adalah 2 : 1, sindrom nefrotik banyak terjadi pada anak-anak usia 18 bulan sampai 6 tahun. Sembilan puluh persen anak dengan sindrom nefrotik kelainan minimal akan respon terhadap pengobatan dengan prednison yang ditandai dengan berkurangnya proteinuria (Constantinescu et al., 2000).

Sampai saat ini penyakit SN merupakan penyakit ginjal pada anak yang paling banyak terjadi. Insidens pada anak di bawah 16 tahun adalah 1-2 per 100.000 anak, tertinggi pada anak Asia dan Afrika-Amerika. Penelitian pada 251 anak berumur 3-15 tahun dengan SN mendapatkan 85% SN primer dan 15% SN sekunder (Hodson et al., 2000).

Damanik (1992) menemukan 32,26% SN primer dari 6 jenis penyakit ginjal pada anak di Bagian IKA-FK UGM/RSUP Dr. Sardjito di Yogyakarta. Prednison masih merupakan obat utama dalam penatalaksanaan anak dengan sindrom nefrotik. Ada beragam metode dan dosis pemberian kortikosteroid antara lain standarisasi pemberian kortikosteroid yang dibuat oleh International Study of Kidney Disease in Children (ISKDC) (Constantinescu et al., 2000).

Masalah dalam penatalaksanaan anak dengan sindrom nefrotik adalah kejadian relaps yang sering terjadi saat dosis steroid diturunkan pada fase pemeliharaan remisi. Risiko relaps sebesar 60-75% dengan kemungkinan menjadi relaps frekuen (lebih dua kali dalam enam bulan atau lebih empat kali dalam setahun) atau relaps tidak frekuen (kurang dari dua kali dalam enam bulan). Kadang-kadang relaps pada sindrom nefrotik tetap terjadi walaupun terapi dengan prednison dosis inisial diperpanjang. Pada kasus anak dengan sindrom nefrotik yang mengalami relaps, prednison digunakan sampai penderita bebas proteinuria selama tiga hari berturut-turut dalam seminggu (Hogg et al., 2000).

Sesuai dengan anjuran ISKDC (International Study on Kidney Disease in Children) pengobatan inisial sindrom nefrotik dimulai dengan pemberian prednison dosis penuh (full dose) 60 mg/m² LPB/hari atau 2mg/kgBB/hari (maksimal 80mg/hari), dibagi 3 dosis, untuk menginduksi remisi. Dosis prednison dihitung sesuai dengn berat badan ideal (berat badan terhadap tinggi badan). Prednison dosis penuh inisial diberikan selama 4 minggu. Setelah pemberian steroid 2 minggu pertama, remisi telah terjadi pada 80% kasus, dan remisi mencapai 94% setelah pengobatan steroid 4 minggu. Bila terjadi remisi pada 4 minggu pertama, maka pemberian pemberian steroid dilanjutkan dengan 4 minggu kedua dengan dosis 40 mg/m²LPB/hari (2/3 dosis awal) secara alternating (selang sehari), 1 kali sehari setelah makan pagi. Bila setelah 4 minggu pengobatan steroid dosis penuh, tidak terjadi remisi, pasien dinyatakan resisten steroid (Alatas et al., 2005).

Penelitian oleh Soliday dkk (1999) pada anak dengan sindrom nefrotik sensitif steroid, penelitian ini terutama memfokuskan masalah fungsional atau klinik dan memerlukan penelitian lebih lanjut tentang masalah kualitas hidup dilihat dari segi psikososial yaitu perilaku terutama pada pemberian steroid jangka panjang. Pada penelitian yang dilakukan secara prospektif dengan melihat perilaku anak setelah pemberian steroid dosis inisial dan dosis tinggi selama relaps didapatkan masalah serius yang berkaitan dengan perilaku cemas, depresi, dan peningkatan agresivitas. Penelitian pada anak dengan sindrom nefrotik resisten steroid tidak dilakukan (Soliday et al., 1999).

Perkembangan data menunjukkan bahwa sindrom nefrotik sensitif steroid tidak dapat lagi disebut penyakit yang jinak karena lebih dari 50 persen penderita

Berdasarkan uraian diatas perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui kejadian relaps pada pasien dengan sindrom nefrotik supaya sehingga kejadian relaps ini dapat ditangani dengan tepat. Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik (RSUP HAM) Medan karena rumah sakit ini merupakan rumah sakit pusat rujukan seluruh lapisan masyarakat, kota Medan khususnya dan Sumatera Utara umumnya.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah pada penelitian ini adalah berapa banyak kejadian relaps pada penderita sindrom nefrotik di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik (RSUP HAM) Medan pada tahun 2011 – 2012.

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan umum:

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui berapa banyak kejadian relaps pada penderita sindrom nefrotik tahun 2011-2012 di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik (RSUP HAM) Medan.

1.3.2. Tujuan khusus:

Tujuan khusus dalam penelitian ini adalah :

1. Mengetahui jumlah kasus kejadian relaps pada anak yang menderita sindrom nefrotik di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik (RSUP HAM) Medan pada tahun 2011 - 2012.

2. Mengetahui gejala klinis yang sering terjadi pada anak yang menderita sindrom nefrotik di saat pertama datang berobat di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik (RSUP HAM) Medan pada tahun 2011 - 2012. 3. Mengetahui gambaran laboratorium pada anak yang menderita sindrom

nefrotik di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik (RSUP HAM) Medan pada tahun 2011 - 2012.

1.4. Manfaat Penelitian:

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk :

1.4.1. Peneliti:

Penelitian ini diharapkan sebagai sarana untuk melatih berfikir secara logis dan sistematis serta mampu menyelenggarakan suatu penelitian berdasarkan metode yang baik dan benar.

1.4.2. Pendidikan:

Diharapkan dapat memberikan sumbangan berupa informasi mengenai terjadinya relaps pada anak dengan sindrom nefrotik.

1.4.3. Masyarakat:

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat tentang terjadinya relaps pada anak dengan sindrom nefrotik maka dapat diketahui pemberian obat yang mana dapat mempertahankan remisi.

ABSTRAK

Latar belakang : Sindrom nefrotik merupakan salah satu penyakit ginjal yang sering dijumpai pada anak, yang ditandai dengan proteinuria, hipoalbuminemia, edema, dan hiperkolesterolemia. Pengobatan dan peningkatan hasil akhir pada penderita sindroma nefrotik masih menjadi tantangan dalam bidang kedokteran oleh itu penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kejadian relaps pada penderita sindrom nefrotik.

Tujuan : Untuk meneliti kejadian relaps pada penderita sindrom nefrotik pada anak pada tahun 2011-2012 di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik (RSUP HAM).

Metode penelitian : Dalam penelitian ini, pendekatan deskriptif dengan desain penelitian cross sectional study digunakan. Data penelitian diambil secara retrospektif (sekunder) dari rekam medis yaitu pada tahun 2011-2012 untuk mengetahui kejadian relaps penderita sindroma nefrotik di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik. Sampel penelitian adalah semua penderita sindrom nefrotik di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan dari periode 2011-2012. Pengolahan data telah dilakukan dengan menggunakan komputer dengan perisian SPSS (Statistical Package for the Social Sciences) kemudian dianalisa dan hasilnya disajikan dalam bentuk tabel distribusi. Hasil : Jumlah kasus penderita sindrom nefrotik di RSUP. H. Adam Malik dari periode 2011-2012 berjumlah 25 kasus. Proporsi terbanyak penderita sindrom nefrotik berdasarkan jenis kelamin menunjukkan bahawa laki-laki sebanyak 17 orang yaitu 68% daripada keseluruhan penderita SN. Sementara perempuan sebanyak 8 orang yaitu 32% daripada keseluruhan penderita SN dan berdasarkan kelompok usia menunjukkan bahawa kelompok usia yang paling tinggi adalah 1-

Dokumen terkait